Dokumen tersebut membahas tentang perencanaan media relations oleh PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk menangani isu degradasi hutan dan lahan serta upaya pemerintah untuk merehabilitasi lahan kritis seluas puluhan juta hektar di Indonesia yang membutuhkan waktu 48 tahun. PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI berupaya mendapatkan publikasi positif di media untuk meningkatkan citra kementerian.
PERENCANAAN MEDIA RELATIONS UNTUK REHABILITASI LAHAN GAMBUT
1. TUGAS INDIVIDU
MEDIA RELATIONS
PERENCANAAN MEDIA RELATIONS
Disusun Oleh :
Lisa Ramadhanty (44215010123)
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
PUBLIC RELATIONS
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA
2016
2. ABSTRAK
Salah satu tugas PR adalah menjaga hubungan baik dengan publiknya. Media merupakan publik
yang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perusahaan. Oleh karena itu, PR harus
melakukan media relations agar dapat menjalin hubungan baik dengan media. Untuk dapat
memiliki media relations yang baik, maka PR harus menyusun perencanaan sebelum bertemu
dengan rekan-rekan media. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perencanaan media relations
yang dilakukan oleh PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Penelitian ini
menggunakan gabungan teori perencanaan dari beberapa sumber. Pola sistematik perencanaan
program PR diacu dari teori yang diungkapkan oleh Cutlip, Center, dan Broom.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode fenomenologi. Penulis mengambil kesimpulan setelah mencari dan menganalisis
data yang didapat melalui wawancara mendalam.
Setiap tahun PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyusun perencanaan
untuk menjalin hubungan baik dengan media. Tujuan PR Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI menjalin hubungan baik dengan media adalah agar mendapatkan publikasi luas
dan citra positif di mata masyarakat. Kegiatan yang sering dilakukan oleh PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk mencapai tujuan dari menjalin hubungan baik
dengan media adalah mengirimkan press release yang mengandung news value. PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI memang telah melaksanakan perencanaan, namun PR
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI belum memiliki pola sistematik perencanaan
media relations yang dapat membuat kegiatan yang harus dilakukan menjadi teratur. Melalui
penelitian ini, penulis memberikan sumbangan berupa karya ilmiah yang menghasilkan satu hal
awal sebelum melaksanakan pola sistematik perencanaan yang disebutkan oleh Cutlip, yang
disesuaikan dengan kultur Indonesia dan dapat diaplikasikan oleh organisasi di Indonesia.
Kata Kunci : perencanaan, media relations, citra positif, PR.
3. BAB I
PENDAHULUAN
A. Ruang Lingkup
Barbara Averill yang dikutip oleh Iriantara (2006:12) menyatakan bahwa media relations
adalah publisitas. Publisitas sendiri berarti mengomunikasikan pesan suatu perusahaan tanpa
memerlukan biaya penggunaan ruang atau waktu. Iriantara (2006:16) menyimpulkan bahwa
media relations merupakan bagian dari kegiatan eksternal PR yang membina dan
mengembangkan hubungan baik dengan media massa sebagai sarana komunikasi antara
perusahaan dengan publik untuk mencapai tujuan perusahaan.
Ruslan (2007:173) mengatakan bahwa fungsi PR salah satunya adalah menyebarkan
pesan, informasi, publikasi, hingga mengeluarkan berita (press release). Praktisi PR harus
menguasai berbagai teknik dan kemampuan dasar dalam menulis naskah kehumasan terlebih
dahulu, seperti pembuatan press release, yang mengandung unsur news value yang tinggi dan
layak untuk diterbitkan atau disiarkan. Penulisan press release harus dengan menggunakan
metode penulisan jurnalistik, yaitu 5W+1H dengan struktur penulisan kalimat berita yang
mengacu pada piramida terbalik, logis, singkat, padat, dan efisien. Unsur yang penting untuk
diingat adalah news value.
B. Perencanaan Media Relations
Media relations yang dijalin oleh PR harus mengandung strategi yang direncanakan
terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar hal-hal yang dilakukan PR dengan tujuan menjalin
hubungan baik dengan media dapat tercapai dan bukannya menjadi kesalahpahaman karena
kesalahan tindakan. Sebelum PR bertemu dengan pihak media, PR harus merencanakan
tindakan yang harus dilakukan dan informasi yang perlu disampaikan. Wardhani (2008:151)
menyebutkan tujuan perencanaan media relations, yaitu:
(1) Untuk membangun citra dan reputasi positif perusahaan.
(2) Untuk mengklarifikasi opini negatif yang kurang baik.
(3) Untuk memudahkan media dalam menentukan kegiatan peliputan.
(4) Menjaga hubungan baik serta mengevaluasi publisitas.
4. BAB II
ANALISIS MASALAH
A. Isu
Butuh 48 Tahun untuk Sehatkan Puluhan Juta
Lahan Krisis di Indonesia
Bandung - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengklaim dari tahun 2015
hingga 2016 tercatat puluhan juta hektar hutan lindung di wilayah Indonesia mengalami kritis
lahan atau degradasi lahan. Pemerintah berupaya mengembalikan lahan kritis tersebut untuk
menjadi lahan yang prima.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Hilman Nugroho dalam seminar Nasional VIIi dan
Kongres IX Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia di Hotel Horison, Jalan Pelajar
Pejuang, Kota Bandung, Selasa (6/12/2016).
"Di Indonesia terdapat 24.303.294 hektar lahan yang kritis, yang meliputi kawasan hutan
seluas 15.586.940 hektar dan di luar kawasan hutan seluas 8.716.354 hektar," ungkapnya.
5. Untuk menyelesaikannya butuh waktu 48 tahun dengan menggunakan dana dari APBN dan
APBD. "Kemampuan negara untuk merehabilitasi hutan dan lahan hanya 500 ribu hektar
pertahun. Gambarannya dari dana APBN itu hanya 300 ribu hektar pertahun dan dari APBD
hanya 200 hektar pertahun. Kalau ini diteruskan ini 48 tahun penyelesaiannya," terang
Hilman.
Saat ini, lanjut Hilman, Pemerintah Indonesia tengah berupaya keras untuk mengatasi
degradasi hutan dan lahan. Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah seperti
program reboisasi dan penghijauan, gerakan rehabilitasi hutan dan lahan, dan penanaman
satu miliar pohon.
"Nah sekarang bagaimana untuk mempercepat agar mengembalikan produksi lahan kritis
menjadi lahan prima itu jangan sampai 48 tahun, tapi cukup hanya 10 sampai 20 tahun saja,"
ujar Hilman.
Namun kemampuan pemerintah sangat terbatas. "Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan
untuk mengatasi permasalahan seperti ini," tandasnya.
Di tempat yang sama, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyoroti pembangunan yang
ada saat ini, yang tidak ramah lingkungan. "Karena semua berasal dari lingkungan, itu
artinya pembangunan harus ramah dengan lingkungan, termasuk kebutuhan kita seperti
pangan itu semua dari sana," kata dia.
Untuk saat ini komitmen menjaga lingkungan bukan sekedar memelihara saja. Namun,
bagaimana cara menyelamatkan lingkungan.
"Komitmen kita bukan sebagai perhatian terhadap lingkungan tapi bagaimana lagi untuk
menyelamatkan bumi dan air. Juga keyakinan untuk menyelamatkan lingkungan di bumi ini.
Kalau hutan rusak air juga ikut rusak dampaknya kita juga akan kena," katanya.
Saat ini masih banyak perusahaan yang berdiri di pinggir aliran sungai dikategorikan sebagai
perusahaan yang tidak ramah lingkungan. Banyak dari mereka membuang limbah industrinya
ke aliran sungai.
"Tak sedikit perusahaan yang berdiri di aliran sungai, contohnya seperti di Sungai Citarum
limbahh industri banyak membuang limbahnya ke sana (sungai). Mari kita selamatkan bumi
ini, mengelola dan melestarikan air untuk kehidupan masa depan anak dan bumi kita,"
tandasnya.
6. B. Pengelolaan Isu
Menurut PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, perencanaan dapat
menjadi guide line sebuah kegiatan agar ketika sebuah kegiatan berlangsung tidak terjadi
kekacauan. Dengan menyusun perencanaan, PR Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI dapat menentukan titik ekspektasi atas sebuah kegiatan yang akan
dilaksanakan. Perencanaan harus disertai dengan survey. Melalui survey, PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dapat menyusun rundown untuk sebuah kegiatan atau
acara, kemudian melakukan action sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat.
Ruslan (2007:169) mendefinisikan media relations adalah suatu kegiatan khusus dari
pihak PR untuk melakukan komunikasi penyampaian pesan atau informasi tertentu mengenai
aktivitas yang bersifat kelembagaan, perusahaan, produk, dan hingga kegiatan bersifat
individual lainnya yang perlu dipublikasikan melalui kerja sama dengan pihak pers atau
media massa untuk menciptakan publisitas dan citra positif. PR Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI telah melakukan aktivitas media relations karena PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melakukan kegiatan-kegiatan khusus yang ditujukan
kepada pihak-pihak media agar dapat menjalin hubungan baik dengan media. Tujuan PR
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menjalin hubungan baik dengan media
adalah untuk mendapatkan publikasi tentangLingkungan Hidup dan Kehutanan RI di media
massa. Publikasi yang diharapkan muncul di media massa adalah publikasi yang positif,
sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI memiliki citra positif di mata
publik bahkan masyarakat.
7. BAB III
PERENCANAAN
A. Latar Belakang Kegiatan
Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, yaitu seluas +
138 juta Ha. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk oleh
adanya penimbunan bahan organik dalam jangka waktu yang lama. Lahan gambut
merupakan area yang memiliki cadangan karbon yang sangat besar. Luasan lahan gambut
berdasarkan data BB Litbang SDLP (2008) adalah 18.317,589 ha meliputi tiga pulau
utama di Indonesia. Luasan gambut di Pulau Sumatera 6.244, 101 ha, luasan lahan
gambut di Pulau Kalimantan 5.072,249 ha, luasan lahan gambut di Papua 7.011,239 ha.
Luasan tersebut menurut Agus dan Subiksa (2008) totalnya menjadi 21 juta hektar
apabila lahan gambut di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bengkulu, dan Kalimantan Timur diperhitungkan. Pada wilayah-wilayah yang
terlingkup area gambut terdapat beberapa kabupaten yang memiliki angka kemiskinan di
lebih besar di atas angka rata-rata kemiskinan nasional yaitu 16 kabupaten di Sumatera, 2
Kabupaten di Kalimantan, dan 20 Kabupaten di Papua. Sementara ada 25 kabupaten di
Sumatera dan 25 Kabupaten di Kalimantan yang memiliki angka rata-rata kemiskinan
lebih rendah dibanding angka kemiskinan nasional pada tahun 2010. Angka kemiskinan
nasional (BPS, 2010) sebesar 13,33 % dari total penduduk Indonesia.
Kawasan hutan memiliki kekayaan alam yang luar biasa besar dan dianggap
sebagai paru-paru dunia, mempunyai peranan penting sebagai sistem penyangga
kehidupan dan penggerak perekonomian. Namun keberadaannya beberapa tahun terakhir
memiliki persoalan besar dengan terjadinya degradasi hutan dan lahan, deforestasi yang
disebabkan oleh illegal logging, penjarahan hutan, alih fungsi lahan, perambahan
kawasan, kebakaran hutan dan tindak kejahatan hutan lainnya. Dengan laju deforestasi
sebesar 1,17 juta hektar per tahun, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang turut
andil dalam terjadinya pemanasan global. Berbagai tindak kejahatan terhadap hutan,
selain mengakibatkan pemanasan global juga mengakibatkan kerusakan ekosistem dan
kualitas lingkungan hidup, hilangnya bioderversity serta menurunnya kesejahteraan
masyarakat saat ini dan generasi di masa mendatang. Terkait dengan pemanasan global,
Presiden RI pada saat KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen bulan Desember 2009
menyampaikan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi sebesar 26% - 41% pada
tahun 2020. Komitmen tersebut didasari atas kenyataan bahwa: Indonesia termasuk pada
urutan terbesar negara berkembang emisi dari deforestasi; Berdasarkan hasil penelitian
para ahli bahwa deforestasi menyumbang 18% dari emisi GHGs total dunia, 75% berasal
8. dari negara berkembang; Diperkirakan emisi dari deforestasi di negara berkembang akan
terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan untuk keperluan
pembangunan. Isu perubahan iklim global bukan merupakan cerita belaka, akan tetapi
sudah menjadi suatu kebenaran. Berbagai dampak perubahan iklim telah nyata dirasakan
tidak hanya di Indonesia, akan tetapi di seluruh dunia. Beberapa tahun terakhir, pada
musim penghujan terjadi peningkatan intensitas badai angin dan hempasan angin
panas, bencana banjir tahunan dan tanah longsor. Sebaliknya pada musim kemarau,
terjadi bencana kekeringan yang berkepanjangan. Isu perubahan iklim global bukan
merupakan cerita belaka, akan tetapi sudah menjadi suatu kebenaran. Berbagai dampak
perubahan iklim telah nyata dirasakan tidak hanya di Indonesia, akan tetapi di seluruh
dunia. Beberapa tahun terakhir, pada musim penghujan terjadi peningkatan intensitas
badai angin dan hempasan angin panas, bencana banjir tahunan dan tanah longsor.
Sebaliknya pada musim kemarau, terjadi bencana kekeringan yang berkepanjangan.
Untuk mengantisipasi dampak pemanasan global tersebut, salah satu upaya yang paling
efektif adalah melalui kegiatan penanaman pohon secara massal, karena
pohon mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap gas rumah kaca sebagai
penyebab pemanasan global. Apabila tidak ada aksi pencegahan dipastikan suhu bumi
akan terus meningkat.
B. Program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
1. Pemanfaatan Lahan Gambut Sebagai Penghidupan Masyarakat Lokal
Lahan gambut merupakan lahan yang sangat rentan dengan kebakaran. Pemanfaatan lahan
gambut seringkali mengabaikan kaidah keamanan lahan dimana penebangan dan pembersihan
lahan dilakukan dengan melakukan pembakaran. Hal tersebut menyebabkan api mudah
merambat ke area lain dan menjadikan kebakaran hutan menjadi massif.
Munculnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan peluang kepada desa untuk dapat
lebih meningkatkan kapasitasnya baik dari aspek insfrastruktur, kelembagaan, usaha ekonomi,
maupun sumberdaya manusia. UU No.6 Tahun 2014 memberikan peluang kepada desa untuk
berkembang sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam yang dimilikinya, termasuk
sumberdaya lahan gambut.
Kesadaran mengenai sumberdaya alam gambut yang ada di sekitar masyarakat menjadi satu
basis pengelolaan untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan didasarkan pada
pengembangan usaha ekonomi masyarakat. Pengembangan usaha ekonomi tersebut disesuaikan
dengan kondisi desa setempat, dapat bekerjasama dengan pihak luar dan sebagaimana amanat
9. UU No.6 Tahun 2014 desa dapat membentuk badan usaha terkait pengelolaan sumberdaya
melalui BUMDes (Badan Usaha Milik Desa).
Kawasan lahan gambut tidak hanya terdapat dalam satu desa namun berada di wilayah lintas
desa. Oleh karenanya pengembangan kelembagaan yang dilakukan tidak lagi desa per desa
namun dikembangkan dalam satuan kerjasama antar desa (pembangunan berbasis kawasan). Ha
ini dilakukan dengan pertimbangan karena jumlah desa yang terlalu banyak di Indonesia tidak
memungkinkan masing-masing desa dibangun secara terpisah. Desa melakukan kerjasama
dengan desa-desa lain melalui tiga tahapan: 1) Bounding Strategy: menguatkan kerjasama
komunitas desa; 2) Bridging Strategy: menguatkan kerjasama antar desa; dan 3) Creating
Strategy: mengembangkan kerjasama kreatif (dalm lingkup antardesa, dengan pemerintah
daerah, maupun stakeholders lain). Model pembangunan desa berbasis kawasan tersebut telah
dilakukan di Indonesia melalui kerjasama antara Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB dengan Ditjen PMD Kementerian Dalam Negeri sejak tahun 2009-2014 dan telah
dilakukan di 51 Kabupaten yang ada di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Beberapa Kabupaten yang memiliki sumberdaya gambut dan menjadi lokasi pelaksanaan model
tersebut adalah Bengkalis, Kepahiang, Kutai Kertanegara, dan Katingan.
Kebijakan strategis ini diarahkan untuk pengembangan kawasan gambut yang produktif berbasis
masyarakat dan berkelanjutan. Kebijakan ini berdasarkan amanat UU No.6 Tahun 2014 bahwa
pembangunan desa diarahkan pada pembangunan kawasan perdesaan. Untuk menciptakan
sebuah kawasan gambut produktif hal yang perlu dilakukan adalah melalui penguatan kapasitas
masyarakat di kawasan yang terlingkup lahan gambut, kemudian dilakukan dialog pemanfaatan
ruang partisipatif untuk memetakan potensi dan kebutuhan, serta mengembangkan pusat
pertumbuhan antar desa dengan memilih satu desa titik pertumbuhan yang disangga oleh
beberapa desa dan sekaligus menyangga beberapa desa.
• Tujuan
Salah satu hal penting dalam pengembangan kawasan gambut berkelanjutan melalui
pengembangan kawasan pedesaan adalah meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia. Melalui
upaya peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan ekonomi masyarakat, banyak hal yang
dapat dilakukan. Contoh yang telah dilakukan dalam gambar adalah di wilayah NTB, Kabupaten
Sumbawa Barat, yang dapat direplikasi di wilayah lainnya yaitu setelah mengenali potensi di
wilayahnya masyakarat dilatih untuk mengembangkan produk budidaya menjadi agro-industri.
Misalnya pembuatan mie dan bakso dari produk hasil laut kemudian limbahnya dimandaatkan
untuk pengembangan budidaya jamur tiram.
• Penyusunan Rancangan Kegiatan
10. Tahap pertama dalam fasilitasi pengembangan kawasan gambut berkelanjutan adalah
perencanaaan partisipatif yang dilakukan melalui 3 tahap, yaitu aras desa, aras antar desa dan
aras kerjasama multipihak. Selanjutnya, dilaksanakan fasilitasi melalui pelembagaan kerjasama
kolaboratif melalui tahap inisiasi, fasilitasi dan akselerasi. Dalam pelaksanaan fasilitasi
pelembagaan kerjasama kolaboratif ada beberapa tahapan yang dilakukan, yaitu pendampingan
selama 5 tahun oleh pendamping; pengembangan lahan gambut menjadi agro industri yang
diharapkan dapat melahirkan usahawan hijaroduktif; selanjutnya adanya organisasi usaha (Badan
Usaha Milik) yang mampu mendorong RPKP Kabupaten.
Pada tahun kedua (fasilitasi), pendampingan ditingkatkan untuk membantu masyarakat dalam
membuat hal penataan ruang yang partisipatif serta menetapkan membuat rencana tindak lanjut
pembangunan kawasan melalui kerjasama antardesa. Kerjasama antardesa tersebut disatukan
oleh satu desa pusat pertumbuhan yang menjadi pusat bagi aktifitas pembangunan antardesa.
Jenis-jenis kerjasama antardesa yang disepakati oleh peserta dituangkan dalam dokumen
Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) yang disusun bersama oleh mereka melalui dialog
partisipatif. Aspek-aspek yang dikerjasamakan adalah pembuatan peta ruang kawasan antardesa,
peningkatan usaha ekonomi, peningkatan infrastruktur, penguatan kapasitas sumberdaya
manusia, dan penguatan kelembagaan. Hal penting pada proses pendampingan pada tahun kedua
ini adalah terbentuknya Tim Pengelola Kegiatan (TPK) kawasan yang berfungsi menjembatani
kebutuhan pembanguna kawasan dengan pihak lain di luar kawasan. Tim ini didorong untuk
dapat melakukan kegiatan secara aktif melalui pengesahan tim di tingkat kabupaten melalui SK
Bupati.
Tahun ketiga dalam proses pendampingan merupakan tahun refleksi aktifitas pendampingan
yang telah dilaksanakan pada dua tahun sebelumnya sekaligus akselerasi. Peserta merefleksikan
secara bersama-sama apa saja yang telah dilakukan komunitas warga pada masing-masing
kawasan yang terbentuk;menemukan dan mengenalihambatan dan tantangan yang dihadapai
komunitas ketika merealisasikan RKTL yang telah disusun pada tahun ke-2; danmerumuskan
aktivitas keberlanjutan kawasan yang telah terbentuksebagai upaya akselerasi bagi pembangunan
kawasan selanjutnya.
2. Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Upaya rehabilitasi hutan dan lahan menjadi sangat strategis bagi pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Upaya dimaksud bertujuan untuk mempercepat penanggulangan bencana banjir,
tanah longsor, kerusakan pantai dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif
sehingga sumber daya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan
lingkungan dan tata air DAS serta memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat sekitarnya,
sehingga diperlukan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) untuk
menurunkan laju degradasi hutan di provinsi Aceh yang saat ini telah menjadi keprihatinan
banyak pihak baik secara nasional maupun internasional.
11. Didalam hutan, selain kegiatan eksploitasi yang dilaksanakan oleh perusahaan seperti HPH
terdapat masyarakat lokal yang lahir, bertempat tinggal, hidup dan mata pencaharian didalam
kawasan hutan. Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) diselenggarakan untuk
memulihkan dan meningkatkan fungsi dan produktivitas hutan dan lahan dengan melibatkan
berbagai pihak secara terpadu dan transparan, sehingga terwujudnya kelestarian sumberdaya
hutan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bermukim didalam dan di sekitar hutan
yang kehidupannya tergantung pada kegiatan kehutanan.
• Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah:
a) Terbangunnya dan terlindungnya tanaman hutan dan lahan kritis pada DAS prioritas dan
tersedianya bibit tanaman kehutanan dan terciptanya lingkungan yang hijau.
b) Pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki melalui kerja sama dalam rangka
meningkatkan produktivitas usaha tani, kesejahteraan anggota dan masyarakat terutama
dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
• Penyusunan Rancangan Kegiatan
Hirarki perencanaan RHL meliputi RTk RHL-DAS, RPRHL dan RTnRHL mengikuti ketentuan
yang berlaku. Disamping perencanaan tersebut, pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
diperlukan rancangan kegiatan RHL (RK RHL), yang merupakan desain teknis kegiatan RHL
yang memuat informasi detil jenis dan lokasi kegiatan, peta, rincian kebutuhan bahan dan upah,
gambar pola tanam dan/atau konstruksi. Rancangan kegiatan RHL terdiri dari kegiatan vegetatif
(tanam-menanam) dan sipil teknik.
• Tata cara pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
RHL dilaksanakan sesuai Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan (RTnRH) dan/atau Rencana
Tahunan Rehabilitasi Lahan (RTnRL). Berdasarkan rancangan kegiatan penanaman RHL
sebagaimana dimaksud, dilaksanakan Penanaman RHL dengan Tahapan:
Persemaian/Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan tanaman, Pengamanan; dan Kegiatan
Pendukung
• Lokasi
Sasaran Lokasi penanaman pohon adalah di dalam kawasan hutan dilaksanakan pada hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang rusak/tidak produktif dan diluar kawasan
hutan pada lahan kritis, tidak produktif dan / atau lahan kosong.
12. Sasaran/lokasi penanaman dalam kawasan hutan (Hutan Konservasi, HL, HP)
program/kegiatannya meliputi : (1) Rehabilitasi Hutan Konservasi dan Hutan lindung (2)
Reklamasi Hutan Bekas Tambang (3) Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (4) Hutan
Tanaman Rakyat (5) Hutan Tanaman Industri dan (6) Rehabilitasi Hutan Mangrove/Hutan
Pantai, Rawa dan Gambut.
Sementara sasaran/lokasi penanaman di luar kawasan hutan dilaksanakan pada (1) Hutan Rakyat
(2) Hutan Kota (3) Penghijauan Lingkungan (4) Perkebunan (5) Hortikultura.
• Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
Kegiatan monitoring merupakan aktivitas untuk mengetahui gambaran mengenai tahapan proses
pelaksanaan, masalah yang dihadapi dan hasil-hasil keragaman kegiatan secara menyeluruh
sebagai input untuk menyempurnakan kegiatan hasil lebih lanjut.
• Penutup
Dengan suksesnya Kegiatan Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan Gerakan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (GERHAN) Tahun 2016 diharapkan memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia pada umumnya.
3. Pembuatan Hutan Taman Rakyat (HTR)
Sebuah terobosan baru belum lama ini dimunculkan pemerintah dalam upaya pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan melalui program Hutan Tanaman Rakyat. Program HTR di harapkan
mampu mampu meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat sekitar hutan yang sebagian
besar tergolong miskin.
Sebuah nuansa baru pengelolaan kehutanan belum lama ini dimunculkan pemerintah dalam
upaya memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Dalam bab 1 pasal 1: 19 PP no 6 th 2007
disebutkan Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada
hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian
sumber daya hutan.
Program HTR merupakan terobosan baru dalam mengentaskan kemiskinan penduduk di sekitar
hutan. Berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, mengindikasikan jumlah
penduduk Indonesia mencapai 237 juta orang. BPS menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8
juta di antaranya tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang di antaranya
tergolong dalam kategori miskin. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan
sekitar 6 juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang di antaranya bekerja di sektor swasta kehutanan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kemudian mengajukan program HTR
dengan memberikan jatah lahan 15 hektare bagi tiap kepala keluarga. Dengan total lahan yang
dicadangkan seluas 5,4 juta ha, maka ada sekitar 360.000 kepala keluarga yang mendapat jatah
13. HTR. Dengan asumsi tiap keluarga terdapat 5 anggota, maka program HTR diharapkan dapat
mengurangi angka kemiskinan sebesar 1.800.000 penduduk.
• Tujuan
Pembangunan HTR ini diharapkan ke depan mampu meningkatkan kontribusi kehutanan
terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan
sehingga diperlukan kerangka acuan dalam pengembangannya agar tidak terjadi kesimpang-
siuran dalam implementasinya di lapangan.
• Penyusunan Rancangan Kegiatan
Seperti disebutkan diatas HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Merujuk
pengertian ini sasaran dari pembanguan HTR adalah masyarakat yang berada di dalam dan atau
di sekitar hutan, masyarakat disini terdiri dari perorangan atau kelompok masyarakat yang dapat
diberikan ijin pengelolaan hutan, kemudian kawasan hutan yang dapat menjadi sasaran lokasi
HTR adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak lain, letaknya
diutamakan dekat dengan industri hasil hutan dan telah ditetapkan pencadangannya oleh Menteri
Kehutanan. Dalam pengembangannya, Hutan Tanaman Rakyat ini kedepan akan menggunakan 3
pola yakni :
1. HTR Pola Mandiri, adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang
IUPHHK-HTR.
2. HTR Pola Kemitraan, adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang
IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan
difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua
pihak.
3. HTR Pola Developer, adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan
selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHK-
HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang ijin dan
dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHKHTR diterbitkan.
Dalam skema pembangunan HTR, jenis tanaman yang dapat dikembangkan terdiri dari :
A. Tanaman Hutan Berkayu,
Tanaman hutan berkayu ini di bagi dalaam beberapa kelompok jenis yaitu :
1. Kayu Pertukangan, antara lain :
Kelompok Jenis Meranti (Shorea sp)
14. Kelompok Jenis Keruing (Dipterocarpus sp)
Kelompok Jenis Non Dipterocarpaceae :
2. Kayu Serat, antara lain :
Eucaliptus (Eucalyptus spp)
Akasia (Acacia mangium)
Tusam (Pinus merkusii)
Gmelina (Gmelina arborea)
B. Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu
Yang termasuk jenis tanaman budidaya tahunan berkayu tersebut adalah :
Karet (Hevea brasiliensis)
Durian (Durio zibethinus)
Nangka (Artocarpus integra)
Mangga (Mangifera indica)
Rambutan (Nephelium lapaceum)
Kemiri (Aleuritus moluccana)
Duku (Lansium domesticum)
Pala (Myristica fragrans)
C. Komposisi Tanaman Pokok
Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan HTR ditetapkan sbb :
Pemegang izin dapat melakukan kegiatan Tumpang Sari Tanaman Budidaya
musiman/Palawija diantara tanaman pokok s/d 2-3 tahun.
Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan dengan jarak tanam,
kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan.
Referensi lengkap mengenai jenis-jenis pohon “Buku Informasi Kesesuaian Jenis
Pohon untuk Hutan Tanaman”.
15. • Penutup
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat sebagai kebijakan Pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan
ekonomi (pro-growth) sebagaimana menjadi agenda revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan, sekaligus juga merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas
Kementerian Kehutanan dalam Revitalisasi Sektor Kehutanan dan Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat. Sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan, mensejahterakan masyarakat dan
memperluas lapangan kerja.
C. Pembiayaan Anggaran Program
Menteri Keuangan dan Menteri Kehutanan menyepakati terbentuknya Badan Pembiayaan
Pembangunan Hutan (BP2H) yang merupakan salah satu instansi pemerintah yang
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Tugas dari BP2H
adalah memfasilitasi pemberian pinjaman dana bergulir bagi pembangunan hutan; serta
mencari dan mengelola dana hibah dari negara dan lembaga donor yang terkait dengan
pembangunan hutan. Adapun pihak yang dapat memanfaatkan dana ini adalah Badan Usaha
Milik Negara/ Badan Usaha Milik Swasta /Badan Usah Milik Daerah dan perusahaan
patungan BUMN dengan BUMS atau Koperasi yang bergerak di bidang kehutanan,
Koperasi dan Kelompok Tani Hutan dengan persyaratan secara umum merupakan pemegang
ijin pemanfaatan hutan tanaman, tidak dalam daftar hitam dalam perbankan, memiliki tenaga
teknis kehutanan, memiliki NPWP dan tidak mempunyai tunggakan pajak, serta memenuhi
syarat untuk memperoleh pinjaman sesuai ketentuan yang diatur menteri kehutanan. Bunga
pinjaman untuk Badan Usaha Berbadan Hukum dikenakan pada suku bunga yang berlaku di
bank umum sedangkan untuk koperasi dan kelompok tani dikenakan bunga sesuai tingkat
bunga yang perlaku di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pengembalian pinjaman ini
dilakukan setelah panen/daur tanaman dengan cara sebagaimana diatur dalam perjanjian
pinjaman/akad kredit. Bilamana terjadi penyimpangan maka akan diberlakukan sanksi seperti
berikut :
a) Dalam hal debitur BUMN/S/D jika tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur
dalam perjanjian pinjaman dikenakan sanksi denda sebesar 2% (dua persen) pertahun
ditambah bunga dengan tingkat suku bunga yang berlaku pada bank umum per tahun.
b) Dalam hal debitur Koperasi atau Kelompok Tani Hutan, ketua kelompok dan anggota
kelompok tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian pinjaman,
dikenakan sanksi tanggung renteng untuk memenuhi kewajibannya.
16. D. Monitoring
kegiatan secara menyeluruh sebagai input untuk menyempurnakan kegiatan hasil lebih lanjut.
Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh: Tingkat Pusat dilaksanakan oleh Menteri
Kehutanan. Tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Gubernur. Tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan
oleh Bupati/ Walikota. Bupati/Walikota menyampaikan laporan kepada Gubernur. Gubernur
menyampaikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan
melaporkan pelaksanaan penanaman kepada Presiden Republik Indonesia. Balai Pengelolaan
DAS di daerah melaporkan kepada Direktur Jenderal RLPS.
Media yang diundang untuk mengkaji program milik Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI yaitu National Geographic dan Science Discovery.
PRESS RELEASE
No : SP. 34/ HUMAS/PP/HMS.12/12/2016
Jakarta, 12 Desember 2016
17. Alternatif Pengolahan dan Pembudidayaan Lahan Gambut
Hutan rawa gambut di Asia Tenggara telah hilang pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Lebih dari 90 persen telah dikonversi atau terdegradasi, menyebabkan penurunan
keanekaragaman hayati, emisi karbon tahunan sekitar 700 juta tCO2 (tidak termasuk emisi yang
terkait dengan kebakaran), penurunan tanah dan konflik sosial. Laju kehilangan dan kerusakan
ini disebabkan oleh: 1) ekspansi pertanian tanaman pangan, 2) perluasan perkebunan kelapa
sawit dan 3) pengembangan HTI pulp, terutama dengan jenis Acacia crassicarpa. Kondisi ini
diperparah oleh kebakaran dan pembalakan liar dari hutan rawa gambut yang tersisa. Umumnya,
pengembangan/perluasan lahan pertanian skala besar di lahan gambut telah sangat berkurang,
namun budidaya kelapa sawit dan tanaman industry untuk bahan baku bubur kertas di lahan
gambut masih terus berlanjut dan tak terhindarkan menimbulkan berbagai dampak negatif.
Sehubungan dengan maraknya kebakaran di lahan gambut dan mineral pada tahun 2015, dan
masih berlangsung hingga 2016, belakangan ini telah diwacanakan untuk menghentikan
(moratorium) perluasan budidaya kelapa sawit dan tanaman industri di lahan gambut (juga
mineral), dan sebaliknya didorong upaya untuk mengoptimalkan produktivitas pada lahan-lahan
gambut yang sudah terlanjur dibuka. Namun disayangkan, wacana tersebut hingga kini belum
dituangkan dalam bentuk kebijakan formal.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mencatat bahwa kebakaran di lahan
gambut sudah berlangsung sejak era tahun 1980-an dan berulang hampir setiap tahun dan
diperparah ketika terjadi fenomena el Nino, terutama pada tahun 1997/98 dan 2015. Peristiwa ini
diakibatkan oleh banyaknya saluran-saluran drainase di lahan gambut (diperkirakan sekitar 120-
700 meter/ Ha lahan) yang menguras air gambut dalam jumlah besar sehingga menyebabkan
gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Selain itu, drainase juga mengakibatkan materi
gambut terurai (decomposed) dan tercuci ke aliran sungai, lalu menyebabkan terjadinya
penurunan permukaan gambut (subsiden) akhirnya menimbulkan daerah-daerah cekungan
(depression) yang akan tergenang air/banjir. Indikasi akan terjadinya subsiden dicirikan oleh
banyaknya tanaman sawit maupun industri akasia, bahkan bangunan-bangunan di atasnya
menjadi miring bahkan tumbang. Ketika lahan gambut sudah mengalami / berbentuk cekungan
dan tergenang air/banjir, maka lahan tersebut tidak lagi produktif dan cenderung
ditinggalkan/diabaikan oleh para pengelolanya.
Sebelum kondisi di atas terjadi semakin parah, mulai saat ini perlu diambil langkah-
langkah untuk mencegah meluasnya kerusakan di lahan gambut dan untuk mencegah hilangnya
mata pencaharian masyarakat di masa depan. Terkait hal demikian, penerapan paludikultur yang
ditanam di lahangambut ditengarai dapat mengatasi permasalahan tersebut. Paludikultur
didefinisikan sebagai suatu budidaya tanaman menggunakan jenis-jenis tanaman rawa atau
tanaman lahan basah yang tidak memerlukan adanya drainase air gambut, namun dalam
pelaksanaannya, kegiatan ini mesti dilakukan tepat waktu (sebelum lahan gambut mengalami
18. genangan permanen/parah) dan jenisjenis yang akan ditanam disesuaikan dengan dinamika
genangan yang terjadi dan diharapkantanaman tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi.
Sehubungan dengan hal di atas, melalui workshop bertema “Alternatif Pengembangan Lahan
Gambut Berkelanjutan Berbasis Masyarakat dengan Pendekatan Paludikultur”, Wetlands
International Indonesia bersama Jikalahari telah memfasilitasi suatu dialog dengan berbagai
pemangku kepentingan (terdiri dari perwakilan petani di lahan gambut, LSM, lembaga
penelitian, perguruan tinggi, dll) untuk mengenal konsep, berbagi pengalaman dan pembelajaran
tentang paludikultur yang pengelolaannya berbasis masyarakat. Workshop ini dilaksanakan
selama 2 (dua) hari dan selesai digelar pada Rabu, 16 November 2016, di Bogor, Jawa Barat.
Dalam sambutannya, Direktur Program Indonesia dari Wetlands International, I Nyoman
Suryadiputra mengatakan, “Praktek pengelolaan lahan gambut perlu diubah dari berbasis
drainase menjadi tanpa drainase dengan menggunakan jenis tanaman lokal gambut yang
memiliki kesesuaian dengan kondisi basah seperti sagu, purun, tengkawang, jelutung, rotan dan
jenis jenis lainnya. Sehingga pengelolaan lahan gambut akan berkelanjutan.”
Selain itu Nyoman juga menyatakan, bahwa kanal-kanal yang sudah terlanjur dibangun di
lahan gambut dapat disekat-sekat, dan ruang antar sekat tetap dipertahankan berair untuk media
budidaya ikan rawa, sedangkan di tepi kiri-kanan kanal ditanami tanaman rawa yang tahan
genangan. Jika suatu saat nanti, lahan gambut mengalami subsiden, dan misalnya tanaman
sawit/akasia sudah tidak lagi dapat dipertahankan, maka tanaman rawa yang sudah ditanam
tersebut akan segera dapat menggantikan tanaman sawit/akasia tersebut. Cara-cara demikian
diharapkan dapat mengatasi kerusakan lahan gambut namun secara bersamaan dapat memenuhi
komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi GRK. Oleh karena, tanaman rawa dan ikan
keduanya senang air, akibatnya gambut tidak akan terbakar dan subsiden dapat dikurangi.
Selanjutnya, Hesti Lestari Tata, peneliti senior di Balitbang Inovasi Kehutanan KLHK
menyampaikan bahwa, “Dalam paludikultur, tanaman yang dipilih adalah tanaman lahan basah
jenis lokal (bukan invasive species) atau tanaman yang memiliki adaptasi cukup baik terhadap
kondisi alami gambut (asam dan basah). Sejauh ini terjadi rekayasa, dimana lahan gambut yang
seharusnya dipertahankan tetap basah, dipaksa agar sesuai terhadap suatu jenis tanaman tertentu,
misalnya melalui pengurasan air gambut. Kondisi demikian tentunya bertentangan dengan sifat
alami gambut yang akhirnya menyebabkan gambut kering dan mudah terbakar “. Terangnya.
---Selesai---
Kontak Media:
Lisa Ramadhanty
General Manager Corporate
Communications
20. BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI merupakan organisasi yang
membutuhkan publikasi dan pembentukan citra positif di mata masyarakat dengan bantuan
media massa untuk menyebarluaskan informasi atau berita baik tentang perusahaan. Oleh
karena itu, PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menjalin hubungan baik
dengan media. PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melakukan perkenalan
dengan semua media sebagai hal awal dalam melakukan perencanaan media relations.
Kemudian PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melakukan penelitian
tentang publik dari sebuah media dan sebelum menyusun perencanaan kegiatan. PR
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI selalu menentukan tujuan setiap
kegiatan, publik sasaran kegiatan, dan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyusun rancangan anggaran satu
tahun sebelumnya, bersamaan dengan rencana kegiatan. Setelah melakukan kegiatan, PR
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI selalu mengadakan evaluasi untuk
mengetahui kekurangan dan memperbaiki kekurangan pada kegiatan serupa di masa
mendatang. Berdasarkan analisis penulis, penulis menyatakan bahwa PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah melakukan perencanaan media relations, namun
PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI belum memiliki pola sistematik
perencanaan media relations. Oleh karena itu, penulis memberikan sumbangan berupa karya
ilmiah kepada PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, yang menghasilkan
pola sistematik perencanaan media relations, dengan tujuan agar PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dapat menyusun dan melaksanakan perencanaan
media relations secara teratur.
B. Hasil
Penulis menemukan kesesuaian antara data yang ditemukan melalui wawancara dengan teori
yang dinyatakan oleh Cutlip, Center, & Broom yang dikutip dari Ruslan (2007:166)
mengenai pola sistematik rencana program PR yang akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Kerja PR tidak dapat direncanakan tanpa pengetahuan yang mendetail mengenai
fakta, data, dan informasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
menyadari pentingnya fakta, data, dan informasi sebelum menyusun perencanaan
kegiatan. Hal ini diwujudkan dengan melakukan penelitian dan pencarian data; misalnya
melalui media profile suatu media baru atau yang belum bekerja sama dengan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, bertanya kepada orang-orang ahli,
21. bertanya kepada rekan-rekan media tentang trend satu tahun ke depan; dan penelitian
berdasarkan hasil evaluasi kegiatan yang pernah dilakukan.
2. Menentukan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
oleh penulis, penulis menemukan bahwa PR Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI selalu memiliki tujuan atas setiap kegiatan yang direncanakan dan
dilaksanakan. PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mendapatkan tujuan
umum dari manajerial level atas, namun PR Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI yang menentukan sendiri tujuan setiap kegiatan demi terwujudnya tujuan
umum yang diberikan dari manajerial level atas.
3. Menentukan publik yang menjadi sasaran. PR Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI meminta media profile dan mencari tahu publik suatu media baru atau
media yang belum bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
RI sebelum bekerja sama dengan sebuah media. Oleh karena itu, PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah mengetahui publik dari setiap media yang
bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Dengan
mengetahui publik setiap media yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI, maka PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
dapat mengirimkan press release sesuai dengan kepentingan publik yang berkaitan
melalui media yang tepat, sehingga PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
RI tidak salah mengirimkan press release dengan topik yang tidak ada hubungannya
dengan kepentingan publik.
4. Memilih media dan teknisnya. Penulis menemukan bahwa PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI memilih media untuk menyampaikan informasi
atau pesan kepada publiknya. Untuk menjelaskan pernyataan di atas, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI memberikan contoh dalam kegiatan media
gathering. Media yang digunakan oleh PR Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI dalam kegiatan media gathering adalah presentasi kepada rekan-rekan
media. Isi presentasi yang dilakukan oleh PR Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI adalah rencana kegiatan dan arah Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI untuk satu tahun ke depan. Press release merupakan sarana yang
digunakan oleh PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk
22. menyebarkan berita positif tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
agar mendapatkan citra positif di mata publik .
5. Rencana pengeluaran atau pemasukan dana secara rinci termasuk biaya tak
terduga. PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyusun rancangan
anggaran satu tahun sebelumnya bersamaan dengan rencana kegiatan yang akan
dilakukan untuk satu tahun ke depan. Informan satu juga menjelaskan bahwa PR
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah memperhitungkan biaya tak
terduga sebelum pelaksanaan kegiatan. Biaya tak terduga yang disediakan oleh PR
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI adalah sekitar dua persen dari
keseluruhan budget. PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyusun
rancangan anggaran dengan baik dengan tujuan agar tidak terjadi kekurangan dana untuk
melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak dapat berjalan lancar.
6. Evaluasi hasil-hasil yang dicapai. Penulis menyatakan bahwa PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melakukan evaluasi atas kegiatan yang dilakukan.
Penulis menyatakan hal tersebut berdasarkan pada data yang didapat melalui wawancara.
Salah satu hal yang dievaluasi oleh PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
RI berkaitan dengan media adalah berapa persen suatu media menyumbang citra positif
untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Cara PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengukur berapa persen suatu media
menyumbang citra positif untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
adalah jumlah pemberitaan positif dibanding jumlah pemberitaan negatif yang mucul di
suatu media massa. Selain itu, beberapa hal lain yang dievaluasi oleh PR Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI berkaitan dengan media adalah ketepatan waktu
yang telah disepakati bersama, ketepatan penulisan nama, ketepatan penulisan kata-kata,
kesesuaian informasi dengan press release yang diberikan PR Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI kepada wartawan, dan respon pihak media ketika ditegur karena
melakukan kesalahan. Keberhasilan pemberitaan di media massa yang didapatkan oleh
PR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI juga menjadi bahan evaluasi atas
keberhasilan suatu kegiatan.
23. DAFTAR PUSTAKA
Lattimore, Dan, Otis Baskin, Suzette T. Heiman, Elizabeth L. Toth. 2010. Public Relations:
Profesi dan Praktik, edisi ketiga. Jakarta: Salemba Humanika.
Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif, cetakan kedua. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara Yogyakarta.
Ruslan, Rosady. 2007. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi: Konsepsi dan
Aplikasi, Edisi Revisi. Cet. 8. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wardhani, Diah. 2008. Media Relations: Sarana Membangun Reputasi Organisasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rejeki, Ninik Sri. 2007. Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antar Budaya dalam Relasi
Kemitraan Inti-Plasma. Universitas Indonesia. Disertasi