Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
Sakura in my heart
1. SAKURA IN MY HEART
Suasana toko buku dipenuhi pengunjung. Maklum, hari ini sedang ada diskon besar-besaran.
Dan, sebagai pecinta buku sejati, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku sengaja berangkat
lebih awal untuk bisa lebih leluasa memilih buku. Benar juga, toko buku masih relatif sepi, aku langsung
melangkahkan kakiku menuju bagian fiksi. Meskipun aku cowok, aku suka sekali membaca novel,dan
komik.
Dengan langkah santai, aku melihat sebuah novel best seller di ujung rak yang sudah lama
kuincar. Hmm, impian akan memiliki novel itupun kini menjadi kenyataan. Sebuah novel dengan genre
horor yang sangat aku sukai. Sesaat setelah aku ambil novel itu, aku sadar ada seseorang yang
mengawasiku. Entah siapa, tapi aku berusaha tak menghiraukannya.
“Maaf,” suara seorang gadis berambut sebahu itu mengagetkaanku.
“Ya,” jawabku singkat. Sambil membetulkan letak buku yang dibawanya, gadis itu melanjutkan,
“Maaf,kak. Tapi, boleh nggak novel yang itu buat aku aja?” Katanya sambil menunjuk novel
yang kubawa. Aku hanya mengerutkan dahi, dan ia pun melanjutkan ucapannya “Em, gini kak.
Jadi, aku mau beli itu buat papa ku..buat koleksinya. Boleh kan,kak? Please, bantu aku kak..”
Aku masih diam, bingung sekaligus tak tega melihat ekspresi gadis yang menyebut namanya
Margareth itu. Sepulang dari toko buku, ia masih saja mengikutiku. Aku berjalan kaki, dan ia pun ikut
melangkah mengikutiku. Seperti biasa, aku selalu membantu ibu berjualan kue di kedai kecil kami. Dan,
kulihat Margareth masih saja menungguku dengan sabar bahkan sampai tertidur.
Hari larut malam, aku tak tega melihat Margareth tidur dengan posisi duduk. Betapapun, aku
laki-laki dan tak ingin melihat wanita tersiksa seperti itu. Ibu, atau yang biasa kupanggil Mbok itu
memintaku mengantar Margareth pulang.
Aku memboncengnya dalam diam. Kukayuh sepedaku pelan-pelan, jalanan di daerahku belum
sepenuhnya diperbaiki.
“Kak, jadi boleh nggak aku minta novelnya? Aku siap bayar berapapun.” Aku hanya diam.
Anak ini kenapa sih, nunggu cetakan baru kan masih bisa?
Setibanya di jalan raya, sebuah mobil Fortune berhenti tepat di samping sepedaku. Seorang
berbaju hitam keluar dan membukakan pintu untuk Margareth. Margareth sempat mengelak,karena ia
2. ingin tetap memohon padaku untuk memberikan novel terbitan Newyork’s Time itu. Hingga akhirnya,
mobil itu pergi dan semakin menjauh dari pelupuk mataku.
Bahkan, dia anak orang kaya.
Sepulang sekolah, aku melihat Margareth duduk di depan rumahku. Aku bena-benar nggak tahu
apa yang harus aku lakukan. Jujur, itu novel yang sudah sangat lama kuincar, dan uang yang kubelikan
adalah hasil jerih payah aku bekerja pada seorang pria yang mengaku pegusaha sepatu terkenal untuk
megantarkannya kue buatan si mbok setiap hari. Namun, sebulan terakhir ini, aku tak melihat sosok pria
itu. Biasanya, ia selalu menunggu kedatanganku di depan sekolah. Aneh rasanya, tapi itu benar terjadi.
“Kak, jadi boleh aku beli novelnya?” Margareth angkat bicara.
“Kenapa sih kau tertarik sekali membeli novel itu! Kau kan anak orang kaya! Harusnya, beli di
toko buku yang lainnya! Atau sekalipun sudah habis, kau masih bisa kan minta pada penerbit
untuk mencetaknya kembali? Sedang aku ini orang miskin! Mau beli novel pun harus
mengumpulkan uang dulu. Dan, novel itu sangat berharga bagiku.” Emosiku meluap. Margareth
hanya diam dan tertunduk lesu. Aku sempat menyesal telah marah padanya.
“Pernahkah kakak berjuang demi mempertahankan cinta yang abadi?” petanyaan Margareth
membuyarkan lamunanku.
“Maksudmu?” aku mengerutkan dahi. “Ternyata berat merelakan cinta abadi untuk pergi,kak.
Cinta yang selalu mendukung ketika orang-orang menjauh. Yang selalu ada ketika air mata
mengalir. Yang selalu setia, ketika orang lain memilih berlalu.” Aku diam, tanpa sadar mataku
tak ingin berpaling menatap bintang-bintang yang bertaburan malam itu. Teringat Ayah.
“Ikut aku,kak!” ucap Margareth sambil mengaitkan jemari lentiknya di jariku. Aku sempat
terperanjat, namun aku tak bisa melepas genggaman itu. Perasaan hangat tiba-tiba menyeruak
memenuhi seluruh aliran darahku.
Kami berjalan dengan sesekali bercanda. Kami seperti dua sahabat lama yang dipertemukan
kembali. Aku senang melihat senyum Margareth yang manis. Dia sosok yang menyenangkan dan
baik. Pikiran buruk tentang Margareth tiba-tiba saja menghilang dari pikiranku. Keasyikan
mengobrol, tibalah kami di depan sebuah rumah mewah dengan model minimalis.
“Ayo kak, masuk.” Ucap Margareth. “Eh, ini rumah siapa?” tanyaku. Namun,Margareth lebih
memilih diam dan melangkahkan kakinya lebih cepat.
3. “Papa.. margareth datang pa,margareth udah penuhin pesen papa..” air mata Margareth pun
tumpah di depan sosok Pria pengusaha yang biasa memesanue bikinan si Mbok. Namun, pria itu
tergeletak tak berdaya dengan selang-selang oksigen dan cairan-cairan menempel di badannya
yang semakin kurus.
“Kak, jadi bolehkah aku beli novel itu? Itu.. novel yang papa inginkan, karena papa tahu kakak
akan membeli itu. Papa sangat menyukai kakak. Beliau hanya ingin kakak mebacakan novel itu
untuk beliau. Please kak, bantu aku..” tangis Margareth pecah. Ia memeluk tubuhku. Aku
merasakan goncangan yang dahsyat saat itu. Air mataku pun jatuh.. aku menyesal telah
membiarkan permintaannya selama ini. Aku benci diriku.. papa Margareth adalah orang baik
yang sudah menolongku.
Aku pun membacakan novel itu setiap pulang sekolah. Dan hari dimana bunga sakura jatuh dari
rantingnya pun tiba. Burung-burung gagak berkumpul menyampaikan salam hitamnya. Papa Margareth
meninggal tepat ketika aku menyelesaikan kata terakhir di novel itu. Aku sempat terpukul melihat
peristiwa sakral itu, ditambah aku tak kuasa melihat wajah Margareth yang berubah pucat pasi, lalu
semuanya berubah.
hubunganku dengan Margareth semakin dekat. Tahun-tahun berlalu, bunga kamboja di
pristirahatan papa Margareth mulai tumbuh tinggi dan berbunga. Begitupun hatiku, kini Margareth
selalu menjadi bunga kehidupan pengganti setelah sakura-ku ikut jatuh dari rantingnya. Si Mbok
meninggal karena penyakit Liver.
Cuaca musim semi di Jepang kala itu memaksaku dan Margareth berjalan-jalan menikmati
suasana di Kyoto. Kami pun memutuskan untuk pergi ke pusat bunga sakura dengan naik Shinkasen.
Cukup 5 menit,kami sudah sampai di tempat tujuan. Untuk memeriahkan kunjungan, kami membeli
Takoyaki yang dijual seorang pria tua di pinggiran jalan. Banyak orang Jepang yang berhanami bersama
saat musim semi tiba.
“Kakak sangat suka bunga sakura,bukan?” tanya Margareth.
“Hem, ya begitulah. Bagiku,bunga sakura melambangkan cinta yang tulus..” kupandang mata
bulat milik Margareth.
Kuangkat novel yang mengenalkanku pada sosok Margareth dan aku berucap setengah
berteriak “Aku sudah kehilangan 2 bunga sakura ku.. itu karena aku tak bisa menjaganya dengan
4. baik. Namun, untuk bunga sakura kali ini, aku akan tetap berada disisinya agar dia tak jatuh
lagi.” Margareth hanya tersenyum melihat tingkahku,dan menatap gugusan bunga sakura yang
tumbuh subur di atas kami. Sedang orang-orang bertepuk tangan.. Kuambil sebuah,lalu
kusimpan di dompetku. Sebagai lambang bahwa aku akan selalu menjaga bunga sakura
terakhirku.
Thanks God, I’ll save this Sakura in my my heart