Makalah ini membahas tentang ijtihad dalam agama Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan seluruh kemampuan oleh seorang ahli fiqih untuk memperoleh pengertian terhadap suatu hukum syara'. Makalah ini menjelaskan ruang lingkup ijtihad, syarat menjadi mujtahid, tingkatan mujtahid, serta sebab perbedaan pendapat para imam madzhab.
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Makalah IJTIHAD
1. MAKALAH
AGAMA ISLAM
“IJTIHAD”
Dosen Pembimbing : Abdul Hamid Aly,S.Pd., M.pd
Disusun Oleh:
Kelompok II
1. M.Taufik Nurhidayat 21901081039
2. Inrah Wati Juwita 21901081025
3. Ghani Oktaviyanto 21901081033
4. Hernita Cahyani D.P 21901081030
5. M.Ali Ma’syum 21901081020
6. Heriyanto 21901081008
PROGAM STUDI MANAJEMEN-01
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
2. i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena rahmat,karunia,taufik
serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ijtihad”. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah agama islam dan kami mengucapkan banyak terimaksih
kepada:
1. Pak Abdul Hamid Aly,S.Pd., M.pd, selaku dosen mata kuliah agama islam.
2. Anggota kelompok kami yang telah berpartisipasi dalam mengerjakan penuyusunan
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat dipahami dan dimengerti bagi para pembacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila dalam menyusun makalah ini banyak kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan. Untuk itu kami berharap adanya kritik saran dan usulan demi perbaikan untuk makalah
selanjutnya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat maupun menginspirasi
terhadap pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Malang, Desember 2019
Penyusun
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………….………...………...….…...i
DAFTAR ISI ………………………………………………………..………….….....……...…. ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………..1
A. Latar Belakang …………………………………………………………………......1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………….2
C. Tujuan Pembahasan ………………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………….………...…. ….3
A. Pengertian Ijtihad………………………………………………… ………………..3
B. Ruang Lingkup Ijtihad.……………………………..……………………...…….... 4
C. Syarat dan Tingkatan Mujtahid……………………………………….……...……..4
D. Mengenal Imam Madzhab………………………………………………………….7
E. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Imam Madzhab……………………….....10
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………….………....19
A. Kesimpulan …………………………………………………………………… …19
B. Saran …………………………………………………...………………...…… …19
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….……………….20
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi
ajaran Al-qur’an dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan hadits
kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali maksud
dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.
Kemudian setelah wafatnya Rasulullah islam semakin luas dan para sahabat menyebar
keberbagai penjuru sehingga mereka dihadapkan pada berbagai persoalan yang tidak
ditemukan hukumnya dalam Al-qur’an dan al-hadits. Hal itu, mengharuskan mereka
menyelesaikannya dengan cara ijtihad.
Pada masa berikutnya peristiwa-peristiwa baru semakin kompleks, sehingga para
pemuka Agama yang sudah mempunyai keilmuan yang sangat luas merespon berbagai
persoalan itu dengan metode ijtihad yang mereka konsep.
Jadi, begitu pentingnya memahami ijtihad sebagai kunci untuk menyelesaikan
problem-problem yang dihadapi oleh umat islam sejak dulu, sekarang dan yang massa yang
akan datang. Ijtihad sebagai sumber ketiga setelah Al-qur’an dan Hadits. Inilah yang membuat
islam tidak kehilangan karakternya sebagai agama yang dinamis.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama
yaitu Al-Qur'an danAl-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan
atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum
agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan waktu,
tenaga, serta pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik
yang sudah lama terjadi di zaman Rosullulloh maupun yang baru terjadi. Kita telah mengetahui bersama
bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam keduanya terdapat
hukum-hukum yang relevan dalam kehidupan kita sehari -hari (bermasyarakat), beragama dan menjalani
kehidupan kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada
Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim
berjanji untuk mengikuti Al-Qur’an dan Hadits atau Sunnah. Tapi ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni
5. 2
adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber
yang sama ternyata muslimin memahami dengan berbeda. Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika
Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik
kehidupan sehari-hari Nabi SAWitu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum
telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran danSunnah Nabisaja sebagai sumber hukum
yang mutlak. Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinanberbeda. Seiring berjalannya
waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-
permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara
eksplisit, maka timbul istilah ijtihad.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini berupa :
1. Apa itu pengertian ijtihad?
2. Bagaimana ruang lingkup ijtihad?
3. Apa sajakah syarat dan tingkatan mujtahid?
4. Siapa saja para imam madzhab?
5. Apa sebab-sebab perbedaan pendapatan para imam madzhab?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
2. Untuk mengetahui bagaimana ruang lingkup didalam ijtihad
3. Untuk mengetahui apa saja syarat dan tingkatan mujtahid
4. Untuk mengetahui siapa saja para imam madzhab
5. Untuk mengetahui sebab-sebab dan perbedaan para imam madzhab
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau
menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua
kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh
mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat
operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya
tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali
menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad
sempurna).
Imam Syafi’i menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu
terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam
mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh
mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh
tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan
dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari
berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi
orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga
definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga
Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu
keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut
ijtihad menurut istilah.
7. 4
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh
kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum)
dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu
hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa.
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai
akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
B. Ruang Lingkup Ijtihad
Secara garis besar ruang lingkup ijtihad dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Peristiwa yang ketepatan hukumnya masih dzanny. Tugas para mujtahid dalam
masalah ini adalah menafsirkan kandungan nash kemudian menetapkan hukum-hukum
yang termuat didalamnya. Contohnya adalah bersentuhan antara laki-laki dengan
perempuan yang bukan muhrimnya baik disengaja maupun tidak apakah itu
membatalkan wudhu atau tidak, kewajiban suami istri, dan lain sebagainya.
2. Peristiwa yang belum ada nash nya sama sekali. Tugas utama para mujtahid dalam
masalah ini adlah merumuskan hokum baru atas peristiwa tersebut dengan
menggunakan kekuatan ra’y. Contoh masalah ini adalah, hokum bayi tabung, keluarga
berencana, dan lain sebagainya.
C. Syarat dan Tingkatan Mujtahid
Syarat Mujtahid
Tidak sembarangan orang dapat menjadi Mujtahid, karena ada ketentuan syarat-
syarat khusus agar layak untuk berijtihad dan menjadi seorang mujtahid. Imam Ghozali
8. 5
menyebutkan bahwa syarat terhadap seorang mujtahid ada dua, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum syara’, tidak hanya itu, seorang
mujtahid juga dituntut untuk mendahulukam sesuatu yang wajib didahulukan dan
mengakhirkan sesuatu yang wajib diakhirkan.
2. Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbuatan maksiat yang bisa
menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi pegangan
oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak ‘adil maka hasil ijtihadnya tidak sah
atau tidak boleh untuk dijadikan sebuah pegangan oleh orang awam.
Menurut Imam as-Syatiby seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid juga harus
bisa memenuhi dua syarat dibawah ini:
1. Bisa memahami tujuan syari’at secara sempurna,
2. Bisa menggali suatu hukum atas pemahaman seorang mujtahid.
Sedangkan Imam Zakariya al-Anshari dalam kitab Tashilul Wushul fi Lubb Ushul,
al-Anwar 1, halaman 364-365 menyebutkan beberapa syarat menjadi mujtahid adalah
sebagai berikut:
1. Menguasai perkara-perkara ijma’
2. Menguasai nasikh-mansukh
3. Mengetahui asbabun nuzul
4. Mengetahui hadist-hadist shahih, hasan, dhaif
5. Menguasai hadist-hadist mutawatir dana had
6. Menguasai dalil aqli.
Menurut Khudhori Beik, syarat mujtahid ada dua, yaitu :
1. Adil
2. Ilmunya meliputi segala segi terhadap persoalan yang akan difatwakan.
9. 6
Dari semua syarat yang disebutkan diatas yang tidak kalah penting pula adalah
seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf serta
balaghahnya. Sebab Alquran dan Hadits semua berbahasa arab. Maka tidak mungkin
seseorang dapat memahami AlQuran dan hadits tanpa menguasai bahasa arab terlebih
dahulu.
Tingkatan-tingkatan bagi para mujtahid
Menurut Abu Zahrah, tingkatan-tingkatan mujtahid ialah sebagai berikut:
1. Mujtahid mustaqil atau mujtahid fi al-syar’I atau disebut juga mujtahid mutlaq. Meujtahid
jenis ini terbebabs dari bertaklid kepada mujtahid yang lain, baik dalam metode istinbath
maupun furu’. Mujtahid jeniss ini yang menerapkan metode istinbath itu dalam berjihad
untuk membentuk hukum fikih. Contohnya, para imam mujtahid empat. Yaitu, Abi
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal.
2. Mujtahid muntasib atau mujtahid mutlaq ghair al-mustaqil yaitu mujtahid dalam masalah
ushul fiqih. Meskipun dari segi kemampuan ia mampu merumuskannya, ia memenuhi
syarat-syarat ijtihad dari mujtahid mutlaq mustaqil, namun tetap berpegang kepada ushul
fiqh salah seorang imam mujtahid mustaqil, akan tetapi mereka bebas dalam berijtihad,
tanpa terikat salah seorang mujtahid mustaqil, contohnya : al-muzani, Abdurrahman al
Qasim, Qadhi Abu Yusuf.
3. Mujtahid fi al madzhab atau mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij, yaitu tingkat
mejtahid yang dalam ushul fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid tertentu. Mereka
disebut mujtahid karena dalam mengistinbathkan hukum pada permasalahan-permasalahan
yang tidak ditemukan pada Imam Madzhab. Misalnya, Abu Hamid al-Asfiraini.
4. Mujtahid fi tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatnnya bukan mengistinbathkan hukum tetapi
sebatas membandingkan berbagai madzhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan
untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada.
(Ushul Fiqh al-islamiy, Wahbah Zuhaili Juz II).
10. 7
D. Mengenal Imam Madzhab
Dalam dunia islam ada empat imam yang masing-masing punya mazhab, yang sangat
terkenal dan diikuti oleh banyak umat Islam. empat imam tersebut satu sama lain tidak
pernah saling menyalahkan pendapat, namun yang ada hanya saling menghargai karena
diantara empat imam tersebut masing-masing punya dalil dan alasan disetiap menentukan
suatu hukum. Walaupun dasar hukum dalam islam Al-Qur'an dan Hadits, akan tetapi
pandangan dan penafsiran berbeda, namum tujuan dari perbedaan tesebut pada hakikatnya
adalah untuk kemaslahatan umat, agar bisa mendapat ridha dari Allah swt. Dan berikut ini
empat imam tersebut:
1. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah yang nama lengkapnya Abu Hanifah Nu'man ibn Tsabit
at-Taimi. Tempat kelahirannya di Kufah pada tahun 80H /699M dan wafat pada
tahun 150H/767M. Dalam zamannya beliau terkenal seorang sarjana dan Maha
Guru yang luas ilmu pengetahuannya terutama dibidang hukum. Beliau hidup
dalam dua Dinasty, yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Tapi sama sekali
tidak turut aktif dalam gerakan politik.
Gubernur Irak Yazid Ibnu Hubairah, zaman khlaifah Marwan ibn
Muhammad dari Dinasty Umayyah akan mengangkat Ibnu Hanifah menjadi hakim,
tetapi beliau tolak dengan tegas, sebab itu beliau disiksa. Hal yang sama pun terjadi,
ketika Kerajaan Abbasyiah telah berdiri. Khalifah Al-Mansur memanggil beliau ke
Bagdad dan kemudian akan diangkat menjadi hakim kerajaan, belaiu pun menolak
dan akhirnya beliau harus dihukum dan disiksa.
Abu Hanifah telah mengabdikan hidupnya dalam study hukum islam dan
memberikan kuliah-kuliah pada para mahasiswanya. Beliau meninggalkan sebuah
buku yang dinamai "Al-Fiqhi Al-Akbar" Karya beliau dapat dihargai dengan
sesungguhnya, karena beliaulah orang yang pertama yang mencoba mengkodifisir
hukum Islam dengan memakai qiyas, ihtihsan dan tradisi masyarakat. Beliau telah
dianggap sebagai pembangun suatu mazhab, dimana mempunyai pengikut-
pengikut yang tersebar di dunia, utamanya di Turki, Afganistan, Transyordania,
Indo Cina, Cina, dan Soviet Rusia.
11. 8
2. Imam Malik Ibn Anas
Imam Malik Ibn Anas lahir pada tahun 95H/713M dan Wafat pada tahun
179H/789M, berdian dan hidup di Madinah. Beliau menuntut ilmu di kota itu,
kemudian menjadi ulama besar yang berpengaruh luas. Imam Malik memiliki dua
keistimewaan yang melebihi para ulama pada zamannya, yaitu specialis ilmu hadits
dan memangku jabatan sebagai mufti. Adapun karyanya bernama "Al-muwaththa"
yaitu kumpulan hadits-hadits yang disusunnya. Malik menduduki tempat yang
penting dalam mengajarkan hadits. Disamping itu beliau memberi fatwa dan
mengajarkan hukum-hukum berdasarkan ijtihadnya sendiri.
Banyak mahasiswa dan ulama-ulama yang datang belajar kepadanya,
termasuk Imam Syafi'i. Dalam menetapkan hukum beliau pun menggunakan qiyas
walaupun dalam arti yang lebih sedikit dari pada Abu Hanifah. Sebagaimana Abu
Hanifah, beliau juga telah membentuk mazhab fiqhi. Pengikut-pengikutnya sudah
barang tentu paling banyak dikotanya sendiri di Madinah dan sekarang ini
pengikut-pengikutnya tersebar di Maroko, Al-jazair, Tunis, Sudan, Kuwait dan
Bahrain.
3. Imam Asy Syafi'i (Muhammad ibn Idris Asy Syafi'i)
Imam Asy Syafi'i (Muhammad ibn Idris Asy Syafi'i) dilahirkan di Gaza
pada Tahun 150H/757M, dan meninggal di Kairo pada tahun 204 H/ 820 M. Beliau
punya silsilah kefamilian degan Nabi, dari keturunan Mutthalib ibn Abdil Manaf,
dilahirkan sebagai seorang yatim. Sejak kecil Imam Syafi'i beliau tumbuh dalam
menuntut ilmu di Mekah, bersama dengan ibunya, dia hidup dalam keadaan yang
miskin. Sejak usia yang masih sangat muda, dia telah menghafal Al-qur'an 30 juz,
terkenal sebagai seorang yang jenius, memiliki kecerdasan yang luar biasa. Pernah
pula dia belajar tentang hadits pada Imam Malik di Madinah dan dalam waktu yang
singkat kitab Imam Malik itu yang bernama almuwaththa terhafal semua.Terhadap
semua pengetahuan yang berhubungan dengan qur'an, sunnah, ucapan-ucapan para
saahabat, sejarah serta pendapat-pendapat yang berlawanan dari pada ahli dan
sebagainya, diaduknya dengan sempurna dengan pengetahuannya yang mendalam
12. 9
tentang bahasa arab yang dari gurun pasir itu, baik dalam ilmu bahasanya,
nahwunya, sarafnya, dan syairnya.
Imam Ahmad Ibnu Hambal, dengan segenap kejujuran berkata : "Asy
Syafi'i bagi umat ini, ibarat matahari bagi bumi dan laksana kesehatan bagi tubuh;
Siapa yang akan dapat menggantikannya?. Diforum-forum diskusi beliau termasuk
ulet dengan argumentasi-argumentasi yang sukar dipatahkan. Asy Syafi'i termasuk
orang yang mujur hidupnya dalam bidang ilmiyah. Beliau muncul setelahnya
tersusun kodifikasi syari'ah menurut sistem-sistem yang teratur dalam bentuk yang
rapi. Dengan demikian beliau mudah buah-buah pikian dari orang-orang terdahulu
dan belajar langsung dari maha guru-mahaguru terkemuka. Sebab itu akhirnya
beliau dapat mencapai sesuatu prestasi yang tinggi dalam bidang ilmiah, beliau
telah mampu merumuskan suatu metode yang mempersatukan qur'an, sunnah, ijma'
dan qiyas. Berbeda dengan Abu hanifah sebagai seorang ahli metode berfikir dan
lebih menyetujui suatu metode spekulasi yang hipotesis, maka Asy syafi'i tidak
menyetujui hal itu. Namun demikian beliau seorang yang luas ilmu pandagan, ilmu,
dan pengalaman, beliau juga menguasai fiqhi sarjana-sarjana dan ulama hijaz dan
fiqhi sarjana-sarjana Irak. Sebab itu sejak Asy syafi'i muncul di Bagdad, maka
ajarannya segera mendapat pengikut.
Asy Syafi'i mempunyai dua qaul (pendapat). Pertama, ketika beliau
bermukin di Bagdad, namanya Qaul Qadien (pendapat kuno). Kedua, ketika beliau
tinggal di Mesir namanya Qaul Jadid (pendapat baru). Tidak terhitung banyaknya
ulama yang datang belajar pada beliau. Selama hayatnya beliau telah menulis 113
buah kitab-kitab tentang tafsir, fiqhi, kesusasteraan dan lain-lainnya. Antara lain
kitab yang paling terkenal "Al-Um". Para pengikutnya terdapat di Indonesia,
Malaysia, palestina, Libanon, Mesir, Irak, Saudi Arabia, Yaman dan Hadramaut.
4. Imam Ahmad Ibn Hambal
Imam Ahmad Ibn Hambal dilahirkan di bagdad pada tahun 164H/780M dan
wafat dibagdad pada tahun 241H/855M. Beliau terkenal ahli dalam bidang hadits,
fiqhi, dan teologi. Waktu Asy Syafi'i mau meninggal dia berkata : "Saya tidak
meninggalkan di bagdad orang yang lebih utama, alim dan lebih cerdas selain dari
Ahmad ibn Hambal".Pertama kali beliau belajar pada Imanm Asy-Syafi'i, dan
13. 10
setelah cukup ilmu dan peralatannya lalu berijtihad, merintis suatu madzhab
tersendiri.Seperti Imam-imam Madzhab yang terhdahulu, banyak pula ulama-
ulama besar datang belajar padanya. Beliau terkenal sebagai seorang yang teguh
pendirian dan keras mempertahankannya. watak itu yang menyebabkan Khalifah
Al-Makmun, sebagaimana pendapat Mu'tazilah yang menjadi madzhab kerajaan
waktu itu, bahwa Qur'an itu makhluk, sebab itu ia adalah baharu (huduts). Pendapat
mana dipaksakan oleh Al-Makmun, tetapi Imam Ahmad secara tegas dan
konsekwen menolaknya.
Imam Ahmad banyak menulis buku-buku yang berharga. Nampak-nya di
antara sekian banyak ilmu pengetahuannya, beliau lebih terkemuka sebagai
spesialis dalam Hadits. Beliua telah menyusun sebuah Musnad, yang mana karya
itu di dalamnya terkumpul Hadits-hadits yang tidak dikemukakan oleh Ulama
lainnya. Buku tersebut berisi 40.000 buah Hadits. Para pengikut Imam Ahmad pada
umumnya terdapat di Saudi Arabia, Libanon dan Syria.
E. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Imam Madzhab
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat mengenai
penetapan hukum telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi ketika beliau masih hidup.
Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya
kepada Rasulullah SAW. Setelah beliau wafat, maka perbedaan pendapat sering timbul di
kalangan sahabat dalam menetapkan hukum kasus tertentu, misalnya Zaid ibn Tsabit, Ali,
dan Ibn Mas’ud memberikan harta warisan antara al-jadd (kakek) dan ikhwah (saudara),
sedangkan Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, jika
mereka mewarisi bersama-sama dengan kakek si mayat, karena kakek dia jadikan seperti
ayah.[8]
Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi itu, relatif tidak banyak
jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada
generasi berikutnya.Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di
samping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena
14. 11
adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami
perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama
makin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang
menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang awam.
Mahmud Isma’il Muhammad Misy’al dalam bukunya, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi
al-Qawaid al-Mukhtalif fiha [9] menyebutkan ada empat sebab pokok terjadinya ikhtilaf di
kalangan fukaha: (a) Perbedaan dalam penggunaan kaidah ushuliyah dan penggunaan
sumber-sumber istinbath (penggalian) lainnya, (b) Perbedaan yang mencolok dari aspek
kebahasaan dalam memahami suatu nash, (c) Perbedaan dalam ijtihad tentang ilmu hadis,
(d) Perbedaan tentang metode kompromi hadis (al-jam’u) dan mentarjihnya (al-tarjih)
yang secara zahir maknanya bertentangan.
Sedangkan Muhammad al-Madani dalam bukunya, Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha,
sebagaimana dikutip Huzaemah,[10] membagi sebab-sebab ikhtilaf menjadi empat macam
juga, yaitu: (a) Pemahaman Alquran dan Sunnah Rasulullah, (b) Sebab-sebab khusus
tentang Sunnah Rasulullah, (c) Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-
kaidah ushuliyah, (d) Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Alquran
dan Sunnah Rasulullah SAW.
Sebab-sebab yang dikemukakan dua ulama tersebut tidak jauh berbeda,dan sebab-
sebab ikhtilaf tersebut sebagai berikut:
1. Pemahaman Alquran dan Sunnah
Sebagaimana kita maklumi bahwa sumber utama syariat Islam adalah
Alquran dan Sunnah Rasul. Keduanya berbahasa Arab. Di antara kata-katanya ada
yang memiliki arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu, dalam ungkapannya
terdapat kata umum tetapi yang dimaksudkan khusus. Ada pula perbedaan
perspektif dari aspek lughawi (kebahasaan) dan ‘urfi (tradisi) serta dari
segi manthuq, mafhum dan lainnya.
Berikut ini akan dikemukakan contoh mengenai kata musytarak dalam nas Alquran
yang menimbulkan ikhtilaf:
. ٍوءُرُق َةَثالَث َّنِهِسُفْنَأِب َْنصَّبَرَتَي ُاتَقَّلَطُمْلا َو[12]
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
15. 12
Sebagian ulama menafsiri kata quru’ dengan suci, sedangkan yang lain menafsiri
haid. Dengan demikian, ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
wanita yang ditalak harus beridah dengan tiga kali suci, sedangkan kalangan ulama
Hanafiyah dengan tiga kali haid.[13]
Selanjutnya akan dikemukakan contoh pemahaman terhadap Sunnah terkait
dengan isinya yang umum dan khusus. Perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang nisab zakat pertanian. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap jenis
hasil pertanian yang sedikit atau banyak wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan
pada keumuman suatu hadis:[14]
عثريا ََانك ْوَأ ُنُْويُعْلا َو ُءاَمَّسال ِتَقَس اَمْيِف. ِرُشُعْلا ُْفصِن ِحْضَّنالِب َيِقُس اَمَو ُرُشُعْلَا[15]
Sesuatu (hasil pertanian) yang pengairannya dengan air hujan, air sumber atau
menyerap air hujan, zakatnya sepersepuluh, sedangkan yang diairi dengan jasa
unta zakatnya setengah dari sepersepuluh.
Sedangkan pendapat jumhur fukaha berbeda dengan pendapat Imam Abu
Hanifah tersebut bahwa hasil pertanian yang tidak mencapai satu nisab tidak wajib
dikeluarkan zakatnya. Satu nisab adalah lima awsaq (± 300 gantang). Mereka
berhujah bahwa hadis tersebut dikhususkan dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri
bahwa Nabi SAW bersabda:
ةَقَدَص ٍقُسْوَأ ِةَسْمَخ َنْوُد اَمْيِف َْسيَل.[16]
Sesuatu yang kurang dari lima awsaq tidak wajib zakat.
Golongan Hanafi menakwili bahwa hadis ini tertuju pada zakat harta perdagangan,
bukan pertanian.[17]
2. Sebab-sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasul
Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasul yang menonjol antara lain: (1)
Perbedaan dalam penerimaan hadis; sampai atau tidaknya suatu hadis kepada
sebagian sahabat, (2) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadis, (3) Perbedaan
mengenai kedudukan kepribadian Rasul.
Perbedaan dalam Penerimaan Hadis
16. 13
Para sahabat yang menerima dan menyampaikan hadis, kesempatannya
tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majis Rasul, tentunya mereka
inilah yang banyak menerima hadis sekaligus meriwayatkannya. Tetapi
bayak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya,
sehingga jarang menghadiri majlis Rasul, padahal dalam majlis itulah Rasul
menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum
sesuatu; memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh
mengenai ini sebagai berikut:
ِإ َءاَسِالن ُرُمْأَي و ٍرْمَع َْنب ِ َّاَّلل َدْبَع َّنَأ ََةشِئَاع َغَلَبَُّنهَسُوء ُر َنْضُقْنَي ْنَأ َنْلَسَتْغا اَذ
Aisyah mendengar bahwaAbdullah ibn Umarmemberi fatwabahwa wanita
yang mandi janabah hendaknya membuka (mengudar) sanggulnya.
Setelah mendengar fatwa ini Aisyah merasa heran dan berkata:
ًابَجَع اَي ْتَلاَقَفَنْضُقْنَي ْنَأ َنْلَسَتْغا اَذِإ َءاَسِالن ُرُمْأَي اَذَه و ٍرْمَع ِْنبِالَُّنهَسُوء ُر َنْقِلْحَي ْنَأ َّنُه ُرُمْأَيَالَفَأ َُّنهَسُوء ُر
ِ َّاَّلل ُلُوسَرَو اَنَأ ُلِسَتْغَأ ُتْنُك ْدَقَل-وسلم عليه هللا صلى-ْنَأ ىَلَع ُدي ِزَأ َالَو ٍد ِاح َو ٍاءَنِإ ْنِمىِسْأ َر ىَلَع َغ ِرْفُأ
.ٍتاَغا َرْفِإ َثَالَث[18]
Aisyah berkata, “Sungguh aneh Ibn Umar ini memerintahkan kaum wanita
apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian,
apakahtidak lebih baik menyuruh merekauntuk mencukurrambutnya saja?
Sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah SAW dari satu
bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.
Contoh kasus pada kalangan ulama mujtahid, yaitu tentang Abu
Hanifah dan kawan-kawannya dalam memutuskan suatu hukum. Ada suatu
cerita dari Abdul Warits ibn Sa’id: Pada suatu waktu saya berada di Makkah
bertemu dengan Abu Hanifah, Ibn Abi Laila dan Ibn Syabramah. Saya
berkata kepada Abu Hanifah: “Bagaimana pendapatmu tentang orang
menjual sesuatu dengan syarat tertentu?’’ Abu Hanifah menjawab: “Jual
belinya batal dan syaratnya juga batal.” Kemudian saya bertanya kepada
Ibn Abi Laila lalu ia menjawab: “Jual belinya sah dan syaratnya batal.’’
Kemudian saya bertanya kepada Ibn Syabramah lalu ia menjawab: “Jual
belinya sah dan syaratnya juga sah.’’ Lalu saya berucap:
17. 14
“Subhanallah! Tiga fukaha Irak berbeda pendapat begitu tentang satu
masalah.’’
Saya kembali kepada mereka, menanyakan alasan mereka masing-masing.
Abu Hanifah berkata: “Aku tidak tahu apa alasan mereka berdua, yang jelas
saya menerima hadis dari Amr ibn Syu’ab dari ayahnya dari kakeknya
bahwa Nabi SAW melarang jual beli bersyarat; jual belinya batal syaratnya
juga batal.
Saya kembali kepada Ibn Abi Laila menginfokan tentang itu, dia berkata:
“Aku tidak tahu alasan mereka berdua, namun yang jelas aku menerima
hadis dari Hisyam ibn Urwah dari bapaknya dari Aisyah ia berkata, ‘Aku
pernah disuruh Rasulullah membeli budak dan ada syarat dari keluarganya
supaya nanti dimerdekakan, maka Nabi SAW membatalkan syarat itu dan
meneruskan jual itu.’ Jadi jual beli itu sah dan syaratnya batal.”
Kemudian saya mendatangi Ibn Syabramah mengabarkan tentang hal itu, ia
berkata: “Aku tidak tahu alasan mereka berdua, aku pernah mendengar
tentang hadis Jabir bahwa ia pernah menjual unta kepada Nabi SAW lalu
beliau mensyaratkan agar unta itu dibawakannya ke Madinah. Berarti jual
beli itu sah dan syarat juga sah.”[19]
Perbedaan dalam Menilai Periwayatan Hadis
Perbedaan pendapat di kalangan fukaha terkait dengan hadis dari berbagai
segi. Perbedaan itu terjadi setidak-tidaknya ada tiga sebab.[20] Pertama,
perbedaan mereka tentang keterbatasannya dalam memiliki kuantitas
koleksi hadis secara penuh, sebagaimana contoh di atas. Sebagaimana kita
maklum bahwa tidak semua tokoh-tokoh sahabat Nabi selalu mengetahui
terhadap semua apa yang disabdakan Nabi pada suatu waktu. Kedua,
perbedaan mereka dalam memberi penilaian terhadap kualitas suatu
hadis. Ketiga, perbedaan mereka dalam menerima-tidaknya terhadap
kualitas hadis daif.
Perbedaan tentang Kedudukan Rasulullah SAW
Rasulullah SAW di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai
manusia biasa. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak
18. 15
sama kedudukannya kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika
melakukannya. Misalnya mengenai hadis berikut:
. ُهَل َىِهَف ًةَتْيَم اًضْرَأ اَيْحَأ ْنَم[21]
Barangsiapa menggarap tanah tak bertuan, maka dialah pemiliknya.
Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu
dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap
kepemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi
miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu
dan pada negara di mana orang itu hidup. Sebaliknya, jumhur fukaha
memandang hadis yang dinyatakan Rasul itu dalam kedudukannya sebagai
Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus
melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi
milik penggarap.[22]
3. Sebab-sebab Berkenaan dengan Kaidah Ushuliyah
Kaidah ushuliyah merupakan metodologi hukum Islam yang digunakan
oleh ulama untuk menggali suatu hukum pada abad kedua hijriyah. Keberadaannya
efektif untuk menghasilkan suatu produk hukum. Metodologi ini digagas oleh
Imam Syafii, bermula dari sebuah inspirasi setelah beliau menelaah keilmuan yang
diwarisi oleh para sahabat Nabi, tabiin dan ulama fikih sebelumnya, terutama ketika
adanya persinggungan yang dinamis antara model fikih Madinah yang diperoleh
dari Imam Malik dengan fikih Irak yang diperoleh dari Imam Ibn Al-Hasan,
demikian juga fikih Makkah yang beliau pernah hidup dan bermukim di situ. Hal
itulah yang melatarbelakangi Imam Syafii mengadakan standarisasi untuk
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Standarisasi itulah yang
disebut ushul fiqh[23] (usul fikih).
Sejarawan, seperti Ibn Khaldun mencatatat bahwa orang pertama kali yang
mengkodifikasi ilmu usul fikih adalah Imam Syafii. Sebelum Imam Syafii tidak
didapati secara jelas di kalangan ulama mujtahid adanya model penggunaan usul
fikih dalam ijtihad mereka, artinya mereka tidak mempublikasikan model usul
fikih yang mereka gunakan dalam berijtihad. Imam Syafiilah satu-satunya orang
yang memulainya dan memiliki pengaruh setelah itu sehingga banyak bermunculan
19. 16
kitab-kitab usul fikih di tataran mazhab-mazhab yang ada dengan sistematika
penulisannya menurut perkembangan zaman. Banyak dari kalangan peneliti
berpendapat bahwa usul fikih kalangan Hanafi berpijak pada apa yang digagas
Imam Syafii.[24]
Berikut akan dikemukakan contoh ikhtilaf di kalangan ulama dalam
memahami suatu teks berdasarkan metode mereka masing-masing:
َبْقَت الَو ًةَدْلَج َينِناَمَث ْمُهوُدِلْجاَف َءَادَهُش ِةَعَبْرَأِب واُتْأَي ْمَل َّمُث ِتاَنَصْحُمْلا َونُمْرَي َينِذَّلا َواًدَبَأ ًةَداَهَش ْمُهَل واُلِئَلوُأ َوُمُه َك
. َونُقِساَفْلا[25]
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
. يم ِحَر ورُفَغ َ َّاَّلل َّنِإَف ُواحَلْصَأ َو َكِلَذ ِدْعَب ْنِم ُواباَت َينِذَّلا الِإ[26]
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari surat An-Nur ayat ke-4 itu dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi
orang yang menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi adalah :
(a) dera 80 kali, (b) dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun, (c) orang itu
dinyatakan fasik. Sedangkan ayat ke-5 mengkhususkan dengan pengecualian ayat
ke-4 itu. Para ulama berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian itu.
Mayoritas ulama memahami pengecualian itu menyangkut ketiganya, hanya saja
karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan yang dimaksud adalah sesudah
pemcambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi b dan c. Dengan
demikian, apabila terbukti dia bertaubat dan melakukan perbaikan, maka
kesaksiannya dapat diterima dan dia tidak lagi wajar dinamai fasik.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu hanya tertuju
kepada yang terakhir disebut, walau dia bertaubat dan berbuat baik, kesaksiannya
tetap tidak dapat diterima. Sanksi pencambukan yang disebut di sini, ada yang
memahaminya—antara lain Abu Hanifah—sebagai hak Allah. Sehingga yang
dicemarkan nama baiknya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan tetap
20. 17
harus dicambuk. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafii menilainya hak yang
dicemarkan namanya, sehingga bila ia memaafkan maka gugurlah pencambukan
itu.[27]
4. Perbedaan Penggunaan Dalil di Luar Alquran dan Sunnah
Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih juga disebabkan perbedaan
penggunaan dalil di luar Alquran dan Sunnah, seperti amal ahli madinah, dijadikan
dasar fikih oleh Imam Malik, tidak dijadikan dasar oleh Imam yang lain. Begitu
pula perbedaan dalam penggunaan ijmak, kias, istislah, istihsan, sad adz-
dzari’ah, tradisi dan sebagainya, yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar,
sedangkan sebagian ulama yang lain tidak menjadikannya dasar dalam
menggali hukum.
ـ Hikmah Adanya Ikhtilaf dan Implementasinya dalah Kehidupan Masyarakat
Khilafiah dalam hukum Islam merupakan khazanah. Bagi orang yang
memahami watak-watak kitab fikih yang memuat masalah-masalah yang
diperselisihkan hukumnya, sering menganggap bahwa fikih itu sebagai pendapat
pribadi yang ditransfer ke dalam agama. Padahal jika mereka mau mengkaji secara
mendalam, pasti mereka menemukan bahwa ketentuan hukum Islam itu bersumber
dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ikhtilaf merupakan suatu hal yang lumrah dalam dunia
fikih, sehingga benar apa yang dikatakan Qatadah: “Barangsiapa tidak
mengetahui ikhtilaf maka hudungnya belum pernah mencium bau fikih’’, Hisyam
Ar-Razi juga mengatakan: “Barangsiapa tidak mengetahui perselisihan fukaha,
maka ia bukan ahli fikih.’’[28]
Fikih sebagai hasil ijtihad ulama dan tidak lepas dari sumbernya, yaitu
Alquran dan Sunnah, otomatis akan mengandung keragaman hasil ijtihad itu.
Namun demikian, nampak pada jati diri ulama mazhab adanya sikap sportif dan
toleran apabila dihadapkan pada fenomina tersebut, serta tetap konsisten kepada
prinsip firman Allah bahwa apabila terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan
kepada Allah dan Rasul-Nya.
21. 18
ـ Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab
sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan
mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran
mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Dengan demikian, akan terbuka
kemungkinan untuk memperdalam kajian tentang hal yang diperselisihkan,
meneliti sistem dan cara yang baik dalam menggali suatu hukum, juga dapat
mengembangkan kemampuan dalam hukum fikih bahkan akan terbuka
kemungkinan untuk menjadi mujtahid.
22. 19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-
beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan
cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum). Yang mana terdapat beberapa
macam dan syarat mujtahid. Dan terdapat sebab-sebab perbedaan antara 4 mazhab
yang masyhur.
B. Saran
Inilah yang dapat kami paparkan dalam makalah ini, yang tentunya
pembahasan tentang Islam pada masa khulafaurrasyidin, pada pembahasan tersebut
kami selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat
untuk kami khususnya dan pembaca umumnya.