Modul ini membahas mengenai seleksi bibit ternak ruminansia pedaging dan proporsi tubuh ideal berdasarkan Standar Nasional Indonesia. Seleksi bibit dapat dilakukan secara alami maupun buatan dengan tujuan mendapatkan keturunan yang unggul secara genetik dan memenuhi standar proporsi tubuh. Modul ini juga menjelaskan proporsi tubuh ideal beberapa jenis sapi lokal Indonesia seperti Sapi Sumba Ongole, Sapi Pesisir,
1. KEGIATAN BELAJAR 1
Bibit Ternak Ruminansia Pedaging
KEGIATAN BELAJAR 2
Seleksi Bibit Ternak Ruminansia Pedaging
2. A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Kegiatan belajar ini akan membahas mengenai seleksi bibit ternak
ruminansia pedaging. Materi yang akan dijelaskan meliputi jenis seleksi dan
proporsi tubuh ternak ruminansia pedaging berdasar Standar Nasional Indonesia
(SNI).
2. Relevansi
Dengan mengetahui proporsi tubuh bibit ternak yang ideal diharapkan
pembaca mampu melakukan seleksi bibit ternak ruminansia pedaging yang
berkualitas.
3. Panduan Belajar
Modul ini dilengkapi beberapa link yang dapat dikunjungi untuk
melengkapi bahan belajar.
B. INTI
1. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan peserta didik mampu
menganalisis prinsip agribisnis ternak ruminansia dan aplikasinya dalam
pembelajaran bidang studi agribisnis ternak
2. Sub Capaian pembelajaran
1. Mengetahui seleksi bibit ternak ruminansia pedaging
2. Menentukan proporsi tubuh ideal bibit ternak ruminansia pedaging
3. Uraian Materi
Pemilihan bibit merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam proses
produksi ternak. Seleksi bibit adalah proses pemilihan bibit ternak baik dari mutu
genetik maupun proporsi tubuh untuk selanjutnya dikembangbiakkan sesuai
3. tujuan pemeliharaan. Proses pemilihan bibit ternak yang ideal dapat dilakukan
dengan menyeleksi bibit ternak yang kurang baik untuk disingkirkan. Proses
dalam seleksi bibit dapat dilakukan dengan pengembangbiakkan kelompok ternak
dengan mutu genetik yang unggul secara kontinyu dan dalam pengawasan ketat.
Dengan demikian, pencampuran keturunan dari kelompok tertentu yang memiliki
mutu genetik kurang baik dapat dikendalikan. Keturunan atau generasi ternak
hasil seleksi ditargetkan memiliki sifat-sifat unggul.
Seleksi pada ternak ruminansia pedaging bertujuan untuk mendapatkan
produk daging optimal dengan sistem pemeliharaan yang efisien. Pelaksanaan
seleksi bibit dengan target tersebut memerlukan manajemen pemeliharaan dan
pengawasan yang ketat baik dari segi genetik, proses perkawinan, sistem
penjaminan mutu, dan faktor penunjang lain.
Proses seleksi dapat berlangsung secara alami maupun seleksi oleh tenaga
ahli (seleksi buatan). Seleksi alam berlangsung secara alami akibat kondisi alam
bukan karena perlakuan yang sengaja dilakukan oleh manusia. Contoh seleksi
alam adalah teori Darwin mengenai “The origin of different species”. Tujuan dari
proses seleksi alam tidak dapat dipastikan arahnya. Para pengamat dan peneliti
dapat berkontribusi dalam menduga arah, mencegah atau memperlambat proses,
serta melakukan tindakan semacam gerakan mendukung atau menghambat proses
seleksi alam dari berbagai bidang ilmu. Sebagai contoh keberadaan banteng (Bos
javanicus d’Alton) yang terancam punah karena terjadi tren penurunan populasi,
baik di dunia maupun di Indonesia. Di Jawa Timur terdapat beberapa kawasan
konservasi yaitu Taman Nasional Baluran (TNB), Taman Nasional Alas Purwo
(TNAP) dan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Kawasan konservasi ini
merupakan habitat alami ternak tersebut. Peneliti dari berbagai instansi dan
kepakarannya dalam berbagai ilmu turut melakukan observasi dan tindakan untuk
mendukung upaya konservasi banteng di habitat aslinya. Parameter yang diamati
dapat berupa updating data populasi dan ancaman banteng, mengevaluasi daya
dukung habitat banteng, menghitung home range banteng pada habitat alaminya
dengan melihat komposisi dan strukur vegetasi, ketersediaan pakan, ketersediaan
air, ketersediaan covering, serta home range banteng.
4. Contoh berikutnya adalah mengenai kemurnian genetik sapi bali yang
mulai terancam. Erosi genetik atau seleksi negatif dan hibridisasi menurunkan
kualitas dari keturunan ternak ini. Seleksi negatif terjadi di Indonesia bagian
Timur karena banyaknya sapi berkualitas tinggi yang dikirim keluar sehingga di
daerah tersebut hanya menyisakan ternak berkualitas rendah untuk
dikembangbiakkan. Oleh sebab itu, produktivitas sapi pada pulau tersebut sangat
rendah. Seleksi negatif tersebut mengakibatkan sapi yang dihasilkan memiliki
bobot badan rendah sehingga daerah Indonesia bagian Timur tidak lagi menjadi
pemasok/penghasil sapi. Hibridisasi atau kawin persilangan telah dilakukan di
hampir seluruh wilayah termasuk di Bali. Sapi bali secara khusus dikembangkan
di Bali untuk mempertahankan genetik asli. Namun saat ini persilangan sapi bali
dan sapi lainnya sudah diijinkan. Proses seleksi secara alami menentukan
persebaran populasi ternak di dunia. Berikut disajikan contoh distribusi dan
domestikasi ternak sapi (Gambar 20).
Gambar 1. Distribusi dan domestikasi sapi
Sumber: Felius et al. (2014)
Gambar: A. Taurine di Mesopotamia, B. Zebu di Indus valley, C. Sapi bali di
Jawa atau Bali, D. Yak di dataran tinggi Tibetan, E. Gayal di India dan
Bangladesh
5. Persebaran sapi tersebut menggambarkan daging sapi yang dikonsumsi di
negara tersebut. Berikut disajikan grafik konsumsi daging di dunia (Gambar 21).
Gambar 2. Konsumsi daging di dunia
Sumber: Godfray et al. (2018)
Seleksi buatan adalah proses seleksi dengan campur tangan manusia
dengan tujuan tertentu. Tujuan dari seleksi buatan adalah sebagian besar untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Seleksi buatan pada sapi potong dilakukan dengan
2 cara, yakni seleksi tradisional dan seleksi kuantitatif. Seleksi tradisional yakni
melakukan kastrasi pada pejantan yang tidak unggul sehingga mencegah adanya
keturunan dari pejantan tersebut. Seleksi kuantitatif dilakukan berdasar hasil
perhitungan. Dasar pemilihan bibit pada ternak ruminansia diantaranya:
1. Pemilihan Tipe Produksi
Dalam modul ini akan difokuskan dalam memilih bibit ruminansia tipe
pedaging, dimana ternak harus memiliki laju pertumbuhan yang cepat, cepat
mencapai dewasa tubuh, efisiensi pakan tinggi, kualitas daging yang dihasilkan,
tubuh berbentuk persegi empat (ciri tipe pedaging), proporsi tubuh ideal, serta
tidak cacat.
6. 2. Pemilihan Ternak Berdasarkan Keturunan
Setiap jenis ternak memiliki sifat berbeda yang memungkinkan mereka
dapat unggul dalam lingkungan geografis atau manajemen yang berbeda. Seleksi
untuk perbaikan genetik pada sapi sumba ongole dapat dicapai melalui uji
proporsi tubuh dan uji kinerja. Uji gen digunakan untuk pemilihan sapi
berdasarkan keturunan. Oleh karena itu, seleksi warna bulu sapi dan pedet dapat
dilakukan dengan menggunakan informasi dari nilai Blood Value (BV). Sapi
dengan skor BV tertinggi merupakan ternak terbaik di antara kawanannya.
3. Proporsi Tubuh Ternak
Proporsi tubuh bibit ternak ruminansia pedaging berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) diantaranya:
a. Sapi Sumba Ongole
Salah satu rumpun sapi potong lokal Indonesia yang wilayah sebarannya
di provinsi Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah lainnya, mempunyai
karakteristik bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi pada
berbagai lingkungan di Indonesia. Proporsi tubuh sapi sumba ongole SNI
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 1. Proporsi tubuh sapi sumba ongole
Umur
(bulan)
Parameter
(minimum)
Satuan Kelas
Jantan I II III
18 - 24
Tinggi pundak cm 143 136 129
Panjang badan cm 142 135 128
Lingkar dada cm 176 169 162
Lingkar skrotum cm 26
24 - 30
Tinggi pundak cm 147 140 133
Panjang badan cm 145 138 131
Lingkar dada cm 179 172 165
Lingkar skrotum cm 26
Betina
18 - 24
Tinggi pundak cm 129 124 119
Panjang badan cm 128 123 118
Lingkar dada cm 160 155 150
24 - 30
Tinggi pundak cm 132 127 122
Panjang badan cm 131 126 121
Lingkar dada cm 165 160 155
Sumber: SNI (2016)
7. b. Sapi Pesisir
Sapi pesisir termasuk komoditas ternak ruminansia potong yang berasal
dari Sumatera Barat. Ciri khusus secara lengkap dapat diunduh pada laman
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.6.2015%20B
ibit%20sapi%20potong%20bagian%206%20%20.%20Pesisir.pdf. Proporsi tubuh
sapi pesisir sesuai SNI disajikan pada Tabel 5.
Tabel 2. Proporsi tubuh sapi pesisir
Umur
(bulan) Parameter Satuan
Persyaratan
(minimum)
Jantan
18 - 24
Tinggi pundak cm 92
Panjang badan cm 94
Lingkar dada cm 111
Lingkar skrotum cm 20
24 - 36
Tinggi pundak cm 100
Panjang badan cm 108
Lingkar dada cm 124
Lingkar skrotum cm 21
Betina
18 - 24
Tinggi pundak cm 91
Panjang badan cm 93
Lingkar dada cm 110
24 - 36
Tinggi pundak cm 99
Panjang badan cm 104
Lingkar dada cm 123
Sumber: SNI (2015)
c. Sapi Aceh
Sapi Aceh merupakan sapi lokal Indonesia dengan tujuan produksi sebagai
penghasil daging. Kelebihan dari jenis sapi ini adalah kemampuan adaptasinya
pada lingkungan yang kurang mendukung. Ciri khusus secara lengkap dapat
diunduh pada laman:
8. http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.3-
2013%20Bibit%20sapi%20potong%20-20Bagian%203%20%20Aceh.pdf.
Proporsi tubuh sapi aceh sesuai SNI disajikan pada Tabel 6.
Tabel 3. Proporsi tubuh sapi aceh
Umur
(bulan)
Parameter Satuan
Kelas
I II III
Jantan
24 - 36
Tinggi pundak (min.) cm 112 109 105
Lingkar dada (min.) cm 143 140 135
Panjang badan (min.) cm 116 113 107
Lingkar skrotum (min.) cm 24
Betina
15 - 18
Tinggi pundak (min.) cm 90 88 86
Lingkar dada (min.) cm 99 97 94
Panjang badan (min.) cm 87 84 82
Lebar pinggul (min.) cm 32 30 29
Sumber: SNI (2013)
d. Sapi Madura
Sapi madura merupakan sapi lokal Indonesia dengan tujuan produksi
sebagai penghasil daging. Kelebihan dari jenis sapi ini adalah kemampuan
adaptasinya pada lingkungan yang kurang mendukung. Ciri khusus secara lengkap
dapat diunduh pada laman:
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.2-
2013%20bibit%20sapi%20madura.pdf
Proporsi tubuh sapi madura sesuai SNI disajikan pada Tabel 7.
Tabel 4. Poporsi tubuh sapi madura
Umur
(bulan) Parameter
Kelas
I II III
Jantan
12 - 18
Lingkar dada (min) 144 138 126
Tinggi gumba/pundak (min) 122 117 107
Panjang badan (min) 120 114 102
Lingkar skrotum (min) 19
18 - 24
Lingkar dada (min) 169 161 145
Tinggi gumba/pundak (min) 131 126 116
Panjang badan (min) 141 134 120
Lingkar skrotum (min) 22
9. Umur
(bulan) Parameter
Kelas
I II III
24 - 36
Lingkar dada (min) 191 184 170
Tinggi gumba/pundak (min) 136 132 124
Panjang badan (min) 147 142 132
Lingkar skrotum (min) 25
Betina
12 - 18
Lingkar dada (min) 141 133 125
Tinggi gumba/pundak (min) 116 111 106
Panjang badan (min) 115 108 101
18 - 24
Lingkar dada (min) 154 148 142
Tinggi gumba/pundak (min) 120 117 114
Panjang badan (min) 127 123 119
24 - 36
Lingkar dada (min) 167 161 155
Tinggi gumba/pundak (min) 131 126 121
Panjang badan (min) 134 130 125
Sumber: SNI (2013)
e. Sapi Brahman
Sapi brahman telah didomestikasi di Indonesia dimana populasi yang ada
merupakan generasi ke-5 atau lebih dari keturunab sapi brahman asli. Ciri khusus
secara lengkap dapat diunduh pada laman:
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/sapi%20brahman%20indon
esia.pdf. Proporsi tubuh sapi brahman Indonesia sesuai SNI disajikan pada Tabel
8.
Tabel 5. Proporsi tubuh sapi brahman Indonesia
Umur
(bulan)
Parameter Satuan Kelas I Kelas II Kelas III
Jantan
24 - 36 Lingkar dada
minimum
cm 168 165 162
Tinggi pundak
minimum
cm 142 139 136
Panjang badan
minimum
cm 139 135 131
Tinggi pinggul
minimum
cm 139 137 135
Bobot badan
minimum
kg 361 350 339
Lingkar scrotum cm 32 - 36
10. Umur
(bulan)
Parameter Satuan Kelas I Kelas II Kelas III
minimum
Betina
8 - 24 Lingkar dada
minimum
cm 159 157 154
Tinggi pundak
minimum
cm 120 117 114
Panjang badan
minimum
cm 132 127 121
Tinggi pinggul
minimum
cm 134 132 129
Bobot badan
minimum
kg 328 320 310
24 - 30 Lingkar dada
minimum
cm 162 161 160
Tinggi pundak
minimum
cm 128 124 120
Panjang badan
minimum
cm 142 137 132
Tinggi pinggul
minimum
cm 140 138 136
Bobot badan
minimum
kg 339 335 331
Sumber: SNI (2011)
f. Sapi Bali
Karakter sapi Bali secara lengkap dapat diunduh pada laman
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.4-
2017%20Bibit%20sapi%20potong%2C%20Bagian%204%20Bali.pdf. Proporsi
tubuh sapi bali sesuai SNI disajikan pada Tabel 9.
Tabel 6. Proporsi tubuh sapi bali
Umur
(Bulan) Parameter Satuan
Kelas
I II III
Jantan
18 - 24
Tinggi pundak cm 115 110 105
Panjang badan cm 125 120 115
Lingkar dada cm 155 147 142
Lingkar skrotum cm 25
24 - 36
Tinggi pundak cm 127 120 113
Panjang badan cm 133 124 119
11. Lingkar dada cm 179 158 148
Lingkar skrotum cm 26
Betina
18 - 24
Tinggi pundak cm 107 104 100
Panjang badan cm 112 105 101
Lingkar dada cm 139 130 124
24 - 36
Tinggi pundak cm 110 106 104
Panjang badan cm 114 110 105
Lingkar dada cm 147 135 130
Sumber: SNI (2017)
g. Sapi Peranakan Ongole (PO)
Karakter sapi PO secara lengkap dapat diunduh pada laman
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.5.2015%20B
ibit%20sapi%20potong%20bagian%205%20.%20Peranakan%20ongol.pdf.
Proporsi tubuh sapi peranakan ongole sesuai SNI disajikan pada Tabel 10.
Tabel 7. Proporsi tubuh sapi PO
Umur
(Bulan) Parameter Satuan
Kelas
I II III
Jantan
18 - 24
Tinggi pundak cm 128 125 122
Panjang badan cm 134 127 124
Lingkar dada cm 152 148 144
Lingkar skrotum cm 26
24 - 36
Tinggi pundak cm 133 130 127
Panjang badan cm 139 133 129
Lingkar dada cm 175 160 149
Lingkar skrotum cm 26
Betina
18 - 24
Tinggi pundak cm 119 116 113
Panjang badan cm 120 118 117
Lingkar dada cm 138 134 130
24 - 36
Tinggi pundak cm 129 125 121
Panjang badan cm 132 129 127
Lingkar dada cm 161 156 139
Sumber: SNI (2015)
12. h. Kambing Peranakan Etawah (PE)
Persyaratan bibit kambing PE secara kuantitatif disajikan pada Tabel 11.
Tabel 8. Proporsi tubuh kambing PE
Umur (bulan) Parameter Satuan Persyaratan (minimum)
Jantan
8 - 12 Tinggi pundak cm 60
Panjang badan cm 54
Lingkar dada cm 60
Panjang telinga cm 22
Bobot badan kg 20
Lingkar scrotum cm 20
12 - 18 Tinggi pundak cm 73
Panjang badan cm 66
Lingkar dada cm 71
Panjang telinga cm 26
Bobot badan kg 34
Lingkar skrotum cm 21
18 - 24 Tinggi pundak cm 78
Panjang badan cm 74
Lingkar dada cm 78
Panjang telinga cm 30
Bobot badan kg 42
Lingkar skrotum cm 23
Betina
8 - 12 Tinggi pundak cm 56
Panjang badan cm 51
Lingkar dada cm 52
Panjang telinga cm 22
Bobot badan kg 19
12 - 18 Tinggi pundak cm 65
Panjang badan cm 62
Lingkar dada cm 66
Panjang telinga cm 26
Bobot badan kg 26
18 - 24 Tinggi pundak cm 69
Panjang badan cm 65
Lingkar dada cm 72
Panjang telinga cm 26
Bobot badan kg 34
Sumber: SNI (2015)
i. Domba Garut
13. Persyaratan bibit domba garut secara kuantitatif disajikan pada Tabel 12.
Tabel 9. Proporsi tubuh domba garut
Umur (bulan) Parameter Satuan Persyaratan (minimum)
Jantan
8 - 12 Tinggi pundak cm 60
Panjang badan cm 49
Lingkar dada cm 68
Bobot badan kg 23
Lingkar scrotum cm 22
12 - 18 Tinggi pundak cm 63
Panjang badan cm 51
Lingkar dada cm 72
Bobot badan kg 33
Lingkar scrotum cm 23
18 - 24 Tinggi pundak cm 73
Panjang badan cm 61
Lingkar dada cm 87
Bobot badan kg 50
Lingkar scrotum cm 25
Betina
8 - 12 Tinggi pundak cm 59
Panjang badan cm 49
Lingkar dada cm 67
Bobot badan kg 22
12 - 18 Tinggi pundak cm 60
Panjang badan cm 51
Lingkar dada cm 72
Bobot badan kg 29
18 - 24 Tinggi pundak cm 65
Panjang badan cm 56
Lingkar dada cm 76
Bobot badan kg 31
Sumber: SNI(2015)
j. Kerbau Pampangan
Persyaratan bibit kerbau pampangan secara kuantitatif disajikan pada
Tabel 13.
Tabel 10. Proporsi tubuh kerbau pampangan
Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
Jantan
18 - 24
Tinggi pundak cm 110
Panjang badan cm 106
14. Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
Lingkar dada cm 159
Lingkar skrotum cm 17
24 - 30
Tinggi pundak cm 116
Panjang badan cm 110
Lingkar dada cm 168
Lingkar skrotum cm 18
30 - 36
Tinggi pundak cm 126
Panjang badan cm 116
Lingkar dada cm 179
Lingkar skrotum cm 20
Betina
18 - 24
Tinggi pundak cm 107
Panjang badan cm 92
Lingkar dada cm 144
24 - 30
Tinggi pundak cm 109
Panjang badan cm 101
Lingkar dada cm 156
Sumber: SNI (2016)
k. Kerbau Kalimantan
Persyaratan bibit kerbau kalimantan secara kuantitatif disajikan di Tabel
14.
Tabel 11. Proporsi tubuh kerbau kalimantan
Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
Jantan
18 - 24
Tinggi pundak cm 113
Panjang badan cm 114
Lingkar dada cm 162
Lingkar skrotum cm 20
24 - 30
Tinggi pundak cm 121
Panjang badan cm 122
Lingkar dada cm 174
Lingkar skrotum cm 22
30 - 36
Tinggi pundak cm 131
Panjang badan cm 131
Lingkar dada cm 181
Lingkar skrotum cm 24
Betina
18 - 24
Tinggi pundak cm 105
Panjang badan cm 116
Lingkar dada cm 147
Tinggi pundak cm 116
15. Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
24 - 30 Panjang badan cm 123
Lingkar dada cm 156
Sumber: SNI (2016)
4. Tilik Ternak atau Judging
Penilaian tubuh ternak atau judging dilakukan untuk melihat kualitas fisik
tubuh ternak. Langkah awal dalam mempelajari cara judging adalah dengan
mengetahui bagian tubuh ternak. Bagian tubuh antara ternak dengan jenis kelamin
jantan maupun betina pada dasarnya sama. Perbedaan mendasar terlihat pada
bagian tertentu seperti bagian reproduksi.
Bagian tubuh sapi betina yang menonjol adalah ambing. Ambing pada sapi
betina mereprentasikan produksi susu yang dapat dihasilkan. Organ reproduksi
pada ternak jantan yaitu testis. Ukuran testis sebanding dengan volume semen
yang dapat dihasilkan oleh pejantan. Testis yang cacat atau kelainan skrotum
mempengaruhi produksi dan kualitas sperma termasuk hormon testosteron yang
mempengaruhi kesuburan dan kinerja. Berikut disajikan bagian tubuh sapi jantan
dewasa (Gambar 22).
Gambar 3. Bagian tubuh sapi jantan
Sumber: Khan (2016)
16. Penilaian tubuh ternak yang ideal dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar 4. Judging ternak
a
d
cb
e
f g h
kji
17. Sumber: Khan (2016)
Keterangan: a. kurus, b. menengah, c, besar, d. hocked, e. normal, f. terlalu lurus,
g. normal, h. melengkung, i,k. ekstrim, j. normal
Selain proporsi dan ukuran tubuh, terdapat kriteria seleksi lain seperti
berat badan pada umur tertentu maupun kecepatan pertumbuhan. Sebagian besar
pusat pembibitan di dunia menggunakan berat badan (kelahiran, sapih, bobot 1
tahun) dan pengukuran tubuh (tinggi, panjang tubuh, panjang jantung) sebagai
kriteria pemilihan ternak. Beberapa studi menunjukkan bahwa bobot badan ternak
pada usia 365 hari digunakan sebagai kriteria seleksi sapi bali, sapi ongole, sapi
Peranakan Ongole (PO), sapi bhagnari x driedmaster, sapi hanwoo dan sapi
nelore. Sapi jantan dan sapi muda yang dipilih harus diseleksi lanjut dengan tes
kinerja sebagai proses seleksi akhir pada sapi potong. Tes kinerja dilakukan
selama 9 bulan pada sapi bali (usia 1 hingga 2 tahun) dengan bobot badan 261,56
kg, tinggi 17,61 cm, panjang tubuh 123,08 cm, dan panjang jantung 156,89 cm.
Seleksi dengan kriteria umur pada sapi pedaging dilakukan pada sapi
muda usia 18 bulan. Sapi muda memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat
dibanding sapi berumur tua. Selain itu, ternak sapi yang lebih muda (umur 1 - 2,5
tahun) mempunyai tekstur daging yang lebih halus, kandungan lemak yang lebih
rendah, dan warna lemak daging yang lebih muda sehingga menghasilkan daging
dengan keempukan yang lebih baik dibandingkan sapi tua (umur diatas 2,5 tahun).
Umur sapi yang baik/ideal untuk digemukkan berkisar antara 1 - 2,5 tahun. Hal ini
juga tergantung dari kondisi ternak sapi. Sapi jenis simmental dan limousin dan
silangannya baik digunakan untuk penggemukan adalah dengan kisaran bobot
badan 380 - 500 kg, sedangkan sapi PO sekitar 250 - 350 kg. Sapi jenis ini ideal
apabila digemukkan dalam waktu singkat antara 100 - 150 hari.
Proses seleksi berdasar umur mempertimbangkan proses melahirkan, berat
lahir, lama bunting, berat badan 1 tahun, pemindaian karkas dengan ultrasound,
serta ukuran skrotum. Proses seleksi juga membutuhkan recording atau catatan
keturunan (misalkan jumlah anakan atau sapi pejantan) serta sifat indukan seperti
riwayat melahirkan indukan, berat saat penyapihan, reproduksi dan ukuran sapi
18. dewasa. Tingkat efisiensi pakan dan data motalitas anakan juga bisa digunakan
sebagai kriteria seleksi namun keduanya memiliki akurasi yang rendah.
Penentuan umur seekor ternak dapat dilakukan dengan pendugaan
berdasarkan pertumbuhan gigi seri. Pendugaan umur berdasarkan gigi seri
disajikan pada Gambar 24.
Umur 1 bulan terdapat dua atau
lebih gigi seri sementara, dalam bulan pertama gigi seri
sementara muncul semuanya.
Berumur antara 1,5 - 2 tahun, pasangan gigi seri
sementara (I1) digantikan oleh gigi permanen (I1). Dalam
2 tahun gigi permanen sentral (I1) mencapai pertumbuhan
penuh.
Berumur 2 - 2,5 tahun, pasangan gigi seri
intermedial (I2) digantikan oleh gigi permanen intermedial
(I2). Pertumbuhan penuh biasanya umur 3 tahun.
Berumur 3 - 3,5 tahun, pasangan gigi seri
intermedial kedua atau lateral (I3) digantikan oleh gigi
permanen intermedial kedua (I3). Intermedial mulai
mengalami keausan umur 4 tahun.
Berumur 4 - 4,5 tahun, gigi sudut (I4) digantikan
oleh gigi permanen (I4). Pada umur 5 tahun gigi sudut
biasanya telah tumbuh sempurna.
Berumur 5 - 6 tahun, gigi permanen (I1) rata,
pasangan intermediet sebagian rata, dan gigi sudut mulai
terlihat alus.
Berumur 7 - 10 tahun, pada umur 7 atau 8 tahun I1
terlihat keausan yang nyata, dan pada umur 10 tahun I4 baru
terlihat keausan yang nyata.
Berumur 12 tahun, lengkungan sudut tak terlihat dan
membentuk segitiga yang jelas yang menandakan bertambahnya usia.
19. Gambar 5. Pendugaan umur ternak berdasar susunan gigi
Sumber: Torell et al. (2003)
Pengukuran tinggi pundak sapi dapat dilakukan menggunakan tongkat ukur
dari permukaan tanah sapi berdiri sampai dengan bagian tertinggi pundak sapi
melewati bagian scapulla. Pengukuran dilakukan secara tegak lurus seperti pada
Gambar 25 yang ditunjukkan huruf a. Pengukuran panjang badan sapi dapat
dilakukan menggunakan tongkat ukur dari bongkol bahu (tuberositas humeri)
sampai ujung tulang duduk (tuber ischii), sebagaimana ditunjukkan pada Gambar
25 yang ditunjukkan huruf b. Lingkar dada digunakan untuk menaksir bobot
badan ternak. Cara mengukurnya adalah dengan melingkarkan pita ukur pada
bagian dada dibelakang punuk, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 25 huruf
c.
Gambar 6. Cara pengukuran sapi
Sumber: SNI (2016)
Keterangan gambar: a. Tinggi pundak, b. Panjang badan, c. Lingkar dada
Cara pengukuran lingkar skrotum adalah dengan melingkarkan pita ukur
Gambar 7. Pengukuran lingkar skrotum
Sumber: SNI (2016)
20. pada bagian skrotum yang terbesar sebagaimana ditunjukkan pada gambar 26.
Seleksi pada sapi pejantan dilakukan untuk meningkatkan kualitas genetik
sapi. Program seleksi dapat digunakan untuk memproduksi semen melalui uji
kualitas libido dan sperma. Peningkatan kualitas genetik dilakukan dengan
menggabungkan beberapa sifat yang penting secara ekonomi. Seleksi genom
dapat meningkatkan substansi genetik pada sapi pedaging. Namun efek yang
dapat diketahui secara langsung ialah meningkatnya variasi genetik. Variasi
genetik ini dapat diperkirakan dengan prediksi genomik, namun saat ini akurasi
prediksi genomik sapi pedaging lebih rendah dibandingkan dengan sapi perah.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah ternak yang relatif rendah dengan
genotipe dan fenotipe yang telah digunakan dalam mengembangkan persamaan
prediksi genom.
Langkah untuk meningkatkan akurasi prediksi genomik membutuhkan
pengumpulan genotipe dan fenotipe pada lebih banyak ternak. Jumlah ternak yang
lebih besar diperlukan untuk mengetahui sifat-sifat yang dapat diwariskan, seperti
reproduksi betina dan sifat lainnya. Tantangan lebih lanjut prediksi genom pada
populasi sapi pedaging dengan multi-breed ialah biaya yang dibutuhkan untuk
pengumpulan data fenotip yang jauh lebih banyak daripada yang tersedia saat ini.
Karakterisasi gen diperlukan untuk meningkatkan kualitas ternak. Sapi simmental
pada tahun 1970 - 1980 di Amerika Serikat berwarna hitam. Namun sapi
simmental yang dijumpai di Indonesia memiliki ciri wajah kuning atau merah
kecoklatan dengan kaki bagian bawah putih dan ujung ekor putih. Mirip dengan
sapi-sapi ras murni Indonesia seperti sapi madura dan sapi bali. Di Indonesia, sapi
simmental sebagian besar dipelihara sebagai sapi potong dan dikawin silangkan
dengan sapi lokal melalui inseminasi buatan khususnya pada sapi ongole, sapi
madura, dan sapi bali. Di Jawa, inseminasi buatan juga dilakukan pada sapi
simmental dengan sapi friesian holstein. Dari kawin silang tersebut, dihasil
keturunan jantan yang lebih disukai karena pertumbuhan yang lebih cepat,
sedangkan keturunan betina memiliki pertumbuhan kurang optimal dan
menghasilkan produksi susu yang sedikit. Pada usia 2,5 tahun seekor sapi
simmental dapat memiliki berat hingga 1.000 kg. Hal ini yang menyebabkan
21. inseminasi buatan dilakukan secara kontinu di Indonesia. Di sisi lain, inseminasi
buatan tersebut dilakukan langsung di lapangan sehingga anakan belum bisa
beradaptasi dengan iklim lokal, pakan, serta penyakit. Perubahan genetik sapi
lokal terutama faktor genetik yang mempengaruhi produktivitas dan keberlanjutan
ternak dalam jangka panjang harus diidentifikasi. Hal ini disebabkan karena
variasi genetik berkorelasi dengan faktor kesehatan, penurunan variabilitas
genetik yang mungkin dapat membatasi kemampuan populasi untuk beradaptasi
dengan perubahan lingkungan seperti perubahan iklim, penyakit, atau parasit.
4. Forum Diskusi
1. Sebut dan jelaskan kelebihan dan kekurangan dilakukannya seleksi pada
ternak ruminansia potong!
2. Gambarkan sapi jantan peranakan ongole usia 24 - 36 dengan proporsi tubuh
sesuai standar bibit sapi potong SNI kelas I!
3. Jelaskan pendapat Saudara, di Indonesia sebaiknya diarahkan untuk produksi
sapi potong lokal ataukah sapi potong hasil persilangan seperti limousin,
simmental, dan lain-lain!
C. PENUTUP
1. Rangkuman
Pemilihan bibit merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam proses
produksi ternak. Seleksi bibit adalah proses pemilihan bibit ternak baik dari mutu
genetik maupun proporsi tubuh untuk selanjutnya dikembangbiakkan sesuai
tujuan pemeliharaan. Proses pemilihan bibit ternak yang ideal dapat dilakukan
dengan menyeleksi bibit ternak yang kurang baik untuk disingkirkan. Proses
dalam seleksi bibit dapat dilakukan dengan pengembangbiakkan kelompok ternak
dengan mutu genetik yang unggul secara kontinyu dan dalam pengawasan ketat.
Seleksi pada ternak ruminansia pedaging bertujuan untuk mendapatkan produk
daging optimal dengan sistem pemeliharaan yang efisien.
22. Proses seleksi dapat berlangsung secara alami maupun seleksi oleh tenaga
ahli (seleksi buatan). Seleksi alam berlangsung secara alami akibat kondisi alam
bukan karena perlakuan yang sengaja dilakukan oleh manusia. Proses seleksi
secara alami menentukan persebaran populasi ternak di dunia. Persebaran sapi
tersebut menggambarkan daging sapi yang dikonsumsi di negara tersebut.
Seleksi buatan adalah proses seleksi dengan campur tangan manusia dengan
tujuan tertentu. Seleksi buatan pada sapi potong dilakukan dengan 2 cara, yakni
seleksi tradisional dan seleksi kuantitatif.
Dasar pemilihan bibit pada ternak ruminansia diantaranya pemilihan tipe,
pemilihan sapi berdasar keturunan, proporsi tubuh ternak, judging, dan lain-lain.
Proporsi tubuh bibit ternak ruminansia pedaging telah diatur badan standardisasi
nasional sehingga telah diketahui ukuran tubuh bibit ternak dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI).
Penilaian tubuh ternak atau judging dilakukan untuk melihat kualitas fisik
tubuh ternak. Selain proporsi dan ukuran tubuh, terdapat kriteria seleksi lain
seperti berat badan pada umur tertentu maupun kecepatan pertumbuhan.
Seleksi dengan kriteria umur pada sapi pedaging dilakukan pada sapi muda
umur 18 bulan. Sapi muda memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat
dibanding sapi berumur tua. Selain itu, ternak sapi yang lebih muda (umur 1 - 2,5
tahun) mempunyai tekstur daging yang lebih halus, kandungan lemak yang lebih
rendah, dan warna lemak daging yang lebih muda sehingga menghasilkan daging
dengan keempukan yang lebih baik dibandingkan sapi tua (umur di atas 2,5
tahun). Penentuan umur seekor ternak dapat dilakukan dengan pendugaan
berdasarkan pertumbuhan gigi seri.
Daftar Pustaka
Febriana A, Farajallah A, Perwitasari D. 2015. Indel incident simultaneously on
the intron 7 Gen branched-chain α-keto acid dehydrogenase E1a
(BCKDHA) in Madura cattle. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20 (2): 97-
102.
Felius M, Beerling ML, Buchanan DS, Theunissen B, Koolmees PA, Lenstra JA.
2014. On the history of cattle genetic resources. Diversity 6: 705-750.
23. Godfray HCJ., Aveyard P, Garnett T, Hall JW, Key TJ, Lorimer J, Pierrehumbert
RT, Scarborough P, Springmann M and Jebb SA. 2018. Meat
consumption, health, and the environment. Science, 361(6399): eaam5324.
Johnston DJ, Tier B and Graser HU. 2012. Beef cattle breeding in Australia with
genomics: opportunities and needs. Animal Production Science. 52 (3):
100-106.
Khan, MS. 2016. Judging and Selection in Sahiwal Catttle. Agricultural
Innovation Program for Pakistan, ILRI publication. Amerika.
Park, B, T Choi, S. Kim and S.H. Oh. 2013. National genetic
evaluation (system) of Hanwoo (Korean native cattle). Asian -
Aust. J. Anim. Sci. 26(2):151-156
Prihandini, P.W., L. Hakim and V.M.A. Nurgiartiningsih. 2011. Seleksi
pejantan berdasarkan nilai pemuliaan pada sapi Peranakan Ongole
(PO) di Loka Penelitian Sapi Potong Grati - Pasuruan. J. Ternak
Tropika. 12(1):97-107.
Rodriguez, Y. and D. Guerra. 2013. Evidence of genotype-environment
interaction for final live weight in the performance test of the Cuban
Zebu. Cuban. J. Agric. Sci. 47(1) : 13-17.
Said S, Agung PP, Putra, WPB, Anwar S, Wulandari AS dan Sudiro A. 2016.
Selection Of Sumba Ongole (So) Cattle based On Breeding Value and
Performance Test. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture.
41(4):175-187.
Siswijono SB, Subagiyo I, Nurgiartiningsih VMA, Kusmartono, Hartutik,
Tadjuddin. 2010. Perception of Madurese community on crossbreeding
program of Limousin and native Madura beef cattle in Madura Island of
Indonesia. 9th World Congress on Genetics Applied to Livestock
Production, Leipzig, Germany, 1-6.
Standar Nasional Indonesia. 2011. Bibit Sapi Potong Bagian 1: Sapi Brahman
Indonesia. Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2013. Bibit Sapi Potong Bagian 2: Sapi Madura.
Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2013. Bibit Sapi Potong Bagian 3: Sapi Aceh. Badan
Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2015. Bibit Domba Bagian 1: Domba Garut. Badan
Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2015. Bibit Kambing Bagian 1: Peranakan Etawah.
Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2015. Bibit Sapi Potong Bagian 5: Sapi Peranakan
Ongole. Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
24. Standar Nasional Indonesia. 2015. Bibit Sapi Potong Bagian 6: Sapi Pesisir.
Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2016. Bibit Kerbau Bagian 1: Kerbau Kalimantan.
Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2016. Bibit Kerbau Bagian 2: Kerbau Pampangan.
Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2016. Bibit Sapi Potong Bagian 7: Sumba Ongole.
Badan Standardisasi Nasional: Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. 2017. Bibit Sapi Potong Bagian 4: Sapi Bali. Badan
Standardisasi Nasional: Jakarta.
Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono. 2010. Evaluasi
pejantan sapi Bali berdasarkan sifat pertumbuhan menggunakan
metode Animal Model. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor.
Sutarno dan Setyawan AD. 2016. Review: The diversity of local cattle in
Indonesia and the efforts to develop superior indigenous cattle breeds.
Biodiversitas 17 (1): 275-295.
Torell R, Bruce B, Kvasnicka B. 2003. Methods of Determining Age of Cattle.
Ken Conley, Gund Research and Demonstration Ranch Manager. 1-3.