2.2 Identitas Sosial
1. Definisi
Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok. Menurut Tajfel (1982), social identity (identitas sosial) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu.
Hogg dan Abram (1990) menjelaskan social identity sebagai rasa keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat. Menurut William James (dalam Walgito, 2002), social identity lebih diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak–istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–temannya, milikinya, uangnya dan lain–lain. Sementara Fiske dan Taylor (1991) menekankan nilai positif atau negatif dari keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.
Untuk menjelaskan identitas sosial, terdapat konsep penting yang berkaitan, yaitu kategori sosial. Turner (dalam Tajfel, 1982) dan Ellemers dkk., (2002) mengungkapkan kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Kategori sosial berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih yang mempersepsikan diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu kategori sosial yang sama. Seorang individu pada saat yang sama merupakan anggota dari berbagai kategori dan kelompok sosial (Hogg dan Abrams, 1990). Kategorisasi adalah suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna (Turner dan Giles, 1985; Branscombe dkk., 1993). Pada umumnya, individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita dan mereka. Kita adalah ingroup, sedangkan mereka adalah outgroup. Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian social identity, maka dapat disimpulkan bahwa social identity adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan atas keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial tertentu, yang di dalamnya disertai dengan nilai-nilai, emosi, tingkat keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga terhadap keanggotaannya dalam kelompok tersebut.
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
KOMPREHENSI KOHESIVITAS DAN IDENTITAS SOSIAL
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai mahkluk sosial dan selalu membutuhkan
bantuan dan kehadiran orang lain. Manusia sebagai mahkluk hidup di dunia tidak
pernah dalam keadaan berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kelompok.
Chaplin (2004: 470) mendefinisikan kelompok sosial sebagai suatu kumpulan
individu yang saling berinteraksi dan memiliki beberapa sifat serta karakteristik
yang sama atau yang mengejar tujuan yang sama.
Setiap individu menemukan suatu kenyamanan dengan bergabung dan
berinteraksi dalam suatu kelompok, karena didalam kelompok seseorang akan
merasa bahwa dirinya disukai dan diterima. Perasaan disukai dan diterima semacam
ini sangat penting bagi semua usia dalam rentang kehidupan manusia. Kohesi
kelompok merupakan salah satu faktor yang penting dalam menjaga keutuhan
kelompok.
Dalam berkelompok juga terdapat identitas sosial yang mempengaruhi
kepribadian individu. Identitas sosial merupakan seperangkat pengetahuan
mengenai sejauh mana individu dalam suatu kelompok mengetahui tentang
kelompoknya tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kohesivitas kelompok ? Apa saja hal-hal yang terkait
dengan kohesivitas itu ?
2. Apa yang dimaksud dengan identitas sosial ? Apa saja hal-hal yang terkait dengan
identitas sosial itu ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kohesivitas kelompok dan hal-hal yang
terkait dengannya.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan identitas sosial dan hal-hal yang terkait
dengannya.
2. 2
BAB II
ISI
2.1 Kohesivitas
1. Definisi
Pengertian kohesivitas menurut para ahli :
a. Kohesi Kelompok
Collins dan Raven (1964) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai
kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal didalam
kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok.
b. Kohesi Kelompok
Kohesi kelompok merupakan perasaan bersama-sama dalam kelompok dan
merupakan kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam kelompok.
Taylor, Peplau & Sears (1997: 109) mendefinisikan kohesivitas sebagai kekuatan
(baik positif ataupun negatif) yang menyebabkan anggota menetap pada suatu
kelompok. Kohesivitas bergantung pada tingkat keterikatan individu yang dimiliki
setiap anggota kelompok. Daya tarik antar pribadi merupakan kekuatan pokok yang
positif.
c. Kohesi Kelompok
Hartinah (2009:72) mendefinisikan kohesi kelompok sebagai sejumlah
faktor yang mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap menjadi anggota
kelompok tersebut.
Ada tiga makna tentang kohesivitas kelompok:
1. Ketertarikan pada kelompok termasuk rasa tidak ingin keluar dari kelompok.
2. Moral dan tingkatan motivasi anggota kelompok.
3. Koordinasi dan kerjasama antar anggota kelompok.
Jadi, dapat disimpulkan, pengertian kohesivitas adalah faktor-faktor yang
dimiliki kelompok yang membuat anggota kelompok tetap menjadi anggota
sehingga terbentuklah kelompok.
3. 3
2. Hal-Hal yang Mempengaruhi Tingkat Ketertarikan dalam Kohesivitas Kelompok
Ketertarikan pada kelompok ditentukan oleh kejelasan tujuan kelompok,
kejelasan keberhasilan pencapaian tujuan, karakteristik kelompok yang mempunyai
hubungan dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi, kerjasama antara anggota
kelompok dan memandang kelompok tersebut lebih menguntungkan dibandingkan
kelompok lainnya (Hartinah, 2009:72).
Kohesivitas bergantung pada tingkat ketertarikan individu yang dimiliki
setiap anggota kelompok. Daya tarik antar pribadi merupakan kekuatan pokok yang
positif. Adapun ketertarikan itu sendiri dipengaruhi oleh tiga hal yaitu :
1) Tingkat rasa suka satu sama lain diantara anggota kelompok. Apabila anggota
kelompok saling menyukai satu sama lain dan dieratkan dengan ikatan
persahabatan, kohesivitasnya akan tinggi.
2) Tujuan instrumental kelompok. Kelompok seringkali digunakan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan, sebagai cara untuk memperoleh pendapatan atau untuk
melakukan pekerjaan yang kita sukai. Ketertarikan kita terhadap suatu kelompok
bergantung pada kesesuaian antara kebutuhan dan tujuan kita sendiri dengan
kegiatan dan tujuan kelompok.
3) Keefektifan dan keselarasan interaksi dalam kelompok. Semua orang akan lebih
suka bergabung dalam kelompok yang bekerja secara efisien daripada dengan
kelompok yang menghabiskan waktu dan menyalahgunakan keterampilan kita.
Segala sesuatu yang meningkatkan kepuasaan dan semangat kelompok akan
meningkatkan kohesi kelompok.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kohesivitas Kelompok
Menurut Bordens dan Horowitz, 2008 ada beberapa yang mempengaruhi
kohesivitas anggota kelompok, yaitu :
Ketertarikan antar anggota kelompok
Hubungan interpersonal anggota satu sama lain yang berlandaskan
ketertarikan, akan berpotensi menimbulkan kohesivitas. Semakin kuat
ketertarikannya, maka semakin kuat kohesivitas anggota kelompok.
Kedekatan anggota
4. 4
Kedekatan fisik dan psikologis sesama anggota kelompok juga dapat
mempengaruhi kohesivitas anggota kelompok.
Ketaatan pada norma kelompok
Anggota kelompok yang patuh pada norma kelompok cenderung memiliki
kohesivitas kelompok.
Kesuksesan kelompok mecapai tujuan
Kelompok yang berhasil mencapai tujuan memiliki dampai psikologis
kepada anggotanya, salah satunya kebersamaan, dan kohesi anggota
semakin meningkat.
Identifikasi anggota terhadap kelompok : kesetiaan kelompok
Anggota yang memiliki identifikasi kuat terhadap kelompok cenderung
memiliki kohesivitas tinggi.
4. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Kohesi Kelompok
Beberapa hal yang berkaitan dengan kohesi kelompok (Carolina
Nitimiharjo dan Jusman Iskandar, 1993: 24-27) :
a. Tingkat kohesi kelompok.
Dalam hal Kohesi, umumnya orang menunjuk pada tingkatan yakni anggota
kelompok termotivasi untuk tetap tinggal didalam kelompok. Anggota kelompok
pada kelompok yang kohesinya tinggi lebih energik didalam aktivitas kelompok,
jarang absen dalam pertemuan kelompok dan merasa senang apabila kelompok
berhasil dan merasa sedih apabila kelompoknya gagal (Shaw, 1979). Kelompok
dengan kohesi yang tinggi, anggotanya kooperatif dan akrab, serta saling
menghargai antara satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan. Pada kelompok
yang kohesinya rendah biasanya ada rasa saling bermusuhan dan agresif, dan
biasanya ada rasa kesenangan ketika anggota yang lain berbuat kesalahan.
Selanjutnya (Shaw,1979) menjelaskan bahwa kohesi kelompok yang tinggi
ditandai dengan curahan waktu untuk perencanaan kegiatan dan semua anggota
kelompok mengikuti rencana yang telah disetujuinya. Kelompok dengan kohesi
yang tinggi pemimpinya berperilaku demokratis, sedangkan pada kelompok dengan
kohesi rendah pemimpinnya berperilaku seperti ‘bos’ dan cendrung autokratik.
5. 5
Ada beberapa metode didalam meningkatkan kohesi kelompok. Cara paling
efektif adalah membentuk hubungan kooperatif diantara kelompok. Beberapa cara
lainnya adalah memperdalam kepercayaan diantara anggota kelompok,
mengekspresikan afeksi lebih jauh lagi diantara anggota kelompok, meningkatkan
ekspresi saling inklusi dan menerima diantara anggota kelompok, memperluas
saling mempengaruhi diantara anggota kelompok dan mengembangkan norma-
norma kelompok yang menunjang ekspresi individu diantara anggota kelompok.
b. Kebutuhan interpersonal
Manusia sebagai makhluk sosial pasti akan membutuhkan manusia lainnya,
karena semua manusia hidup dalam masyarakat, mereka harus memiliki
keseimbangan antara dirinya dengan masyarakat. Hakikat sosial manusia
dikarenakan kebutuhan-kebutuhan interpersonal. Ada tiga dasar kebutuhan
interpersonal, yaitu inklusi, control dan afeksi.
Kebutuhan inklusi berkisar pada keanggotaan siapa didalam dan siapa diluar
kelompok, siapa yang memiliki dan siapa yang tidak, siapa yang merupakan dari
kebersamaan dan siapa yang tidak. Beberapa anggota menghendaki agar kelompok
memiliki jalinan yang inklusif dan beberapa menghendaki jalinan yang lepas.
Kebutuhan control bertentangan dengan kekuatan hubungan didalam
kelompok, siapa yang berkuasa. Beberapa anggota menghendaki mempunyai
pengaruh terhadap banyak orang dan beberapa menghendaki tidak mempunyai
pengaruh terhadap siapa pun.
Kebutuhan afeksi menunjukkan hubungan terbuka dan bersifat pribadi
didalam kelompok. Beberapa anggota menghendaki hubungan yang hangat dan
terbuka dan beberapa lainnya menghendaki hubungan yang dingin dan ada jarak.
c. Mengembangkan dan memelihara kepercayaan
Kepercayaan adalah aspek penting bagi sebuah kelompok karena
merupakan kondisi yang dapat membuat kerjasama stabil dan berkomunikasi
dengan efektif. Makin tinggi tingkat kepercayaan diantara anggota kelompok.
Makin stabil kerjasama dan komunikasi yang efektif di antara anggota kelompok .
kelompok yang kooperatif adalah kelompok yang memiliki keterbukaan, tingkah
laku mempercayai didefinisikan sebagai ekspresi menerima, mendukung, dan
6. 6
kooperatif. Meningkat dan memelihara kepercayaan berarti memperhatikan
keterbukaan, ekspresi menerima, dan mendukung.
d. Konsekuensi dari kohesi kelompok
Didalam sebuah kelompok, anggota kelompok yang kohesif lebih siap
untuk selalu bertartisipasi didalam pertemuan-pertemuan kelompok. Kelompok
yang kohesif memiliki anggota yang loyal terhadap kelompok, mempunyai rasa
tanggung jawab kelompok, mempunyai motivasi tinggi untuk melaksanakan tugas
kelompok dan merasa puas atas pekerjaan kelompok. Dengan ciri-ciri tersebut
dapat menyebabkan meningkatkan produktifitas kelompok.
Kelompok yang memiliki kohesi tinggi merupakan sumber rasa aman
terhadap anggota kelompok yang lain. Penerimaan anggota lain terhadap diri
seseorang dapat meningkatkan partisipasi dalam kelompok dan menjadikan
anggota-anggotanya lebih kooperatif dalam mengerjakan tugas-tugas dan lebih
mudah mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada di dalam kelompok.
2.2 Identitas Sosial
1. Definisi
Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada
tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial
dan konflik antar kelompok. Menurut Tajfel (1982), social identity (identitas sosial)
adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka
tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi
nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity berkaitan dengan
keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu
kelompok tertentu.
Hogg dan Abram (1990) menjelaskan social identity sebagai rasa
keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam
berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu
memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat.
Menurut William James (dalam Walgito, 2002), social identity lebih diartikan
sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala sesuatu yang
dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan
7. 7
keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak–istrinya, rumahnya,
pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–temannya, milikinya, uangnya dan lain–
lain. Sementara Fiske dan Taylor (1991) menekankan nilai positif atau negatif dari
keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.
Untuk menjelaskan identitas sosial, terdapat konsep penting yang berkaitan,
yaitu kategori sosial. Turner (dalam Tajfel, 1982) dan Ellemers dkk., (2002)
mengungkapkan kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas,
pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Kategori sosial berkaitan dengan
kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih yang mempersepsikan
diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu kategori sosial yang sama.
Seorang individu pada saat yang sama merupakan anggota dari berbagai kategori
dan kelompok sosial (Hogg dan Abrams, 1990). Kategorisasi adalah suatu proses
kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan peristiwa ke dalam kategori-
kategori tertentu yang bermakna (Turner dan Giles, 1985; Branscombe dkk., 1993).
Pada umumnya, individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori
yang berbeda yakni kita dan mereka. Kita adalah ingroup, sedangkan mereka adalah
outgroup. Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian social identity,
maka dapat disimpulkan bahwa social identity adalah bagian dari konsep diri
seseorang yang berasal dari pengetahuan atas keanggotaannya dalam suatu
kelompok sosial tertentu, yang di dalamnya disertai dengan nilai-nilai, emosi,
tingkat keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga terhadap keanggotaannya
dalam kelompok tersebut.
2. Dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity
Menurut Jackson and Smith (dalam Barron and Donn, 1991) ada empat
dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity, yaitu:
a. Persepsi dalam konteks antar kelompok
Dengan mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka status dan
gengsi yang dimiliki oleh kelompok tersebut akan mempengaruhi persepsi setiap
individu didalamnya. Persepsi tersebut kemudian menuntut individu untuk
memberikan penilaian, baik terhadap kelompoknya maupun kelompok yang lain.
8. 8
b. Daya tarik in-group
Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana
seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas umum).
Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda
dengan “in group”. Adanya perasaan “in group” sering menimbulkan “in group
bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri. Menurut
Henry Tajfel (1974) dan Michael Billig (1982) in group bias merupakan refleksi
perasaan tidak suka pada out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut
terjadi kemungkinan karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang
pada umumnya disertai devaluasi kelompok lain.
Berdasarkan Social Identity Theory, Henry Tajfel dan John Tunner (1982)
mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in group
favoritism”, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang
lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group. Berdasarkan teori
tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha meningkatkan harga diri kita,
yaitu: identitas pribadi (personal identity) dan identitas sosial (social identity) yang
berasal dari kelompok yang kita miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita
dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan
dengan individu lain.
c. Keyakinan saling terkait
Social identity merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang
berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara
emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki
kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul
setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang
memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri.
Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang
dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki
dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan
identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang
9. 9
mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan
perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat.
d. Depersonalisasi
Ketika individu dalam kelompok merasa menjadi bagian dalam sebuah
kelompok, maka individu tersebut akan cenderung mengurangi nilai-nilai yang ada
dalam dirinya, sesuai dengan nilai yang ada dalam kelompoknya tersebut. Namun,
hal ini juga dapat disebabkan oleh perasaan takut tidak ‘dianggap’ dalam
kelompoknya karena telah mengabaikan nilai ataupun kekhasan yang ada dalam
kelompok tersebut. Keempat dimensi tersebut cenderung muncul ketika individu
berada ditengah-tengah kelompok dan ketika berinteraksi dengan anggota
kelompok lainnya.
3. Motivasi Melakukan Social Identity
Social identity dimotivasi oleh dua proses yaitu self-enhacement dan
uncertainty reduction yang menyebabkan individu untuk berusaha lebih baik
dibandingkan kelompok lain. Motivasi ketiga yang juga berperan adalah optimal
distinctiveness. Ketiga motivasi ini akan dijelaskan sebagai berikut (Burke, 2006):
a. Self-enhancement dan positive distinctiveness
Positive distinctiveness mencakup keyakinan bahwa ”kelompok kita” lebih
baik dibandingkan “kelompok mereka”. Kelompok dan anggota yang berada di
dalamnya akan berusaha untuk mempertahankan positive distinctiveness tersebut
karena hal itu menyangkut dengan martabat, status, dan kelekatan dengan
kelompoknya. Positive distinctiveness seringkali dimotivasi oleh harga diri anggota
kelompok. Ini berarti bahwa harga diri yang rendah akan mendorong terjadinya
identifikasi kelompok dan perilaku antar kelompok. Dengan adanya identifikasi
kelompok, harga diri pun akan mengalami peningkatan. Self-enhancement tak dapat
disangkal juga terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk
melakukan social identity adalah untuk memberikan aspek positif bagi dirinya,
misalnya meningkatkan harga dirinya, yang berhubungan dengan self enhancement
(Burke, 2006).
10. 10
b. Uncertainty Reduction
Motif social identity yang lain adalah uncertainty reduction. Motif ini secara
langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial. Individu berusaha mengurangi
ketidakpastian subjektif mengenai dunia sosial dan posisi mereka dalam dunia
sosial. Individu suka untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana seharusnya
mereka berperilaku. Selain mengetahui dirinya, mereka juga tertarik untuk
mengetahui siapa orang lain dan bagaimana seharusnya orang lain tersebut
berperilaku. Kategorisasi sosial dapat menghasilkan uncertainty reduction karena
memberikan group prototype yang menggambarkan bagaimana orang (termasuk
dirinya) akan/dan seharusnya berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain.
Dalam uncertainty reduction, anggota kelompok terkadang langsung menyetujui
status keanggotaan mereka karena menentang status kelompok berarti
meningkatkan ketidakpastian self-conceptualnya. Individu yang memiliki
ketidakpastian self-conceptual akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian
dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang statusnya tinggi
atau rendah. Kelompok yang telah memiliki kepastian self-conceptual akan
dimotivasi oleh self-enhancement untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik
terhadap kelompoknya (Burke, 2006).
c. Optimal Distinctiveness
Motif ketiga yang terlibat dalam proses social identity adalah optimal
distinctiveness. Menurut Brewer (1991), individu berusaha menyeimbangkan dua
motif yang saling berkonflik (sebagai anggota kelompok atau sebagai individu)
dalam meraih optimaldistinctiveness (dalam Burke, 2006). Individu berusaha untuk
menyeimbangkan kebutuhan mempertahankan perasaan individualitas dengan
kebutuhan menjadi bagian dalam kelompok yang akan menghasilkan definisi
dirinya sebagai anggota kelompok (Ellemers, 1999).
11. 11
4. Komponen Identitas Sosial
Tajfel (1978) mengembangkan social identity theory sehingga terdiri dari
tiga komponen yaitu cognitive component (self categorization), evaluative
component (group self esteem), dan emotional component (affective component)
yaitu:
a. Cognitive component
Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok, seperti self
categorization. Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu
yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan
keanggotaan kelompoknya. (dalam Ellemers, 1999). Komponen ini juga
berhubungan dengan self stereotyping yang menghasilkan identitas pada diri
individu dan anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self
stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 2001).
b. Evaluative component
Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap
keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem. Evaluative component
ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan
kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).
c. Emotional component
Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok, seperti
affective commitment. Emotional component ini lebih menekankan pada seberapa
besar perasaan emosional yang dimiliki individu terhadap kelompoknya (affective
commitment). Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang
dievaluasi secara positif karena kelompok lebih berkontribusi terhadap social
identity yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota
kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat
terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif
(dalam Ellemers, 1999).
12. 12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kohesivitas adalah faktor-faktor yang dimiliki kelompok yang membuat
anggota kelompok tetap menjadi anggota sehingga terbentuklah kelompok.
Ada tiga makna tentang kohesivitas kelompok:
a) Ketertarikan pada kelompok termasuk rasa tidak ingin keluar dari
kelompok.
b) Moral dan tingkatan motivasi anggota kelompok.
c) Koordinasi dan kerjasama antar anggota kelompok.
Menurut Tajfel (1982), social identity (identitas sosial) adalah bagian dari
konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang
keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi
nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity berkaitan
dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan
dalam suatu kelompok tertentu.