SlideShare a Scribd company logo
1 of 18
TUGAS MATA KULIAH
PSIKOLOGI SOSIAL
PENGARUH SOSIAL
KONFORMITAS, COMPLIANCE, DAN OBIDIENCE

DISUSUN OLEH:
1. SELY ANANDA

46112010018

2. DESI NURMALASARI

46112010099

3. ALITA DESTIYAMDA PERTIWI

46112010060

UNIVERSITAS MERCUBUANA
FAKULTAS PSIKOLOGI
Jl. Raya Meruya Selatan Kembangan, Jakarta Barat 11650
2013
Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari
pengaruh sosial (social influence) yang akan mempengaruhi bagaimana ia bertingkah laku
dalam lingkungannya. Secara definitif, pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap,
kepercayaan (belief), persepsi atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya
(Caldini, 1994 dalam Sarworno & Meinarno, 2012). Seperti definisi diatas, dapat dikatakan
bahwa pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat
individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya agar dapat
diterima oleh lingkungan sosialnya. Contohnya saja ketika seorang wanita dari kalangan
keluarga pesantren yang sangat taat, dan menjunjung tinggi nilai bahwa wanita harus segera
dinikahkan ketika dewasa agar tidak menimbulkan fitnah meskipun wanita tersebut
sebenarnya ingin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi namun karena
pengaruh sosial yang sangat kuat terhadap dirinya maka ia tidak dapat mempengaruhi
lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan tetapi lingkungan sosialnyalah yang
mempengaruhi ia dalam mengambil keputusan.
Pengaruh sosial amat kuat dan pervasif terhadap individu (Sarwono & Meinarno, 2012),
karena hal inilah individu berusaha untuk menahan control dirinya yang tidak sesuai dengan
keingininan kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu dalam
mengambil sebuah keputusan agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya.
Pengaruh sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap prilaku individu
(Sarwono & Meinarno, 2012), Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur
karena kecendrungan manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan
sosial. Namun sayang nya, kecendrungan untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di
lingkungan sosial tidak selalu berarti positif karena bisa saja suatu individu mengikuti normanorma yang berlaku dalam lingkungan sosial yang berprilaku negatif. Seperti konformitas
pada prilaku perkelahian pelajar.
Terdapat tiga tipe penaruh sosial yaitu: konformitas, kepatuhan, dan ketundukan pada
otoritas.

A. KONFORMITAS
Secara sadar maupun tidak, individu pada dasarnya cenderung untuk mengikuti aturanaturan yang terdapat di lingkungan sosialnya. Seperti ketika seseorang memilih pakaian yang
sama dengan orang lain dalam lingkungannya karena mengikuti tren berpakaian yang ada di
lingkungannya, padahal orang tersebut bisa saja tidak memilih pakaian yang sama dengan
orang lain jika ia mau tetapi ia memilih untuk mengenakan pakaian yang sama dengan orang
disekitarnya agar sesuai dengan prilaku orang lain dan hal inilah yang disebut dengan
konformitas (conformity).
Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan
tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008
dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Ketika seseorang ada dalam suatu kelompok sosial, pasti
ia akan mengikuti norma sosial yang ada di dalam kelompok social tersebut hal ini dilakukan
untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya untuk dapat bertahan hidup.
Norma sosial adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya kita bertingkah laku
(Saworno & Meinarno, 2012). Norma social dapat berupa injunctive norms, yaitu hal apa
yang seharusnya kita lakukan dan descriptive norms, yaitu hal apa yang kebanyakan orang
lakukan.
Injuctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit, misalnya setiap mahasiswa di
Universitas Mercubuana harus memiliki Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan setiap
mahasiswa harus menggunakan sepatu tertutup ketika berada di lingkungan kampus atau
peringatan tidak boleh merokok pada area kampus. Jadi injuctive norms adalah norma yang
dinyatakan secara tegas dan memiliki sangsi ketika tidak dilakukan. Sedangkan descriptive
norms biasanya bersifat implisit, tidak dinyatakan secara tegas dan tertulis. Misalnya saja
ketika hari Raya Lebaran sudah menjadi tradisi untuk bermaaf-maafan, atau ketika kita
menjenguk orang sakit kita biasanya membawa buah-buahan.
Norma juga bisa jadi mendetail dan eksplisit, lihat saja perbedaan norma nikah pada adat
Islam dan adat Jawa. Jika dalam adat Islam norma nikahnya adalah adanya calon suami,
calon isteri, wali, saksi minimal dua orang, dan dilakukan akad nikah maka pernikahan dapat
dikatakan sah. Tetapi adat Jawa memiliki norma nikah yang lebih mendetail dan lebih
eksklusif, dalam adat Jawa terdapat malam midodareni dan siraman pada malam sebelum
pernikahan. Saat siraman air yang digunakan harus terdapat kembang tujuh rupa untuk kedua
mempelai dan sebagian air siraman dari mempelai wanita harus diantarkan kepada mempelai
pria untuk kemudian digunakan kepada mempelai pria. Pada saat akad nikah, orang tua calon
pengantin pria/wanita tidak hadir. Sedangkan saat prosesi menuju pelaminan ada kegiatan
injak telur, balangan, dan kacar-kucur.
Manusia dapat mengikuti norma sosial karena adanya tekanan-tekanan untuk berprilaku
dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial yang ada, tekanan tersebut juga dapat
dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Misalnya ketika dua orang yang sudah sepakat
untuk menikah secara sederhana tanpa rumit dan repotnya adat tertentu dapat berubah sikap
menjelang pernikahan Karena adanya tekanan orang tua dan keluarga besarnya yang
menginginkan untuk melangsungkan pernikahan dengan cara adat tertentu.
Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar.
Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk
menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron,
Branscombe, dan Byrne, 2008 dalam Sarwono & Meinarno, 2012), hal ini dapat dilihat
ketika sebuah masjid disuatu daerah mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana
alam, dapat dilihat bahwa beberapa orang melihat berapa besar sumbangan yang diberikan
oleh tetangganya dan cendrung untuk mengikuti berapa besar sumbangan yang diberikan oleh
tetangganya. Atau ketika penggunaan smartphone Blackberry mulai menyebar, sebelumnya
hanya masyarakat lapisan menengah atas yang menggunakan smartphone Blackberry tetapi
kemudian merambah ke lapisan masyarakat yang lain, yang dapat dikatakan bahwa terjadi
konformitas yang memiliki tujuan agar dapat disukai dan dapat bertindak benar menurut
kelompok sosialnya. Terdapat beberapa riset awal mengenai konformitas dalam psikologi
social, antara lain penelitian dari Muzafer Sherif (1936 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009)
dan Salomon Asch (1951, 1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Dalam riset yang dilakukan oleh Muzafer Sherif (1936 dalam Taylor, Peplau, Sears,
2009) tentang autokinetic phenomenon, beberapa mahasiswa pria yang menjadi partisipan
diminta untuk duduk diruang gelap dan melihat satu titik cahaya. Sebelumnya setiap
mahasiswa diberi tahu bahwa titik tersebut bergerak dan tugas mereka adalah memperkirakan
berapa jauh cahaya tersebut bergerak. Sebagian besar partisipan merasa kesulitan untuk
membuat perkiraan karena menurut mereka cahaya tersebut bergerak dalam kecepatan
bervariasi dan ke arah yang berbeda. Sebenarnya, penelitian tersebut menggunakan ilusi
perseptual yang disebut “efek autokinetik”: salah satu titik cahaya yang terlihat dalam gelap
tampak seperti bergerak, meskipun sesungguhnya cahaya itu tetap diam di tempat. Karena
ambiguitas situasi ini, para partisipan tidak dapat memastikan penilaiannya. Banyak
partisipan yang mengatakan bahwa cahaya tersebut bergerak sekitar 1 atau 2 inci tetapi ada
pula partisipan yang beranggapan bahwa cahaya tersebut bergerak sejauh 800 kaki, hal ini
terjadi mungkin karena partisapan tersebut mengira bahwa ia berada dalam ruangan
gymnasium.
Dalam serangkaian eksperiamen yang Sherif lakukan, ia membagi kelompok dalam dua
atau tiga orang. Dalam eksperimen tersebut partisipan diminta untuk mengatakan
perkiraannya dengan keras segera ketika cahaya diperlihatkan. Dalam percobaan pertama,
umumnya jawaban para partisipan beragam. Tetapi ketika berulangkali dilakukan percobaan,
jawaban para partisipan menjadi semakin sama. Dalam hal ini para partisipan
mempertimbangangkan jawaban lain dari dalam kelompok mereka. Apa yang ingin di
perlihatkan Sherif dalam eksperimen ini adalah kemunculan norma atau standar kelompok
untuk menilai cahaya tersebut. Akhirnya, ketika partisipan diminta untuk menjawab
pertanyaan sendiri tanpa adanya kelompok jawaban mereka tetap terpengaruh oleh jawaban
yang diberikan oleh kelompok mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin melihat
kemunculan suatu norma social saat kelompok pertemanan kita mulai membuat aturan
mengenai tempat yang rutin dikunjungi ketika selesai kegiatan perkuliahan, atau dalam gaya
berpakaian dan berprilaku.
Dalam eksperimen lain yang dilakukan oleh Sherif, dia melakukan variasi lain yaitu
dengan cara partisipan memberi penilaian dalam satu kelompok yang terdiri dari dua orang.
Tetapi, sebenarnya hanya satu orang yang menjadi partisipan rill; sedangkan orang kedua
sebenarnya adalah periset yang membantu peneliti untuk memberikan penilaian yang lebih
tinggi atau lebih rendah dari penilaian partisipan rill. Dalam kondisi ini, partisipan rill mulai
memberi penilaian yang lebih mendekati penilaian periset. Jika misalnya pada percobaan
pertama partisipan rill memberikan penilaian bahwa cahaya tersebut bergerak antara 10
sampai 15 inci dan periset memberikan penilaian bahwa cahaya tersebut hanya bergerak
sejauh 2 sampai 3 inci maka pada percobaan berikutnya partisipan rill akan cendrung
menurunkan penilaiannya. Pada akhirnya, penialain partisipan rill akan sama dengan
penilaian periset tersebut. Dalam eskperimen ini Sherif telah membuktikan bahwa dalam
situasi yang tidak pasti dan ambigu, orang cendrung menyesuaikan diri dengan norma yang
dibangun oleh rekannya yang lebih konsisten. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat
ketika seorang anggota baru dalam kelompok kemahasiswaan akan mengikuti cara berprilaku
dan cara berpakaian anggota lain yang sudah lebih dulu ada dalam kelompok tersebut.
Salomon Asch (1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) dalam penelitiannya ingin
mengetahui apakah konformitas hanya terjadi dalam situasi ambigu, seperti yang ditunjukan
oleh penelitian Sherif, dimana orang tidak mengetahui apakah jawab yang benar. Apakah
orang akan menyesuaikan dirinya jika situasi stimulusnya pasti atau jelas? Asch berpendapat
bahwa ketika orang menghadapi situasi yang tidak ambigu, mereka akan percaya pada
persepsinya sendiri dan memberi penilaian yang independen, bahkan ketika anggota lain dari
kelompoknya tidak setuju dengannya. Asch melakukan penelitian untuk menguji hipotesisnya
tesebut.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asch, partisipannya adalah lima orang mahasiswa
yang ikut ambil bagian dalam studi tentang persepsi. Para pastisipan tersebut diminta duduk
di sekitar sebuah meja dan diberi tahu bahwa mereka harus menilai panjang garis. Mereka
diberikan dua kartu, satu kartu berisi garis “standar” dan kartu kedua berisi tiga kartu berbeda
yang salah satunya sama panjangannya dengan garis “standar” yang terdapat pada kartu
pertama. Parisipan diminta untuk memilih garis mana yang panjangannya sama dengan garis
“standar” yang terdapat pada kartu pertama.
Lima partisipan diminta untuk menjawab dengan mejawab dengan suara keras secara
bergiliran sesuai dengan urutan tempat duduknya ketika garis di tunjukan kepada meraka,
orang pertama memberikan jawaban selanjutanya orang kedua dan seterunya sampai orang
kelima. Karena penilaian pada percobaan pertama mudah, maka tidak ada perbedaan jawaban
antara partisipan. Ketika semua partisipan sudah memberikan jawaban, selanjutnya diberikan
kembali satu set kartu kedua, dan mereka menjawab lagi, dan kemudian diberikan lagi satu
set kartu ketiga.
Pada titik ini, eksperimen tersebut tampaknya membosankan dan tidak menghasilkan apaapa. Tetapi pada percobaan eksperimen ketiga, partisipan pertama melihat garis tersebut
secara lebih teliti dan kemudian memberi jawaban yang keliru. Partisipan selanjutnya juga
memberi jawaban yang salah, begitupun dengan partisipan ketiga dan keempat. Partisipan
kelima tampak merasa penasaran, dia jelas melihat bahwa keempat partisipan sebelumnya
memberi jawaban yang salah. Misalnya jawaban yang benar adalah garis 2, tetapi keempat
partisipan sebelumnya memilih jawaban garis 1. Partisipan kelima mengetahui bahwa
jawaban yang benar adalah garis 2, tetapi sepertinya semua orang memilih garis 1 sebagai
jawaban yang benar.
Dalam situasi ini, kadang-kadang partisipan kelima memberikan jawaban yang salah
seperti keempat partisipan lain meskipun ia tahu bahwa jawaban itu salah. Sebagian
partisipan memberi jawaban salah dalam 35% dari seluruh jumlah percobaan. Beberapa
partisipan tidak memberikan jawaban yang salah, dan sebagian lagi memberi jawaban yang
selalu salah. Biasanya dari tiga orang partisipan, satu orang memberikan jawaban yang salah.
Sebenarnya dalam eksperimen ini situasinya sudah direkayasa. Empat partisipan pertama
adalah pembantu peneliti dan mereka sudah diminta untuk memberikan jawaban sesuai
permintaan peneliti. Tetapi, partisipan real tidak mengetahui hal tersebut, dan ikut – ikutan
memberi jawaban yang salah.
Penting untuk mengingat penilaian seperti ini. Perkiraan bahwa subjek yang memberikan
jawaban tidak yakin dengan jawaban yang benar dan juga karena dipengaruhi oleh orang lain.
Tetapi pemikiran ini salah. Partisipan disini cukup yakin pada jawaban yang benar dan
ketika tidak ada tekanan kelompok dia selalu memilih jawaban yang benardalam percobaan.
Mereka ikut menyesuaikan diri meski mereka tahu mana jawaban yang benar.
Jumlah konformitas yang ditemukan dalam studi yang dilakukan Asch terhadap
mahasiswa di AS belum dapat dikatakan tinggi atau rendah. Kebanyakan partisipan
menyesuaikan diri setidaknya sekali selama eksperiment berlangsung. Disisi lain,
kebanyakan jawaban yang diberikan oleh partisipan adalah benar meski terdapat tekanan
kelompok. Dalam hal ini jelas ada konformitas, tetapi itu independent dari penilaian. Asch
tampaknya melihat bahwa ia hanya menemukan sedikit konformitas dalam penelitiannya ini
dan karena itu dia merasa agak cemas : “Kami menemukan tendensi kuat untuk melakukan
konformitas dimasyarakat kita, dan bahkan sangking kuatnya orang-orang muda yang cerdas
tampaknya bisa terpengaruh karenanya” (Asch, 1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Penelitian Asch memicu timbulnya banyak studi lain mengenai konformitas. Riset telah
menunjukan efek konformitas yang sama pada berbagai tugas eksperimen, seperti
mengevaluasi pernyataan opini, pernyataan fakta, dan silogisme logis (Taylor, Peplau, Sears,
2009). Dengan kata lain, terlepas dari stimulus yang diberikan dan kejelasan jawaban yang
benar ketika individu dihadapkan pada penilaian kelompok yang seragam, tekanan mayoritas
dari kelompok akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan
kelompoknya.
Myres (1988 dalam Saworno & Meinarno, 2012) membagi konformitas menjadi dua
bentuk, yaitu:
1. Konformitas compliance, dalam bentuk konformitas ini individu bertindak sesuai
dengan tekanan kelompok. Meskipun sebenarnya dirinya sendiri tidak menyetujui
tindakan tersebut. Pada konformitas compliance, individu berusaha menghindari
penolakan kelompok dan mengharapkan penerimaan kelompok (normative influence).
2. Konformitas acceptance, dalam bentuk konformitas ini tingkah laku dan keyakinan
individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya. Pada konformitas
acceptance, konformitas terjadi karena kelompok menyediakan informasi penting
yang tidak dimiliki oleh individu (informational influence).
Seorang individu memiliki kencendrungan untuk menyesuaikan diri meskipun tidakan
tersebut bertentangan dengan persepsinya sendiri secara personal. Dalam banyak kasus,
banyak individu yang memiliki anggapan bahwa persepsi kelompoknya salah sedangkan
persepsinyalah yang benar. Tetapi ketika individu tersebut diminta untuk memberikan
jawaban terbuka, mereka cenderung untuk memberikan jawaban kelompok yang bahkan
menurut mereka salah. Kecenderungan untuk melakukan konformitas sebenarnya tidak selalu
pada hal-hal positif, tetapi juga konformitas terhadap hal-hal yang negative. Seperti yang
terjadi pada perkelahian pelajar, dalam perkelahian pelajar dapat dilihat bahwa manusia
cendrung untuk melakukan konformitas pada hal-hal negatif. Terdapat beberapa penelitian
ilmiah yang dilakukan untuk mengkaji masalah perkelahian pelajar tersebut, seperti
penelitian yang dilakukan oleh Soekadji, dkk (1992, dalam Sarwono & Meinarno, 2012)
yang mengatakan bahwa perkelahian pelajar terjadi karena siswa-siswa baru suatu SMU
mewarisi tradisi perkelahian tersebut dari kakak-kakak kelas mereka. Biasanya siswa-siswa
baru tersebut diindoktrinasi oleh kakak kelas mereka, indoktrinasi disini maksudnya adalah
meraka harus mau membela kawan sekolah mereka dimana pun, kapan pun, dan dengan cara
apapun. Dan apabila mereka melakukan penolakan terhadap hal tersebut, maka mereka akan
mendapatkan hukuman berupa kekerasan fisik dan dikucilkan oleh teman-teman sekolahnya.
Karena adanya tekanan dari kelompok sosialnya, sehingga mereka pun melakuakan
perkelahian antar pelajar.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ronni Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno,
2012), sample penelitiannya adalah siswa pelajar SMU yang menjadi pelaku perkelahian
pelajar dengan rentang usia 15-19 tahun dan pernah terlibat perkelahian pelajar delam 6 bulan
terakhir. Dengan 60 partisipan Rambe mengukur dengan menggunakan alat ukur konformitas
dan menggunakan selfesteem inventory dari Coopersmith. Hasil penelitian yang dilakukan
Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) tidak menunjukan adanya hubungan antara
konformitas dengan harga diri yang dimiliki pelajar yang terlibat perkelahian, tidak selalu
pelajar dengan harga diri rendah menampilakan konformitas compliance, begitu juga tidak
selalu pelajar dengan harga diri tinggi menampilkan konformitas acceptance. Rambe (1997
dalam Saworno & Meinarno, 2012) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan tingkah
laku konformitas dalam perkelahian pelajar:
1. Faktor pertama adalah alasan pribadi, antara lain sebagai pengalihan untuk
melupakan masalah personal, membangun rasa percaya diri, menghilangakan beban
pelajaran, melampiaskan kekesalan, dan menambah pengalaman.
2. Faktor kedua adalah kesenangan, antara lain senang terlibat dalam perkelahian, suka
bekelahi meskipun tahu bahwa perkelahiandapat membuat terluka.
3. Faktor ketiga adalah keterpaksaan dengan alasan, antara lain buang-buang waktu
danmerasa takut atau was-was akan di pukul.
4. Faktor ke empat adalah ketidaksetujuan, antara lain tidak setuju menyelesaikan
masalah dengan berkelahi
5. Faktor kelima adalah kesetiakawanan, yaitu ingin membantu teman yang dipukul oleh
siswa sekolah lain.
Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) menyimpulkan bahwa faktor pertama,
kedua, dan kelima beracuan kepada konformitas acceptance. Sementara faktor ketiga dan
keempat mengacu kepada konformitas compliance. Tetapi prilaku konformitas kelompok
tidak berarti tidak memiliki tujuan, seperti yang diungkapkan dalam jurnal psikologi; “But
herd behavior does not mean behavior without purpose. Usually, the purpose is clear. For
example, a clerk may follow the orders of his/her superior because he/she can benefit by
doing so. In this case, his/her purpose is very clear. Of course, herd behavior can also be
purposeless, for example, the instinctive reflex of organisms.” (Song, Guandong; Ma,
Qinhai; Wu, Fangfei; Li, Lin, 2012) jadi dapat dilihat bahwa prilaku konformitas pada
kelompok memiliki tujuan-tujuan yang jelas.
Perlu diketahui bahwa tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma
kelompok, karena ada faktor-faktor tertentu yang menentukan sejauh mana individu
melakuakan konformitas atau justru malah menolaknya. Baron, Branscombe, dan Byrne
(2008 dalam Saworno & Meinarno) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi terjadi
konformitas, yaitu :
1. Kohesivitas kelompok adalah sejauh mana kita tertarik terhadap suatu kelompok
social tertentu dan ingin menjadi bagian dari kelompok social tersebut. Karena
semakin menarik sebuah kelompok sosial maka semakin besar kemungkinan bagi
individu untuk melakukan konformasi terhadap norma kelompok tersebut.
2. Besar kelompok menunjukan berapa banyak orang yang berprilaku dengan normanorma tertentu yang terdapat dalam kelompok tersebut, sehingga semakin banyak
yang mau mengikutinya.
3. Norma yang bersifat injuctive cenderung di abaikan, sedangkan norma yang bersifat
descriptive cendrung diikuti.
Tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma kelompoknya, dikarenakan
individu kadang memiliki keinginan untuk menjadi unik dan beda dari yang lain (Baron,
Branscombe, dan Byrne, 2012 dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Dalam sebuah jurnal
yang berjudul On Being Loud and Proud: Non-Conformity and Counter-Conformity to
Group Norms pada tahun 2003 menunjukan dalam dua eksperimen yang dilakukan bahwa
terjadinya prilaku konformitas terkait dengan landasan moral pada individu; “In both
experiments, it was found that participants who had a weak moral basis for their attitude
conformed to the group norm on private behaviours. In contrast, those who had a strong
moral basis for their attitude showed non-conformity on private behaviours and counterconformity on public behaviour. Incidences of non-conformity and counter-conformity are
discussed with reference to theory and research on normative influence (Hornsey, Matthew J;
Majkut, Louise; Terry, Deborah J; McKimmie, Blake M ; Sep 2003). Tetapi dibandingkan
dengan yang tidak melakukan konformitas, lebih banyak individu yang melakukan
konformitas. Hal ini dapat dipandang secara positif ataupun negatif, hal positif dari adanya
konformitas adalah kecendrungan individu untuk mengikuti aturan atau norma yang berlaku
di masyarakat sehingga terciptanya keteraturan. Disamping konformitas dalam hal positif,
juga terdapat konformitas negatif seperti perkelahian antar pelajar yang sudah dijelaskan
sebelumnya.
Pengalaman konformitas sehari-hari dibentuk oleh kontes kultural (Kim & Markus, 1999
dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), konformitas dipandang berbeda-beda dalam berbagai
kultural yang ada. Misalnya saja di AS dan Eropa Barat yang menekankan kepada kultur
induvidualis menekankan kepada kebebasan dan kemandirian personal (Taylor, Peplau,
Sears, 2009), sehingga konformitas dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan dapat membatasi
kebebasan personal. Sebaliknya, di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang memiliki kultur
kolektivis menekankan kepada pentingnya ikatan pada kelompok sosial. Dalam kultur
kolektivis orang tua sangat menjunjung tinggi kepatuhan, perilaku yang tepat, dan
penghormatan terhadap tradisi kelompok (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 1992 dalam
Taylor, Peplau, Sears, 2009), sehingga konformitas dianggap sebagai cara untuk menjalin
hubungan dengan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban moral. Dalam bahasa Korea
konformitas mengandung arti kedewasaan dan kekuatan batin (Kim & Markus, 1999 Taylor,
Peplau, Sears, 2009). Ada nya konsistensi antara nilai-nilai kultural yang dipelajari seseorang
saat mereka masih dalam tahap tumbuh-kembang dan yang mereka lihat di media massa, dan
preferensi dan perilaku yang mereka tunjukan pada tahap dewasa (Taylor, Peplau, Sears,
2009). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan kultur dapat memberikan makna
yang berbeda terhadap konformitas. Pada penelitian mengenai konformitas terbaru yang
dilakukan oleh Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica pada tahun 2008 mengenai
persepsi konformitas, diketahui bahwa orientasi politik seseorang juga mempengaruhi
persepsinya mengenai konformitas. “Our findings also confirm that political orientation can
affect perceptions of conformity, as left-wing participants evaluated conformity more
negatively and were less ambivalent toward it than were right-wing participants.” (Cavazza,
Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica, 2008).
Dalam melakukan konformitas individu biasanya memiliki alasan. Diantaranya adalah
dua alasan penting, yakni ingin melakukan hal yang benar dan ingin disukai (Martin &
Hewstone, 2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Individu biasanya lebih menyukai untuk
menyesuaikan diri dengan perilaku kelompok yang ia anggap benar dan apabila ia ingin
disukai atau diterima oleh anggota kelompok tersebut.
Salah satu alasan seseorang melakukan konformitas adalah ketika orang lain memberikan
informasi yang bermanfaat bagi dirinya, hal ini disebut informational influence atau pengaruh
informasi yang ditimbulkan dari keinginan untuk bertindak benar sesuai keinginan kelompok
sosial. Misalnya ketika seseorang baru pertama kali menonton film di bioskop, maka orang
tersebut akan memperhatikan orang lain yang dia anggap sudah terbiasa menonton di
bioskop, seperti mengamati perilaku mereka dalam membeli tiket. Dengan cara seperti itu
orang tersebut dapat menguasai dasar-dasar sistem pembelian tiket di bioskop tersebut.
Semakin besar kepercayaan kita kepada informasi dan opini kelompok, semakin mungkin
kita menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Pada
dasarnya tingkat konformitas pada seseorang akan meningkat seiring dengan meningkatnya
kepercayaan pada kebenaran suatu kelompok dimana ia melakukan konformitas.
Keyakinan kepada kelompok harus diimbangi dengan keyakinan kepada diri sendiri.
Studi-studi awal menemukan bahwa semakin ambigu atau semakin sulit tugas, semakin
cenderung orang menyesuaikan diri dengan penilaian kelompok (Coleman, Blake, & Mouton,
1958 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), hal ini mungkin terjadi karena kurangnya
keyakinan terhadap penilaian sendiri. Kurangnya keyakinan terhadap penilaian sendiri bisa
saja disebabkan karena kurangnya pengetahuan.
Bila konformitas terjadi karena adanya pengaruh informasi yang menimbulkan keyakinan
bahwa anggota kelompok benar, individu biasanya mengubah cara berfikir dan berperilaku
yang mereka miliki. Pengaruh informasi karenanya dapat dilihat sebagai proses rasional yang
menyebabkan perilaku orang lain bisa mengubah keyakinan atau interprestasi kita atas situasi
dan konsekuensinya membuat kita bertindak sesuai dengan kelompok itu (Grivvin & Buehler,
1993 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Alasan kedua dari terjadinya konformitas adalah keinginan agar diterima secara sosial,
hal ini dinamakan normative influence atau pengaruh normatif (Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Individu biasanya ingin agar dapat diterima, disukai, dan diperlakukan dengan baik oleh
individu lain dalam kelompok sosial. Secara bersamaan, kita ingin menghindari penolakan,
pelecehan, dan ejekan (Janes & Olson, 2000 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Pengaruh
normative terjadi ketika individu mengubah perilakunya untuk menyesuaikan diri terhadap
norma kelompok agar dapat diterima secara sosial. Dalam situasi semacam ini, konformitas
menimbulkan perubahan lahiriah didalam perilaku publik, tetapi tidak selalu mengubah opini
pribadi kita.
Individu cenderung menyesuaikan diri dalam suatu situasi ketimbang situasi lain (Cialdini
& Trost, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Yang dimaksud dalam hal ini adalah,
individu cenderung menyesuaikan diri kedalam situasi dimana ia dipengaruhi oleh ukuran
kelompok; konformitas biasanya meningkat apabila ukuran kelompok meningkat,
keseragaman atau kekompakan opini kelompok; seorang yang berhadapan dengan mayoritas
akan cenderung untuk mengikuti atau menyesuaikan diri dengan mayoritas itu, dan
komitmen; konformitas dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar individu dengan kelompok
(Forsyth, 1999 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) kita kepada kelompok yang dapat
mempengaruhi konformitas. Selain pengaruh yang telah disebutkan tadi, ada perbedaan
individu dalam keinginan akan individuasi yang juga dapat mempengaruhi apakah kita akan
menyesuaikan diri atau membangkang dalam kelompok sosial. Keinginan individuasi adalah
keinginan individu untuk menjadi berbeda dan mencolok dari orang lain.
Konformitas terhadap mayoritas adalah aspek dasar dalam kehidupan sosial. Akan tetapi,
pengaruh minoritas bukanlah tidak penting. Terkadang kubu minoritas yang kuat dengan ide
baru dan unik dapat merubah pandangan mayoritas (DeDreu & DeVries, 2001 dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2009). Agar minoritas dapat efektif, minoritas harus konsisten dan kuat (Wood
et al., 1994 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).

B. COMPLIANCE (KETUNDUKAN)
Salah satu cara orang untuk saling mempengaruhi satu sama lain adalah dengan meminta
orang lain melakukan hal yang sama (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Seperti ketika seseorang
meminta temannya untuk menilai bagaimana penampilannya, atau ketika seseorang meminta
untuk dipinjamkan uang. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali prilaku kita dipengaruhi
oleh permintaan langsung orang lain (Saworno & Meinarno, 2012). Dalam psikologi sosial
hal ini merupakan suatu bentuk dari pengaruh sosial, yaitu compliance atau ketundukan.
Compliance (ketundukan memenuhi permintaan orang lain) didefinisikan sebagi melakukan
apa-apa yang diminta orang lain, walau mungkin kita tidak suka (Taylor, Peplau, Sears,
2009). Hal utama dari compliance adalah kemauan kita untuk merespon permintaan orang
lain, misalnya ketika kita sedang berjalan disebuah mall dan ada seseorang yang menawarkan
anda selebaran promosi suatu produk, biasanya meskipun anda tidak menginkan membeli
produk tersebut anda akan tetap mengambil brosur yang ditawarkan. Atau bisa jadi ketika
orang tersebut menawarkan potongan harga, kita akan tertarik untuk membeli pruduk itu
karena kita berfikir kita akan mendapat keuntungan dari potongan harga tersebut. Dalam
kasus ini terkadang kita memenuhi permintaan begitu saja, tanpa ada sebabnya.
Atau dalam kasus lain, seorang adik meminta untuk diambilkan mainan di atas lemari
oleh kakaknya yang berdiri dekat dengan lemari dan kakaknya mengambilkan mainan
tersebut. Ellen Langers menyebut prilaku ini sebagai “tanpa berfikir,” sebab respon itu
diberikan hampir tanpa dipikirkan dahulu. Mungkin karena kebiasaan, kita belajar ketika
seseorang meminta atau membutuhkan sesuatu, khususnya sesuatu yang sepele atau biasa
saja, dan orang tersebut memberikan alasan (meski alasanya tidak bermakna ataupun tidak
masuk akal), maka kita seharusnya memenuhi permintaan tersebut (Taylor, Peplau, Sears,
2009).
Compliance memiliki berbagai prinsip dasar yang di utarakan oleh beberapa ahli, seperti
French dan Bertman Raven serta Robert C. Cialdini. French dan Raven membagi prinsip
dasar compliance dalam enam dasar kekuasaan yaitu (Frence & Raven, 1959 dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2009):
1. Imbalan, salah satu basis kemampuan adalah kemampuan untuk memberi hasil positif
bagi orang lain, memberi hasil positif disini dapat berarti membantu orang lain
mendapatkan tujuan yang diinginkan atau menawarkan imbalan yang bermanfaat.
Misanya, orang tua yang menjanjikan hadiah kepada anaknya jika anak tersebut dapat
meraih peringkat pertama di kelasnya.
2. Koersi, koersi atau pemakasaan dapat berupa paksaan fisik sampai ancaman hukuman
atau tanda ketidaksetujuan. Misanya ketika seorang mahasiswa yang seharusnya
mengikuti kegitan perkuliahan dengan serius malah menggunakan telephone genggam
di kelas ketika perkuliahan berlangsung, lalu dosennya mengancam akan mengambil
telephone genggam mahasiswa tersebut.
3. Keahlian, pengetahuan khusus, training, dan keterampilan juga dapat menjadi sumber
kekuasaan. Hal ini didasari karena kita akan lebih mengikuti saran dari ahli daripada
bukan dari ahlinya. Misanya, seorang bapak yang lebih menengarkan perkataan
dokter daripada perkataan anaknya untuk sesering mungkin istirahat agar
kesehatannya segera pulih.
4. Informasi, usaha mempengaruhi orang lain dengan memberi mereka informasi atau
argument yang logis tentang tindakan yang seharusnya mereka lakukan. Kekuatan
informasi juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan compliance,
meskipun yang mengutarakan informasi tersebut bukanlah seorang yang ahli.
Misalnya, ketika seseorang mengajak temannya untuk mengikuti seminar dan
mengatakan bahwa salah satu pembicarnya adalah penulis buku yang disukai
temanannya.
5. Kekuasaan rujukan, kekuasaan ini eksis ketika kita mengidentifikasi atau ingin
menjalin hubungan dengan kelompok atau orang lain. Dalam sebuah kelompok,
kecendrungan seseorang untuk dapat diterima dalam kelompok tersebut dapat
menimbulkan compliance. Misalnya, anggota-anggota yang ada dalam sebuah
kelompok pertemanan akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok tersebut.
6. Otoritas yang sah, norma sosial yang mengizinkan orang yang berkuasa untuk
mengajukan permintaan. Misalnya, ketua kelompok kepanitiaan memiliki kekuasaan
untuk membagi tugas pada anggota-anggotanya.
Selain enam dasar kekuasaan yang diatas, Frence dan Raven juga memasukan kekuatan
ketidak berdayaan dan manipulasi evironmental ke dalam prinsip dasar compliance. Dalam
kekuatan ketidak berdayaan, Misalnya saja ketika di dalam perpustakaan seseorang ingin
meminta tolong kepada orang yang postur tubuhnya lebih tinggi untuk meraih buku yang
akan dia pinjam, dia tidak dapat meraihnya karena buku tersebut terdapat pada rak tertinggi.
Dalam kasus tersebut, orang yang meminta bantuan itu adalah orang yang ada dalam keadaan
tidak berdaya, dan dalam kasus tersebut orang cendrung untuk memenuhi permintaan, karena
menghormati norma tanggung jawab sosial (norms of social responsibility). Sedangkan
manipulasi environmental dapat terjadi ketika apabila pihak yang mempengaruhi mengubah
situasi sehingga target pengaruh harus tunduk (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Contohnya,
ketika seorang adik yang dijahili oleh kakaknya akan memperingatkan kakaknya dengan
mengancam akan memberitahukan perlakuan kakaknya kepada ayahnya. Disini tujuan dari
peringatan adiknya adalah untuk mengubah sikap kakaknya agar tidak menjahili dia lagi
dengan kekuasaan ayahnya.
Sedangkan menurut Robert C. Cialdini dalam compliance dipengaruhi oleh prinsip dasar,
yaitu (Cialdini, 1995, 2006 dalam Saworno & Meinarno, 2012):
1. Pertemanan atau rasa suka, kecenderungan untuk lebih mudah memenuhi permintaan
teman atau orang yang kita sukai daripada orang yang belum dikenal atau dibenci.
Misalnya, seorang anak yang memuji ibunya agar ibunya menyukainya dan mau
menuruti keinginannya.
2. Komitmen dan konsisten, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan akan suatu
hal yang konsisten ketika kita berada dalam suatu posisi atau tindakan. misalnya
seseorang yang merasa sebagai bangsa Indonesia dan merasa memiliki sifat
nasionalisme yang kuat maka ia akan memasang bendera merah-putih di halaman
rumahnya atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
3. Kelangkaan, kecendrungan untuk menghargai dan mengamankan objek yang langka
atau berkurang ketersediaannya yang memicu untuk memenuhi permintaan yang
menekan kelangkaan daripada yang tidak. Misalnya, seorang penjual mengatakan
kepada pembeli bahwa barang yang ia jual adalah barang-barang yang langka dan
sulit ditemukan sehingga hanya beberapa orang yang mungkin memilikinya dan
membuat pembeli tersebut ingin membeli barang yang dijual oleh penjual tersebut.
4. Timbal-balik, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan dari seseorang yang
yang sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Misalnya, seseorang yang
menerima orang lain sebagai karyawan di perusahaannya karena pernah dibantu oleh
orang tersebut dan merasa harus membalas budi.
5. Validasi sosial, keinginan untuk bertingkah laku benar dengan cara bertingkah laku
dan berfikir seperti orang lain. Misalnya, dalam suatu kelompok pertemanan ada salah
beberapa anggota yang mengatakan bahwa memakai baju berkerah itu adalah hal
yang aneh dan anggota yang lain ikut untuk berfikir demikian.
6. Otoritas, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan orang lain yang memiliki
otoritas atau yang setidaknya tampak memiliki otoritas. Misalnya, seseorang
mahasiswa yang duduk didekat pintu yang terbuka, akan menuruti perintah dari
dosennya untuk menutup pintu daripada perintah yang sama dari temannya sesame
mahasiswa.
Selain prinsip-prinsip compliance di atas, mood juga dapat berpengaruh terhadap
compliance. Seseorang lebih mau melakukan compliance ketika ia merasa senang
dibandingkan ketika ia merasa sedih (Forgas, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dari
hasil eksperimennya mengenai hal ini Josep Forgas mengambil kesimpulan bahwa mood
memberikan efek yang signifikan terhadap reaksi permintaan tolong, efek mood akan lebih
besar apabila permintaannya bersifat kasar: orang yang sedang senang cenderung
mengabaikan cara permintaan yang disampaikan, dan orang yang sedang sedih akan lebih
merespons permintaan yang sopan daripada yang kasar (Forgas, 2001 dalam Taylor, Peplau,
Sears, 2009).
Beberapa riset telah meneliti teknik-teknik spesifik dari compliance, seperti (Taylor,
Peplau, Sears, 2009):
1. Tenik Foot-in-the-Door
Salah satu cara untuk membuat seseorang tunduk adalah dengan mengajukan
permintaan kecil pada awalnya, lalu mengajukan permintaan besar setelahnya. Studi
klasik yang dilakukan oleh Freedman dan Fraser (1966 dalam Taylor, Peplau, Sears,
2009) telah menunjukan efek ini. Dalam efektivitas teknik ini, berperan beberapa
proses psikologi seperti persepsi diri dan keinginan untuk dianggap sebagai seorang
yang konsisten (Guadano, Asher, Demaide, & Cialdini, 2001 dalam Taylor, Peplau,
Sears, 2009). Misalnya ketika seseorang meminta temannya untuk datang ke
rumahnya, dan ketika temannya tiba di rumahnya ia meminta agar temannya
membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
2. Teknik Door-in-the-Face
Dalam teknik ini, seseorang mengajukan permintaan yang besar dan kemudian
mengajukan permintaan yang kecil. Studi yang dilakukan oleh Cialdini et al (1975
dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) membuktikan keefektivan teknik ini. Tenik ini
biasa ditemukan dalam kegiatan tawar-menawar. Misalnya, seorang pedagang
menjual barang seharga Rp 10.000 dan kemudian pembeli menawarnya menjadi Rp
8.000, padahal penjual sengaja memberikan harga Rp 10.000 kepada pembeli tersebut
agar dia mendapatkan uang Rp 8.000 seperti yang sebenarnya ia inginkan.
3. Teknik Low-Ball
Dengan teknik ini awalnya mendapatkan persetujuan dengan permintaan yang tidak
memiliki informasi lengkap, dan kemudian memberikan informasi yang lengkap
setelahnya. Teknik ini tampaknya sukses karena begitu seseorang telah membuat
komitmen public untuk melakukan suatu tindakan, dia akan enggan untuk menarik
komitmennya (Burger & Cornelius, 2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Misalnya ketika seorang mahasiswa meminta kepada temannya sesama mahasiswa
untuk mengadakan rapat angkatan di kampus, tetapi dia tidak diberi tahu bahwa
dalam rapat tersebut mahasiswa yang datang diminta untuk wajib membayar uang
kas. Kemungkinan besar jumlah mahasiswa yang ikut rapat tersebut akan lebih
banyak jika tidak diberikan informasi lengkap mengenai pembayaran wajib uang kas.
4. Teknik That’s-Not-All
Yang dimaksud dengan teknik ini adalah memberikan kesepakatan dan kemudian
menaikan tawaran. Eksperimen yang dilakukan oleh Burger (1986 dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2009) menunjukan efektivitas teknik ini. Misalnya, seorang sales di
supermarket menawarkan pan happy call kepada salah satu pengunjung mall tersebut
dan ketika pengunjung tersebut sedang berfikir apakah ingin membeli atau tidak, sales
tersebut mengatakan bahwa jika pengunjung itu membeli pan happy call tersebut
maka ia akan mendapatkan hadiah berupa buku resep masakan. Padahal buku tersebut
sudah termasuk kedalam pembayaran pembelian pan happy call itu.
5. Teknik Pique
Permintaan yang tidak lazim dan dapat menarik perhatian adalah inti dari teknik ini,
karena kadang orang akan menolak permintaan tanpa berfikir panjang terlebih dahulu
maka untuk meminimalisir hal tersebut permintaan yang diajukan harus dapat
menarik perhatian orang lain. Misalnya seorang pejalan kaki mengabaikan atau
menolak langsung permintaan seorang peminta-minta karena merasa jengkel, tetapi
ketika di hari berikutnya peminta-minta tersebut membuat tulisan “berikan saya 100
perak dan saya akan kenyang” maka tulisan tersebut akan menarik perhatian pejalan
kaki dan memungkinkan ia untuk memenuhi permintaan peminta-minta itu.
C. OBDIENCE (KEPATUHAN)
Selain dipenuhi oleh Konformitas dan Compliance, perilaku kita dalam kehidupan seharihari juga diwarnai dengan kepatuhan (obedience). Dikantor, atasan memerintahkan
bawahannya untuk mengerjakan tugas tertentu. Disekolah guru melarang murid untuk
membawa benda-benda tajam dan merokok. Dirumah, orang tua menyuruh anaknya untuk
beribadah. Dalam perilaku-perilaku diatas, apakah orang yang diperintah akan mematuhi
permintaan tersebut? Biasanya orang-orang mengikuti permintaan atau perintah orang lain
yang dianggap memiliki Power (kekuatan). Perilaku-perilaku ini dalam psikologi sosial,
disebut sebagai obedience atau kepatuhan dalam psikologi social.
Obdience merupakan salah satu jenis pengaruh social, di mana seseorang menaati dan
mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur
power (Baron, Branscombe, dan Bryrne, 2008)
Aspek lain dari pengaruh social adalah kepatuhan (obedience), keadaan di mana seseorang
pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang lain untuk
melakukan sesuatu dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih jarang terjadi dari
conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan
dapat menggunakannya seringkali lebih memilih menggunakan pengaruhnya melalui (velvet
glove) melalui permintaan dan bukannya perintah langsung.
Seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku
tertentu karena adanya unsur power.

Empat penyebab obedience menurut Baron, Branscombe, dan Byrne (2008)
1) Melepas tanggung jawab pribadi. Artinya individu menilai bahwa tanggung jawab ada
pada orang yang memerintahkannya, bukan dirinya pribady, Misalnya atasannya yang
dianggap menanggung semua tanggung jawab.
2) Individu yang memberi perintah menggunakan symbol-simbol, seperti lencana,
seragam, dan yang lainnya untuk mengingatkan orang yang diperintah akan
kekuasaan serta peran yang diemban.
3) Hal-hal yang terjadi secara gradual, yaitu perintah yang dimulai dari hal kecil
kemudian meningkat menjadi lebih besar.
4) Proses yang terjadi sangat cepat sehingga individu tidak bisa merefleksikan dan
berpikir secara mendalam tindakan yang mestinya ia lakukan.

Dalam hal ini terdapat konsep Experimental realism, yakni realitas terhadap pengalaman
yang dapat mempengaruhi kepatuhan, dimana individu menafsirkan situasi yang sangat kuat,
membuat kebanyakan individu sulit untuk melawan. Meskipun kita terdorong untuk
menanyakan “Orang seperti apa yang akan mematuhi perintah untuk menyakiti orang yang
tidak bersalah?”, tetapi dalam psikologi sosial, pertanyaan yang lebih bermanfaat adalah
“Aspek – aspek apakah dari situasi yang membuat orang sulit untuk tidak mematuhi
perintah?”
Penelitian tentang kepatuhan dilakukan oleh “Stanley Milgram” sejak tahun 1963.
Penelitian ini menggunakan alat yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menimbulkan efek
sebagaimana dikemukakan kepada subjek. Penelitian terdiri dari tiga orang yaitu subjek,
eksperimenter dan seorang yang berpasangan dengan subjek (Learner). Prosesnya adalah
eksperimenter meminta subjek untuk membacakan soal-soal yang akan dijawab oleh subjek
dengan kejutan listrik. Setiap kali membuat kesalahan, hukuman dinaikkan 15 volt. Sebelum
eksperimen berlangsung, alat ini dicobakan kepada subjek agar dapat merasakan sengatan
listrik tersebut. Ketika sengatan mencapai voltage tinggi, biasanya subjek meminta
pertimbangan eksperimenter untuk menghentikannya. Eksperimenter meminta kepada subjek
untuk terus melakukan hingga penelitian berakhir pada saat hukuman mencapai 450 volt.
Peristiwa memberikan hukuman tersebut sebenarnya tidak benar-benar terjadi. Ekspresi
Learner ketika subjek menekan tombol hukuman disebut sedemikian rupa, padahal
sesungguhnya dia tidak merasakan apapun. Semua peristiwa tersebut sudah diatur, yang ingin
diteliti dalam eksperimen ini adalah “ seberapa jauh kepatuhan subjek terhadap perintah
eksperimenter” ?
Hasil Penelitian :
-

Ternyata hanya 12.5 % subjek yang berhenti sesudah memberi hukuman pada batas
300 volts. Lebih dari 60 % subjek mematuhi perintah hingga akhir eksperimen.

-

Penelitian ini kemudian dimodifikasi dengan memperdengarkan jeritan Learner.
Hasilnya 37.5 % subjek tidak lagi mematuhi perintah eksperimenter. Apabila subjek
dengan Learner berada dalam satu ruangan, 60 % tidak mematuhi perintah; dan 70%
subjek tidak mematuhi perintah apabila ia harus ikut memegangi alat eksperimennya.

-

Dalam keadaan sendirian hanya 5 % subjek yang mau memberi hukuman hingga di
atas 150 volts, sedangkan jika dalam kelompok 67.5 % mau meneruskan eksperimen.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OBEDIENCE
1) Jenis kelamin. Dalam hubungannya dengan perintah dan tingkat otoritas orang yang
memerintah. Untuk hal-hal yang mengerikan, wanita lebih tidak patuh karena merasa
ngeri melihat dan mendengarkan korban; maka dalam penelitian Milgram, wanita
cenderung lebih menolak perintah.
2) Tingkat otoritas. Pengaruh terhadap kepatuhan dapat dilihat dalam kehidupan seharihari. Orang diperintah atasan akan lebih patuh dibandingkan yang memerintah adalah
teman yang setingkat. Perlu ditambahkan bahwa semakin tinggi status dari figure
yang mempunyai otoritas serta adanya keyakinan bahwa yang bertanggung jawab
terhadap perilaku kepatuhannya itu adalah sumber otoritas maka orang akan semakin
patuh untuk bertingkah laku ( misal: dosen - mahasiswa).
3) Seseorang akan menjadi penurut apabila dirasakan meningkatnya situasi yang
menuntut kepatuhan (contoh : dalam ujian )
4) Terbatasnya peluang untuk tidak patuh.

Individu yg mematuhi perintah yg merusak, menyakiti, dan menghancurkan orang lain
ketika berada dlm situasi diperintahkan untuk melakukannya disebut destructive obedience.
Kepatuhan yang merusak berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan
orang lain atau dirinya sendiri.
Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:
1. Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung
jawab atas tindakan mereka. “saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan
alasan bila sesuatu yang buruk terjadi.
2. Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang
menunjukkan status mereka. Hal ini menimbulkan norma “Patuhilah orang yang
memegang kendali”. Norma ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan
dengannya, sebagian besar orang merasa sulit untuk tidak mematuhinya.
3. Adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta
tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang
berbahaya.
4. Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini
menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.

Berikut ini cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak:
1. Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa
merekalah yang akan bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan—
bukan pihak otoritas.
2. Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar
mematuhi perintah yang merusak adalah tidak layak.
3. Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka
mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur tersebut.
4. Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat
memerintahkan kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri.
Hal ini bisa dicegah dengan diingatkan bahwa ia sendiri mengemban tanggung jawab,
individu harus diberi tahu secara jelas bahwa perintah-perintah yang dekskrutif tidak
diperbolehkan, dan juga individu perlu meninjau ulang motif dari atasannya.
KESIMPULAN

Pada dasarnya pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat
membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya
agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu
dalam pengambilan keputusan agar keputusan tersebut dapat diterima oleh lingkungan
sosialnya, hal ini dikarenakan pengaruh sosial amat kuat dan pervasive terhadap diri individu.
Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena kecendrungan manusia
untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosialnya, hal ini merupakan
dampak positif karena adanya pengaruh sosial dalam masyarakat.
Terdapat tiga tipe dalam pengaruh sosial yaitu, konformitas, kepatuhan, dan ketundukan.
Konformitas adalah suatu bentuk dari pengaruh sosial diman individu mengubah sikap dan
tingkah lakunya agar sesuai dengan norma norma sosial. Salah satu alasan mengapa individu
mengikuti norma sosial yang ada di masyarakat adalah karena individu tersebut ingin dapat
bertahan hidup dengan cara mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosialnya. Norma
sosial adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya kita bertingkah laku. Norma
sosial dapat dibagi menjadi dua yaitu, injuctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit
dan descriptive norms yang dinyatakan secara implisit. Salah satu faktor konformitas yang di
kemukakan oleh Rambe pada tahun 1997 dalam penelitiannya mengenai perkelahian pelajar
adalah kesenangan hal ini dikarenakan seseorang melakukan konformitas karena hal-hal yang
ada di dalam kelompok sosialnya sesuai dengan dirinya, sehingga keinginan untuk
melakukan konformitas besar. Konformitas juga dipengaruhi oleh kultur, karena perbedaan
kultur dapat memberikan makna yang berbeda terhadap konformitas, sehingga kultur
seseorang dapat mempengaruhi tindakan konformitas pada diri individu tersebut.
Konformitas merupakan hal yang berbeda dengan atribusi sosial karena dalam pengertiannya
saja konformitas adalah bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan
tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial, sedangkan pengertian dari atribusi sosial
adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berprilaku tertentu jelas dilihat
dari pengertiannya saja antara atribusi sosial dan konformitas berbeda.
Tipe kedua dari pengaruh sosial adalah compliance atau ketundukan, dalam kehidupan
sehari-hari yang tanpa kita sadari sebenarnya prilaku kita dipengaruhi oleh permintaan
langsung dari orang lain hal inilah yang dinamakan compliance atau ketundukan. Hal yang
paling utama dalam terjadinya prilaku compliance adalah kemauan kita untuk merespon
ucapan orang lain, seperti permintaan orang lain terhadap kita.
Tipe terakhir dari pengaruh sosial adalah obdience atau kepatuhan. Prilaku kita sehari-hari,
selain dipengaruhi oleh konformitas dan compliance juga dapat dipengaruhi oleh obdience
atau kepatuhan. Dalam prilaku obdience biasanya seseorang menaati dan mematuhi
permintaan orang lain untuk melakukan tindakan atau tingkah laku tertentu karena adanya
unsur power,
DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, W., Sarwinto. Meinarno, A., Eko. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika.
Taylor, E., Shelley. Peplau, A., Letitia. dan Sears, O., David. 2009. Psikologi Sosial edisi
keduabelas. Jakarta: Kencana.
Baron, Robert A., Byrne, Donn. (10 th Eds). (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Hornsey, Matthew J; Majkut, Louise; Terry, Deborah J; McKimmie, Blake M. Sep 2003.
“On being loud and proud: Non-conformity and counter-conformity to group norms.”.
British Psychological Society. Volume 42. http://search.proquest.com/docview/219172185?
accountid=34643, 5 januari 2014.
Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica. Jun 2008. “Me, Us, or Them: Who Is More
Conformist? Perception of Conformity and Political Orientation.”. The Journal of Social
Psychology. Volume 148. http://search.proquest.com/docview/199842490?accountid=34643,
13 Januari 2014.
Song, Guandong; Ma, Qinhai; Wu, Fangfei; Li, Lin. 2012. “THE PSYCHOLOGICAL
EXPLANATION OF CONFORMITY.”. Social Behavior and Personality. Volume 40.
http://search.proquest.com/docview/1143352377?accountid=34643, 13 Januari 2014.

More Related Content

What's hot

Presentasi kepribadian (psikologi)
Presentasi kepribadian (psikologi)Presentasi kepribadian (psikologi)
Presentasi kepribadian (psikologi)Mustaqim Furohman
 
Teori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. RogersTeori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. RogersAi Nurhasanah
 
Modifikasi perilaku
Modifikasi perilakuModifikasi perilaku
Modifikasi perilakuAfra Balqis
 
Social Learning Theory
Social Learning TheorySocial Learning Theory
Social Learning Theorymankoma2012
 
Konsep biopsikologi
Konsep biopsikologiKonsep biopsikologi
Konsep biopsikologiMissty II
 
Psikologi Behavioristik
Psikologi BehavioristikPsikologi Behavioristik
Psikologi BehavioristikSeta Wicaksana
 
Kognisi sosial dalam psikologi sosial
Kognisi sosial dalam psikologi sosialKognisi sosial dalam psikologi sosial
Kognisi sosial dalam psikologi sosialPotpotya Fitri
 
Persepsi Sosial - ppt
Persepsi Sosial - pptPersepsi Sosial - ppt
Persepsi Sosial - pptNofrida Atika
 
Psikologi Sosial; Sosial Kognisi
Psikologi Sosial; Sosial KognisiPsikologi Sosial; Sosial Kognisi
Psikologi Sosial; Sosial Kognisielianaherawati
 
Studi kasus psikologi sosial
Studi kasus psikologi sosialStudi kasus psikologi sosial
Studi kasus psikologi sosialelmakrufi
 
SELF dari Sudut Pandang Psikologi Sosial
SELF dari Sudut Pandang Psikologi SosialSELF dari Sudut Pandang Psikologi Sosial
SELF dari Sudut Pandang Psikologi Sosialajengseptiana
 
Psikologi sosial stereptype, prejudice &discrimante
Psikologi sosial   stereptype, prejudice &discrimantePsikologi sosial   stereptype, prejudice &discrimante
Psikologi sosial stereptype, prejudice &discrimanteAmirah Ahmad
 
TEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERS
TEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERSTEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERS
TEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERSIlma Urrutyana
 
TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOW
TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOWTEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOW
TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOWNur Arifaizal Basri
 

What's hot (20)

Presentasi kepribadian (psikologi)
Presentasi kepribadian (psikologi)Presentasi kepribadian (psikologi)
Presentasi kepribadian (psikologi)
 
Teori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. RogersTeori kepribadian Carl R. Rogers
Teori kepribadian Carl R. Rogers
 
Modifikasi perilaku
Modifikasi perilakuModifikasi perilaku
Modifikasi perilaku
 
PSIKOLOGI SOSIAL - PERILAKU AGRESI
PSIKOLOGI SOSIAL - PERILAKU AGRESIPSIKOLOGI SOSIAL - PERILAKU AGRESI
PSIKOLOGI SOSIAL - PERILAKU AGRESI
 
Social Learning Theory
Social Learning TheorySocial Learning Theory
Social Learning Theory
 
Konsep biopsikologi
Konsep biopsikologiKonsep biopsikologi
Konsep biopsikologi
 
Psikologi Behavioristik
Psikologi BehavioristikPsikologi Behavioristik
Psikologi Behavioristik
 
Persepsi Sosial
Persepsi SosialPersepsi Sosial
Persepsi Sosial
 
Kognisi sosial dalam psikologi sosial
Kognisi sosial dalam psikologi sosialKognisi sosial dalam psikologi sosial
Kognisi sosial dalam psikologi sosial
 
Emotion and mood
Emotion and moodEmotion and mood
Emotion and mood
 
Persepsi Sosial - ppt
Persepsi Sosial - pptPersepsi Sosial - ppt
Persepsi Sosial - ppt
 
Psikologi Sosial; Sosial Kognisi
Psikologi Sosial; Sosial KognisiPsikologi Sosial; Sosial Kognisi
Psikologi Sosial; Sosial Kognisi
 
Studi kasus psikologi sosial
Studi kasus psikologi sosialStudi kasus psikologi sosial
Studi kasus psikologi sosial
 
Psikoanalisis
PsikoanalisisPsikoanalisis
Psikoanalisis
 
SELF dari Sudut Pandang Psikologi Sosial
SELF dari Sudut Pandang Psikologi SosialSELF dari Sudut Pandang Psikologi Sosial
SELF dari Sudut Pandang Psikologi Sosial
 
Psikologi sosial stereptype, prejudice &discrimante
Psikologi sosial   stereptype, prejudice &discrimantePsikologi sosial   stereptype, prejudice &discrimante
Psikologi sosial stereptype, prejudice &discrimante
 
TEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERS
TEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERSTEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERS
TEORI JOHN BROADES WATSON DAN CARL ROGERS
 
Psikologi_Kesadaran
Psikologi_KesadaranPsikologi_Kesadaran
Psikologi_Kesadaran
 
TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOW
TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOWTEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOW
TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK MENURUT ABRAHAM MASLOW
 
SKINNER - OPERANT CONDITIONING
SKINNER - OPERANT CONDITIONINGSKINNER - OPERANT CONDITIONING
SKINNER - OPERANT CONDITIONING
 

Similar to PengaruhSosial

Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial
Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial
Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial pjj_kemenkes
 
30.9 pendekatan teori psikologi kanak2
30.9 pendekatan teori psikologi kanak230.9 pendekatan teori psikologi kanak2
30.9 pendekatan teori psikologi kanak2wakzar
 
Bagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diri
Bagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diriBagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diri
Bagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diriRaffy Mundung
 
sosialisasi dan pembentukan kepribadian
sosialisasi dan pembentukan kepribadiansosialisasi dan pembentukan kepribadian
sosialisasi dan pembentukan kepribadiananastanindya
 
Komunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULI
Komunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULIKomunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULI
Komunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULIAwatif Atif
 
Pembelajaran Tingkahlaku Modifikasi
Pembelajaran Tingkahlaku ModifikasiPembelajaran Tingkahlaku Modifikasi
Pembelajaran Tingkahlaku Modifikasinix81_kunie
 
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2Septian Muna Barakati
 
Sikap (Prilaku Manusia)
Sikap (Prilaku Manusia)Sikap (Prilaku Manusia)
Sikap (Prilaku Manusia)pjj_kemenkes
 
Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)
Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)
Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)Eka Nur Fitriyani
 
Sosiologi - Penyimpangan sosial
Sosiologi - Penyimpangan sosialSosiologi - Penyimpangan sosial
Sosiologi - Penyimpangan sosialdionadya p
 

Similar to PengaruhSosial (20)

Conformity
Conformity Conformity
Conformity
 
kelompok 8 pengsos ! .pdf
kelompok 8 pengsos ! .pdfkelompok 8 pengsos ! .pdf
kelompok 8 pengsos ! .pdf
 
Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial
Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial
Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial
 
Seksualiti k.kursus
Seksualiti k.kursusSeksualiti k.kursus
Seksualiti k.kursus
 
30.9 pendekatan teori psikologi kanak2
30.9 pendekatan teori psikologi kanak230.9 pendekatan teori psikologi kanak2
30.9 pendekatan teori psikologi kanak2
 
Bagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diri
Bagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diriBagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diri
Bagaimana cara kebudayaan mempengaruhi konsep diri
 
sosialisasi dan pembentukan kepribadian
sosialisasi dan pembentukan kepribadiansosialisasi dan pembentukan kepribadian
sosialisasi dan pembentukan kepribadian
 
Komunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULI
Komunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULIKomunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULI
Komunikasi & Pemujukan dikaitkan dgn BULI
 
Sos pend
Sos pendSos pend
Sos pend
 
Pembelajaran Tingkahlaku Modifikasi
Pembelajaran Tingkahlaku ModifikasiPembelajaran Tingkahlaku Modifikasi
Pembelajaran Tingkahlaku Modifikasi
 
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2
Makalah pengaruh sosialisasi, nilai budaya terhadap pembentukan kepribadian 2
 
Sikap (Prilaku Manusia)
Sikap (Prilaku Manusia)Sikap (Prilaku Manusia)
Sikap (Prilaku Manusia)
 
Manusia dan perilakunya
Manusia dan perilakunyaManusia dan perilakunya
Manusia dan perilakunya
 
Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)
Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)
Rahmania alfa rodina (penyimpangan sosial)
 
Tugas sosiologi sosialisasi
Tugas sosiologi sosialisasiTugas sosiologi sosialisasi
Tugas sosiologi sosialisasi
 
Tugas sosiologi
Tugas sosiologiTugas sosiologi
Tugas sosiologi
 
Tugas sosiologi sosialisasi
Tugas sosiologi sosialisasiTugas sosiologi sosialisasi
Tugas sosiologi sosialisasi
 
Tugas sosiologi
Tugas sosiologiTugas sosiologi
Tugas sosiologi
 
F 20025 3o
F 20025 3oF 20025 3o
F 20025 3o
 
Sosiologi - Penyimpangan sosial
Sosiologi - Penyimpangan sosialSosiologi - Penyimpangan sosial
Sosiologi - Penyimpangan sosial
 

Recently uploaded

PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024budimoko2
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptpolinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptGirl38
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfLAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfChrodtianTian
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasHardaminOde2
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmeunikekambe10
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdfMMeizaFachri
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfkustiyantidew94
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 

Recently uploaded (20)

PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..pptpolinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
polinomial dan suku banyak kelas 11..ppt
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdfLAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
LAPORAN PKP KESELURUHAN BAB 1-5 NURUL HUSNA.pdf
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 

PengaruhSosial

  • 1. TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI SOSIAL PENGARUH SOSIAL KONFORMITAS, COMPLIANCE, DAN OBIDIENCE DISUSUN OLEH: 1. SELY ANANDA 46112010018 2. DESI NURMALASARI 46112010099 3. ALITA DESTIYAMDA PERTIWI 46112010060 UNIVERSITAS MERCUBUANA FAKULTAS PSIKOLOGI Jl. Raya Meruya Selatan Kembangan, Jakarta Barat 11650 2013
  • 2. Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari pengaruh sosial (social influence) yang akan mempengaruhi bagaimana ia bertingkah laku dalam lingkungannya. Secara definitif, pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya (Caldini, 1994 dalam Sarworno & Meinarno, 2012). Seperti definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Contohnya saja ketika seorang wanita dari kalangan keluarga pesantren yang sangat taat, dan menjunjung tinggi nilai bahwa wanita harus segera dinikahkan ketika dewasa agar tidak menimbulkan fitnah meskipun wanita tersebut sebenarnya ingin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi namun karena pengaruh sosial yang sangat kuat terhadap dirinya maka ia tidak dapat mempengaruhi lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan tetapi lingkungan sosialnyalah yang mempengaruhi ia dalam mengambil keputusan. Pengaruh sosial amat kuat dan pervasif terhadap individu (Sarwono & Meinarno, 2012), karena hal inilah individu berusaha untuk menahan control dirinya yang tidak sesuai dengan keingininan kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap prilaku individu (Sarwono & Meinarno, 2012), Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena kecendrungan manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial. Namun sayang nya, kecendrungan untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial tidak selalu berarti positif karena bisa saja suatu individu mengikuti normanorma yang berlaku dalam lingkungan sosial yang berprilaku negatif. Seperti konformitas pada prilaku perkelahian pelajar. Terdapat tiga tipe penaruh sosial yaitu: konformitas, kepatuhan, dan ketundukan pada otoritas. A. KONFORMITAS Secara sadar maupun tidak, individu pada dasarnya cenderung untuk mengikuti aturanaturan yang terdapat di lingkungan sosialnya. Seperti ketika seseorang memilih pakaian yang sama dengan orang lain dalam lingkungannya karena mengikuti tren berpakaian yang ada di lingkungannya, padahal orang tersebut bisa saja tidak memilih pakaian yang sama dengan orang lain jika ia mau tetapi ia memilih untuk mengenakan pakaian yang sama dengan orang disekitarnya agar sesuai dengan prilaku orang lain dan hal inilah yang disebut dengan konformitas (conformity). Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008 dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Ketika seseorang ada dalam suatu kelompok sosial, pasti ia akan mengikuti norma sosial yang ada di dalam kelompok social tersebut hal ini dilakukan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya untuk dapat bertahan hidup. Norma sosial adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya kita bertingkah laku (Saworno & Meinarno, 2012). Norma social dapat berupa injunctive norms, yaitu hal apa
  • 3. yang seharusnya kita lakukan dan descriptive norms, yaitu hal apa yang kebanyakan orang lakukan. Injuctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit, misalnya setiap mahasiswa di Universitas Mercubuana harus memiliki Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan setiap mahasiswa harus menggunakan sepatu tertutup ketika berada di lingkungan kampus atau peringatan tidak boleh merokok pada area kampus. Jadi injuctive norms adalah norma yang dinyatakan secara tegas dan memiliki sangsi ketika tidak dilakukan. Sedangkan descriptive norms biasanya bersifat implisit, tidak dinyatakan secara tegas dan tertulis. Misalnya saja ketika hari Raya Lebaran sudah menjadi tradisi untuk bermaaf-maafan, atau ketika kita menjenguk orang sakit kita biasanya membawa buah-buahan. Norma juga bisa jadi mendetail dan eksplisit, lihat saja perbedaan norma nikah pada adat Islam dan adat Jawa. Jika dalam adat Islam norma nikahnya adalah adanya calon suami, calon isteri, wali, saksi minimal dua orang, dan dilakukan akad nikah maka pernikahan dapat dikatakan sah. Tetapi adat Jawa memiliki norma nikah yang lebih mendetail dan lebih eksklusif, dalam adat Jawa terdapat malam midodareni dan siraman pada malam sebelum pernikahan. Saat siraman air yang digunakan harus terdapat kembang tujuh rupa untuk kedua mempelai dan sebagian air siraman dari mempelai wanita harus diantarkan kepada mempelai pria untuk kemudian digunakan kepada mempelai pria. Pada saat akad nikah, orang tua calon pengantin pria/wanita tidak hadir. Sedangkan saat prosesi menuju pelaminan ada kegiatan injak telur, balangan, dan kacar-kucur. Manusia dapat mengikuti norma sosial karena adanya tekanan-tekanan untuk berprilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial yang ada, tekanan tersebut juga dapat dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Misalnya ketika dua orang yang sudah sepakat untuk menikah secara sederhana tanpa rumit dan repotnya adat tertentu dapat berubah sikap menjelang pernikahan Karena adanya tekanan orang tua dan keluarga besarnya yang menginginkan untuk melangsungkan pernikahan dengan cara adat tertentu. Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron, Branscombe, dan Byrne, 2008 dalam Sarwono & Meinarno, 2012), hal ini dapat dilihat ketika sebuah masjid disuatu daerah mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana alam, dapat dilihat bahwa beberapa orang melihat berapa besar sumbangan yang diberikan oleh tetangganya dan cendrung untuk mengikuti berapa besar sumbangan yang diberikan oleh tetangganya. Atau ketika penggunaan smartphone Blackberry mulai menyebar, sebelumnya hanya masyarakat lapisan menengah atas yang menggunakan smartphone Blackberry tetapi kemudian merambah ke lapisan masyarakat yang lain, yang dapat dikatakan bahwa terjadi konformitas yang memiliki tujuan agar dapat disukai dan dapat bertindak benar menurut kelompok sosialnya. Terdapat beberapa riset awal mengenai konformitas dalam psikologi social, antara lain penelitian dari Muzafer Sherif (1936 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) dan Salomon Asch (1951, 1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dalam riset yang dilakukan oleh Muzafer Sherif (1936 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) tentang autokinetic phenomenon, beberapa mahasiswa pria yang menjadi partisipan diminta untuk duduk diruang gelap dan melihat satu titik cahaya. Sebelumnya setiap mahasiswa diberi tahu bahwa titik tersebut bergerak dan tugas mereka adalah memperkirakan
  • 4. berapa jauh cahaya tersebut bergerak. Sebagian besar partisipan merasa kesulitan untuk membuat perkiraan karena menurut mereka cahaya tersebut bergerak dalam kecepatan bervariasi dan ke arah yang berbeda. Sebenarnya, penelitian tersebut menggunakan ilusi perseptual yang disebut “efek autokinetik”: salah satu titik cahaya yang terlihat dalam gelap tampak seperti bergerak, meskipun sesungguhnya cahaya itu tetap diam di tempat. Karena ambiguitas situasi ini, para partisipan tidak dapat memastikan penilaiannya. Banyak partisipan yang mengatakan bahwa cahaya tersebut bergerak sekitar 1 atau 2 inci tetapi ada pula partisipan yang beranggapan bahwa cahaya tersebut bergerak sejauh 800 kaki, hal ini terjadi mungkin karena partisapan tersebut mengira bahwa ia berada dalam ruangan gymnasium. Dalam serangkaian eksperiamen yang Sherif lakukan, ia membagi kelompok dalam dua atau tiga orang. Dalam eksperimen tersebut partisipan diminta untuk mengatakan perkiraannya dengan keras segera ketika cahaya diperlihatkan. Dalam percobaan pertama, umumnya jawaban para partisipan beragam. Tetapi ketika berulangkali dilakukan percobaan, jawaban para partisipan menjadi semakin sama. Dalam hal ini para partisipan mempertimbangangkan jawaban lain dari dalam kelompok mereka. Apa yang ingin di perlihatkan Sherif dalam eksperimen ini adalah kemunculan norma atau standar kelompok untuk menilai cahaya tersebut. Akhirnya, ketika partisipan diminta untuk menjawab pertanyaan sendiri tanpa adanya kelompok jawaban mereka tetap terpengaruh oleh jawaban yang diberikan oleh kelompok mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin melihat kemunculan suatu norma social saat kelompok pertemanan kita mulai membuat aturan mengenai tempat yang rutin dikunjungi ketika selesai kegiatan perkuliahan, atau dalam gaya berpakaian dan berprilaku. Dalam eksperimen lain yang dilakukan oleh Sherif, dia melakukan variasi lain yaitu dengan cara partisipan memberi penilaian dalam satu kelompok yang terdiri dari dua orang. Tetapi, sebenarnya hanya satu orang yang menjadi partisipan rill; sedangkan orang kedua sebenarnya adalah periset yang membantu peneliti untuk memberikan penilaian yang lebih tinggi atau lebih rendah dari penilaian partisipan rill. Dalam kondisi ini, partisipan rill mulai memberi penilaian yang lebih mendekati penilaian periset. Jika misalnya pada percobaan pertama partisipan rill memberikan penilaian bahwa cahaya tersebut bergerak antara 10 sampai 15 inci dan periset memberikan penilaian bahwa cahaya tersebut hanya bergerak sejauh 2 sampai 3 inci maka pada percobaan berikutnya partisipan rill akan cendrung menurunkan penilaiannya. Pada akhirnya, penialain partisipan rill akan sama dengan penilaian periset tersebut. Dalam eskperimen ini Sherif telah membuktikan bahwa dalam situasi yang tidak pasti dan ambigu, orang cendrung menyesuaikan diri dengan norma yang dibangun oleh rekannya yang lebih konsisten. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat ketika seorang anggota baru dalam kelompok kemahasiswaan akan mengikuti cara berprilaku dan cara berpakaian anggota lain yang sudah lebih dulu ada dalam kelompok tersebut. Salomon Asch (1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) dalam penelitiannya ingin mengetahui apakah konformitas hanya terjadi dalam situasi ambigu, seperti yang ditunjukan oleh penelitian Sherif, dimana orang tidak mengetahui apakah jawab yang benar. Apakah orang akan menyesuaikan dirinya jika situasi stimulusnya pasti atau jelas? Asch berpendapat bahwa ketika orang menghadapi situasi yang tidak ambigu, mereka akan percaya pada persepsinya sendiri dan memberi penilaian yang independen, bahkan ketika anggota lain dari
  • 5. kelompoknya tidak setuju dengannya. Asch melakukan penelitian untuk menguji hipotesisnya tesebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asch, partisipannya adalah lima orang mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam studi tentang persepsi. Para pastisipan tersebut diminta duduk di sekitar sebuah meja dan diberi tahu bahwa mereka harus menilai panjang garis. Mereka diberikan dua kartu, satu kartu berisi garis “standar” dan kartu kedua berisi tiga kartu berbeda yang salah satunya sama panjangannya dengan garis “standar” yang terdapat pada kartu pertama. Parisipan diminta untuk memilih garis mana yang panjangannya sama dengan garis “standar” yang terdapat pada kartu pertama. Lima partisipan diminta untuk menjawab dengan mejawab dengan suara keras secara bergiliran sesuai dengan urutan tempat duduknya ketika garis di tunjukan kepada meraka, orang pertama memberikan jawaban selanjutanya orang kedua dan seterunya sampai orang kelima. Karena penilaian pada percobaan pertama mudah, maka tidak ada perbedaan jawaban antara partisipan. Ketika semua partisipan sudah memberikan jawaban, selanjutnya diberikan kembali satu set kartu kedua, dan mereka menjawab lagi, dan kemudian diberikan lagi satu set kartu ketiga. Pada titik ini, eksperimen tersebut tampaknya membosankan dan tidak menghasilkan apaapa. Tetapi pada percobaan eksperimen ketiga, partisipan pertama melihat garis tersebut secara lebih teliti dan kemudian memberi jawaban yang keliru. Partisipan selanjutnya juga memberi jawaban yang salah, begitupun dengan partisipan ketiga dan keempat. Partisipan kelima tampak merasa penasaran, dia jelas melihat bahwa keempat partisipan sebelumnya memberi jawaban yang salah. Misalnya jawaban yang benar adalah garis 2, tetapi keempat partisipan sebelumnya memilih jawaban garis 1. Partisipan kelima mengetahui bahwa jawaban yang benar adalah garis 2, tetapi sepertinya semua orang memilih garis 1 sebagai jawaban yang benar. Dalam situasi ini, kadang-kadang partisipan kelima memberikan jawaban yang salah seperti keempat partisipan lain meskipun ia tahu bahwa jawaban itu salah. Sebagian partisipan memberi jawaban salah dalam 35% dari seluruh jumlah percobaan. Beberapa partisipan tidak memberikan jawaban yang salah, dan sebagian lagi memberi jawaban yang selalu salah. Biasanya dari tiga orang partisipan, satu orang memberikan jawaban yang salah. Sebenarnya dalam eksperimen ini situasinya sudah direkayasa. Empat partisipan pertama adalah pembantu peneliti dan mereka sudah diminta untuk memberikan jawaban sesuai permintaan peneliti. Tetapi, partisipan real tidak mengetahui hal tersebut, dan ikut – ikutan memberi jawaban yang salah. Penting untuk mengingat penilaian seperti ini. Perkiraan bahwa subjek yang memberikan jawaban tidak yakin dengan jawaban yang benar dan juga karena dipengaruhi oleh orang lain. Tetapi pemikiran ini salah. Partisipan disini cukup yakin pada jawaban yang benar dan ketika tidak ada tekanan kelompok dia selalu memilih jawaban yang benardalam percobaan. Mereka ikut menyesuaikan diri meski mereka tahu mana jawaban yang benar. Jumlah konformitas yang ditemukan dalam studi yang dilakukan Asch terhadap mahasiswa di AS belum dapat dikatakan tinggi atau rendah. Kebanyakan partisipan menyesuaikan diri setidaknya sekali selama eksperiment berlangsung. Disisi lain, kebanyakan jawaban yang diberikan oleh partisipan adalah benar meski terdapat tekanan kelompok. Dalam hal ini jelas ada konformitas, tetapi itu independent dari penilaian. Asch
  • 6. tampaknya melihat bahwa ia hanya menemukan sedikit konformitas dalam penelitiannya ini dan karena itu dia merasa agak cemas : “Kami menemukan tendensi kuat untuk melakukan konformitas dimasyarakat kita, dan bahkan sangking kuatnya orang-orang muda yang cerdas tampaknya bisa terpengaruh karenanya” (Asch, 1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Penelitian Asch memicu timbulnya banyak studi lain mengenai konformitas. Riset telah menunjukan efek konformitas yang sama pada berbagai tugas eksperimen, seperti mengevaluasi pernyataan opini, pernyataan fakta, dan silogisme logis (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dengan kata lain, terlepas dari stimulus yang diberikan dan kejelasan jawaban yang benar ketika individu dihadapkan pada penilaian kelompok yang seragam, tekanan mayoritas dari kelompok akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Myres (1988 dalam Saworno & Meinarno, 2012) membagi konformitas menjadi dua bentuk, yaitu: 1. Konformitas compliance, dalam bentuk konformitas ini individu bertindak sesuai dengan tekanan kelompok. Meskipun sebenarnya dirinya sendiri tidak menyetujui tindakan tersebut. Pada konformitas compliance, individu berusaha menghindari penolakan kelompok dan mengharapkan penerimaan kelompok (normative influence). 2. Konformitas acceptance, dalam bentuk konformitas ini tingkah laku dan keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya. Pada konformitas acceptance, konformitas terjadi karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh individu (informational influence). Seorang individu memiliki kencendrungan untuk menyesuaikan diri meskipun tidakan tersebut bertentangan dengan persepsinya sendiri secara personal. Dalam banyak kasus, banyak individu yang memiliki anggapan bahwa persepsi kelompoknya salah sedangkan persepsinyalah yang benar. Tetapi ketika individu tersebut diminta untuk memberikan jawaban terbuka, mereka cenderung untuk memberikan jawaban kelompok yang bahkan menurut mereka salah. Kecenderungan untuk melakukan konformitas sebenarnya tidak selalu pada hal-hal positif, tetapi juga konformitas terhadap hal-hal yang negative. Seperti yang terjadi pada perkelahian pelajar, dalam perkelahian pelajar dapat dilihat bahwa manusia cendrung untuk melakukan konformitas pada hal-hal negatif. Terdapat beberapa penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mengkaji masalah perkelahian pelajar tersebut, seperti penelitian yang dilakukan oleh Soekadji, dkk (1992, dalam Sarwono & Meinarno, 2012) yang mengatakan bahwa perkelahian pelajar terjadi karena siswa-siswa baru suatu SMU mewarisi tradisi perkelahian tersebut dari kakak-kakak kelas mereka. Biasanya siswa-siswa baru tersebut diindoktrinasi oleh kakak kelas mereka, indoktrinasi disini maksudnya adalah meraka harus mau membela kawan sekolah mereka dimana pun, kapan pun, dan dengan cara apapun. Dan apabila mereka melakukan penolakan terhadap hal tersebut, maka mereka akan mendapatkan hukuman berupa kekerasan fisik dan dikucilkan oleh teman-teman sekolahnya. Karena adanya tekanan dari kelompok sosialnya, sehingga mereka pun melakuakan perkelahian antar pelajar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ronni Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012), sample penelitiannya adalah siswa pelajar SMU yang menjadi pelaku perkelahian pelajar dengan rentang usia 15-19 tahun dan pernah terlibat perkelahian pelajar delam 6 bulan terakhir. Dengan 60 partisipan Rambe mengukur dengan menggunakan alat ukur konformitas
  • 7. dan menggunakan selfesteem inventory dari Coopersmith. Hasil penelitian yang dilakukan Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) tidak menunjukan adanya hubungan antara konformitas dengan harga diri yang dimiliki pelajar yang terlibat perkelahian, tidak selalu pelajar dengan harga diri rendah menampilakan konformitas compliance, begitu juga tidak selalu pelajar dengan harga diri tinggi menampilkan konformitas acceptance. Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan tingkah laku konformitas dalam perkelahian pelajar: 1. Faktor pertama adalah alasan pribadi, antara lain sebagai pengalihan untuk melupakan masalah personal, membangun rasa percaya diri, menghilangakan beban pelajaran, melampiaskan kekesalan, dan menambah pengalaman. 2. Faktor kedua adalah kesenangan, antara lain senang terlibat dalam perkelahian, suka bekelahi meskipun tahu bahwa perkelahiandapat membuat terluka. 3. Faktor ketiga adalah keterpaksaan dengan alasan, antara lain buang-buang waktu danmerasa takut atau was-was akan di pukul. 4. Faktor ke empat adalah ketidaksetujuan, antara lain tidak setuju menyelesaikan masalah dengan berkelahi 5. Faktor kelima adalah kesetiakawanan, yaitu ingin membantu teman yang dipukul oleh siswa sekolah lain. Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) menyimpulkan bahwa faktor pertama, kedua, dan kelima beracuan kepada konformitas acceptance. Sementara faktor ketiga dan keempat mengacu kepada konformitas compliance. Tetapi prilaku konformitas kelompok tidak berarti tidak memiliki tujuan, seperti yang diungkapkan dalam jurnal psikologi; “But herd behavior does not mean behavior without purpose. Usually, the purpose is clear. For example, a clerk may follow the orders of his/her superior because he/she can benefit by doing so. In this case, his/her purpose is very clear. Of course, herd behavior can also be purposeless, for example, the instinctive reflex of organisms.” (Song, Guandong; Ma, Qinhai; Wu, Fangfei; Li, Lin, 2012) jadi dapat dilihat bahwa prilaku konformitas pada kelompok memiliki tujuan-tujuan yang jelas. Perlu diketahui bahwa tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma kelompok, karena ada faktor-faktor tertentu yang menentukan sejauh mana individu melakuakan konformitas atau justru malah menolaknya. Baron, Branscombe, dan Byrne (2008 dalam Saworno & Meinarno) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi terjadi konformitas, yaitu : 1. Kohesivitas kelompok adalah sejauh mana kita tertarik terhadap suatu kelompok social tertentu dan ingin menjadi bagian dari kelompok social tersebut. Karena semakin menarik sebuah kelompok sosial maka semakin besar kemungkinan bagi individu untuk melakukan konformasi terhadap norma kelompok tersebut. 2. Besar kelompok menunjukan berapa banyak orang yang berprilaku dengan normanorma tertentu yang terdapat dalam kelompok tersebut, sehingga semakin banyak yang mau mengikutinya.
  • 8. 3. Norma yang bersifat injuctive cenderung di abaikan, sedangkan norma yang bersifat descriptive cendrung diikuti. Tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma kelompoknya, dikarenakan individu kadang memiliki keinginan untuk menjadi unik dan beda dari yang lain (Baron, Branscombe, dan Byrne, 2012 dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Dalam sebuah jurnal yang berjudul On Being Loud and Proud: Non-Conformity and Counter-Conformity to Group Norms pada tahun 2003 menunjukan dalam dua eksperimen yang dilakukan bahwa terjadinya prilaku konformitas terkait dengan landasan moral pada individu; “In both experiments, it was found that participants who had a weak moral basis for their attitude conformed to the group norm on private behaviours. In contrast, those who had a strong moral basis for their attitude showed non-conformity on private behaviours and counterconformity on public behaviour. Incidences of non-conformity and counter-conformity are discussed with reference to theory and research on normative influence (Hornsey, Matthew J; Majkut, Louise; Terry, Deborah J; McKimmie, Blake M ; Sep 2003). Tetapi dibandingkan dengan yang tidak melakukan konformitas, lebih banyak individu yang melakukan konformitas. Hal ini dapat dipandang secara positif ataupun negatif, hal positif dari adanya konformitas adalah kecendrungan individu untuk mengikuti aturan atau norma yang berlaku di masyarakat sehingga terciptanya keteraturan. Disamping konformitas dalam hal positif, juga terdapat konformitas negatif seperti perkelahian antar pelajar yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pengalaman konformitas sehari-hari dibentuk oleh kontes kultural (Kim & Markus, 1999 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), konformitas dipandang berbeda-beda dalam berbagai kultural yang ada. Misalnya saja di AS dan Eropa Barat yang menekankan kepada kultur induvidualis menekankan kepada kebebasan dan kemandirian personal (Taylor, Peplau, Sears, 2009), sehingga konformitas dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan dapat membatasi kebebasan personal. Sebaliknya, di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang memiliki kultur kolektivis menekankan kepada pentingnya ikatan pada kelompok sosial. Dalam kultur kolektivis orang tua sangat menjunjung tinggi kepatuhan, perilaku yang tepat, dan penghormatan terhadap tradisi kelompok (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 1992 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), sehingga konformitas dianggap sebagai cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban moral. Dalam bahasa Korea konformitas mengandung arti kedewasaan dan kekuatan batin (Kim & Markus, 1999 Taylor, Peplau, Sears, 2009). Ada nya konsistensi antara nilai-nilai kultural yang dipelajari seseorang saat mereka masih dalam tahap tumbuh-kembang dan yang mereka lihat di media massa, dan preferensi dan perilaku yang mereka tunjukan pada tahap dewasa (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan kultur dapat memberikan makna yang berbeda terhadap konformitas. Pada penelitian mengenai konformitas terbaru yang dilakukan oleh Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica pada tahun 2008 mengenai persepsi konformitas, diketahui bahwa orientasi politik seseorang juga mempengaruhi persepsinya mengenai konformitas. “Our findings also confirm that political orientation can affect perceptions of conformity, as left-wing participants evaluated conformity more negatively and were less ambivalent toward it than were right-wing participants.” (Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica, 2008). Dalam melakukan konformitas individu biasanya memiliki alasan. Diantaranya adalah dua alasan penting, yakni ingin melakukan hal yang benar dan ingin disukai (Martin &
  • 9. Hewstone, 2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Individu biasanya lebih menyukai untuk menyesuaikan diri dengan perilaku kelompok yang ia anggap benar dan apabila ia ingin disukai atau diterima oleh anggota kelompok tersebut. Salah satu alasan seseorang melakukan konformitas adalah ketika orang lain memberikan informasi yang bermanfaat bagi dirinya, hal ini disebut informational influence atau pengaruh informasi yang ditimbulkan dari keinginan untuk bertindak benar sesuai keinginan kelompok sosial. Misalnya ketika seseorang baru pertama kali menonton film di bioskop, maka orang tersebut akan memperhatikan orang lain yang dia anggap sudah terbiasa menonton di bioskop, seperti mengamati perilaku mereka dalam membeli tiket. Dengan cara seperti itu orang tersebut dapat menguasai dasar-dasar sistem pembelian tiket di bioskop tersebut. Semakin besar kepercayaan kita kepada informasi dan opini kelompok, semakin mungkin kita menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Pada dasarnya tingkat konformitas pada seseorang akan meningkat seiring dengan meningkatnya kepercayaan pada kebenaran suatu kelompok dimana ia melakukan konformitas. Keyakinan kepada kelompok harus diimbangi dengan keyakinan kepada diri sendiri. Studi-studi awal menemukan bahwa semakin ambigu atau semakin sulit tugas, semakin cenderung orang menyesuaikan diri dengan penilaian kelompok (Coleman, Blake, & Mouton, 1958 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), hal ini mungkin terjadi karena kurangnya keyakinan terhadap penilaian sendiri. Kurangnya keyakinan terhadap penilaian sendiri bisa saja disebabkan karena kurangnya pengetahuan. Bila konformitas terjadi karena adanya pengaruh informasi yang menimbulkan keyakinan bahwa anggota kelompok benar, individu biasanya mengubah cara berfikir dan berperilaku yang mereka miliki. Pengaruh informasi karenanya dapat dilihat sebagai proses rasional yang menyebabkan perilaku orang lain bisa mengubah keyakinan atau interprestasi kita atas situasi dan konsekuensinya membuat kita bertindak sesuai dengan kelompok itu (Grivvin & Buehler, 1993 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Alasan kedua dari terjadinya konformitas adalah keinginan agar diterima secara sosial, hal ini dinamakan normative influence atau pengaruh normatif (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Individu biasanya ingin agar dapat diterima, disukai, dan diperlakukan dengan baik oleh individu lain dalam kelompok sosial. Secara bersamaan, kita ingin menghindari penolakan, pelecehan, dan ejekan (Janes & Olson, 2000 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Pengaruh normative terjadi ketika individu mengubah perilakunya untuk menyesuaikan diri terhadap norma kelompok agar dapat diterima secara sosial. Dalam situasi semacam ini, konformitas menimbulkan perubahan lahiriah didalam perilaku publik, tetapi tidak selalu mengubah opini pribadi kita. Individu cenderung menyesuaikan diri dalam suatu situasi ketimbang situasi lain (Cialdini & Trost, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Yang dimaksud dalam hal ini adalah, individu cenderung menyesuaikan diri kedalam situasi dimana ia dipengaruhi oleh ukuran kelompok; konformitas biasanya meningkat apabila ukuran kelompok meningkat, keseragaman atau kekompakan opini kelompok; seorang yang berhadapan dengan mayoritas akan cenderung untuk mengikuti atau menyesuaikan diri dengan mayoritas itu, dan komitmen; konformitas dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar individu dengan kelompok (Forsyth, 1999 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) kita kepada kelompok yang dapat mempengaruhi konformitas. Selain pengaruh yang telah disebutkan tadi, ada perbedaan
  • 10. individu dalam keinginan akan individuasi yang juga dapat mempengaruhi apakah kita akan menyesuaikan diri atau membangkang dalam kelompok sosial. Keinginan individuasi adalah keinginan individu untuk menjadi berbeda dan mencolok dari orang lain. Konformitas terhadap mayoritas adalah aspek dasar dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, pengaruh minoritas bukanlah tidak penting. Terkadang kubu minoritas yang kuat dengan ide baru dan unik dapat merubah pandangan mayoritas (DeDreu & DeVries, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Agar minoritas dapat efektif, minoritas harus konsisten dan kuat (Wood et al., 1994 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). B. COMPLIANCE (KETUNDUKAN) Salah satu cara orang untuk saling mempengaruhi satu sama lain adalah dengan meminta orang lain melakukan hal yang sama (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Seperti ketika seseorang meminta temannya untuk menilai bagaimana penampilannya, atau ketika seseorang meminta untuk dipinjamkan uang. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali prilaku kita dipengaruhi oleh permintaan langsung orang lain (Saworno & Meinarno, 2012). Dalam psikologi sosial hal ini merupakan suatu bentuk dari pengaruh sosial, yaitu compliance atau ketundukan. Compliance (ketundukan memenuhi permintaan orang lain) didefinisikan sebagi melakukan apa-apa yang diminta orang lain, walau mungkin kita tidak suka (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Hal utama dari compliance adalah kemauan kita untuk merespon permintaan orang lain, misalnya ketika kita sedang berjalan disebuah mall dan ada seseorang yang menawarkan anda selebaran promosi suatu produk, biasanya meskipun anda tidak menginkan membeli produk tersebut anda akan tetap mengambil brosur yang ditawarkan. Atau bisa jadi ketika orang tersebut menawarkan potongan harga, kita akan tertarik untuk membeli pruduk itu karena kita berfikir kita akan mendapat keuntungan dari potongan harga tersebut. Dalam kasus ini terkadang kita memenuhi permintaan begitu saja, tanpa ada sebabnya. Atau dalam kasus lain, seorang adik meminta untuk diambilkan mainan di atas lemari oleh kakaknya yang berdiri dekat dengan lemari dan kakaknya mengambilkan mainan tersebut. Ellen Langers menyebut prilaku ini sebagai “tanpa berfikir,” sebab respon itu diberikan hampir tanpa dipikirkan dahulu. Mungkin karena kebiasaan, kita belajar ketika seseorang meminta atau membutuhkan sesuatu, khususnya sesuatu yang sepele atau biasa saja, dan orang tersebut memberikan alasan (meski alasanya tidak bermakna ataupun tidak masuk akal), maka kita seharusnya memenuhi permintaan tersebut (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Compliance memiliki berbagai prinsip dasar yang di utarakan oleh beberapa ahli, seperti French dan Bertman Raven serta Robert C. Cialdini. French dan Raven membagi prinsip dasar compliance dalam enam dasar kekuasaan yaitu (Frence & Raven, 1959 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009): 1. Imbalan, salah satu basis kemampuan adalah kemampuan untuk memberi hasil positif bagi orang lain, memberi hasil positif disini dapat berarti membantu orang lain mendapatkan tujuan yang diinginkan atau menawarkan imbalan yang bermanfaat. Misanya, orang tua yang menjanjikan hadiah kepada anaknya jika anak tersebut dapat meraih peringkat pertama di kelasnya.
  • 11. 2. Koersi, koersi atau pemakasaan dapat berupa paksaan fisik sampai ancaman hukuman atau tanda ketidaksetujuan. Misanya ketika seorang mahasiswa yang seharusnya mengikuti kegitan perkuliahan dengan serius malah menggunakan telephone genggam di kelas ketika perkuliahan berlangsung, lalu dosennya mengancam akan mengambil telephone genggam mahasiswa tersebut. 3. Keahlian, pengetahuan khusus, training, dan keterampilan juga dapat menjadi sumber kekuasaan. Hal ini didasari karena kita akan lebih mengikuti saran dari ahli daripada bukan dari ahlinya. Misanya, seorang bapak yang lebih menengarkan perkataan dokter daripada perkataan anaknya untuk sesering mungkin istirahat agar kesehatannya segera pulih. 4. Informasi, usaha mempengaruhi orang lain dengan memberi mereka informasi atau argument yang logis tentang tindakan yang seharusnya mereka lakukan. Kekuatan informasi juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan compliance, meskipun yang mengutarakan informasi tersebut bukanlah seorang yang ahli. Misalnya, ketika seseorang mengajak temannya untuk mengikuti seminar dan mengatakan bahwa salah satu pembicarnya adalah penulis buku yang disukai temanannya. 5. Kekuasaan rujukan, kekuasaan ini eksis ketika kita mengidentifikasi atau ingin menjalin hubungan dengan kelompok atau orang lain. Dalam sebuah kelompok, kecendrungan seseorang untuk dapat diterima dalam kelompok tersebut dapat menimbulkan compliance. Misalnya, anggota-anggota yang ada dalam sebuah kelompok pertemanan akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok tersebut. 6. Otoritas yang sah, norma sosial yang mengizinkan orang yang berkuasa untuk mengajukan permintaan. Misalnya, ketua kelompok kepanitiaan memiliki kekuasaan untuk membagi tugas pada anggota-anggotanya. Selain enam dasar kekuasaan yang diatas, Frence dan Raven juga memasukan kekuatan ketidak berdayaan dan manipulasi evironmental ke dalam prinsip dasar compliance. Dalam kekuatan ketidak berdayaan, Misalnya saja ketika di dalam perpustakaan seseorang ingin meminta tolong kepada orang yang postur tubuhnya lebih tinggi untuk meraih buku yang akan dia pinjam, dia tidak dapat meraihnya karena buku tersebut terdapat pada rak tertinggi. Dalam kasus tersebut, orang yang meminta bantuan itu adalah orang yang ada dalam keadaan tidak berdaya, dan dalam kasus tersebut orang cendrung untuk memenuhi permintaan, karena menghormati norma tanggung jawab sosial (norms of social responsibility). Sedangkan manipulasi environmental dapat terjadi ketika apabila pihak yang mempengaruhi mengubah situasi sehingga target pengaruh harus tunduk (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Contohnya, ketika seorang adik yang dijahili oleh kakaknya akan memperingatkan kakaknya dengan mengancam akan memberitahukan perlakuan kakaknya kepada ayahnya. Disini tujuan dari peringatan adiknya adalah untuk mengubah sikap kakaknya agar tidak menjahili dia lagi dengan kekuasaan ayahnya. Sedangkan menurut Robert C. Cialdini dalam compliance dipengaruhi oleh prinsip dasar, yaitu (Cialdini, 1995, 2006 dalam Saworno & Meinarno, 2012): 1. Pertemanan atau rasa suka, kecenderungan untuk lebih mudah memenuhi permintaan teman atau orang yang kita sukai daripada orang yang belum dikenal atau dibenci.
  • 12. Misalnya, seorang anak yang memuji ibunya agar ibunya menyukainya dan mau menuruti keinginannya. 2. Komitmen dan konsisten, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan akan suatu hal yang konsisten ketika kita berada dalam suatu posisi atau tindakan. misalnya seseorang yang merasa sebagai bangsa Indonesia dan merasa memiliki sifat nasionalisme yang kuat maka ia akan memasang bendera merah-putih di halaman rumahnya atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. 3. Kelangkaan, kecendrungan untuk menghargai dan mengamankan objek yang langka atau berkurang ketersediaannya yang memicu untuk memenuhi permintaan yang menekan kelangkaan daripada yang tidak. Misalnya, seorang penjual mengatakan kepada pembeli bahwa barang yang ia jual adalah barang-barang yang langka dan sulit ditemukan sehingga hanya beberapa orang yang mungkin memilikinya dan membuat pembeli tersebut ingin membeli barang yang dijual oleh penjual tersebut. 4. Timbal-balik, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan dari seseorang yang yang sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Misalnya, seseorang yang menerima orang lain sebagai karyawan di perusahaannya karena pernah dibantu oleh orang tersebut dan merasa harus membalas budi. 5. Validasi sosial, keinginan untuk bertingkah laku benar dengan cara bertingkah laku dan berfikir seperti orang lain. Misalnya, dalam suatu kelompok pertemanan ada salah beberapa anggota yang mengatakan bahwa memakai baju berkerah itu adalah hal yang aneh dan anggota yang lain ikut untuk berfikir demikian. 6. Otoritas, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas atau yang setidaknya tampak memiliki otoritas. Misalnya, seseorang mahasiswa yang duduk didekat pintu yang terbuka, akan menuruti perintah dari dosennya untuk menutup pintu daripada perintah yang sama dari temannya sesame mahasiswa. Selain prinsip-prinsip compliance di atas, mood juga dapat berpengaruh terhadap compliance. Seseorang lebih mau melakukan compliance ketika ia merasa senang dibandingkan ketika ia merasa sedih (Forgas, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dari hasil eksperimennya mengenai hal ini Josep Forgas mengambil kesimpulan bahwa mood memberikan efek yang signifikan terhadap reaksi permintaan tolong, efek mood akan lebih besar apabila permintaannya bersifat kasar: orang yang sedang senang cenderung mengabaikan cara permintaan yang disampaikan, dan orang yang sedang sedih akan lebih merespons permintaan yang sopan daripada yang kasar (Forgas, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Beberapa riset telah meneliti teknik-teknik spesifik dari compliance, seperti (Taylor, Peplau, Sears, 2009): 1. Tenik Foot-in-the-Door Salah satu cara untuk membuat seseorang tunduk adalah dengan mengajukan permintaan kecil pada awalnya, lalu mengajukan permintaan besar setelahnya. Studi klasik yang dilakukan oleh Freedman dan Fraser (1966 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) telah menunjukan efek ini. Dalam efektivitas teknik ini, berperan beberapa
  • 13. proses psikologi seperti persepsi diri dan keinginan untuk dianggap sebagai seorang yang konsisten (Guadano, Asher, Demaide, & Cialdini, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Misalnya ketika seseorang meminta temannya untuk datang ke rumahnya, dan ketika temannya tiba di rumahnya ia meminta agar temannya membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. 2. Teknik Door-in-the-Face Dalam teknik ini, seseorang mengajukan permintaan yang besar dan kemudian mengajukan permintaan yang kecil. Studi yang dilakukan oleh Cialdini et al (1975 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) membuktikan keefektivan teknik ini. Tenik ini biasa ditemukan dalam kegiatan tawar-menawar. Misalnya, seorang pedagang menjual barang seharga Rp 10.000 dan kemudian pembeli menawarnya menjadi Rp 8.000, padahal penjual sengaja memberikan harga Rp 10.000 kepada pembeli tersebut agar dia mendapatkan uang Rp 8.000 seperti yang sebenarnya ia inginkan. 3. Teknik Low-Ball Dengan teknik ini awalnya mendapatkan persetujuan dengan permintaan yang tidak memiliki informasi lengkap, dan kemudian memberikan informasi yang lengkap setelahnya. Teknik ini tampaknya sukses karena begitu seseorang telah membuat komitmen public untuk melakukan suatu tindakan, dia akan enggan untuk menarik komitmennya (Burger & Cornelius, 2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Misalnya ketika seorang mahasiswa meminta kepada temannya sesama mahasiswa untuk mengadakan rapat angkatan di kampus, tetapi dia tidak diberi tahu bahwa dalam rapat tersebut mahasiswa yang datang diminta untuk wajib membayar uang kas. Kemungkinan besar jumlah mahasiswa yang ikut rapat tersebut akan lebih banyak jika tidak diberikan informasi lengkap mengenai pembayaran wajib uang kas. 4. Teknik That’s-Not-All Yang dimaksud dengan teknik ini adalah memberikan kesepakatan dan kemudian menaikan tawaran. Eksperimen yang dilakukan oleh Burger (1986 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) menunjukan efektivitas teknik ini. Misalnya, seorang sales di supermarket menawarkan pan happy call kepada salah satu pengunjung mall tersebut dan ketika pengunjung tersebut sedang berfikir apakah ingin membeli atau tidak, sales tersebut mengatakan bahwa jika pengunjung itu membeli pan happy call tersebut maka ia akan mendapatkan hadiah berupa buku resep masakan. Padahal buku tersebut sudah termasuk kedalam pembayaran pembelian pan happy call itu. 5. Teknik Pique Permintaan yang tidak lazim dan dapat menarik perhatian adalah inti dari teknik ini, karena kadang orang akan menolak permintaan tanpa berfikir panjang terlebih dahulu maka untuk meminimalisir hal tersebut permintaan yang diajukan harus dapat menarik perhatian orang lain. Misalnya seorang pejalan kaki mengabaikan atau menolak langsung permintaan seorang peminta-minta karena merasa jengkel, tetapi ketika di hari berikutnya peminta-minta tersebut membuat tulisan “berikan saya 100 perak dan saya akan kenyang” maka tulisan tersebut akan menarik perhatian pejalan kaki dan memungkinkan ia untuk memenuhi permintaan peminta-minta itu.
  • 14. C. OBDIENCE (KEPATUHAN) Selain dipenuhi oleh Konformitas dan Compliance, perilaku kita dalam kehidupan seharihari juga diwarnai dengan kepatuhan (obedience). Dikantor, atasan memerintahkan bawahannya untuk mengerjakan tugas tertentu. Disekolah guru melarang murid untuk membawa benda-benda tajam dan merokok. Dirumah, orang tua menyuruh anaknya untuk beribadah. Dalam perilaku-perilaku diatas, apakah orang yang diperintah akan mematuhi permintaan tersebut? Biasanya orang-orang mengikuti permintaan atau perintah orang lain yang dianggap memiliki Power (kekuatan). Perilaku-perilaku ini dalam psikologi sosial, disebut sebagai obedience atau kepatuhan dalam psikologi social. Obdience merupakan salah satu jenis pengaruh social, di mana seseorang menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur power (Baron, Branscombe, dan Bryrne, 2008) Aspek lain dari pengaruh social adalah kepatuhan (obedience), keadaan di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih jarang terjadi dari conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih menggunakan pengaruhnya melalui (velvet glove) melalui permintaan dan bukannya perintah langsung. Seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur power. Empat penyebab obedience menurut Baron, Branscombe, dan Byrne (2008) 1) Melepas tanggung jawab pribadi. Artinya individu menilai bahwa tanggung jawab ada pada orang yang memerintahkannya, bukan dirinya pribady, Misalnya atasannya yang dianggap menanggung semua tanggung jawab. 2) Individu yang memberi perintah menggunakan symbol-simbol, seperti lencana, seragam, dan yang lainnya untuk mengingatkan orang yang diperintah akan kekuasaan serta peran yang diemban. 3) Hal-hal yang terjadi secara gradual, yaitu perintah yang dimulai dari hal kecil kemudian meningkat menjadi lebih besar. 4) Proses yang terjadi sangat cepat sehingga individu tidak bisa merefleksikan dan berpikir secara mendalam tindakan yang mestinya ia lakukan. Dalam hal ini terdapat konsep Experimental realism, yakni realitas terhadap pengalaman yang dapat mempengaruhi kepatuhan, dimana individu menafsirkan situasi yang sangat kuat, membuat kebanyakan individu sulit untuk melawan. Meskipun kita terdorong untuk menanyakan “Orang seperti apa yang akan mematuhi perintah untuk menyakiti orang yang tidak bersalah?”, tetapi dalam psikologi sosial, pertanyaan yang lebih bermanfaat adalah “Aspek – aspek apakah dari situasi yang membuat orang sulit untuk tidak mematuhi perintah?”
  • 15. Penelitian tentang kepatuhan dilakukan oleh “Stanley Milgram” sejak tahun 1963. Penelitian ini menggunakan alat yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menimbulkan efek sebagaimana dikemukakan kepada subjek. Penelitian terdiri dari tiga orang yaitu subjek, eksperimenter dan seorang yang berpasangan dengan subjek (Learner). Prosesnya adalah eksperimenter meminta subjek untuk membacakan soal-soal yang akan dijawab oleh subjek dengan kejutan listrik. Setiap kali membuat kesalahan, hukuman dinaikkan 15 volt. Sebelum eksperimen berlangsung, alat ini dicobakan kepada subjek agar dapat merasakan sengatan listrik tersebut. Ketika sengatan mencapai voltage tinggi, biasanya subjek meminta pertimbangan eksperimenter untuk menghentikannya. Eksperimenter meminta kepada subjek untuk terus melakukan hingga penelitian berakhir pada saat hukuman mencapai 450 volt. Peristiwa memberikan hukuman tersebut sebenarnya tidak benar-benar terjadi. Ekspresi Learner ketika subjek menekan tombol hukuman disebut sedemikian rupa, padahal sesungguhnya dia tidak merasakan apapun. Semua peristiwa tersebut sudah diatur, yang ingin diteliti dalam eksperimen ini adalah “ seberapa jauh kepatuhan subjek terhadap perintah eksperimenter” ? Hasil Penelitian : - Ternyata hanya 12.5 % subjek yang berhenti sesudah memberi hukuman pada batas 300 volts. Lebih dari 60 % subjek mematuhi perintah hingga akhir eksperimen. - Penelitian ini kemudian dimodifikasi dengan memperdengarkan jeritan Learner. Hasilnya 37.5 % subjek tidak lagi mematuhi perintah eksperimenter. Apabila subjek dengan Learner berada dalam satu ruangan, 60 % tidak mematuhi perintah; dan 70% subjek tidak mematuhi perintah apabila ia harus ikut memegangi alat eksperimennya. - Dalam keadaan sendirian hanya 5 % subjek yang mau memberi hukuman hingga di atas 150 volts, sedangkan jika dalam kelompok 67.5 % mau meneruskan eksperimen. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OBEDIENCE 1) Jenis kelamin. Dalam hubungannya dengan perintah dan tingkat otoritas orang yang memerintah. Untuk hal-hal yang mengerikan, wanita lebih tidak patuh karena merasa ngeri melihat dan mendengarkan korban; maka dalam penelitian Milgram, wanita cenderung lebih menolak perintah. 2) Tingkat otoritas. Pengaruh terhadap kepatuhan dapat dilihat dalam kehidupan seharihari. Orang diperintah atasan akan lebih patuh dibandingkan yang memerintah adalah teman yang setingkat. Perlu ditambahkan bahwa semakin tinggi status dari figure yang mempunyai otoritas serta adanya keyakinan bahwa yang bertanggung jawab terhadap perilaku kepatuhannya itu adalah sumber otoritas maka orang akan semakin patuh untuk bertingkah laku ( misal: dosen - mahasiswa). 3) Seseorang akan menjadi penurut apabila dirasakan meningkatnya situasi yang menuntut kepatuhan (contoh : dalam ujian ) 4) Terbatasnya peluang untuk tidak patuh. Individu yg mematuhi perintah yg merusak, menyakiti, dan menghancurkan orang lain ketika berada dlm situasi diperintahkan untuk melakukannya disebut destructive obedience.
  • 16. Kepatuhan yang merusak berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan orang lain atau dirinya sendiri. Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu: 1. Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung jawab atas tindakan mereka. “saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan alasan bila sesuatu yang buruk terjadi. 2. Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang menunjukkan status mereka. Hal ini menimbulkan norma “Patuhilah orang yang memegang kendali”. Norma ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan dengannya, sebagian besar orang merasa sulit untuk tidak mematuhinya. 3. Adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya. 4. Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan. Berikut ini cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak: 1. Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa merekalah yang akan bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan— bukan pihak otoritas. 2. Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar mematuhi perintah yang merusak adalah tidak layak. 3. Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur tersebut. 4. Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat memerintahkan kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri. Hal ini bisa dicegah dengan diingatkan bahwa ia sendiri mengemban tanggung jawab, individu harus diberi tahu secara jelas bahwa perintah-perintah yang dekskrutif tidak diperbolehkan, dan juga individu perlu meninjau ulang motif dari atasannya.
  • 17. KESIMPULAN Pada dasarnya pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan agar keputusan tersebut dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, hal ini dikarenakan pengaruh sosial amat kuat dan pervasive terhadap diri individu. Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena kecendrungan manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosialnya, hal ini merupakan dampak positif karena adanya pengaruh sosial dalam masyarakat. Terdapat tiga tipe dalam pengaruh sosial yaitu, konformitas, kepatuhan, dan ketundukan. Konformitas adalah suatu bentuk dari pengaruh sosial diman individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma norma sosial. Salah satu alasan mengapa individu mengikuti norma sosial yang ada di masyarakat adalah karena individu tersebut ingin dapat bertahan hidup dengan cara mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosialnya. Norma sosial adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya kita bertingkah laku. Norma sosial dapat dibagi menjadi dua yaitu, injuctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit dan descriptive norms yang dinyatakan secara implisit. Salah satu faktor konformitas yang di kemukakan oleh Rambe pada tahun 1997 dalam penelitiannya mengenai perkelahian pelajar adalah kesenangan hal ini dikarenakan seseorang melakukan konformitas karena hal-hal yang ada di dalam kelompok sosialnya sesuai dengan dirinya, sehingga keinginan untuk melakukan konformitas besar. Konformitas juga dipengaruhi oleh kultur, karena perbedaan kultur dapat memberikan makna yang berbeda terhadap konformitas, sehingga kultur seseorang dapat mempengaruhi tindakan konformitas pada diri individu tersebut. Konformitas merupakan hal yang berbeda dengan atribusi sosial karena dalam pengertiannya saja konformitas adalah bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial, sedangkan pengertian dari atribusi sosial adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berprilaku tertentu jelas dilihat dari pengertiannya saja antara atribusi sosial dan konformitas berbeda. Tipe kedua dari pengaruh sosial adalah compliance atau ketundukan, dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa kita sadari sebenarnya prilaku kita dipengaruhi oleh permintaan langsung dari orang lain hal inilah yang dinamakan compliance atau ketundukan. Hal yang paling utama dalam terjadinya prilaku compliance adalah kemauan kita untuk merespon ucapan orang lain, seperti permintaan orang lain terhadap kita. Tipe terakhir dari pengaruh sosial adalah obdience atau kepatuhan. Prilaku kita sehari-hari, selain dipengaruhi oleh konformitas dan compliance juga dapat dipengaruhi oleh obdience atau kepatuhan. Dalam prilaku obdience biasanya seseorang menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tindakan atau tingkah laku tertentu karena adanya unsur power,
  • 18. DAFTAR PUSTAKA Sarwono, W., Sarwinto. Meinarno, A., Eko. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Taylor, E., Shelley. Peplau, A., Letitia. dan Sears, O., David. 2009. Psikologi Sosial edisi keduabelas. Jakarta: Kencana. Baron, Robert A., Byrne, Donn. (10 th Eds). (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hornsey, Matthew J; Majkut, Louise; Terry, Deborah J; McKimmie, Blake M. Sep 2003. “On being loud and proud: Non-conformity and counter-conformity to group norms.”. British Psychological Society. Volume 42. http://search.proquest.com/docview/219172185? accountid=34643, 5 januari 2014. Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica. Jun 2008. “Me, Us, or Them: Who Is More Conformist? Perception of Conformity and Political Orientation.”. The Journal of Social Psychology. Volume 148. http://search.proquest.com/docview/199842490?accountid=34643, 13 Januari 2014. Song, Guandong; Ma, Qinhai; Wu, Fangfei; Li, Lin. 2012. “THE PSYCHOLOGICAL EXPLANATION OF CONFORMITY.”. Social Behavior and Personality. Volume 40. http://search.proquest.com/docview/1143352377?accountid=34643, 13 Januari 2014.