Dokumen tersebut membahas tentang ijtihad dan mujtahid. Ia menjelaskan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala daya untuk menghasilkan hukum syara' dari dalil-dalilnya. Ijtihad memiliki dasar hukum dari Al-Quran dan hadis. Objek ijtihad adalah hukum syara' yang tidak memiliki dalil qath'i. Seorang mujtahid harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti memiliki pen
PPT ini merupakan tugas yang diberikan oleh Dosen: Khoirul Anwar, M.Ag
Disusun oleh kelompok 2 kelas IF B1
Dengan tema Al- Qur'an dan wahyu
Terimakasih....
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan struktur hadits, serta cabang-cabang ilmu hadits seperti riwayat, dirayah, dan musthalah hadits. Juga dibahas pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad dan kuantitas rawi, serta syarat-syarat hadits shahih.
Dokumen tersebut membahas tentang ilmu hadits (ulul hadits), yang mencakup definisi, objek pembahasan, dan manfaatnya. Juga membahas istilah-istilah terkait hadits seperti khabar, asanid, muhaddits, hafizh, dan hakim.
Dokumen tersebut membahas tentang istilah-istilah dalam hadits seperti sanad, matan, rawi, hadits shahih, hasan dan dha'if. Sanad merupakan rantai para perawi hadits, matan adalah isi hadits, sedangkan rawi adalah orang yang meriwayatkan hadits. Hadits dibedakan menjadi shahih (sahih), hasan dan dha'if berdasarkan kriteria sanad dan rawinya.
Ijtihad adalah usaha maksimal seorang ahli fiqh dalam memahami hukum syariat. Terdapat beberapa jenis ijtihad seperti ijtihad fardli dan ijtihad jama'i. Ijtihad berlandaskan al-Quran, sunnah, dan dalil akal. Terdapat syarat-syarat menjadi mujtahid seperti menguasai bahasa Arab dan hadis."
Dokumen tersebut membahas tentang ijtihad dan mujtahid. Ia menjelaskan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala daya untuk menghasilkan hukum syara' dari dalil-dalilnya. Ijtihad memiliki dasar hukum dari Al-Quran dan hadis. Objek ijtihad adalah hukum syara' yang tidak memiliki dalil qath'i. Seorang mujtahid harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti memiliki pen
PPT ini merupakan tugas yang diberikan oleh Dosen: Khoirul Anwar, M.Ag
Disusun oleh kelompok 2 kelas IF B1
Dengan tema Al- Qur'an dan wahyu
Terimakasih....
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan struktur hadits, serta cabang-cabang ilmu hadits seperti riwayat, dirayah, dan musthalah hadits. Juga dibahas pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad dan kuantitas rawi, serta syarat-syarat hadits shahih.
Dokumen tersebut membahas tentang ilmu hadits (ulul hadits), yang mencakup definisi, objek pembahasan, dan manfaatnya. Juga membahas istilah-istilah terkait hadits seperti khabar, asanid, muhaddits, hafizh, dan hakim.
Dokumen tersebut membahas tentang istilah-istilah dalam hadits seperti sanad, matan, rawi, hadits shahih, hasan dan dha'if. Sanad merupakan rantai para perawi hadits, matan adalah isi hadits, sedangkan rawi adalah orang yang meriwayatkan hadits. Hadits dibedakan menjadi shahih (sahih), hasan dan dha'if berdasarkan kriteria sanad dan rawinya.
Ijtihad adalah usaha maksimal seorang ahli fiqh dalam memahami hukum syariat. Terdapat beberapa jenis ijtihad seperti ijtihad fardli dan ijtihad jama'i. Ijtihad berlandaskan al-Quran, sunnah, dan dalil akal. Terdapat syarat-syarat menjadi mujtahid seperti menguasai bahasa Arab dan hadis."
ULUMUL HADIS (SEJARAH HADITS PRA KODIFIKASI DAN PASCA KODIFIKASI)annisa berliana
Ringkasan singkat dokumen tersebut adalah:
Kodifikasi hadis dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menyelamatkan hadis-hadis dari kepunahan akibat hilangnya para ulama dan bercampurnya hadis sahih dan palsu. Proses kodifikasi meliputi pengumpulan, penyeleksian, dan penyusunan hadis ke dalam kitab-kitab hadis oleh para ulama. Hal ini membantu melestarikan dan mengemb
Dokumen tersebut membahas tentang ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijtihad dilakukan untuk menemukan hukum agama melalui al-Quran dan hadis ketika tidak ditemukan hukumnya secara langsung. Terdapat beberapa tingkatan ijtihad dan persyaratan untuk menjadi mujtahid. Ijtihad dilakukan pada masalah-masalah tertentu dengan menggunakan metode seperti qiyas.
Tiga sumber utama ajaran Islam adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, dan Ijtihad. Ijtihad dilakukan untuk menetapkan hukum-hukum yang belum diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan Sunnah dengan menggunakan akal sekuat mungkin. Proses ijtihad dilakukan oleh ulama yang memenuhi syarat keahlian tertentu.
Makalah ini membahas tentang qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam. Terdiri dari pendahuluan, pembahasan, dan penutup. Pembahasan mencakup pengertian qiyas, rukun-rukunnya, dalil kehujjaannya, macam-macam qiyas, keraguan penolak qiyas, dan syarat-syarat qiyas.
Makalah ini membahas tentang fawatihus suwar atau pembukaan surah-surah dalam Al-Quran. Terdapat berbagai macam bentuk fawatihus suwar seperti pujian kepada Allah, huruf terpisah, kalimat khabariyah, sumpah, dan lainnya. Para ulama memiliki pendapat berbeda tentang makna dari fawatihus suwar, antara lain bahwa maknanya tersembunyi atau dapat dipahami.
Dokumen tersebut membahas sumber-sumber hukum Islam yang disepakati dan tidak disepakati, termasuk penjelasan singkat mengenai masing-masing sumber hukum seperti Al-Quran, Hadis, Ijma, Qiyas, dan lainnya.
Makalah ini membahas tentang model penelitian keagamaan. Pembahasan dimulai dengan latar belakang masalah penelitian agama, rumusan masalah, kemudian membahas tentang pengertian penelitian agama dan keagamaan serta perbedaannya. Juga dibahas tentang konstruksi teori dan model-model penelitian keagamaan.
Makalah ini membahas tentang metode ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan maksimal untuk menemukan hukum syara' dari dalil-dalil yang ada. Ijtihad wajib dilakukan karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah. Syarat menjadi mujtahid antara lain menguasai al-Quran, hadis, bahasa Arab, dan ilmu ushul fiqh. Terdapat beberapa metode ijtihad seperti ij
salah satu metode yang digunakan dalam menentukan suatu hukum berdasarkan kesungguhan atau kemampuan akal seseorang. Ijtihad juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam.
ULUMUL HADIS (SEJARAH HADITS PRA KODIFIKASI DAN PASCA KODIFIKASI)annisa berliana
Ringkasan singkat dokumen tersebut adalah:
Kodifikasi hadis dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menyelamatkan hadis-hadis dari kepunahan akibat hilangnya para ulama dan bercampurnya hadis sahih dan palsu. Proses kodifikasi meliputi pengumpulan, penyeleksian, dan penyusunan hadis ke dalam kitab-kitab hadis oleh para ulama. Hal ini membantu melestarikan dan mengemb
Dokumen tersebut membahas tentang ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijtihad dilakukan untuk menemukan hukum agama melalui al-Quran dan hadis ketika tidak ditemukan hukumnya secara langsung. Terdapat beberapa tingkatan ijtihad dan persyaratan untuk menjadi mujtahid. Ijtihad dilakukan pada masalah-masalah tertentu dengan menggunakan metode seperti qiyas.
Tiga sumber utama ajaran Islam adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, dan Ijtihad. Ijtihad dilakukan untuk menetapkan hukum-hukum yang belum diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan Sunnah dengan menggunakan akal sekuat mungkin. Proses ijtihad dilakukan oleh ulama yang memenuhi syarat keahlian tertentu.
Makalah ini membahas tentang qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam. Terdiri dari pendahuluan, pembahasan, dan penutup. Pembahasan mencakup pengertian qiyas, rukun-rukunnya, dalil kehujjaannya, macam-macam qiyas, keraguan penolak qiyas, dan syarat-syarat qiyas.
Makalah ini membahas tentang fawatihus suwar atau pembukaan surah-surah dalam Al-Quran. Terdapat berbagai macam bentuk fawatihus suwar seperti pujian kepada Allah, huruf terpisah, kalimat khabariyah, sumpah, dan lainnya. Para ulama memiliki pendapat berbeda tentang makna dari fawatihus suwar, antara lain bahwa maknanya tersembunyi atau dapat dipahami.
Dokumen tersebut membahas sumber-sumber hukum Islam yang disepakati dan tidak disepakati, termasuk penjelasan singkat mengenai masing-masing sumber hukum seperti Al-Quran, Hadis, Ijma, Qiyas, dan lainnya.
Makalah ini membahas tentang model penelitian keagamaan. Pembahasan dimulai dengan latar belakang masalah penelitian agama, rumusan masalah, kemudian membahas tentang pengertian penelitian agama dan keagamaan serta perbedaannya. Juga dibahas tentang konstruksi teori dan model-model penelitian keagamaan.
Makalah ini membahas tentang metode ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan maksimal untuk menemukan hukum syara' dari dalil-dalil yang ada. Ijtihad wajib dilakukan karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah. Syarat menjadi mujtahid antara lain menguasai al-Quran, hadis, bahasa Arab, dan ilmu ushul fiqh. Terdapat beberapa metode ijtihad seperti ij
salah satu metode yang digunakan dalam menentukan suatu hukum berdasarkan kesungguhan atau kemampuan akal seseorang. Ijtihad juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam.
Makalah ini membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, sedangkan qiyas adalah menyamakan hukum baru dengan hukum lama berdasarkan kesamaan alasan hukum. Makalah ini juga menjelaskan rukun, syarat, dan macam-macam ijma' dan qiyas.
Makalah ini membahas tentang istihsan sebagai salah satu metode berijtihad. Istihsan didefinisikan sebagai berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat. Makalah ini juga membahas macam-macam istihsan, dasar hukum istihsan menurut al-Qur'an dan hadis, serta pendapat ulama tentang kehujjahan istihs
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan objek yang diperbolehkan dan dilarang dalam ijtihad. Ijtihad adalah upaya untuk menggali hukum Islam melalui interpretasi Al-Quran dan Hadis. Dasar hukumnya adalah ayat Al-Quran dan hadis tentang Mu'adz bin Jabal. Syarat menjadi mujtahid adalah menguasai bahasa Arab dan pengetahuan luas tentang Al-Q
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan objek yang diperbolehkan dan dilarang dalam ijtihad. Ijtihad adalah upaya untuk menggali hukum Islam melalui interpretasi Al-Quran dan Hadis. Dasar hukumnya adalah ayat Al-Quran dan hadis tentang Mu'adz bin Jabal. Syarat menjadi mujtahid adalah menguasai bahasa Arab dan pengetahuan luas tentang Al-Q
Makalah ini membahas tentang ijtihad dalam agama Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan seluruh kemampuan oleh seorang ahli fiqih untuk memperoleh pengertian terhadap suatu hukum syara'. Makalah ini menjelaskan ruang lingkup ijtihad, syarat menjadi mujtahid, tingkatan mujtahid, serta sebab perbedaan pendapat para imam madzhab.
Makalah ini membahas tentang hakim, mahkum fih, dan mahkum alaih. Hakim adalah Allah sebagai pembuat hukum syara' secara hakiki. Mahkum fih adalah perbuatan manusia sebagai objek hukum. Mahkum alaih adalah mukallaf yang harus memenuhi syarat kemampuan memahami hukum dan keahlian untuk dituntut.
Makalah ini membahas tentang pengertian hukum Islam meliputi syariah, fiqh, ushul fiqh, mazhab, fatwa, dan qaul. Juga membahas Islam sebagai sumber norma hukum dan etika, mazhab utama dalam hukum Islam, pendekatan hukum Islam, dan kontribusi pendekatan hukum Islam dalam studi Islam.
Dokumen tersebut membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama muslim tentang suatu masalah hukum, sedangkan qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah lama berdasarkan persamaan alasan hukumnya. Kedua sumber hukum ini diakui oleh kebanyakan ulama sebagai sumber hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan Al-
Makalah ini membahas tentang pengertian hukum dan moral dalam Islam, persamaan dan perbedaan antara keduanya, serta hubungan erat antara hukum dan moral menurut ajaran agama Islam."
Ijtihad adalah usaha maksimal untuk menemukan hukum syara' yang bersifat dhanni dengan menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang apabila tidak ditemukan dalam Al Quran dan Hadis. Terdapat berbagai metode ijtihad seperti ijma', qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah serta syarat-syarat untuk menjadi mujtahid seperti menguasai Al Quran, Hadis, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu lainny
Makalah ini membahas ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan Hadis. Ijtihad dilakukan untuk menentukan hukum-hukum yang belum diatur secara pasti dalam sumber-sumber utama tersebut. Ijtihad didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang menganjurkan penggunaan akal untuk mengambil hukum, dengan syarat dilakukan oleh ulama ahli fiqih.
Materi ini membahas tentang defenisi dan Usia Anak di Indonesia serta hubungannya dengan risiko terpapar kekerasan. Dalam modul ini, akan diuraikan berbagai bentuk kekerasan yang dapat dialami anak-anak, seperti kekerasan fisik, emosional, seksual, dan penelantaran.
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Fathan Emran
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka.
Ppt landasan pendidikan Pai 9 _20240604_231000_0000.pdffadlurrahman260903
Ppt landasan pendidikan tentang pendidikan seumur hidup.
Prodi pendidikan agama Islam
Fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan
Universitas Islam negeri syekh Ali Hasan Ahmad addary Padangsidimpuan
Pendidikan sepanjang hayat atau pendidikan seumur hidup adalah sebuah system konsepkonsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajarmengajar yang berlangsung dalam keseluruhan kehidupan manusia. Pendidikan sepanjang
hayat memandang jauh ke depan, berusaha untuk menghasilkan manusia dan masyarakat yang
baru, merupakan suatu proyek masyarakat yang sangat besar. Pendidikan sepanjang hayat
merupakan asas pendidikan yang cocok bagi orang-orang yang hidup dalam dunia
transformasi dan informasi, yaitu masyarakat modern. Manusia harus lebih bisa menyesuaikan
dirinya secara terus menerus dengan situasi yang baru.
1. MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IJTIHAD
Tim Penyusun :
1:
2:
3:
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
2. UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah
ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yakni ajaran
agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam.
Seperti; Al-Qur’an, Kedudukan Hadist, Ijma’, Qiyas, Pengertian Nash, Syari’ah, Teori
Istinbath Hukum dalam Islam, serta Ijtihad dan Perbedaan Mazdhab. Penyusun berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang konsep didalamnya.
Tim penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Tim penyusun berharap semoga
semua yang telah berjasa dalam penyusunan makalah ini mendapat balasan yang sebaik-baiknya
dari Allah SWT.
Akhirnya tim penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu
tim penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga
makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.
Lamongan, Oktober 2014
Tim Penyusun
3. DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ......................................................................................................i
SAMPUL DALAM .................................................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................
A. Latar Belakang ..................................................................................
B. Rumusan Masalah .............................................................................
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................
BAB II : PEMBAHASAN ......................................................................................
A. Pengertain Ijtihad..............................................................................
B. Kedudukan Hadist, Ijmak dan Qiyas ................................................
C. Pengertian Nash dan Syari’ah ..........................................................
D. Teori Konsep Istinbath Hukum dalam Islam ...................................
E. Ijtihad dan Perbedaan Mazdhab .......................................................
BAB III : KESIMPULAN .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang
menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ لإِسجْرَتِسهَاددُ : اِسسْرَتَفْرَرَاغُ الْرَوُ سْرَعِس فِسيْرَ نَيْرَلِس جُ كْرَمٍ ِ رْرَعِسيّ بِ بِسطَرِسيْرَقِس اْرَلإِسسْرَتِسنْرَبَادطِس مِسنَ الْرَكِستَادبِس وَالسُّنَّةِةِس.
Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertia ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk
menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu.
Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan
kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.1
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam.
Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas
kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari
sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya.
Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat
kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara
pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad
semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Secara historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni
pada zaman Nabi Muhammad saw, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan
tabi’in serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami
pasang surut dan karakteristiknya masing-masing. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman
1
5. Rasul saw, antara lain dapat dilacak dari riwayat ‘Amr bin ‘Ash yang mendengar Rasulullah
saw bersabda:“Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian dia
berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak
menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu
pahala”.
B. Rumusan Masalah
Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya
sebagai berikut:
1. Pengertian Ijtihad
2. Dasar-dasar Ijtihad
3. Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad
4. Macam-macam Ijtihad
5. Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah
6. Urgensi Ijtihad
7. Syarat-syarat Mujtahid
8. Tingkatan Mujtahid
9. Wilayah Ijtihad
C. Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Guru Madrasah Ibtida’iyah
3.Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Ijtihad
6. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijtihad
Ijtihad berakar dari kata “jahda” secara etimologi berarti : mencurahkan segala
kemampuan (berpikir) untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam prakteknya
digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.
Namun dalam al-Qur’an kata “Jahda” sebagaimana dalam Q.S 16:38, 24:53, 35:42,
semuanya mengandung arti “Badzu al-Wus’i wa al-Thoqoti” (pengerahan segala kesanggupan
dan kekuatan) atau juga berarti “al-Mubalaghah fi al-yamin” (berlebih lebihan dalam
sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan
untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.
Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari
kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu
menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyian”.2[1]
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan
(secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap
hukum syari’at.3[2]
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian
ijtihad adalah :
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum
yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3. Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
2
3
7. Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia
benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan
porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan
benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah,
seperti pada :
a. Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan
hukum lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut
dijadikan dasar hukum.
b. Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian
mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain
(ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap
kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan
(al-ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum
yang meliputi pengertian :
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya.
Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an
dan Hadits.
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah
syar iyah kulliyah.
3. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.4[3]
2.2 Dasar-dasar Ijtihad
Sebagai landasan ijtihad adalah :
1. Al-Qur’an
4
8. 2. As-Sunnah
3. Dalil Aqli (Rasio)
2.3 Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad
1. Benar atau salah dalam berijtihad
2. Mengikat atau tidak pendapat hasil Ijtihad
3. Pembatalan Ijtihad
2.4 Macam-macam Ijtihad
1. Ijtihad Fardli atau Ijtihad secara individual
2. Ijtihad Jama’i atau ijtihad secara kolektif5[4]
2.5 Ijtihad dalam tinjauan sejarah
Ditinjaudari segi historis ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman nabi
muhammad SAW, kemudian berkembang pada masa sahabat, dan tabiin, serta generasi
berikutnya hingga kini dan mendatang dengan memiliki ciri khusus masing-masing. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan dari ‘amr ibn al-‘ash ra. Ia mendengar rosulullah bersabda:”
apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, kemudian dia berijtihad dan ternyata
ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya salah baginya satu
ganjaran.”
Demikian juga sebuah hadis yang sangat populer di kala nabi muhammad SAW, hendak
mengutus muadz sebagai hadis qodli’ (hukum) di Yaman, nabi bertanya kepadanya:dengan
apa kamu memutuskan perkara muadz? lalu muadz menjawab: dengan sesuatu yang terdapat
dalam kitabullah. Kalau kamu tidak menemukannya dalam kitabullah?”pert`nyaan nabi
selanjutnya.” Aku akan memutuskan menurut hukum yang ada dalam sunnah rosulullah,”
jawab muadz lagi” kalau tidak kamu jumpai dalam kitabullah maupun dalam sunnah
rosulullah?” Beliau mengakhiri pertanyaannya, muadz menjawab:”aku akan berijtihad
dengan fikiranku sendiri”. Mendengar jawaban itu rosulullah mengakhiri dialognya sambil
5
9. menepuk dada muadz seraya beliau bersabda: “segala puji bagi allah yang telah memberikan
petunjuk pada utusan rosulya ke jalan yang di ridhoi oleh rosulullah”
Menyimak beberapa riwayat di atas dapat di pahami bahwa terjadinnya ijtihad pada
masa nabi muhammad SAW bukan semata-mat disebabkan atas dorongan nabi sendiri, namun
juga lahir atas inisiatif dari sebagian sahabat, sebagaiman tergambar dari hadis muadz di atas,
baru pada masa sahabat, ijtihad benar-benar mulai berfungsi sebagai alat penggali hukum
guna menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi umat islam yang hukumnya tidak secara
tegas di jumpai dalam al-quran dan sunnah, maka muncullah para sahabat terkemuka, seperti
abu bakar, umar, utsman, dan ali, sebagai pelopor melakukuan ijtihad. Oleh karena itu mereka
selalu bersikap:
a. Hanya berijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi.
b. Suka tukar menukar informasi
c. Sering bermusyawarah untuk memecahkan masalah(ijma’).
d. Tidak menganggap pendapatnya paling benarsendiri, tetapi menghargai pendapat orang
lain.
e. Segera menarik fatwanya setelah mengetahui beberapa sunnah yang bertentangan dengan
fatwanya.
Pada masa daulat bani umayyah(661-750) atau periode tiga, berlakunya ijtihad sama
dengan priode-priode sebelimnya meskipun situasi dalam keadaan perpecahan politik, banyak
pemalsuan hadis dan tersebarnya fatwa yang berlawanan. Sebagai puncaknya, muncullah
beberapa mujtahid pada periode IV (bani Abbasiyah), dimana pada fase ini fiqih islam
mencapai puncak kejayaan bersam dengan kemajuan islam di berbagai bidang. Sehingga
periode ini sering di sebut ijtihad dan lahir para mujtahid seperti:
a. Imam abu hanifah(150 H) di kuffah
b. Imam Malik bin Anas(179H) di madinah.
c. Imam Syafi’i (240 H) di Baghdad dan pindah ke mesir
d. Imam Ahmad bin Hambal(241 H) di baghdad
10. Selain empat imam madzhab di atas, sejarah juga mencatat mujtahid-mujtahid terkenal
lainnya seperti: imam zay ibn ali ibn al-khusain(80-122 H), imam ja’far al shoddiq(80-148 H),
dan masih banyak lainnya.
Sesungguhnya apabila ijtihad itu tidak ada maka akan memberikan dampak negatif pada
umat islam karena hukum-hukum islam yang semula dinamis menjadi statis dan kaku,
sehingga islam tertinggal zaman, bahkan masih b`nyak kasus baru yang hukumnya belim di
jelaskan oleh al-quran dan sunnah, serta belum di bahas oleh ulama’-ulama’ terdahulu.
Demikian juga akan menutup kesempatan bagi para ulama’ untuk menciptakan pemikiran-pemikiran
baik dalma memanfaatkan dan menggali sumber hukum islam sebagaimana di
ungkapkan oleh ibn taimiyah bahwaseorang tidak berhak untuk memaksaorang lain dan
mewajibkan sesuatu pada mereka, selain yang telah di wajibkan allah dan rasulullah, dan tidak
boleh pula melarang kecuali sesuatu yang telah dilarang oleh allah dan rasulnya, termasuk
berijtihad.
2.6 Urgensi ijtihad
Para ulama membagi hukum melakukam ijtihad menjadi 3 bagian,yaitu:
a. Fardhu ‘ain ,bagi orang yang di mintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang
terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya.Atau ia
sendiri mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Fardhu kifayah , bagi orang yang di mintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang
yang tidak di khawatirkan lenyap peristiwa itu,sedangkan selain dia ada mujtahid –mujtahid
yang lainnya.Maka apabila kesemua mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad maka
mereka berdosa semua.Tetapi apabila ada seorang dari mereka memberikan fatwa hukum
maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
c. Sunnat ,apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak
terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad , karena
dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan dan mengkoreksi kekeliruan serta
kekhilafan dari ijtihad yang laluijtihad merupakan upaya pembaruan hukum
islam.Sebagaimana di ungkapkan oleh Abu Bakar al-Baqilani bahwa setiap ijtihad harus di
orientasikan pada pembaruan, karena setiap periode memiliki ciri tersendirisehingga
11. menentukan perubahan hukum.Sedangkan Ibnu Hajid mengatakan bahwa ijtihad harus
merujuk pada aspek-aspek pembaruan terhadap masalah yang belum pernah di singgung oleh
ulama terdahulu,sedangkan masalah yang sudah di ijtihadkan pada masa lalu tidak perlu di
perbaharui.
Tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi ijtihad yang lama,sebab ada kalanya
hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama.Bahkan sekalipun berbeda hasil
ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama ,hal itu seiring kaidah fiqhiyah “al-ijtihadu
la yaudlu bi al-ijtihadi”(ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).
Adapun fungsi ijtihad ,diantaranya:
Fungsi Al-Ruju’ (kembali): mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada al-Qur’an dan
Sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
Fungsi Al-ihya(kehidupan) : menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan islam
semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.
Fungsi al-Inabah(pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh
ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi
yang di hadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad ,sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi
hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah SWT surat an-Nisa’59: “Jika
kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan
Rasul-Nya”.
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika terjadi
perselisihan hukum ialah dengan penelitian seksama terhadap masalah terhadap masalah yang
nashnya tidak tegas .
Demikian juga sabda Nabi SAW: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia
melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia
bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka ia
mendapat satu pahala”.(HR.Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash) .Hadits ini bukan hanya memberi
legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan perbedaan
12. pendapat hasil ijtihad bisa di lakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan
hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.
2.7 . Syarat-syarat Mujtahid
Syarat-syarat yang diperlukan oleh seorang mujtahid antara lain:
a. Menguasahi bahasa arab dari segala aspeknya,serta mengetahui maksud yang terkandung
didalamnya harus mengetahui bahasa arab.dalam hal ini al-Ghazali memberikan batasan
ltentang kadar penguasaan bahasa arab yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid
yaiti,mampu mengetahui khitab(pembicaraan).
b. Memiliki kemampuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan
masalah hukum,serta mampu membahas ayat tersebut untuk membahas hokum.
c. Mengenal dan mengerti hadist Nabi yang berhubungan dengan dengan hukum baik
Qouliyah, filiyah maupun taqririyah. ,penguasaan hadist minimal 2500 hdist menurut
Ahmad bin Hambal
d. Mengerti tentang usul Fiqih sebagai sarana lahiain itu untuk istinbat hokum. Menurut
fakhruddin Al Razi dalam kitabnya al- Mahsul mengatakn bahwa ilmu lyang sangat
penting bagi seorang mujtahid.
e. Mengenal ijmak bagi yang beranggapan bahwa ijmak sebagai dalil syara’sehingga tidak
memberikan fatwa yang bertentangndaengan ijma’ itu.
Selain itu seorang mujthid harus berkepribadian baik,bertaqwa dan adil.Zuhali mengatakan
kepribadian ini diperlukan untuk memantapkan kepercayaan orang lain terhadap fatwa”nya
2.8 Tingkatan Mujtahid
Tingkatan menurut ulama’ usul fiqih :
a. Mujtahid mutlak yaitu:mujtahid yang mempunyai kemampuan untukmenggali hokum
syara’ langsung dari sumbernya yang pokok yakni(Al-Qur’an da sunnah) dan mampu
menerapkan metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala aktifitas
ijtihadnya.
b. Mujtahid muntasib yaitu:mujtahid menggabungkan dirinya dan ijtihadnya dengan suatu
madhab.
13. c. Mujtahid muqoyyad yaitu:mujtahid yang terikat kepada imam madzhab dan tidak mau
keluar dari madzhab dalam masalah ushul maupun furu’.
d. Mujtahid murajih yaitu: mujtahid yang membandingkan beberapa imam mujtahid dan
dipilih yang lebih unggul.
2.9 Wilayah Ijtihad
Dalam pandangan ulama’ salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah
fiqhiyah, akan tetapi pada akhirnya wilayah tersebut berkembang pada berbagai aspek
keislaman yang meliputi: Aqidah, filsafat, Tasawuf, dan feqih. Ibnu qoyyim mengatakan
bahwa haram hukumnya memberikan fatwa hasil ijtihad yang menyalahi nas, bahkan ijtihad
menjadi gugur jika ditemukan nashnya. Sebagaimana diungkapkan oleh imam syafi’i:’” bila
ada hadis shahih maka buanglah pendapatmu yang mengaikat dan benarkan hadis itu”.
Imam Ahmad berkata,”menurutku, perkara yang paling baik bagi Asy-Syafi’i adalah
jika mendengarkan hadis belum diterima kemudian ia merujuk hadis itu dan meninggalkan
pendapatnya”.
Kaitanya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi objek
ijtihad. Hal-hal yang tidak boleh di ijtihad antara lain;
a. Masalah qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil
yang pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli, hukum qoth’iyah sudah pasti keberlakuannya
sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada
peluang menginstimbatkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban sholat, puasa,
zakat, dan haji, untuk masalah tersebut al-Qur’an telah mengatur dengan dalil yang
shorih(tegas). Contoh lain: Bilangan rakaat sholat fardhu, cara menunaikan ibadah haji yang
telah di tunjuk oleh hadist mutawatir. Untuk masalah tersebut tidak ada peluang untuk
diijtihadkan, kewajiban kita hanya melaksanakan petunjuk nash. Sebagaiman bunyi kaidah
ushuliyah: tidak berlaku ijtihadpada masalah yang telah ada nash dengan status qath’iy
(dalalahnya) dan tegas. Demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil
ijtihadnya berlawanan dengan nash.
b. Masalah-masalah yang telah diijinkan oleh ulama’ mujtahid dari suatu masa, demikian
pula lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi (gharu ma’qulil makna) dimana kualitas ‘illat
14. hukumnya tidak dapat di cerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Seperti pemberian
1/6(seperenam) pusaka untuk nenek erempuannya.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah Dzanniyah,
yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan
adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.
Masalah Dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hasil analisa para teolog yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan
seseorang. Seperti Apakah Allah wajib berkehendak baik atau lebih baik ? sebagian
ahli kalam(teolog) mewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah.
2. Aspek Amaliyah yang dzany, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan
kreterianya dalam nash. Contohnya, batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan
mahrom, sebagaian berpendapat sekali sussan, ada yang tiga kali susuan dan lain-lain.
3. Sebagai kaidah-kaidah dzanni yaitu masalah qiyas, sebagian ulam’ memeganginya
karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak karena qiyas
bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan metode pemahaman nash.”
Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah
yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah masalah fiqih
dan masalah hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran, sunnah maupun ijtima’.
Hal ini merupakan masalah baru atau hukum baru.
Apabila ijtima’ ini bertentangan dengan nas, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada ijtihad
terhadap nash.
Memperhatikan fokus dalam kegiatan ijtihad terhadap nashterlihat upaya seoptimal
mungkin menarik kesimpulan hukum dan sumber-sumernya. Oleh karena itu kegiatan ijtihad
terbagi menjadi dua yaitu: ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istimbathi
dengan seperangkat kaidah dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada
penerapan hukum secara tepat kepada pada suatu kasus. Dengan kegiatan semacam itu di
samping harus mengetahui hukum material dan metode pengembangannya yang menjadi
objek kajian adalah perbuatan manusia dan manusia itu sendiri sebagai elaku dengan sengaja
kondisi dan perubahannya.
15. Sementara itu, menurut Yusuf al-Qardawi terdapat dua macam bentuk ijtihad yang
pantas dilakukan pada saat ini yaitu ijtihad intiqol dan ijtihad inshal. Ijtihad intiqol yaitu
mengadakan studi komparatif diantara pendapat-pendapat yang ada kemudian memilih
pendapat yang dipandang lebih kuat dalil dan hujjahnya dengan menggunakan alat pengukur
yang digunakan dalam mentarjih. Metode ini sangat tepat untuk masa sekarang, terlebih lagi
jika dikonfirmasikan dengan mottoseorang mujtahid yang mengatakan:”pendapatku adalah
benar, tapi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku adalah salah, tetapi
mengandung kebenaran. Oleh karena itu, pendapat seorang mujtahid tidak selamanya benar,
tapi di suatu sisi mengandung kesalahan dan untuk itu dapat dicari kebenaraanya melalui
pendapat mujtahid lain.”
Sedangkan ijtihad inshai(ijtihad kreatif) yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam
suatu permasalahan, dimana permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh mujtahid
sebelumnya baik masalahitu baru atau lama.
Dengan demikian masalah-masalah tersebut menerima berbagai macam interpretasi pendapat
yang berbeda. Pendapat-pendapat orang lain yang juga berhak berijtihad tidak boleh dilakukan
begitu saja. Solusinya adalah menggabungkan antara kedua metode tersebut ijtihad tersebut
dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan kuat,
kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Al-Qardawi
mengatakan bahwa ijtihad kontemporer semacam ini akan muncul dalam tiga bentuk
perundang-undangan, bentuk fatwa atau dalam bentuk penelitian.6[5]
6
16. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitabullah
dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai
hakim. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa.
Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Namun, dalam ijtihad terdapat perbedaan stratifikasi para mujtahid ke dalam beberapa
martabat.
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an
dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui
umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi
diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit (jelas), timbul istilah
ijtihad.