Hadits Ahad dapat memberikan informasi berupa dugaan, bukan keyakinan mutlak. Hal ini dikarenakan Hadits Ahad memungkinkan terjadinya kesalahan dalam riwayatnya. Beberapa ulama berpendapat demikian berdasarkan adanya perbedaan antara Hadits Ahad dengan Al-Quran dan Hadits Ahad yang saling bertentangan.
5. AKIDAH = KEYAKINAN 100% TIDAK MUNGKIN < 100%
Pembenaran yang bersfat pasti ( dengan menafikan secara
pasti adanya kemungkinan lain ) pembenaran 100%
Pembenaran yang bersifat tidak pasti ( tanpa menafikan
adanya kemungkinan lain ) pembenaran > 50% dan < 100%
Posisi tidak membenarkan juga tidak menafikan 50%
Pembenaran terhadap perkara yang sebenarnya salah secara
tidak pasti > 0% dan < 50%
Posisi tidak tahu sama sekali atau membenarkan secara pasti
sesuatu yang sebenarnya salah 0%
Al-Yaqîn, Al-’Ilm
( keyakinan)
Azh-Zhann
( dugaan )
Asy-Syakk
( keragu-raguan )
Al-Wahm
( fancy )
Al-Jahâlah
( ketidaktahuan )
8. Hadits Ahad
IFADAH HADITS AHAD PERKARA MUKHTALAF SEJAK DULU
Berfaidah Zhann
( dugaan )
Berfaidah ‘Ilm
( keyakinan )
• Mutlak: Ahmad bin Hanbal ( dalam salah satu riwayat
), Haris bin Asad Al-Muhasibiy, Husain bin Ali Al-
Karabisiy, Ibn Hazm Azh-Zhahiriy, dll.
Bersyarat:
• Jika Mutalaqqâtun bil-qabûl: Asy-Syiyraziy, Ibnu
Shalah, Ibnu Taimiyyah, dll.
• Jika Disertai Qarînah: Abu Ishaq An-Nazhzham, Al-
Amidiy, Tajuddiyn Ibn As-Subkiy, dll.
• An-Nu’man bin Tsabit dan Al-Ahnaf, mayoritas Al-
Malikiyyah, Muhammd bin Idris dan Asy-Syafi’iyyah,
Ahmad bin Hanbal ( dalam salah satu riwayat ) dan
Al-Hanabilah Al-Mutaakhkhirun, dll. ( jumhur )
9. PARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD
BERFAIDAH ‘ILM ( YAKIN ) SECARA MUTLAK
10. Ibn Hazm Azh-Zhahiriy (w. 456 H), dan menurut beliau: Abu
Sulaiman, Husain Al-Karabisiy, Haris bin Asad Al-Muhasibiy
juz 1 hlm 119
11. hlm 66
Menurut Al-Imam Tajuddiyn Ibn As-Subkiy (w. 771 H): Al-Imam
Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam sebuah riwayat)
12. PARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT HADITS AHAD TIDAK
BERFAIDAH ‘ILM ( KEYAKINAN ) KECUALI APABILA DISERTAI
QARIYNAH ( INDIKASI )
13. Menurut Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyraziy (w.
476 H): Abu Ishaq An-Nazhzham Al-Mu’taziliy (w. 231 H)
hlm 154
16. PARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD TIDAK
BERFAIDAH ‘ILM ( KEYAKINAN ) KECUALI APABILA MUTALAQQÂTUN
BIL-QABÛL ( DISEPAKATI UMAT UNTUK DITERIMA )
17. Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyraziy (w. 476 H)
(dalam pendapat barunya)
hlm 154
18. Menurut Al-Hafizh An-Nawawi (w. 676 H): Al-Hafizh Abu Amr
Ibn Shalah Asy-Syahrazuriy (w. 643 H)
juz 1 hlm 40
41. hlm 52
Menurut Ibn Qudamah Al-Maqdisiy Al-Hanbaliy (w. 620 H): Al-
Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam salah satu
riwayat), Mayoritas ‘Ulama, dan Hanabilah Mutaakhkhiriyn
42. hlm 53
Riwayat paling menonjol tentang pendapat Al-Imam Ahmad
bin Hambal menurut Sulaiman bin Abdil Qawiy Ath-Thufiy Al-
Hanbaliy (w. 716 H)
44. Al-Imam Shafiyuddiyn Al-Baghdadiy Al-Hanbaliy (w. 739 H),
dan menurut beliau: Al-Imam Ahmad dalam salah satu riwayat,
Mayoritas dan Hanabilah Muta’akhkhiruwn
hlm 48
47. Pendapat Terkuat Pendapat Jumhur ‘Ulama dan Fuqaha:
HADITS AHAD BERFAIDAH ZHANN ( DUGAAN ) TIDAK BERFAIDAH ‘ILM ( KEYAKINAN )
Hadits Ahad berfaidah zhann ( dugaan ) tidak berfaidah ‘ilm ( keyakian ) karena dia
mengandung ihtimâl ( kemungkinan lain ). Sebab para perowi hadits bukan orang
yang ma’shûm ( terbebas dari kesalahan ), tidak sebagaimana para nabi. Mereka
memungkinkan dusta, lupa, lalai, dsb. dalam meriwayatkan. Hadits yang
mengandung kemungkinan lain semacam ini ( sekecil apapun kemungkinan
tersebut ) tidak mungkin dapat menimbulkan keyakinan sebagai kebenaran yang
mutlak. Maksimal derajatnya adalah ghalabatu-zh-zhann ( dugaan kuat ), tidak
sampai derajat yakin.
Lain halnya dengan Hadits Mutawatir, banyaknya jalur periwayatannya ( yang
karenanya mustahil bagi para perawi bersepakat untuk dusta ) menjadikannya
terbebas dari berbagai syubhat, sehingga berfaidah ‘Ilm ( keyakinan ).
50. Keterangan:
Hadits riwayat Muslim tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an surat As-Sajdah [32]: 4*
* Lihat juga Al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, Huwd [11]: 7, Al-Furqan [25]: 59, Qaaf [50]: 38, dan Al-Hadiyd [57]: 4
“Allah lah yang menciptakan
langit dan bumi dan apa yang
ada di antara keduanya dalam
enam hari, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arsy. tidak
ada bagi kamu selain dari
padanya seorang penolongpun
dan tidak (pula) seorang
pemberi syafa'at. Maka Apakah
kamu tidak memperhatikan?.”
51. Hlm 674
• Pada prinsipnya, nash-nash syara’ tidak mungkin saling bertentangan karena
semuanya berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Allah swt.
• Terjadinya pertentangan antara Al-Qur’an dan Hadits Ahad (yang tidak mungkin
dikompromikan), membuktikan secara pasti bahwa Hadits Ahad memungkinkan untuk
salah, karena Al-Qur’an tidak mungkin salah, sebab dia diriwayatkan secara
mutawatir.
52. Al-Imam ‘Alauddiyn As-Samarqandiy (w. 450 H): “Adapun
apabila dia (Khabar Ahad) menyelisihi salah satu dari pokok-
pokok ini (Al-Qur’an, Hadits Mutawatir, dan Ijma’), maka wajib
ditolak atau ditakwil untuk mengkompromikan keduanya.”
hlm 631
53. Contoh 2: Hadits Jibril tentang Iman, Islam, dan Ihsan
Hadits Nomor 50
60. Hadits Jalan Periwayatan Iman Islam
R. Bukhari
Nomor 50 &
4777
Dari Abu Hurairah ra
5: Allah, Malaikat, Rasul-rasul,
Perjumpaan, dan Hari Kebangkitan
4: Menyembah dan tidak menyekutukan
Allah, Shalat, Zakat, dan Shiyam
Ramadhan
R. Muslim
Nomor 8
Dari Umar bin
Khaththab ra
6: Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-
rasul, Hari Akhir, dan Qadar
5: Dua kalimat syahadat, Shalat, Zakat,
Shiyam Ramadhan, dan Haji
R. Muslim
Nomor 9
Dari Abu Hurairah ra
6: Allah, Malaikat, Kitab, Perjumpaan,
Rasul-rasul, dan Hari Kebangkitan
4: Menyembah dan tidak menyekutukan
Allah, Shalat, Zakat, dan Shiyam
Ramadhan
R. Muslim
Nomor 10
Dari Abu Hurairah ra
7: Allah, Malaikat, Kitab, Perjumpaan,
Rasul-rasul, Hari kebangkitan, dan
Qadar
4: Tidak menyekutukan Allah, Shalat,
Zakat, dan Shiyam Ramadhan
R. Ahmad
Nomor 184
Dari Umar bin
Khaththab ra
6: Allah, Malaikat, Surga, Neraka, Hari
Kebangkitan, dan Qadar
5: Dua kalimat syahadat, Shalat, Zakat,
Shiyam, dan Haji
R. Ibn Hibban
Nomor 173
Dari Umar bin
Khaththab ra
9: Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-
rasul, Surga, Neraka, Hisab, Hari
Kebangkitan, dan Qadar
7: Dua kalimat syahadat, Shalat, Zakat,
Haji dan Umrah, Mandi besar,
Menyempurnakan wudhu, dan Shiyam
Ramadhan
61. Keterangan:
Semua Hadits Ahad tersebut Shahih, menceritakan satu kejadian yang sama, yaitu
kedatangan malaikat Jibril as kepada Rasulullah saw yang sedang berada di tengah-tengah
para sahabat, mengajarkan apa itu Iman, Islam, dan Ihsan, kapan Kiamat dan apa tanda-
tandanya (dalam bentuk pertanyaan).
Adanya pemberitaan yang berbeda oleh para perawi menunjukkan bahwa kebenaran Hadits
Ahad tidak bersifat pasti. Kita tidak bisa memastikan mana hadits yang benar dan tidak
pula berani diambil sumpah atasnya, karena membenarkan secara pasti salah satu dari
hadits-hadits tersebut berarti menganggap yang lainnya tidak benar. Dan jika
membenarkan secara pasti kesemuanya berarti kita meyakini bahwa kejadian tersebut
terjadi berkali-kali, yang mana di setiap kalinya Rasulullah saw memberi jawaban yang
berbeda untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama, dan hal itu tidak mungkin.
Apabila memang Hadits Ahad berfaidah ‘ilm alias kebenarannya bersifat pasti, seharusnya
perbedaan di atas tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.
64. Tingkatan
langit
Nama Para Nabi yang dijumpai Rasulullah saw saat Mi’raj
Versi Hadits Bukhari Nomor 3207 Versi Hadits Bukhari Nomor 7517
Langit Dunia Nabi Adam as (perawi tidak menyebutkan)
Langit 2 Nabi ‘Isa dan Yahya as Nabi Idris as
Langit 3 Nabi Yusuf as (perawi tidak menyebutkan)
Langit 4 Nabi Idris as Nabi Harun as
Langit 5 Nabi Harun as (perawi tidak hafal namanya)
Langit 6 Nabi Musa as Nabi Ibrahim as
Langit 7 Nabi Ibrahim as Nabi Musa as
65. Keterangan:
Dua hadits riwayat Al-Bukhari tersebut menceritakan satu kejadian yang sama, yaitu
perjalanan mi’râj Rasulullah saw menuju sidratu-l-muntahâ.
Adanya pemberitaan yang berbeda oleh para perawi menunjukkan bahwa kebenaran
Hadits Ahad tidak bersifat pasti. Kita tidak bisa memastikan mana yang benar dari dua
hadits shahih yang berbeda tersebut dan kita juga tidak berani diambil sumpah atasnya.
Karena membenarkan secara pasti salah satu dari dua hadits tersebut berarti menganggap
satunya lagi tidak benar. Dan jika membenarkan secara pasti kedua-duanya berarti kita
meyakini bahwa kejadian tersebut terjadi lebih dari satu kali, di mana di setiap kalinya
Rasulullah saw bertemu dengan nabi-nabi berbeda di tingkatan-tingkatan langit yang
sama, dan hal itu (mi’raj dua kali) tidak pernah dikenal di kalangan ulama baik salaf
maupun khalaf.
Apabila memang Hadits Ahad berfaidah ‘ilm alias kebenarannya bersifat pasti, seharusnya
perbedaan di atas tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.
66. Contoh 4: Tidak diakuinya riwayat Ahad dalam
menetapkan ayat-ayat Al-Qur’an
68. Keterangan:
Jika memang Hadits Ahad berfaidah ‘ilm ( keyakinan ) alias kebenarannya bersifat pasti,
niscaya para sahabat tidak akan berani menolak ayat-ayat yang diriwayatkan secara Ahad
saat berlangsungnya proses pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an di masa
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Atau, niscaya sebagaian dari mereka akan
menentang penolakan yang dilakukan Umar bin Khaththab ra. terhadap ayat-ayat yang
diriwayatkan secara Ahad tersebut. Kenyataannya tidak demikian.
Hal tersebut sekaligus membuktikan adanya ijma’ para Sahabat Nabi dalam bahwasannya
riwayat Ahad mengandung kemungkinkan untuk salah, karenanya tidak bisa digunakan
sebagai jalan dalam menetapkan perkara yang bersifat pasti ( Al-Qur’an pasti firman Allah
swt. )
70. Perkara Akidah menuntut pembenaran yang bersifat pasti ( 100% ),
berdasarkan:
1. Al-Qur’an surat An-Najm [53]: 23
“Itu tidak lain hanyalah Nama-nama
yang kamu dan bapak-bapak kamu
mengadakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun
untuk (menyembah) nya. mereka
tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan, dan apa yang
diingini oleh hawa nafsu mereka dan
Sesungguhnya telah datang petunjuk
kepada mereka dari Tuhan mereka.”
71. 2. Al-Qur’an surat An-Najm [53]: 28
“Dan mereka tidak mempunyai
sesuatu pengetahuanpun
tentang itu. mereka tidak lain
hanyalah mengikuti
persangkaan sedang
Sesungguhnya persangkaan itu
tiada berfaedah sedikitpun
terhadap kebenaran.”
72. 3. Al-Qur’an surat Yunus [53]: 66
“Ingatlah, Sesungguhnya
kepunyaan Allah semua yang ada
di langit dan semua yang ada di
bumi. dan orang-orang yang
menyeru sekutu-sekutu selain
Allah, tidaklah mengikuti (suatu
keyakinan). mereka tidak
mengikuti kecuali prasangka
belaka, dan mereka hanyalah
menduga-duga.”
73. Ayat-ayat tersebut berisi celaan terhadap keyakinan orang-orang kafir
Quraisy yang hanya berdasarkan dugaan bukan kepastian. Alif-lâm ta’riyf
pada lafazh az-zhann di bagian ( شيئا الحق من يغني ال الظن وإن ) menandakan
keumuman, sehingga berlaku untuk semua macam zhann.
Maka dari situ timbullah hukum: Haram menggunakan Hadits Ahad
sebagai hujjah dalam perkara Keyakinan/Akidah. Yang menjadi qariynah (
indikasi ) keharaman nya adalah adanya unsur dzamm ( celaan ) terhadap
keyakinan yang berdasarkan dugaan ( ِبَّتَي ْنِإ ٍمْلِع ْنِم ِهِب ْمُهَل اَمَوَّنِإَو َّنَّظال ََّّلِإ َونُع
ِقَحْلا َنِم يِنْغُي ََّل َّنَّظالًائْيَش ).
74. PERKATAAN PARA ‘ULAMA BAHWA HADITS AHAD
TIDAK BISA DIGUNAKAN SEBAGAI HUJJAH DALAM
PERKARA KEYAKINAN ( AKIDAH )
75. Al-Imam ‘Alauddiyn As-Samarqandiy (w. 450 H): “Adapun
apabila dia (Khabar Ahad) berkenaan dengan perkara-
perkara akidah –yaitu masalah-masalah Kalam– maka dia
tidak bisa menjadi hujjah.”
hlm 632
76. Al-Hafizh Abu Bakar Al-Baihaqiy (w. 458 H): “Dikarenakan
aspek ini, yaitu adanya ihtimal ( kemungkinan lain ), maka
para ulama ahli nazhar yang semadzhab dengan kami,
meninggalkan berhujjah dengan Hadits Ahad dalam perkara
sifat Allah swt.”
hlm 335
77. Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Khathiyb Al-Baghdadiy (w. 463 H): “Khabar Ahad tidak diterima
dalam perkara agama yang menuntut keyakinan dan kepastian.”
hlm 432
78. Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyraziy (w. 476 H): “… Bahwa
dalam perkara ushul (seperti Tauhid dan Penetapan Sifat-sifat Allah swt)
dalil-dalil nya harus logis, yang mengharuskan keyakinan serta
menghilangkan sangsi, maka kami tidak menggunakan Khabar Ahad.”
juz 2 hlm 601
79. Al-Imam Abu Al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Hambaliy (w.
510 H): “… jalan penetapan Al-Qur’an dan Ushuluddiyn (Akidah)
adalah keyakinan, sementara keyakinan tidak bisa timbul dari
Khabar Ahad.”
juz 3 hlm 27-28
80. Al-Imam Muhammad bin Abdil Hamiyd Al-Asmandiy (w. 552
H): “Tidak boleh menerima Khabar Ahad (sebagai hujjah)
dalam perkara-perkara akidah.”
hlm 406
81. Al-Imam Abu Ats-Tsana’Al-Hanafiy (w. 6.. H): “Hadits Ahad tidak bisa
dijadikan hujjah dalam masalah-masalah akidah, karena masalah-
masalah akidah dibangun berdasarkan keyakinan yang pasti, sementara
Khabar Ahad (hanya) menimbulkan kebenaran pada umumnya dan
dugaan kuat , tidak sampai kebenaran yang bersifat pasti.”
hlm 148
82. Al-Imam Al-Mufassir Abu Bakr Al-Qurthubiy (w. 671 H): “Ayat
tersebut (Yunus 36) menunjukkan bahwasannya tidak cukup
dalil zhanniy (untuk dijadikan dasar) dalam perkara-perkara
akidah.”
juz 10 hlm 502
83. Syaikhul-Islaam Ahmad bin Abdil Haliym Ibn Taimiyyah (w. 728
H): “Bagaimana bisa pokok agama yang keimanan tidak sah
tanpanya itu ditetapkan berdasaran khabar Ahad?”
juz 4 hlm 95
84. Al-Imam Syaikhu-l-Islam Taqiyuddiyn As-Subkiy (w. 756 H): “Hal Qath’iy
dan Mutawatir bukan merupakan syaratnya, bahkan tatkala suatu hadits
shahih meski hanya zhahirnya, sementara dia adalah khabar Ahad, maka
boleh dijadikan dasar dalam perkara itu (ru’yatu-Llaah), karena perkara itu
tidak termasuk dalam masalah akidah yang menuntut syarat kepastian.”
hlm 495-496
85. Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Asy-Syathibiy (w. 790 H): “Bahwasannya
jika memang dalil zhanniy boleh dijadikan dasar ushul fiqh maka
semestinya dia juga boleh dijadikan dasar ushuluddiyn, namun
menurut konsensus ulama tidak demikian.”
juz 1 hlm 20
86. Al-’Allaamah Sa’du-d-Diyn At-Taftazaniy (w. 791 H): “Dalil
zhanniy tidak diperhitungkan dalam bab akidah, khususnya jika
mencakup kontradiksi antar riwayat. …”
hlm 89
87. Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani (w. 852 H): “(Al-Bukhari) menggiring
hadits-hadits tentang sifat suci Allah dengan menjadikan setiap hadits
menjadi satu bab lalu memperkuatnya dengan ayat Al-Qur’an, untuk
menunjukkan bahwa hadits-hadits tersebut tidak termasuk khabar Ahad
berdasarkan turunnya, demi tidak berhujjah dengannya (Khabar Ahad)
dalam perkara-perkara akidah.”
juz 13 hlm 372
88. Al-Imam Zainuddiyn bin Ibrahim Ibn Najiym (w. 970 H):
“Penjelasan tentang tempat digunakannya Khabar Ahad maka di
luar perkara-perkara akidah, karena sesungguhnya perkara-
perkara akidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan Khabar Ahad
lantaran keharusannya dibangun berdasarkan keyakinan.”
hlm 293
89. Al-’Allamah ‘Ali Al-Qariy (w. 1014 H): “… dalam bab Akidah tidak
diterima dalil-dalil zhanniy, tidak cukup (berhujjah) dengan
riwayat ahad yaitu hadits lemah dan riwayat yang tidak jelas
(untuk menetapkan akidah orang tua nabi Muhammad saw).”
hlm 62-63
90. Al-Imam Al-Muhaqqiq Muhammad bin Ahmad As-Safariniy Al-
Hambaliy (w. 1188 H): “Dalil zhanniy tidak diperhitungkan dalam
perkara-perkara akidah, akan tetapi diperhitungkan dalam
perkara-perkara ‘amaliyah (syari’ah).”
juz 1 hlm 5
92. Syubhat:
“Nabi dan Rasul diutus dalam jumlah yang tidak mencapai batas mutawatir, tapi umat manusia wajib
mengikuti ajaran yang mereka bawa seluruhnya ( akidah dan syari’ah ). Itu menunjukkan bahwa
periwayatan secara Ahad telah ditetapkan oleh Allah swt untuk diterima tanpa membedakan antara
akidah dan syari’ah?”
Jawaban:
Yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah bagaimana memastikan tsubut suatu khabar. Nabi dan
rasul memang diutus tidak dalam jumlah mutawatir, tapi untuk membuktikan kepastian bahwa
mereka adalah benar-benar utusan Allah swt, mereka dibekali mu’jizat, dan untuk menjamin
kemurnian ajaran yang mereka sampaikan, mereka diberi sifat ‘ishmah ( terjaga dari kesalahan ).
Jika dua perkara di atas ( mu’jizat dan sifat ‘ishmah ) ada pada diri para perawi hadits, niscaya semua
khabar yang mereka riwayatkan berfaidah ‘ilm ( keyakinan ), sekalipun berupa khabar Ahad. Tapi
pada kenyataannnya tidak demikian dan tidak mungkin demikian. Para perawi hadits tidak ma’shum
dan karenanya kebenaran riwayat mereka yang Ahad tidak bersifat pasti. Perkara yang bersifat tidak
pasti semacam ini tidak mungkin bisa dijadikan landasan bagi perkara yang menuntut keyakinan
pasti ( akidah ).
93. Syubhat:
“Bukankah Rasulullah saw mengutus para sahabat untuk menyampaikan, mendakwahkan, atau
mengajarkan Islam (akidah dan syari’ahnya) dalam jumlah yang tidak mencapai batas mutawatir? Itu
bertanda bahwa Rasulullah saw sendiri menyepakati berlakunya hadits ahad dalam perkara akidah.”
Jawaban:
1. Perlu dibedakan antara aktivitas Tabliygh, Da’wah, dan Ta’liym, dengan aktivitas Tahqiyq
(pemastian). Aktivitas Tabliygh, Da’wah, dan Ta’liym tidak memiliki ketentuan syar’iy terkait dengan
jumlah pelakunya, artinya dia boleh dilakukan secara individu maupun bersama-sama. Sedangkan
dalam aktivitas Tahqiyq (yang dilakukan oleh pihak penerima khabar) secara ilmiyah terdapat
ketentuan terkait dengan sanad, di mana dengan ketentuan itulah dapat diketahui kapan kebenaran
hadits bersifat pasti, dan kapan tidak.
2. Aktivitas tahqiyq pernah dilakukan Rasulullah saw dalam hadits Dzul-Yadaiyn; dan para sahabat,
diantranya Abu Bakar dalam hadits tentang bagian waris nenek, Umar bin Khaththab dalam hadits
isti’dzan. Padahal ketiganya dalam perkara syari’at, untuk perkara akidah tentunya lebih utama.
3. Menurut para ulama bahwa hadiyts ‘aalin (dengan jalur periwayatan pendek) itu lebih kuat daripada
hadiyts naazil (dengan jalur periwayatan panjang), maka sudah barangtentu pemberitaan secara
ahad di masa Nabi saw dan para Sahabat Beliau jauh lebih kuat daripada yang kita kenal sebagai
Hadits Ahad saat ini. Maka tidak bisa mengqiyaskan antara ini dan itu.
97. Syubhat:
“Bukankah syara’ membolehkan menerima persaksian yang jumlahnya antara 1, 2, dan 4? dan itu
bukan merupakan jumlah yang mencapai mutawatir. Berarti syara’ membolehkan menerima
pemberitaan secara Ahad.”
Jawaban:
1. Ar-riwâyah (periwayatan) berbeda dengan asy-syahâdah (persaksian). Ketentuan persaksian yang
tidak ada pada periwayatan: tidak diterima persaksian tanpa al-mu’aayanah aw as-samaa’al-
mubaasyir (melihat atau mendengar perkara secara langsung/tidak melalui pemberitaan orang
lain); tidak boleh diambil dari anak, bapak, saudara, dan musuh; memenuhi jumlah yang telah
ditetapkan; dan hanya disampaikan di majelis Qadhiy. Syarat periwayatan yang tidak ada pada
persaksian: adh-dhabt (memiliki keterjagaan hafalan dan atau tulisan). Mengqiyaskan persaksian
dengan periwayatan adalah pengqiyasan dengan adanya pembeda (al-qiyaas ma’a-l-faariq), dan
hal tersebut tidak dibenarkan.
2. Dari aspek tsubuwt-nya khabar, jumlah persaksian ditetapkan oleh syara’ bukan dalam rangka
untuk mendapatkan ke-qath’iy-an (kepastian) khabar, tapi untuk mengantarkan seorang qadhi
menetapkan perkara dengan sah secara syar’iy (meski belum tentu benar secara pasti). Nabi saw
bersabda: … aqdhiy lahu ‘alaa nahwi maa asma’ (… aku menetapkan baginya berdasarkan apa
yang aku dengar), bukan aku menetapkan baginya berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi.
99. Syubhat:
“Kaum muslimin di Quba’ menerima khabar ahad pada saat mereka shalat shubuh terkait
pemidahan qiblat dari Masjidi-l-Aqsha menuju Masjidi-l-Haram sehingga mereka
mengubah arah shalat seketika itu juga. Rasulullah saw yang tahu hal tersebut dan
mendiamkan bertanda beliau setuju atas penerimaan terhadap khabar ahad.”
Jawaban:
Ketentuan-ketentuan di dalam amalan Shalat (baik gerakan maupun bacaan) termasuk
bab syari’at, sehingga penetapan atasnya tidak dibatasi hanya berdasarkan nash
mutawatir saja, melainkan juga menerima nash ahad. Termasuk dalam ketentuan shalat
adalah menghadap qiblat, maka penerimaan penduduk Quba’ di situ baru menunjukkan
wajibnya menerima khabar Ahad dalam perkara syari’at, belum menunjukkan penerimaan
terhadap Khabar Ahad dalam perkara Akidah.
100. Syubhat:
“Bukankah dalam mengamalkan syari’at juga harus berdasarkan keyakinan?.”
Jawaban:
Tidak semua amalan menuntut untuk disertai keyakinan, karena fakta amalan ada yang
berdasarkan nash qath’iy, dan ada yang berdasarkan nash zhanniy.
Untuk amalan yang berdasarkan nash qath’iy secara tsubut, selama dilalah-nya juga
qath’iy maka amalan tersebut diyakini sebagai al-ma’luwm minad-diyn bidh-dharuwrah,
seperti syaria’t shalat, zakat, puasa dan haji. Mengingkari syari’at-syari’at tersebut
dihukumi kafir, karena mengingkari perkara qath’iy.
Untuk amalan yang berdasarkan nash zhanniy ( zhanniy tsubut dengan qath’iy dilalah,
qath’iy tsubut dengan zhanniy dilalah, atau zhanniy tsubut dan dilalah secara bersamaan
), maka pengamalannya tidak bisa disertai keyakinan, melainkan cukup berdasarkan
dugaan kuat sebagai pendapat yang rajih ( lebih kuat dari yang lain ), tanpa menafikan
adanya kemungkinan pendapat lain yang benar. Perselisihan pendapat di dalamnya
bukan wilayah pengkafiran.
102. KONSEKWENSI MENGANGGAP HADITS AHAD BERFAEDAH ‘ILM
• Mengakui keberadaan pribadi-pribadi ma’shum (terbebas dari kesalahan) selain para
nabi dan rasul, yaitu para perawi tsiqah. Karena menganggap periwayatan mereka
secara ahad berfaidah benar secara pasti.
• Menganggap Al-Qur’an yang ada saat ini tidak lengkap, karena tidak menghimpun ayat-
ayat yang diriwayatkan secara Ahad padahal semuanya dianggap pasti firman Allah
swt.
• Membenarkan nasakh terhadap Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir dengan Hadits Ahad,
alasannya karena ketiganya sama-sama bersifat pasti.
• Membuka peluang ikhtilaf yang sangat tajam di wilayah ushul, di mana perbedaan jenis
ini bisa menimbulkan klaim kafir, sesat, atau fasik, tidak seperti perbedaan di wilayah
cabang syari’ah. Mengingat fakta Hadits Ahad tidak sedikit yang bersifat kontradiktif.
• Menganggap orang yang mengingkari Hadits Ahad sama seperti mengingkari Hadits
Mutawatir. Di mana para ‘ulama sepakat, ingkar terhadap hadits mutawatir berarti kafir.
104. SIKAP TERHADAP HADITS AHAD TERKAIT PEMBENARAN
• Apabila Hadits Ahad bertentangan dengan nash qath’iy (baik Al-Qur’an maupun
Hadits Mutawatir), maka wajib ditolak.
• Apabila Hadits Ahad saling bertentangan dengan sesamanya, dan tidak dapat
diketahui mana yang lebih kuat (yang paling mendekati kebenaran), maka sikap
tawqquf lebih utama (tidak membenarkan semua dan tidak pula mengingkari
semua), karena tidak mungkin semuanya benar, dan bahkan semuanya
memungkinkan untuk salah. Namun apabila dapat diketahui, maka yang paling
kuat dibenarkan tanpa bisa meyakininya.
• Apabila Hadits Ahad tidak bertentangan dengan yang lain, baik jalur
periwayatannya berjumlah sedikit maupun banyak, maka dibenarkan tanpa bisa
meyakininya.
HADITS AHAD HARAM DIGUNAKAN SEBAGAI HUJJAH DALAM PERKARA AKIDAH
KARENA AKIDAH MENUNTUT KEYAKINAN, SEMENTARA HADITS AHAD TIDAK
MENIMBULKAN KEYAKINAN. DIA HANYA SEBATAS MENIMBULKAN PEMBENARAN.
107. MANHAJ TARJIH MUHAMMADIYAH:
DALIL MASALAH AKIDAH HARUS MUTAWATIR
“Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah*: …, 5. Di dalam masalah aqidah ( tauhid ),
hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir. …”
(Sumber: Manhaj Tarjih Muhammadiyah, oleh Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, hlm 13, lihat juga:
http://muhammadiyahmalang.blogspot.com/2010/02/manhaj-tarjih-muhammadiyah.html)
“…, tentang tanda-tanda hari kiamat, kalau tanda-tanda itu diterangkan oleh dalil-dalil
al-Qur’an dan hadis-hadis yang mutawatir, maka Muhammadiyah meyakininya, karena
sesuai dengan manhaj yang dipegang Muhammadiyah, menyangkut soal i’tiqad
(keyakinan), dalilnya harus mutawatir. …”
(Sumber: http://www.fatwatarjih.com/2012/06/itiqad-muhammadiyah-tentang-hari-kiamat.html)
___________________
* Merupakan Rumusan Majlis Tarjih Muhammadiyah 1929, dan tidak tidak ada perubahan pada Munas Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 di Jakarta.