1. Penelitian menunjukkan bahwa 46,67% peserta Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan perokok, termasuk 6,67% istri peserta.
2. Konsumsi rokok mengalihkan pengeluaran keluarga dari kebutuhan pokok seperti pangan dan kesehatan.
3. Perilaku merokok perlu diatur dalam PKH untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan dan perubahan perilaku peserta.
Perencanaan Pembangunan Desa berbasis akuntabel.pptx
Konsumsi rokok peserta pkh
1. Policy brief
KONSUMSI ROKOK
DI KALANGAN KELUARGA MISKIN
KASUS PADA KELUARGA PENERIMA MANFAAT
PROGRAM KELUARGA HARAPAN1
Oleh :
Badrun. Susantyo
onsumsi rokok di kalangan
penerima manfaat Program
Keluarga Harapan (PKH)
tergolong tinggi. Ironisnya, konsumsi rokok
itu telah menggeser konsumsi keluarga
lainnya, khususnya untuk pangan,
pendidikan, pakaian, dan kesehatan.
ermasalahan lain yang perlu diperhitungkan
adalah dampak langsung merokok, yang
dapat merugikan kesehatan perokok dan
orang-orang di sekitarnya. Hal demikian
bisa menurunkan produktivitas bahkan
menyebabkan kematian prematur pencari
nafkah. Semua itu akan menambah beban
berat bagi masyarakat miskin dengan kepala
keluarga perokok.
Hasil penelitian Nainggolan, Susantyo,
Suyanto dan Sitepu (2016), menyebutkan
sebanyak 46,67 persen responden
menyatakan bahwa beberapa di antara
anggota keluarga mereka (suami, anak
bahkan istri) adalah perokok. Penelitian ini
dilakukan di Kabupaten Pesisir Selatan
(Sumatera Barat), Kupang (Nusa Tenggara
Timur) dan Kota Gorontalo, dengan
melibatkan 180 responden. Penelitian
dilakukan dengan metode kombinasi,
1
Diambil dari hasil penelitian tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan melalui Program Keluarga
Harapan. Peneliti: Togiaratua Nainggolan, Badrun Susantyo, Suyanto dan Hemat Sitepu.
kuantitatif yang ditopang dengan metode
kualitatif, melalui wawancara mendalam.
Konsumsi rokok di kalangan keluarga
miskin ini tentunya akan berpengaruh pada
pola pengeluaran rumah tangganya. Dari
temuan penelitian tersebut diperoleh data
lain yang lebih mencengangkan. Ternyata,
dari 46,67 persen responden perokok,
sebanyak 6,67 persen adalah para istri,
penerima manfaat PKH. Hal demikian
menjadi tanda tanya besar terkait prasyarat
perubahan perilaku penerima manfaat
dalam penyelenggaraan PKH, khususnya
perubahan perilaku untuk mengurangi atau
bahkan menghentikan konsumsi rokok.
Informasi lain dari hasil penelitian
Nainggolan, Susantyo, Suyanto dan Sitepu
(2016) tersebut adalah bahwa alokasi
pengeluaran tambahan untuk rokok oleh
keluarga miskin peserta PKH cukup
bervariasi. Pengeluaran untuk konsumsi
rokok berkisar antara Rp300 ribu sampai
dengan Rp500 ribu per bulan, atau
K
6,67 % perokok adalah
para istri merokok
2. setidaknya menghabiskan satu bungkus
rokok sehari. Sementara itu, pengeluaran
rumah tangga per bulannya mencapai Rp1
juta sampai Rp1,5 juta. Dari sini terlihat
bahwa proporsi pengeluaran untuk
konsumsi rokok terhadap pengeluaran
rumah tangga secara keseluruhan relatif
besar.
PERMASALAHAN
Pedoman operasional PKH
menjelaskan bahwa program ini merupakan
salah satu strategi penanggulangan
kemiskinan yang dirancang untuk
membantu keluarga sangat miskin pada sisi
beban pengeluaran. Khususnya, terkait
upaya peningkatan sumber daya manusia
jangka pendek, dan memperbaiki pola pikir
serta perilaku yang dapat memutus rantai
kemiskinan. Hal demikian memiliki tiga
aspek penting, yaitu (1) PKH sebagai strategi
penanggulangan kemiskinan; (2)
peningkatan sumber daya manusia, dan (3)
perbaikan pola pikir dan perilaku. Dengan
temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
kondisi peserta yang 46,67 persen
menyatakan merokok menjadi kontra
produktif dengan tujuan program.
Kemenkes RI (2016) lebih lanjut
menjelaskan bahwa kebiasaan merokok
merupakan salah satu faktor risiko
munculnya penyakit tidak menular, seperti
jantung, stroke, diabetes, ginjal, hingga
kanker. Sejumlah penyakit tersebut ternyata
menempati urutan teratas daftar penyakit
yang banyak dibiayai dari dana yang
dikelola Badan Jaminan Kesejahteraan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Data klaim Indonesian-Case
Based Groups (INA-CBGs) sampai dengan
pembayaran bulan Januari 2016, penyakit
jantung paling banyak membutuhkan biaya
pengobatan, sebesar Rp6,9 triliun, disusul
penyakit kanker Rp1,8 triliun, stroke Rp1,5
triliun, ginjal Rp1,5 triliun, dan diabetes
Rp1,2 triliun. Porsi anggaran untuk biaya
pengobatan ini, khususnya diperuntukkan
bagi penanganan penyakit pasien yang
terdaftar dalam Penerima Bantuan Iuran
(PBI) melalui Kartu Indonesia Sehat, atau
program sejenisnya.
Secara jelas Menteri Kesehatan RI
(2014) menegaskan bahwa, jika perilaku
merokok tidak dihentikan, maka Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa
bangkrut. "Banyak dana yang harus
dikeluarkan untuk pengobatan pasien yang
terserang penyakit akibat merokok. Ini bisa
membangkrutkan BPJS.” Berdasarkan
gambaran tersebut, jika perubahan perilaku
menjadi bagian dari tujuan PKH, maka
penambahan prasyarat “tidak merokok”
harus menjadi bagian desain Program
Keluarga Harapan (PKH).
Berdasarkan temuan dalam penelitian
ini juga diperoleh informasi bahwa sebagai
keluarga penerima manfaat PKH, responden
mengakui dengan terus terang manfaat
PKH. Mayoritas responden (83,3 persen)
menyatakan bahwa kesejahteraannya
meningkat setelah mengikuti PKH sejak
tahun 2007, dibandingkan kondisi
sebelumnya. Sementara itu, 10 persen
responden mengeluhkan tidak ada
perubahan kesejahteraan. Bahkan, sebanyak
6,7 persen responden mengungkapkan
bahwa kondisi kesejahteraan mereka
semakin menurun.
46,67 % peserta PKH,
merokok
3. Hasil penelusuran pada dua kelompok
terakhir yang menyatakan kesejahteraannya
tidak meningkat, atau bahkan menurun ini,
karena ada perokok di antara anggota
keluarga mereka. Sebagaimana informasi
dari tetangga dan pengurus RT setempat
“...itu suami-suami dalam empat keluarga
itu perokok berat pak. Bahkan satu sudah
sakit paru-paru berat”.
Karena itu, perilaku dan konsumsi
merokok di kalangan warga miskin peserta
PKH ini perlu mendapatkan perhatian
serius. Salah satunya adalah
mempertimbangkan kebijakan yang
menyentuh langsung perilaku merokok bagi
para peserta program. Jika hal demikian
tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin
perilaku kontra produktif ini akan merembet
kepada peserta PKH yang lain.
REKOMENDASI
a. Pastikan sasaran intervensi paralel
dengan unit sasaran program.
Semestinya, unit sasaran intervensi PKH
adalah keluarga sangat miskin secara
utuh, tidak terbatas pada ibu dan anak.
Temuan di lapangan menunjukkan
banyaknya kaum suami yang tidak
memahami dengan baik substansi PKH.
Oleh karenanya, program ini juga perlu
aktif melibatkan para suami peserta
PKH.
b. Menjadikan perubahan perilaku
produktif sebagai bagian prasyarat
peserta PKH. Misalnya, peserta PKH
tidak diperbolehkan merokok.
PUSTAKA RUJUKAN
Kemenkes RI. (2016). Penyakit Terkait Rokok
Paling Banyak Sedot Dana BPJS . dalam
http:// health. kompas. com/read
/2016/07/30/ 080000723/Penyakit.
Terkait. Rokok. Paling. Banyak.Sedot.
Dana.BPJS (akses 15 Agustus 2016)
Menkes RI. (2014). Perokok Bisa Bikin
Bangkrut BPJS (Senin, 18 Agustus 2014
/ 16:41 WIB http:// nasional.
kontan.co.id /news/ menkes-perokok
-bisa-bikin-bangkrut-bpjs, (akses 15
Agustus 2016).
Nainggolan, T. Susantyo, B., Suyanto &
Sitepu, H. (2017). Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan melalui
Program Keluarga Harapan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial.
PUSAT PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN
SOSIAL, KEMENTERIAN SOSIAL RI