1. POLA PENULISAN (RASM) AL-QUR’AN
DALAM MUSHAF
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah
“Studi Al-Qur’an”
Disusun Oleh:
Intan Wijayanti (212213021)
Dosen Pengampu:
Dr. Saifulloh, M.Ag
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013
2. 1
POLA PENULISAN (RASM) AL-QUR’AN
DALAM MUSHAF
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Qur’an telah ditulis dan
didokumentasikan oleh para penulis wahyu yang langsung ditunjuk oleh
Rasulullah SAW. Di samping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan atau
diriwayatkan secara mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan, ditulis dan
dibukukan dalam satu mushaf.
Al-Qur’an yang dimiliki umat Islam sekarang mengalami proses sejarah
yang unik hingga menjadi satu mushaf. Ilmu yang membahas penulisan Al-
Qur’an ini dikenal dengan ilmu Rasm Al-Qur’an. Sebagian besar menisbatkan
Rasmul Qur’an ini kepada khalifah Utsman bin Affan yang telah memberikan
tugas, sehingga disebut juga Rasm Utsmani.
Para ahli tata bahasa Arab atau dikenal dengan Nuhat, telah menciptakan
berbagai aturan dasar dan kaidah (al-qawa’id al-imla’) tetapi ada perbedaan pada
bentuk tertentu dalam mushaf yang dikodifikasi para sahabat pada zaman
khalifah Utsman ini. Dalam perkembangannya pula, beberapa ulama berbeda
pendapat tentang status Rasm Utsmani ini, apakah bersifat tauqify atau ijtihadi,
mengingat Rasm Utsmani ini disusun oleh manusia.
Dalam pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai Rasm Al-Qur’an
atau Rasm Utsmani, kaidah-kaidah yang dipakai dalam Rasm Utsmani, pendapat
para ulama tentang kedudukan Rasm Utsmani, hingga Rasm Utsmani mengalami
penyempurnaan.
3. 2
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Rasm Al-Qur’an
Secara terminologi rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, rasman
yang berarti gambar atau coretan atau bentuk tulisan. Kata rasm juga bisa
diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut aturan. Jadi rasm adalah
bentuk penulisan yang mempunyai aturan tertentu.1
Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu
metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang disetujui oleh khalifah
Utsman bin Affan. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul
‘Utsmání lil Mushaf (penulisan mushaf Utsmani), dengan dinisbahkan kepada
Utsman.2
Majma’ al-Buhus al-Islamiyat dalam Ichwan mengemukakan bahwa
rasm Al-Qur’an (rasm al-mushaf) adalah ketentuan atau pola yang digunakan
oleh Utsman bin Affan bersama sahabat-sahabatnya dalam penulisan Al-
Qur’an, berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya yang terdapat dalam
mushaf yang dikirim ke berbagai daerah dan kota serta mushaf imam yang
berada di tangan Utsman bin Affan sendiri.3
Rosihon Anwar juga menjelaskan
bahwa rasm Al-Qur’an ialah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan
pada masa Khalifah Utsman bin Affan.4
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Rasm Al-
Qur’an atau Rasm al-Mushaf atau Rasm Utsmani adalah tata cara penulisan
kalimat-kalimat dan huruf-huruf Al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat
sesuai dengan kaidah yang disetujui oleh Utsman bin Affan. Sedangkan
mushaf yang berhasil dikodifikasi ini disebut mushaf al-Imam.
1
Abdul Ghofur Amin, Rasm Al-Qur’an: Penulisan Al-Qur’an, http://salamsejahteracinta
damai.blogspot.com/2011/02/rasm-al-quran-penulisan-al-quran.html, diakses 20 Nopember 2013.
2
Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 182.
3
Mohammad Nor Ichwan, Belajar Al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
Melalui Pendekatan Historis-Metodologis (Semarang: Rasai;, 2005), 133.
4
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 83.
4. 3
2. Sejarah Singkat Perkembangan Rasm Utsmani
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antar satu dengan yang
lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar,
karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak
direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Ali al-Shobuni membagi ke dalam dua masa tentang pengumpulan dan
penulisan Al-Qur’an, yaitu masa rasulullah SAW, dan masa
khulafaurrasyidin. Telah diketahui bahwa pengumpulan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) pengumpulan dalam
dada dengan cara menghafal, dan (2) pengumpulan dalam wujud tulisan, yaitu
menulis dan mengukirnya.5
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah
penyusunan surah dan ayat secara sistematis, namun belum terkumpul dalam
satu mushaf melainkan dalam keadaan terpisah pisah. Ada sejumlah bahan
yang digunakan untuk menyalin atau menulis wahyu-wahyu yang diturunkan
Allah kepada Muhammad, antara lain: riqa’ (lembaran lontar), likhaf (batu
tulis berwarna putih, terbuat dari batu kapur), ‘asib (pelepah kurma), aktaf
(tulang belikat unta), adlla’ (tulang rusuk unta), dan adim (lembaran kulit).6
Dalam proses penulisan di zaman Rasulullah SAW. yang bertugas
menulis Al-Qur’an yaitu Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Said,
Khalid bin Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Setiap kali menerima
wahyu Rasulullah SAW memanggil para sekretarisnya untuk menulis wahyu
yang baru diterimanya. Wahyu yang ditulisnya, satu naskah disimpan Nabi
SAW, dan lainnya untuk penulis.7
Di zaman khalifah Abu Bakar, terjadi perang Yamamah sehingga
banyaknya para qura’ yang terbunuh. Maka Umar Bin Khattab dengan segera
pergi ke tempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Umar
5
Muhammad Ali al-Shobuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an, terj. Muhammad Qodirun Nur (Jakarta:
Pustaka, t.th), 69.
6
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001), 151.
7
Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 163.
5. 4
khawatir meninggalnya para qura’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang
Yamamah, kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam. Kemudian Abu
Bakar mengutus Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu di zaman
Rasulullah untuk mengemban tugas ini. Setelah Al-Qur’an selesai
dikumpulkan dan ditulis, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, dan beliau
menyimpan baik-baik hingga wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia digantikan
oleh Umar bin Khattab yang kemudian disimpannya naskah itu. Dan setelah
wafatnya Umar Bin Khattab, naskah itu kembali diserahkan kepada Siti
Hafsah.8
Di zaman khalifah Utsman, terjadi perang Armenia dan Azerbaijan
dengan penduduk Irak. Hudzaifah yang ikut menyerbu kedua tempat itu
melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian
bacaan itu bercampur dengan kesalahan, bahkan mereka saling mengkafirkan.
Melihat kenyataan demikian, Hudzaifah segera menghadap khalifah Utsman.
Setelah mendengar laporan Hudzaifah tersebut, Utsman mengirimkan utusan
kepada Hafsah untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Kemudian Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said
bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Hisyam, yang kemudian disebut ‘panitia
empat’,9
untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Kata Utsman, “Jika
kalian bertiga dan Zaid bin Tsabit berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an,
8
Munawir Khalil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa (Semarang: Ramadhani, 1952), 24.
9
Riwayat lain mengatakan bahwa sahabat yang diberi tugas ini oleh khalifah Utsman adalah 12
orang, berdasarkan riwayat Muhammad Ibnu Sirin: “Ketika Utsman memutuskan untuk menyatukan
Al-Quran, dia mengumpulkan panitia yang terdiri dari dua belas orang dari kedua-dua suku Quraisy
dan Anshar. Di antara mereka adalah Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit.” Dua belas orang tersebut
menurut pernyataan beberapa ulama adalah Sa’id bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair bin ‘Amr bin Naufal,
Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin az-Zubair, ‘Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin
Aflah, Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi ‘Amir, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash. Lihat M.M. al-A’zami, Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai
Kompilasi, terj. Sohirin Solihin (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 99.
6. 5
maka tulislah dengan ucapan atau lisan Quraish karena Al-Qur’an
diturunkan dengan lisan Quraish.”10
Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban
oleh ‘panitia empat’ tersebut antara lain: (a) Tidak menulis sesuatu dalam
mushaf, kecuali telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Qur’an yang dibaca
Nabi; (b) Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Qur’an, tulisan mushaf
bebas dari titik dan syakal; (c) Lafadz yang tidak dibaca dengan bermacam-
macam bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafadz yang dibaca
dengan lebih satu qira’at ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tiap
mushaf; dan (d) Menggunakan bahasa Quraish karena Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa tersebut. 11
Setelah ‘panitia empat’ menyelesaikan tugasnya, Utsman
mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian mengirimkan
beberapa mushaf ke berbagai kota. Para ulama menyebut cara penulisan ini
sebagai Rasm al-Mushaf. Karena cara penulisan ini disetujui oleh Utsman,
maka para ulama menyebutnya dengan Rasm al-Utsman atau Rasm Utsmani.
3. Kaidah Penulisan Mushaf
Rasm Utsmani memiliki kaidah tertentu yang diringkas oleh para ulama
menjadi enam kaidah. Kaidah-kaidah tersebut sekaligus membedakannya
dengan kaidah imla’. Selanjutnya kaidah-kaidah ini, menurut Adnan Amal,
merupakan karakteristik ortografi mushaf Utsmani. Dalam karyanya al-
Muqni’ fi Ma’rifah Marsum Mashahif Ahl al-Amshar, Abu Amr al-Dani
sebagaimana dikutip oleh Adnan Amal, mendokumentasikan karakteristik
ortografi mushaf Utsmani yang menyimpang dari kaidah-kaidah ortografi
10
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2011), 192-193.
11
Anwar, Ulum al-Quran, 45.
7. 6
yang lazim dikenal di kalangan sarjana bahasa Arab.12
Dari beberapa literatur,
penulis meringkas keenam kaidah tersebut, yaitu:13
a. Al-Hadzf (الحذف), artinya penghapusan
1) Alif dihapus jika:
a) Didahului dengan ya’ nida’ (panggilan), contoh: ُاالناسَهايَي
b) Didahului dengan ha’ tanbih (peringatan), contoh: ُْمتْنَهأ
c) Alif pada kalimat na (نا) jika bertemu dengan dhamir, contoh: ُْمْنكيَجْنأ
d) Lafadz ُُُِللاُِْمسِب،ُْحنبس،ُمنْالرح،ُُلهِإ،ُُللاُ
e) Alif pada kalimat bentuk jama’ mudzakkar dan muannats salim,
contoh: سمعون،ُالمؤمنت
f) Bentuk jama’ dengan wazan mafa’il (مفاعل) dan/atau yang
menyerupai, contoh: د ِمسجَلى،ُا ََصرنال
2) Huruf ya’ dibuang jika:
a) Terdapat dalam isim manqush yang ditanwin, contoh: غيرُباغُوالُعاد
b) Huruf ya’ yang disandarkan pada huruf ya’ dalam ungkapan seruan.
Contoh: ياعبادُفالتقون
c) Dari beberapa kalimat berikut: َُن ْوْعيِوأط ون ْواتق،ُفأرسلون، , dll.
3) Huruf wawu dibuang jika bertemu dengan huruf wawu, contoh: َُن ْوَوتْسَي َالُ
ُ،ا ْووْأَف
4) Huruf Lam dibuang jika Mudgham, contoh: واليلُ،والذى , dll.
12
Amal, Rekonstruksi, 265.
13
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Quran: Telaah Atas Mushaf
Utsmani, terj. Taufiqurrahman (Bandung: Pustaka Setia, 1992), 123-130. Lihat pula Anwar, Ulum Al-
Qur’an, 49, dan Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz 1
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiy, 1988), 369-372.
8. 7
Beberapa huruf yang dibuang tidak berdasarkan kaidah, seperti
pembuangan huruf alif dari lafaz ملك, huruf ya’ dari إبراهمُ , dan huruf wawu
dari empat fi’il berikut:
ويدعُاإلنسن,ُويُ،محُللاُالباطليومُيدعُالداع,ُسندعُالزبانية
b. Al-Ziyadah (الزيادة), artinya penambahan
1) Huruf Alif ditambahkan jika:
a) Terletak setelah wawu pada akhir tiap-tiap Isim Jama’ atau yang
menyerupai bentuk jama’, contoh: ُُْمِهب َُرا ْولقم , ُإسراءيلبنوا ,ُواولأ
ببْلَألا
b) Setelah huruf Hamzah yang ditulis di atas wawu, contoh: kalimatُ ُتاهلل
ُتفتأ kemudian ditulis تاهللُتفتؤا
c) Beberapa kalimat yang keluar dari kaidah, seperti: مائة ,ُِْنيَتَئاِ,م
َان ْوُالظنِهللاِبَُن ْنوَظت َو،َُُال ْوَاُالرسنْعَطَوأ،َُُْليِبَاُالسن ْلوَضَأَف
2) Huruf Ya’ ditambahkan dalam beberapa kalimat antara lain:
َُْنيِلَس ْرىُالمِاءَبَنُ ْنِم,ُىُالَِاءنُا ْنِم َو,َاهانْيَنَبَُءاَمالس َ،ُوِْىسْفَنُىِاءَقْلِتُ ْنِْل,ُميُُمْكيأيِب
ن ْوفتَمال,ُبأييد.
3) Huruf wawu ditambahkan dalam beberapa kalimat antara lain: ،اولو
,اوالت ,اولئك اوالء
c. Al-Hamzah (الهمزة)
1) Hamzah sakinah (mati) maka ditulis sesuai dengan harakat huruf
sebelumnya, contoh: ُُ،ِنذأؤتمن،ُإئالبأساءُُ
2) Hamzah Mutaharrikah (berharakat), maka:
a) Jika berada pada permulaan kalimat dan bertemu dengan huruf
zaidah, maka ditulis dengan huruf alif, contoh: ُ ،ُسأنزل ،فبأي
سأصرف،ُإذا،ُأولو،ُأيوب
9. 8
b) Jika berada di tengah-tengah kalimat maka ditulis sesuai dengan
harakatnya. Bila hamzah berharakat fathah maka ditulis dengan alif,
jika kasrah maka ditulis dengan ya’ jika dhammah maka ditulis
dengan wawu, contoh: ُتقرؤه،ُسئل،ُسألُ
c) Jika berada di akhir kalimat maka ditulis sesuai dengan harakat
sebelumnya. Bila huruf sebelum hamzah berharakat fathah maka
hamzah ditulis dengan alif, jika huruf sebelumnya berharakat
dhammah maka ditulis dengan wawu dan jika huruf sebelumnya
berharakat kasrah maka ditulis dengan ya’, contoh: ُسبأ،ُلؤلؤ،ُشاطئ
d) Jika huruf sebelum hamzah berharakat sukun (mati) maka ditulis
sendirian, contoh: ء َْبخُالج ِرْخ،ُي ِض ْرَألُاءْلِم
d. Badal (االبدال), artinya penggantian
1) Huruf alif diganti dengan huruf wawu untuk menunjukkan keagungan,
contoh: وةَلوة،ُالصَكَ،ُالزةيوَحال
2) Alif ditulis dengan ya’ jika asal kalimatnya dari ya’, contoh: ىَفَسَيأُ ،
َىتَْرسَحي. Selain itu ada juga beberapa kalimat yang keluar dari kaidah ini
seperti: (إلى(ُ،)على(ُ،)بلى(ُ،)حتى(ُ،)متى)
3) Nun ditulis dengan alif pada nun taukid khafifah, contoh : )ًا(إذ
4) Ha’ muannats ditulis dengan ta’ maftuhah (terbuka), contoh: ،رحمت
،نعمت،ُومعصيت إنُشجرت , ُوجنتُنعيم , ُقرتُعين , dan kalimat ُامرأةُ
yang disandarkan kepada nama suaminya seperti: ح ْوُنَامرأت
,ن ْوَع ْرِف َُتَأ َرْام
10. 9
e. Washal dan Fashl (والفصل الوصل), artinya penyambungan dan pemisahan
1) Kalimat (ُْنَأ) jika bertemu dengan (َُال) maka ditulis menyambung (أُْال) ,
kecuali pada beberapa tempat, antara lain: Surat al-A’raf: 150, 169,
Hud: 14, 26, At-Taubah: 118, al-Hajj: 26, Yasin: 60.
2) Kalimat ُ(ُْنِم) jika bertemu dengan (ما) maka ditulis menyambung (ُمِما)
kecuali pada surat an-Nisa’: 25, ar-Rum: 28, al-Baqarah: 57.
3) Kalimat (ُْنِم) jika bertemu dengan (ُْنَم) maka secara mutlak harus ditulis
menyambung (ُمِمُْن) .
4) Kalimat (عن) jika bertemu dengan (ماُ) maka harus ditulis menyambung
(ُمَعا) , kecuali pada surat al-A’raf: 166.
5) Kalimat (ُْنِإ) jika bertemu dengan (ما) maka harus ditulis menyambung
(إماُ) , kecuali pada surat al-Ra’d: 40.
6) Kalimat (ُْنَأ) jika bertemu dengan (ماُ) maka harus ditulis menyambung
(أما) .
7) Kalimat (لك) jika bertemu dengan (ماُ) maka harus ditulis menyambung
(ُلكاَم) , kecuali pada surat an-Nisa’: 91, al-Mu’minun: 44, Ibrahim: 34.
8) Selain itu ada beberapa kalimat yang harus disambung penulisannya,
diantaranya: ُا،ُكأنماَمبما،ُرِعِن
f. Lafadz-Lafadz yang Memiliki Dua Bacaan
Lafadz-lafadz yang memiliki dua bacaan dituliskan pada salah
satunya, tetapi yang kita maksudkan bukan bacaan yang janggal
(syaddzah), seperti ungkapan ولوالدفعُللاُالناس,ُتفدون,ُوعدنا,ُ,يخدعونُملكُ
يومُالدين,ُسكري,ُوماهمُبسكري,ُوحرمُعليُقرية,ُأولستم,ُالنساء,ُعقدتُأيمُ,انكم
,فرهن ,تظهرون dan ungkapan lainnya, semuanya ditulis di dalam mushaf
Utsmani tanpa alif, tetapi dibaca dengan alif atau dengan menghilangkan
alif. Ungkapan غيبتُالجب dalam surah Yusuf: 15, شمرةُمنُأكمامها dalam
11. 10
surah Fushilat, وهمُفيُالغرفتُامنو , semua ungkapan tersebut telah ditulis
dengan ta’maftutah dan tanpa alif, dan dibaca dengan bentuk jama’ dan
mufrad; ungkapan فكهون yang ditulis tanpa alif, tetapi dibaca dengan alif
atau tanpa alif; ungkapan مصيطر,المصيطر yang ditulis dengan huruf shad,
tanpa kecuali, tetapi dibaca dengan huruf shad atau sin.
4. Pendapat Para Ulama Tentang Rasm Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang status atau kedudukan Rasm
Utsmani. Perdebatan para ulama tentang ini adalah seputar hukum Rasm
Utsmani ini apakah dapat dihukumkan tauqifi, yaitu diajarkan langsung oleh
Rasulullah SAW, atau ini adalah hasil ijtihad para sahabat terdahulu.
Perbedaan pendapat para ulama ini dibagi kepada tiga (3) golongan, antara
lain:
a. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani itu bersifat
tauqifiy14
, yakni bukan produk budaya manusia dan wajib dipakai dalam
penulisan Al-Qur’an15
, dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah
sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan
tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak
mungkin melakukan kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak dan restu Nabi.16
Untuk pendapat ini, mereka merujuk
pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan
kepada Mu’awiyah: “Letakkanlah tinta. Pergunakanlah pena. Luruskan
huruf ba’, bedakan hurus sin dan janganlah kamu miringkan huruf mim.
Dan perbaguslah tulisan lafadz Allah, panjangkan lafdz al-rahman,
14
Yakni bukan produk manusia, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah yang
Nabi sendiri tidak mempunyai otoritas untuk menyangkalnya.
15
Anwar, Ulum Al-Qur’an, 50.
16
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 95.
12. 11
baguskan lafadz al-rahim, dan letakkanlah penamu di telinga bagian
kirimu, karena dengan demikian akan mengingatkan kamu.”
b. Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah bersifat
tauqifiy, melainkan bersifat istilahi, yaitu hanya sebuah istilah atau tata
cara dalam penulisan Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak ada salahnya
menuliskan Al-Qur’an dengan metode atau pola yang berbeda dengan
metode yang terdapat pada Rasm Utsmani.17
Di antara ulama yang
berpendapat seperti itu adalah Imam bin Khaldun dalam
“Muqaddimah”nya dan Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dalam “Nukat al-
Intishar”. Pendapat mereka karena Rasm Utsmani ini tidak ada dalil nash
dari Al-Qur’an, hadits atau perkataan ulama yang memerintahkan dan
melarang secara terang-terangan terhadap penulisan Al-Qur’an dengan
rasm tertentu. Menurut al-Baqillani, Rasulullah SAW tidak pernah
memerintahkan para sahabat untuk menulis Al-Qur’an dengan satu bentuk
tulisan, karena itulah banyak perbedaan penulisan Al-Qur’an dalam
mushaf. Sebagian sahabat menulis kalimat berdasarkan makharijul huruf,
dan yang lain ada yang menambah atau mengurangi tulisan tersebut, karena
mereka tahu bahwa tulisan itu hanya ijtihad para sahabat.
c. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifiy dari
Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman
dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang
wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Di antara para ulama
yang berpendapat demikian adalah Imam Malik. Asyhab berkata: Malik
ditanya,”Apakah mushaf boleh ditulis menurut kaidah menulisan lain?”
Malik menjawab,”Tidak, kecuali menurut tata cara penulisan pertama.”18
Selain Imam Malik, ulama lain yang sependapat dengan hal ini adalah
17
Ichwan, Belajar Al-Qur’an, 143.
18
Al-Qaththan, Pengantar, 184.
13. 12
Imam Ahmad Bin Hanbal, Nidham al-Din al-Naisaburi dan Imam al-
Baihaqi.
5. Perbaikan dan Penyempurnaan Rasm Utsmani
Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang yang telah
dilengkapi oleh tanda-tanda baca, seperti harakat (syakl) dan tanda titik
(nuqthah). Para sahabat belum menemukan kesulitan membacanya karena
rata-rata masih mengandalkan hafalan. Kesulitan mulai muncul ketika dunia
Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab. Ketika Ziyad bin
Samiyyah menjabat Gubernur Bashrah, pada masa khalifah Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’ali untuk segera membuat
tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Qur’an
bagi generasi yang tidak hafal Al-Qur’an. Atas perintah tersebut, al-Du’ali
memberi tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf,
sebuah titik di bawah huruf sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda
dhammah berupa wawu kecil di antara dua huruf, dan tanpa tanda apa-apa
untuk huruf konsonan mati.
Pada perkembangan selanjutnya, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al –
Azdi membuat kaidah-kaidah tanda baca seperti tanda fathah dengan
membubuhkan tanda sempang di atas huruf, tanda kasrah dengan
membubuhkan tanda sempang di bawah huruf, tanda dhammah dengan
membubuhkan wawu kecil di atas huruf, tanda sukun dengan membubuhkan
tanda kepala huruf ha’ di atas huruf, tanda sajdah dengan membubuhkan
huruf sin di atas huruf.19
Usaha penyempurnaan penulisan Al-Qur’an ini dilanjutkan pada masa
Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ia memerintahkan al-Hajjaj bin Yusuf al-
Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth Al-Qur’an). Ia
19
Ichwan, Belajar Al-Qur’an, 151.
14. 13
memberikan tugas itu kepada Nashid bin ‘Ashim dan Yahya bin Ma’mur, dua
orang murid al-Du’ali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik di sejumlah
huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, penambahan titik di atas huruf dal yang kemudian menjadi huruf
dzal. Penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah huruf dasar ba’, yang
kemudian menjadi huruf ba’, nun, dan ta’. Dan huruf dasar ha’ yang
kemudian berubah menjadi kha’, ha’, dan jim. Huruf ra’ dibedakan dengan
huruf za’, huruf sin dibedakan dengan syin, huruf shad dibedakan dengan
dhad, huruf tha’ dibedakan dengan zha’, huruf ‘ain dibedakan dengan gha’in,
serta huruf fa’ dibedakan dengan qaf. Dari pola penulisan tersebut,
berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola
Kufi, Maghribi, dan Naqsh.20
Kemudian pada perkembangan selanjutnya para ulama berusaha
membuat tanda-tanda pada tiap-tiap kepala surah, peletakan tanda yang
memisahkan antara satu ayat dengan ayat lainnya (fashilah), tanda-tanda
waqaf, 30 pembagian Al-Qur’an menjadi juz-juz, dan juz-juz dibagi lagi
menjadi ahzab, dan dari ahzab dibagi lagi menjadi arba’.
Menurut Subhi as-Shalih, Al-Qur’an untuk pertama kalinya dicetak di
Bunduqiyah (Venesia-Italia) pada tahun 1530 M. Kemudian pada tahun 1694
M, Hinkelman mencetak mushaf di kota Hanburg. Lalu tahun 1698 M,
Marraci juga mencetak mushaf di kota Padoue, Italia Utara. Sayangnya, tidak
ada satupun dari mushaf tersebut sampai ke tangan orang Islam. Baru
kemudian pada tahun 1787 M, berdiri percetakan Islam yang didirikan oleh
Maulaya Utsman di kota Saint Petersbourg (Rusia) dan Qazan. Kemudian di
20
Ahmad Izzan, ‘Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an
(Bandung: Humaniora, 2009), 115.
15. 14
Iran terbit dua mushaf, sebuah dicetak di Teheran (1828 M), dan satunya di
Tibris (1833 M).21
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan
antara lain:
1. Rasm Al-Quran (Rasm al-Mushaf atau Rasm Utsmani) adalah tata cara
penulisan kalimat-kalimat dan huruf-huruf Al-Qur’an yang dilakukan oleh
para sahabat sesuai dengan kaidah yang disetujui oleh Utsman bin Affan.
Disebut Rasm Utsmani karena dinisbatkan kepada khalifah Utsman bin Affan
yang menyetujui pola penulisan al-Quran yang ditempuh oleh panitia empat.
2. Sahabat yang diberi tugas oleh Utsman bin Affan untuk mengumpulkan dan
menulis mushaf yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash
dan Abdurrahman bin Hisyam, yang selanjutnya disebut ‘Panitia Empat’.
3. Rasm Usmani mempunyai beberapa kaidah antara lain:
a. Kaidah buang (al-Hadzf)
b. Kaidah panambahan (al-Ziyadah)
c. Kaidah hamzah (al-Hamzah)
d. Kaidah penggantian (al-Badal)
e. Kaidah sambung dan pisah (al-Washl wa al-Fashl)
f. Lafadz yang memiliki dua bacaan
4. Ada tiga golongan yang mengemukakan pendapat tentang kedudukan Rasm
Utsmani, yaitu:
a. Jumhur ulama yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani bersifat taiqifiy,
yang tidak boleh dibantah.
21
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), 116-117.
16. 15
b. Ulama yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah bersifat tauqifiy,
melainkan bersifat istilahi, yaitu hanya sebuah istilah atau tata cara dalam
penulisan Al-Qur’an.
c. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifiy dari
Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman
dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang
wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
D. DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, M. M. Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Terj.
Sohirin Solihin. Jakarta: Gema Insani Press. 2005.
Abidin, Zainal. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta. 1992.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terj. Mifdhol
Abdurrahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa. 2011.
Al-Shobuni, Muhammad Ali. Ikhtisar Ulumul Qur’an. Terj. Muhammad Qodirun
Nur. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. t. th.
Al-Zarqani, Muhammad Abdul ‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiy. 1998.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Quran. Yogyakarta: FkBA. 2001.
Amin, Abdul Ghofur. Rasm Al-Qur’an: Penulisan Al-Qur’an,
http://salamsejahteracintadamai.blogspot.com/2011/02/rasm-al-quran-
penulisan-al-quran.html
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
17. 16
Ichwan, Mohammad. Belajar Al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu Al-
Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis. Semarang: Rasail.
2005.
Izzan, Ahmad. ‘Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-
Qur’an. Bandung: Humaniora. 2009.
Khalil, Munawir. Al-Qur’an dari Masa ke Masa. Semarang: Ramadhani. 1952.
Shihab, M. Quraish, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2001.
Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu. Studi Ulumul Quran: Telaah Atas
Mushaf Utsmani. Terj. Taufiqurrahman. Bandung: Pustaka Setia. 1992.