ilmu pengetahuan harus empiris dan bisa diukur dengan verifikasi comte menyebutnya begitu.tetapi tidak dengan Popper, Falisifikasi Popper yang meyakini bahwa pengetahuan harus dicari teori penyangkalnya, jika masih survive dan bertahan teori itu maka semakin survive
1. 1
Pertikaian Positivisme dan Falsifikasi dalam Ilmu pengetahuan
Abdus Salam
NIM: 207120100011003
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas Brawijaya
A. POSITIVISME SIDORE MARIE AUGUSTE FRANÇOIS XAVIER COMTE
Membicangkan pengetahuan tidak lepas dari ragam perspektif yang melatari. Aneka ragam cara
pandang tentu bukan lahir dalam ruang yang hampa. Kemampuan, faktor historis dan sosial politik
bahkan agama turut berkontribusi dalam menempatkan pengetahuan itu sendiri. Menelusuri
carapandang mengenai pengetahuan bagi filsuf Prancis terkemuka dan dikenal sebagai bapak
sosiologi.
B. Biografi Auguste Comte
Auguste Comte yang memiliki nama lengkap Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte
dilahirkan di Montpellier Prancis Selatan pada 19 Januari 1798. Dia berasal dari keluarga pegawai
negeri yang beragama Katolik. Setelah bersekolah ditempat kelahirannya, ia melanjutkan
pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris tahun 1814. Ecole Polytechnique saat itu terkenal
dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818,
politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan Ecole dan melanjutkan
pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier Tak lama kemudian, ia melihat sebuah
perbedaan yang mencolok antara agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga
monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan
Paris. Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekretaris dari Claude
Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam
lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia
merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya
Bagi Auguste Comte pengetahuan itu harus faktual. Comte yang mempelopori filsafat positivisme.
Dalam sejarah filsafat abad 19, postivisme seolah menjadi mainstream dan dominasi dalam ilmu
pengetahuan. Positivisme setali mata uang dengan comte. Jika kita membincangkan aliran filsafat
positivisme makan konstruksi pemikiran kita tertuju kepada sosok Comte yang mengalami
2. 2
kecelakaan dalam sejarah hidupnya lantaran menikahi seorang mantan pelacur Caroline. Hal itu
juga berpengaruh dalam pengemberaan intelekual Comte.
Dalam ruang ilmu pengetahuan, positivisme menjadi jalan tunggal bagi Comte. Pengetahuan
dalam aliran filsafat positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan
sains. Atau juga bisa diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris1
Terbitnya karya spektakuler Comte Cours de Philosophic Positive semakin meneguhkan bahwa cara
pandang dalam aliran filsafat positivisme memposisikan bahwa ilmu pengetahuan hurus bisa
dibuktikan, harus terukur.
Menurut Comte positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam yaitu pengetahuan tentang
manusia tentang kenyataan. Pandangan positivisme tentang ilmu pengetahuan adalah ilmu
pengetahuan alam. Positif, berarti apa yang berdasarkan fakta objektif, yang nyata, yang pasti.
Dalam positivisme memisahkan ilmu pengetahuan dari metafisika dan filsalat. Metafisis tidak
dapat dibuktikan secara indrawi manusia2
Positivisme Comte mendasari ilmu-ilmu pengetahuan mengenai fakta obyektif. Apabila faktanya
merupakan gejala kehidupan material, maka disebut ilmu pengetahuan biologi. Apabila faktanya
benda-benda mati, maka ilmunya disebut fisika. Semua pengetahuan harus terbukti melalui
kepastian, pengamatan sistematis; pengetahuan ilmiah harus dapat digunakan secara teknis.3
Ketidakpastian, sesuatu yang tidak bisa diukur dan dibuktikan bagi aliran positivisme dinilai
mencederai prasarat pengetahuan. Oleh karena itu pengtahuan ruang geraknya pasti, sistmatis, bisa
dibuktikan secara empiris.
Tentu pemikiran Comte dan munculnya aliran positivisme tidak bisa dilepaskan oleh
persinggungannya Comte dengan disiplin keilmuannya di Politeknik di Paris. Dan pada
gilirannya Comte berkeyakinan bahwa dalam positivisme itu menilai bahwa pengetahuan itu
objektif-empiris sebagai pengetahuan yang shahih.
1
Baca Ulfatun Hasanah: 2019. Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) Terhadap Dasar
Pengembangan Ilmu Dakwah diakses pada tanggal 29 September 2021
2
Baca Ida Ayu Wirasmini Sedemin. Diakses pada tanggal 30 September 2021
3
Ibid
3. 3
A.Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stage)
Bagi Comte perkembangan manusia melalui tiga tahap yakni yaitu tahap teologis, metafifis ,
dan positif. Perkembangan yang demikian itu berlaku baik bagi perkembangan pemikiran
perorangan, maupun bagi perkembangan pemikiran seluruh umat manusia, sebagai berikut:4
Tahap teologis atau fiktif (the theological or fictitious) terjadi sebelum tahun 1300 M. Tahap
dimana manusia percaya bahwa di belakang gejala–gejala alam ada kuasa adikodrati yang
mengatur fungsi dan dan gerak gejala-gejala tersebut. Sementara tahap teologis masih dibagi
menjadi tiga periode (a) fetisyisme yakni benda-benda dianggap berjiwa, (b) politeisme yakni
manusia percaya pada dewa-dewa, dan (c) monoteisme yakni manusia percaya pada satu Tuhan
sebagai Yang Maha Kuasa.
Tahap metafisis atau abstrak (the meaphysical or abstrak) terjadi antara tahun 1300
hingga 1800 M. Tahapan ini merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif.
Kekuatan yang adikodrati diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak.
Tahap positif atau riel (the positive or scientific) terjadi setelah tahun 1800 M. Pada tahap
ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau,
diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang
instrumental. Akan tetapi pengetahuan selalu bersifat sementara, dan tidak mutlak. Karenanya,
semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas
dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali.5
B. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Filsafat Comte terkait perkembangan pemikiran manusia mengenai teologi, metafisik dan positif.
Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi enam golongan. Pertama ilmu pasti (matematika), Kedua
ilmu perbintangan (astronomi), Ketiga ilmu alam (fisika), Keempat ilmu kimia (chemistry),
Kelima ilmu hayat (fisiologi/biologi), dan Keenam fisika sosial (sosiologi).
Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua
ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakannya juga tentang
4
Loc.Cit. Hal 73
5
Ibid
4. 4
gerak, sedangkan dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya
kimia membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan dan
dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi yang kini
membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan yang diberi
nama sosiologi yang mengambil objek penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang
terdapat pada makhluk hidup yang merupakan objek biologi (ilmu sebelum sosiologi).
Karenanya, sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha manusia seluruhnya,
sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu lainnya mencapai kematangan. Oleh karena itu,
Comte beranggapan bahwa selaku pencipta sosiologi, ia mengantarkan ilmu pengetahuan ke
tahap positifnya. Comte dalam merancang sosiologinya bermaksud praktis, yaitu atas dasar
pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan
masyarakat yang lebih sempurna.
Memposisikan positivisme dalam ruang pengetahuan alam tampaknya akan mengalami
hambatan serius jika ditempatkan dalam mangkuk pengetahuan sosial. Hal ini terjadi karena
ilmu alam dan sosial memiliki kreteria, tanda gejala yang berbeda. Pengetahuan sosial lebih
ribet, rumit karena sifat dan wataknya yang dinamis. Hal ini berbeda dengan ilmu alam yang
seragam dan pasti. Ruang dan waktu tidak berimplikasi terhadap sifat dan watak ilmu alam
itus sendiri
B.Implikasi Metodologis
Metodologi positivisme sangat berkaitan dengan pandangannya tentang objek positif.
Objek positif sebagaimana dimaksud dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi,
yaitu: antara yang nyata dan yang khayal, yang pasti dan yang meragukan, yang tepat dan yang
kabur, yang berguna dan yang sia-sia, yang mengklaim memiliki kesahihan relatif dan yang
mengklaim memiliki kesahihan mutlak.
Distingsi-distingsi tersebut, oleh Comte diterjemahkan kedalam norma-norma metodologis
sebagai berikut: (1) semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa- kepastian (sense of certainty)
pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif, (2) kepastian metodis sama
pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan
metode, (3) ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori- teori yang secara
5. 5
formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum, (4)
pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara tekhnis. Ilmu pengetahuan
memungkinkan kontrol tekhnis atas proses-proses alam maupun sosial, dan (5) pengetahuan
kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan sifat relatif dan semangat
positif.6
B.FALSIFIKASI KARL RAYMOND POPPER
Jika sebelumnya membahas mengenai aliran filsafat positivismenya Auguste Comte dimana
pengetahuan itu harus terukur, empiris dan pasti. Maka bagi Popper yang terjadi sebaliknya.
Pengetahuan tidak mengenal batas waktu, kebenaran pengetahuan tidak mengenal kata final.
Popper menegaskan bahwa kebenaran proposisi tidak mengenal bahkan membutuhkan uji
verifikasi, tetapi upaya penyangkalan atas kebenarannya melalui berbagai percobaan yang
sistematis. Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata
terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya
Pengetahuan yang dinamis, ruang dan waktu serta metodologi yang digunakan akan melahirkan
anekaragam pandangan mengenai pengetahuan itu sendiri. ). Bagi kaum Positivisme, kebenaran
suatu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; observable (teramati),
repeatable (terulang), measurable (terukur), testable (teruji), dan predictable (terramalkan) (lihat,
Muslih, 2005 : 79).
Pendekatan positivisme telah merasuk lama dalam konstruksi pengetahuan yang sangat
ditermistik dan dominan. Utamanya pengetahuan alam yang serba pasti terukur dan empiris. Tetapi
sifat pengetahun yang memiliki kebenaran relatif akan diuji oleh berbagai teori lainnya apakah
pengetahuan itu masih survival atau bahkan sudah usang dimakan zaman
Bagi Popper, dengan Falsifikasinya bahwa pengetahuan tidak harus selalu dibuktikan dengan
observasi dan verifikasi, Popper terutama, menolak penerapan prinsip verifikasi, yakni
pembuktian teori melalui fakta-fakta, yang dijadikan oleh kaum positifisme logis sebagai garis
demarkasi antara pengetahuan dan non- pengetahuan
6
Ibid
6. 6
Dalam pandangan Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak dipandang
bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan
mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui berbagai percobaan sistematis untuk
menyangkalnya. Teori atau proposisi akan berdiri kokoh jika berbagai penyangkalan yang ada,
dan dalam hal ini Popper menyebutnya sebagai Corroborotion7
Popper meyakini dan menegaskan bahwa kebenaran teori ilmiah hanya bersifat hipotesis dan
dugaan sementara dan tidak ada kebenaran yang bersifat final. Ia menegaskan bahwa suatu
hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki kemungkinan untuk
menyangkalnya (refutability).
Popper menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu demarkasi antara proposisi atau teori
yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Gagasan tentang falsifikasi inilah yang oleh dirinya dijadikan
sebagai ciri utama proposisi atau teori yang ilmiah. Suatu teori bersifat ilmiah, jika terdapat
kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Inilah yang dimaksud dengan
prinsip falsifikasi menurut Popper. Falsifikasi Popper ingin membuktikan bahwa pengetahuan
tidak sekadar dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi dan observasi. Baginya verifikasi dan
observasi tidak menjadi jaminan akan ketangguhan dan ketahanan melalui ujicoba penyangkalan
dengan hadirnya teori baru.
Popper beranggapan bahwa suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak dipandang
bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi, tetapi karena
dapat diuji (testable) dengan melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila
suatu hipotesa atau suatu teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran
hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh (corroborated) keberadaanya. Semakin besar
upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka
semakin kokoh pula keberadaannya
7
Baca. Komarudin Falsifikasi Karl Popper Dan Kemungkinan Penerapannya Dalam Keilmuan Islam
7. 7
C.KESIMPULAN
a. Popper beranggapan bahwa suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak
dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui
verifikasi, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui berbagai percobaan
sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau suatu teori dapat bertahan
melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin
diperkokoh (corroborated) keberadaanya. Semakin besar upaya untuk menyangkal
suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh
pula keberadaannya.
b. Popper menolak prinsip verifikasi yang dijadikan sebagai demarkasi
kebermaknaan dan ketidakbermaknaan sautu teori atau ilmu yang digagas oleh kaum
Positivisme, dan sebagai gantinya ia menawarkan gagasan falsifikasi sebagai demarkasi
antara ilmu dan yang bukan ilmu.
8. 8
DAFTAR PUSTAKA
Ida Ayu Wirasmini Sedemin. Perbandingan Antara Positifisme dan Fenomenologi
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, cet. ke-19, Yogyakarta
Komarudin: 2014. Falsifikasi Karl Popper Dan Kemungkinan Penerapannya Dalam
Keilmuan Islam.jurnal At-taqaddum Vol 6.vol 6
Sulhatul Habibah. Paradigma Popperian :Meninjau Rasionalisme kritis Popper. E-Journal
Universitas Darul Ulum Lamongan
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 19