ikhtilaf, Sebab Ikhtilaf ahlu ra’yi & ahlu hadisMarhamah Saleh
Dokumen tersebut membahas tentang definisi ikhtilaf, sebab-sebab terjadinya ikhtilaf, serta perbedaan pandangan antara Ahli Hadis dan Ahli Ra'yu dalam menetapkan hukum Islam. Ikhtilaf didefinisikan sebagai perbedaan pendapat di antara ulama hukum Islam dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu'iyah. Terdapat dua faktor penyebab ikhtilaf yaitu faktor akhlaq dan faktor pemik
Dokumen tersebut membahas tentang hadits, sunnah, khabar dan atsar. Hadits terkait perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad SAW, sedangkan sunnah lebih luas mencakup tabiat dan kehidupannya. Khabar berasal dari selain Nabi, sementara atsar terkait khabar dan hadits dari sahabat dan tabi'in. Hadits berfungsi memperkuat hukum Alquran dan menetapkan hukum baru dimana Alquran diam.
Mengetahui kriteria suatu hadis diperlukan untuk menentukan suatu hadis dapat digunakan untuk dalil atau tidak boleh sebab itu dalam makalah kali ini akan dibahas tentang hadis dhaif meliputi, Kriteria dan Macam-macam Hadis Dhaif, Hadis-hadis daif ditinjau dari segi terputusnya sanad Hadis-hadis daif ditinjau dari segi cacat perawi, dan Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis dhaif
Makalah ini membahas tentang manthuq dan mafhum dalam tafsir Al-Qur'an. Manthuq didefinisikan sebagai arti yang ditunjukkan oleh lafaz, sedangkan mafhum adalah arti yang dipahami dari ayat meskipun tidak secara langsung. Makalah ini menjelaskan pengertian dan macam-macam dari manthuq dan mafhum serta mafhum muwafaqah dan mukhalafah.
ikhtilaf, Sebab Ikhtilaf ahlu ra’yi & ahlu hadisMarhamah Saleh
Dokumen tersebut membahas tentang definisi ikhtilaf, sebab-sebab terjadinya ikhtilaf, serta perbedaan pandangan antara Ahli Hadis dan Ahli Ra'yu dalam menetapkan hukum Islam. Ikhtilaf didefinisikan sebagai perbedaan pendapat di antara ulama hukum Islam dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu'iyah. Terdapat dua faktor penyebab ikhtilaf yaitu faktor akhlaq dan faktor pemik
Dokumen tersebut membahas tentang hadits, sunnah, khabar dan atsar. Hadits terkait perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad SAW, sedangkan sunnah lebih luas mencakup tabiat dan kehidupannya. Khabar berasal dari selain Nabi, sementara atsar terkait khabar dan hadits dari sahabat dan tabi'in. Hadits berfungsi memperkuat hukum Alquran dan menetapkan hukum baru dimana Alquran diam.
Mengetahui kriteria suatu hadis diperlukan untuk menentukan suatu hadis dapat digunakan untuk dalil atau tidak boleh sebab itu dalam makalah kali ini akan dibahas tentang hadis dhaif meliputi, Kriteria dan Macam-macam Hadis Dhaif, Hadis-hadis daif ditinjau dari segi terputusnya sanad Hadis-hadis daif ditinjau dari segi cacat perawi, dan Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis dhaif
Makalah ini membahas tentang manthuq dan mafhum dalam tafsir Al-Qur'an. Manthuq didefinisikan sebagai arti yang ditunjukkan oleh lafaz, sedangkan mafhum adalah arti yang dipahami dari ayat meskipun tidak secara langsung. Makalah ini menjelaskan pengertian dan macam-macam dari manthuq dan mafhum serta mafhum muwafaqah dan mukhalafah.
Makalah ini membahas tentang metode ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan maksimal untuk menemukan hukum syara' dari dalil-dalil yang ada. Ijtihad wajib dilakukan karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah. Syarat menjadi mujtahid antara lain menguasai al-Quran, hadis, bahasa Arab, dan ilmu ushul fiqh. Terdapat beberapa metode ijtihad seperti ij
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Anas Wibowo
Dokumen tersebut membahas tentang larangan kebijakan penetapan harga (tas'iir) dalam Islam berdasarkan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Secara umum, dokumen menjelaskan bahwa kebijakan penetapan harga oleh penguasa dianggap haram oleh ulama, meskipun ada pendapat yang membolehkannya dalam kondisi tertentu. Dokumen juga membahas beberapa cara alternatif bagi penguasa untuk menangani kenaikan harga tanpa mel
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi malikiMarhamah Saleh
Dokumen tersebut membahas sejarah, pola istinbath, dan penyebaran empat mazhab utama dalam fiqih Islam, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Dokumen menjelaskan dasar-dasar istinbath hukum menurut keempat mazhab tersebut serta wilayah penyebaran masing-masing mazhab.
Makalah ini membahas konsep takhalli, tahalli dan tajalli dalam dunia tasawuf. Takhalli berarti mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk, tahalli berarti mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik, sedangkan tajalli berarti memperoleh kenyataan Tuhan. Makalah ini juga menjelaskan dalil Al-Quran dan hadis tentang ketiga konsep tersebut."
Ilmu Hadits mempelajari kaidah-kaidah untuk memahami periwayat dan materi hadits, dengan tujuan melestarikan ajaran Nabi Muhammad, mengetahui kehidupannya, dan mencegah kesalahan dalam menyandarkan sesuatu kepadanya. Ruang lingkupnya meliputi sanad, matan, dan periwayat hadits. Cabang-cabangnya antara lain menganalisis sanad, matan, dan cara pengambilan hadits.
Dokumen ini membahas tentang ta'arrudh al-adillah atau kontradiksi antara dalil-dalil agama. Definisi, penyebab, rukun, syarat, jenis, dan metode penyelesaian ta'arrudh al-adillah dijelaskan secara singkat. Metode penyelesaiannya meliputi al-jam'u wa at-taufiq (menyatukan dan mencocokkan), tarjih (memilih salah satu), nasakh (pembatalan), dan tasaqut al
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Hadis-hadis dalam dokumen tersebut menjelaskan larangan riba dalam berbagai konteks seperti larangan memakan harta dengan riba, larangan tambahan dalam jual beli, serta kewajiban melakukan jual beli dengan takaran yang seimbang. Dosa melakukan riba disepadankan dengan tujuh dosa besar dan lebih berat dari zina.
Sumber ajaran Aswaja An-Nahdliyah berasal dari berbagai sumber keagamaan Islam yang diakui keabsahannya seperti al-Qur'an, hadis, ijma' ulama, dan pandangan madzhab-madzhab Islam. Metode pengembangan ajarannya melibatkan pendekatan maudhu'iyah (tematik), qanuniyah (terapan), dan waqi'iyah (kasuistik) serta mengacu pada pola pemikiran Asy'ariyah dan M
Dokumen tersebut membahas metodologi tafsir Al-Quran. Terdapat beberapa metode tafsir yang dijelaskan seperti metode ijmali, tahlili, muqaran, dan maudhu'i beserta keunggulan dan kelemahannya. Dokumen ini juga menyebutkan beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode-metode tersebut.
1. Dokumen tersebut membahas tentang taraduf (sinonim) dalam bahasa Arab. Taraduf didefinisikan sebagai beberapa lafazh yang mempunyai satu makna.
2. Ada beberapa pendapat ulama tentang taraduf, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak adanya taraduf. Beberapa sebab terjadinya taraduf juga dibahas.
Tasawuf sunni mendasarkan ajarannya pada al-Quran dan al-Hadis, sementara tasawuf falsafi memadukan pendekatan mistik dan rasional serta menggunakan terminologi filsafat. Keduanya memiliki titik temu seperti mengacu pada al-Quran dan al-Sunah serta hubungan antara Tuhan dan manusia, namun berbeda dalam pendekatan - tasawuf sunni lebih praktis sedangkan falsafi lebih teoritis.
Teks tersebut membahas dua jenis tasawuf yaitu tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf amali berfokus pada praktik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui tarekat dan pelatihan rohani. Tasawuf falsafi menggunakan pendekatan filsafat dan terminologi rasional dalam penjelasan ajarannya serta banyak dipengaruhi ajaran filsafat. Kedua jenis tasawuf memiliki karakteristik tersendiri dalam pendek
salah satu metode yang digunakan dalam menentukan suatu hukum berdasarkan kesungguhan atau kemampuan akal seseorang. Ijtihad juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam.
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptxRohman248433
Penafsiran al-Qur’an telah dipraktikkan sejak diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai bayan atas ayat-ayat al-Qur’an, tafsir yang paling benar adalah penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., karena beliau yang mendapatkan tugas untuk menyebarluaskan dan menjelasakan wahyu Allah. Penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., juga merupakan penafsiran yang paling canggih, karena beliau mampu mengamalkan al-Qur’an, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Dokumen tersebut membahas tentang Ushul Fiqh. Secara singkat, Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari cara menyimpulkan hukum-hukum syariah dari sumber-sumbernya seperti Al-Quran dan Hadis, serta membedakannya dengan ilmu Fiqh yang membahas langsung hukum-hukum syariah. Ushul Fiqh berfokus pada metode para ulama dalam berijtihad.
Makalah ini membahas tentang metode ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan maksimal untuk menemukan hukum syara' dari dalil-dalil yang ada. Ijtihad wajib dilakukan karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah. Syarat menjadi mujtahid antara lain menguasai al-Quran, hadis, bahasa Arab, dan ilmu ushul fiqh. Terdapat beberapa metode ijtihad seperti ij
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Anas Wibowo
Dokumen tersebut membahas tentang larangan kebijakan penetapan harga (tas'iir) dalam Islam berdasarkan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Secara umum, dokumen menjelaskan bahwa kebijakan penetapan harga oleh penguasa dianggap haram oleh ulama, meskipun ada pendapat yang membolehkannya dalam kondisi tertentu. Dokumen juga membahas beberapa cara alternatif bagi penguasa untuk menangani kenaikan harga tanpa mel
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi malikiMarhamah Saleh
Dokumen tersebut membahas sejarah, pola istinbath, dan penyebaran empat mazhab utama dalam fiqih Islam, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Dokumen menjelaskan dasar-dasar istinbath hukum menurut keempat mazhab tersebut serta wilayah penyebaran masing-masing mazhab.
Makalah ini membahas konsep takhalli, tahalli dan tajalli dalam dunia tasawuf. Takhalli berarti mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk, tahalli berarti mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik, sedangkan tajalli berarti memperoleh kenyataan Tuhan. Makalah ini juga menjelaskan dalil Al-Quran dan hadis tentang ketiga konsep tersebut."
Ilmu Hadits mempelajari kaidah-kaidah untuk memahami periwayat dan materi hadits, dengan tujuan melestarikan ajaran Nabi Muhammad, mengetahui kehidupannya, dan mencegah kesalahan dalam menyandarkan sesuatu kepadanya. Ruang lingkupnya meliputi sanad, matan, dan periwayat hadits. Cabang-cabangnya antara lain menganalisis sanad, matan, dan cara pengambilan hadits.
Dokumen ini membahas tentang ta'arrudh al-adillah atau kontradiksi antara dalil-dalil agama. Definisi, penyebab, rukun, syarat, jenis, dan metode penyelesaian ta'arrudh al-adillah dijelaskan secara singkat. Metode penyelesaiannya meliputi al-jam'u wa at-taufiq (menyatukan dan mencocokkan), tarjih (memilih salah satu), nasakh (pembatalan), dan tasaqut al
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Hadis-hadis dalam dokumen tersebut menjelaskan larangan riba dalam berbagai konteks seperti larangan memakan harta dengan riba, larangan tambahan dalam jual beli, serta kewajiban melakukan jual beli dengan takaran yang seimbang. Dosa melakukan riba disepadankan dengan tujuh dosa besar dan lebih berat dari zina.
Sumber ajaran Aswaja An-Nahdliyah berasal dari berbagai sumber keagamaan Islam yang diakui keabsahannya seperti al-Qur'an, hadis, ijma' ulama, dan pandangan madzhab-madzhab Islam. Metode pengembangan ajarannya melibatkan pendekatan maudhu'iyah (tematik), qanuniyah (terapan), dan waqi'iyah (kasuistik) serta mengacu pada pola pemikiran Asy'ariyah dan M
Dokumen tersebut membahas metodologi tafsir Al-Quran. Terdapat beberapa metode tafsir yang dijelaskan seperti metode ijmali, tahlili, muqaran, dan maudhu'i beserta keunggulan dan kelemahannya. Dokumen ini juga menyebutkan beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode-metode tersebut.
1. Dokumen tersebut membahas tentang taraduf (sinonim) dalam bahasa Arab. Taraduf didefinisikan sebagai beberapa lafazh yang mempunyai satu makna.
2. Ada beberapa pendapat ulama tentang taraduf, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak adanya taraduf. Beberapa sebab terjadinya taraduf juga dibahas.
Tasawuf sunni mendasarkan ajarannya pada al-Quran dan al-Hadis, sementara tasawuf falsafi memadukan pendekatan mistik dan rasional serta menggunakan terminologi filsafat. Keduanya memiliki titik temu seperti mengacu pada al-Quran dan al-Sunah serta hubungan antara Tuhan dan manusia, namun berbeda dalam pendekatan - tasawuf sunni lebih praktis sedangkan falsafi lebih teoritis.
Teks tersebut membahas dua jenis tasawuf yaitu tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf amali berfokus pada praktik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui tarekat dan pelatihan rohani. Tasawuf falsafi menggunakan pendekatan filsafat dan terminologi rasional dalam penjelasan ajarannya serta banyak dipengaruhi ajaran filsafat. Kedua jenis tasawuf memiliki karakteristik tersendiri dalam pendek
salah satu metode yang digunakan dalam menentukan suatu hukum berdasarkan kesungguhan atau kemampuan akal seseorang. Ijtihad juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam.
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptxRohman248433
Penafsiran al-Qur’an telah dipraktikkan sejak diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai bayan atas ayat-ayat al-Qur’an, tafsir yang paling benar adalah penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., karena beliau yang mendapatkan tugas untuk menyebarluaskan dan menjelasakan wahyu Allah. Penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., juga merupakan penafsiran yang paling canggih, karena beliau mampu mengamalkan al-Qur’an, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Dokumen tersebut membahas tentang Ushul Fiqh. Secara singkat, Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari cara menyimpulkan hukum-hukum syariah dari sumber-sumbernya seperti Al-Quran dan Hadis, serta membedakannya dengan ilmu Fiqh yang membahas langsung hukum-hukum syariah. Ushul Fiqh berfokus pada metode para ulama dalam berijtihad.
Dokumen tersebut membahasakan konsep hukum dalam Islam menurut pandangan ulama usul fiqh dan fiqh. Ia menjelaskan perbedaan pandangan kedua kelompok ulama tersebut dalam mendefinisikan istilah hukum dan membedakan hukum taklifi dan wad'i. Dokumen tersebut juga membahasakan pembagian hukum taklifi menurut pandangan Hanafiyyah.
Modul 5 kb 3 ijmak sebagai sumber hukum islammanispajaran
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, rukun, dan objek ijmak sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijmak didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama ahli ijtihad setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Rukun ijmak terdiri dari kesepakatan beberapa mujtahid, kesepakatan secara tegas mengenai hukum syarak, dan kesepakatan yang bulat. Objek ijmak adalah peristiwa-peristiwa yang tidak
Dokumen tersebut membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama muslim tentang suatu masalah hukum, sedangkan qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah lama berdasarkan persamaan alasan hukumnya. Kedua sumber hukum ini diakui oleh kebanyakan ulama sebagai sumber hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan Al-
Sumber Hukum Islam dan Metode Beritjihad.pdfliondian
Sumber hukum Islam terdiri atas Al-Qur'an, hadis, dan ijtihad. Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan bahasa Arab. Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an yang berisi penuturan Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan. Ijtihad adalah upaya maksimal untuk menemukan hukum Islam berdasarkan
Dokumen tersebut merupakan surat persetujuan penggunaan bahan ajar untuk pembelajaran siswa kelas X semester 1 SMA Negeri 1 Giri Banyuwangi tahun pelajaran 2011-2012. Surat tersebut menyetujui penggunaan media pembelajaran dan menetapkan materi serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester GenapLianita Dian
Makalah ini membahas empat topik utama yaitu sumber hukum Islam, pengelolaan wakaf, dakwah Rasulullah di Mekkah, dan dakwah Rasulullah di Madinah. Sumber hukum Islam meliputi Al-Quran, hadis, ijtihad, ijma, dan qiyas. Pengelolaan wakaf membahas perkembangan wakaf di dunia Islam dan potensi wakaf uang di Indonesia. Dakwah Rasulullah di Mekkah membahas tantangan awal dakwah, sed
Qaedah fiqh adalah perkara penting yang boleh membantu ummah dalah membuat keputusan dengan baik dan menghampiri ajaran Islam. Ianya adalah petunjuk dan pertimbangan yang asal dari alQuran dan Sunnah Nabi saw
Teks tersebut membahas tentang ijma dan qiyas sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Quran dan Hadis. Ijma didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama muslim, sedangkan qiyas adalah menyamakan hukum suatu kasus baru dengan kasus lama berdasarkan persamaan alasan hukum. Teks tersebut juga menjelaskan unsur-unsur, macam-macam, serta pendapat ulama terkait ijma dan qiyas.
Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam, diikuti oleh Al-Hadis sebagai sumber kedua. Ijtihad merupakan salah satu metode pengambilan hukum Islam ketika Al-Qur'an dan Al-Hadis tidak mengatur suatu masalah. Hukum Islam dibagi menjadi hukum taklifi yang wajib dan hukum wad'i yang sunnah.
Similar to Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved) (20)
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka.
Universitas Negeri Jakarta banyak melahirkan tokoh pendidikan yang memiliki pengaruh didunia pendidikan. Beberapa diantaranya ada didalam file presentasi
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024Kanaidi ken
Dlm wktu dekat, Pelatihan/WORKSHOP ”CSR/TJSL & Community Development (ISO 26000)” akn diselenggarakan di Swiss-BelHotel – BALI (26-28 Juni 2024)...
Dgn materi yg mupuni & Narasumber yg kompeten...akn banyak manfaat dan keuntungan yg didpt mengikuti Pelatihan menarik ini.
Boleh jga info ini👆 utk dishare_kan lgi kpda tmn2 lain/sanak keluarga yg sekiranya membutuhkan training tsb.
Smga Bermanfaat
Thanks Ken Kanaidi
Paper ini bertujuan untuk menganalisis pencemaran udara akibat pabrik aspal. Analisis ini akan fokus pada emisi udara yang dihasilkan oleh pabrik aspal, dampak kesehatan dan lingkungan dari emisi tersebut, dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran udara
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
1. -1-
BAB I
PENDAHULUAN
Mengingat pentingya dalam syari’at islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan As-
Sunnah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu, diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-
persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi
sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yag artinya “pada waktu sujud”
bersungguh—sungguh dalam berdo’a.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikh saja dan banyak para pendapat ulama
mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Quran dan
As-Sunnah.
2. - 2 -
BAB II
PEMBAHASAN
II.i. Pengertian Ijtihad
Pada dasarnya, kata ijtihad artinya berusaha sungguh-sungguh. Kata ijtihad hampir
sama dengan kata jihad yang artinya berjuang. Tetapi, kedua istilah tersebut berkembang
membentuk konsep sendiri-sendiri.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, sedangkan orang yang jihad dan
mujahadah disebut mujahid. Karena ke tiga akar kata tersebut sama maka tafsiran maknanya
tergantung konteks ayat Al-qur’an. Kata ijtihad dapat berarti al-thaqah atau berarti al-
masyaqqah(kesulitan, kesukaran). Dikatakan demikian, karena lapangan ijtihad adalah
masalah-masalah yang sukar dan berat. Orang yang mampu melakukan ijtihad adalah orang
yang benar-benar pakar. Berkaitan dengan itu, isu pintu ijtihad tertutup karena semakin
banyak orang yang sembarangan dalam ijtihad, walaupun sebenarnya tidak ada yang
menutup pintu ijtihad.
Sehubungan dengan beratnya lapangan ijtihad, al-ghazali menekankan bahwa, ijtihad
hanya berlaku pada upaya-upaya yang sulit dilakukan, sedangkan pekerjaan yang ringan tidak
dapat dikatakan ijtihad. Demikian juga al-saukany mengatakan bahwa ijtihad yaitu
pengarahan kemampuan dalam aktifitas-aktifitas yang berat atau sukar.
Jadi, ijtihad adalah mengarahkan segenap kemampuan intelektual dan spiritual untuk
mengeluarkan hukum yang ada dalam Al-qur’an atau as-sunnah, sehingga hukum tersebut
dapat diterapkan dalam lapangan kehidupan manusia sebagai solusi atas persoalan-persoalan
umat. Sukar tidaknya masalah yang dihadapi tergantung kepada tinggi rendahnya kualitas
intelektual dan spiritual seorang mujtahid. Jadi, bukan masalahnya yang sukar dan berat
sebagaimana dikemukakan al-ghazali dan al-syaukani di atas, tetapi kualitas mujtahidnya.
Di lihat dari pelaksanaannya, ijtihad dapat di bagi atas dua macam, yaitu ijtihad fardi
dan ijtihad jama’i. Ijtihad fardi merupakan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid secara
pribadi. Sedangkan, ijtihad jama’i adalah ijtihad yang di lakukan oleh para mujtahid secara
kelompok. Namun pada hakikatnya ijtihad jama’i tersebut tetap dilakukan oleh akal
orang perorang, hanya saja dalam merumuskan satu masalah secara bekerjasama.
II.ii. Syarat dan Sifat Mujtahid
Syarat adalah ketentuan formal yang harus terpenuhi seluruhnya oleh seorang
mujtahid. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka tidak sah (gugur) aktifitas ijtihadnya.
Sedangkan sifat adalah kepribadian yang idealnya dimiliki oleh seorang mujtahid untuk
3. - 3 -
sempurnanya hasil ijtihad. Sifat ini merupakan adab batin seseorang. Jika sifat-sifat ideal
tidak dimiliki, tidak berarti gugurnya hasil ijtihad.
Untuk merealisir kecakapan ijtihad, disyaratkan empat syarat :
1. Hendaknya seorang mempunyai pengetahuan bahasa arab, dari segi
sintaksisnya dan filologinya. Mempunyai filling dalam memahami
stilistikanya yang ia peroleh dari upaya mempelajari ilmu bahasa arab dan
cabang-cabangnya. Mempunyai cakrawala yang luas dalam ilmu
sastranya dan unsur-unsur yang mempengaruhi kefasihannya, puisi
maupun prosanya, dan lain-lainnya. Karena orientasi pertama seorang
mujtahid, adalah nash-nash dalam Al-Quran dan as-Sunnah serta berupaya
memahaminya. Seperti orang arab memahaminya, di mana nash-nash itu
datang dengan bahasa mereka. dan mampu menerapkan kaidah-kaidah
pokok bahasa untuk menyimpulkan arti dari ungkapan atau frase dan
sinonim-sinonimnya.
2. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan Al-Quran. Yang dimaksud
yaitu jika seseorang itu mengerti hukum syara’ yang dikandung oleh Al-
Quran, ayat-ayat yang menjadi nash hukum-hukum ini, dan metode
menemukan hukum-hukum itu dari ayat-ayatnya. Sekira dia dapat dengan
mudah menghadirkan semua ayat hukum Al-Quran yang berhubungan
dengan topik peristiwa, serta sebab-sebab turun setiap ayat daripadanya
yang benar. Juga atsar yang menafsiri dan mentakwili ayat-ayat tersebut.
Dari pengetahuan semua itu dapatlah ditemukan hukum suatu peristiwa.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Quran tidaklah banyak. Sebagian ulama
tafsir telah mengkhususkan ayat-ayat itu dengan Tafsir yang khusus.
Dan mungkin jika ayat-ayat yang berhubungan dengan satu topik, satu
dengan yang lainnya, dihimpun. Sekira seseorang mudah jika dalam
satu himpunan kembali kepada setiap ayat Al-Quran yang mengandung
hukum-hukum mengenai talak, perkawinan, pewarisan, (harta pusaka),
pidana, muamalah, dan macam-macam hukum Al-Quran lainnya.
Termasuk mudah jika bersama setiap ayat disebutkan keterangan yang
benar tentang sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis yang menjelaskan
keglobalannya, dan hadis-hadis yang menafsirinya. Dengan demikian
himpunan undang-undang dalam Al-Quran itu menjadi mudah untuk
kembali kepadanya sebagai referensi ketika ada keperluan, dan mudah
membandingkan pasal-pasal suatu topik, satu dengan lainnya. Setiap
pasal dapat difahami menurut keterangan topik-topiknya yang lain.
Karena Al-Quran itu sebagiannya menafsiri kepada sebagian yang lain.
4. - 4 -
Suatu kesalahan jika ayat dari topik itu difahami bahwa ia adalah
kesatuan yang terpisah yang berdiri sendiri.
3. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan as-Sunnah. Artinya
mengenai hukum-hukum syara’ yang ada di dalam as-Sunnah Nabawiyah.
Sekira orang-orang itu mampu menghadirkan hukum-hukum setiap bagian
dari bagian-bagian perbuatan mukallaf yang ada di dalam as-Sunnah, dan
mengenai tingkatan sanad sunnah ini dari segi kesahihan atau kelemahan
riwayatnya. Para ulama telah mempunyai andil dedikasi yang besar dalam
sunnah Nabawiyah ini. Mereka mencurahkan perhatiannya untuk meneliti
nasad-nasadnya dan para rawi setiap hadis as-Sunnah itu. Sehingga ulama
sesudah mereka, cukup mengadakan penelitian tentang sanad-sanadnya,
sampai setiap hadis itu dikenal sebagai hadis mutawattir, atau mahsyur,
atau sahih, atau hasan, atau dhoif.
Para ulama juga memperhatikan untuk menghimpun hadis-hadis
hukum, dan menyusunnya menurut bab-bab Fikih dan perbuatan
mukallaf. Sekira manusia mudah kembali pada keterangan yang ada di
dalam hadis-hadis yang berupa hukum-hukum jual-beli, talak,
perkawinan, pidana, dan lainnya. Juga dapat kembali kepada ayat-ayat
dan hadis-hadis yang membicarakan satu topik di antara topik-topik
hukum. Dari penjelasan ayat-ayat dan hadis-hadis itu, dapatlah
difahami hukum syara’. Di antara kitab-kitab yang paling baik untuk
dijadikan marji’ (referensi) dalam masalah ini, ialah kitab “Nailul
Authar” karangan Imam Asy-Syaukani.
4. Hendaknya seseorang mengerti segi-segi Qiyas. Yaitu mengerti illat dan
hikmah pembentukan syariat, yang dengan itu disyariatkanlah beberapa
hukum. Mengerti teori-teori dasar yang dibuat oleh syar’i untuk
mengetahui illat-illat hukumnya. Dan memahami peristiwa ihwal manusia
dan muamalah mereka. sehingga orang itu mengerti sesuatu yang menjadi
realisasi illat hukum yang berupa peristiwa yang tidak ada nashnya. Juga
memahami kepentingan dan kebiasaan manusia, dan hal-hal yang menjadi
sarana kebaikan dan kejahatan bagi mereka. sehingga apabila orang itu
dalam Qiyas tidak menemukan jalan untuk mengetahui hukum suatu
peristiwa, dia menempuh jalan lain di antara hal jalan-jalan yang telah
dirintis oleh syariat islam, agar bisa menemukan hukum peristiwa yang
ada nashnya.
5. - 5 -
II.iii. Ruang Lingkup Ijtihad (Majal Al-Ijtihad)
Ruang lingkup ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya
dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat dalam ikmu usul fiqh adalah al mujtahid fih.
Menurut Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali (t.th : 354), lapangan ijtihad adalah setiap
hukum syara’ yang tidak memiliki hukum qoth’i.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dlarurah dan bidahah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah Al-
Zuhaili menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i al-tsubut wa
dalalah tidak termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ‘ulima min
al-din bi al dlarurah, diantaranya kewajiban sholat lima waktu, puasa pada bulan ramadhan,
zakat, haji, keharaman zina, pencurian dan minuman khamar.
Secara lebih jelas, Wahbah Al-Zuhaili (1978: 497) menjelaskan lapangan ijtihad itu
ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad
SAW dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua sesuatu yang
ditetapkan berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni al-
tsubut atau zhanni al-dalalah).
Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa dijadikan obyek ijtihad, atas dasar ayat-
ayat hukum tadi telah benar menunjukkan arti yang jelas dan tidak mengandung ta’wil yang
harus diterapkan untuk ayat-ayat itu. Contoh masalah yang sudah ada hukumnya dalam nash:
جلدة ماة واحد فاجلدواكل والزاني الزانية
Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-
masing seratus kali dera(.1)
Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang berzina,
masing-masing didera seratus kali, hukum ini sudah jelas sehingga tidak perlu diijtihadi.
Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad adalah:
واتوالزكو الصلوة اقيموة
Artinya : Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat…(2)
Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia diperintahkan untuk
melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana cara melakukannya belum diterangkan
dalam ayat tersebut, jadi masih perlu diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat
perdagangan, zakat profesi, dan seterusnya.
1 : (QS.An-Nuur: 22).
2 : (QS.Al-Baqoroh:43)
6. - 6 -
Berijtihad dalam bidang-bidang yang tak disebutkan dalam Al-qur'an dan hadist dapat
ditempuh dengan berbagai cara :
1. Qiyas atau analogi adalah salah satu metode ijtihad, telah dilakukan sendiri
oleh rosulullah SAW. Meskipun sabda nabi merupakan sunah yang dapat menentukan
hukum sendiri
2. Memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan menolak
mudharat dalam kehidupan manusia.
II.iv. Hukum Melakukan Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau
ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad
bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas
orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja
tanpa kepas-tian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya
dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan
selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya,
jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya
berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka gugurlah
tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan
yang tidak atau belum terjadi.Metodologi Studi Islam
Keempat, hukum. ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang
sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam Alquran maupun al-Sunnah atau ijtihad atas
peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak.
II.v. Ijtihad Sebagai Sumber dan Metode Studi Islam
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu
yang dimiliki oleh ilmuan syariat islam untuk menetapkan atau menentukan suatu hukum
syariat islam dalam hal-hal yang ternyata belum di tegaskan hukumnya oleh Al-qur’an dan
sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek
pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-qur’an dan sunnah. Namun demikian, ijtihad
harus mengikuti kaidah-kaidah yang di atur oleh para mujtahid tidak boleh bertentangan
dengan isi Al-qur’an dan sunnah tersebut. Karena itu, ijtihad di pandang sebagai salah satu
7. - 7 -
sumber hukum islam yang sangat di butuhkan sepanjang masa setelah Rasulallah wafat.
Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa
berkembang. Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yangsemakin
maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja di bidang materi atau isi,melainkan juga
di bidang sistem dalam artinya yang luas.
Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-qur’an dan sunnah yang di
olah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-
hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan
situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus di kaitkan dengan ajaran islam
dan kebutuhan hidup.
Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran islam yang terdapat
dalam Al-qur’an dan sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Bila
ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam
menerapkan yang prinsip itu. Sejak di turunkan sampai nabi Muhammad SAW wafat, ajaran
islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang di tuntut oleh perubahan situasi dan
kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula. Sebaliknya, ajaran islam sendiri telah
berperan mengubah kehidupan manusia menjadi kehidupan muslim.
Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi, yang bermuara pada perubahan kehidupan sosial telah menuntut ijtihad dalam
bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip-prinsip ajaran islam, apakah ia boleh di
tafsirkan dengan yang lebih serasi dengan lingkungan dan kehidupan sosial sekarang ? kalau
ajaran itu memang prinsip yang tak boleh di ubah, maka lingkungan dan kehidupan sosiallah
yang perlu di ciptakan dan di sesuaikan dengan prinsip itu. Sebaliknya, jika dapat di tafsir
maka ajaran-ajaran itulah yang menjadi lapangan ijtihad.
Sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial, manusia tentu saja
mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan sosial menurut tingkatan-tingkatannya. Dalam
kehidupan bersama, mereka mempunyai kebutuhan bersama untuk kelanjutan hidup
kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi berbagai aspek kehidupan individu dan
sosial, seperti sistem politik, ekonomi, sosial dan pendidikan. Pendidikan adalah kebutuhan
yang terpenting karena ia menyangkut pembinaan generasi mendatang dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tersebut sebelumnya.
Sistem pembinaan, di satu pihak di tuntut agar senantiasa sesuai dengan
perkembangan zaman, ilmu dan teknologi yang berkembang cepat. Di pihak lain, dituntut
agar tetap bertahan dalam hal kesesuaiannya dengan ajaran islam. Hal ini merupakan masalah
yang senantiasa menuntut mujtahid muslim di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad
sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman, ilmu dan
8. - 8 -
teknologi tersebut. Sedangkan di Indonesia ijtihad di bidang pendidikan itu harus pula di jaga
agar sejalan dengan falsafah hidup bangsa.
II.vi. Metode-metode Berijtihad
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan
sendiri – sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain. Di antara metode atau cara
berijtihad adalah (1) ijmak, (2) qiyas, (3) istidal, (4) al-masalih al-mursalah, (5) istishan, (6)
istishab, (7) ‘urf, dan lainnya.
1. Ijmak. Yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah
pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara di
tempat yang sama. Namun, kini sukar dicari suatu cara dan sarana yang dapat
digunakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah pada
suatu ketika di tempat yang berbeda. Ini disebabkan karena luasnya bagian dunia yang
didiami oleh umat islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijmak yang
hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua khulafaurrasyidin (Abu Bakar dan
Umar) dan sebagian masa pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman). Sekarang
ijmak hanya berarti persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai
tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam Al-quran(3). Di indonesia misalnya, ijmak
mengenai kebolehan beristri lebih dari satu orang berdasarkan Al-quran surat An-Nisa
(4) ayat 3, dengan syarat-syarat tertentu, selain dari kewajiban berlaku adil yang
disebut dalam ayat tersebut, dituangkan dalam UU perkawinan. Menurut Jumhur
ulama ijma’ hanya terwujud apabila dipenuhi persyaratan/unsur-unsurnya sebagai
berikut:
a. Bersepakatnya para mujtahid. Kesepakatan bukan mujtahid tidak diakui sebagai
ijma’. Demikian juga, kesepakatan ulama yang belum mencapai martabat ijtihad
fiqhy, sekalipun mereka tergolong ulama besar dalam disiplin ilmu lain, karena
mereka ini tidak mampu mengadakan mazhar dan istidlal tentang urusan
penetapan hukum syara’. Imam Fakhrurrazy mengatakan bahwa seorang
pembicara yang tidak mengetahui cara istinbath hukum dari nash, tidak diakui
perintah dan larangannya.
Berdasarkan prinsip ini, maka apabila pada suatu masa tidak terdapat para
mujtahid, tidaklah terwujud ijma’ syar’i. Sekurang-kurangya jumlah mujtahid
yang diperlukan untuk mewujudkan ijma’ adalah tiga orang, karena itulah
sekurang-kurang jumlah jama’ah. Oleh karena itu, ijma’ tidak terwujud
3 : (H.M. Rasjidi, 1980:457)
9. - 9 -
apabila hanya terdapat seorang mujtahid saja atau dua orang. Sebagian ulama
mensyaratkan jumlah itu harus mencapai batas tawatur sehingga aman
terjadinya dari kesalahan.
b. Bahwa semua mujtahid tersebut bersepakat, tak seorangpun yang berpendapat
lain. Kalau satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak tersimpul.
Karena itu tak diakui sesbagai ijma’, kesepakatan :
- Suara terbanyak,
- Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan Salaf,
- Kesepakatan ulama kota madinah saja,
- Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari dua kota Bashrah dan Kufah, atau
salah satunya saja,
- Kesepakatan Ahli Bait Nabi saja,
- Kesepakatan khulafaurrasyidin saja,
- Kesepakatan dua orang syekh : Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat
lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’y
(diyakini) keabsahan dan kebenarannya.
Termasuk dalam kategori mujtahid, adalah mereka yang ahli dalam
“kelompok-kelompok dalam kalangan umat islam” yang tidak mengingkari
masalah yang termasuk kategori sudah diketahui secara dharury dalam agama.
Kesepakatan itu harus mengikutsertakan ini, walaupun ia berbeda pendapat
dengan jumhur kaum muslimin tentang masalah selain dari yang diijma’kan.
Tetapi para ahli sesuatu ilmu pengetahuan lain yang mengingkari apa yang
sudah merupakan ketetapan syari’at secara qath’y, seperti kelompok Syi’ah
yang ekstrem tidak perlu diikut sertakan, karena pendapat mereka ini tidak
diperhitungkan, baik ia sepakat maupun tidak.
c. Bahwa kesepakatan itu, di antara mujtahid yang ada ketika masalah yang
diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas, tidak mesti disepakati pula oleh
mujtahid generasi berikutnya, karena jika demikian, maka ijma’ takkan terjadi
sampai kiamat.
Tersimpulnya ijma’ tidak disyaratkan bahwa para mujtahid bersangkutan
sudah meningga dunia. Tetapi sebagian ulama mensyaratkan harus seluruh
ulama yang berijma’ itu meninggal barulah dilaksanakan, karena selama
mereka masih hidup, bisa terjadi penarikan pendapat mereka.
d. Bahwa kesepakatan mujtahid itu, terjadi setelah Nabi saw. wafat. Jika dikala Nabi
saw. masih hidup para sahabat bersepakat tentang suatu masalah hukum, maka
tidak merupakan ijma’ syar’i, melainkan merupakan pengakuan rasul (Sunnah
Taqririyah).
10. - 10 -
e. Bahwa kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid memulai penyampaian
pendapatnya dengan jelas pada satu waktu, baik pernyataan pendapat itu secara
orang perorang tanpa berkumpul maupun masing-masing mereka mengeluarkan
pendapatnya di ruangan yang sama dalam suatu mu’tamar yang berakhir dengan
kebulatan pendapat di mana masing-masingnya menyatakan pemufakatan dan
persetujuan.
f. Bahwa kesepakatan mujtahid itu dalam pendapat yang bulat yang sempurna dalam
pleno lengkap, ataupun masing-masing berkelompok dengan pendapat masing-
masing, maka mereka pun berijma’ dalam satu pendapat secara hukum karena tak
ada pendapaat ketiga.
Apabila unsur ijma’ itu sudah terwujud di dalam suatu kesepakatan mujtahid
mengenai suatu hukum syar’a amaliyah, seperti kewajiban, keharaman, sah
dan batal, maka ijma’ sudah tersimpul.
2. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di
dalam Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadits dengan hal yang hukumnya disebut
dalam Al-quran dan Sunnah rasul (yang terdapat dalam kitab – kitab hadis) karena
persamaan illat (Penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran, yang dipergunakan
oleh akal budi untuk membanding suatu hal dengan hal lain(4). Sebagai contoh dapat
dikemukakan larangan meminum khamar (sejenis minuman memabukkan yang dibuat
dari buah – buahan) yang terdapat dalam Al-Quran surat Al-Maidah (5) ayat 90. Yang
menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab
minuman yang memabukkan, dari apa pun dibuat, hukumnya sama dengan khamar
yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum
minuman yang memabukkan itu, maka mabukkan(mibuk), apa pun namanya, dilarang
diminum atau diperjualbelikan untuk minum. Berikut beberapa contoh Qiyas :
a. Jual beli saham dibolehkan karena dikecualikan dengan hadis Nabi saw. :
(Rasulullah melarang menjual barang yang tidak hadir dan memberikan dispensasi
pada jual beli indent)
Diqiyaskan dengannya jual beli barang yang sudah ada dan atau barang yang
akan ada dari buah batang kayu karena samanya hajat kepada keduanya dan
berlakunya kebiasaan orang melakukannya tanpa menimbulkan sengketa.
Diqiyaskan pula kepadanya, jual beli sesuatu yang masih ditempa.
b. Menjual buah kurma mentah dicelah-celah yang sudah masak (‘araya) dibolehkan
karena dikecualikan dengan hadis :
(Rasulullah melarang menjual sesuatu yang sejenis berlebih kurang, dan
memberikan dispensasi pada jual beli ‘araya)
4 : (H.M. Rasjidi, 1980:457)
11. - 11 -
Diqiyaskan kepadanya jual beli kurma mentah dengan kurma masakan karena
sama buahnya dan bisa diperam sebentar serta hajat orang kepada menjualnya.
c. Menjual sesuatu barang yang dalam proses pembelian orang lain
d. Minum khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan kepadanya meminum
perasan lain yang menjadi khamar dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada
khamar, karena samanya dalam ‘illat keharamannya.
e. Pembunuhan waris terhadap pewarisnya, terhalang mendapatkan hak warisan.
Diqiyaskan kepadanya penerima wasiat yang membunuh pemberi wasiat, karena
sama-sama terjadinya dugaan mempercepat sesuatu sebelum masanya dalam
pembunuhan dan keinginan mengambil manfaat dari kejahatan.
f. Perawan kecil, wilayah nikahnya tertentu bagi walinya atas dasar hadi. Diqiyaskan
kepadanya janda kecil karena sama-sama kecil sehingga pendek akalnya dan
lemah dalam mencapai kemaslahatan.
g. Jual beli waktu akan shalat jumat dilarang dengan nash. Diqiyaskan kepadanya
segala bentuk transaksi dan transfer dalam waktu itu, karena sama-sama
menghalangi ingat kepada Allah dan shalat.
h. Mempoligami antara dua orang istri yang bersaudara diharamkan dengan ayat Al-
Quran dan mempoligami antara dua istri yang berhubungan anak kemenakan
dilarang dengan hadis. Diqiyaskan kepadanya mempoligami dua orang istri yang
berhubungan muhrim, karena sama-sama membawa putusnya hubungan keluarga
(Silaturrahmi).
i. Pencurian antara anak dan ayah, antara suami-istri tidak boleh diajukan ke
pengadilan kecuali orang yang dicuri menuntut menurut Undang-Undang Pidana.
Diqiyaskan kepadanya, merampas dengan kekerasan dan segala pidana seumur
hidup di antara mereka, karena hubungan keluarga dan suami-istri.
j. Surat yang dibubuhi tanda tangan merupakan bukti terhadap yang membubuhnya.
Diqiyaskan kepadanya, surat yang dicap jari, karena sama-sama menunjukkan
identitas pelakunya.
3. Istidal. Yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik
kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum islam.
Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum islam
(gono-gini atau harta bersama) dan hukum agama yang diwahyukan sebelum islam
tetapi tidak dihapuskan oleh syariat islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk
dijadikan hukum islam(5).
4. Masalih al-mursalah. Atau disebut juga maslahat mursalah yaitu adalah cara
menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al-
5 : (A. Siddik, 1982:225)
12. - 12 -
Quran maupun dalam kitab kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan pembenaran
pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan atau kepentingan masyarakat
dalam rangka pemerataan pendapatan atau pengumpulan dana yang diperlukan untuk
memelihara kepentingan umum, yang sama sekali tidak disinggung dalam Al-Quran
dan Sunnah rasul (yang terdapat dalam kitab kitab hadis) (6).
5. Istishan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan
yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istishan merupakan metode
yang unik dalam mempergunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi
yang ketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan. Didalam
praktik, seorang ahli hukum seringkali terpaksa melepaskan diri dari aturan yang
mengikat karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang lebih berat dan lebih perlu
diperhatikan. Istishan adalah suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat
menurut suatu keadaan(7). Misalnya, hukum islam melindungi dan menjamin hak
milik seseorang. Hak milik seseorang hanya dapat dicabut kalau disetujui oleh
pemiliknya. Dalam keadaan tertentu, untuk kepentingan umum yang mendesak,
penguasa dapat mencabut hak milik seseorang dengan paksa, dengan ganti-kerugian
tententu kecuali kalau ganti-rugi itu tidak memungkinkan. Contohnya adalah
pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan pembuatan irigasi
untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial (8).
6. Istishab. Yaitu menerapkan hukum sesuatu hak menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat
dikatakan istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena
belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Contohnya (a) A (pria) mengawini B
(wanita) secara sah. A kemudian meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian. C
(pria) melamar B yang menurut kenyataannya tidak mempunyai suami. Walaupun B
menerima lamaran itu, perkawinan antara C dan B tidak dapat dilangsungkan, karena
status B adalah (masih) istri A. Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah
diceraikan oleh A selama itu pula status hukum B adalah istri A. Contoh lain, A
mengadakan perjanjian utang-piutang dengan B. Menurut A utangnya telah dibayar
kembali, tanpa menunjukkan suatu bukti atau saksi. Dalam kasus seperti ini
berdasarkan istishab dapat diterapkan bahwa A masih belum membayar utangnya dan
6 : (A. Azhar Basyir, 1983:3)
7 : (Ahmad Hasan, 1984:136)
8 : (A. Azhar Basyir, 1983:3-4)
13. - 13 -
perjanjian itu masih berlaku selama belum ada bukti yang menyatakan bahwa
perjanjian utang-piutang tersebut telah berakhir (9). Berikut macam-macam istishab :
a. Istishab baraa-atul ashliyah atau baraa-atul’adamil ashliyah (kebebasan asli)
seperti kebebasan tanggung jawab beban syara’ sebelum ada dalil yang
menunjukkan adanya beban tersebut.
- Jika ia masih kecil, maka ia bebas sebelum sampai baligh.
- Jika ia tidak mengetahui dan ia tinggal di negeri harby, maka ia bebas
menjelang ia tahu atau menjelang ia sampai ke negeri Islam.
- Tidak tsabit-nya hak antara suami-istri, sebelum terjadi akad nikah yang men-
sabit-kan hak tersebut.
b. Istishab kepada dalil syara’ atau dalil akal tentang adanya, seperti masih tetap
bertanggung jawab terhadap utang, sebelum ada petunjuk bahwa sudah dilunasi
atau dibebaskan oleh yang berpiutang, keharusan si pembeli membayar harga
menurut akad sebelum ada petunjuk bahwa ia sudah membayarnya, keharusan
suami membayar mahar sebelum ada petunjuk bahwa ia sudah melunasinya atau
direlakan oleh istrinya. Semuanya ini ditetapkan dengan hukum syara’ dan oleh
akal ditetapkan masih tetapnya sebelum ada dalil yang mengubahnya.
c. Istishabul hukmi, yaitu tetapnya hukum sesuatu mubah sebelum ada dalil yang
menunjukkan ia diharamkan dan tetapnya hukum sesuatu haram sebelum ada dalil
yag menunjukkan kebolehannya. Asal segala sesuatu selain bersetubuh adalah
mubah sesuai dengan firman Allah :
(Dialah yang menjadikan untuk kepentingan kamu, segala sesuatu yang ada di
bumi)
Ketiga bagian ini, disepakati para Ulama menggunakannya sebagai dasar
hukum, tetapi dalam penerapannya terhadap cabang hukum tertentu mereka
berbeda.
d. Istishabul wasfy, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Inilah
istishab yang dipertikaikan antara Syafi’iyah dan Hanabilah serta Zaidiyah dan
Zohiriyah disatu pihak dengan Hanafiyah dan Malikiyah dipihak lain.
Di dalam penerapan istishab yang disepakati itu (a,b,c) terjadi perbedaan
dikalangan mereka, yang diantaranya dapat dilihat pada masalah-masalah :
- Apabila seseorang dalam keadaan berwudhu’, kemudian ia ragu bahwa ia
berhadas. Menurut Malik orang tersebut tidak boleh shalat sebelum berwudhu’
baru. Yang demikian disebabkan bertentangannya dua macam asal :
1. Tetapnya sifat wudhu’ berdasarkan istishab dan tidak bisa dihilangkan
oleh syak,
9 : (Mukhtar Yahya, 1979:121, A. Azhar Basyir, 1983:4)
14. - 14 -
2. Bahwa tanggung jawabnya ialah melaksanakan kewajiban shalat. Dan
berpegang pada istishab beban kewajiban shalat hanya bisa bebas apabila
telah dilaksanakan menurut tata caranya dengan wudhu’ yang tsabit secara
yakin, sedang wudhu’ orang tersebut berada dalam status ragu dan
keraguan terhadap suci meniadakan syarat shalat. Ulama selain Malik
menetapkan bahwa orang tadi boleh shalat karena wudhu’nya tidak
hilang/batal. Dalam masalah ini, pendapat Imam Malik lebih berhati-hati
dan lebih patut diterima.
- Apabila suami mentalak istrinya, kemudian ia ragu apakah ia menjatuhkan
talak tiga atau satu. Dalam kasus ini jumhur Fuqaha berpendapat jatuh talak
satu, sedangkan Imam Malik mengatakan jatuh talak tiga, dengan alasan di
sini terjadi pertentangan dua asal :
1. Tetap halalnya sebelum sabit berubahnya. Disini terjadi keraguan tentang
tsabitnya yang mengubah itu yaitu talak. Dari segi ini, maka tetap halal
(jatuh satu).
2. Bahwa talak bila dijatuhkan maka tsabit dengan yakin. Tetapi keraguan
terjadi pada apakah tsabit rujuk atau tidak, sedangkan ruju’ (jatuh satu)
tidak tsabit dengan terjadinya keraguan.
Dalam masalah ini, pendapat jumhur lebih patut diterima, karena
kehalalan dalam masalah nikah adalah diyakini dan tidak bisa hilang
kecuali dengan yakin bukan dengan ragu-ragu. Tidak boleh dikatakan
bahwa asal dalam keharaman dengan sebab talak dan diragukan
tentang kehalalan.
- Apabila seseorang menjatuhkan talak kepada salah seorang istri kemudian ia
ragu kepada istri yang mana dijatuhkannya talak itu. Menurut Malikiyah jatuh
talak terhadap kedua istrinya, karena tsabit-nya talak terjadi dengan yakin.
Maka apabila talak itu jatuh dengan yakin terhadap salah seorang istrinya
sedangkan jalan untuk menentukan salah satunya tidak ada, maka jatuhlah
talak terhadap keduanya berdasarkan istishab dengan hukum talak yang tsabit
dengan yakin tadi. Tetpi jumhur Fuqara menetapkan bahwa yang tsabit dengan
yakin adalah nikah, maka ia tidak hilang dengan sebab ragu tentang adanya
talak yang mencegah hukum akad nikah yang tsabit.
7. Adat-istiadat atau urf yang tidak bertentangan dengan hukum islam dapat dikukuhkan
tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Adat-istiadat ini tentu saja
yang berkenaan dengan soal muamalah. Contohnya, adalah kebiasaan yang berlaku di
dunia perdagangan pada masyarakat tententu melalui inden misalnya, jual-beli buah-
buahan di pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya, melamar wanita dengan
15. - 15 -
memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau utang atas
persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain(10), harta bersama suami-istri dalam
masyarakat Muslim indonesia (tersebut di atas). Sepanjang adat-istiadat itu tidak
bertentangan dengan ketentuan Al-Quran dan Sunnah atau Hadits, dan transaksi di
bidang muamalah itu didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak serta tidak
melanggar asas-asas hukum perdata islam di bidang muamalah (Kehidupan sosial),
menurut kaidah hukum islam yang menyatakan “adat dapat dikukuhkan menjadi
hukum” (al-‘adatu muhakkamah (t)), hukum adat yang demikian dapat berlaku bagi
umat islam.
II.vii. Masalah-masalah yang Boleh Diijtihadi
“Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang sudah ada nashnya secara pasti”.
Ijtihad menurut istilah ulama ushul; ilaha mencurahkan daya kemampuan untuk
menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.
Maka jika peristiwa yang hendak diketahui hukumnya itu telah ditunjukkan hukum
syara’nya oleh dalil yang jelas dan pasti datangnya serta maknanya, maka tidak ada jalan
untuk melakukan ijtihad di sana. Yang wajib, yaitu harus dilaksanakan makna yang telah
ditunjukkan oleh nash di sana. Karena selama dalil itu pasti datangnya, maka tidaklah
ketetapannya dan keluarnya dari Allah dan Rasul-Nya itu menjadi objek pembahasan dan
pencurahan daya kemampuan. Dan selama dalil itu pasti maknanya, maka tidaklah dalalah
dalil atas maknanya dan pengambilan hukum daripadanya itu menjadi objek permasalahan
dan ijtihad. Atas dasar ini, maka ayat-ayat hukum yang telah dijelaskan dan telah
menunjukkan kepada arti dengan jelas serta tidak mengandung takwil yang harus diterapkan
untuk ayat-ayat itu, maka tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad terhadap peristiwa-
peristiwa yang bisa ditrerapkan di sana.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat....”
Setelah praktik sunnah telah menjelaskan pengertian shalat atau zakat, maka tidak ada
jalan untuk mendefinisikan pengertian salah-satunya. Maka selama nash itu jelas dan telah
dijelaskan menurut bentuknya, atau diikuti dengan penjelasan dan keterangan syari’, maka
tidak boleh melakukan ijtihad terhadap masalah yang sudah termasuk di dalamnya. Contoh
ayat-ayat Quran yang dijelaskan oleh hadis-hadis mutawattir, yaitu seperti hadis tentang harta
benda yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan ukuran nisab dari masing-masing harta itu, serta
ukuran yang wajib (dikeluarkan zakatnya) daripadanya.
10 : (Mukhtar Yahya, 1979:119, A. Azhar Basyir, 1983:4)
16. - 16 -
Adapun apabila peristiwa yang hendak diketahui hukumnya itu telah dijelaskan oleh
nash yang bersifat dugaan datangnya serta dalalahnya, atau salah-satunya saja yang bersifat
dugaan, maka boleh melakukan ijtihad dalam keduanya. Karena masalah yang bisa diijtihadi
itu bila dibicarakan dalam dalil yang dugaan datangnya dari segi sanadnya, dan dari cara
sampainya kepada kita dari rasul, dan tingkatan para perawinya dalam keadilan, kecerdasan,
kepercayaan dan kejujuran, maka dalam hal ini para ulama mujtahidin berbeda pendapat
dalam memastikan dalil. Di antaranya ada yang merasa tenang dengan periwayatannya dan
kemudian menyimpulkan dalil itu. Dan di antaranya lagi ada yang tidak merasa tenang
dengan itu dan tidak mau mengambil dalil dengannya. Ini termasuk salah-satu di antara
beberapa bagian yang karena beberapa bagian itu para ulama mujtahidin berbeda pendapat
dalam beberapa hukum amaliah.
Apabila ijtihad seorang mujtahidin dalam sanad dalil telah mampu mendatangkan
keterangan periwayatannya, kejujuran para perawinya, maka dia boleh berijtihad untuk
mengetahui hukum yang ditunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang dapat dimasukkan di
dalam kelompoknya. Karena dalil itu kadang lahirnya menunjukkan kepada suatu arti, tetapi
bukan itu maksudnya. Dan kadang berupa dalil yang umum, dan kadang berupa bentuk
perintah atau larangan. Jadi seorang mujtahid lantaran ijtihadnya mampu sampai mengetahui
bahwa yang nyata itu zahirnya dalil, atau ia itu ditakwili. Dan bahwa dalil yang umum itu
tetap pada keumumannya, atau ia itu ditakhsis. Begitu juga yang mutlak itu tetap pada
kemutlakannya, atau ia itu dibatasi. Dan perintah itu berarti wajib atau lainnya. Atau larangan
itu berarti haram atau lainnya. Pedoman yang dapat menunjukkan seorang mujtahid dalam
ijtihadnya, ialah kaidah-kaidah pokok bahasa, tujuan-tujuan syar’i, serta prinsip-prinsipnya
yang umum, dan beberapa nashnya dapat menjelaskan hukum. Dengan demikian, seorang
mujtahid dapat sampai kepada tingkatan bahwa nash itu dapat atau tidak, bisa diterapkan
dalam suatu peristiwaw tertentu (umpamanya).
Begitu juga apabila peristiwa itu tidak ada nash dalam hukumnya sama sekali, maka
peristiwa itu merupakan objek yang luas untuk melakukan ijtihad. Karena seorang mujtahid
itu meneliti supaya bisa sampai kepada mengetahui hukumnya dengan lantaran qiyas
(analogi), atau istishan (Menganggap baik), atau istishab(menganggap berhubungan) atau
memelihara ‘urf (kelebihan, kebiasaan), atau maslahah mursalah (kepentingan umum).
II.viii. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan
Pertama : ijtihad tidak bisa dikelompok-kelempokkan. Artinya tidak boleh ada orang
alim sebagai mujtahid dalam hukum-hukum dan dalam hukum pidana dan bukan mujtahid
17. - 17 -
dalam hukum-hukum ibadah. Karena, ijtihad seperti yang dapat disimpulkan dari keterangan
kami di atas, adalah keahlian dan kecakapan, dimana dengan itu seorang mujtahid dapat
memahami nash dan menghasilkan hukum syara’ daripadanya, serta dapat menemukan
hukum yang tidak ada nashnya. Maka barangsiapa telah memenuhi syarat-syarat ijtihad, dan
memiliki kecakapan seperti itu, tidak bisa digambarkan jika dia, lantaran itu, menguasai satu
topik tanpa topik yang lain. Benar, dapat dijumpai seorang ahli spesialis di bidang hukum
perdata tanpa pidana, atau pidana tanpa perdata. Tetapi tidak dapat dijumpai seseorang
mampu berijtihad dalam salah-satu topik hukum, bukan yang lainnya. Dan karena pegangan
seorang mujtahid dalam ijtihadnya ialah memahami prinsip-prinsip yang umum ini tidak
mengkhususkan salah-satu bab tanpa bab lain di antara bab-bab hukum. Memahami benar
jiwa pembentukan syariat dan prinsip-prinsip umum itu, tidak bisa sempurna kecuali dengan
memaksimalitaskan kemampuan dalam upaya meneliti hukum-hukum syara serta beberapa
hikmahnya dalam berbagai bab.kadang yang menjadi pedoman seorang mujtahid dalam
hukum-hukum perkawinan, berupa prinsip-prinsip atau pemberian illat yang telah tetap di
dalam hukum-hukum jual-beli. Maka seseorang tidak bisa dianggap sebagai mujtahid kecuali
mempunyai pengetahuan sempurna terhadap hukum-hukum Al-Quran dan as-Sunnah,
sehingga dapat membandingkan sebagian hukum-hukum itu kepada sebagian yang lain, dan
dari prinsip-prinsip hukum yang dapat melakukan penemuan hukum yang benar.
Kedua : seorang mujtahid diberi pahala; bila ijtihadnya benar mendapat dua pahala,
satu pahala atas ijtihadnya, dan satu pahala atas kebenaran ijtihadnya. Jika salah, dia dapat
satu pahala atas ijtihadnya. Karena di atas telah kami terangkan bahwa Allah SWT tidak
meninggalkan manusia dengan sia-sia. Bahkan Ia mensyariatkan hukum untuk setiap
perbuatan mukallaf, dan untuk setiap hukum Dia dirikan dalil yang menunjukkan kepada
hukum itu. Dan memerintahkan para cendikiawan agar memperhatikan dalil itu supaya
mendapatkan petunjuk dalam keputusannya. Maka barangsiapa mempunyai keahlian
memperhatikan dalil-dalil itu secara sempurna dan berkenan berijtihad sampai dapat
menemukan sesuatu yang dihasilkan oleh ijtihadnya, dia diberi pahala atas ijtihadnya ini. Dia
berkewajiban mengamalkan hasil ijtihadnya dalam keputusan dan fatwanya. Karena hukum
Allah itu, adalah menurut dugaan kuat orang itu. Sedangkan dugaan yang kuat, seperti telah
kami terangkan di atas, cukup untuk mewajibkan amal perbuatan mujtahid selain dia tidak
wajib bertakld kepadanya dalam melaksanakan hasil ijtihadnya. Karena ucapan manusia
siapa saja setelah rasul yang ma’shum, tidaklah menjadi hujjah yang wajib diikuti oleh setiap
muslim mana saja. Hanya saja bagi orang awam yang tidak mempunyai kecakapan berijtihad
dan membuahkan hukum dari nashnya, boleh mengikuti para imam mujtahidin dan bertaklid
kepada mereka,.
Ketiga : ijtihad itu tidak bisa dibatalkan oleh (ijtihad lain) yang sejenisnya. Jika
seorang mujtahid berijtihad tentang sesuatu peristiwa dan menjatuhkan keputusan kepada
18. - 18 -
peristiwa itu dengan hukum yang dihasilkan oleh ijtihadnya, kemudian datang kepada para
mujtahid itu bentuk (lain) dari peristiwa ini, sehingga dia menghasilkan hukum lain dalam
ijtihadnya, maka dia tidak boleh membatalkan hukumnya yang pertama. Sebagaimana
mujtahid lain tidak boleh ijtihadnya menyalahi ijtihad mujtahid pertama, supaya hukum
mujtahid kedua membatalkan hukum mujtahid pertama. Karena ijtihad kedua tidaklah lebih
kuat dari yang pertama, dan tidaklah ijtihad seorang di antara para ulama mujtahidin itu lebih
berhak untuk diikuti daripada ijtihadnya mujtahid yang lain. Dan karena membatalkan satu
ijtihad dengan ijtihad lain itu dapat mengakibatkan tidak tegaknya suatu hukum, atau sesuatu
yang dijadikan hukum itu tidak punya kekuatan. Ini merupakan kesulitan dan kesempitan.
Ada suatu keterangan bahwa Umar bin Khattab ra pernah menjatuhkan hukum atas suatu
peristiwa, kemudian berubahlah ijtihadnya, maka hukum yang telah diputuskan pertama ini
tidak dibatalkan oleh beliau. Bahkan beliau putuskan, dalam peristiwa (lain) sejenis itu,
dengan hukum lain yang dihasilkan oleh ijtihadnya yang kedua, dan beliau berkata : “Yang
itu (peristiwa pertama) tetap menurut hukum yang kami putuskan (sekarang)”. Abu Bakar ra
pernah memutuskan beberapa masalah. Selain itu Umar ra menentangnya dalam masalah itu,
tetapi Umar ra tidak membatalkan keputusan Abu Bakar. Atas dasar keterangan ini,
seyogyanya dapat dimengerti ucapan Umar ra pada masanya kepada Abu Musa Al-Asy’ari
ketika Umar ra mengangkatnya sebagai hakim: “jangan menghalangimu keputusan yang telah
kamu jatuhkan hari ini, sehingga engkau meninjau kembali dirimu, dan engkau diberi
petunjuk oleh akalmu dalam hal itu untuk kembali kepada yang benar. Sesungguhnya
meninjau kembali kebenaran itu lebih baik daripada membiarkan di dalam kebatilan”.
BAB III
KESIMPULAN
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh
ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at islam untuk menentukan/menetapkan sesuatu hukum
syari’at islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-qur’an dan
Sunnah. Kata ijtihad dapat berarti al-thaqah (kemampuan, kekuatan) atau berarti al-
masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dikatakan demikian, karena lapangan ijtihad adalah
masalah-masalah yang sukar dan berat. Orang yang mampu melakukan ijtihad adalah orang
yang benar-benar pakar. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Untuk menjadi
seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan.
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau
ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukumsyara’, maka hukum ijtihad bagi
orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas orang
tersebut.
19. - 19 -
Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-qur’an dan sunnah yang di
olah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-
hal yangberhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan
situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus di kaitkan dengan ajaran islam
dan kebutuhan hidup.
20. - 20 -
Daftar Pustaka
http://al-jadiyd.blogspot.co.id/2013/11/ijtihad-sebagai-sumber-dan-metode-study.html