Dokumen tersebut membahas tentang upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum selama proses diversi dengan menempatkan mereka di lembaga-lembaga sosial bukan di penjara dewasa. Namun demikian, lembaga-lembaga sosial belum sepenuhnya siap menangani anak tersebut karena keterbatasan sarana, prasarana, dan SDM. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan
1. KEMENTERIAN SOSIAL
REPUBLIK INDONESIA
“Menuju Bebas Anak Berhadapan dengan Hukum
(ABH) di LAPAS Dewasa pada Tahun 2018”
Policy Brief
PERLAKUAN TERHADAP ANAK BERHADAPAN
DENGAN HUKUM SELAMA PROSES DIVERSI
Terbitnya UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA), yang didalamnya tercantum kewajiban untuk
mengutamakan pendekatan Restoratif Justice (Keadilan Restoratif)
dan Diversi. Namun demikian, dari hasil penelitian menunjukan
bahwa masih adanya anak yang berada pada LAPAS dewasa
dengan status tahanan maupun menjalani hukuman. Penelitian ini
mengemukakan kondisi anak yang berada di LAPAS dewasa pada
tiga daerah penelitian yaitu Pontianak, Bengkulu dan Kendari.
Lembaga Penyelenggara kesejahteraan sosial (LPKS) ditujukan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan bagi seluruh masyarakat,
termasukanakyangberhadapandenganhukum(ABH).Diperlukan
adanya berbagai upaya nyata dari berbagai kementerian/instansi
terkait agar kesetaraan taraf hidup ABH dengan warga negara
Indonesia lainnya dapat terwujud, terpadu dan berkesinambungan
yang pada akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan sosial.
SITUASI ABH DI INDONESIA
Secara faktual, tindak kejahatan dengan pelaku anak semakin meningkat.
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa pelaku kejahatan anak
mengalami peningkatan dari 1.121 pengaduan di tahun 2013 menjadi 1.851
pengaduan di tahun 2014 (meningkat sejumlah 730 kasus) (Susantyo, dkk.
2015). Hampir 52 persen dari angka itu adalah kasus pencurian yang diikuti
dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, judi, serta penganiayaan. Kondisi
ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan
sistem peradilan dan mereka ditempatkan bersama pelaku tindak pidana
dewasa sehingga rawan mengalami tindak kekerasan.
Sejalan dengan terbitnya UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang didalamnya tercantum kewajiban untuk
mengutamakan pendekatan Restoratif Justice (Keadilan Restoratif) dan Diversi.
Diversi bertujuan untuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana Pasal 1 angka
7 UU No. 11 tahun 2012.
sebesar RP. 1.000.000,- / bulan. Sehingga anak masih bisa melanjutkan sekolah
dan kebutuhan sehari-hari tetap terjamin. Sementara untuk biaya pendidikan
anak yang berada di LPKS pondok pesantren ditanggung sepenuhnya oleh
Yayasan Pondok Pesantren.
Keberadaan pekerja sosial di LPKS masih sangat terbatas, seperti pekerja
sosialdiBengkulusudahbersertifikatdanselamainiseringbekerjasamadengan
Polsek setempat. Sementara LPKS Kendari dan Pontianak belum memahami
bagaimana menangani ABH dan belum siap untuk menerima ABH.
Sarana dan prasarana LPKS di tiga provinsi belum memadahi sebagai
lembaga rehabilitasi sosial ABH karena tidak memiliki ruangan khusus
untuk konsultasi, dan kelengkapan rehabilitasi sosial lainnya. Berada dalam
lingkungan terbuka tanpa pengaman, meskipun anak dapat menginap di
gedung panti asuhan.
Tabel berikut adalah aspek-aspek yang ditunjukan oleh LPKS pada tiga
wilayah penelitian.
Tabel 3: Aspek-Aspek LPKS Pada Tiga Wilayah
No ASPEK BENGKULU KALBAR SULTRA
1. JUMLAH ANAK
DAN KASUS
2 laki-laki (14-15th)
pelaku pencabulan
dan pencurian;
4 bulan di LPKS
vonis 8-9 bulan. 1
perempuan (16th)
korban pencabulan
1 laki-laki, 11 tahun
kasus pencabulan,
2 bulan di LPKS,
vonis 9 bulan
2 laki-laki (16-17 th)
kasus pencurian dan
pncabulan; 4 bulan
berada di LPKS
2. STATUS
KELEMBAGAAN
UPTD UPTD Masyarakat (Ponpes)
3. PEDOMAN Belum ada juklak dan
juknis
Belum ada juklak
dan juknis
Belum ada juklak dan
juknis
4. KOMPETENSI
SDM
1 peksos paham ABH,
pengurus LPKS tidak
paham ABH Tdk ada
petugas keamanan
Hanya 1 peksos
tetapi belum siap
dan belum paham
menangani ABH
Hanya 1 orang yang
paham pendampingan
ABH
5. SARPRAS Tidak tersedia sarpras
yg memadai, berada
dlm lingkungan
PSBR/BPAR. Tanpa
pengamanan
Sudah memenuhi
syarat (asrama),
bergabung dengan
panti anak
Belum memenuhi
syarat, terbuka tanpa
pengamanan. Ada
gedung tapi bukan
khusus ABH
6. ANGGARAN Biaya operasional
minim
Biaya operasional
minim
Biaya operasional minim
7. KEGIATAN Tidak ada kegiatan
khusus
Tidak ada kegiatan
khusus
Pendidikan pesantren
8. KEKHASAN Eksklusif, tdk terlibat
kegiatan panti
Inklusif, terlibat
dlm kegiatan panti.
inklusif
PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa praktek
pekerjaan sosial dalam penanganan ABH sangat bervariasi. Pembimbing
Kemasyarakatan (PK) pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) melakukan
assesmen dengan pedoman yang sudah baku lebih banyak ditujukan pada
pelaku dan keluarganya. Hasil asessment dituangkan dalam bentuk Penelitian
Kemasyarakatan (Litmas). Sementara sSakti peksos dan Peksos di LPKS dinilai
cukup memadahi dalam melakukan assesment, selain dari korban dan pelaku
juga keluarga dan lingkungan sekitar anak. Hasil assesment dituangkan dalam
Laporan Sosial (Lapsos).
Peran PK Bapas berada pada saat proses diversi dan persidangan. Hasil
litmas PK menjadi bagian pertimbangan pada putusan pengadilan. Sementara
peran peksos belum banyak dikenal oleh aparat penegak hukum. Ada kesan
bahwa Peksos dibutuhkan jika ada kasus yang berat atau anak sudah di BAP di
kepolisian atau kejaksaan.
Koordinasi atau kerjasama dengan aparat penegak hukum masih kurang,
karena keberadaan Peksos atau Sakti Peksos belum dikenal, peranan dan
fungsinya dalam menangani anak berhadapan dengan hukum. Selama ini tidak
fokus menangani ABH tetapi juga kasus-kasus anak lainnya.
Dalam praktek penanganan kasus ABH dibutuhkan jejaring dengan
berbagai pihak terkait, sementara selama ini Sakti Peksos masih terkendala
birokrasi misal untuk melakukan koordinasi dngan instansi laain, selama
ini belum mengenal petugas yang memiliki kompetensi penanganan ABH di
lingkungan aparat penegak hukum.
Tabel 4. Praktek Pekerjaan Sosial
No PROVINSI PK BAPAS PEKSOS LPKS SAKTI PEKSOS
1. BENGKULU Assessmen pelaku
hanya 1 hari,
pendampingan di
persidangan, mediasi
di proses diversi.
Belum bekerja sama
dengan peksos
Sudah sertifikasi dan
mumpuni dalam
mengasuh anak
Jumlah banyak tetapi tidak
terlibat dalam proses hukum,
kecuali kasus- berat. Peksos
tidak dikenal hakim. Belum
bersinergi dengan PK Bapas.
Pendampingan hanya utk
korban dan keluarga.
2. KALBAR Form sudah baku,
kasie. PK Bapas
mantan peksos
kanwil Depsos, jadi
sdh mengerti praktek
peksos.
Belum bersertifikasi Aktif dan terlibat dalam tiap
kasus ABH, pendampingan
thd pelaku &korban. Jumlah
peksos minim dan tidak merata
ada di semua kabupaten.
3. SULTRA Form sudah baku.
Kendala dalam diversi
, ada hukum adat
“peohala”
Terbatas jumlah dan
belum bersertifikasi
Belum semua Polsek
melibatkan Peksos walaupun
sudah sosialisasi melalui surat.
Peksos terlibat ketika sudah
berada di kejaksaan
REKOMENDASI
1. Penambahan kuantitas dan kualitas pekerja sosial yang fokus menangani
ABH.
2. Peningkatan kapasitas dan kompetensi Pekerja Sosial dan aparat penegak
hukum dalam implementasi UU SPPA.
3. Pembentukan LPKS dengan aspek kelembagaan dan memiliki pekerja
sosial koreksional serta sarana dan prasarana yang memadai.
4. Pelayanan ABH terintegrasi Kementerian Sosial, Kementerian KUMHAM
dan Kepolisian untuk efisiensi perlindungan, rehabilitasi dan pembinaan
dari tingkat pusat sampai daerah
5. Diaktifkan kembali KOMITE Penanganan Rehabilitasi Sosisa ABH di tingkat
provinsi, yang pernah terbentuk.
Peneliti : Alit Kurniasari, Badrun Susantyo, Mulia Astuti, Husmiati Yusuf, Irmayani, Hari
Harjanto Setiawan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan,
Penelitian dan Penyuluhan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III, Jakarta Timur 13630,
Phone:(021)8017146, Fax: (021)8017126,
Website: puslit.kemsos.go.id, email: puslitbangkesos@kemsos.go.id
2. Proses diversi dapat dilakukan pada anak yang diancam dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan
tindak pidana. Selama proses diversi tersebut, mereka perlu mendapatkan
perlindungan dan hak-haknya agar bisa tumbuh dan berkembang secara
optimal tanpa kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini, mereka perlu
mendapatkan Perlindungan Khusus, diantaranya memperoleh Perlindungan
danpendampingandaritenagaprofessionalsepertiPekerjaSosial.Sebagaimana
amanat pada Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 pasal 59A, bahwa
Perlindungan Khusus bagi Anak yang berkonflik hukum dilakukan melalui
upaya: a) penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi
secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan
kesehatan lainnya; b) pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai
pemulihan; c) pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga
tidak mampu; dan d) pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap
proses peradilan.
Data profil anak Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa anak pelaku
kejahatan yang mendapatkan putusan pidana penjara sebesar 55,30 persen.
Persentasepenanganankasusanakmenggunakanpendekatandiversisebanyak
22,80 persen, kembali pada orangtuanya; putusan anak kembali ke orang tua
8,57 persen, putusan pidana bersyarat 9,02 persen, dan putusan diserahkan
ke Panti Sosial atau lainnya sebnyak 2,94 persen. Kondisi Ini menunjukkan
sudah adanya keberpihakan dari aparatur penegak hukum terkait dalam
menangani kasus anak lebih sebagai upaya mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan
pembalasan. Namun berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Kesos tahun 2015
tentang kesiapan Kemensos dalam implementasi Undang–Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menemukan bahwa
setiap Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai lembaga
sosial yang berfungsi untuk perlindungan dan rehabilitasi bagi anak berkonflik
hukum masih bervariasi sasarannya. Ada yang memiliki tugas dan fungi
merehabilitasi bagi pelaku, korban dan saksi serta ada yang melaksanakan
Perlindungan dan merehabilitasi bagi korban dan saksi saja. Sementara
temuan penelitian lain menunjukkan bahwa belum seluruh LPKS Kemensos,
siap menerima anak berhadapan dengan hukum, karena keterbatasan sarana
dan prasarana termasuk SDM (pekerja sosial ABH). Dengan demikian peluang
menempatkan anak di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan
selama menjalani proses hukum masih cukup besar, terlebih jika wilayahnya
tidak memiliki LPKS atau Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP) sebagai Unit
Pelaksana Teknis atau lembaga rehabilitasi sosial bagi anak berhadapan
dengan hukum. Mengantisipasi kondisi ini, peran pekerja sosial dan profesi
lainnya cukup penting dalam memberikan perlindungan dan pendampingan,
termasuk mendorong agar anak mendapatkan proses penyelesaian perkara
diluar mekanisme pidana konvensional. dengan cara pengalihan atau diversi.
Selama menunggu putusan pengadilan (proses penyidikan, penuntutan dan
peradilan) dan mendapatkan pendekatan diversi, idealnya anak ditempatkan
di lembaga rehabilitasi sosial atau LPKS bukan berada di dalam LP atau rumah
tahanan. Oleh karena itu kajian ini akan mengungkap pelayanan apa saja
yang diterima anak selama menunggu atau menjalani proses hukum/diversi.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana anak-anak pelaku tindak
pidana mendapatkan Perlindungan selama menunggu putusan pengadilan,
baik selama proses penyidikan (Kepolisian), penuntutan (Kejaksaan), dan
pemeriksaan (Pengadilan) serta selama dalam LP atau rumah tahanan.
Bagaimana peran pekerja sosial melakukan pendampingan bagi anak-anak
yang diduga menjadi pelaku tindak kejahatan.
Berdasarkan permasalahan diatas penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh data dan menganalisis; Kondisi psikososial ABH selama proses
diversi, Kesiapan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai
lembaga rujukan untuk diversi ABH, dan Praktek-praktek Pekerjaan Sosial bagi
anak yang berkonflik dengan hukum selama proses diversi.
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di tiga provinsi yaitu Bengkulu, Kalimantan Barat
dan Sulawesi Tenggara dengan jumlah sampel sebanyak 68 ABH yang berada
di LAPAS Curup, LPKA kota Pontianak dan LPKA Kendari. Penentuan sampel
menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian terdiri dari
anak binaan dan anak tahanan yang ditempatkan di LAPAS dewasa. Jumlah
responden dan informan anak pada masing-masing provinsi adalah sebagai
berikut:
Tabel 1: Jumlah Responden dan Informan anak
No Provinsi
Jumlah
Responden Informan
1. Bengkulu 26 6
2. Kalimantan Barat 28 5
3. Sulawesi Tenggara 14 2
JUMLAH 68 13
Jenis kasus yang diwawancarai terdiri dari kasus pencabulan (7 kasus)
dan pencurian (6 kasus). Dari informasi anak yang berada di LAPAS diketahui
bahwa ada diantaranya sudah melakukan Diversi namun berlanjut ke proses
hukum, karena:
1. Ganti rugi yang tidak dapat dipenuhi oleh pelaku atas tuntutan korban.
2. Tidak dapat dicapai kesepakatan antara korban dan pelaku
3. Kemarahan keluarga korban atas pembelaan keluarga pelaku.
4. Adanya hukum adat Peohala yang berlaku di kota Kendari yang tuntutannya
memberatkan karena menyangkut kehormatan.
KONDISI PSIKOSOSIAL ANAK DI LAPAS
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden
menyatakan kejadian yang paling tidak menyenangkan adalah pada saat
penangkapan (52%), selanjutnya pada saat pemeriksaan di kepolisian (26,9%).
Pada saat penangkapan terkesan mengejutkan dan diperlakukan seperti orang
dewasa. Sedangkan pada saat penyidikan mereka kerapkali mendapatkan
penyiksaan seperti pemukulan dengan menggunakan tangan maupun benda
keras bahkan diantara mereka mendapatkan pelecehan seksual oleh oknum
polisi.
Hal menarik untuk diperhatikan adalah ada 39,7% anak binaan merasa
terbuang dari masyarakat, dan 10,3% menyatakan tidak merasa menyesal atas
perbuatan yang telah dilakukannya. Sejumlah 7,4% merasa senang berada di
Lapas dan 76% menyatakan perasaan sedih berada di Lapas.
Namun demikian terdapat kondisi positif pada anak binaan yang dapat
dimanfaatkan untuk perubahan perilaku anak bahwa keberadaan mereka
di Lapas membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan (94,1%) dan memiliki
rencana untuk masa depan (89,7%). Selain itu kunjungan dari keluarga (90%)
dapat menjadi salah satu dukungan/suport mental bagi anak.
Relasi sosial selama anak berada dalam Lapas, ditunjukan keakraban
dengan staf Lapas (83%) dan tidak pernah konflik dengan teman sesama anak
binaan (76,5%), kecuali 22,1% menyatakan pernah konflik dan hampir tiga
perempatnya menyatakan tidak pernah mengalami luka karena konflik dengan
teman. Berikut kondisi psikososial anak di Lapas.
Tabel 2: Prosentase Kondisi Psikososial ABH
NO KONDISI PSIKOSOSIAL %
1. Tidak dikunjungi keluarga 8,8 %
2. Merasa senang 7,4 %
3. Tidak merasa menyesal 10,3 %
4, Merasa terbuang 39,7 %
5. Sakit dibiarkan sembuh sendiri 9 %
6. Mengalami luka akibat tindakan orang lain 9,1 %
7. Pernah konflik dengan teman 22,4 %
8. Tidak akrab dengan pegawai LP 16,2 %
9. Tidak dekat dengan Tuhan 5,9 %
10. Pengalaman tidak menyenangkan saat :
a. Penangkapan 52,2 %
b. Pemeriksaaan di polisi 26,9 %
c. Persidangan 13,4 %
11. Tidak punya rencana masa depan 7,6%
Terdapat beberapa alasan kenapa anak ditempatkan pada Lapas dewasa
antara lain:
1. Provinsi belum memiliki LPKA
2. Provinsi tidak memiliki tahanan khusus anak
3. Orang tua tidak menginginkan anak ditempatkan jauh dari tempat tinggal,
karena akan menyulitkan orang tua menjenguk anak.
KONDISI LPKS
Lembaga Penyelenggara Rehailitasi Sosial bagi anak berkonflik hukum,
keberadaannya cukup beravariaasi, seperti LPKS di Provinsi Bengkulu berada
di lingkungan Balai Pembinaan Anak dan Remaja (BPAR identik dengan PSBR),
LPKS di Provinsi Kalimantan Barat berada di lingkungan PSAA Pontianak hanya
berbeda di gedung. Sementara LPKS di kota Kendari berada di lingkungan
Pondok Pesantren.
Jumlah Klien di LPKS masih terbatas, di Bengkulu ada 3 orang yang
terdiri dari 2 anak laki-laki dengan kasus pencabulan dan pencurian, dan 1
anak perempuan dengan kasus korban pencabulan. Masing-masing berusia
antara 14 – 16 tahun. Di provinsi Kalimantan Barat ada 1 anak laki-laki berusia
11 tahun dengan kasus pencabulan dengan vonis 9 bulan. Provinsi Sulawesi
Tenggara ada 2 klien anak laki-laki masing-masing berusia 15 tahun dengan
kasus pencurian dan pencabulan.
Kegiatan anak selama berada di LPKS Provinsi Kalimantan Barat dan
Sulawesi Tenggara, mengikuti pendidikan sekolah dan pendidikan keagamaan
sebagaimanaanakasuhdipantiasuhan.SedangkandiProvinsiBengkuluhanya
menunggu warung “ABH” dan memelihara ayam. Untuk klien perempuan
diikutsertakan pada ketrampilan salon. Hanya saja klien perempuan terpaksa
dipulangkan ke rumah orang tuanya dikarenakan melanggar aturan panti.
LPKS pada tiga provinsi tidak memiliki petunjuk pelaksanaan dalam
menangani ABH. Hal menarik yang ada di LPKS Kendari adalah pengurus LPKS
mengganti nama anak selama mereka berada di pesantren, sehingga anak-anak
yang lain tidak tahu identitas maupun kasus yang dialami dan, mereka dapat
mengikuti kegiatan dengan anak-anak yang lainnya.
Anggaran untuk pelaksanaan kegiatan di LPKS sangat terbatas. LPKS di
provinsi Bengkulu hanya cukup untuk permakanan saja. Berbeda dengan di
provinsi Kalimantan Barat, orang tuanya turut membiayai kebutuhan anak