Studi ini meneliti perbedaan tingkat perilaku agresif remaja yang tinggal di tiga wilayah permukiman kumuh di Kota Bandung dengan tingkat kekumuhan yang berbeda. Survei dilakukan terhadap 311 remaja yang tinggal di wilayah agak kumuh, kumuh, dan sangat kumuh. Hasilnya menunjukkan ada perbedaan tingkat perilaku agresif antara remaja di ketiga wilayah tersebut.
1 integrasi penanggulangan kemiskinan jurnal quantum vol xiv no 26 jul-des 2018
REMABEHAGRESI
1. 21
PERBEDAAN PERILAKU AGRESIF REMAJA DI PERMUKIMAN KUMUH
DI KOTA BANDUNG
THE DIFFERENCE OF ADOLESCENCE AGGRESSIVE BEHAVIOR
WHO’S LIVE IN SLUMS AREA BANDUNG
Badrun Susantyo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI
Jl. Dewi Sartika No. 200, Cawang III, Jakarta Timur, Telp. 021-8017146
besusantyo@yahoo.com
ABSTRACT
Many cases of violence as a manifestation of aggressive behavior, whether verbal (words) and non-verbal (action)
One of the factors that affect aggressive behavior is the environment, both physically and socially. This study aims
to; 1) Knowing the level of aggressiveness of adolescent behavior in the slums area, 2) Determine whether there
are differences in the level of aggressiveness behavior among adolescents who live in the three regions which
have different levels of slums. This study involved 311 adolescents who lived in the slums area, in Bandung. The
Bandung local government has divided the slum areas into three categories - level 1 (lower level), level 2 (moderate
level), level 3 (higher level) This study was conducted in all of the three levels. The aggressive behavior was
measured using two indicators; 1) aggressive response and, 2) the intensity of aggressive actions. Statistical tests
using the Kruskal-Wallis H, showing there are significant differences in aggressive behavior among adolescents
who live in three different slums level. Very importance to understanding the characteristics of citizens who live’s
in slum area prior to the restructuring and improvement of residential, as a recommendation this study. The
understanding of the characteristics of citizens is an important step for the implementation next of programs /
intervention.
Keywords: Aggressive Response, Intensity of Aggressive Action, Aggressive Behavior, Environment)
ABSTRAK
Banyak kasus kekerasan sebagai perwujudan dari perilaku agresif, baik secara verbal (kata-kata) maupun non-
verbal (tindakan). Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku agresif ini adalah lingkungan, baik fisik maupun
sosial. Studi ini bertujuan untuk; 1) Mengetahui tingkat agresivitas perilaku remaja di permukiman kumuh, 2)
mengetahui apakah ada perbedaan dalam tingkat agresivitas perilaku antara remaja yang tinggal di tiga wilayah
yang memiliki tingkat kekumuhan yang berbeda. Studi ini melibatkan sebanyak 311 remaja yang tinggal di kawasan
permukiman kumuh, di Kota Bandung. Pemerintah Kota Bandung membagi kawasan kumuh menjadi tiga tingkatan
kekumuhan; 1) Agak kumuh, 2) Kumuh, dan 3) Sangat kumuh. Perilaku agresif remaja di kawasan permukiman
kumuh ini diukur dengan menggunakan dua parameter, yaitu respon agresif dan intensitas tindakan agresif. Uji
statistik dilakukan dengan menggunakan alat uji dari Kruskall-Wallis H yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan dalam kadar perilaku agresif diantara remaja yang tinggal di tiga kawasan kumuh yang
berbeda tersebut. Dari studi ini direkomendasikan akan pentingnya memahami karakterisktik warga yang
menempati permukiman sebelum dilakukannya penataan dan perbaikan lingkungan permukiman. Pemahaman ini
menjadi langkah penting untuk penerapan program/intervensi sosial selanjutnya.
Kata kunci : Respon Agresif, Intensitas Tindakan Agresif, Perilaku Agresif, Lingkungan.
PENDAHULUAN
Perilaku agresif dapat diartikan sebagai luapan
emosi atau reaksi atas kegagalan individu yang
ditunjukkan dalam bentuk “perusakan” terhadap
orang atau benda dengan disertai unsur
kesengajaan yang bisa diekspresikan melalui
kata-kata (verbal) dan perilaku non-verbal
(Susantyo, 2011). Agresi merupakan setiap
bentuk perilaku yang bertujuan untuk menyakiti
orang lain, atau bahkan walau sekedar hanya
merupakan perasaan ingin menyakiti orang lain.
Sedangkan menurut Moore dan Fine dalam
Koeswara (1988) memandang perilaku agresif
sebagai perilaku kekerasan secara fisik ataupun
secara verbal terhadap individu lain atau objek-
objek lain.
Menurut Murry dalam Hall & Lindzey (1993)
mendefinisikan perilaku agresif sebagai suatu
cara untuk melawan dengan sangat kuat,
berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,
atau menghukum orang lain. Atau secara
singkatnya agresi adalah tindakan yang
dimaksudkan untuk melukai orang lain atau
merusak milik orang lain. Hal yang terjadi pada
saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresif
dari seorang individu atau kelompok. Dill & Dill
2. 22 | CR Journal | Vol. 04 No. 01 Juni 2018 | 21 - 28
(1998) melihat perilaku agresif sebagai perilaku
yang dilakukan berdasarkan pengalaman dan
adanya rangsangan situasi tertentu sehingga
menyebabkan seseorang itu melakukan
tindakan agresif. Perilaku ini boleh dilakukan
secara dirancang (terencana), seketika atau
karena rangsangan situasi. Tindakan agresif ini
biasanya merupakan tindakan anti sosial yang
tidak sesuai dengan budaya dan agama dalam
suatu masyarakat. Lebih lanjut, Bandura (1977)
beranggapan bahwa perilaku agresif merupakan
sesuatu yang dipelajari dan bukannya perilaku
yang dibawa individu sejak lahir. Perilaku agresif
ini dipelajari dari lingkungan sosial seperti
interaksi dengan keluarga, interaksi dengan
rekan sebaya dan media massa melalui
modelling.
Dalam studi ini perilaku agresif merujuk kepada
tindakan kekerasan yang dilakukan remaja
dengan tujuan untuk mendatangkan luka, cidera
baik secara fisik, emosi maupun kognitif kepada
orang lain. Tindakan kekerasan ini bisa
dilakukan secara fisik maupun lisan. Bahkan
Susantyo (2017) mengemukakan beberapa
faktor determinan yang mempengaruhi
munculnya perilaku agresif, seperti; kondisi
internal, keluarga, lingkungan sekitar dan faktor
media massa. Temuan menarik dari studi
Susantyo ini adalah bahwa faktor rekan sebaya
(peer group) ternyata kurang signifikan dalam
mempengaruhi munculnya perilaku agresif pada
remaja yang tinggal di kawasan permukiman
kumuh (Susantyo, 2016). Namun demikian,
menurut Susantyo (2017) faktor lingkungan
(secara fisik) turut menyumbang terjadinya
perilaku agresif individu.
Studi ini bertujuan untuk; 1) mengetahui tingkat
agresivitas perilaku remaja di tiga wilayah yang
memiliki derajat atau level kekumuhan yang
berbeda, 2) mengetahui apakah ada perbedaan
dalam tingkat agresivitas perilaku antara remaja
yang tinggal di tiga wilayah yang memiliki tingkat
kekumuhan yang berbeda tersebut.
METODE
Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
Penarikan sampel dilakukan dengan teknik
stratified multistage cluster sampling. Teknik ini
merupakan perpaduan antara stratified sampling
dengan multistage cluster sampling. Teknik
stratified sampling perlu dilakukan karena
terdapat beberapa tingkat kekumuhan yang
tersebar di beberapa wilayah Kota Bandung,
yaitu; 1) agak kumuh, 2) kumuh, dan 3) sangat
kumuh. Klasifikasi tingkat kekumuhan ini
didasarkan atas data tingkat kekumuhan (slums
level) dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya
Kota Bandung. Sedangkan multistage cluster
sampling dilakukan untuk memilih Rukun
Tetangga (RT) sebagai cluster terpilih dalam
studi ini. Di wilayah Rukun Tetangga inilah
pengumpulan data responden dilakukan.
Subjek dalam studi ini adalah para remaja
dengan rentang usia 15 – 18 tahun atau remaja
pertengahan (middle adolescence). Pemilahan
usia ini sesuai dengan kategorisasi dari Badan
Pusat Statistik (BPS) dan Levy-Warren (1996).
Sebanyak 311 remaja terpilih sebagai
responden. Keseluruhan remaja ini berasal dari
tiga kelurahan yang masing-masing memiliki
tingkat kekumuhan yang berbeda. Sebagaimana
Tabel 1.
Untuk mengukur tingkat agresivitas dalam studi
ini menggunakan instrumen yang diadaptasi dari
Buss dan Perry (1992) tentang The aggression
questionnaire. Pengumpulan data dilakukan
melalui pengisian kuisioner, dengan melibatkan
beberapa orang enumerator lapangan. Data
diolah dan dianalisa secara statistik dengan
menggunakan alat bantu statistik SPSS melalui
uji beda dari Kruskal Wallis. Studi ini hanya
melihat perilaku agresif dari sisi ukuran
kuantitatif. Artinya, hanya melihat apakah ada
perbedaan dalam tingkat (kadar) perilaku agresif
pada diri remaja yang tinggal di kawasan
permukiman kumuh. Perbedaan inipun diukur
secara statistik (kuantitatif sederhana melalui uji
beda Kruskal Wallis).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sosial Demografi Responden
Responden adalah remaja yang berusia antara
15 hingga 18 tahun dan menetap di area
permukiman kumuh di ketiga wilayah kelurahan
terpilih. Responden terdiri atas 311 remaja. Di
Kelurahan Ancol, sebanyak 102 orang
(representasi wilayah agak kumuh/level kumuh
1). Kelurahan Cigereleng sebanyak 104
responden (representasi wilayah kumuh/level
kumuh 2), dan Kelurahan Ciseureuh sebanyak
105 responden (representasi wilayah sangat
kumuh/ level kumuh 3).
Berdasarkan pendidikan, tingkat pendidikan
responden yang terbanyak adalah lulus
SMU/SMK, sebagaimana di Kelurahan
Ciseureuh, sebanyak 57 orang (54.3 persen),
dan di Kelurahan Cigereleng, sebanyak 64
orang (61.5 persen). Sedangkan di Kelurahan
Ancol, responden dengan tingkat pendidikan
lulus SMP merupakan jumlah terbanyak
mencapai 46 orang (45.1 persen).
3. Susantyo, Perbedaan Perilaku Agresif Remaja Di Permukiman Kumuh | 23
Tabel 1.Persebaran responden menurut wilayah kekumuhan
Jenis kelamin
responden
Kelurahan Ancol
(agak kumuh)
Kelurahan Cigereleng
(kumuh)
Kelurahan Ciseureuh
(sangat kumuh)
F % F % F %
Laki-laki 42 41.2 53 50.5 56 53.8
Perempuan 60 58.8 52 49.5 48 46.2
102 100.0 105 100.0 104 100.0
Tabel 2. Sosial Demografi Responden
Sosial Demografi Kel. Ancol Kel. Cigereleng Kel. Ciseureuh
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Jenis kelamin
Laki-laki 42 41.2 56 53.8 53 50.5
Perempuan 60 58.8 48 46.2 52 49.5
Pendidikan
Tidak pernah
sekolah
-
-
4 3.8 2 1.9
Tidak lulus SD - - - - - -
Lulus SD 2 2.0 - - - -
Tidak lulus SMP 2 2.0 4 3.8 4 3.8
Lulus SMP 46 45.1 24 23.1 36 34.3
Tidak lulus SLA 4 3.9 8 7.7 2 1.9
Lulus SLA 34 33.3 64 61.5 57 54.3
Lainnya 14 13.7 - - 4 3.8
Tempat Tinggal
Tinggal bersama
Orangtua
70 68.6 72 69.2 79 75.2
Tinggal dengan
ayah saja
2 2.0 8 7.7 5 4.8
Tinggal dengan
Ibu saja
12 11.8 8 7.7 2 1.9
Tinggal dengan
keluarga
18 17.6 16 15.4 18 17.1
Tinggal dengan
orang lain
-
-
-
-
1 1.0
Keberadaan Orangtua
Orangtua masih
lengkap dan hidup
bersama
84 82.4 80 76.9 88 83.8
Tinggal ayah, ibu
sudah mencerai
ayah
2 2.0 4 3.8 4 3.8
Tinggal ayah, ibu
sudah meninggal
dunia
2 2.0 4 3.8 5 4.8
Tinggal ibu, ayah
sudah meninggal
dunia
8 7.8 8 7.7 6 5.7
Tinggal ibu, ayah
sudah mencerai
Ibu
6 5.9 4 3.8 2 1.9
Orangtua sudah
meninggal dunia
-
-
4 3.8 - -
102 100.0 104 100.0 105 100.0
Kebanyakan responden pada ketiga lokasi
studi menyatakan masih tinggal bersama orang
tua. Di Kelurahan Ciseureuh, sebanyak 79
orang atau 75.2 persen menyatakan masih
tinggal bersama orang tua mereka. Di
Kelurahan Cigereleng sebanyak 79 responden
(69.2 persen) dan di Kelurahan Ancol
sebanyak 70 orang respoden (68.6 persen)
menyatakan masih tinggal bersama orang tua.
Dari segi status perkawinan orang tua,
kebanyakan responden menyatakan bahwa
kedua orang tua mereka masih lengkap dan
tinggal bersama. Untuk Kelurahan Ciseureuh,
sebanyak 88 responden atau 83.8 persen
4. 24 | CR Journal | Vol. 04 No. 01 Juni 2018 | 21 - 28
menyatakan kedua orang tua mereka masih
lengkap dan tinggal bersama. Demikian juga di
Kelurahan Cigereleng sebanyak 80 orang (76.9
persen) dan Kelurahan Ancol sebanyak 84
orang (82.4 persen) menyatakan hal yang
sama. Sebagaimana terlihat pada Tabel 2
tentang Sosial demografi responden.
Persebaran Skor Kadar Perilaku Agresif
Kadar perilaku agresif remaja dilihat dengan
melakukan agregasi skor jawaban pada
masing-masing responden. Hasil studi
mendapati bahwa, skor perilaku agresif dengan
kadar tinggi banyak ditemukan pada
responden yang bermukim di wilayah dengan
level kekumuhan 3 (sangat kumuh), yaitu
mencapai 15,38 persen (16 responden),
sedangkan responden yang berasal dari level
kekumuhan 2 (kumuh) sebanyak 12 orang (11,
43 persen) dan pada level kekumuhan 1 (agak
kumuh) didapati sebanyak 8 responden (7,84
persen). Pada sisi lain, skor perilaku agresif
responden pada kadar rendah, banyak
ditemukan pada responden yang berasal dari
wilayah dengan tingkat kekumuhan 1 (agak
kumuh), yaitu sebanyak 62,75 persen (64
responden). Pada level kekumuhan 2 (kumuh)
terdapat 8 responden (7,62 persen), namun
tidak ditemukan pada responden yang berada
pada level kekumuhan 3 (sangat kumuh),
sebagaimana Tabel 3.
Pengukuran tingkat perilaku agresif dalam
studi ini merujuk tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh remaja yang bertujuan
mendatangkan kecideraan kepada orang lain,
baik secara fisik, emosional maupun kognitif.
Tindakan kekerasan ini bisa dilakukan baik
secara fisik maupun verbal (lisan) dengan
mempertimbangkan dua parameter utama,
yaitu 1) respon agresif, 2) intensitas dalam
melakukan tindakan agresif. Deskripsi dari
kedua parameter tersebut sebagaimana dalam
Tabel 4.
Respon Agresif dan Intensitas Tindakan
Agresif
Pengukuran respon agresif dalam studi ini
melibatkan tujuh item pernyataan dengan lima
pilihan jawaban dengan skor terendah 1 dan
skor tertinggi adalah 5. Hasil studi
menunjukkan bahwa responden yang memiliki
respon agresif tinggi adalah sebanyak 64 orang
responden atau 20.6 persen. Responden yang
memiliki tingkat respon agresif sedang
sebanyak 191 orang atau 61.4 persen, dan
responden yang memiliki respon agresif
rendah sebanyak 56 orang atau 18.0 persen.
Tabel 4 memberi gambaran tentang tingkat
respon agresif remaja.
Pengukuran intensitas tindakan agresif di
dalam studi ini terdiri daripada delapan item
pernyataan juga dengan lima pilihan jawaban,
dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 5.
Hasil studi menunjukkan bahwa responden
yang memiliki intensitas tindakan agresif yang
tinggi adalah sebanyak 26 orang responden
atau 8.4 persen. Responden yang memiliki
intensitas tindakan agresif sedang sebanyak
141 orang atau 45.3 persen, dan responden
yang memiliki intensitas tindakan agresif
rendah sebanyak 144 orang atau 46.3 persen.
Persebaran skor pada masing-masing
parameter perilaku agresif ini sabagaimana
dalam Tabel 4.
Uji perbedaan
Uji perbedaan digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan perilaku agresif
remaja yang tinggal diketiga wilayah
permukiman kumuh tersebut, yaitu di
Kelurahan Ciseureuh (level 3 – sangat kumuh),
Kelurahan Cigereleng (level 2 - kumuh) dan di
Kelurahan Ancol (Level 1- agak kumuh) Uji
statistik dilakukan dengan menggunakan
peralatan uji yang berbeda dengan Kruskall-
Wallis H, yaitu dengan melihat rank pada
masing-masing kelompok responden.
Pemilihan “peralatan” ini berdasarkan pada
alasan bahwa kelompok responden
merupakan kelompok yang
berbeda/independen satu sama lain. Dimana
masing-masing kelompok berasal dari wilayah
yang berbeda pula.
Tabel 5 menunjukkan jumlah skor rank perilaku
agresif responden di setiap kelurahan yang
memiliki tingkatan berbeda satu sama lain.
Responden di wilayah Kelurahan Ancol (kumuh
level 1) dengan jumlah 102 orang, memiliki
skor rank 87.15 dan responden di wilayah
Kelurahan Cigereleng (kumuh level 2) dengan
responden 104 orang, memiliki rank 187.88.
Responden yang terakhir adalah di wilayah
Kelurahan Ciseureuh (kumuh level 3) dengan
jumlah responden 105 orang, dengan rank
191.35, sebagaimana Tabel 5.
5. Susantyo, Perbedaan Perilaku Agresif Remaja Di Permukiman Kumuh | 25
Tabel 3. Persebaran Skor Tingkat Agresivitas Responden
Level
kumuh
Tingkat agresivitas perilaku Jumlah
Rendah Sedang Tinggi
F % F % F % F %
1 64 62.75 30 29.41 8 7.84 102 100.00
2 8 7.62 85 80.95 12 11.43 105 100.00
3 0 0.00 88 84.62 16 15.38 104 100.00
Total 72 203 36 311
Catatan:
Level kumuh 1 (agak kumuh): Kelurahan Ancol
Level kumuh 2 (kumuh): Kelurahan Cigereleng
Level kumuh 3 (sangat kumuh): Kelurahan Ciseureuh
Tabel 4. Skor perilaku agresif
Agresivitas perilaku Skor F %
Respon agresif
Rendah 7.00 ≥ 16.00 56 18.0
Sedang 16.00 > 26.00 191 61.4
Tinggi 26.00 ≥ 35.00 64 20.6
Jumlah 311 100.0
Intensitas tindakan agresif
Rendah 7.00 ≥ 16.00 144 46.3
Sedang 16.00 > 26.00 141 45.3
Tinggi 26.00 ≥ 35.00 26 8.4
Jumlah 311 100.0
Tabel 5. Rank setiap tahap Wilayah Kekumuhan
Tahap kekumuhan N N Rank Keterangan
Jumlah Skor 1 102 87.15 Kelurahan Ancol
Tingkat agresivitas 2 105 187.88 Kelurahan Cigereleng
3 104 191.35 Kelurahan Ciseureuh
Jumlah 311
Selanjutnya, dari hasil uji statistik menggunakan
Kruskal Wallis mendapati estimasi statistik
Kruskal Wallis (sama dengan Chi-Square)
adalah 89.178, dengan tingkat kebebasan (df)
sebesar 2 dan asymptotic significance (asymp.
Sign) sebesar 0.000 atau probabilitas dibawah
0.05 (0.000 <0.05). Perbandingan pengiraan
statistik dengan uji statistik dijadikan sebagai
dasar pengambilan keputusan. Sebagaimana
pada Tabel 6. Sekiranya pengiraan statistik <
statistik tabel, maka H0 diterima; jika pengiraan
statistik > statistik tabel, maka H0 ditolak.
Dengan melihat Tabel Chi-square, untuk df
(tingkat kebebasan) = 2 dan tingkat signifikansi
(α) = 5%, maka hasil yang diperoleh adalah
statistic table = 5.991. Dengan kata lain, hasil uji
statistik dalam studi ini dapat diterjemahkan
bahwa ada perbedaan perilaku agresif yang
signifikan terhadap remaja yang tinggal di ketiga
lokasi studi. Dengan kata lain, tingkat agresivitas
remaja yang tinggal di wilayah kumuh level 1
(Kelurahan Ancol), 2 (Kelurahan Cigereleng)
dan 3 (Kelurahan Ciseureuh) adalah berbeda.
Hasil uji statistik Kruskal Wallis pada Tabel 6
sekaligus mengkonfirmasi bahwa ada
perbedaan yang siginifikan dalam tingkat
agresivitas perilaku antara remaja yang tinggal
di permukiman kumuh level 1, 2 dan 3. Hal
demikian bisa juga diterjemahkan bahwa,
semakin kumuh lingkungan, semakin tinggi
tingkat agresivitas perilaku para remajanya.
Studi ini sekaligus menegaskan temuan
Susantyo (2016) tentang faktor-faktor
determinan penyebab perilaku agresif, dimana
lingkungan sekitar (secara fisik dan sosial)
memiliki andil yang signifikan dalam
pembentukan perilaku agresif individunya.
Tabel 6. Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis
Jumlah Skor tingkat agresivitas
Chi-Square 89.178
Df 2
Asymp.
Sign.
.000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variabel : Level kekumuhan
Seperti pada pembahasan sebelumnya, perilaku
agresif dalam studi ini merujuk pada tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh remaja yang
bertujuan mendatangkan kecideraan kepada
orang lain, baik secara fisik, emosional ataupun
kognitif. Tindakan kekerasan ini bisa dilakukan
6. 26 | CR Journal | Vol. 04 No. 01 Juni 2018 | 21 - 28
secara fisik maupun verbal dengan
mempertimbangkan faktor-faktor; 1) respon
agresif, 2) intensitas dalam melakukan tindakan
agresif.
Temuan studi tentang kadar respon agresif
responden menunjukkan bahwa responden
yang memiliki kadar respon agresif tinggi
mencapai 20.6 persen, dan responden yang
memiliki kadar respon agresif sedang sebesar
61.4 persen. Sedangkan responden yang
memiliki kadar respon agresif rendah sebanyak
18.0 persen, sebagaimana yang ditunjukan di
Tabel 4. Temuan studi ini memberikan isyarat
bahwa ada kecenderungan yang potensial untuk
lebih meningkatnya kadar respon agresi
responden. Hal ini jika merujuk data temuan
studi yang secara total, menunjukkan responden
yang berada pada kadar respon agresif yang
cenderung tinggi (potensial) mencapai 82
persen. Jumlah 82 persen ini merupakan
agregasi antara kadar respon agresi tinggi dan
sedang.
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden yang
memiliki kadar intensitas tindakan agresif yang
tinggi sebanyak 8.4 persen, dan 46 persen
responden memiliki kadar intensitas tindakan
agresif yang rendah. Namun demikian, proporsi
responden yang memiliki kadar intensitas
tindakan agresif yang sedang ini mencapai 45.3
persen.
Kadar intensitas tindakan agresif yang sedang
sebenarnya merupakan kadar potensial dan
memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih
tinggi intensitas tindakan agresifnya. Jika kadar
intensitas tindakan agresif sedang ini
diagregasikan dengan kadar intensitas tindakan
agresif yang tinggi akan menghasilkan proporsi
yang cukup besar, mencapai 63.7 persen.
Dari deskripsi singkat terkait kadar respon
agresif dan intensitas tindakan agresif
menunjukkan tingginya proporsi kadar perilaku
agresif remaja yang tinggal di kawasan
permukiman kumuh ini, mencapai 72.85 persen.
Angka ini merupakan penggabungan antara
kedua parameter/ indikator dalam pengukuran
kadar perilaku agresif. Hal tersebut merupakan
asumsi kecenderungan untuk berperilaku
agresif yang menunjukkan bahwa faktor
lingkungan sekitar secara fisik turut memberikan
pengaruh kepada pembentukan perilaku agresif,
senada dengan temuan studi Fryer dan Miyoshi
(1996), Susantyo (2016). Bahkan, boleh jadi
merupakan asal muasal dari terbentuknya
perilaku maladaptive dan menyimpang bagi
sebagian individu yang tinggal di dalamnya,
sebagaimana studi Fryer dan Miyoshi (1996)
yang menyatakan bahwa lingkungan sekitar
secara fisik akan memberikan pengaruh kepada
perilaku para anggota/ individu yang tinggal di
dalamnya dalam bentuk terjadinya tindakan-
tindakan anti sosial yang dapat menyulut
tindakan-tindakan maladaptive seperti halnya
tindakan agresif para warganya. Bahkan
beberapa studi terkini telah mendapati bahwa
kondisi sosial dan perilaku masyarakat penghuni
permukiman kumuh selaras dengan
ketidakteraturan/ ketidak-tertiban, rawan
terjadinya tindak kriminal dan penyimpangan
norma, keadaan lingkungan sekitar yang tidak
sehat, baik secara fisik, sosial maupun
psikologis, mudah memicu stres bagi
penghuninya (Susantyo, 2016; Sulistyawati,
2007; Lestari, 2006; Izutsu, dkk., 2006; Lestari,
2003; Sulistyani, Faturochman & As'ad, 1993).
Hasil uji beda Kurskal Wallis, yang menunjukkan
adanya perbedaan dalam kadar perilaku agresif
remaja yang tinggal pada masing-masing
permukiman dengan kondisi kekumuhan yang
berbeda ini juga turut menunjang dan
melengkapi temuan studi yang dilakukan di
kawasan permukiman kumuh sebelumnya.
Sebut saja, Lestari, (2003); Izutsu, dkk., (2006);
Fryer & Miyoshi, (1996); Sulistyani,
Faturochman & As'ad (1993) dan yang paling
terkini adalah hasil studi Susantyo (2016).
Temuan studi perilaku agresif remaja yang
tinggal di permukiman kumuh yang dilakukan
Sulistyani, Faturochman dan As'ad (1993)
menunjukan bahwa agresivitas subjek yang
tinggal di kawasan bising dan kawasan tidak
bising berbeda secara signifikan. Bahkan studi
Fryer dan Miyoshi (1996) yang menyimpulkan
bahwa lingkungan sekitar secara fisik turut
memberikan pengaruh terhadap perilaku para
individu yang tinggal di dalamnya. Demikian
halnya dengan lingkungan dengan keadaan
yang tidak sehat dan kumuh juga akan
mempengaruhi keadaan fisik, sosial dan
psikologis para penghuninya. Bahkan
dikhawatirkan keadaan permukiman yang
demikian ini memang potensial sebagai pemicu
akan terjadinya tindakan-tindakan anti sosial
yang dapat menyulut perilaku maladaptive para
warganya. Bahkan, boleh jadi merupakan asal
muasal bagi terbentuknya perilaku maladaptive
dan menyimpang bagi sebagian individu yang
tinggal di dalamnya.
Lestari (2003) dalam studinya juga mendapati
bahwa lingkungan dapat menyebabkan stres
bagi individu, yang dikenal dengan stres
lingkungan. Individu yang mengalami stres
lingkungan ini akan menampilkan perilaku
tertentu sebagai usaha untuk mengurangi atau
menghilangkan stres tersebut, perilaku ini
disebut dengan istilah perilaku coping.
Selanjutnya, Lestari (2006) melalui pendekatan
Sustainable Urban Livelihood (SUL) juga
7. Susantyo, Perbedaan Perilaku Agresif Remaja Di Permukiman Kumuh | 27
mendapati bahwa tingkat kerentanan
masyarakat di permukiman kumuh tergolong
sangat tinggi disebabkan oleh keadaan aset
keuangan (ketidakpastian penghasilan) dan
sumber insani (ketidakpastian mata
pencaharian) Temuan Lestari (2006) ini turut
menyokong tesis Izutsu, dkk., (2006) bahwa
memang terjadi perbedaan dalam kualitas hidup,
kesehatan mental disamping status nutrisi
diantara orang-orang yang tinggal di kawasan
permukiman kumuh dan yang tidak kumuh di
perkotaan. Dan perjalanan proses stres ini
akhirnya menjadi kelas tersendiri, sebagai
municipal colony (Björkman, 2014)
Hasil uji statistik Krsukal Wallis ini sekaligus
mengkonfirmasi bahwa ada perbedaan yang
siginifikan terhadap tingkat agresivitas perilaku
antara remaja yang tinggal di permukiman
kumuh yang berbeda. Hal demikian bisa juga
diterjemahkan bahwa, semakin kumuh
lingkungan, semakin tinggi tingkat agresivitas
perilaku yang dimunculkan oleh para remajanya.
Studi ini sekaligus menegaskan temuan
Susantyo (2016) tentang faktor-faktor
determinan penyebab perilaku agresif, dan
lingkungan sekitar (secara fisik dan sosial)
memiliki andil yang besar dalam pembentukan
perilaku agresif individunya.
Dengan demikian, studi perilaku agresif remaja
yang tinggal di kawasan permukiman kumuh di
Kota Bandung ini turut melengkapi dan
menyokong studi-studi sebelumnya. Studi ini
telah menemukan perbedaan yang signifikan
dalam kadar perilaku agresif remaja yang tinggal
wilayah dengan tingkat kekumuhan yang
berbeda. Dengan demikian, reduksi perilaku
agresif dalam hal ini boleh jadi bisa diterapkan
sekaligus melalui penataan permukiman, yaitu,
penataan permukiman yang berlandaskan pada
proses, dan bukan pada hasil semata. Penataan
permukiman model ini, biasanya melibatkan
partisipasi masyarakat dalam penerpannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Natakun
(2015), dan tidak kalah pentingnya adalah
bahwa dalam penataan permukiman kumuh ini
memerlukan regulasi dukungan kebijakan
sebagai payung hukumnya (Crawford,
Fernandes & Jacobs, 2015).
KESIMPULAN
Hasil studi menunjukkan bahwa; remaja yang
tinggal di permukiman sangat kumuh (kumuh
level 3) secara relatif cenderung untuk
menampilkan perilaku dengan kadar agresif
yang lebih tinggi, dibanding remaja yang tinggal
wilayah dengan level kekumuhan lainnya
(kumuh dan agak kumuh). Hasil uji beda
(menggunakan rank) menunjukkan bahwa
memang ada perbedaan perilaku agresif
diantara remaja yang tinggal di 3 (tiga)
lingkungan permukiman kumuh yang berbeda,
yaitu di lokasi level 1 (Kelurahan Ancol), level 2
(Kelurahan Cigereleng) dan level 3 (Kelurahan
Ciseureuh) Kecamatan Regol. Hasil uji Kurskal
Wallis juga menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan terhadap perilaku
agresif remaja yang tinggal di ketiga lokasi studi.
Dengan kata lain, tingkat agresivitas remaja
yang tinggal di permukiman kumuh level 1, 2 dan
3 juga berbeda.
SARAN
Penataan permukiman merupakan solusi
strategis dan urgen terkait dengan permukiman
kumuh ini. Namun demikian, sebelum
dilakukannya penataan permukiman, penting
untuk memahami karakterisktik individu yang
menempati permukiman ini pada masing-masing
level kekumuhan. Pemahaman ini menjadi
langkah strategis untuk penerapan program/
intervensi lainnya, termasuk intervensi sosial.
Dalam penataan permukiman, proses penataan
harus menjadi bagian dari strategi untuk
mereduksi perilaku agresif para penghuninya
(khususnya remajanya). Dalam proses penataan
ini, pelibatan aktif warga khususnya remaja
menjadi krusial untuk mempertahankan
perubahan yang akan dituju. Penataan
permukiman dalam bentuk “Kampung Kreatif”
yang telah diadopsi oleh beberapa kota besar
(seperti Semarang dengan Kampung Pelangi)
layak untuk diadopsikan. Dan kebijakan
penataan ini perlu payung hukum yang mengikat
para pengambil kebijakan setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1977) Social learning theory, New
Jersey: Prentice – Hall, Inc.
Bjorkman, L. (2014) Becoming a Slum: From
Municipal Colony to Illegal Settlement in
Liberalization-Era Mumbai. International
Journal of Urban and Regional Research.
38.(1) 36–59
Buss, A. H., & Perry, M. (1992) The aggression
questionnaire. Journal of Personality &
Social Psychology, 63, 452-459.
Crawford, C., Fernandes, E. & Jacobs, B. (2015)
Shantytowns, Slums And Sustainable
Construction: Law And Policy
Considerations. Int. Journal For Housing
Science. 39 (1) 3-14.
Dill, K.E. & Dill. J.C. (1998) Video game violence:
A review of the empirical literature.
Aggression and Violent Behavior, 3 (4),
407–428.
8. 28 | CR Journal | Vol. 04 No. 01 Juni 2018 | 21 - 28
Fryer, G. E. Jr. & Miyoshi , T.J. (1996) The role
of the environment in the etiology of child
maltreatment. Aggression and Violent
Behavior, I (4), 317-326.
Izutsu, T., Tsutsumi, A., Islam, A.Md., Kato,
S.W., Susumu & Kurita, H. (2006) . Mental
health, quality of life, and nutritional status
of adolescents in Dhaka, Bangladesh:
Comparison between an urban slum and a
non-slum area. Social Science & Medicine,
63, 1477–1488.
Hall & Lindzey.(1993) Psikologi kepribadian.
Jakarta: Rajawali Pers.
Koswara, E. (1988) Agresi manusia. Bandung:
PT. Eresco.
Lestari, F. (2006) Identifikasi tingkat kerentanan
masyarakat permukiman kumuh perkotaan
melalui pendekatan sustainable urban
livelihood (SUL): Studi kasus : Kelurahan
Tamansari, Bandung. Retrived May 11,
2015 from http://kk.pl.itb.ac.id/ppk.
Lestari, B. (2003) Hubungan antara stres
lingkungan dengan perilaku coping. Suatu
studi pada masyarakat di salah satu RW,
Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora,
Jakarta Barat. Jakarta: Universitas
Tarumanegara.
Levy-Warren, M. (1996) The Adolescent journey:
Development, identity formation and
psychoterapy. New Jersey: Jason Aronson
Inc.
Natakun, B. (2015) Community-based
Development and Participatory Slum
Upgrading: Practices and Challenges. The
International Journal of Architectonic,
Spatial, and Environmental Design. 9, (1)
16-27.
Sulistyani, N., Faturochman & As'ad, M. (1993)
Agresivitas warga pemukiman padat dan
bising di Kotamadya Bandung. Jurnal
Psikologi. Universitas Gadjah Mada, 2, 11-
19.
Sulistyawati (2007) Arsitektur dan permukiman
kelompok sosial terpinggirkan di Kota
Denpasar: Perspektif kebudayaan
kemiskinan. Universitas Udayana, Bali.
Jurnal Permukiman Natah, 5 (2), 62 – 108.
Susantyo, B. (2016) Faktor-Faktor Determinan
Penyebab Perilaku Agresif Remaja Di
Permukiman Kumuh Di Kota Bandung.
Jurnal Sosiokonsepsia. 6 (1), 001-018.
Susantyo, B. (2017) Lingkungan dan Perilaku
Agresif Individu. Jurnal Sosio Informa. 3
(01), 15-25.
Susantyo, B. (2011) Memahami Perilaku Agresif:
Sebuah Tinjauan Konseptual. Jurnal
Informasi. 16 (03), 189-202.