Bab II membahas bangunan dan fasilitas penunjang di masjid seperti minbar, mihrab, menara, kubah, dan toilet. Ada perbedaan pendapat ulama tentang hukum keberadaan beberapa fasilitas tersebut di masjid, namun sebagian besar dihukumi boleh atau sunnah.
2. DAFTAR ISI
Bab I: Masjid dalam Islam
Pengertian Masjid
Masjid Jami’
Kedudukan Masjid dalam Islam
Hukum Mendirikan Masjid di Daerah Islam
Motivasi dan Fungsi Pembangunan Masjid
1. Sebagai media memperoleh pahala besar
2. Masjid adalah pusat ilmu
3. Masjid sebagai Baitul Mal
4. Masjid sebagai tempat pencetakan uang (dar al-
dharb)
5. Masjid sebagai benteng dan tempat perlindungan
6. Masjid sebagai tempat pengadilan
7. Masjid sebagai tempat penyediaan air minum
8. Masjid tempat berdiskusi dan penetapan hukum
9. Masjid sebagai pusat informasi
10. Masjid sebagai pusat baca
Syarat-Syarat Pembangunan Masjid
Bab II: Bangunan dan Fasilitas
Penunjang di Masjid
Minbar
Mihrab
Menara
Kubah
Bangunan atau Lahan (Rahbah) di
Sekitar Masjid
Toilet dan Tempat Wudhu
Taman di Halaman Masjid
Hiasan Masjid
Bagian yang Dihukumi Masjid
3. Bab III: Hukum Seputar Masjid
A. Wakaf Masjid
Tanah yang Diwakafkan Keluar dari Kepemilikan
Pribadi
Pemberian Izin, Merupakan Wakaf?
Keabsahan Wakaf Tidak Tergantung pada
Keputusan Pemerintah
Mewakafkan Satu Lantai di Gedung Bertingkat
Mewakafkan Tenda Sebagai Masjid
Menyewakan Masjid atau Bagian Masjid
Wasiat untuk Masjid
Wakaf dari Orang Kafir
Menjual Barang Wakaf
Uang Kotak Amal
Uang Masjid Untuk Bisyarah Khatib Shalat Jum’at
Memindah al-Qur’an Wakaf
Uang Masjid untuk Madrasah
Al-Qur’an Wakaf di Masjid
Masjid Terkena Pelebaran Jalan
Meminjamkan Barang Wakaf
Barang Wakaf Dibakar
Wakaf Bersyarat
Memindah Bagian dari Masjid
Membangun Masjid Bukan di Tanah Wakaf
Menukar Tanah Wakaf untuk Masjid dengan Tanah
yang Lebih Banyak Manfaatnya
Uang Wakaf untuk Pembangunan Masjid
Digunakan Membiayai Pekerjaan Bangunan
Memungut Derma untuk Mendirikan Masjid yang
Akan Dibangun
Pengeras Suara Masjid untuk Pengumuman
Inventarisasi Kantor yang Dibeli dengan Uang
Sumbangan dengan Maksud Wakaf
Kewakafan Alat-Alat Masjid yang Sudah Rusak
Membangun Gedung Madrasah di Tanah yang
Diwakafkan untuk Masjid
Memberi Nama Masjid
Memberikan Zakat kepada Masjid
Shalat di Masjid yang Dibangun dari Dana Haram
Kas Masjid Dinamakan Baitul Mal
Pencari Biaya Masjid dapat 10 %
Kotak Amal Ketika Khutbah
Menara Masjid Untuk BTS
4. B. Membangun Masjid Lebih
dari Satu di Satu Daerah
C. Kiblat Masjid
D. Pendirian Masjid di
Gedung Tinggi
E. Beberapa Aktifitas di Masjid
I’tikaf
Mengajar Anak Kecil di Masjid
Bersuara Keras di Masjid
Pelaksanaan Eksekusi di Masjid
Makan dan Minum di Masjid
Bernyanyi, Bertepuk Tangan,
dan Menari di Masjid
Shalat Janazah di Masjid
Tempat Tinggal dan Bangunan di
Masjid
Akad Nikah di Masjid
Meludah di Masjid
Jual Beli di Masjid
5. Pengertian Masjid
• Menurut bahasa, masjid artinya adalah tempat
sujud.
• Menurut istilah, Madzhab Hanafi dan Syafi’I
menjelaskan, masjid adalah tempat yang diwakafkan
untuk digunakan shalat secara berjama’ah.
• Dengan demikian, setiap masjid pasti merupakan
tempat yang diwakafkan. Namun tidak semua
tempat yang diwakafkan untuk shalat dapat disebut
sebagai masjid. Oleh karena itu, agar setiap tempat
yang diwakafkan untuk shalat dapat dihukumi
sebagai masjid, harus ada niat tertentu, yaitu niat
menjadikannya masjid.
6. Masjid Jami’
• Menurut bahasa, menurut Ibnu Manzhur,
masjid jami’ adalah tempat yang dapat
menghimpun jama’ahnya.Dinamakan jami’,
karena tempat ini menghimpun (jama’a) umat
untuk waktu tertentu.
• Menurut istilah fikih, masjid jami’ adalah
masjid yang dipergunakan untuk shalat Jum’at.
• Setiap jami’ pasti masjid, dan tidak setiap masjid
berfungsi sebagai jami’, karena jami’ adalah
tempat yang digunakan untuk shalat jum’at dan
shalat id (al-Zarkasyi)
7. Hukum Mendirikan Masjid di Daerah Islam
Mendirikan masjid di kota, desa, dan lokasi
tertentu sesuai kebutuhan hukumnya adalah
fardhu kifayah. Sedang ulama lain
mengatakan, hukum mendirikan masjid itu
hukumnya sunnah muakkadah (sangat
dianjurkan).
8. Syarat-Syarat Pembangunan Masjid
Pertama, masjid tersebut berada di tengah desa, kota, atau
daerah tertentu.
Kedua, memiliki akses jalan yang mudah.
Ketiga, bangunan masjid menghadap kiblat.
Keempat, masjid tidak boleh dihiasi gambar dan patung.
Kelima, terkait kuburan di dalam masjid, terdapat tiga
kemungkinan, yaitu:
(1) Masjid dibangun di atas kuburan.
(2) Jenazah dimakamkan di dalam masjid
(3) Kuburan berada di dalam masjid, sebagai dampak perluasan.
Keenam, materi bangunan masjid harus suci.
9. Bab II
Bangunan dan Fasilitas Penunjang di Masjid
Minbar
• Menurut bahasa, minbar adalah
sesuatu yang ditinggikan.
• Menurut istilah, minbar adalah tempat
naiknya khatib atau penceramah di
masjid.
• Para fukaha (yuris) sepakat bahwa
keberadaan minbar ini hukumnya
sunnah, sebagaimana khutbah dan
duduk di atas minbar sebelum
memulai khutbah hukumnya juga
sunnah. Dianjurkan, minbar ini
ditempatkan di sisi kanan mihrab dari
arah jama’ah shalat. Ulama madzhab
Syafi’i menambahkan, ukuran minbar
yang terlalu besar, yang membuat
sempit tempat shalat dan bangunan
masjid memang tidak luas, hukumnya
makruh.
10. Mihrab
Menurut bahasa, mihrab adalah ruang yang tinggi,
tempat duduk, tempat yang mulia di suatu
bangunan atau rumah.
Menurut istilah, mihrab adalah tempat berongga
yang berada di dinding masjid, tempat imam
dalam shalat, dan selalu menghadap kiblat.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum
mihrab ini.
Ulama mahab Hanbali berpendapat, keberadaan
mihrab dalam masjid hukumnya boleh (mubah).
Menurut Imam Ahmad, keberadaan mihrab ini
hukumnya dianjurkan (mustahab).
Jalaluddin al-Suyuthi al-Syafi’I menghukuminya
haram.
ulama madzhab Hanafi dan Maliki
memperbolehkannya.
Al-Zarkasyi juga menegaskan, pendapat yang
masyhur, penggunaan mihrab hukumnya boleh,
tidak makruh, dan umat Islam melakukannya,
tanpa ada yang mengingkari.
11. Menara
Menara juga disebut dengan makdzanah atau
shauma’ah. Makdzanah adalah alat atau tempat
untuk mengumandangkan adzan. Sedangkan kata
shauma’ah, artinya adalah tiang yang tinggi (al-
burj al-‘aly).
Kata manarah (menara), menurut Fairuz Abadi,
berasal dari manurah, tempat perapian, seperti
manar yang artinya adalah penanda.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum
menara, setidaknya dalam dua pendapat:
Pertama, keberadaan menara di masjid adalah
bid’ah yang haram, atau minimal makruh.
Kedua, menurut mayoritas ulama, keberadaan
menara di masjid hukumnya mubah, karena
merupakan bagian dari syi’ar.
12. Apakah menara dihukumi masjid, sehingga
berlaku hukum dan etika masjid?
• Apakah menara dihukumi masjidApakah menara dihukumi masjid, sehingga berlaku hukum dan etika
masjid?, sehingga berlaku hukum danApakah menara dihukumi masjid, sehingga berlaku hukum dan
etika masjid? etApakah menara dihukumi masjid, sehingga berlaku hukum dan etika masjid?ika masjid?
Apakah menara dihukumi masjid, sehingga berlakApakah menara dihukumi masjid, sehingga berlaku
hukum dan etika masjid?u hukum dan etika masjApakah menara dihukumi masjid, sehingga berlaku
hukum dan etika masjid?id?
13. Kubah
Al-Samhudi menjelaskan perbedaan pendapat di
antara ulama mengenai hal ini.
Kelompok pertama melarangnya, karena kubah
dinilai sebagai bangunan yang tidak perlu. Nabi
bersabda,
َم َّالِإ ِهِب َِاحص ىَلَع ٌلوبا ٍاءَنِب َّلُك َّنِإ اَمَأَال اَم َّالِإ ،َال ا.
“Setiap bangunan adalah bencana bagi pemilikinya,
kecuali yang tidak, kecuali yang tidak.” Maksudnya,
kecuali yang memang dibutuhkan.” (HR. Abu Dawud)
Sedangkan kelompok ulama lain menghukumi
mubah atau boleh keberadaan kubah di atas
masjid. Alasannya, karena itu merupakan
pelengkap bangunan, bukan merupakan perbuatan
bid’ah dalam agama.
Hadits pengingkaran Nabi Muhammad kepada
sahabat Anshar itu adalah suatu kejadian di masa
itu (waqi’atu hal). Sedangkan suatu kejadian di
masa tertentu, tidak bisa digeneralisasi.
Imam Syafi’i memiliki kaidah:
َف ٍلاَمْجِإ ُب ْوَث اَهاَسَك ِلاَوْحَألا ُعِئاَقَوُلَالْدِتْساال اَهِب ُّح ِصَي َال.
“Kejadian-kejadian di suatu masa, masih diliputi
baju keumuman, maka tidak sah dijadikan dalil.”
14. Bulan Sabit di Atas Kubah Masjid
• Orang yang pertama kali memasang bulan sabit di atas kubah
adalah Sultan Hasan bin Sultan Malik Nashir
Muhammad Qulun, pada abad ke-8 H.
• Kronologi bulan sabit sebagai simbol Islam, dijelaskan Syaikh
Abdul Hayyi al-Kattani al-Maghribi dalam al-Taratib al-Idariyah.
– Pada mulanya, sesuai riwayat dari Ibnu Yunus, Sa’ad bin Malik
al-Azdi telah bertamu kepada Nabi Muhammad SAW, dengan
membawa bendera kaumnya, berwarna hitam yang terdapat
gambar bulan sabit berwarna putih.
– Kaum muslimin mencetak gambar bulan sabit di mata uang
mereka pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab.
– Setelah itu, bulan sabit menjadi simbol islami bagi Turki dan
terus berlangsung sampai jatuhnya Khilafah Ustmani
(Ottoman).
– Pada tahap berikutnya, bulan sabit menjadi simbol islami untuk
menandingi simbol palang merah.
• Mengenai hukumnya, ulama memiliki dua pendapat.
1) Bulan sabit di atas kubah merupakan bid’ah, karena Nabi
tidak memasangnya di masjid beliau.
2) Penggunaan bulan sabit di atas kubah bukanperkara
bid’ah. Hal ini berdasarkan pengertian bahwa bid’ah adalah
‘suatu cara dalam agama yang belum dilakukan
sebelumnya dan bertentangan dengan syariat, yang
ditujukan untuk berlebihan-lebihan dalam beribadah
kepada Allah Subhanah’ (thariqah fi al-din mukhtara’ah
tudhahi al-syari’ah yuqshadu bi al-suluk ‘alaiha al-mubalaghah fi
al-ta’abbud lillahi Subhanah). (Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham,
1/26).
15. Toilet dan Tempat Wudhu
• Tempat wudhu merupakan fasilitas
penting bagi suatu masjid, terutama
yang dipisahkan dari toilet yang menjadi
tempat najis.
• Keberadaan tempat wudhu dan fasilitas-
fasilitas pendukung untuk bersuci, di
antaranya toilet dan kamar mandi, sudah
menjadi tradisi umum di tiap masjid,
dengan syarat terjaganya kesucian
masjid dari najis yang berpotensi besar
terdapat di toilet atau kamar mandi itu.
Keberadaan tempat wudhu, mandi dan
tempat membasuh najis ini tersirat
misalnya dalam keterangan al-‘Allamah
al-Thanbadawi sebagaimana dijelaskan
dalam I’anah al-Thalibin, jilid 3, hal. 203.
16. Bolehkah hukumnya mandi di kamar
mandi masjid tersebut?
• Mandi di kamar mandi masjid tidak boleh apabila kamar mandi tersebut khusus untuk
wudhu. Bila tidak diketahui kekhususannya untuk wudhu saja atau tidak, namun ada
indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa air itu bebas dipakai apa saja, maka mandi di
kamar mandi itu boleh. Misalnya sudah menjadi kebiasaan bahwa air di masjid itu
memang dimanfaatkan secara umum oleh masyarakat tanpa ada yang menyangkal, baik
dari orang alim atau yang lain.
• Berbeda halnya apabila air masjid atau mushalla tersebut diambil oleh sebagian rumah
tangga yang bersebelahan dengan masjid untuk pribadi mereka, dengan bentuk tiap
bulan mereka ikut membayar airnya. Praktek semacam ini tidak boleh, sebab air yang
sudah disediakan untuk kemaslahatan masjid dan kepentingan jama’ah tatkala bersuci
(berwudhu) tidak boleh dialihfungsikan baik dari segi penggunannya maupun tempatnya.
Bahkan bila keringanan dari PDAM yang diberikan kepada masjid, dimanfaafkan untuk
kepentingan warga dengan jalan memberikan ganti rugi berupa uang yang diserahkan
kepada pengurus masjid bisa jadi praktek semecam ini merupakan praktek jual beli yang
ghurur (penipuan) dan hukumnya haram.
I’anah al-Thalibin, 3/203 dan Nihayat al-Zain, hal. 36. Lihat: Buku Besar Keputusan Bahtsul Masail (Pasuruan: Pustaka
Sidogiri, 1432), hal. 549-550.
Hasil Bahtsul Masail PCNU Kota Malang, merujuk pada I’anat al-Thalibin, juz 1 hal 55, dan Kifayat al-Akhyar, juz 1 hal
317 – 318.
17. Membangun Kamar Mandi di Tanah Masjid
Karena beberapa alasan, misalnya agar jarak kamar mandi dengan
bangunan masjid tidak terlalu jauh, terutama untuk ukuran orang tua,
atau imam/khatib yang sudah tua, dibangunlah kamar mandi di dekat
mihrab dan lokasi tersebut masih termasuk waqaf masjid.
Bagaimanakah hukumnya membangun kamar mandi seperti dalam
deskripsi di atas? Dijelaskan, jika tanah tersebut adalah tanah yang
diperuntukkan untuk bangunan masjid maka membangun kamar mandi
di atas tanah tersebut hukumnya adalah haram, sebab (a) perbuatan
tersebut termasuk kategori “mengganti status tanah masjid menjadi
kamar mandi”, (b) menggunakan uang masjid untuk sesuatu yang tidak
ada kemaslahatan masjid, bahkan sesuatu yang diharamkan, dan (c)
mengotori masjid dengan najis.
al-Fuyudlat al-Rabbaniyah, hal. 73, Bughyat al-Musytarsidin, hal. 64, Nihayat
al-Zain, hal. 272, Hasyiah Syarqawi, hal. 178, al-Anwar lil A’malil Abrar, juz 1
hal. 438, al-Hawi lil Fatawi, juz 2 hal. 24, az-Zawajir ‘an Iqtirofil Kabair, hal. 442
– 443, I’lam al-Sajid bi Ahkam al-Masajid, hal. 405 – 406, dan al-Majmu’ hal. 9.
18. Taman di Halaman Masjid
Menanam tanaman di masjid, atau keberadaan
taman di masjid yang meliputi pohon-pohon, baik
besar maupun kecil, atau beberapa jenis
tumbuhan, juga tak luput dari pembahasan para
ulama. Ulama berbeda pendapat mengenai
hukum masalah tersebut. Pertama, menurut
beberapa ulama Hanafi, ulama madzhab Syafi’i,
dan madzhab Ahmad, menanam pepohonan di
masjid hukumnya tidak boleh. Kedua, beberapa
ulama Hanafi lainnya menyatakan, hal tersebut
hukumnya boleh, selagi memiliki manfaat untuk
masjid.
Hasyiyah Ibn Abidin, 4/357.
Al-Nawawi, al-Majmu’, 2/179.
Ibn Muflih, al-Furu’, 4/631.
Hasyiyah Ibn Abidin, 1/661.
19. Hiasan Masjid
Pertama, menurut mayoritas ulama,
hiasan masjid hukumnya makruh. Bahkan
sebagian mereka mengatakan, jenis
kemakruhan ini adalah makruh tahrim
(mendekati keharaman).
Imam Nawawi dalam al-Majmu’
menjelaskan, menghiasai masjid tersebut
hukumnya makruh, apabila hiasan tersebut
dapat mengganggu kekhusyukan orang
yang shalat. Sebaliknya, apabila hiasan
untuk masjid tersebut tidak mengganggu
orang yang shalat, maka hukum menghiasi
masjid adalah boleh. Lihat: al-Zarkasyi,
I’lam al-Sajid, hal. 335-337 dan Kasysyaf al-
Qina’, jilid 2, hal. 38.
Lihat: al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
jilid 3, hal. 180, Ibn Muflih, al-Furu’, jilid 4, hal. 63,
dan Tanbih al-Ghafilin, hal. 324.
An-Nawawi, al-Majmu’, jilid 3, hal. 180.
Kedua, menurut sebagian ulama
Mazhab Hanafi, hiasan masjid hukumnya
boleh. Bahkan sebagian mereka
mengatakan, hiasan itu hukumnya
dianjurkan (mustahab).
Hasyiyah Ibn Abidin, jilid 1, hal. 658.
20. Hukum Seputar Masjid
A. Wakaf Masjid
B. Membangun Masjid Lebih dari Satu di Satu
Daerah
C. Kiblat Masjid
D. Pendirian Masjid di
Gedung Tinggi
E. Beberapa Aktifitas
di Masjid
21. Wakaf Masjid
• Menurut bahasa, wakaf
artinya adalah menahan.
• Menurut istilah fikih,
disebutkan dalam Mughni al-
Muhtaj, bahwa wakaf adalah
ُسْبَحِتْنِاال ُنِكُُْي ٍالَمَقَب َعَم ،ِهِب ُاعَفِهِنْيَع ِاء
َر ِِف ِفُّرََّصتال ِعْطَقِبْصَم ىَلَع ِهِتَبَقٍاحَبُم ٍفَر
ٍدْوُجْوَم.
“Menahan harta yang dapat
dimanfaatkan, dengan disertai
keutuhan bendanya, dengan
memutus (menghentikan)
pengelolaan atas harta tersebut,
untuk digunakan pada bidang
yang boleh dan ada.”
22. Tanah yang Diwakafkan Keluar dari
Kepemilikan Pribadi
• Jika tanah, atau bangunan di atasnya, diwakafkan
sebagai masjid, maka tanah atau bangunan itu
menjadi hak bersama (haqqun musytarak) semua
umat Islam. Menurut Ibn al-‘Arabi, ini adalah
kesepakatan seluruh kaum muslimin. Selain itu, tanah
atau bangunan itu keluar dari kepemilikan pribadi,
agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin.
• Selanjutnya, tanah atau bangunan ini disandarkan
kepada Allah SWT, sebagai penyandaran pemuliaan
dan penghormatan (idhafah tasyrif wa takrim).
Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, jilid 1, hal. 33.
al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 10, hal. 19.
23. Keabsahan Wakaf Tidak Tergantung
pada Keputusan Pemerintah
• Pewakafan tanah, atau tanah berikut bangunan di atasnya, tidak
membutuhkan keputusan pemerintah.
• Menurut Imam Ahmad, selama wakaf ini belum diserahkan
kepada umat Islam, orang itu boleh membatalkan wakafnya. Hal
ini karena hibah itu baru dapat dimiliki setelah serah terima
(qabdh). Namun bila pemerintah sudah memberikan keputusan,
sesuai kesepakatan semua imam madzhab, orang itu tidak boleh
membatalkan wakafnya.
Lihat: Ibn Qudamah, al-Mughni, jilid 5, hal. 603, al-Zarkasyi,
I’lam al-Sajid, hal. 397, Ibn Hammam, Syarh Fath al-Qadir, jilid 5,
hal. 444.
Ibn Qudamah, al-Mughni, jilid 5, hal. 603.
Syarh Fath al-Qadir, jilid 5, hal. 443 dan Ibn Qudamah, al-
Mughni, jilid 5, hal. 600-601.
24. Mewakafkan Tenda Sebagai Masjid
Menjadikan tenda atau semisalnya untuk
masjid dan mewakafkannya, maka hukum
pewakafan semacam ini tidak sah.
Alasannya, tenda tersebut tidak tetap dan
termasuk barang yang mudah rusak. Oleh
karena itu, pemanfaatannya tidak bisa
permanen dalam waktu lama.
Hasyiyah Ibn Abidin, jilid 4, hal. 354.
25. Menyewakan Masjid atau Bagian Masjid
• Seseorang tidak boleh menyewakan masjid, atau
bagian masjid, bagi orang yang akan
memanfaatkannya pada selain waktu-waktu shalat.
• Demikian pula, tidak sah menyewa tanah atau
bangunan untuk dijadikan masjid yang diwakafkan.
Hal ini dikatakan oleh Imam Malik dan ulama lainnya.
Imam Malik, al-Mudawwanah al-Kubra, jilid 4, hal. 423.
I’lam al-Sajid, hal. 400, Hasyiyah Ibn Abidin, jilid 4, hal.
355, Hasyiyah Qulyubi wa ‘Amirah, jilid 2, hal. 98.
26. Menjual Barang Wakaf
• Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
barang wakaf, apakah boleh dijual karena sebab-
sebab tertentu, kemudian hasil penjualan itu
dibelanjakan dengan barang lain? Dalam masalah ini
ada tiga pendapat:
Pertama, Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i: Barang
wakaf tidak boleh dijual.
Kedua, menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu
Hanifah: Boleh menjual barang wakaf dan kemudian
membelanjakan hasil dari penjualannya dengan barang
yang semisal atau barang lain yang lebih bermanfaat.
Ketiga, menurut Imam Muhammad: Barang wakaf tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya yang pertama.
27. Uang Kotak Amal
Uang dari hasil kotak amal bukan termasuk
barang wakaf, karena uang tersebut tidak
termasuk dalam kategori barang yang boleh
diwakafkan, yakni tidak Baqa’ul ‘Ain (habis
setelah dibelanjakan), juga tanpa adanya
sighat wakaf.
28. Uang Masjid
Untuk Bisyarah Khatib Shalat Jum’at
• Ditanyakan, bagaimana hukum membelanjakan uang
dari kotak amal jariyah masjid untuk kebutuhan
finansial (misal, untuk bisyarah khatib)?
• Jawabannya, boleh mengalokasikan sebagian hasil
kotak amal jariyah masjid untuk orang yang
berkhutbah (khatib) yang bersangkutan, karena hal
ini termasuk membelanjakan untuk kepentingan
masjid, seperti membeli lampu, membayar biaya
listrik, pengeras suara, dan lain sebagainya.
29. Imam Dibayar Pakai Kas Masjid
• Bila uang tersebut berasal dari wakaf untuk
imarat al-masjid (perawatan bangunan), maka
tidak boleh.
• Kalau berasal dari wakaf untuk kemaslahatan
masjid, maka boleh.
• Kalau mutlak, maka hukumnya khilaf; menurut
pendapat yang dikutip oleh al-Imam al-Nawawi
dari al-Imam al-Baghawi, tidak boleh,
sedangkan dari al-Imam al-Ghazali boleh.
Fath al-Mu’in hal. 90 dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (10/358).
30. Memindah al-Qur’an Wakaf
• Menurut Ulama Madzhab Syafi’i, memindah
wakaf masjid tertentu, seperti al-Qur’an, ke
masjid lain, karena tidak tidak terpakai,
hukumnya tidak boleh.
• Sedangkan menurut ulama Madzhab Hanafi
ada dua pendapat; boleh dan tidak boleh.
Fath al-Wahhab (1/258) dan Hasyiyah Radd al-
Mukhtar (4/366)
31. Uang Masjid untuk Madrasah
Pembangunan madrasah dengan
menggunakan uang masjid, meski tujuannya
agar jamaah di masjid tersebut semakin
banyak dan juga untuk meningkatkan
pendapatan masjid yang berasal dari kota
amal masjid, hukumnya tidak boleh, karena
bukan termasuk kemaslahatan masjid.
al-Fatawi al-Kubra (3/267).
32. Meminjamkan Barang Wakaf
Orang yang menerima urusan wakaf (mawquf
‘alaih), boleh meminjamkan barang wakafan,
dengan syarat: (1) mawquf ‘alaii tersebut
mu’ayyan (ditentukan secara khusus, fulan bin
fulan misalnya), (2) dia sekaligus berstatus
sebagai nazhir, dan (3) tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan persyaratan yang
ditetapkan oleh orang yang mewakafkan
(waqif).
I’anah al-Thalibin (3/175)
33. Barang Wakaf Dibakar
• Disebutkan dalam deskripsi masalah, di suatu desa penduduknya
belum mengerti tentang pengelolaan barang wakaf yang masih
dapat dimanfaatkan oleh masjid, madrasah, atau mushalla wakaf.
Suatu saat terjadi pemugaran masjid, lantas alat-alat masjid yang
lama dibakar dan dipendam. Maka tindakan tersebut
dihukumi tidak benar.
• Dalam kasus ini, seharusnya solusinya adalah salah satu dari lima,
yaitu: (1) Barang wakaf yang masih dapat dimanfaatkan itu
diberikan kepada fakir-miskin, (2) Disamakan dengan wakaf yang
‘terputus akhirnya’ (munqathi’il akhir), (3) Dialihkan kepada
maslahat umum, (4) Dipelihara, karena ada harapan dapat
dimanfaatkan lagi, (5) Diberikan pada masjid lain.
Talkhish al-Murad, hal. 70 dan Mughni al-Muhtaj (3/392).
34. Memindah Bagian dari Masjid
Tidak boleh mengambil alat-alat masjid
dipergunakan untuk lain-lainnya, kecuali
diperuntukkan masjid, dan tidak boleh dijual
atau diberikan kepada orang lain, tetapi
kalau sudah rusak dan tidak dapat dipakai,
maka menjadi hak milik masjid.
I’anah al-Thalibin Juz III bab Wakaf.
35. Menukar Tanah Wakaf untuk Masjid dengan
Tanah yang Lebih Banyak Manfaatnya
• Haram hukumnya menukarkan tanah wakaf,
menurut madzhab Syafi’I, dan menurut
madzhab Hanafi boleh, asal dengan tanah
yang lebih banyak manfaatnya.
Syarqawi ‘ala al-Tahrir
Bab Wakaf..
36. Uang Wakaf untuk Pembangunan Masjid
Digunakan Membiayai Pekerjaan Bangunan
Uang wakaf guna pembangunan masjid
digunakan untuk pengongkosan upah
pekerja pembangunan, hukumnya boleh,
karena penggunaan demikian itu telah
menjadi kebiasaan yang berlaku.
al-Fatawi al-Kubra (3/261).
37. Memungut Derma untuk Mendirikan
Masjid yang Akan Dibangun
• Ditanyakan, bolehkah memungut derma untuk
mendirikan masjid yang akan dibangun, karena
menurut keterangan ulama bahwa wakaf untuk
masjid yang (baru) akan dibangun itu tidak sah?
• Jawabannya boleh. Adapun tidak sahnya wakaf
untuk masjid yang akan dibangun itu
disebabkan karena belum adanya obyek yang
diwakafinya. Jadi permulaannya terputus
(munqathi’ awwal).
Syarah al-Bahjah (12/313, versi Maktabah Syamilah).
38. Pengeras Suara Masjid
untuk Pengumuman
• Lumrah terjadi di desa-desa, masyarakat
menggunakan pengeras suara masjid yang
notabenenya termasuk barang wakaf, untuk
pengumuman pemberitahuan ada orang yang
meninggal dunia atau untuk memanggil
anggota manaqib.
• Tindakan masyarakat tersebut hukumnya
boleh, dengan seizin dari nadzir.
al-Fatawi al-Kubra (3/288) dan Risalah al-Amajid, hal.
29.
39. Kewakafan Alat-Alat Masjid
yang Sudah Rusak
Alat-alat masjid yang sudah rusak yang tidak
patut dipakai lagi kecuali dibakar itu masih
tetap hukum kewakafannya, tetapi boleh
dijual kalau kemaslahatannya hanya dijual,
kecuali menurut segolongan ulama.
I’anah al-Thalibin (3/18).
40. Memberikan Zakat kepada Masjid
Memberikan zakat kepada masjid (demikian juga kepada
madrasah, pondok pesantren dan sesamanya) hukumnya ada dua
pendapat: (1) Tidak boleh, berdasarkan keputusan Muktamar NU
seperti dalam kitab Ahkamul Fuqaha), (2) Boleh berdasarkan kitab
Tafsir al-Munir (1/244). Demikian pula para ahli fiqh menyatakan
boleh menyalurkan zakat kepada segala macam sektor sosial
yang positif, seperti membangun masjid, madrasah, mengurus
orang mati dan lain sebagainya. Pendapat ini dikuatkan oleh
Fatwa Syaikh Ali al-Maliki dalam kitabnya Qurratul ‘Ain, hal. 73,
yang menyatakan: Praktek-praktek zaman sekarang banyak yang
berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas ulama,
sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Ishaq yang
memperbolehkan penyaluran zakat pada sektor jalan di jalan
Allah, seperti pembangunan masjid, madrasah dan lain-lainnya.
Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 106 dan Syaikh Muhammad Nawawi al-
Jawi, Tafsir al-Munir, hal. 244.
41. Menara Masjid Untuk BTS
• Tafshil dalam masalah pemasangan antena tower tersebut adalah: Ketika tanah
tersebut berstatus masjid atau dihukumi masjid, seperti serambi, atau di luar
masjid namun pintunya bersambung dengan masjid maka hukumnya haram
secara mutlak. Sedangkan apabila tanah tersebut di luar (tidak berstatus)
masjid maka hukumnya boleh apabila tidak ada dugaan untuk digunakan
maksiat.
• Hukum tidak diperbolehkannya pemasangan antena tower pada menara masjid
yang berada pada tanah wakaf masjid karena:
1. Manfaat barang wakaf bukan milik perorangan, sehingga siapa pun tidak bisa
menyewakan/mu’awadlah pada yang lain.
2. Merusak kehormatan masjid, sebab antena/tower sebagai alat yang dapat
digunakan apa saja, baik ibadah atau maksiat. (Keputusan ini masih mengacu
pada keputusan Bahtsul Masail Syuriyah PWNU Jatim sebelumnya, di PP. Al-
Usymuni Tarate Sumenep).
Dasar Pengambilan Hukum Bahtsul Masail tersebut adalah al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz al-
Daqaiq, 5/252, al-Majmu’, 6/507, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 5/224, Tuhfat al-
Muhtaj, 14/202, Nihayat al-Muhtaj, 10/110, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, 5/420,
dan al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Kharqi, 6/228.
42. B. Membangun Masjid Lebih dari Satu di Satu Daerah
Pertama, keberadaan beberapa masjid yang
dipergunakan untuk shalat-shalat, selain shalat
Jum’at.
• Mengenai hal ini, ulama
memutuskan keharaman
pembangunan suatu masjid di
samping masjid, atau di
dekatnya, dengan tujuan negatif
(idhrar) atau persaingan.
Demikian pula, haram hukumnya
membagi satu masjid menjadi
dua masjid.
• Namun dalam kondisi darurat
(dharurah) dan adanya
kebutuhan (hajah), maka
pembangunan masjid di dekat
atau samping masjid lain
diperbolehkan.
Kedua, keberadaan beberapa masjid yang dipergunakan untuk
shalat Jum’at (hukum pelaksanaan shalat jumat lebih dari satu di
satu daerah, bukan hukum membangun masjidnya).
(1) Pertama, ta’addud al-Jum’ah di satu daerah
hukumnya boleh bila terdapat kondisi
darurat (dharurat) dan desakan hajat
(hajah). Ini adalah pendapat yang
diunggulkan dalam Madzhab Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad.
Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, jilid 2, hal. 120.
Ibn Muflih, al-Furu’, jilid 2, hal. 102.
(2) Kedua, ta’addud al-Jum’ah di satu daerah
hukumnya tidak boleh. Diriwayatkan,
pendapat ini berasal dari Imam Abu
Hanifah. Ulama lain yang berpendapat
senada adalah Imam Malik, Imam Syafi’i,
dan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Hasyiyah Ibn Abidin, jilid 2, hal. 145.
Al-Mudawwanah al-Kubra, jilid 1, hal. 151.
Al-Syafi’i, al-Umm, jilid 1, hal. 192.
Al-Mardawi, al-Inshaf, jilid 2, hal. 378, al-
Ifshah, jilid 1, hal. 164.
Catatan: yang dimaksud hajah dalam hal ini adalah: Sulit berkumpul (‘usrul
ijtima’), antara lain karena sempitnya (dhaiqul makan), atau adanya permusuhan
(‘adawah), atau jauhnya pinggir-pinggir negeri (athraful balad).
43. C. Kiblat Masjid
Menghadap kiblat dalam shalat mengacu pada salah satu dari madzhab empat, yaitu:
1) Madzhab Syafi’i. Menghadap kiblat menurut madzhab Syafi’i adalah menghadap ‘ain al-
ka’bah (bangunan Ka’bah) dengan yaqin, jika orang yang shalat berada di tempat yang
dapat melihat ka’bah, dan dengan secara zhanny (ijtihady) jika orang yang shalat berada
di tempat yang tidak dapat melihat ka’bah.
2) Madzhab Malik bin Anas. Menurut Imam Malik bin Anas, menghadap kiblat memiliki tiga
katagori. Pertama, kiblat bagi orang yang berada di dalam majid al-haram adalah ka’bah,
kedua, kiblat bagi orang yang berada di wilayah tanah haram adalah masjid al-haram dan
ketiga, kiblat bagi orang berada di luar tanah haram adalah tanah haram.
3) Madzhab Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal. Menurut madzhab Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad, bagi orang yang dapat melihat ka’bah maka harus ishabah ‘ain al-ka’bah
atau menghadap ‘ain al-ka’bah (bangunan Ka’bah) dan bagi orang yang jauh dari Ka’bah,
maka menghadap dengan cara ishabah jihah al-ka’bah yaitu mengahadap arah Ka’bah.
Hal yang demikian ini jika tidak memungkinkan menghadap ‘ain al-ka’bah.
al-Syafi’i, al-Umm, 1/114.
Mawahib al-Jalil, vol. 4, dan Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanz al-Daqaiq.
Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanz al-Daqaiq, vol. 1, h. 485 (Hanafi) dan Nail al-Awthar Syarh Muntaqa al-
Akhbar, vol. 3 (Dar al-Fikr, 1994), 256.
Keterangan mengenai pergerseran arah kiblat, lihat Buku Hasil Keputusan Bahtsul Masail PCNU
Kota Malang dan Buku Besar Keputusan Bahtsul Masail (Pustaka Sidogiri), hal. 584.
45. D. Beberapa Aktifitas di Masjid
I’tikaf
Mengajar Anak Kecil di Masjid
Bersuara Keras di Masjid
Pelaksanaan Eksekusi di Masjid
Makan dan Minum di Masjid
Bernyanyi, Bertepuk Tangan, dan Menari di Masjid
Shalat Janazah di Masjid
Tempat Tinggal dan Bangunan di Masjid
Akad Nikah di Masjid
Meludah di Masjid
Jual Beli di Masjid