Makalah ini membahas sejarah perkembangan dan periodisasi ushul fiqih pada zaman Nabi Muhammad, sahabat, dan tabi'in. Pada zaman Nabi, sumber hukum Islam hanya Al-Quran dan sunnah. Nabi memberikan izin luas untuk melakukan ijtihad. Pada zaman sahabat dan tabi'in, metode pemikiran hukum seperti qiyas mulai berkembang meskipun belum terbentuk sebagai ilmu tersendiri."
1. 1
MAKALAH
Ushul Fiqh, Periodisasi Zaman Nabi, Sahabat & Tabi’in, Munculnya Ushul Fiqh,
Aliran-Aliran & Karya Ilmiah
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Usul fiqih
Dosen Pengampu : Nida laela fitriyah sobariyah, S.Pd.I., M.Pd.
Disusun oleh :
Galih Ibnu Hibban
M.Sahruddin
STAI Darul Aqram Muhammadiyah Garut
Program Studi Ekonomi Syariah
Jl. Bratayuda No.39, Regol, Kec. Garut Kota, Kabupaten Garut, Jawa Barat 44114
2. 2
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada
kita semua serta nikmat kesehatan jasmani dan rohani.Shalawat beserta salam semoga selalu
tercurah limpahkan kepada sosok termulia yang telah mengeluarkan kita dari jaman jahiliyah
menuju pada cahaya yang terang benderang,dan sekaligus menjadi suri tauladan bagi
umatnya,yakni Nabi Muhammad SAW. Alhamdulilah berkat doa dan dukungan dari dosen
Mata kuliah Usul fiqih yaitu Ibu Nida laela fitriyah sobariyah, S.Pd.I., M.Pd.
Penyusun menyadari bahwasannya dalam makalah ini masih ada kekurangan dalam
segi materi ataupun penulisannya.maka dari itu penulis memohon kritik dan saran agar
kedepannya bisa ada perbaikan dalam segi penulisan makalah selanjutnya.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
Garut,13 Oktober 2022
Penulis
(Galih ibnu hibban)
3. 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 3
BAB I.................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................. 4
C. TUJUAN................................................................................................................... 5
BAB II................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .................................................................................................................... 6
A. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERIODISASI USHUL FIQIH................................ 6
B. MUNCULNYA USHUL FIQHDAN TAHAPAN PERKEMBANGNYA .......................... 10
C. ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQIH.............................................................................. 14
D. KARYA ILMIAH USUL FIQH ................................................................................... 15
BAB III ............................................................................................................................... 17
PENUTUP .......................................................................................................................... 17
A. KESIMPULAN ........................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 18
4. 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqh tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis
sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan beliau
mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka
ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada
fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para
ulama ketika itu. (Abu Zahro : 12 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada
masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan
juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan
istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari
pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW,
sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis.
Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di rumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perkembangandan periodisasi Ushul Fiqh zaman Nabi,
Sahabat, dan tabi’in?
5. 5
2. Bagaimana munculnya Ushul Fiqh?
3. Bagaimana aliran-aliran Ushul Fiqh?
4. Apa saja karya-karya ilmiah yang ada dalam perkembangan Ushul Fiqh?
C. TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka adapun tujuan
penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perkembangan dan periodisasi Ushul Fiqhpada zaman Nabi,
Sahabat, dan tabi’in
2. Untuk mengetahui proses munculnya Ushul Fiqh
3. Untuk mengetahui aliran-aliran Ushul Fiqh
4. Untuk mengetahui karya-karya ilmiah yang ada dalam Ushul Fiqh
6. 6
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERIODISASI USHUL FIQIH
a. Masa Nabi
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan
Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang
menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW
menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits
atau Sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-
hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits
tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas
untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda :
كتف تجد لم ن فا قال هللا ب بكتا قض ا قال ؟ ءقضا لك ضعر ادا تقض كيف
قال هللا ل سور فبسنة قال هللا؟ ب ا
لرسو فق و لذي ا ا لحمد ا ا وقال صدره عىل هللا لرسو ب ر
فضلو وال اىر اجتهد قال هللا لسو ر سنة ي
ر
ف تجد لم فان
هللا لسسو ر ضير اللهكما
“Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan
hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan
hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab
Allah?JawabMu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan
sunnah Rasulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az,
saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az
seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada
sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk
mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan
dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran
dan Sunnah.
7. 7
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah
ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah
haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-
urusan keduniaan Rasulullah bersabda :
كمنيا د رمو با علم ا نتم ا
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang
menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya
yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri
pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-
tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai
berikut :
لمر لة حا الر عىل يتمسك ال هو و يحج لم و احغ رضه ف كتهر اد ى
اب ان هلل ا ل سو ر يا لت فقا خثيمية ة ا مر ا جات
ضه
هلل ا فدين قال نعم لت قا عنه اقتضيته دين بيك ا عىل ن كالو ايتار سلمو عليه هللا لسور ل فقا ؟ عنه حج افا
يقض ان حق ا
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah
ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena
sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya
bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar?
Perempuan itu menjawab, Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang
sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban
ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya
dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal
dalam permasalahan-permasalahan hukum membuatNabi sangat berhati-hati disatu pihak,
dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan
hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu
memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya
pengembangan hukum Islam di bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis
besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada manusia.
8. 8
Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih banyak. Artinya,
ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh
selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang
batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya.
Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar
menjawab:”Tidak apa-apa” (tidakbatal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan
puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah
menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak
batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
batalnya puasa karena berkumur-kumur.
b. Pada Masa Sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang
menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan
hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para
sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian
semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak
menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan
(darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya
meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak
mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang
telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang
oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
َع َّ
ن
ُ
وه ُع
ِّ
ت َم َ
و
ً
ة
َ
يضِ
ر
َ
ف َّ
ن ُ
ه
َ
ل وا
ُ
ضِ
ر
ْ
ف
َ
ت ْ
و
َ
أ َّ
ن
ُ
وه ُّ
س َم
َ
ت ْ
م
َ
ل ا َم َاء َ
س
ِّ
الن ُ
م
ُ
ت
ْ
ق
َّ
ل
َ
ط
ْ
نِإ ْ
م
ُ
كْي
َ
ل َع َ
اح
َ
ن ُ
ج ال
َ
ق ِ ِ
ِ
ت
ْ
ق ُم
ْ
ال
َ
ىل َع َ
و ُه ُ
ر
َ
د
َ
ق ِ
ع ِ
وس ُم
ْ
ال
َ
ىل
ُهُ
ر
َ
د
َر
يِن ِ
س ْ
ح ُم
ْ
ال
َ
ىل َع ا
ًّ
ق َ
ح ِ
وف ُ
ر ْع َم
ْ
الِب ا ًاع
َ
ت َم
Artinya :
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah
kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
9. 9
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh
para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak
adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-
kaidah (aturan-aturan)nya; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada
masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya
kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa
sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun
sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu
tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara
nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau
tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui
sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul
wurud) Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab)
yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu,
mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
c. Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III
Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang
dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam
pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang
memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari
berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang
timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu
para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada
masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
10. 10
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan
antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan
dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain,
tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-
kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan
hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya
penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka
itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab,
baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun
dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para
ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-
nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya
nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam
berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu
Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf
-murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali
membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah
Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-
Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai
kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta
Ilmu Ushul Fiqh.
B. MUNCULNYA USHUL FIQHDAN TAHAPAN PERKEMBANGNYA
Secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
a. Tahap Awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas
kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma'mun(w.218H),
11. 11
Al-Mu'tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka
inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan
Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode
berfikir fiqih yang disebut Ushul Fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh
dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh
para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam
ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil
Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari'at dan cara memegangi dan cara
mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan
kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan
dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I,
mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi'i karena Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk
pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh
lainya. Isa Ibnu Iban (w.221H/835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad
ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H/835M) menulis kitab An-Nakl dan
sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3 h ini
tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala
aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup
permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada
zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-
kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa
Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah
misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama Ushul Fiqh dikarenakan
Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al
Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang
12. 12
berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan
tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja.
b. Tahap Perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah
dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-
masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap
perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing
penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum
intelektual.
Khusus dibidang pemikiran Fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik
tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad
muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci
dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas,
terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran Fiqh semakin mantap exsitensinya,
apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya
kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid,
karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha
antara lain:
1. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka
mereka disebut ulama takhrij
2. Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam
segi riwayat dan dirayah.
3. Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka
menyusun kitab al-khilaf.
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup,
akibatnya dalam perkembangan Fiqh Islam adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah
ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau
memahami dan meringkasnya.
13. 13
2. Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang
sungkat
3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah
permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang Ushul Fiqh. Terhentinya ijtihad dalam
Fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan
mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan
munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara
kitab yan terekenal adalah:
1. Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu
Dilal Dalaham Al-Kharkhi (w.340H.)
2. Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-
Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud
Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan Ushul Fiqh pada abad
4 H yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang membahas Ushul Fiqh secara utuh dan tidak
sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang
membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya
abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan
ilmu Ushul Fiqh pada awal abad 4 H, juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang
bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu Ushul Fiqih.
c. Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi
berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy.
Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah
kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
14. 14
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan
sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani,
Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al
Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain.
Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di
kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul
fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman, itulah sebabnya
pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukan minatnya pada
produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan
periode penulisan Ushul Fiqh terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi
kitab standar dalam pengkajian ilmu Ushul Fiqh slanjutnya.
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya
kitab Ushul Fiqh bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran Ushul
Fiqh, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqoha, dan aliran Mutakalimin
C. ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQIH
a. Aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakalimin (Ahli Kalam)
Membangun usul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah
cabang keagamaan. Dalam menetapkan kaidah,menggunakan alasan yang kuat,baik dari dalil
naqli/aqli,tanpa di pengaruhi masalah furu’ madzhab,sehingga kaidah ada kalanya sesuai dan
sesuai dengan masalah furu’. Permasalahan yang di dukung naqli dapat di jadikan kaidah.
Terlalu difokuskan pada masalah teoritis,sering tidak bisa menyentuh permasalahan
praktis. Aspek bahasa sangat dominan seperti penentuan tentang tahsin (menganggap
sesuatu itu baik dan dicapai akal atau tidak),dan taqbih (menanggap sesuatu itu buruk dan
dicapai akal atau tidak ). Biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat
hukum syara) yang berkaitan pula dengan masalah aqidah. Seringkali terjebak terhadap
masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rosulallah SAW.
Kitab : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’i), Al-Mu’tamad (Abu Al-husain muhammad ibnu Ali
Al-Bashri), Al-Burhabn fi usul fiqih (Imam Al-Haramain Al-Jawaini),Al-mankhul min ta’liqat Al-
Ushul,Shifa Al-ghalil fi Bayan Asy-Syabah wa Al-Mukhil wa Masalik At-Ta’lil,Al-Mushfa fi ilmi
Al-Ushul (Imam Abu Hamid Al-Ghazali).
b. Aliran Fuqaha (Ulama Madzhab Hanafi )
15. 15
Karena dalam menyusun teorinya aliran ini banyak di pengaruhi oleh furu’ yang ada
dalam mazhab mereka.
Berusaha untuk menetapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu’ apabila
sulit,mereka mengubah kaidah baru agar bisa diterapkan pada masalah furu’ tersebut.
Kitab : Al-ushul (Imam Abu Hasan Al-karkhi), Al-ushul (Abu Bakar Al-Jashshash),Ushul
Al-sarakhsi (Imam Al-sarakhsi), ta’sis n-nazhar (Imam Abu Zaid Al-Dabusi) dan Al-kasyaf Al-
Asrar (Imam Al-Bazdawi).
Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :
1. At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi (w.861 H)
2. Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah (w.747.H)
3. Jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’i
(w.771 H)
4. Musallam Ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd.Al-Syakur (w.1119 H)
(Ad-Dimasyqi : 42-43)
D. KARYA ILMIAH USUL FIQH
Aliran fuqaha, munculah nama-nama usuiy berikut karyanya, antara lain, seperti di
bawah ini :
1. Abu al-hasanUbaidillah al-Karakhi (w.340 H), dengan karyanya Risalt al-Karakhi
fi al Usul.
2. Abu Bakr Ahmad al- Jashhash (w.370), dengan karyanya al-Usul atan Usul al-
Jassas.
3. Abu Zayd Abdillah al-Dabusi (w.430), dengan karyanya taqwin al-adilllah
4. Abu al- Hasan Ali al-Bazdawi (w.482), dengan karyanya Kanz al-wusul ila Ma’rifat
al-Usul
5. Abu Bakr Muhammad al-Sarkhasi (w.483), dengan karyanya al-Usul atau Usul al-
Sarkhasi
6. Abu al-Barakat Abdillah Hafizudddin al-Nasafi,( 710), dengan karyanya Manar
al-Anwar, yang kemudian diberi syarah oleh beliau sendiri dengan judul Kasyf al-
Asrar Syarh Manar al-Anwar.
Sementara dari aliran moderat-kompromistis, muncul pula nama-nama usuliy berikut
karyanya antara lain, seperti di bawah ini :
16. 16
1. Muzhafaruddin Ahmad al-Hanafi (w.649H), populer dengan panggilan Ibnu al-
sa’ati, dengan karyanya Badi’al al-Nizam al-Jami’ bain al-Bazdawi wa al-Ihkam
2. Shadr al-Syari’ah Ubaidillah al-Hanafi (w. 747 H) dengan karyanya al-tanqih.
Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Sa`duddin Mas1ud al- Taftazani melalui
karyanya al-Talwih Syarh al- tanqih.
3. Tajuddin al-Subki (w. 771 H), dengan karyanya Jam’al-Jawamu’.
4. Kamaluddin Muhammad al-Hanafi (w.861 H), populer dengan panggilan al-
kamal bin al-Hummam, dengan karyanya al-Tahri.
5. Muhibbuddin al-Bihari al-Hanafi (w.1119 H), dengan karyanya Musallam al-
Tsubut. Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Abdul Ali Muhammad al-Anshari
melalui karyanya Fawatih al-Rahmat.
Varian lain dari aliran moderat-kompromistis ii ialah pola pikir yang bertumpu pada
takhrij al-furu ‘ala al-usul. Varian poapikir ini dimunculkan oleh ulama usuliy kondang berikut
karyanya, antara lain, yaitu sebagai berikut :
1. Syihabudin Mahmud al-zanjani (w.656 H), dengan karyanya takhrij al-Furu ‘ala
al-Usul.
2. Abu Abdillah Muhammad al Maliki al-Tilimsani (w.771H), dengan karyanya
miftah al-Wusul ila Bina al-Furu ‘ala al-Usul.
3. Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi al-syafi’i (w.772H), al-Tamhid fi Takhrij al-Furu
‘ala al-Usul.
4. Muhammad bin Abdillah al-Timirtasyi al-Hanafi (w.1004 H), dengan karyanya al-
Wusul ila Qawa’id al-Usul.
5. Ali bin Muhammad Al-Hanbali (w. 803 H), populer dengan panggilan Ibnu al-
Lahham, dengan karyanya al-Qawa’id wa al-Fawai’id al-Usuliyyah.
Demikian sebagian tokoh pemikir Ushul Fiqh berikut karyanya, yang lahir mengiringi
dinamika sejarah Ushul Fiqh, sebagai salah satu tonggak penting ilmu syariah.
17. 17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan :
1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah
SAW, Sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami
perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk
itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum
maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salah satu upaya
dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial
yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah.
Ushul Fiqh terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan
awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu Ushul
Fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang Ushul
Fiqh dan juga muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan untuk
Ushul Fiqh selanjutnya.
18. 18
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007
Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset,
1996
https://www.academia.edu/5057784/Makalah_ushul_fiqih_kel_1_Sejarah_Perkembangan
_Ushul_Fiqh_Periodisasi_Zaman_Nabi_Sahabat_and_Tabi_in_Munculnya_Ushul_Fi
qh_Aliran_Aliran_and_Karya_Ilmiah