Hadits tersebut merupakan hadits yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Dokumen tersebut melakukan takhrij hadits dengan menelusuri sanad hadits tersebut pada beberapa kitab hadits lain dan menganalisis kualitas para periwayat hadits. Dokumen tersebut juga menganalisis persambungan sanad hadits tersebut.
1. Kritik Sanad
A. Takhrij Hadits
Hadits yang akan diteliti adalah berdasarkan kitab sunan Ibnu Majah Nomor 220
mengenai pentingnya menuntut ilmu. Setelah diadakan penelusuran lebih lanjut oleh penulis
terdapat pada kitab muqoddimah bab والحث العلماء فضلالعلم طلب على .1[2]
سيرين بن محمد عن شنظير بن كثير حدثنا . سليمان بن حفص حدثنا . عمار بن هشام حدثنا
( سلم و عليه هللا صلى هللا رسول قال : قال مالك بن أنس عنالعلم طلبكل على فريضة
) والذهب واللؤلؤ الجوهر الخنازير كمقلد أهله غير عند العلم وواضع مسلم
“Hisyam bin Amar menceritakan kepada kami, (dengan berkata) Hafish bin Sulaiman
menceritakan kepada kami. (Ia menyebutkan) Katsir bin Sindzir meriwayatkan kepada kami.
(Ia menyebutkan) dari Muhammad bin Sirin, dari Anas bin Malik, ia berkata. “Rasulullah
SAW bersabda : “ Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan orang yang
menyerahkan keilmuan kepada yang bukan ahlinya, seperti orang yang mengalungkan intan,
permata dan emas di leher babi”.
Kegiatan selanjutnya adalah pentakhrijan hadits, dan didapatkan hasil bahwa yang
membahas hadits semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah terdapat pada
Al Mu’jam Alkabir karya At Tabrani dan Musnad Assyihab karya Al Qadha’i. Adapun bunyi
teks hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1. At Tabrani dalam Mu’jam Al Kabir2[3]
بن الهذيل ثنا : قاال التستري إسحاق بن الحسين و القزاز المنذر بن يحيى بن محمد حدثنا
وائل أبي عن سليمان أبي بن حماد عن القرشي الرحمن عبد بن عثمان ثنا الحماني إبراهيم
عليه هللا صلى هللا رسول قال : قال مسعود بن هللا عبد عن: سلم وفريضة العلم طلبعلى
مسلم كل
2. Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab3[4]
هللا عبد ثنا األصبهاني يحيى بن هللا عبد ثنا الكاتب علي بن أحمد بن محمد مسلم أبو أخبرنا
العوفي عطية عن مسعر ثنا البجلي عمرو بن إسماعيل ثنا األصبهاني زكريا بن محمد بن
2. : سلم و عليه هللا صلى هللا رسول قال قال الخدري سعيد أبي عنفريضة العلم طلبكل على
مسلم
Skema Jalur Sanad
I’tibar adalah upaya menyertakan sanad-sanad lain dalam suatu penelitian hadis, yang pada
hadis itu tampak hanya satu orang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad lain
akan diketahui adakah periwayat lain atau tidak ada dari bagian sanad-sanad dimaksud.
Dengan demikian kegiatan ini untuk melihat secara keseluruhan sanad suatu hadis dari segi
ada tidaknya pendukung baik berupa syahid maupun mutabi.4[5] Dari skema sanad tersebut
dapat diketahui bahwa ada 2 syahid dalam meriwayatkan hadits ini yaitu Abdullah bin
Mas’ud dan Abi Sa’id Alkhudriy.
B. Penelitian, Kritik, dan Analisa Terhadap Sanad
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam kitab sunan Ibnu Majah diriwayatkan
oleh 6 periwayat. Adapun urutannya adalah Anas bin Malik, Muhammad bin Sirrin, Katsir
bin Syindlir, Hafsh bin Sulaiman, Hisyam bin Ammar, dan yang terakhir adalah Ibnu Majah.
a. Penilaian atas Kualitas Periwayat
3. 1. Anas bin Malik5[6]
Nama lengkapnya adalah Anas bin Malik bin al-Nadlar bin Dlamdlam bin Zaid bin
Haram. Ia termasuk salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau lahir di
Makkah dan berdomisili di Basrah, meninggal pada tahun 92 H. Berdasarkan kaidah umum
dalam ilmu hadits bahwa semua sahabat itu adil, maka dia dimasukan kedalamnya yang
berarti keadilan dan kedhabitannya dapat diterima, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi
kredibilitasnya Diantara guru beliau adalah Nabi Muhammad SAW, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Arqom, Tsabit bin Qois. Sedangkan murid beliau adalah Muhammad bin Sirrin,
Muhammad bin Malik, Muhammad bin Muslim, dll.
2. Muhammad bin Sirrin
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Sirrin bin Maula Anas bin Malik. Beliau
termasuk salah seorang tabi’in yang menetap dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H.
Guru Muhammad bin Sirrin antara lain Ibn al-‘Ala’ al Hadlrami, Abu Ubaidah bin Hudzaifah
al Yaman, Anas bin Malik dll. Murid beliau antara lain Abu Al-‘amr bin al-Ala bin Ammar,
abu Ma’an, Katsir bin Syindlir, dll.6[7] Penilaian kritikus hadits terhadapnya seperti yang
disampaikan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Al ijli yang mengatakan bahwa
beliau tsiqoh. 7[8]
3. Katsir bin Syindzir
Nama lengkapnya adalah Katsir bin Syindzir al Maziny lahir di Basrah. Ia termasuk
golongan yang tidak pernah bertemu dengan sahabat dan menempati thabaqat ke-6 dan
termasuk tabi’in yang paling muda. Gurunya diantaranya adalah Hasan bin Abi Hasan
Yasar,’Atha’ bin Abi Rabbah Aslam, Anas bin Sirrin, dan Muhammad bin Sirrin.
Sedangkan muridnya adalah Said bin Abi Aruwiyah, Hammad bin Zaid, Abd al Warits bin
Said, Aban bin Yazid al Aththar, dan Hafsh bin Sulaiman. Penilaian ulama terhadapnya
seperti apa yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal bahwa beliau shalih al hadits, Ishaq bin
Manshur menilainya shalih, Al nasa’i menilainya laisa bil qowwiy,8[9]
4. Hafsh bin Sulaiman
4. Nama lengkapnya adalah Hafsh bin Sulaiman al Usdy al Bazaz lahir diKufah dan wafat
pada tahun 180 H. ia termasuk dalam tingkatan pertengahan tabi’ tabi’in (thabaqat 7).
Gurunya antara lain Sammak bin Harb bin Aus, Katsir bin Zadan dan Katsir bin Syindzir.
Sedangkan salah satu muridnya adalah Hisyam bin Ammar.9[10] Kualitas periwayatannya
dapat dilihat dari penuturan Abdullah bin ahmad menilainya sholih, Waqi’ bin al Jarrah yang
menilainya tsiqoh, Dar Al Qutni menyatakan dho’if,10[11] Ahmad bin Hanbal menyatakan
ma bihi ba’s, Yahya bin Ma’in menyatakan laisa bi tsiqah, Ali bin Madaniy, Abu Zur’ah
menilai dhaif al hadits.11[12]
5. Hisyam bin Ammar
Nama lengkapnya adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair bin Maisarah bin ‘Abban.
Beliau lahir di Syam pada tahun 153 H dan wafat di Dujjail ditahun 245 H. Beliau hidup
dimasa tabi’tabiin. Diantara gurunya adalah Hafsh bin Sulaiman dan diantara muridnya
adalah Abu Daud, Al Nasa’I, Ibnu Majah, dll.12[13] Ia termasuk rawi yang dinilai
shuduqun kabir oleh Dar al Qutny. Akan tetapi Ibrahim bin Junaid, al Ijli, dan Ibnu Hibban
menilai tsiqah, Al nasa’I menilai la ba’sa bih.13[14]
6. Ibnu Majah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al Rubay’iy al Qazwaini al
Hafidz. Nama Majah adalah laqab ayahnya. Sementara itu, al Qazwini juga dianggap sebagai
nama lain yang dinisbatkan kepada Ibnu Majah, karena tersebut merupakan tempat dimana ia
tumbuh dan berkembang. Sedangkan tempat kelahiran Ibnu Majah tidak ada sumber yang
menjelaskannya. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat dalam usia 74 tahun, tepatnya pada hari
selasa tanggal 22 Ramadhan tahun 273 H.14[15] Guru pertama Ibnu Majah adalah Ali ibn
Muhammad al Tanafasy dan Jubarah al Mughlis. Sejumlah guru yang lain Mus’ab ibn
Abdullah al Zubairi, Abu Bakar ibn Abi Syaibah, Hisyam bin Ammar, dll. Sedangkan
5. muridnya adalah Muhammad ibn Isa al Abhari, Abu Hasan al Qattan, Ibn Sibawaih, dll.
Penilaian ulama terhadap Ibnu Majah adalah dalam tingkatan yang baik dan tinggi. Seperti
penilaian al Mizzy bahwa beliau sosok orang yang alim, seorang pengarang kitab yang
bermanfaat dan memiliki pengalaman yang luas. Abu Ya’la al Khalili menilai bahwa ibn
Majah dapat dipercaya, dapat dijadikan hujjah, banyak mengetahui hadits dan menghafalnya,
dan banyak melakukan perjalanan ilmiah keberbagai kota untuk menulis hadits.15[16] Ibnu
Majah adalah pengumpul hadits yang tertuang dalam karyanya kitab sunan Ibnu Majah yang
masih ada hingga saat ini, walaupun karya tersebut tergolong sedikit dibanding ulama yang
tergolong pengumpul hadits dalam jajaran kutubuttis’ah.16[17]
b. Persambungan Sanad
Untuk melihat adanya persambungan sanad dapat dilihat dari segi kualitas periwayat
dalam sanad yakni dengan melihat ketsiqatannya (adil dan dabitnya) tanpa adanya tadlis
serta hubungannya dengan periwayat terdekat baik kesamaan pada masa hidupnya atau
hubungan antara guru dan murid dalam periwayatan hadits.17[18]
Berdasarkan penjelasan di atas, antara Rasulullah saw. dengan Anas bin Malik
(w.92H) tidak diragukan lagi persambungannya. Sedangkan hubungannnya dengan
periwayat sesudahnya, Muhammad bin Sirrin (w. 110H) dapat dikatakan bersambung
disebabkan di antara keduanya terdapat hubungan antara guru dan murid. Di samping itu,
selisih umur antara guru dan murid memungkinkan untuk bertemu. Persambungan sanad
antara Katsir bin Syindzir dengan rawi sebelumya, Muhammad bin Sirrin dapat dilihat pada
hubungan guru dan murid dan umur keduanya. Sedangkan hubungannya dengan periwayat
sesudahnya juga dapat dikatakan bersambung berdasarkan pertimbangan yang sama. sanad
Hafsh bin Sulaiman (w.180H) dengan periwayat sebelumnya, Katsir bin Syindzir
bersambung berdasarkan atas hubungan guru dan murid, selisih umur keduanya. Demikian
juga hubungan antara Hisyam bin Ammar (w.245H) dengan sanad sesudahnya yaitu Ibnu
Majah (w.273H) juga diketahui bersambung dengan pertimbangan yang sama.
c. Hasil Penelitian Sanad
6. Berdasarkan hasil penelitian sanad ketiga jalur itu dapat diketahui bahwa hadits
tentang kewajiban menuntut ilmu adalah bersambung kepada Nabi Muhammad atau dengan
kata lain memiliki sanad muttasil. Hal ini didukung oleh adanya syahid yang bersumber lebih
dari satu orang sahabat periwayat pertama yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, dan
Abi Sa’id al Khudriy. Penilaian dari segi kualitas rijal, hadits ini menempati urutan dibawah
hadits shahih dengan bukti penilaian para kritikus hadits dengan lafal tsiqat, tsiqat ma’mun,
shalih al hadits, shoduq, dan senada. Hanya beberapa periwayat yang dinilai dho’if oleh Dar
Al Qutni menyatakan, Ahmad bin Hanbal menyatakan ma bihi ba’s, Yahya bin Ma’in
menyatakan laisa bi tsiqah, Ali bin Madaniy, Abu Zur’ah menilai dhaif al hadits.
Setelah diadakan penulusuran oleh penulis, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik ini ada penilaian negatif terhadap salah satu periwayat tersebut diatas yaitu Hafsh
bin sulaiman yang dinilai oleh ulama kritikus hadits lemah atau dhoif. Sehingga hadits
tersebut mencapai derajat dhoif yang menurunkan derajat hadits tersebut tetapi para ulama
lain menilai postitif sehingga menggunakan kaidah al akhdzu li al ta’dil (yang diambil
patokan adalah yang menilai positif). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits-hadits
ini dari segi sanad derajatnya dhoif. Tapi karena didukung oleh perawi lain yang tsiqoh dan
adanya dua syahid dari kalangan sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Abi Said Alkhudriy
Kesimpulannya hadits tersebut mencapai derajat Hasan li Ghairihi, sehingga dapat dijadikan
sebagai hujjah atau pegangan.
C. Kritik terhadap Matan
Keshahihan sanad belum menjadikan jaminan bagi keshahihan matan. Sebuah hadits
yang sanadnya shahih muttasil dapat saja memiliki matan yang tidak shahih demikian juga
sebaliknya. Analisa kedua aspek (sanad dan matan) menjadi penting untuk menemukan
validitas dan ontetitas sebuah hadits.18[19]
Jika hadits tentang menuntut ilmu dicermati, maka terdapat perbedaan redaksi matan
atau kalimat yang digunakan oleh masing-masing periwayat hadits. Matan yang diriwayatkan
dari sunan Ibnu Majah ada tambahan hadits yang berbunyi : ك أهله غير عند العلم وواضعمقلد
والذهب واللؤلؤ الجوهر الخنازير
Lihat tabel dibawah ini :
Sunan Ibnu Majah Thabrani Al Qadha’i
7. العلم طلبفريضة العلم طلبفريضة العلم طلبفريضة
مسلم كل على مسلم كل على مسلم كل على
أهله غير عند العلم وواضع
واللؤل الجوهر الخنازير كمقلدؤ
والذهب
Perbedaan redaksi atau lafal yang demikian merupakan sesuatu yang wajar dalam
periwayatan hadits, karena kebanyakan periwayatan hadits dilakukan secara maknawi. Maka
perbedaan lafal hadits menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam periwayatan hadits,
sehingga hadits tentang kewajiban menuntut ilmu tidak terjadi syudzuz (janggal) dan ‘illat
(cacat) disebabkan hanya ada penambahan kalimat yang sifatnya lebih menguatkan dari
makna hadits tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits ini dari segi sanad dan
matan dapat dijadikan sebagai hujjah bagi ajaran islam, karena sanadnya muttasil dan
matannya tidak mengandung syudzuz dan ‘illat.
Dewasa ini masih sering kita temukan beberapa problematika terkait dengan
kewajiban menuntut ilmu sebagaimana yang dibahas dalam hadits ini. Fenomena-fenomena
yang terjadi di kalangan kita sekarang banyak orang memandang sebelah mata terhadap
orang yang tidak berilmu berbeda dengan orang yang berilmu. Orang yang tidak berilmu
cenderung diremehkan, direndahkan dan disepelehkan. Masyarakat pun beranggapan bahwa
tidak ada yang bisa diandalkan dari orang yang tidak berilmu. Namun sebaliknya, orang yang
berilmu selalu ditinggikan, dihormati dan tentunya memiliki kedudukan yang baik. Hal ini
merupakan suatu bukti yang telah Allah SWT tetapkan bahwa Dia akan mengangkat derajat
orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu, menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Di zaman sekarang rata-rata setiap orang sudah memiliki kesadaran untuk menuntut
ilmu karena mereka sudah mengetahui kebutuhan mereka dimasa yang akan datang, akan
tetapi cara mereka untuk menanamkan nilai dari ilmu itu sendiri masih kurang seperti halnya
fenomena yang ada di kalangan kita sekarang, pejabat-pejabat yang tentunya memiliki ilmu
yang cukup luas namun mereka belum bisa mengambil nilai-nilai dari ilmu yang mereka
pelajari atau mungkin saja mereka belum bisa menerapkan ilmu yang mereka miliki sesuai
bidangnya. Contohnya saja realitas yang ada para artis sekarang yang tidak mempunyai bekal
ilmu mengenai politik namun mereka bisa menduduki bangku politisi dikarenakan ketenaran
mereka menjadi salah satu alat untuk memperoleh suara di bidang politisi. Pada akhirnya, apa
yang terjadi? Mereka pun kandas terbelenggu dalam kasus yang tenar seperti sekarang ini
seperti korupsi. Dari kasus tersebut penulis dapat menjelaskan bahwa hadis yang dikaji di sini
tidak hanya sebatas kewajiban menuntut ilmu saja akan tetapi diwajibkan pula mengamalkan
8. bagi dirinya dan orang lain. Dalam hadis ini pula dijelaskan bahwa mengamalkan ilmu itu
juga harus sesuai dengan ahlinya dan tidak menyerahkan kepada yang bukan ahlinya, karena
hal itu merupakan perbuatan yang sia-sia.
Sabda Rasulullah dalam hadis ini sangat jelas pemahamannya, bahwa kita wajib
menuntut ilmu. Yang dimaksud dengan menuntut ilmu untuk masa sekarang adalah menjalani
pendidikan. Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan” ini begitu selaras dengan sebuah pribahasa yang mengatakan “Kalaulah bukan
karena ilmu, maka manusia tak ubahnya seperti binatang”. Peribahasa ini di satu sisi
mengungkapkan perbedaan antara manusia dan hewan dan di sisi lain merupakan sindiran
bagi manusia untuk menuntut dan menguasai ilmu serta mengamalkannya, agar ia tidak
dibodoh-bodohi dan tidak dikatakan seperti binatang.
Pada masa sekarang menuntut ilmu dilaksanakan dengan metode dan sistem yang
ditentukan oleh pemerintah yang hal itu dianggap dapat meraih ilmu dengan baik dan sukses.
Walaupun realitasnya sekarang pendidikan bukanlah sarana untuk meraih ilmu semata, akan
tetapi sebagian dari mereka pendidikan dijadikan sebagai ajang untuk bersuka ria atau
berpesta pora. Hal-hal demikian terkadang menjadikan ilmu disalahgunakan sehingga terjadi
kasus yang dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, hendaknya kita mengambil nilai dari ilmu
yang kita miliki dan memahami tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pada dasarnya
tujuan pendidikan tidak lain untuk memanusiakan manusia dan menjadikan kehidupan kita
lebih baik.
III. Syarah Hadits
A. Penjelasan Istilah Kunci
Kata بَلَط merupakan mashdar dari kata َبَلَط-بلْطَي yang berarti mencari,
meminta19[20], atau berusaha mendapatkan, mencari, meminta, menginginkan.20[21] Dalam
hadits ini kata بَلَط adalah mudhaf karena berdampingan dengan kata العلم yang menjadi
mudhaf ilaih nya. Kata mudhaf dan mudhaf ilaih ini berkedudukan sebagai mubtada’.
Sedangkan kata العلم di sini berarti pengetahuan21[22], ilmu pengetahuan dan sains.22[23]
9. Dalam kamus Munjid bahwa kata بَلَط adalah أخذه و وجوده حاول, oleh karena itu dalam hadis
ini digunakan kata بَلَط karena lebih ditekankan proses mendapatkannya.
Kata فريضة berarti fardlu atau kewajiban.23[24] Kata ini merupakan bentuk kata
sifat musyabihat dari wazan َلعَف-لعْفَي , yaitu kalimat yang mempunyai makna yang tetap.
Adapun menurut Hifni, sifat musyabihat adalah isim yang dibentuk untuk pelaku pekerjan
yang tidak bersifat sebentar. Jika digabungkan sifat musyabihat adalah isim yang dibentuk
untuk pelaku pekerjaan yang masanya lama atau tetap. Ada perbedaan menonjol antara sifat
musyabihat dengan isim fa’il yaitu bahwa sifat musyabihat memiliki masa yang langgeng,
sedangkan isim fa’il memiliki masa sebentar.24[25] Maka dalam hadis ini menggunakan kata
tersebut karena menuntut ilmu merupakan sifat yang wajib bagi siapapun, dimanapun dan
kapanpun tanpa dibatasi ruang dan waktu. Menuntut ilmu diwajibkan bukan hanya untuk
masa yang sebentar namun dalam waktu yang lama. Selanjutnya, kata فريضة dalam kamus
munjid asalnya adalah َضرَف–ضرْفَي , kata فريض juga merupakan sighat mubalaghah yang
wazannya adalah لْيِعَف untuk menunjukkan arti sangat.25[26] Oleh karena itu menuntut ilmu
di sini sangat ditekankan/wajib.
Kata مسلم yang berarti orang islam laki-laki26[27] tanpa menyebutkan kata مسلمات
sebab kata muslim sudah mencakup atau mewakili kata muslimat itu sendiri.
B. Kandungan Pokok Hadits
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan
suatu yang sangat penting bagi manusia dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia
tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu. Bahkan yang menjadikan
manusia memiliki kelebihan diantara makhluk-makhluk Allah yang lain adalah karena
manusia memilki ilmu. Oleh karena itu hadis ini menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu
itu wajib bagi setiap orang muslim dan menjelaskan pula untuk tidak memberikan ilmu
kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang enggan menerima ilmu tidak
akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka akan menertawakannya.
10. Setiap ilmuwan memiliki spesifikasi ilmu sesuai dengan bidangnya. Seseorang yang
berbicara ilmu yang bukan pada ahlinya berarti zalim atau suatu penganiayaan sama halnya
mengenakan kalung pada binatang yang rendah dengan benda yang sangat berharga, tentu
orang akan muak dan menolak hal tersebut.27[28] Sebagaimana tertera dalam hadis orang
yang menyerahkan keilmuan kepada yang bukan ahlinya, seperti orang yang mengalungkan
intan, permata dan emas di leher babi.
Berkaitan dengan hadis مِلْسم ِلك ىَلَع ةَضي ِرَف ِمْلِعْال بَلَط pertama, term ilmu
mengandung makna general yang mencakup keseluruhan pemahaman bahwa pada tingkat
ilmu apapun, seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya lebih jauh. Dari mereka
yang bodoh, pemula maupun para sarjana sekalipun, harus tetap merasa seperti anak kecil
dengan apa yang telah dicapainya. Artinya ia harus terus merasa kurang, tidak lekas puas dan
merasa bahwa dirinya semakin tidak mengetahui banyak hal. Kedua, hadits tersebut
mengindikasikan bahwa seorang muslim tidak akan pernah bisa keluar dan terbebas dari
tanggungjawabnya untuk mencari ilmu. Ketiga, ilmu laksana cahaya, tiada satupun lapangan
pengetahuan yang tercela dan negatif pada dirinya.
Hadits ini telah melahirkan berbagai pembahasan, seperti ilmu apa yang harus dicari
oleh seorang muslim. Para tokoh islam berbeda pendapat dalam hal ini. Karya- karya yang
dapat dirujuk dan membahas masalah ilmu pengetahuan adalah kitab al Fihris karya al
Nadim, Ikhwan al Safa dan Mafatih al Ulum karya Yusuf al Khatib. Kalsifikasi ilmu
pengetahuan dalam Ikhwan al Safa adalah studi-studi keduniaan seperti membaca, menulis,
leksikografi, tata bahasa, pertanian, dsb. Studi-studi religius seperti pengetahuan tentang kitab
suci Alquran dan Hadits, fiqih, tasawuf, dan studi-studi filosofikal seperti matematika, logika,
ilmu berhitung, astronomi, perkembangan jiwa, doktrin teologi-esoterik islam dan pesan-
pesan dari dunia ghaib dan ruh.28[29]
Sedangkan dalam Mafatih al Ulum karya Yusuf al Khatib mengkalsifikasikan ilmu
dalam dua hal: pertama, ilmu-ilmu pengetahuan orisinil yang berasal dari sumber Alquran
dan Hadits serta pertautan dengan keduanya ditambah ilmu lain yang berasal dari islam
murni. Kedua, ilmu pengetahuan eksotik antara lain filsafat, ilmu kedokteran, ilmu
matematika, dan kimia.29[30]Abu Hamid al Ghazali berpendapat bahwa ilmu yang wajib
11. dicari menurut agama adalah terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat islam
yang harus diketahui dengan pasti. Beliau mengklasifikasikan ilmu menjadi dua ilmu agama
dan ilmu non agama. Ilmu agama adalah kelompok ilmu yang diajarkan melalui ajaran nabi
dan wahyu. Sedangkan ilmu non agama adalah kelompok ilmu yang berhubungan dengan
kehidupan manusia. Muhsin Faydh al Kasyani dalam bukunya Manhajjat al Baydha
mengatakan mempelajari hukum islam sesuai dengan kebutuhannya sendiri merupakan
kewajiban perseorangan (wajib‘ain) bagi setiap muslim. Belajar fiqih untuk memenuhi
kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah baginya.30[31]
Shadr Al-Din Syirazi tak sependapat dengan al Ghazali dan Muhsin Faydh al
Kasyani, beliau memberi komentar sehubungan dengan hadits diatas bahwa pada tingkat ilmu
apapun seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya. Makna hadits diatas adalah
setiap muslim tidak akan pernah keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu serta
tidak ada wilayah ilmu pengetahuan atau sains yang tercela dalam dirinya sendiri, karena
ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan.31[32]
Dalam konteks kekinian, Imam Khomeini membagi ilmu dari sisi kemanfaatannya
menjadi tiga jenis ilmu, yakni: pertama, ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan
tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan akhir penciptaan. Kedua, ilmu-ilmu yang
merugikan manusia dan membuat manusia melalaikan kewajiban pokoknya. Ketiga, ilmu-
ilmu yang tidak membawa madharat dan tidak pula membawa manfaat. Kebermanfaatan ilmu
terkait erat dengan kegunaannya dalam mendukung evolusi kemanusiaan manusia menuju
kesempurnaan dirinya. Sampai saat ini, manusia terus menerus berada dalam proses
evolusi.32[33]
Pemahaman dari kalimat مِلْسم ِلك ىَلَع pada hadis ini ditujukan sekaligus untuk laki-
laki dan perempuan, meski tidak disebutkan secara eksplisit. Dengan demikian, Rasulullah
juga berkeinginan untuk memperlakukan kaum perempuan bukan sebagai bawahan laki-laki,
tetapi merupakan mitra sejajar yang dapat menghapuskan perasaan superior pada diri laki-
12. laki dan perasaan inferior33[34] pada pihak perempuan yang selama masa jahili telah
membudaya, mentradisi dan mendarah daging.
Permasalahannya sekarang masih sering dijumpai orang yang berilmu tetapi justru
membahayakan hidup dan tatanan masyarakat. Dalam konteks ini, Al-dzahabi menjelaskan
bahwa meskipun orang yang memiliki ilmu dipandang memiliki derajat lebih tinggi
dibanding sejumlah orang ahli ibadah, bukan berarti bahwa ia terbebas dari kewajiban dan
tanggung jawabnya mengabdi kepada Allah SWT. Karena seorang intelek yang tidak
beriman, akan dapat membawa kehancuran, baik bagi diri maupun sesamanya.34[35]
Berkaitan dengan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu menurut Muhammad Qutb,
bukan hanya sekedar perintah wajib melainkan merupakan sarana ibadah dan taqarub ila
Allah dengan senantiasa menemukan hakekat ilmu. Karenanya, ilmu dalam Islam diberikan,
diambil dan dimuat dengan membawa ruh pengabdian semata serta digunakan untuk
kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat seperti halnya perbuatan fardhu lainnya yang
merupakan sarana agar manusia senantiasa dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sedang pengertian setiap muslim adalah mencakup laki-laki dan perempuan, Muhammad
Athiyah Al Abrasyi berpendapat “Islam has made no distinction between girls and boy in
motters of education”.35[36]
C. Hubungan dengan Ayat atau Hadits
Kata ilm ternyata memang banyak disebut, yaitu sebanyak 103 kali. Tetapi dengan
kata jadiannya (mashdar), ia disebut tak kurang dari 744 kali. Diantara ayat Al quran yang
sejalan dengan hadits tentang kewajiban menuntut ilmu ini adalah ayat yang menjelaskan
tentang diangkatnya martabat yang berilmu36[37], pentingnya pengembangan ilmu37[38],
dan ayat Alquran yang pertama kali diturunkan pun menunujukkan pada perintah mencari
ilmu pengetahuan, yaitu dengan memerintahkan untuk membaca, sebagai kunci ilmu
pengetahuan38[39].
13. Hadits-hadits lain yang terkait dengan penafsiran nabi Muhammad SAW, sangat
banyak. Diantara hadits tentang kewajiban menuntut ilmu َّنِإ َو مِلْسم ِلك ىَلَع ةَضْي ِرَف ِمْلِعْال بَلَط
ا َبِلاَطرْحَبْال ىِف انَتْي ِحْال ىَّتَح ِئْيَش ُّلك هَل رِفْغَتْسَي ِمْلِعْل , pentingnya ilmu pengetahuan يِف َج َخَر ْنَم
َع ِج ْرَي ىَّتَح ِهللا ِلْيِبَس يِف َانَك ِمْلِعْال ِبَلَط. Selain itu, dijelaskan dalam hadits lain bahwa barang
siapa menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju syurga اًمْلِع ِهيِف سِمَتْلَي اًقي ِرَط َكَلَس ْنَم
ِةَّنَجْال ىَلِإ اًقي ِرَط هَل َّاَّلل َلَّهَس
IV. Penutup
A. Kritik Praksis
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diungkapkan adanya implikasi penelitian bahwa
hadits tersebut dapat dijadikan hujjah. Konsekuensi dari hal itu, diwajibkan bagi setiap
muslim wajib menuntut ilmu. Yang dimaksud dengan menuntut ilmu untuk masa sekarang
adalah menjalani pendidikan. Karena dengan pendidikan kita bisa mengenal diri kita. Tidak
hanya itu, pendidikan juga merupakan ruh kehidupan yang akan menutun langkah kita dan
memberi petunjuk arah, serta membangkitkan diri kita ketika kita terjatuh. Hadits “menuntut
ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan” ini begitu selaras dengan
sebuah pribahasa yang mengatakan “Kalaulah bukan karena ilmu, maka manusia tak ubahnya
seperti binatang”. Peribahasa ini di satu sisi mengungkapkan perbedaan antara manusia dan
hewan dan di sisi lain merupakan sindiran bagi manusia untuk menuntut dan menguasai ilmu
serta mengamalkannya, agar ia tidak dibodoh-bodohi dan tidak dikatakan seperti binatang.
Sebenarnya tujuan adanya pendidikan cukup sederhana, yaitu untuk membaca tentang
kehidupan. Kita tahu di kehidupan ini tidak hanya kita yang hadir, akan tetapi masih banyak
di sekitar kita yang senantiasa mengelilingi kehidupan kita, yang harus kita ketahui dan kita
pahami. Itu semua adalah keanekaragaman kehidupan yang tidak mungkin terlepas dari kita.
Oleh sebab itu, tidak ada alat yang canggih untuk membaca tentang semua itu kecuali dengan
ilmu. Dengan demikian, jika kita telah mempunyai bekal yang diperoleh dari pendidikan,
maka kita akan mampu membaca serta memahami tentang kehidupan ini. Sehingga kita
mampu pula menata dan menentukan langkah kita ke mana kita akan mencari arah.
B. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang hadits menuntut ilmu diatas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
14. 1. Berdasarkan ketersambungan sanad, ketsiqohan (keadilan dan kedzabitan), dan tidak adanya
syudzuz dan ‘Illat dalam sanad Ibnu Majah tersebut dalam kategori hadits hasan li ghoirihi
karena dikuatkan oleh perawi yang terkenal dan dikuatkan oleh 2 syahid yaitu Abdullah bin
Mas’ud dan Abi Sa’id Alkhudriy, sehingga derajat hadits ini meningkat.
2. Ditinjau dari segi matan ada perbedaan redaksi atau lafal dalam periwayatan hadits, karena
kebanyakan periwayatan hadits dilakukan secara maknawi. Maka perbedaan lafal hadits
menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam periwayatan hadits, sehingga hadits ini
tidak terjadi syudzuz dan Illat disebabkan hanya ada penambahan kalimat yang sifatnya lebih
menguatkan dari makna hadits tersebut. Hadits ini juga tidak bertentangan dengan Alquran.
3. Dari berbagai definisi keilmuan menurut para ahli, definisi yang cocok dalam konteks
kekinian adalah menurut Imam Khomeini. Imam Khomeini membagi ilmu dari sisi
kemanfaatannya menjadi tiga jenis ilmu, yakni: pertama, ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi
perkembangan tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan akhir penciptaan. Kedua, ilmu-
ilmu yang merugikan manusia dan membuat manusia melalaikan kewajiban pokoknya.
Ketiga, ilmu-ilmu yang tidak membawa madharat dan tidak pula membawa manfaat.
Kebermanfaatan ilmu terkait erat dengan kegunaannya dalam mendukung evolusi
kemanusiaan manusia menuju kesempurnaan dirinya. Sampai saat ini, manusia terus menerus
berada dalam proses evolusi.
4. Setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan wajib menuntut ilmu. Setiap muslim tidak
akan pernah keluar dari tanggungjawabnya untuk mencari ilmu serta tidak ada wilayah
pengetahuan itu yang tercela dalam dirinya sendiri karena ilmu laksana cahaya. Hadis tentang
kewajiban menuntut ilmu bukan hanya sekedar perintah wajib menuntut saja melainkan juga
mengamalkan ilmu tersebut sesuai bidang dan kemampuannya.
5. Hadis ini juga menjelaskan bahwa memberikan ilmu kepada yang bukan ahlinya merupakan
perbuatan yang sia-sia dan hanya akan berakibat kehancuran. Hadis tentang kewajiban
menuntut ilmu ini juga merupakan sarana ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan senantiasa menemukan hakikat ilmu yang sebenarnya. Karena seorang intelek yang
tidak beriman akan dapat membawa kehancuran, baik bagi diri maupun sesamanya.