SlideShare a Scribd company logo
1 of 4
Media Indonesia 
Minggu, 20 Mei 2007 
GADIS PEMETIK JAMUR 
Cerpen: Yetti A KA 
IA gadis pemetik jamur. Hampir setiap pagi ia berada di tengah kebun kopi, menyingkap 
kabut, mencium aroma bunga kopi dan bau daun-daun membusuk, mencari jamur di 
batang-batang kayu lapuk dan basah, memilih jamur yang tidak beracun sebelum dipetik 
(jamur yang dimakan ulat biasanya tidak mengandung racun). Menjelang pukul delapan ia 
pun sudah membawa pulang sekeranjang jamur untuk dimasak bening, ditumis, disantan, 
atau dipepes ibunya-ah bukan ibu, melainkan ibu tiri atau lebih tepat bibinya. Setelah itu 
masakan jamur bibinya sudah terhidang di samping nasi hangat, lalapan timun atau kol, 
sambal cabe rawit tomat panggang, dilengkapi kerupuk jalin; menu pagi hari yang sangat 
digemari orang-orang yang biasa tinggal di perkebunan kopi itu, di alam yang memiliki 
curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun, tempat bermacam-macam jamur tumbuh tiada 
henti-henti. 
*** 
Semua tahu, Lolanda, gadis pemetik jamur itu, seseorang yang terlihat periang, lincah dan 
manis jika dibandingkan dengan gadis-gadis yang berada di perkebunan. Ia ramah, suka 
membantu, dan pandai menyenangkan hati orang lain, kecuali terhadap bibinya. Ia lebih 
sering menganggap bibinya orang asing, perempuan tidak berguna, dan musuh yang 
harus diwaspadai. Kadang-kadang ia melihat bibi persis ular yang tengah menunggu 
kesempatan menjulurkan lidah, mematuk, dan mengalirkan bisa ke tubuhnya. 
Semua pikiran buruk tentang bibi itu melintas bagai sambaran api, kadang amat 
mengejutkannya, dan ia akan ketakutan setengah mati. 
Ia memang selalu tidak siap berhadapan dengan kenyataan. Sama persis ketika ia tidak 
sanggup menerima detik-detik kematian ibunya saat ia masih duduk di bangku sekolah 
dasar. Ibunya terlihat pasrah dan tidak berdaya. Lalu bibi datang dari kota (dan rela 
meninggalkan pekerjaan), menyambut tangan ibu yang kurus. Mereka saling berbisik, 
seakan-akan tengah melakukan suatu perjanjian. Diam-diam Lolanda memerhatikan 
kejadian itu lewat celah pintu, dan ia sudah dapat membayangkan bibi akan menggantikan 
tempat ibunya dalam waktu dekat lewat sikap dua perempuan itu. Ia menjerit keras seraya 
lari ke teras. Ia bukan tidak suka bibinya. Bukan itu. Bibi sering mengiriminya berbagai 
mainan, baju baru, cokelat, dan kue kering aneka rasa. Jadi, mana mungkin ia benci 
bibinya. Hanya jika bibi harus mengisi tempat yang sepantasnya hanya milik ibunya, ia 
sungguh-sungguh tidak bisa. Dan semakin ia membayangkannya, kenyataan mengerikan 
itu makin mendekatinya. Meneror. 
Bila kemudian ia menyerah juga dan menganggukkan kepala saat ayah minta persetujuan 
untuk menerima kehadiran bibi sebagai pengganti ibunya setelah satu bulan ibu 
meninggal dunia, itu karena ia benar-benar tidak punya kekuatan. Ia terlalu kecil untuk 
menentang rencana orang dewasa. Apalagi ia juga tahu, ibu yang meminta bibi. 
Barangkali ibu juga telah menyerahkan dirinya bulat-bulat pada bibi, memindahtangankan 
tanggung jawab pengasuhan, tanpa bertanya apa ia setuju atau tidak. Selebihnya ia harus 
menurut pada kehendak terakhir ibunya itu. Jika tidak, sama saja ia mengkhianati ibunya, 
perempuan yang lebih sering mengenakan daster dan sarung selama hidupnya, jarang 
tampil luar biasa di hadapan orang lain, dan tidak pula pintar seperti bibi yang sekolahan 
(ibunya memilih dan mewarisi kebun kopi, sedangkan bibinya memilih sekolah dan 
berkarier di kota). Namun, ibunya punya ketulusan dalam mencintai, sesuatu yang belum 
tentu dimiliki perempuan lain, termasuk bibinya, meski ia tahu bibinya tentu telah 
berkorban dengan membunuh mimpi-mimpinya yang serupa gunung, menjulang terlalu 
tinggi, mengintai bintang di langit, dan menggantinya dengan kenyataan yang tiba-tiba
berada di depannya; menjadi seorang istri bagi lelaki yang tidak ia cintai sekaligus ibu dari 
anak umur sepuluh tahun yang tidak pernah ia lahirkan sendiri. Karena itu pula bukan, 
sehari sebelum menyatakan bersedia menjadi istri ayahnya, bibinya merayakan 
perpisahan dengan kekasih yang ia cintai, menangis beberapa jam, lalu mereka bercinta 
untuk pertama dan terakhir kali. Setelah itu, bibinya pulang, berkata pada ibunya yang 
sedang sekarat: Baiklah aku akan menikah dengan suamimu dan menjaga Lolanda 
kesayangan kita. 
Entah kenapa bibinya harus melakukan itu. Membuat mata semua orang memandang iba 
padanya, seolah-olah bibi tengah terjerembab di lubang dalam penuh duri, mengoyak-ngoyak 
kulit halusnya sampai berdarah-darah, menghancurkan tubuhnya yang padat 
berisi itu. 
"Tidak seburuk itu, Lolanda. Kau dan ayahmu bukan duri. Bukan sesuatu yang akan 
menusuk kulitku. Kalian kesayangan kakakku, dan kini menjadi kesayanganku juga," ujar 
bibinya menghibur diri, setiap saat, lebih-lebih bila ia sudah bercerita lagi tentang 
perpisahan sepasang kekasih yang mengharukan itu, cerita yang terlalu sering didengar 
Lolanda dari bibinya selama delapan tahun mereka bersama, seakan-akan dengan begitu 
dada bibinya sedikit lapang. Sementara itu, Lolanda menganggap cerita itu bagai dongeng 
penuh air mata, membuatnya beberapa saat terjebak rasa pilu dan dadanya dikurung 
penyesalan. Seharusnya bibi tidak perlu kehilangan begitu banyak kebahagiaan. 
Membuatnya tampak sangat menyedihkan. Kalau saja Lolanda bisa mencegah dari awal. 
Atau kalau saja ibunya tidak sakit, tidak pergi meninggalkan dirinya yang masih kecil, yang 
masih butuh perlindungan seorang ibu. Bibinya tidak akan pernah sama dengan ibunya. 
Sekeras apa pun bibi berusaha. Lolanda tidak bisa percaya bibi bisa membuatnya merasa 
nyaman, merasa berada dalam pelukan ibu di saat-saat yang dibutuhkan. 
Di hadapannya, bibi tidak lebih dari seseorang yang putus asa. Maka Lolanda hanya bisa 
berkata, "Tentu bukan duri, Bibi. Tidak mungkin kami duri. Kita saling menyayangi." 
Sesekali, memang, Lolanda berusaha menunjukkan sikap pengertian yang dalam. 
Sekadar kepura-puraan atau kesungguhan, ia tidak tahu pasti. Ia memegang tangan 
bibinya, persis dua sahabat yang saling mengerti. Mereka bertatapan. Berpelukan. 
Menyandarkan tanggungan satu sama lain. Siapa pun yang melihat kejadian itu, pasti 
menyangka mereka benar-benar serasi sebagai ibu dan anak. 
Adakah yang bisa membaca gelagat mata Lolanda yang sarat kelicikan dan terbakar 
cemburu. Tidak. Tidak satu pun. Lolanda tidak membiarkan orang lain mencampuri 
perasaannya, mencari tahu isi hatinya. Ia menutup diri rapat-rapat. Juga pada ayahnya. 
Orang lain hanya bisa melihat dirinya yang palsu; ia yang periang, lincah, dan manis. 
Selebihnya hanya dirinya sendiri yang tahu. Juga tentang rencana-rencana menyingkirkan 
bibi dari ayahnya. Membuat perempuan itu tidak pernah dicintai ayahnya secara sungguh-sungguh 
sebagai pengganti ibunya. 
Sebab itu Lolanda menolak melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Ia ingin mengikuti jalan 
ibunya, perempuan yang hidup di perkebunan kopi dari kecil hingga menikah, menjadi 
perempuan pemetik jamur yang suatu ketika dicintai seorang lelaki hanya karena 
ketulusannya. Ya. Ia akan merebut ayahnya kembali. Membuat lelaki itu menemukan ibu 
dalam dirinya sebagai gadis pemetik jamur. Hampir setiap pagi ia pun sudah berada di 
tengah kebun kopi untuk mencari bermacam-macam jenis jamur. Ia menjejakkan kaki di 
tanah yang dulu pernah dilalui ibunya, bertahun-tahun. Ada kenangan yang terus bergerak 
setiap kali ia melewati batang-batang kopi, membuat ia tidak ingin berhenti, dan terus 
menjelajahinya, sampai ia menemukan dirinya sendiri telah menjelma jamur raksasa, 
jamur beracun yang siap mengancam bibinya yang cantik dan pintar itu. 
Dada Lolanda berdegup keras. Setiap kali begitu. Apalagi akhir-akhir ini. 
***
Hingga suatu pagi, awan sangat tebal ketika Lolanda berlari ke tengah kebun kopi. Ia 
membawa keranjang kosong. Keranjang milik ibunya, satu-satunya yang tersisa dari lima 
keranjang yang ditinggalkan ibu delapan tahun lalu. Sebelum berangkat ia masih sempat 
melihat ayah dan bibi melambaikan tangan, "Jangan lama-lama di tengah kebun kopi, 
Lolanda, nanti kau kehujanan," teriak bibi. Wajah ayah dan bibinya berseri-seri. Perasaan 
Lolanda campur aduk. Ia gugup dan cemas. Hanya berlari, pikirnya, satu-satunya cara 
melawan serangan yang muncul tiba-tiba dalam dirinya. Ia berlari. Secepatnya. Sayup ia 
masih mendengar suara bibi: Cepat kembali! Cepat kembali! Suara itu seolah terus 
mengejarnya. Ketika ia menoleh, ia tidak dapat melihat ayah dan bibinya, ia merasa telah 
sangat jauh, dan ia bernapas lega. Tapi sesudah itu ia disambut kesunyian kebun kopi 
pagi hari, membuat ia merasa menjadi seorang gadis tanpa siapa-siapa. Kekalutan 
bertengger di wajahnya, persis burung patah sayap. Ia tidak bisa lagi tersenyum pada 
daun-daun atau dingin pagi yang selalu menemaninya berburu jamur, bertahun-tahun. 
"Aku cemburu," pekik Lolanda. 
Pagi tambah gelap. Awan bergerak cepat di atas kepala Lolanda. 
"Aku akan segera kehilangan ayah untuk selama-lamanya." Lolanda meremas daun-daun 
kopi. Air matanya meleleh sudah. Keranjang jatuh dari tangannya. Menggelinding. 
Menuruni tebing. Dalam waktu cepat Lolanda telah kehilangan satu-satunya kenangan 
dari ibunya, satu-satunya keranjang yang semestinya harus ia jaga baik-baik, sebab ia 
tidak mungkin mengejar keranjang itu hingga ke lembah di mana air dari bukit-bukit 
berkumpul dan mengalir, tempat beribu-ribu makhluk halus berdiam sejak beribu-ribu 
tahun lalu, jauh sebelum sebidang kecil tanah perkebunan kopi jatuh ke tangan kakek dari 
pihak ibunya. 
Lolanda terperangah menyadari kecerobohan itu, tapi kemudian ia memilih tidak mau 
peduli. Potongan kebahagiaan wajah ayah dan bibi kembali hadir di matanya. Betapa 
semringah senyum ayah. Kabut yang bertahun-tahun bergayut di wajahnya sejak ibu 
meninggal dunia, sama sekali tidak berbekas. Semua itu terjadi begitu mendadak, bahkan 
Lolanda nyaris tidak menyadarinya. Kapan. Adakah dalam beberapa hari ini. Kenapa ayah 
tidak memberinya kesempatan. Sedikit saja lagi. Tidakkah ayah harusnya menunggu. 
Tidak harus menghabiskan waktu sekian lama. Hanya beberapa minggu lagi, itu sudah 
cukup. Tapi ayah justru membuatnya benar-benar putus asa, membuat ia terlihat sama 
sekali tidak berguna. Kenapa ayah tidak mau menghargainya yang susah payah 
menghadirkan sosok ibu dalam tubuhnya, dalam hari-hari yang ia titi. Bukankah ia 
melakukan itu demi ayah. Demi mereka berdua. Ya. Hanya ia dan ayah. Tidak ada bibi. 
Tidak ada perempuan lain yang pantas berada di tempat ibunya, kecuali dirinya, Lolanda 
si pemetik jamur. 
"Aku terbakar cemburu, Ayah! Aku sungguh-sungguh terbakar!" 
Ayah dan bibi tertawa sangat lebar. Rongga telinga Lolanda dipenuhi suara tawa itu. 
Lolanda menjerit-jerit. Tubuh Lolanda berputar-putar, terbentur batang-batang kopi, 
kemudian rubuh. Ia pingsan atau tertidur. Ketika terjaga ia sudah tumbuh menjadi jamur 
tanah raksasa. Racun menetes dari bibir jamurnya yang lembut. Ia bayangkan, tidak saja 
bibi yang akan mati karena racun itu, tapi juga ayahnya. Itulah pembalasan bagi 
pengkhianat. 
Langit kian kelam, sekelam hatinya. Ia ingat pesan bibinya. Ia pun pulang sebelum 
kehujanan. 
*** 
Maka orang-orang tidak lagi bertemu gadis pemetik jamur yang lincah, periang, dan 
manis, sejak itu. Seiring itu masakan jamur bibinya sudah jarang pula terhidang di 
samping nasi hangat, lalapan timun atau kol, sambal cabe rawit tomat panggang, 
dilengkapi kerupuk jalin.
Lolanda berhenti mencari jamur. Berhenti mengharapkan ia bisa seperti ibunya. Juga 
berhenti melakukan sesuatu untuk merebut ayahnya kembali. Ia berubah pendiam, 
mengasingkan diri bersama sekian rencana jahat yang makin ia simpan rapat-rapat, 
menunggu waktu yang tepat untuk meledakkannya ke permukaan, ke hadapan ayah dan 
bibi. Ia juga tidak perlu lagi berpura-pura memahami perasaan bibinya saat perempuan itu 
sekali waktu kembali bercerita tentang perpisahan mengharukan sepasang kekasih. Ia 
lelah bersandiwara. 
"Sudahlah, Bibi. Itu masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi," kata Lolanda ketus. 
"Aku tidak bisa melupakannya. Butuh waktu beberapa lama untuk itu." Bibinya terlihat 
memelas. 
Di mana wajah semringah itu, batin Lolanda. Di mana kebahagiaan yang pernah 
tertangkap olehnya pada pagi itu, yang membuat putaran hidupnya berhenti seketika 
karena ternyata bibinya akan punya bayi dari darah ayahnya, yang membuat Lolanda 
kehilangan kesempatan menjaga sebuah cinta milik ibunya. 
"Bibi selalu berlebihan." Lolanda meninggalkan bibinya. 
Bibi menatap kepergian Lolanda tanpa berkedip. Ia sama sekali tidak mengerti maksud 
kalimat Lolanda. Ia tidak pernah berhadapan dengan Lolanda yang mengabaikannya dan 
mulai terlihat menakutkan dengan tubuh kehitaman mirip jamur raksasa. 
"Lolanda sayang..." bibinya memanggil. "Lolanda sayang..." Tubuh bibinya menggigil. 
*** 
Lolanda, gadis pemetik jamur yang murung, pagi-pagi sekali kembali ke tengah kebun 
kopi membawa tubuh yang terluka. Ia menerobos batang-batang kopi yang dingin. 
Membuat daun-daun kopi bergoyang-goyang, dan air di daun itu berjatuhan ke tanah 
warna hitam. 
Di dekat lembah, Lolanda berhenti. Di sana banyak batang-batang kayu berukuran besar 
dan mulai lapuk, tempat jamur sering tumbuh. Jamur putih, jamur elang, jamur kelumbuk, 
jamur kuping, jamur bibir, jamur tui. Ya. Lolanda akan memetik bermacam-macam jamur 
itu, dan ia tinggal menyelipkan jamur lain, entah apa namanya, yang dulu sering 
diingatkan ibunya untuk tidak dipetik. Dan bibi akan memasak jamur seperti biasa tanpa 
curiga sebab bibi sama sekali tidak mengerti tentang mana jamur yang boleh dimakan 
mana yang tidak. Kemudian mereka akan makan bersama lagi dalam suasana 
kekeluargaan orang-orang yang lama tinggal di perkebunan. Setelah itu... 
Lolanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia menolak memikirkan akhir drama itu. 
Nanti saja. Kalau waktunya sudah makin dekat. Ketika tangan ibunya mulai terulur, 
pertama-tama tentu meraih ayah, lelaki yang sangat dicintai ibu, selanjutnya bibi dan calon 
bayi dalam perut yang mulai membesar itu, lalu ia sendiri. Setelah itu...Ah, Lolanda 
mendengus. Dasar iblis, makinya. 
Ayah mati. Bibi dan calon bayi mati. Ia mati. Mereka berakhir tanpa ada yang menang 
atau kalah. 
"Iblis! Iblis!" Lolanda berteriak keras. Sungguh ia belum ingin berpikir tentang akhir drama 
itu. Sungguh! 
**** 
Rumah Palung Laut, 29 April 2007 22.23

More Related Content

What's hot

Remember when winna efendi pdf
Remember when   winna efendi pdfRemember when   winna efendi pdf
Remember when winna efendi pdfFitrotul Af'idah
 
Sayap bidadari
Sayap bidadariSayap bidadari
Sayap bidadarionessfee
 
Valleria verawati.pacarkujuniorku
Valleria verawati.pacarkujuniorkuValleria verawati.pacarkujuniorku
Valleria verawati.pacarkujuniorkuIvan Yandri
 
Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)
Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)
Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)Arvinoor Siregar SH MH
 
Game is-over
Game is-overGame is-over
Game is-overonessfee
 
Thermodinamika Cinta Boarkim'09
Thermodinamika Cinta Boarkim'09Thermodinamika Cinta Boarkim'09
Thermodinamika Cinta Boarkim'09ZainulHasan13
 
Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2tengkiu
 
Cintaku berlabuh di mesir
Cintaku berlabuh di mesirCintaku berlabuh di mesir
Cintaku berlabuh di mesirbadruz zaman
 
Kajian Cerpen Gersang karya Masniah Kalyubi
Kajian Cerpen Gersang karya Masniah KalyubiKajian Cerpen Gersang karya Masniah Kalyubi
Kajian Cerpen Gersang karya Masniah KalyubiMomee Rain
 

What's hot (12)

Remember when winna efendi pdf
Remember when   winna efendi pdfRemember when   winna efendi pdf
Remember when winna efendi pdf
 
Sayap bidadari
Sayap bidadariSayap bidadari
Sayap bidadari
 
Valleria verawati.pacarkujuniorku
Valleria verawati.pacarkujuniorkuValleria verawati.pacarkujuniorku
Valleria verawati.pacarkujuniorku
 
Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)
Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)
Gajah di pelupuk mata (sunaryono basuki ks)
 
Game is-over
Game is-overGame is-over
Game is-over
 
Thermodinamika Cinta Boarkim'09
Thermodinamika Cinta Boarkim'09Thermodinamika Cinta Boarkim'09
Thermodinamika Cinta Boarkim'09
 
Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2
 
Cintaku berlabuh di mesir
Cintaku berlabuh di mesirCintaku berlabuh di mesir
Cintaku berlabuh di mesir
 
Kertas pena by cmoot
Kertas pena by cmootKertas pena by cmoot
Kertas pena by cmoot
 
Kajian Cerpen Gersang karya Masniah Kalyubi
Kajian Cerpen Gersang karya Masniah KalyubiKajian Cerpen Gersang karya Masniah Kalyubi
Kajian Cerpen Gersang karya Masniah Kalyubi
 
Los felidas
Los felidasLos felidas
Los felidas
 
Krakteristik balai pustaka
Krakteristik balai pustakaKrakteristik balai pustaka
Krakteristik balai pustaka
 

Viewers also liked (10)

Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)
 
Ini anak aku, bukan anak kau (hang kafrawi)
Ini anak aku, bukan anak kau (hang kafrawi)Ini anak aku, bukan anak kau (hang kafrawi)
Ini anak aku, bukan anak kau (hang kafrawi)
 
Yang liu van keukenhof (veven sp. wardhana)
Yang liu van keukenhof (veven sp. wardhana)Yang liu van keukenhof (veven sp. wardhana)
Yang liu van keukenhof (veven sp. wardhana)
 
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
Dongeng penunggu surau (mahmudi arif d)
 
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
 
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
Ibu tahu rahasiaku (puthut ea)
 
Sebatang pohon (yetti a ka)
Sebatang pohon (yetti a ka)Sebatang pohon (yetti a ka)
Sebatang pohon (yetti a ka)
 
Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)
 
Pilkada (adek alwi)
Pilkada (adek alwi)Pilkada (adek alwi)
Pilkada (adek alwi)
 
Eppak (mahwi air tawar)
Eppak (mahwi air tawar)Eppak (mahwi air tawar)
Eppak (mahwi air tawar)
 

Similar to Gadis pemetik jamur (yetti a ka)

teks-cerita-inspiratif.pptx
teks-cerita-inspiratif.pptxteks-cerita-inspiratif.pptx
teks-cerita-inspiratif.pptxAyuWulanSari26
 
Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba tammi prastowo
 
Cerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docxCerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docxSarif Hidayat
 
Cerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docxCerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docxSarif Hidayat
 
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptxTEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptxdinamarsela423
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasiHendryPutrihijau
 
Skrip-bercerita-tahap-1
 Skrip-bercerita-tahap-1 Skrip-bercerita-tahap-1
Skrip-bercerita-tahap-1rozitabtzain
 
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlaluPart 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlaluAbdul Rahman Masruhim
 
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"RAHMATADIANTO
 
Cinta diujung doa 3.docx
Cinta diujung doa 3.docxCinta diujung doa 3.docx
Cinta diujung doa 3.docxSusilaGusfitri
 
Cinta diujung doa 2.docx
Cinta diujung doa 2.docxCinta diujung doa 2.docx
Cinta diujung doa 2.docxSusilaGusfitri
 
CERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docx
CERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docxCERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docx
CERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docxSusilaGusfitri
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiriNovi Indah
 
Kado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaKado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaReza Mahendra
 

Similar to Gadis pemetik jamur (yetti a ka) (20)

teks-cerita-inspiratif.pptx
teks-cerita-inspiratif.pptxteks-cerita-inspiratif.pptx
teks-cerita-inspiratif.pptx
 
Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba
 
Cerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docxCerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docx
 
Cerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docxCerpen Racik Kopi.docx
Cerpen Racik Kopi.docx
 
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptxTEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
 
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
Perempuan bunga kertas (yetti a ka)
 
Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)
Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)
Tiga episod bangkai (zelfeni wimra)
 
Adhe
AdheAdhe
Adhe
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
 
Skrip-bercerita-tahap-1
 Skrip-bercerita-tahap-1 Skrip-bercerita-tahap-1
Skrip-bercerita-tahap-1
 
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlaluPart 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
 
Kisah Hidup Damayanti
Kisah Hidup Damayanti Kisah Hidup Damayanti
Kisah Hidup Damayanti
 
Kasih seorang ibu
Kasih seorang ibuKasih seorang ibu
Kasih seorang ibu
 
Kasih seorang ibu
Kasih seorang ibuKasih seorang ibu
Kasih seorang ibu
 
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
 
Cinta diujung doa 3.docx
Cinta diujung doa 3.docxCinta diujung doa 3.docx
Cinta diujung doa 3.docx
 
Cinta diujung doa 2.docx
Cinta diujung doa 2.docxCinta diujung doa 2.docx
Cinta diujung doa 2.docx
 
CERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docx
CERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docxCERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docx
CERPEN Cinta Di Ujung Do'a1111.docx
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
 
Kado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaKado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bunda
 

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Gadis pemetik jamur (yetti a ka)

  • 1. Media Indonesia Minggu, 20 Mei 2007 GADIS PEMETIK JAMUR Cerpen: Yetti A KA IA gadis pemetik jamur. Hampir setiap pagi ia berada di tengah kebun kopi, menyingkap kabut, mencium aroma bunga kopi dan bau daun-daun membusuk, mencari jamur di batang-batang kayu lapuk dan basah, memilih jamur yang tidak beracun sebelum dipetik (jamur yang dimakan ulat biasanya tidak mengandung racun). Menjelang pukul delapan ia pun sudah membawa pulang sekeranjang jamur untuk dimasak bening, ditumis, disantan, atau dipepes ibunya-ah bukan ibu, melainkan ibu tiri atau lebih tepat bibinya. Setelah itu masakan jamur bibinya sudah terhidang di samping nasi hangat, lalapan timun atau kol, sambal cabe rawit tomat panggang, dilengkapi kerupuk jalin; menu pagi hari yang sangat digemari orang-orang yang biasa tinggal di perkebunan kopi itu, di alam yang memiliki curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun, tempat bermacam-macam jamur tumbuh tiada henti-henti. *** Semua tahu, Lolanda, gadis pemetik jamur itu, seseorang yang terlihat periang, lincah dan manis jika dibandingkan dengan gadis-gadis yang berada di perkebunan. Ia ramah, suka membantu, dan pandai menyenangkan hati orang lain, kecuali terhadap bibinya. Ia lebih sering menganggap bibinya orang asing, perempuan tidak berguna, dan musuh yang harus diwaspadai. Kadang-kadang ia melihat bibi persis ular yang tengah menunggu kesempatan menjulurkan lidah, mematuk, dan mengalirkan bisa ke tubuhnya. Semua pikiran buruk tentang bibi itu melintas bagai sambaran api, kadang amat mengejutkannya, dan ia akan ketakutan setengah mati. Ia memang selalu tidak siap berhadapan dengan kenyataan. Sama persis ketika ia tidak sanggup menerima detik-detik kematian ibunya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya terlihat pasrah dan tidak berdaya. Lalu bibi datang dari kota (dan rela meninggalkan pekerjaan), menyambut tangan ibu yang kurus. Mereka saling berbisik, seakan-akan tengah melakukan suatu perjanjian. Diam-diam Lolanda memerhatikan kejadian itu lewat celah pintu, dan ia sudah dapat membayangkan bibi akan menggantikan tempat ibunya dalam waktu dekat lewat sikap dua perempuan itu. Ia menjerit keras seraya lari ke teras. Ia bukan tidak suka bibinya. Bukan itu. Bibi sering mengiriminya berbagai mainan, baju baru, cokelat, dan kue kering aneka rasa. Jadi, mana mungkin ia benci bibinya. Hanya jika bibi harus mengisi tempat yang sepantasnya hanya milik ibunya, ia sungguh-sungguh tidak bisa. Dan semakin ia membayangkannya, kenyataan mengerikan itu makin mendekatinya. Meneror. Bila kemudian ia menyerah juga dan menganggukkan kepala saat ayah minta persetujuan untuk menerima kehadiran bibi sebagai pengganti ibunya setelah satu bulan ibu meninggal dunia, itu karena ia benar-benar tidak punya kekuatan. Ia terlalu kecil untuk menentang rencana orang dewasa. Apalagi ia juga tahu, ibu yang meminta bibi. Barangkali ibu juga telah menyerahkan dirinya bulat-bulat pada bibi, memindahtangankan tanggung jawab pengasuhan, tanpa bertanya apa ia setuju atau tidak. Selebihnya ia harus menurut pada kehendak terakhir ibunya itu. Jika tidak, sama saja ia mengkhianati ibunya, perempuan yang lebih sering mengenakan daster dan sarung selama hidupnya, jarang tampil luar biasa di hadapan orang lain, dan tidak pula pintar seperti bibi yang sekolahan (ibunya memilih dan mewarisi kebun kopi, sedangkan bibinya memilih sekolah dan berkarier di kota). Namun, ibunya punya ketulusan dalam mencintai, sesuatu yang belum tentu dimiliki perempuan lain, termasuk bibinya, meski ia tahu bibinya tentu telah berkorban dengan membunuh mimpi-mimpinya yang serupa gunung, menjulang terlalu tinggi, mengintai bintang di langit, dan menggantinya dengan kenyataan yang tiba-tiba
  • 2. berada di depannya; menjadi seorang istri bagi lelaki yang tidak ia cintai sekaligus ibu dari anak umur sepuluh tahun yang tidak pernah ia lahirkan sendiri. Karena itu pula bukan, sehari sebelum menyatakan bersedia menjadi istri ayahnya, bibinya merayakan perpisahan dengan kekasih yang ia cintai, menangis beberapa jam, lalu mereka bercinta untuk pertama dan terakhir kali. Setelah itu, bibinya pulang, berkata pada ibunya yang sedang sekarat: Baiklah aku akan menikah dengan suamimu dan menjaga Lolanda kesayangan kita. Entah kenapa bibinya harus melakukan itu. Membuat mata semua orang memandang iba padanya, seolah-olah bibi tengah terjerembab di lubang dalam penuh duri, mengoyak-ngoyak kulit halusnya sampai berdarah-darah, menghancurkan tubuhnya yang padat berisi itu. "Tidak seburuk itu, Lolanda. Kau dan ayahmu bukan duri. Bukan sesuatu yang akan menusuk kulitku. Kalian kesayangan kakakku, dan kini menjadi kesayanganku juga," ujar bibinya menghibur diri, setiap saat, lebih-lebih bila ia sudah bercerita lagi tentang perpisahan sepasang kekasih yang mengharukan itu, cerita yang terlalu sering didengar Lolanda dari bibinya selama delapan tahun mereka bersama, seakan-akan dengan begitu dada bibinya sedikit lapang. Sementara itu, Lolanda menganggap cerita itu bagai dongeng penuh air mata, membuatnya beberapa saat terjebak rasa pilu dan dadanya dikurung penyesalan. Seharusnya bibi tidak perlu kehilangan begitu banyak kebahagiaan. Membuatnya tampak sangat menyedihkan. Kalau saja Lolanda bisa mencegah dari awal. Atau kalau saja ibunya tidak sakit, tidak pergi meninggalkan dirinya yang masih kecil, yang masih butuh perlindungan seorang ibu. Bibinya tidak akan pernah sama dengan ibunya. Sekeras apa pun bibi berusaha. Lolanda tidak bisa percaya bibi bisa membuatnya merasa nyaman, merasa berada dalam pelukan ibu di saat-saat yang dibutuhkan. Di hadapannya, bibi tidak lebih dari seseorang yang putus asa. Maka Lolanda hanya bisa berkata, "Tentu bukan duri, Bibi. Tidak mungkin kami duri. Kita saling menyayangi." Sesekali, memang, Lolanda berusaha menunjukkan sikap pengertian yang dalam. Sekadar kepura-puraan atau kesungguhan, ia tidak tahu pasti. Ia memegang tangan bibinya, persis dua sahabat yang saling mengerti. Mereka bertatapan. Berpelukan. Menyandarkan tanggungan satu sama lain. Siapa pun yang melihat kejadian itu, pasti menyangka mereka benar-benar serasi sebagai ibu dan anak. Adakah yang bisa membaca gelagat mata Lolanda yang sarat kelicikan dan terbakar cemburu. Tidak. Tidak satu pun. Lolanda tidak membiarkan orang lain mencampuri perasaannya, mencari tahu isi hatinya. Ia menutup diri rapat-rapat. Juga pada ayahnya. Orang lain hanya bisa melihat dirinya yang palsu; ia yang periang, lincah, dan manis. Selebihnya hanya dirinya sendiri yang tahu. Juga tentang rencana-rencana menyingkirkan bibi dari ayahnya. Membuat perempuan itu tidak pernah dicintai ayahnya secara sungguh-sungguh sebagai pengganti ibunya. Sebab itu Lolanda menolak melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Ia ingin mengikuti jalan ibunya, perempuan yang hidup di perkebunan kopi dari kecil hingga menikah, menjadi perempuan pemetik jamur yang suatu ketika dicintai seorang lelaki hanya karena ketulusannya. Ya. Ia akan merebut ayahnya kembali. Membuat lelaki itu menemukan ibu dalam dirinya sebagai gadis pemetik jamur. Hampir setiap pagi ia pun sudah berada di tengah kebun kopi untuk mencari bermacam-macam jenis jamur. Ia menjejakkan kaki di tanah yang dulu pernah dilalui ibunya, bertahun-tahun. Ada kenangan yang terus bergerak setiap kali ia melewati batang-batang kopi, membuat ia tidak ingin berhenti, dan terus menjelajahinya, sampai ia menemukan dirinya sendiri telah menjelma jamur raksasa, jamur beracun yang siap mengancam bibinya yang cantik dan pintar itu. Dada Lolanda berdegup keras. Setiap kali begitu. Apalagi akhir-akhir ini. ***
  • 3. Hingga suatu pagi, awan sangat tebal ketika Lolanda berlari ke tengah kebun kopi. Ia membawa keranjang kosong. Keranjang milik ibunya, satu-satunya yang tersisa dari lima keranjang yang ditinggalkan ibu delapan tahun lalu. Sebelum berangkat ia masih sempat melihat ayah dan bibi melambaikan tangan, "Jangan lama-lama di tengah kebun kopi, Lolanda, nanti kau kehujanan," teriak bibi. Wajah ayah dan bibinya berseri-seri. Perasaan Lolanda campur aduk. Ia gugup dan cemas. Hanya berlari, pikirnya, satu-satunya cara melawan serangan yang muncul tiba-tiba dalam dirinya. Ia berlari. Secepatnya. Sayup ia masih mendengar suara bibi: Cepat kembali! Cepat kembali! Suara itu seolah terus mengejarnya. Ketika ia menoleh, ia tidak dapat melihat ayah dan bibinya, ia merasa telah sangat jauh, dan ia bernapas lega. Tapi sesudah itu ia disambut kesunyian kebun kopi pagi hari, membuat ia merasa menjadi seorang gadis tanpa siapa-siapa. Kekalutan bertengger di wajahnya, persis burung patah sayap. Ia tidak bisa lagi tersenyum pada daun-daun atau dingin pagi yang selalu menemaninya berburu jamur, bertahun-tahun. "Aku cemburu," pekik Lolanda. Pagi tambah gelap. Awan bergerak cepat di atas kepala Lolanda. "Aku akan segera kehilangan ayah untuk selama-lamanya." Lolanda meremas daun-daun kopi. Air matanya meleleh sudah. Keranjang jatuh dari tangannya. Menggelinding. Menuruni tebing. Dalam waktu cepat Lolanda telah kehilangan satu-satunya kenangan dari ibunya, satu-satunya keranjang yang semestinya harus ia jaga baik-baik, sebab ia tidak mungkin mengejar keranjang itu hingga ke lembah di mana air dari bukit-bukit berkumpul dan mengalir, tempat beribu-ribu makhluk halus berdiam sejak beribu-ribu tahun lalu, jauh sebelum sebidang kecil tanah perkebunan kopi jatuh ke tangan kakek dari pihak ibunya. Lolanda terperangah menyadari kecerobohan itu, tapi kemudian ia memilih tidak mau peduli. Potongan kebahagiaan wajah ayah dan bibi kembali hadir di matanya. Betapa semringah senyum ayah. Kabut yang bertahun-tahun bergayut di wajahnya sejak ibu meninggal dunia, sama sekali tidak berbekas. Semua itu terjadi begitu mendadak, bahkan Lolanda nyaris tidak menyadarinya. Kapan. Adakah dalam beberapa hari ini. Kenapa ayah tidak memberinya kesempatan. Sedikit saja lagi. Tidakkah ayah harusnya menunggu. Tidak harus menghabiskan waktu sekian lama. Hanya beberapa minggu lagi, itu sudah cukup. Tapi ayah justru membuatnya benar-benar putus asa, membuat ia terlihat sama sekali tidak berguna. Kenapa ayah tidak mau menghargainya yang susah payah menghadirkan sosok ibu dalam tubuhnya, dalam hari-hari yang ia titi. Bukankah ia melakukan itu demi ayah. Demi mereka berdua. Ya. Hanya ia dan ayah. Tidak ada bibi. Tidak ada perempuan lain yang pantas berada di tempat ibunya, kecuali dirinya, Lolanda si pemetik jamur. "Aku terbakar cemburu, Ayah! Aku sungguh-sungguh terbakar!" Ayah dan bibi tertawa sangat lebar. Rongga telinga Lolanda dipenuhi suara tawa itu. Lolanda menjerit-jerit. Tubuh Lolanda berputar-putar, terbentur batang-batang kopi, kemudian rubuh. Ia pingsan atau tertidur. Ketika terjaga ia sudah tumbuh menjadi jamur tanah raksasa. Racun menetes dari bibir jamurnya yang lembut. Ia bayangkan, tidak saja bibi yang akan mati karena racun itu, tapi juga ayahnya. Itulah pembalasan bagi pengkhianat. Langit kian kelam, sekelam hatinya. Ia ingat pesan bibinya. Ia pun pulang sebelum kehujanan. *** Maka orang-orang tidak lagi bertemu gadis pemetik jamur yang lincah, periang, dan manis, sejak itu. Seiring itu masakan jamur bibinya sudah jarang pula terhidang di samping nasi hangat, lalapan timun atau kol, sambal cabe rawit tomat panggang, dilengkapi kerupuk jalin.
  • 4. Lolanda berhenti mencari jamur. Berhenti mengharapkan ia bisa seperti ibunya. Juga berhenti melakukan sesuatu untuk merebut ayahnya kembali. Ia berubah pendiam, mengasingkan diri bersama sekian rencana jahat yang makin ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu yang tepat untuk meledakkannya ke permukaan, ke hadapan ayah dan bibi. Ia juga tidak perlu lagi berpura-pura memahami perasaan bibinya saat perempuan itu sekali waktu kembali bercerita tentang perpisahan mengharukan sepasang kekasih. Ia lelah bersandiwara. "Sudahlah, Bibi. Itu masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi," kata Lolanda ketus. "Aku tidak bisa melupakannya. Butuh waktu beberapa lama untuk itu." Bibinya terlihat memelas. Di mana wajah semringah itu, batin Lolanda. Di mana kebahagiaan yang pernah tertangkap olehnya pada pagi itu, yang membuat putaran hidupnya berhenti seketika karena ternyata bibinya akan punya bayi dari darah ayahnya, yang membuat Lolanda kehilangan kesempatan menjaga sebuah cinta milik ibunya. "Bibi selalu berlebihan." Lolanda meninggalkan bibinya. Bibi menatap kepergian Lolanda tanpa berkedip. Ia sama sekali tidak mengerti maksud kalimat Lolanda. Ia tidak pernah berhadapan dengan Lolanda yang mengabaikannya dan mulai terlihat menakutkan dengan tubuh kehitaman mirip jamur raksasa. "Lolanda sayang..." bibinya memanggil. "Lolanda sayang..." Tubuh bibinya menggigil. *** Lolanda, gadis pemetik jamur yang murung, pagi-pagi sekali kembali ke tengah kebun kopi membawa tubuh yang terluka. Ia menerobos batang-batang kopi yang dingin. Membuat daun-daun kopi bergoyang-goyang, dan air di daun itu berjatuhan ke tanah warna hitam. Di dekat lembah, Lolanda berhenti. Di sana banyak batang-batang kayu berukuran besar dan mulai lapuk, tempat jamur sering tumbuh. Jamur putih, jamur elang, jamur kelumbuk, jamur kuping, jamur bibir, jamur tui. Ya. Lolanda akan memetik bermacam-macam jamur itu, dan ia tinggal menyelipkan jamur lain, entah apa namanya, yang dulu sering diingatkan ibunya untuk tidak dipetik. Dan bibi akan memasak jamur seperti biasa tanpa curiga sebab bibi sama sekali tidak mengerti tentang mana jamur yang boleh dimakan mana yang tidak. Kemudian mereka akan makan bersama lagi dalam suasana kekeluargaan orang-orang yang lama tinggal di perkebunan. Setelah itu... Lolanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia menolak memikirkan akhir drama itu. Nanti saja. Kalau waktunya sudah makin dekat. Ketika tangan ibunya mulai terulur, pertama-tama tentu meraih ayah, lelaki yang sangat dicintai ibu, selanjutnya bibi dan calon bayi dalam perut yang mulai membesar itu, lalu ia sendiri. Setelah itu...Ah, Lolanda mendengus. Dasar iblis, makinya. Ayah mati. Bibi dan calon bayi mati. Ia mati. Mereka berakhir tanpa ada yang menang atau kalah. "Iblis! Iblis!" Lolanda berteriak keras. Sungguh ia belum ingin berpikir tentang akhir drama itu. Sungguh! **** Rumah Palung Laut, 29 April 2007 22.23