1. 1
TUTURAN ANAK-ANAK TUNAGRAHITA RINGAN: KAJIAN
SINTAKTIKOPRAGMATIK
Oleh: Dr. Astuty, M.pd.
Universitas Tidar
Email: astuty64@gmail.com
ABSTRAK
Astuty. 2019. Tuturan Anak-Anak Tunagrahita Ringan: Kajian sintaktikopragmatik
Penelitian tuturan anak-anak tunagrahita ringan dari aspek sitaksis dan
pragmatik belum banyak dilakukan. Penelitian tuturan anak-anak tunagrahita
ringan lebih banyak dilakukan dari aspek fonologi. Hal tersebut mendorong
peneliti untuk melakukan penelitian ini. Anak-anak tunagrahita ringan meskipun
mengalami berbagai keterbatasan, masih dikaterorikan sebagai anak mampu didik
yang dapat dididik menjadi tenaga semi-skilled. Untuk menjadi tenaga semi-
skilled tersebut, dibutuhkan keterampilan berbahasa yang baik dan santun. Tujuan
penelitian ini secara sintaktis untuk menemukan struktur kalimat, jenis kalimat,
dan rerata panjang ujaran serta secara pragmatis untuk menemukan jenis tuturan
dan kesantunan tuturan yang dapat dimaksimalkan dalam tuturan anak-anak
tunagrahita ringan. Penelitian ini merupakan penelitiaan kualitatif dengan metode
cross-section. Subjek penelitian sejumlah 13 anak-anak tunagrahita ringan. Data
penelitian berupa penggalan cerita dan penggalan percakapan yang diambil
dengan teknik rekam, catat, simak bebas libat cakap, dan simak libat cakap
selama kurang lebih tiga bulan. Teknik analisis data menggunakan teknik agih
dan padan pragmatik. Temuan penelitian ini, secara sintaktik ditemukan tuturan
dengan struktur kalimat S-P, S-P-Ket, Ket-S-P-Ket, Ket-S-P, Ket-S-Ket-P, S-Ket-
P, Ket-S-P-Pel; S-P-Pel; jenis kalimat yang ditemukan adalah kalimat tunggal;
dan RPU 6,94. Secara pragmatis ditemukan jenis tuturan (1) konstatif, (2)
lokusioner, (3) representatif, direktif, ekspresif, (4) langsung, dan (5) harfiah;
pematuhan kesantunan bidal ketimbangrasaan, kesetujuan, dan kemurahhatian
serta pelanggaran kesantunan bidal ketimbangrasaan, keperkenanan,
kerendahhatian, dan kesimpatian. Untuk meminimalisasi pelanggaran
kesantunan disarankan penelitian dengan subjek penelitian yang lebih sedikit
dengan kurun waktu yang lebih lama.
Kata kunci: tuturan, tunagrahita, sintaktikopragmatik
A. PENDAHULUAN
Humaera (2012) mengatakan bahwa di Indonesia jumlah penduduk yang
mengalami tunagrahita sekitar 1-3%. Persentase tersebut terdiri atas 85%
menderita tunagrahita ringan, 10% menderita tunagrahita sedang, 4% menderita
tunagrahita berat, dan 1-2% menderita tunagrahita sangat berat. Berdasarkan
2. 2
laporan tersebut, diketahui bahwa anak-anak tunagrahita ringan paling banyak
jumlahnya.
Pada dasarnya anak-anak tunagrahita ringan memperoleh keterampilan
berbahasa melalui cara yang sama dengan anak-anak normal, hanya kecepatan
anak-anak tunagrahita ringan dalam memperoleh keterampilan berbahasa lebih
rendah. Pemerolehan bahasa pada anak-anak tunagrahita ringan biasanya berhenti
pada masa pubertas, yaitu kurang lebih usia 15 tahun. Kesulitan utama anak-anak
tunagrahita ringan dalam mengembangkan bahasanya adalah terkait dengan
pemerolehan kaidah tata bahasa dan kosakata, penggunaan dan pemahaman
sintaksis, serta ketidakmampuan menggunakan bahasa secara benar (Kartadinata,
1996:54).
Selain memiliki kemampuan linguistis, dalam berkomunikasi anak-anak
tunagrahita ringan sebagaimana anak-anak normal tanpa disadari juga memiliki
kemampuan pragmatis. Sebagaimana dinyatakan Searle (1969:16) bahwa unit
komunikasi bahasa bukan hanya simbol, kata atau kalimat, atau bahkan tanda,
tetapi lebih merupakan pengeluaran simbol, kata, atau kalimat dalam performasi
tindak tutur. Menurut Mey (1993) secara pragmatik, anak-anak belajar
menggunakan bahasa secara efektif sesuai dengan konteks sosialnya. Dalam
percakapan normal, partisipan harus saling berbagi giliran, berada dalam topik
pembicaraan yang sama.
Meskipun mengalami berbagai keterbatasan, anak-anak tunagrahita ringan
masih dikategorikan sebagai anak-anak mampu didik yang dapat dididik menjadi
tenaga semi-skilled seperti pekerjaan laundri, pertanian, peternakan, pekerjaan
rumah tangga (Ricardson, 1989). Untuk menjadi tenaga semi-skilled tersebut,
anak-anak tunagrahita ringan membutuhkan keterampilan berbahasa yang baik
dan santun. Hal tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan bagi anak-anak
tunagrahita ringan, yaitu untuk mengembangkan potensi yang masih dimiliki
secara optimal agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan tempat mereka berada (Depdiknas 2003:23).
Atas dasar hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan
aspek sintaktik dan pragmatik dalam tuturan anak-anak tunagrahita ringan yang
3. 3
masih dapat dimaksimalkan perkembangannya. Secara sintaktis, tuturan anak-
anak tunagrahita ringan diteliti dari sudut struktur kalimatnya, jenis kalimatnya,
dan rerata panjang unjarannya (RPU). Sementara itu, secara pragmatis diteliti dari
sudut jenis tuturannya dan kesantunannya.
Struktur kalimat dasar, menurut pendapat Badudu (1975:32), Alwi et al
(2000:321), dan Sugiono (2009:112) terdiri atas delapan struktur. Kedelapan
struktur kalimat tersebut meliputi (1) S-P, (2) S-P-O, (3) S-P-Pel, (4) S-P-Ket,
(5) S-P-O-Pel, (6) S-P-O-Ket, (7) Ket-S-P-O-Pel, dan (8) S-P-O-Pel-Ket.
Sementara itu, jenis kalimat berdasarkan jumlah klausanya. Menurut (Alwi et al
2000: 338) terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Untuk mengukur
perkembangan sintaksis anak-anak tunagrahita ringan, digunakan teori Brown
(dalam Dardjowidjoyo 2000:40) tentang Mean Length of Utterance (MLU). RPU
anak-anak normal dihitung dengan menjumlahkan banyaknya morfem dalam
ujaran dibagi dengan jumlah ujaran tersebut. Untuk menghitung RPU umumnya
dipakai sebanyak 100 ujaran. Untuk menghitung RPU anak-anak tunagrahita
ringan tidak menggunakan patokan 100 ujaran, namun dikonversi menjadi 10
ujaran dengan alasan jumlah ujarannya sangat terbatas.
Jenis tuturan menurut Austin (1962) dalam bukunya How to Do Things
with Words membedakan tuturan deklaratif menjadi dua, yaitu tuturan konstatif
dan tuturan performatif. Gunarwan (1994:45) menyebutkan bahwa berkenaan
dengan tuturan ada tiga jenis tindakan yang hendaknya mendapatkan perhatian.
Ketiga jenis tindakan tersebut, yaitu (1) tindak lokusioner (locutionary act), (2)
tindak ilokusioner (ilocutionary act), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary
act). Searle (1969) mengelompokkan menjadi lima jenis tuturan, yaitu tuturan
representatitif/asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Sementara itu
Rustono (2000:71) merangkum berbagai pendapat para ahli berkait dengan jenis
tuturan menjadi lima kategori, yaitu tuturan (1) konstatif dan performatif, (2)
lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner, (3) representatif, direktif, ekspresif,
komisif, dan deklarasi, (4) langsung, tidak langsung, dan (5) harfiah, tidak
harfiah. Kelima kategori itulah yang digunakan untuk menemukan jenis tuturan
anak-anak tunagrahita ringan.
4. 4
Berkait dengan penelitian kesantunan dalam tuturan anak-anak tunagrahita
ringan menggunakan teori Leech (1983:132). Menurutnya, salah satu tujuan
orang melakukan komunikasi (verbal) adalah mengembangkan, mempertahankan
atau membina, dan meningkatkan hubungan pribadi dan sosial yang baik dengan
orang lain. Untuk mencapai tujuan tersebut. Leech (1983:132) mengusulkan
serangkaian ’prinsip’ kesatuan (politeness principles) yang dirinci di dalam
serangkaian bidal (maxims). Bidal-bidal dalam kesantunan tersebut meliputi (1)
bidal ketimbangrasaan, (2) bidal kemurahhatian, (3) bidal keperkenanan, (4) bidal
kerendahhatian, (5) bidal kesetujuan, dan (6) bidal kesimpatian.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode cross-
section selama kurang lebih tiga bulan, dengan tahapan pengumpulan data,
penyaringan, pemerian, dan penarikan simpulan. Subjek penelitian yang diambil
adalah beberapa anak yang memenuhi kriteria penelitian. Latar penelitian ini
yaitu SLB Negeri Ungaran dan SLB Negeri Semarang. Kedua SLB Negeri
tersebut memiliki siswa dengan jumlah ideal. Berdasarkan ketentuan dari BSNP,
jumlah ideal siswa ATMR dalam satu kelas adalah antara 5 sampai 7 siswa.
Data penelitian ini berupa penggalan cerita dan penggalan percakapan
yang dituturkan anak-anak tunagrahita ringan saat mengikuti proses belajar-
mengajar untuk Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Sumber data penelitian berupa
cerita dan percakapan anak-anak tunagrahita ringan di kelas 5 pada SLB Negeri
Ungaran sebanyak 6 orang dan SLB Negeri Semarang sebanyak 7 orang. Dalam
pengumpulan data digunakan metode simak dengan teknik rekam, catat, simak
bebas libat cakap (SBLC), dan simak libat cakap (SLC). Pada tahap penyaringan,
tuturan ditranskripsikan dengan memilih unsur yang relevan saja. Pada tahap
pemerian, data dipaparkan dengan mengelompokkannya sesuai variabel
penelitian, yaitu berdasarkan aspek sintaktik menggunakan teknik agih dan aspek
pragmatik menggunakan teknik padan pragmatik (Sudaryanto 2015: 203-205).
Pada tahap penarikan simpulan, dilakukan interpretasi data dikaitkan dengan
konteks dan teori.
5. 5
C. HASIL PENELITIAN
1. Analisis Sintaktis
a. Struktur Kalimat Dasar
Struktur kalimat dasar dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan
delapan struktur, yakni (1) S-P, (2) S-P-O, (3) S-P-Pel, (4) S-P-Ket, (5) S-P-O-
Pel, (6) S-P-O-Ket, (7) Ket-S-P-O-Pel, dan (8) S-P-O-Pel-Ket. Atas dasar data
penelitian, tidak semua struktur kalimat dasar ditemukan dalam tuturan anak-
anak tunagrahita ringan. Struktur kalimat lain di luar 8 struktur kalimat dasar
justu ditemukan. Kalimat tidak berstruktur banyak ditemukan dalam tuturannya.
Dari 231 tuturan yang menjadi data penelitian, ditemukan 189 tuturan yang tidak
berstruktur karena tidak bersubjek, susunan kata kacau sehingga maksud tuturan
tidak jelas, dan hanya berupa frasa. Tuturan yang berstruktur terdiri atas 42
kalimat dengan struktur kalimat dasar S-P, S-P-Ket, dan S-P-Pel. Selain struktur
kalimat dasar tersebut, juga ditemukan struktur lain, yaitu kalimat dengan
struktur Ket-S-P-Ket, Ket-S-P, S-Ket-P, dan Ket-S-P-Pel. Untuk
mempermudah mencermati hasil temuan disajikan dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Struktur Kalimat dalam Tuturan Anak-Anak Tunagrahita Ringan
Struktur Kalimat
Struktur Kalimat Dasar Struktur Lain
S-P Ket-S-P-Ket
S-P-Ket Ket-S-P
S-P-Pel S-Ket-P
Ket-S-P-Pel
Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa struktur kalimat dalam
tuturan anak-anak tunagrahita ringan sangat terbatas. Selain itu, struktur kalimat
dalam tuturannya juga kurang bervariasi. Struktur kalimat yang ditemukan banyak
6. 6
berpola S-P dengan letak Keterangan (Ket) bervariasi. Kondisi anak-anak
tunangrahita ringan tersebut dalam memproduksi kalimat berdasarkan struktur
kalimat dapat dikatakan banyak mengalami defisit. Fungsi Objek dalam kalimat
yang dituturkan tidak ditemukan. Apabila disandingkan dengan kemampuan Echa
dalam penelitian Dardjowidjojo (2010), Echa dapat memproduksi kalimat
berstruktur S-P-Pel ketika berusia 3;0 tahun. Kalimat tersebut antara lain Panelan
itu dikutuk sama nenek sihil maksudnya Pangeran itu dikutuk sama nenek sihir
(Dardjowidjojo 2010: 203). Demikian juga kalimat berstruktur S-P-O juga
ditemukan dalam tuturan Echa pada saat berusia 3;0 tahun.
b. Jenis Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausanya
Menurut Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia (2000:337), berdasarkan
jumlah klausanya, kalimat dibagi menjadi dua, yaitu (1) kalimat tunggal dan (2)
kalimat majemuk. Kalimat majemuk terdiri atas (1) kalimat majemuk setara dan
(2) kalimat majemuk bertingkat. Berdasarkan data penelitian, dalam tuturan anak-
anak tunagrahita ringan hanya ditemukan “kalimat tunggal”. Kalimat majemuk
setara yang ditemukan dikategorikan sebagai data outlyer karena hanya ditemukan
pada satu subjek penelitian, sehingga tidak mewakili kompetensi anak-anak
tunagrahita ringan. Sementara itu, kalimat majemuk bertingkat tidak ditemukan
dalam tuturannya. Secara rinci temuan berkait dengan jenis kalimat disajikan
dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2
Jenis Kalimat dalam Tuturan Anak-Anak Tunagrahita Ringan
Jenis Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausa Jumlah
1. Kalimat tunggal 40
2. Kalimat majemuk setara 2 (outlyer)
3. Kalimat majemuk bertingkat 0
4. Bukan kalimat 189
7. 7
Atas dasar Tabel 2 dapat dikatakan bahwa kalimat yang ditemukan dalam
tuturannya berupa kalimat pendek dan sederhana. Berdasarkan kelengkapan
unsurnya, justru didominasi kalimat taklengkap. Tuturan anak-anak tunagrahita
ringan didominasi tuturan pendek-pendek yang mayoritas berupa frasa dan
deretan kata yang kacau susunannya sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai
kalimat. Berdasarkan penelitian Dardjowidjojo (2000:204-218), Echa sudah dapat
memproduksi kalimat majemuk setara ketika berumur 3;0 tahun. Pada saat berusia
4;0 tahun, Echa sudah dapat memproduksi kalimat majemuk bertingkat (1) syarat,
(2) waktu, (3) penyebaban, (4) tujuan, (5) faktif, dan (6) atributif.
Apabila disandingkan dengan hasil penelitian Brown (1973), anak-anak
Inggris dapat memproduksi kalimat majemuk koordinatif dengan and ketika
berumur 3:0–3;5 tahun. Kalimat majemuk penyebaban dengan because diproduksi
ketika berumur 3;0–3;5 tahun. Kalimat majemuk syarat if, diproduksi ketika
berumur 4;5 tahun. Sementara itu, kalimat majemuk kompon-komplek dengan
because dan when/but/so diproduksi ketika berumur 5;0 tahun.
C. Rerata Panjang Ujaran (RPU)
Untuk mengukur rerata panjang ujaran (RPU) dalam penelitian ini
mengacu pada pendapat Dardjowidjoyo (2000:40) bahwa RPU dihitung
berdasarkan jumlah morfem dalam ujaran, kemudian dibagi dengan jumlah ujaran
tersebut. Umumnya dipakai sebanyak 100 ujaran. Dari jumlah tersebut dihitung
jumlah morfemnya. Hasilnya dibagi dengan 100. Ada beberapa rambu untuk
menghitung morfem dalam ujaran tersebut, yaitu komponen seperti “ketera api”,
nama diri seperti “Abdul Majid” dihitung satu morfem karena satu makna. Selain
hal tersebut, afiks dihitung satu morfem.
Penghitungan RPU anak-anak tunagrahita ringan dalam penelitian ini tidak
menggunakan patokan 100 ujaran, tetapi menggunakan patokan 10 ujaran.
Konversi itu dilakukan karena keterbatasan jumlah ujaran yang diproduksi anak-
anak tunagrahita ringan. Penghitungan RPU dari 13 sumber data penelitian hanya
11 sumber data penelitian yang dapat dihitung RPU-nya. Dua diantaranya tidak
dapat dihitung karena kurang dari 10 ujaran. Ada pun rata-rata RPU anak-anak
8. 8
tunagrahita ringan adalah 6,94. Secara rinci RPU anak-anak tunagrahita ringan
yang menjadi subjek penelitian disajikan pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Rerata Panjang Ujaran Anak-Anak Tunagrahita Ringan
Kode Subjek
Penelitian
Jumlah Ujaran Jumlah morfem RPU
1 10 99 9,9
2 10 86 8,6
3 10 90 9,0
4 10 78 7,8
5 10 63 6,3
6 10 61 6,1
7 10 86 8,6
8 10 75 7,5
9 10 43 4,3
10 4 - -
11 10 35 3,5
12 10 48 4,8
13 8 - -
Rata-rata 6,94
Berdasarkan Tabel 3 tampak bahwa rata-rata RPU anak-anak tunagrahita
ringan adalah 6,94. Bila disandingkan dengan PRU Echa ketika berumur 4,3
tahun, yaitu 7,8 (Dardjowidjojo 2000:239). Atas hasil temuan tersebut dapat
dikatakan bahwa RPU anak-anak tunagrahita ringan mengalami defisit.
Rendahnya RPU anak-anak tunagrahita ringan kelas 5 dibandingkan dengan RPU
9. 9
Echa ketika berumur 5 tahun karena dalam tuturan anak-anak tunagrahita ringan
tidak ditemukan kalimat majemuk setara maupun bertingkat. Sementara itu, Echa
sejak berumur 4;3 sudah produktif dalam memproduksi kalimat majemuk
bertingkat.
2. ANALISIS PRAGMATIK
a. Jenis Tuturan
Berkait dengan jenis tuturan, hasil temuan atas data penelitian adalah
tuturan (1) konstantif, (2) lokusioner, (3) representatif, direktif, dan ekspresi,
(4) langsung, dan (5) harfiah. Jenis tuturan yang ditemukan semuanya bermakna
sebenarnya. Hal tersebut dikarenakan anak-anak tunagrahita ringan mengalami
kesulitan untuk dapat berfikir abstrak. Belajar apapun harus terkait dengan objek
yang konkrit. Kondisi seperti itu ada hubungannya dengan kelemahan ingatan
jangka pendek, kelemahan dalam bernalar, dan sukar sekali dalam
mengembangkan ide. Secara rinci disajikan dalam Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4
Jenis Tuturan dalam Tuturan ATMR Berdasarkan
Kemampuan Aktual dan Potensial
Kategori Jenis Tuturan
1 konstatif
2 lokusi
3 representatif, direktif, ekspresif
4 langsung
5 harfiah
Berkait dengan kemampuan berpikir abstrak, Brandone et al (2000)
menyatakan bahwa anak-anak normal mulai memproduksi bahasa bermakna
simbolik ketika berumur 7 tahun. Sementara itu kata-kata abstrak dikuasai anak-
anak normal sejak berumur 9 tahun. Kondisi yang dialami anak-anak tunagrahita
ringan berkait kemampuan berpikir abstrak yang mengalami defisit oleh
Winnepenninckx et al (2003) dikatakan sebagai karakteristik umum anak
tunagrahita ringan akibat rendahnya intelegensi. Kapasitas belajar anak-anak
10. 10
tunagrahita ringan yang bersifat abstrak sangat terbatas. Kemampuan belajarnya
cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
Kondisi yang dialami anak-anak terbelakang mental ringan tersebut,
Apriyanto (2012:50) mengemukakan bahwa dalam memberikan pembelajaran
kepada anak-anak tunagrahita ringan perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: (1)
bahan yang diajarkan perlu dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan ditata
secara berurutan, (2) setiap bagian dari bahan ajar diajarkan satu demi satu dan
dilakukan secara berulang-ulang, (3) kegiatan belajar hendaknya dilakukan dalam
situsi yang kongkrit, (4) diberikan dorongan atau motivasi untuk melakukan apa
yang sedang ia pelajari, (5) menciptakan suasana belajar yang menyenangkan
dengan menghindari kegiatan belajar yang terlalu formal, dan (6) menggunakan
alat peraga dalam mengkongkritkan konsep yang bersifat abstrak.
2. Kesantunan
Berdasarkan data penelitian, dalam tuturan anak-anak tunagrahita ringan
ditemukan tuturan yang mematuhi prinsip-prinsip kesantunan dan tuturan yang
melanggar prinsip-prinsip kesantunan. Pematuhan kesantunan yang ditemukan
adalah pematuhan kesantunan bidal ketimbangrasaan, kesetujuan, dan
kesimpatian. Sementara itu, pelanggaran kesantunan yang ditemukan adalah
pelanggaran kesantunan bidal ketimbangrasaan, keperkenanan,
kerendahhatian, dan kesimpatian. Secara rinci disajikan dalam tabel 5 berikut
ini.
Tabel 5
Kesantunan Tuturan Anak-Anak Tunagrahita Ringan
Pematuhan/Pelanggaran
Kesantunan
Bidal Kesantunan
Pematuhan Ketimbangrasaan, kesetujuan, kemurahhatian
Pelanggaran Ketimbangrasaan, keperkenanan, kerendahhatian,
kesimpatian
Berdasarkan tabel 5 tampak bahwa dalam tuturan anank-anak tunagrahita
ringan banyak ditemukan tuturan yang melanggar kesantunan. Berkait dengan
11. 11
pelanggaran skala kesantunan, Somantri (2007: 105) mengatakan bahwa
rendahnya IQ anak-anak tunagrahita ringan berdampak pada kurang mampunya
mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta
membedakan yang benar dan yang salah. Winnepenninckx et al (2003)
menyatakan kalau anak-anak tunagrahita ringan mudah dipengaruhi dan
cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. Hal itulah yang
menyebabkan kesantunan anak-anak tunagrahita ringan mengalami defisit.
Berkait dengan pelanggaran kesantunan dalam tuturan Anak-Anak tunagrahita
ringan, peneliti lain dapat melakukan penelitian dengan teknik probing question
dengan jangka waktu yang lebih lama karena menyangkut perubahan perilaku.
D. SIMPULAN
Sejalan temuan penelitian serta pembahasannya, dapatlah disimpulkan
sebagai berikut. (1) Secara sintaktis dalam tuturan anak-anak tunagrahita ringan
ditemukan struktur kalimat dasar S-P, S-P-Ket, dan S-P-Pel serta struktur
kalimat lain Ket-S-P-Ket, Ket-S-P, S-Ket-P, dan Ket-S-P-Pel; jenis kalimat
berdasarkan jumlah klausanya hanya ditemukan “kalimat tunggal”. Kalimat
majemuk setara yang ditemukan dikategorikan sebagai data outlyer, kalimat
majemuk bertingkat tidak ditemukan; RPU anak-anak tunagrahita ringan adalah
6,94. (2) Jenis tuturan yang ditemukan adalah tuturan (1) konstatif, (2)
lokusioner, (3) representatif, direktif, ekspresif, (4) langsung, dan (5)
harfiah; pematuhan kesantunan yang ditemukan adalah kesantunan bidal
ketimbangrasaan, kesetujuan, dan kesimpatian, pelanggaran kesantunan
yang ditemukan adalah pelanggaran kesantunan bidal ketimbangrasaan,
keperkenanan, kerendahhatian, kesimpatian.
E. DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, Soenjono, Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliona.
2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Apriyanto, N. 2012. Seluk-Beluk Tunagrahita dan Strategi Pembelajarannya
Yogyakarta: Javalitera.
12. 12
Austin, J. L. 1962. How To Do Thing with Word. Oxford New York: Oxford
University Press.
Badudu, J.S. 1975. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: TB Bandung.
Chapman, R. 2003. “Language and Communication in Individuals with Down
Syndrome”. International Journal of Early Childhood Special Education
(INT-JECSE). Volume 157:1-34.
Dardjowidjojo, S. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia.
Jakarta: Gransindo
Depdiknas. 2003. Pedoman Guru Pendidikan Merawat Diri untuk Anak
Retardasi Mental. Jakarta : CV Karya Sejahtera.
Gunarwan, A. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan
Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Makalah. Pelba VII.
Jakarta 26-27 Oktober.
Humaera, Desni. 2012. “Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Anak
Tunagrahita Ringan Kelas III di SLB Sabiluna Pariaman”. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Khusus. Nomor 3.
http:/ejournal.unp.ac.id/index/jupek hu.
Leech. G. 1983. Principle of Pragmatiks. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia
Dilakukan oleh M.D.D. Oka. 1991. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta:
UI Press.
Levinson, S. C. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Mey, J. I. 1994. Pragmatik: An Introduction. Oxford UK & Cambridge USA:
Blackwell.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Searle, J.R. 1969. “Indirect Speech Act” dalam Cole, Peter, & J.Morgan (Ed.),
Syntax and Semantics: Speech Acts. New York: Academic Press. Hlm.
49-82.
Somantri, S. 2007b. Anak Tunagrahita. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.