SlideShare a Scribd company logo
Sinar Harapan 
Sabtu, 15 September 2007 
Seorang Ibu Menunggu 
Cerpen: An. Ismanto 
Sehembus angin menghambur-hamburkan debu, dedaunan layu dan ceceran kertas di 
halaman rumahnya ketika suatu sore ia menemani suaminya bercengkerama di beranda. 
Terdengar bunyi gemeresak yang ribut. Mendengar bunyi itu, ingatannya terseret kembali 
ke detik-detik menegangkan bertahun-tahun lalu, ketika ia berdiri di pintu dengan cemas 
sementara azan maghrib menjengkali setiap penjuru udara. Namun, seperti biasa, suaminya 
selalu saja membuyarkan saat-saat menggetarkan itu. 
”Sudahlah. Jangan lagi kau kenang-kenang anak bengal itu. Nanti kau sakit,” kata 
suaminya dengan ketus. 
”Tapi dia anak kita, Yah,” jawabnya lirih. 
Suaminya mendengus. “Apa faedahnya menunggu anak durhaka seperti itu? Berapa tahun 
sudah dia tak pulang, tak berkirim sekadar kabar? Toh kalau dia kembali, kau dan aku juga 
sudah menjadi terlalu tua dan semakin dekat dengan kuburan. Dia tak akan membuat kita 
kembali menjadi muda. Huh, anak durhaka seperti itu. Kenapa tak kau kutuk saja dia jadi 
batu seperti Si Malin?” 
Ia menunduk dan diam. Selalu begitu. Setiap kali ia dan suaminya bersilang pendapat, ia 
selalu mengalah. Ia tak pernah berani membayangkan sebuah pertengkaran antara ia dan 
suaminya, meski ia marah sekali dengan keketusan suaminya barusan dan rasanya ia ingin 
membentak laki-laki itu: “Biar begitu, dia tetap anakku! Anakku!” 
Rasanya ingin ia menyangkal: kau laki-laki, tak tahu betapa aku senantiasa kembali 
menjadi muda setiap kali terkenang anakku tersayang mengompol, atau menangis malam-malam 
lantaran lapar, atau ketika ia memainkan puting susuku sambil tertawa-tawa. 
Dan seorang ibu tak akan pernah mengutuk anaknya menjadi batu, bahkan bila anak itu 
durhaka. Bagi seorang ibu, anak tetap anak. Titik. 
Namun, ia tetap membungkam. Di dalam hatinya, ia membui kemarahan rapat-rapat seperti 
penjahat hingga setiap kali suaminya pulang, ia selalu menjadi istri yang menyenangkan 
dan berbakti. Ia telah kehilangan anaknya. Ia tak mau kehilangan lagi. 
Seluruh hidupnya telah ia pasrahkan kepada dua orang laki-laki itu: suami dan anak laki-lakinya. 
Kalau suaminya marah, bisa-bisa suaminya meninggalkan rumah dan mencari 
rumah lain. Ia bukannya tak tahu bahwa selama ini suaminya kadang-kadang menginap di 
sebuah rumah yang lain. Namun, ia tak pernah memasalahkan hal itu. 
Yang penting baginya adalah bahwa suaminya itu selalu menjadi suami yang baik di 
rumah. 
Apakah anak itu, seperti kata suaminya, memang telah menjadi durhaka dan tak akan 
pernah kembali? Jika ya, maka anak itu tak pernah tahu bahwa makna kata ibu dalam 
segala bahasa adalah sabar dan ketegaran menunggu. Dan kasih Ibu, sebenarnya, tak hanya 
seluas samudera. Berapakah luas samudera? Orang bisa mengukurnya dengan meter atau 
mil, tetapi perkakas apapun tak akan sanggup menera berapa Kasih Ibu. 
Suatu pagi, ketika membersihkan gudang belakang, ia menemukan sebuah layang-layang
rusak. Kertas layang-layang itu compang-camping dan warna gambarnya telah pudar. 
Benda itu bersandar lesu di dinding, terhimpit kaki sebuah meja tua. 
Ia tercenung sejenak, lalu meletakkan sapunya dan menarik layang-layang itu dengan hati-hati. 
Serbuk-serbuk kuning luruh dari layang-layang itu, menimpa kakinya, dan sebagian 
hinggap di bajunya. Ketika ia menepuk-nepuk bajunya, serbuk-serbuk itu berhamburan di 
udara dan membikin ia bersin-bersin. 
Jari-jarinya yang keriput dan gemetaran menyusuri rangka bambu layang-layang sementara 
benaknya tertatih-tatih merakit ulang ingatan. Lalu, tanpa ia sadari, ia telah menghitung 
dalam hati dan bergumam, “ua puluh tahun. Sudah lama sekali.” 
Ia membawa layang-layang rusak itu ke ruang depan. Cahaya pagi menghambur masuk 
lewat pintu yang terbuka lebar. Tetapi, dalam pandangannya, udara tiba-tiba ditangkup 
remang. Ia juga mendengar azan maghrib. Layang-layang rusak di tangannya telah hilang 
dan berganti sehelai kain sulam, sementara ia bersandar di langkan pintu. Kepalanya 
tertunduk dan jari-jarinya yang kokoh memainkan jarum dan benang dengan terampil. 
Sesekali ia mengangkat wajah dan melempar tatapannya melintasi halaman, meloncati 
pagar bambu, dan berhenti di kerimbunan kebun singkong di seberang jalan. 
Di sela-sela suara azan, sayup-sayup ia mendengar suara kemersak kertas. Ia tersenyum dan 
menunduk, berpura-pura meneruskan sulamannya. Dalam hati, ia menghitung sampai 
sepuluh. Pada hitungan yang kesepuluh, tepat seperti dugaannya, sepasang lengan mungil 
memeluk kakinya. Ia menyisihkan kain sulaman dan melihat, di bawah sana, wajah mungil-kotor 
seorang bocah lelaki tengah memandangnya dengan mulut sedikit terbuka. Ia 
tersenyum, membungkuk dan mengusap rambut kusut dan berdebu bocah itu. 
”Ayo masuk, Buyung,” bisiknya dengan lembut seraya meraih lengan bocah itu. 
Sejenak, bocah itu tampak ragu-ragu, tetapi kemudian ia menurut. Mereka berjalan 
melintasi ruang depan, melewati seorang laki-laki kekar berkaos singlet yang tengah duduk 
membaca koran. Sesaat, laki-laki muda itu melirik kepada si bocah, lalu meneruskan 
bacaannya. 
. 
Ia meletakkan kain sulamannya di sebuah kursi dan membimbing bocah itu ke kamar 
mandi. Dengan cekatan, ia tanggalkan pakaian kumal bocah itu dan memandikan, 
menyabuni dan mengeramasinya hingga bocah itu menggigil dan tertawa-tawa. Setelah 
mengeringkan badan bocah itu, ia membawanya ke kamar dan mendandaninya. 
Kini bocah itu nampak tampan dan rapi dengan kemeja putih, celana pendek dan sarung 
berwarna biru gelap. Kemudian ia memberikan sebuah Qur’an kepada bocah itu dan 
membimbingnya ke ruang depan. Ia menunggu di pintu sementara si bocah menghampiri 
laki-laki kekar itu. Si bocah mengambil tangan kanan laki-laki kekar itu dan menciumnya 
dengan takzim. 
”Pak, saya berangkat ke masjid dulu,” kata bocah itu. 
Tiba-tiba ia tersentak. Sebuah sepeda motor dengan suara meraung-raung melintas di jalan 
di depan pagar. Ia menggelengkan kepala dan berusaha merangkai benda-benda nyata yang 
ada di sekelilingnya. 
Namun, detik-detik menggetarkan itu telah bermukim dalam ingatannya.... 
Sering kali ia terjaga dengan tiba-tiba pada tengah malam karena bermimpi tentang 
anaknya. Terdengar dengkuran suaminya meningkahi bunyi serangga di luar. Pada saat-saat
seperti itu, ia merasakan betapa jauh ia dari anaknya. Ya. Pada saat-saat seperti itu, ia 
mengerti mengapa jarak bisa menjadi lebih tajam dari pisau. Dan ia hanya bisa menatap 
langit-langit yang remang seraya meratap: O Buyung, pulanglah, padamkan rindu dendam 
bundamu ini. Janganlah kita bertemu hanya dalam mimpi. 
Betapa ingin ia melihat anak itu. Sekadar melihat wajahnya, atau menyentuh lengannya 
yang dulu ia bimbing dengan lembut, lengan mungil yang berdebu sehabis bermain layang-layang 
sepanjang siang di pematang. Ia selalu teringat saat-saat ia mendendangkan nina 
bobo sementara bocah itu terkantuk-kantuk dalam buaiannya, atau ketika ia membisikkan 
kata-kata manis untuk menenangkan bocah itu ketika si bocah bermimpi buruk. Ah, betapa 
anak itu lemah, membutuhkan dahan tempat bergantung dan di waktu panas tempat 
berlindung. 
Setiap kali teringat betapa lemah bocah itu, ia mengeluh: “Pulanglah, Buyung, engkau tak 
kan kuat hidup di rantau.” 
Namun, ia tahu bahwa anaknya tidak selemah itu. Waktu telah membuat anaknya menjadi 
pemuda perkasa. Ya. Betapa ia selalu mencamkan prahara itu, ketika seluruh negerinya 
tercabik-cabik saat anak-anak pertiwi lupa bahwa mereka punya Ibu yang sama. Perang 
saudara hampir pecah di mana-mana. Semua yang berbau negara rumpang dan poranda. 
Ah, pada saat-saat seperti itu, betapa negara sangat mirip ibu tiri yang tak becus mengurus 
anak suami dari istri terdahulu. Dan bagi saudara-saudara yang lelah menderita itu, 
suaminya, seorang pegawai negeri berpangkat tinggi, kepala sebuah sekolah negeri, adalah 
perkakas negara. Rumahnya diruntuhkan orang banyak, dan ia dan keluarganya tiba-tiba 
miskin papa. 
Saat itu anaknya telah lulus SMA, telah tumbuh menjadi seorang pemuda angkuh. Masih 
terpacak jelas dalam ingatannya ketika keluarga besarnya berhamburan mendatangi 
rumahnya membawa barang-barang berharga. 
”Untuk kau pakai membangun kembali kebanggaan keluargamu yang punah,” kata mereka. 
”Kami tak butuh belas kasihan!” sembur anaknya saraya mengembalikan barang-barang 
sumbangan itu. 
Betapa ia selalu teringat ketika mengantarkan anak itu di stasiun kereta. Seorang pemuda, 
hanya lulusan SMA, hendak menantang dunia. Ia dapat melihat mata anaknya tajam 
menatap gerbong kereta kelas ekonomi yang penuh sesak. Sekilas, ia melihat anak itu 
tersenyum. Sebelum naik gerbong sesak itu, anak itu memeluknya erat-erat. Ah, betapa ia 
ingin saat itu abadi. Ketika kereta mulai berangkat, hanya sekali anak itu menoleh 
kepadanya. Sekali saja, dan sekilas, hanya sekilas, ia melihat dua butir air mengintip di 
mata anak itu, tetapi anak itu cepat-cepat mengusapnya. 
Betapa saat itu hatinya girang bukan kepalang. Ya. Ia tak mau anaknya menjadi pemuda 
cengeng. Rasa-rasanya ia akan sangat berat untuk memaafkan anak itu seandainya saat itu 
anaknya menitikkan air mata, biar cuma setetes. 
Apakah suatu saat nanti bocah angkuh itu akan datang, mencium kakinya, dan berkata 
untuk memadamkan hati gundahnya, “Ibu, Ibuku sayang, jangan menangis, Ibu. Aku telah 
pulang, Ibu?” 
Seorang pemuda angkuh seperti itu.... 
Kini, bertahun-tahun setelah suaminya meninggal, ia merasa bahwa yang menjaganya tetap 
hidup adalah harapan. Ya. Harapan bahwa suatu saat nanti, sebelum ia pulang ke Bumi,
tempat segalanya menjadi Lupa, anak itu akan kembali kepadanya. Ia sadar bahwa harapan 
itu seperti gelombang, selalu turun-naik. Namun, ia bertekad untuk tetap menunggu, sekuat 
tulang sehabis tenaga, hingga waktu terus berlalu, sampai ke anak cucu. 
Apakah suatu saat nanti ia akan kembali, bersama dengan cucu-cucuku, tanyanya dalam 
hati. Dan ia menangis sesenggukan. ***

More Related Content

What's hot

35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
Beni Irvan
 
116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perak116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perak
Beni Irvan
 
Petikan teks si tanggang
Petikan teks si tanggangPetikan teks si tanggang
Petikan teks si tanggang
cekodok Pisang
 

What's hot (18)

Anggang dari laut (pinto anugrah)
Anggang dari laut (pinto anugrah)Anggang dari laut (pinto anugrah)
Anggang dari laut (pinto anugrah)
 
Pengenalan Karangan
Pengenalan KaranganPengenalan Karangan
Pengenalan Karangan
 
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
35651435 giring-giring-perak-makmur-hendrik
 
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
 
116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perak116414016 novel-minang-giring-giring-perak
116414016 novel-minang-giring-giring-perak
 
Cintadalamgelas
CintadalamgelasCintadalamgelas
Cintadalamgelas
 
Percakapan Dengan David Tobing
Percakapan Dengan David TobingPercakapan Dengan David Tobing
Percakapan Dengan David Tobing
 
Karangan naratif
Karangan naratifKarangan naratif
Karangan naratif
 
Miraw.cintasepanjangamazon
Miraw.cintasepanjangamazonMiraw.cintasepanjangamazon
Miraw.cintasepanjangamazon
 
Bhs. Indonesia - Macam-macam alur
Bhs. Indonesia - Macam-macam alurBhs. Indonesia - Macam-macam alur
Bhs. Indonesia - Macam-macam alur
 
Kelompok II Intrinsik Cerpen "Rumah"
Kelompok II Intrinsik Cerpen "Rumah"Kelompok II Intrinsik Cerpen "Rumah"
Kelompok II Intrinsik Cerpen "Rumah"
 
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
Analisis Cerita Pendek (Judul: Pemetik Air Mata)
 
Kumpulan puisi
Kumpulan puisiKumpulan puisi
Kumpulan puisi
 
Petikan teks si tanggang
Petikan teks si tanggangPetikan teks si tanggang
Petikan teks si tanggang
 
Cerpe
CerpeCerpe
Cerpe
 
Contoh naskah drama malin kundang
Contoh naskah drama malin kundangContoh naskah drama malin kundang
Contoh naskah drama malin kundang
 
Naskah drama 7 orang
Naskah drama 7 orangNaskah drama 7 orang
Naskah drama 7 orang
 
Hujan bulan juni
Hujan bulan juniHujan bulan juni
Hujan bulan juni
 

Similar to Seorang ibu menunggu (an. ismanto)

cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
Novi Indah
 
Wangi+kaki+ibu
Wangi+kaki+ibuWangi+kaki+ibu
Wangi+kaki+ibu
radikalzen
 

Similar to Seorang ibu menunggu (an. ismanto) (20)

Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
 
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangi
 
Kereta malam
Kereta malamKereta malam
Kereta malam
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
 
Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)
 
Cerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdfCerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdf
 
Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)
Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)
Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)
 
Aku mencintaimu
Aku mencintaimuAku mencintaimu
Aku mencintaimu
 
Para Penanti
Para PenantiPara Penanti
Para Penanti
 
Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)
 
Wangi+kaki+ibu
Wangi+kaki+ibuWangi+kaki+ibu
Wangi+kaki+ibu
 
Aku mencintaimu suamiku
Aku mencintaimu suamikuAku mencintaimu suamiku
Aku mencintaimu suamiku
 
B. indo
B. indoB. indo
B. indo
 
Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)
 
Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)Memandang lebih dalam (sendiri)
Memandang lebih dalam (sendiri)
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
Hyrftu
HyrftuHyrftu
Hyrftu
 

More from Arvinoor Siregar SH MH

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Recently uploaded

Sosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdf
Sosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdfSosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdf
Sosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdf
ssuserfb3b7d1
 

Recently uploaded (9)

Sosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdf
Sosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdfSosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdf
Sosialisasi Memahami Fitur Pencarian Data SKP.pdf
 
slot3000: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
slot3000: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Inislot3000: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
slot3000: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
 
slot666: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
slot666: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Inislot666: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
slot666: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
 
slot555: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
slot555: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Inislot555: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
slot555: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
 
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin TerfavoritNila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
Nila88 Situs Slot Gacor RTP Winrate Tertinggi Mudah Maxwin Terfavorit
 
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
Popi99 Link Daftar Judi Slot Gacor RTP Maxwin Tertinggi Hari Ini 2024
 
asia138: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
asia138: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Iniasia138: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
asia138: Slot Gacor Maxwin Terbaik di Server Thailand Hari Ini
 
Ryu4D Agen Judi Slot Online Gacor Malam Ini Terpercaya di Indonesia
Ryu4D Agen Judi Slot Online Gacor Malam Ini Terpercaya di IndonesiaRyu4D Agen Judi Slot Online Gacor Malam Ini Terpercaya di Indonesia
Ryu4D Agen Judi Slot Online Gacor Malam Ini Terpercaya di Indonesia
 
SLOT GACOR MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA IDMPO
SLOT GACOR MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA  IDMPOSLOT GACOR MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA  IDMPO
SLOT GACOR MUDAH MENANG DAN TERPERCAYA IDMPO
 

Seorang ibu menunggu (an. ismanto)

  • 1. Sinar Harapan Sabtu, 15 September 2007 Seorang Ibu Menunggu Cerpen: An. Ismanto Sehembus angin menghambur-hamburkan debu, dedaunan layu dan ceceran kertas di halaman rumahnya ketika suatu sore ia menemani suaminya bercengkerama di beranda. Terdengar bunyi gemeresak yang ribut. Mendengar bunyi itu, ingatannya terseret kembali ke detik-detik menegangkan bertahun-tahun lalu, ketika ia berdiri di pintu dengan cemas sementara azan maghrib menjengkali setiap penjuru udara. Namun, seperti biasa, suaminya selalu saja membuyarkan saat-saat menggetarkan itu. ”Sudahlah. Jangan lagi kau kenang-kenang anak bengal itu. Nanti kau sakit,” kata suaminya dengan ketus. ”Tapi dia anak kita, Yah,” jawabnya lirih. Suaminya mendengus. “Apa faedahnya menunggu anak durhaka seperti itu? Berapa tahun sudah dia tak pulang, tak berkirim sekadar kabar? Toh kalau dia kembali, kau dan aku juga sudah menjadi terlalu tua dan semakin dekat dengan kuburan. Dia tak akan membuat kita kembali menjadi muda. Huh, anak durhaka seperti itu. Kenapa tak kau kutuk saja dia jadi batu seperti Si Malin?” Ia menunduk dan diam. Selalu begitu. Setiap kali ia dan suaminya bersilang pendapat, ia selalu mengalah. Ia tak pernah berani membayangkan sebuah pertengkaran antara ia dan suaminya, meski ia marah sekali dengan keketusan suaminya barusan dan rasanya ia ingin membentak laki-laki itu: “Biar begitu, dia tetap anakku! Anakku!” Rasanya ingin ia menyangkal: kau laki-laki, tak tahu betapa aku senantiasa kembali menjadi muda setiap kali terkenang anakku tersayang mengompol, atau menangis malam-malam lantaran lapar, atau ketika ia memainkan puting susuku sambil tertawa-tawa. Dan seorang ibu tak akan pernah mengutuk anaknya menjadi batu, bahkan bila anak itu durhaka. Bagi seorang ibu, anak tetap anak. Titik. Namun, ia tetap membungkam. Di dalam hatinya, ia membui kemarahan rapat-rapat seperti penjahat hingga setiap kali suaminya pulang, ia selalu menjadi istri yang menyenangkan dan berbakti. Ia telah kehilangan anaknya. Ia tak mau kehilangan lagi. Seluruh hidupnya telah ia pasrahkan kepada dua orang laki-laki itu: suami dan anak laki-lakinya. Kalau suaminya marah, bisa-bisa suaminya meninggalkan rumah dan mencari rumah lain. Ia bukannya tak tahu bahwa selama ini suaminya kadang-kadang menginap di sebuah rumah yang lain. Namun, ia tak pernah memasalahkan hal itu. Yang penting baginya adalah bahwa suaminya itu selalu menjadi suami yang baik di rumah. Apakah anak itu, seperti kata suaminya, memang telah menjadi durhaka dan tak akan pernah kembali? Jika ya, maka anak itu tak pernah tahu bahwa makna kata ibu dalam segala bahasa adalah sabar dan ketegaran menunggu. Dan kasih Ibu, sebenarnya, tak hanya seluas samudera. Berapakah luas samudera? Orang bisa mengukurnya dengan meter atau mil, tetapi perkakas apapun tak akan sanggup menera berapa Kasih Ibu. Suatu pagi, ketika membersihkan gudang belakang, ia menemukan sebuah layang-layang
  • 2. rusak. Kertas layang-layang itu compang-camping dan warna gambarnya telah pudar. Benda itu bersandar lesu di dinding, terhimpit kaki sebuah meja tua. Ia tercenung sejenak, lalu meletakkan sapunya dan menarik layang-layang itu dengan hati-hati. Serbuk-serbuk kuning luruh dari layang-layang itu, menimpa kakinya, dan sebagian hinggap di bajunya. Ketika ia menepuk-nepuk bajunya, serbuk-serbuk itu berhamburan di udara dan membikin ia bersin-bersin. Jari-jarinya yang keriput dan gemetaran menyusuri rangka bambu layang-layang sementara benaknya tertatih-tatih merakit ulang ingatan. Lalu, tanpa ia sadari, ia telah menghitung dalam hati dan bergumam, “ua puluh tahun. Sudah lama sekali.” Ia membawa layang-layang rusak itu ke ruang depan. Cahaya pagi menghambur masuk lewat pintu yang terbuka lebar. Tetapi, dalam pandangannya, udara tiba-tiba ditangkup remang. Ia juga mendengar azan maghrib. Layang-layang rusak di tangannya telah hilang dan berganti sehelai kain sulam, sementara ia bersandar di langkan pintu. Kepalanya tertunduk dan jari-jarinya yang kokoh memainkan jarum dan benang dengan terampil. Sesekali ia mengangkat wajah dan melempar tatapannya melintasi halaman, meloncati pagar bambu, dan berhenti di kerimbunan kebun singkong di seberang jalan. Di sela-sela suara azan, sayup-sayup ia mendengar suara kemersak kertas. Ia tersenyum dan menunduk, berpura-pura meneruskan sulamannya. Dalam hati, ia menghitung sampai sepuluh. Pada hitungan yang kesepuluh, tepat seperti dugaannya, sepasang lengan mungil memeluk kakinya. Ia menyisihkan kain sulaman dan melihat, di bawah sana, wajah mungil-kotor seorang bocah lelaki tengah memandangnya dengan mulut sedikit terbuka. Ia tersenyum, membungkuk dan mengusap rambut kusut dan berdebu bocah itu. ”Ayo masuk, Buyung,” bisiknya dengan lembut seraya meraih lengan bocah itu. Sejenak, bocah itu tampak ragu-ragu, tetapi kemudian ia menurut. Mereka berjalan melintasi ruang depan, melewati seorang laki-laki kekar berkaos singlet yang tengah duduk membaca koran. Sesaat, laki-laki muda itu melirik kepada si bocah, lalu meneruskan bacaannya. . Ia meletakkan kain sulamannya di sebuah kursi dan membimbing bocah itu ke kamar mandi. Dengan cekatan, ia tanggalkan pakaian kumal bocah itu dan memandikan, menyabuni dan mengeramasinya hingga bocah itu menggigil dan tertawa-tawa. Setelah mengeringkan badan bocah itu, ia membawanya ke kamar dan mendandaninya. Kini bocah itu nampak tampan dan rapi dengan kemeja putih, celana pendek dan sarung berwarna biru gelap. Kemudian ia memberikan sebuah Qur’an kepada bocah itu dan membimbingnya ke ruang depan. Ia menunggu di pintu sementara si bocah menghampiri laki-laki kekar itu. Si bocah mengambil tangan kanan laki-laki kekar itu dan menciumnya dengan takzim. ”Pak, saya berangkat ke masjid dulu,” kata bocah itu. Tiba-tiba ia tersentak. Sebuah sepeda motor dengan suara meraung-raung melintas di jalan di depan pagar. Ia menggelengkan kepala dan berusaha merangkai benda-benda nyata yang ada di sekelilingnya. Namun, detik-detik menggetarkan itu telah bermukim dalam ingatannya.... Sering kali ia terjaga dengan tiba-tiba pada tengah malam karena bermimpi tentang anaknya. Terdengar dengkuran suaminya meningkahi bunyi serangga di luar. Pada saat-saat
  • 3. seperti itu, ia merasakan betapa jauh ia dari anaknya. Ya. Pada saat-saat seperti itu, ia mengerti mengapa jarak bisa menjadi lebih tajam dari pisau. Dan ia hanya bisa menatap langit-langit yang remang seraya meratap: O Buyung, pulanglah, padamkan rindu dendam bundamu ini. Janganlah kita bertemu hanya dalam mimpi. Betapa ingin ia melihat anak itu. Sekadar melihat wajahnya, atau menyentuh lengannya yang dulu ia bimbing dengan lembut, lengan mungil yang berdebu sehabis bermain layang-layang sepanjang siang di pematang. Ia selalu teringat saat-saat ia mendendangkan nina bobo sementara bocah itu terkantuk-kantuk dalam buaiannya, atau ketika ia membisikkan kata-kata manis untuk menenangkan bocah itu ketika si bocah bermimpi buruk. Ah, betapa anak itu lemah, membutuhkan dahan tempat bergantung dan di waktu panas tempat berlindung. Setiap kali teringat betapa lemah bocah itu, ia mengeluh: “Pulanglah, Buyung, engkau tak kan kuat hidup di rantau.” Namun, ia tahu bahwa anaknya tidak selemah itu. Waktu telah membuat anaknya menjadi pemuda perkasa. Ya. Betapa ia selalu mencamkan prahara itu, ketika seluruh negerinya tercabik-cabik saat anak-anak pertiwi lupa bahwa mereka punya Ibu yang sama. Perang saudara hampir pecah di mana-mana. Semua yang berbau negara rumpang dan poranda. Ah, pada saat-saat seperti itu, betapa negara sangat mirip ibu tiri yang tak becus mengurus anak suami dari istri terdahulu. Dan bagi saudara-saudara yang lelah menderita itu, suaminya, seorang pegawai negeri berpangkat tinggi, kepala sebuah sekolah negeri, adalah perkakas negara. Rumahnya diruntuhkan orang banyak, dan ia dan keluarganya tiba-tiba miskin papa. Saat itu anaknya telah lulus SMA, telah tumbuh menjadi seorang pemuda angkuh. Masih terpacak jelas dalam ingatannya ketika keluarga besarnya berhamburan mendatangi rumahnya membawa barang-barang berharga. ”Untuk kau pakai membangun kembali kebanggaan keluargamu yang punah,” kata mereka. ”Kami tak butuh belas kasihan!” sembur anaknya saraya mengembalikan barang-barang sumbangan itu. Betapa ia selalu teringat ketika mengantarkan anak itu di stasiun kereta. Seorang pemuda, hanya lulusan SMA, hendak menantang dunia. Ia dapat melihat mata anaknya tajam menatap gerbong kereta kelas ekonomi yang penuh sesak. Sekilas, ia melihat anak itu tersenyum. Sebelum naik gerbong sesak itu, anak itu memeluknya erat-erat. Ah, betapa ia ingin saat itu abadi. Ketika kereta mulai berangkat, hanya sekali anak itu menoleh kepadanya. Sekali saja, dan sekilas, hanya sekilas, ia melihat dua butir air mengintip di mata anak itu, tetapi anak itu cepat-cepat mengusapnya. Betapa saat itu hatinya girang bukan kepalang. Ya. Ia tak mau anaknya menjadi pemuda cengeng. Rasa-rasanya ia akan sangat berat untuk memaafkan anak itu seandainya saat itu anaknya menitikkan air mata, biar cuma setetes. Apakah suatu saat nanti bocah angkuh itu akan datang, mencium kakinya, dan berkata untuk memadamkan hati gundahnya, “Ibu, Ibuku sayang, jangan menangis, Ibu. Aku telah pulang, Ibu?” Seorang pemuda angkuh seperti itu.... Kini, bertahun-tahun setelah suaminya meninggal, ia merasa bahwa yang menjaganya tetap hidup adalah harapan. Ya. Harapan bahwa suatu saat nanti, sebelum ia pulang ke Bumi,
  • 4. tempat segalanya menjadi Lupa, anak itu akan kembali kepadanya. Ia sadar bahwa harapan itu seperti gelombang, selalu turun-naik. Namun, ia bertekad untuk tetap menunggu, sekuat tulang sehabis tenaga, hingga waktu terus berlalu, sampai ke anak cucu. Apakah suatu saat nanti ia akan kembali, bersama dengan cucu-cucuku, tanyanya dalam hati. Dan ia menangis sesenggukan. ***