SlideShare a Scribd company logo
i
MAKALAH PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
“SUMBER HUKUM ISLAM KETIGA : AL - IJTIHAD”
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................3
1.3 Batasan Masalah.............................................................................................................3
1.4 Tujuan Penulisan............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................4
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad.............................................................................................4
2.2 Dasar Hukum Ijtihad......................................................................................................5
2.3 Kedudukan Ijtihad..........................................................................................................8
2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad.....................................................................................9
2.5 Syarat Ber-ijtihad.........................................................................................................12
BAB III Penutup................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................16
3.2 Saran.............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,
terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah
tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka
manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang
baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic
Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya
hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah Al-
Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan,
sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan
interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan). Oleh karena itu,
penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan
keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang :
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa saja hasil dari ijtihad?
1.3 Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad
Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan
dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran dalam
mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.
Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah penggunaan
pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam
Al-Quran dan Hadits Nabawi.
Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai
berikut:
a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada
peranan nalar,
b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi, dan
c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan yang
tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.
Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan
hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement.
Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu
mencakup dua pengertian:
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan
dari sesuatu ayat atau hadits.
Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan
pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu.
Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum
5
yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran diturunkan
secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur secara detil oleh
Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran
dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang
dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan
sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits.
Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada
berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan perkara yang
tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam
memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham Al-
Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid.
2.2 Dasar Hukum Ijtihad
Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1. Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
(QS.Al-Hasyr : 2)1
1 Al-Qur’an suratAl-Hasyr ayat: 2
6
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan
kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an
dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan
kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada
firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan
untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad.
Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad.
(Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya yang lain :
“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah
mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar
Hukum Islam, hlm 163)
‫ْر‬‫ج‬َ‫ا‬ ُ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ف‬ َ‫أ‬َ‫ط‬ْ‫خ‬َ‫ا‬َ‫ف‬ َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ج‬ ِ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬ ِ‫ان‬ َ‫ْر‬‫ج‬َ‫ا‬ ُ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ف‬ َ‫اب‬َ‫ص‬َ‫ا‬َ‫ف‬ َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ج‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ ُ‫م‬ِ‫ك‬‫ا‬َ‫ح‬ْ‫ل‬َ‫ا‬.‫د‬ ِ‫اح‬ َ‫و‬)‫مسلم‬ ‫و‬ ‫(بخارى‬
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran
hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia
mendapat satu pahala (pahala melakukanijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim)2
2 HadistriwayatBukhori dan muslim
7
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,
ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
‫ا‬ً‫اذ‬َ‫ع‬ُ‫م‬ َ‫ث‬َ‫ع‬ْ‫ب‬َ‫ي‬ ْ‫ن‬َ‫أ‬ َ‫د‬‫ا‬ َ‫ر‬َ‫أ‬ ‫ا‬َّ‫م‬َ‫ل‬ ِ‫هللا‬ ُ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ ِ‫ل‬َ‫ب‬َ‫ج‬ ِ‫ْن‬‫ب‬ ‫اذ‬َ‫ع‬ُ‫م‬ ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ح‬ْ‫ص‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ص‬َ‫م‬َ‫ح‬ ِ‫ل‬ْ‫ه‬َ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫س‬َ‫ا‬‫ن‬ُ‫أ‬ ْ‫َن‬‫ع‬ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ي‬ْ‫ل‬‫ا‬ َ‫ي‬ِ‫ل‬‫ا‬
ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ت‬ِ‫ك‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ ْ‫د‬ ِ‫ج‬َ‫ت‬ ْ‫م‬َ‫ل‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ .ِ‫هللا‬ ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ت‬ِ‫ك‬ِ‫ب‬ ‫ى‬ ِ‫ض‬ْ‫ق‬َ‫أ‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ ‫؟‬‫اء‬َ‫ض‬َ‫ق‬ َ‫ك‬َ‫ل‬ َ‫ض‬َ‫َر‬‫ع‬‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬ ِ‫ض‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫ْف‬‫ي‬َ‫ك‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬:َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ ‫هللا؟‬
َ‫ر‬ ُ‫د‬ِ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ج‬َ‫ا‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ ‫؟‬ِ‫هللا‬ ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ت‬ِ‫ك‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ َ‫َل‬َ‫و‬ ِ‫هللا‬ ِ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ ِ‫ة‬َّ‫ن‬ُ‫س‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ ْ‫د‬ ِ‫ج‬َ‫ت‬ ْ‫م‬َ‫ل‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ .ِ‫هللا‬ ِ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ ِ‫ة‬َّ‫ن‬ُ‫س‬ِ‫ب‬َ‫ف‬ُ‫ل‬‫ل‬ َ‫َل‬َ‫و‬ ِِْ‫ي‬‫ا‬.ْ‫و‬
ِ‫هللا‬ ِ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َ‫ق‬َّ‫ف‬َ‫و‬ ْ‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ِ َّ ِ‫ّلِل‬ُ‫د‬ْ‫م‬َ‫ح‬ْ‫ل‬َ‫ا‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬َ‫و‬ ُ‫ه‬َ‫ر‬ْ‫د‬َ‫ص‬ ِ‫هللا‬ ُ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َ‫ب‬َ‫ر‬َ‫ض‬َ‫ف‬ِ‫هللا‬ ُ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ ‫ي‬َ ْ‫ر‬َ‫ي‬ ‫ا‬َّ‫م‬َ‫ل‬‫(رواه‬
.)‫ابوداود‬
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-
Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-
Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)3
3 HadistriwayatAbu Daud
8
2.3 Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-
ketentuan berikut:
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif.
Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu ijtihad
pun adalah relatif,
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang
tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak
berlaku pada masa/tempat yang lain,
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa daripada ajaran Islam.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
9
2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad
IJTIHAD
IJMA
QIYAS
ISTIHAB
MASHLAHAH
MURSALAH
URF
10
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode, antara
lain sebagai berikut:
1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum
diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum
sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-Sunnah, karena
ada sebab yang sama. Beberapa definisi qiyas (analogi):
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan
titik persmaan diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-
Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).
2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam
dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk
saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma
tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi
termasuk para ulamanya.
3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah
atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan
lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi (analogi samar-
samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas
kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita
dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang
sama-sama kurang baik, maka kita harus mengambil yang lebih ringan
keburukannya. Beberapa definisi istisan:
a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar,
b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara
lisan olehnya,
11
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang
banyak,
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara
yang ada sebelumnya.
4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan
tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan
mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al-
Quran atau Al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah
mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil
yang secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh
masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya
suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut
tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga
terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang
telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga
teradapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan
suatu tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang
bisa mengubahnya.
7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentingan umat.
8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu kasus, yang
tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang menetapkan hukum
tersebut.
9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
12
10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam pandangan
mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama (ayat
dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).
2.5 Syarat ber-ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan
mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan
tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam
tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut
Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ,
ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh
sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap
memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang
untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas
melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang
diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya
bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan
ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan membahayakan
kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk
dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima
persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertama ini
disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah
Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan
syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani,
cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-
Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia
mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi
seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah
13
hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu
masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum
yang menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini,
seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip
beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah
satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus
hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal,
menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Namun, hadits–hadits tersebut tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia
mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.
Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib
mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal
(periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits
sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga
ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah). Sekalipun
demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui
yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat
periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits).
Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang
bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar
hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad. Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan
pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad.
Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka
ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid
merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan
persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.
Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari
al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar. Dalam hal ini menurut al-Syaukani-
seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna,
14
sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-
lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas
(khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-
beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan
bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak
harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut
melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-
ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah
menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits
adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari
dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian,
sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan
tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat
melakukan ijtihad.
Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting
diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-
dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu
masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan
sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu
dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga
versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad :
1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu
bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad,
tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
3. Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul
fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang
usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-
15
sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-
istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-
kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh penting
agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat
dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih
klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah
disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka
hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan
bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-
Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara
jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-
dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-
persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting
untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad
hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-
Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah
mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di
tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya
diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan
dilakukan atas kehendak hawa nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih
yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah
memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli
fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga
melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang
tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad
berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga
setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’, istihsan,
mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.
3.2 Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih
mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.
18

More Related Content

What's hot

Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyas
Rikza Adhia
 
Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafterUshul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
Miftah Iqtishoduna
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Amiruddin Ahmad
 
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
Evi Rohmatul Aini
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqh
Ella Aisah
 
Makalah Qiyas
Makalah QiyasMakalah Qiyas
Makalah Qiyas
Nur Rohmah
 
Qawaid fiqh koleksi pt 3
Qawaid fiqh koleksi pt 3Qawaid fiqh koleksi pt 3
Qawaid fiqh koleksi pt 3
Amiruddin Ahmad
 
IJTIHAD
IJTIHADIJTIHAD
Makalah ijtihad stais
Makalah ijtihad staisMakalah ijtihad stais
Makalah ijtihad stais
aini warda
 
Al Qawaid Al Fiqhiyah
Al Qawaid Al FiqhiyahAl Qawaid Al Fiqhiyah
Al Qawaid Al Fiqhiyah
Ahmad Muslimin
 
Fiqh Awlawiyyat
Fiqh AwlawiyyatFiqh Awlawiyyat
Fiqh Awlawiyyatdr2200s
 
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Hilmy Fauzan Rafi
 
Kaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyahKaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah
Muhammad Ade Riza
 
Pengantar Ushul Fikih
Pengantar Ushul FikihPengantar Ushul Fikih
Pengantar Ushul Fikih
Marhamah Saleh
 
Modul 5 kb 3 ijmak sebagai sumber hukum islam
Modul 5 kb 3   ijmak sebagai sumber hukum islamModul 5 kb 3   ijmak sebagai sumber hukum islam
Modul 5 kb 3 ijmak sebagai sumber hukum islam
manispajaran
 
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
NavenAbsurd
 
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
NavenAbsurd
 
Kuliah pengantar fiqh pai 2010
Kuliah pengantar fiqh pai 2010Kuliah pengantar fiqh pai 2010
Kuliah pengantar fiqh pai 2010
Marhamah Saleh
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Jingga Matahari
 

What's hot (20)

Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyas
 
Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafterUshul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1
 
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
IJTIHAD SEBAGAI METODE PENGGALIAN HUKUM
 
Sumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqhSumber sumber kaidah fiqh
Sumber sumber kaidah fiqh
 
Makalah Qiyas
Makalah QiyasMakalah Qiyas
Makalah Qiyas
 
Qawaid fiqh koleksi pt 3
Qawaid fiqh koleksi pt 3Qawaid fiqh koleksi pt 3
Qawaid fiqh koleksi pt 3
 
IJTIHAD
IJTIHADIJTIHAD
IJTIHAD
 
01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan01 02 pendahuluan
01 02 pendahuluan
 
Makalah ijtihad stais
Makalah ijtihad staisMakalah ijtihad stais
Makalah ijtihad stais
 
Al Qawaid Al Fiqhiyah
Al Qawaid Al FiqhiyahAl Qawaid Al Fiqhiyah
Al Qawaid Al Fiqhiyah
 
Fiqh Awlawiyyat
Fiqh AwlawiyyatFiqh Awlawiyyat
Fiqh Awlawiyyat
 
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
Ijtihad sebagai sumber dan metode study islam (autosaved)
 
Kaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyahKaidah fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah
 
Pengantar Ushul Fikih
Pengantar Ushul FikihPengantar Ushul Fikih
Pengantar Ushul Fikih
 
Modul 5 kb 3 ijmak sebagai sumber hukum islam
Modul 5 kb 3   ijmak sebagai sumber hukum islamModul 5 kb 3   ijmak sebagai sumber hukum islam
Modul 5 kb 3 ijmak sebagai sumber hukum islam
 
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
Makalah fiqih kelompok 3 materi 5
 
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
Makalah fiqh kelompok 5 materi 7
 
Kuliah pengantar fiqh pai 2010
Kuliah pengantar fiqh pai 2010Kuliah pengantar fiqh pai 2010
Kuliah pengantar fiqh pai 2010
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
 

Similar to Makalah pendidikan agama islam

83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx
83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx
83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx
IrwnSptr
 
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Miftah Iqtishoduna
 
TUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.ppt
TUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.pptTUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.ppt
TUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.ppt
IrfanAudah1
 
Makalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMakalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsan
Muli Bluelovers
 
Makalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesia
Makalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesiaMakalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesia
Makalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesia
dianani9
 
Ilmu nasikh mansukh
Ilmu nasikh mansukhIlmu nasikh mansukh
Ilmu nasikh mansukh
Nur Alfiyatur Rochmah
 
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa MansukhUlumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Achmad Boys Awaluddin Rifai
 
Makalah agama islam 3 syirah nabawiyah
Makalah agama islam 3 syirah nabawiyahMakalah agama islam 3 syirah nabawiyah
Makalah agama islam 3 syirah nabawiyah
DindaNova1
 
Makalah pai
Makalah paiMakalah pai
Makalah pai
Heru Cahyo
 
Hakim dan sesuatu yang ada padanya
Hakim dan sesuatu yang ada padanyaHakim dan sesuatu yang ada padanya
Hakim dan sesuatu yang ada padanyaSusand Susand
 
Presentasi terminologi Tarikh Tayri'
Presentasi  terminologi Tarikh Tayri'Presentasi  terminologi Tarikh Tayri'
Presentasi terminologi Tarikh Tayri'
Marhamah Saleh
 
Materi Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas X
Materi Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas XMateri Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas X
Materi Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas X
Aulia Mala
 
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islammakalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
Kartika Dwi Rachmawati
 
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Suya Yahya
 
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptxAIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
Anggita854299
 
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptxAl-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
Rohman248433
 
Makalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdf
Makalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdfMakalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdf
Makalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdf
BregedekTutut
 
Sumber ajaran islam
Sumber ajaran islamSumber ajaran islam
Sumber ajaran islam
Dian Mutiara Chairunnisa
 

Similar to Makalah pendidikan agama islam (20)

83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx
83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx
83712170-MAKALAH-IJTIHAD.docx
 
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
Ijtihad-Ushul Fiqh (Miftah'll Everafter)
 
TUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.ppt
TUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.pptTUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.ppt
TUGAS MEDIA PEMBELAJARAN RUSLAN KELAS E.ppt
 
Makalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsanMakalah ushul fiqh istihsan
Makalah ushul fiqh istihsan
 
4. sumber hukum islam
4. sumber hukum islam4. sumber hukum islam
4. sumber hukum islam
 
Makalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesia
Makalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesiaMakalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesia
Makalah_Hukum_Islam.doc yang menjelaskan hukum islam diindonesia
 
Hukum makan katak
Hukum makan katakHukum makan katak
Hukum makan katak
 
Ilmu nasikh mansukh
Ilmu nasikh mansukhIlmu nasikh mansukh
Ilmu nasikh mansukh
 
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa MansukhUlumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
 
Makalah agama islam 3 syirah nabawiyah
Makalah agama islam 3 syirah nabawiyahMakalah agama islam 3 syirah nabawiyah
Makalah agama islam 3 syirah nabawiyah
 
Makalah pai
Makalah paiMakalah pai
Makalah pai
 
Hakim dan sesuatu yang ada padanya
Hakim dan sesuatu yang ada padanyaHakim dan sesuatu yang ada padanya
Hakim dan sesuatu yang ada padanya
 
Presentasi terminologi Tarikh Tayri'
Presentasi  terminologi Tarikh Tayri'Presentasi  terminologi Tarikh Tayri'
Presentasi terminologi Tarikh Tayri'
 
Materi Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas X
Materi Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas XMateri Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas X
Materi Lengkap Al - Qur'an dan Hadist PAI Kelas X
 
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islammakalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
 
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
 
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptxAIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
AIK 2 KELOMPOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.3.pptx
 
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptxAl-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptx
 
Makalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdf
Makalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdfMakalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdf
Makalah_HUKUM_DAN_MORAL_DALAM_ISLAM_Disu.pdf
 
Sumber ajaran islam
Sumber ajaran islamSumber ajaran islam
Sumber ajaran islam
 

Makalah pendidikan agama islam

  • 1. i MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM “SUMBER HUKUM ISLAM KETIGA : AL - IJTIHAD”
  • 2. ii DAFTAR ISI DAFTAR ISI........................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................3 1.1 Latar Belakang...............................................................................................................3 1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................3 1.3 Batasan Masalah.............................................................................................................3 1.4 Tujuan Penulisan............................................................................................................3 BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................4 2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad.............................................................................................4 2.2 Dasar Hukum Ijtihad......................................................................................................5 2.3 Kedudukan Ijtihad..........................................................................................................8 2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad.....................................................................................9 2.5 Syarat Ber-ijtihad.........................................................................................................12 BAB III Penutup................................................................................................................16 3.1 Kesimpulan..................................................................................................................16 3.2 Saran.............................................................................................................................16 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................17
  • 3. 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah Al- Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan). Oleh karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. 1.2 Rumusan Masalah Dalam makalah ini penulis membahas tentang : 1. Apa pengertian dari ijtihad? 2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam? 3. Apa saja hasil dari ijtihad? 1.3 Batasan Masalah Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut. 1.4 Tujuan Penulisan Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah : 1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. 2. Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
  • 4. 4 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits. Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits Nabawi. Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai berikut: a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada peranan nalar, b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat menjalankan fungsi formulasi, dan c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi. Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu mencakup dua pengertian: a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah. b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits. Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu. Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum
  • 5. 5 yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham Al- Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid. 2.2 Dasar Hukum Ijtihad Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu : 1. Al-Qur’an “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59) dan firman-Nya yang lain : “...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)1 1 Al-Qur’an suratAl-Hasyr ayat: 2
  • 6. 6 Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163). firman-Nya yang lain : “Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 ) “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105) 2. Al-Hadits - Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163) ‫ْر‬‫ج‬َ‫ا‬ ُ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ف‬ َ‫أ‬َ‫ط‬ْ‫خ‬َ‫ا‬َ‫ف‬ َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ج‬ ِ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬ ِ‫ان‬ َ‫ْر‬‫ج‬َ‫ا‬ ُ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ف‬ َ‫اب‬َ‫ص‬َ‫ا‬َ‫ف‬ َ‫د‬َ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ج‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ ُ‫م‬ِ‫ك‬‫ا‬َ‫ح‬ْ‫ل‬َ‫ا‬.‫د‬ ِ‫اح‬ َ‫و‬)‫مسلم‬ ‫و‬ ‫(بخارى‬ “Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukanijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)2 2 HadistriwayatBukhori dan muslim
  • 7. 7 - Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini: ‫ا‬ً‫اذ‬َ‫ع‬ُ‫م‬ َ‫ث‬َ‫ع‬ْ‫ب‬َ‫ي‬ ْ‫ن‬َ‫أ‬ َ‫د‬‫ا‬ َ‫ر‬َ‫أ‬ ‫ا‬َّ‫م‬َ‫ل‬ ِ‫هللا‬ ُ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ ِ‫ل‬َ‫ب‬َ‫ج‬ ِ‫ْن‬‫ب‬ ‫اذ‬َ‫ع‬ُ‫م‬ ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ح‬ْ‫ص‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ص‬َ‫م‬َ‫ح‬ ِ‫ل‬ْ‫ه‬َ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫س‬َ‫ا‬‫ن‬ُ‫أ‬ ْ‫َن‬‫ع‬ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ي‬ْ‫ل‬‫ا‬ َ‫ي‬ِ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ت‬ِ‫ك‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ ْ‫د‬ ِ‫ج‬َ‫ت‬ ْ‫م‬َ‫ل‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ .ِ‫هللا‬ ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ت‬ِ‫ك‬ِ‫ب‬ ‫ى‬ ِ‫ض‬ْ‫ق‬َ‫أ‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ ‫؟‬‫اء‬َ‫ض‬َ‫ق‬ َ‫ك‬َ‫ل‬ َ‫ض‬َ‫َر‬‫ع‬‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬ ِ‫ض‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫ْف‬‫ي‬َ‫ك‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬:َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ ‫هللا؟‬ َ‫ر‬ ُ‫د‬ِ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ج‬َ‫ا‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ ‫؟‬ِ‫هللا‬ ِ‫ب‬‫ا‬َ‫ت‬ِ‫ك‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ َ‫َل‬َ‫و‬ ِ‫هللا‬ ِ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ ِ‫ة‬َّ‫ن‬ُ‫س‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ ْ‫د‬ ِ‫ج‬َ‫ت‬ ْ‫م‬َ‫ل‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬ .ِ‫هللا‬ ِ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ ِ‫ة‬َّ‫ن‬ُ‫س‬ِ‫ب‬َ‫ف‬ُ‫ل‬‫ل‬ َ‫َل‬َ‫و‬ ِِْ‫ي‬‫ا‬.ْ‫و‬ ِ‫هللا‬ ِ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َ‫ق‬َّ‫ف‬َ‫و‬ ْ‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ِ َّ ِ‫ّلِل‬ُ‫د‬ْ‫م‬َ‫ح‬ْ‫ل‬َ‫ا‬ :َ‫ل‬‫ا‬َ‫ق‬َ‫و‬ ُ‫ه‬َ‫ر‬ْ‫د‬َ‫ص‬ ِ‫هللا‬ ُ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ َ‫ب‬َ‫ر‬َ‫ض‬َ‫ف‬ِ‫هللا‬ ُ‫ل‬ْ‫ُو‬‫س‬َ‫ر‬ ‫ي‬َ ْ‫ر‬َ‫ي‬ ‫ا‬َّ‫م‬َ‫ل‬‫(رواه‬ .)‫ابوداود‬ “Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al- Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al- Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)3 3 HadistriwayatAbu Daud
  • 8. 8 2.3 Kedudukan Ijtihad Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan- ketentuan berikut: a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif, b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain, c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah, d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
  • 9. 9 2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad IJTIHAD IJMA QIYAS ISTIHAB MASHLAHAH MURSALAH URF
  • 10. 10 Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode, antara lain sebagai berikut: 1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Beberapa definisi qiyas (analogi): a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persmaan diantara keduanya. b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya. c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al- Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat). 2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya. 3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi (analogi samar- samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama kurang baik, maka kita harus mengambil yang lebih ringan keburukannya. Beberapa definisi istisan: a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar, b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya,
  • 11. 11 c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang banyak, d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya. 4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al- Quran atau Al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits. 5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-Hadits. 6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga teradapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan suatu tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. 7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. 8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu kasus, yang tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. 9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
  • 12. 12 10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam pandangan mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama (ayat dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah). 2.5 Syarat ber-ijtihad Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan membahayakan kehidupan ummat. Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di bawah ini: Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertama ini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al- Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan. Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah
  • 13. 13 hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang menyangkut tersebut secara mendalam. Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits. Namun, hadits–hadits tersebut tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan. Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah). Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits). Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad. Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum. Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar. Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna,
  • 14. 14 sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al- Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal- lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk- beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu- ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya. Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian, sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad. Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar- dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad : 1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah. 2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya. 3. Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad. Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-
  • 15. 15 sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng- istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath- kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan. Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits. Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al- Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan- dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan- persyaratan tersebut. Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al- Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa nafsu. Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.
  • 16. 16 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’, istihsan, mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah. 3.2 Saran Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.
  • 17. 17 DAFTAR PUSTAKA Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta. Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika. Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.
  • 18. 18