Makalah ini membahas ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan Hadis. Ijtihad dilakukan untuk menentukan hukum-hukum yang belum diatur secara pasti dalam sumber-sumber utama tersebut. Ijtihad didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang menganjurkan penggunaan akal untuk mengambil hukum, dengan syarat dilakukan oleh ulama ahli fiqih.
Makalah ini membahas tentang ijtihad dalam agama Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan seluruh kemampuan oleh seorang ahli fiqih untuk memperoleh pengertian terhadap suatu hukum syara'. Makalah ini menjelaskan ruang lingkup ijtihad, syarat menjadi mujtahid, tingkatan mujtahid, serta sebab perbedaan pendapat para imam madzhab.
Qawaid fiqhiyyah penting dalam perundangan Islam khususnya isu-isu kewangan masa kini. Ia membolehkan pengeluaran hukum baru melalui ijtihad fuqaha' dengan merujuk sumber utama syarak seperti al-Quran dan al-Sunnah serta mempertimbangkan kemaslahatan umum. Pengkategorian qawaid memudahkan pemahaman dan rujukan terhadap hukum syarak.
Makalah ini membahas tentang metode ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan maksimal untuk menemukan hukum syara' dari dalil-dalil yang ada. Ijtihad wajib dilakukan karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah. Syarat menjadi mujtahid antara lain menguasai al-Quran, hadis, bahasa Arab, dan ilmu ushul fiqh. Terdapat beberapa metode ijtihad seperti ij
Tulisan ini membahas qawa'id fiqhiyyah sebagai landasan perilaku ekonomi umat Islam. Ia menjelaskan tentang penelitian terhadap 99 qawa'id yang disusun oleh ulama Dinasti Turki Usmani pada abad ke-13 Hijriyah. Tulisan ini menganalisis relevansi qawa'id tersebut dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern."
Dokumen tersebut membahas tentang pengantar qawaid fiqhiyyah (kaedah-kaedah hukum Islam). Ia menjelaskan definisi qawaid fiqhiyyah, sejarah terbentuknya qawaid fiqhiyyah, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah, serta manfaat mempelajari ilmu qawaid fiqhiyyah. Dokumen ini juga menyebutkan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya ijti
Dokumen tersebut membahas tentang kaedah fiqh yang menyatakan bahwa kesukaran membawa kemudahan. Kaedah ini menjelaskan bahwa hukum Islam menginginkan kemudahan dan tidak membebani manusia dengan hal-hal di luar kemampuannya. Dalil-dalil utama kaedah ini termasuk ayat Al-Quran dan hadis yang menyatakan Allah menginginkan kemudahan bagi umatnya.
Makalah ini membahas tentang ijtihad dalam agama Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan seluruh kemampuan oleh seorang ahli fiqih untuk memperoleh pengertian terhadap suatu hukum syara'. Makalah ini menjelaskan ruang lingkup ijtihad, syarat menjadi mujtahid, tingkatan mujtahid, serta sebab perbedaan pendapat para imam madzhab.
Qawaid fiqhiyyah penting dalam perundangan Islam khususnya isu-isu kewangan masa kini. Ia membolehkan pengeluaran hukum baru melalui ijtihad fuqaha' dengan merujuk sumber utama syarak seperti al-Quran dan al-Sunnah serta mempertimbangkan kemaslahatan umum. Pengkategorian qawaid memudahkan pemahaman dan rujukan terhadap hukum syarak.
Makalah ini membahas tentang metode ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan maksimal untuk menemukan hukum syara' dari dalil-dalil yang ada. Ijtihad wajib dilakukan karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah. Syarat menjadi mujtahid antara lain menguasai al-Quran, hadis, bahasa Arab, dan ilmu ushul fiqh. Terdapat beberapa metode ijtihad seperti ij
Tulisan ini membahas qawa'id fiqhiyyah sebagai landasan perilaku ekonomi umat Islam. Ia menjelaskan tentang penelitian terhadap 99 qawa'id yang disusun oleh ulama Dinasti Turki Usmani pada abad ke-13 Hijriyah. Tulisan ini menganalisis relevansi qawa'id tersebut dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern."
Dokumen tersebut membahas tentang pengantar qawaid fiqhiyyah (kaedah-kaedah hukum Islam). Ia menjelaskan definisi qawaid fiqhiyyah, sejarah terbentuknya qawaid fiqhiyyah, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah, serta manfaat mempelajari ilmu qawaid fiqhiyyah. Dokumen ini juga menyebutkan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya ijti
Dokumen tersebut membahas tentang kaedah fiqh yang menyatakan bahwa kesukaran membawa kemudahan. Kaedah ini menjelaskan bahwa hukum Islam menginginkan kemudahan dan tidak membebani manusia dengan hal-hal di luar kemampuannya. Dalil-dalil utama kaedah ini termasuk ayat Al-Quran dan hadis yang menyatakan Allah menginginkan kemudahan bagi umatnya.
Dokumen tersebut membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama muslim tentang suatu masalah hukum, sedangkan qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah lama berdasarkan persamaan alasan hukumnya. Kedua sumber hukum ini diakui oleh kebanyakan ulama sebagai sumber hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan Al-
Qaedah fiqh adalah perkara penting yang boleh membantu ummah dalah membuat keputusan dengan baik dan menghampiri ajaran Islam. Ianya adalah petunjuk dan pertimbangan yang asal dari alQuran dan Sunnah Nabi saw
salah satu metode yang digunakan dalam menentukan suatu hukum berdasarkan kesungguhan atau kemampuan akal seseorang. Ijtihad juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam.
Dokumen tersebut membahas sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari berbagai mazhab. Terdapat lima paragraf yang menjelaskan sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, serta kitab-kitab kaidah fiqhiyah modern. Dokumen ini juga membahas dua kitab kaidah fiqhiyah klasik yaitu Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz
Dokumen tersebut membahas tentang qawaid fiqhiyyah (prinsip-prinsip hukum Islam). Beberapa poin penting yang diangkat antara lain: (1) tujuan syariat adalah membebaskan manusia dari nafsu agar menjadi hamba Allah, (2) syariat memelihara lima perkara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, (3) syariat ditetapkan berdasarkan maslahat.
Dokumen tersebut membahas tentang ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijtihad dilakukan untuk menemukan hukum agama melalui al-Quran dan hadis ketika tidak ditemukan hukumnya secara langsung. Terdapat beberapa tingkatan ijtihad dan persyaratan untuk menjadi mujtahid. Ijtihad dilakukan pada masalah-masalah tertentu dengan menggunakan metode seperti qiyas.
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian ijtihad, dasar-dasar hukum ijtihad, syarat-syarat mujtahid, tingkatan mujtahid, objek kajian ijtihad, metode-metode ijtihad, hukum dan fungsi melakukan ijtihad.
Hukum mempelajari kaidah fiqh adalah fardlu kifayah. Kaidah fiqh memiliki keistimewaan karena ringkas namun luas maknanya, serta mencakup berbagai masalah fiqh. Lima kaedah fiqh utama adalah segala amalan berdasarkan niat, keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan, kemudaratan hendaklah dihilangkan, kesulitan membawa keringanan, dan adat diterima sebagai hukum.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan sejarah perkembangan qawaid fiqhiyah. Secara ringkas, qawaid fiqhiyah adalah aturan-aturan umum yang bersumber dari nash-nash Al-Qur'an dan hadis, yang berkembang selama tiga abad sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga abad ke-3 hijriah.
Modul 5 kb 3 ijmak sebagai sumber hukum islammanispajaran
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, rukun, dan objek ijmak sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijmak didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama ahli ijtihad setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Rukun ijmak terdiri dari kesepakatan beberapa mujtahid, kesepakatan secara tegas mengenai hukum syarak, dan kesepakatan yang bulat. Objek ijmak adalah peristiwa-peristiwa yang tidak
Makalah ini membahas tentang masa keemasan dan kemunduran fiqih. Pada masa keemasan fiqih (abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H), semangat ijtihad sangat tinggi di kalangan ulama. Namun pada masa kemunduran fiqih (pertengahan abad ke-7 sampai abad ke-13 H), para ulama lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kitab fiqih mazhab tanpa menguraikan tujuan ilmiahnya. Hal ini disebabkan kec
Presentasi mata kuliah Fiqh membahas tentang materi-materi yang akan diajarkan dalam mata kuliah Fiqh Ibadah untuk mahasiswa semester 1 Pendidikan Agama Islam, meliputi berbagai topik seperti ibadah, hukum-hukum zakat, puasa, dan shalat. Metode pengajaran yang digunakan adalah ceramah, diskusi, penugasan, dan presentasi."
Dokumen tersebut membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama muslim tentang suatu masalah hukum, sedangkan qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah lama berdasarkan persamaan alasan hukumnya. Kedua sumber hukum ini diakui oleh kebanyakan ulama sebagai sumber hukum yang sah selama tidak bertentangan dengan Al-
Qaedah fiqh adalah perkara penting yang boleh membantu ummah dalah membuat keputusan dengan baik dan menghampiri ajaran Islam. Ianya adalah petunjuk dan pertimbangan yang asal dari alQuran dan Sunnah Nabi saw
salah satu metode yang digunakan dalam menentukan suatu hukum berdasarkan kesungguhan atau kemampuan akal seseorang. Ijtihad juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam.
Dokumen tersebut membahas sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari berbagai mazhab. Terdapat lima paragraf yang menjelaskan sumber-sumber kaidah fiqhiyah dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, serta kitab-kitab kaidah fiqhiyah modern. Dokumen ini juga membahas dua kitab kaidah fiqhiyah klasik yaitu Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz
Dokumen tersebut membahas tentang qawaid fiqhiyyah (prinsip-prinsip hukum Islam). Beberapa poin penting yang diangkat antara lain: (1) tujuan syariat adalah membebaskan manusia dari nafsu agar menjadi hamba Allah, (2) syariat memelihara lima perkara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, (3) syariat ditetapkan berdasarkan maslahat.
Dokumen tersebut membahas tentang ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijtihad dilakukan untuk menemukan hukum agama melalui al-Quran dan hadis ketika tidak ditemukan hukumnya secara langsung. Terdapat beberapa tingkatan ijtihad dan persyaratan untuk menjadi mujtahid. Ijtihad dilakukan pada masalah-masalah tertentu dengan menggunakan metode seperti qiyas.
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian ijtihad, dasar-dasar hukum ijtihad, syarat-syarat mujtahid, tingkatan mujtahid, objek kajian ijtihad, metode-metode ijtihad, hukum dan fungsi melakukan ijtihad.
Hukum mempelajari kaidah fiqh adalah fardlu kifayah. Kaidah fiqh memiliki keistimewaan karena ringkas namun luas maknanya, serta mencakup berbagai masalah fiqh. Lima kaedah fiqh utama adalah segala amalan berdasarkan niat, keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan, kemudaratan hendaklah dihilangkan, kesulitan membawa keringanan, dan adat diterima sebagai hukum.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan sejarah perkembangan qawaid fiqhiyah. Secara ringkas, qawaid fiqhiyah adalah aturan-aturan umum yang bersumber dari nash-nash Al-Qur'an dan hadis, yang berkembang selama tiga abad sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga abad ke-3 hijriah.
Modul 5 kb 3 ijmak sebagai sumber hukum islammanispajaran
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, rukun, dan objek ijmak sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijmak didefinisikan sebagai kesepakatan para ulama ahli ijtihad setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Rukun ijmak terdiri dari kesepakatan beberapa mujtahid, kesepakatan secara tegas mengenai hukum syarak, dan kesepakatan yang bulat. Objek ijmak adalah peristiwa-peristiwa yang tidak
Makalah ini membahas tentang masa keemasan dan kemunduran fiqih. Pada masa keemasan fiqih (abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H), semangat ijtihad sangat tinggi di kalangan ulama. Namun pada masa kemunduran fiqih (pertengahan abad ke-7 sampai abad ke-13 H), para ulama lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kitab fiqih mazhab tanpa menguraikan tujuan ilmiahnya. Hal ini disebabkan kec
Presentasi mata kuliah Fiqh membahas tentang materi-materi yang akan diajarkan dalam mata kuliah Fiqh Ibadah untuk mahasiswa semester 1 Pendidikan Agama Islam, meliputi berbagai topik seperti ibadah, hukum-hukum zakat, puasa, dan shalat. Metode pengajaran yang digunakan adalah ceramah, diskusi, penugasan, dan presentasi."
Makalah ini membahas tentang istihsan sebagai salah satu metode berijtihad. Istihsan didefinisikan sebagai berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat. Makalah ini juga membahas macam-macam istihsan, dasar hukum istihsan menurut al-Qur'an dan hadis, serta pendapat ulama tentang kehujjahan istihs
Makalah ini membahas tentang syariat Islam yang mencakup lima hal yaitu tentang syariat, definisi syariat, ruang lingkup kajian syariat Islam, tujuan syariat Islam, dan kaidah fiqih dalam syariat Islam tentang syariat. Ruang lingkup syariat Islam meliputi ibadah seperti shalat, puasa, dan muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, serta peraturan keluarga.
Teks tersebut membahas tentang tarikh tasyri' yang merupakan ilmu yang mempelajari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah saw hingga sesudahnya. Tasyri' dapat bermakna penetapan hukum agama Islam, baik yang bersumber dari Allah maupun yang dibuat oleh manusia. Teks ini juga menjelaskan ruang lingkup, macam-macam, dan prinsip-prinsip penting dalam pembentukan hukum Islam seperti
1) Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, ruang lingkup, dan tujuan syariat Islam. Syariat Islam didefinisikan sebagai sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta. Ruang lingkup syariat mencakup ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, siyasah, dan akhlak. Tujuan syariat adalah membangun kehidupan manusia berdasarkan kebajikan dan menjau
1. Tugas akhir semester mata kuliah Ushul Fiqh membahas daftar pertanyaan dan jawaban mengenai konsep-konsep dasar ilmu Ushul Fiqh seperti dalil-dalil syara', hubungan antara Al Qur'an dan Sunnah, serta qiyas.
Al-Maqāṣid wa al-Ijtihad dalam penjelasan maqasid .pptxRohman248433
Penafsiran al-Qur’an telah dipraktikkan sejak diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai bayan atas ayat-ayat al-Qur’an, tafsir yang paling benar adalah penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., karena beliau yang mendapatkan tugas untuk menyebarluaskan dan menjelasakan wahyu Allah. Penafsiran yang dilakukan oleh Nabi SAW., juga merupakan penafsiran yang paling canggih, karena beliau mampu mengamalkan al-Qur’an, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Makalah ini membahas tentang pengertian hukum dan moral dalam Islam, persamaan dan perbedaan antara keduanya, serta hubungan erat antara hukum dan moral menurut ajaran agama Islam."
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Tiga sumber lainnya yaitu ijtihad, qiyas, dan ijma' berperan sebagai pedoman hukum Islam bila tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah."
2. ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................3
1.3 Batasan Masalah.............................................................................................................3
1.4 Tujuan Penulisan............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................4
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad.............................................................................................4
2.2 Dasar Hukum Ijtihad......................................................................................................5
2.3 Kedudukan Ijtihad..........................................................................................................8
2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad.....................................................................................9
2.5 Syarat Ber-ijtihad.........................................................................................................12
BAB III Penutup................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................16
3.2 Saran.............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................17
3. 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,
terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah
tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka
manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang
baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic
Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya
hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah Al-
Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan,
sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan
interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan). Oleh karena itu,
penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan
keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang :
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa saja hasil dari ijtihad?
1.3 Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad
Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan
dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran dalam
mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.
Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah penggunaan
pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam
Al-Quran dan Hadits Nabawi.
Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai
berikut:
a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada
peranan nalar,
b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi, dan
c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan yang
tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.
Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan
hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement.
Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu
mencakup dua pengertian:
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan
dari sesuatu ayat atau hadits.
Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan
pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu.
Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum
5. 5
yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran diturunkan
secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur secara detil oleh
Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran
dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang
dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan
sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits.
Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada
berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan perkara yang
tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam
memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham Al-
Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid.
2.2 Dasar Hukum Ijtihad
Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1. Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
(QS.Al-Hasyr : 2)1
1 Al-Qur’an suratAl-Hasyr ayat: 2
6. 6
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan
kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an
dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan
kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada
firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan
untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad.
Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad.
(Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya yang lain :
“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah
mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar
Hukum Islam, hlm 163)
ْرجَا ُهَلَف َأَطْخَاَف َدَهَتْج ِِنا َو ِان َْرجَا ُهَلَف َابَصَاَف َدَهَتْجا اَذِا ُمِكاَحْلَا.د ِاح َو)مسلم و (بخارى
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran
hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia
mendapat satu pahala (pahala melakukanijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim)2
2 HadistriwayatBukhori dan muslim
7. 7
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,
ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
اًاذَعُم َثَعْبَي ْنَأ َدا َرَأ اَّمَل ِهللا ُلُْوسَر َّنِإ ِلَبَج ِْنب اذَعُم ِباَحْصَأ ْنِم صَمَح ِلْهَا ْنِم ٍسَانُأ َْنعِنَمَيْلا َيِلا
ِباَتِك يِف ْد ِجَت ْمَل ْنِإَف :َلاَق .ِهللا ِباَتِكِب ى ِضْقَأ :َلاَق ؟اءَضَق َكَل َضََرعاَذِإ ِضْقَت َْفيَك :َلاَق:َلاَق هللا؟
َر ُدِهَتْجَا :َلاَق ؟ِهللا ِباَتِك يِف ََلَو ِهللا ِلُْوسَر ِةَّنُس يِف ْد ِجَت ْمَل ْنِإَف :َلاَق .ِهللا ِلُْوسَر ِةَّنُسِبَفُلل ََلَو ِِْيا.ْو
ِهللا ِلُْوسَر َلُْوسَر َقَّفَو ْيِذَّلا ِ َّ ِّلِلُدْمَحْلَا :َلاَقَو ُهَرْدَص ِهللا ُلُْوسَر َبَرَضَفِهللا ُلُْوسَر يَ ْرَي اَّمَل(رواه
.)ابوداود
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-
Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-
Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)3
3 HadistriwayatAbu Daud
8. 8
2.3 Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-
ketentuan berikut:
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif.
Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu ijtihad
pun adalah relatif,
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang
tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak
berlaku pada masa/tempat yang lain,
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa daripada ajaran Islam.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
10. 10
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode, antara
lain sebagai berikut:
1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum
diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum
sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-Sunnah, karena
ada sebab yang sama. Beberapa definisi qiyas (analogi):
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan
titik persmaan diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-
Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).
2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam
dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk
saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma
tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi
termasuk para ulamanya.
3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah
atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan
lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi (analogi samar-
samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas
kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita
dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang
sama-sama kurang baik, maka kita harus mengambil yang lebih ringan
keburukannya. Beberapa definisi istisan:
a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar,
b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara
lisan olehnya,
11. 11
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang
banyak,
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara
yang ada sebelumnya.
4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan
tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan
mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al-
Quran atau Al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah
mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil
yang secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh
masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya
suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut
tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga
terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang
telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga
teradapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan
suatu tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang
bisa mengubahnya.
7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentingan umat.
8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu kasus, yang
tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang menetapkan hukum
tersebut.
9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
12. 12
10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam pandangan
mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama (ayat
dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).
2.5 Syarat ber-ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan
mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan
tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam
tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut
Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ,
ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh
sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap
memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang
untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas
melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang
diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya
bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan
ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan membahayakan
kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk
dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima
persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertama ini
disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah
Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan
syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani,
cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-
Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia
mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi
seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah
13. 13
hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu
masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum
yang menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini,
seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip
beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah
satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus
hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal,
menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Namun, hadits–hadits tersebut tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia
mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.
Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib
mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal
(periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits
sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga
ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah). Sekalipun
demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui
yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat
periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits).
Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang
bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar
hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad. Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan
pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad.
Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka
ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid
merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan
persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.
Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari
al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar. Dalam hal ini menurut al-Syaukani-
seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna,
14. 14
sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-
lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas
(khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-
beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan
bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak
harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut
melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-
ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah
menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits
adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari
dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian,
sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan
tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat
melakukan ijtihad.
Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting
diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-
dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu
masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan
sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu
dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga
versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad :
1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu
bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad,
tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
3. Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul
fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang
usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-
15. 15
sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-
istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-
kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh penting
agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat
dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih
klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah
disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka
hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan
bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-
Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara
jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-
dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-
persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting
untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad
hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-
Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah
mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di
tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya
diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan
dilakukan atas kehendak hawa nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih
yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah
memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli
fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga
melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang
tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.
16. 16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad
berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga
setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’, istihsan,
mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.
3.2 Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih
mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.
17. 17
DAFTAR PUSTAKA
Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.