Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia dan persepsi berbagai pihak terkait CSR.
2. CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia untuk memastikan keseimbangan antara perusahaan dan lingkungan sosial.
3. Hubungan dewan direksi dan implementasi CSR di Indonesia membantu membangun reputasi positif perusahaan dan mendukung
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
BE & GG, Friska Y Siahaan, Hapzi Ali, Ethic & Business: Corporate Social Responsibility, Universitas Mercu Buana, 2017
1. Nama Mahasiswa : Friska Y Siahaan
NIM : 55117110016
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, MM, CMA
Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia
Di Indonesia masalah dasar yang seringkali muncul ke permukaan terkait penyaluran dan
pengelolaan CSR, adalah mengenai kejelasan bagaimana sebuah perusahaan atau organisasi
seharusnya mengimplementasikan program CSR, apakah program tersebut dikelola secara
langsung atau dilaksanakan oleh pihak ketiga dan bagaimana proses program CSR tersebut
dilaksanakan serta bagaimana mensinergikan dari setiap aktivitas pelaksanaan dan penyaluran
CSR agar masyarakat bisa merasakan secara langsung manfaat pelaksanaan program CSR dari
perusahaan tersebut. Sejauh ini cara pandang perusahaan dalam melaksanakan CSR saat ini
masih dalam upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance) semata. Kesadaran terhadap CSR
(Corporate Social Responsibility) masih belum terintegrasi dengan baik dalam manajemen
perusahaan. Implementasinya kebanyakan masih berdasarkan atas tuntutan masyarakat.
Tetapi Pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia setiap tahunnya
menunjukkan tren yang positif, baik dari kualitas maupun kuantitas. Dari sisi kualitas,
penyaluran CSR dari sebuah perusahaan cukup variatif, tak hanya berkisar pada upaya
peningkatan ekonomi masyarakat, namun juga mulai memberikan porsi pada pengelolaan dan
perlindungan terhadap lingkungan, tanggungjawab filantropis yang bermuara pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat, misal memberikan beasiswa, peningkatan kesehatan
ibu dan anak serta masyarakat umum, mendirikan fasilitas sosial, dan sebagainya. Dari sisi
kuantitas, dana yang disalurkan juga mengalami peningkatan. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh PIRAC tahun 2001 menyebutkan bahwa dana CSR yang disalurkan oleh 180
perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam media massa mencapai
115 miliar (Saidi dan Abidin, 2004: 64). Sementara, hingga akhir tahun 2012, dana CSR yang
digulirkan berbagai perusahaan di Indonesia sebesar 10 triliun dimana Rp 4 triliun berasal dari
BUMN dan Rp 6 triliun berasal dari perusahaan swasta (Swa, 2012).
Meskipun banyak orang berbicara tentang CSR dan semuanya bagus serta perusahaan yang
melakukan CSR semakin banyak, namun upaya sosialisasi harus terus dilakukan agar lebih
banyak perusahaan menyadari dan memahami pentingnya CSR. Diakui, di satu sisi sektor
industri atau korporasi skala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional, tetapi disisi lain ekploitasi sumber-sumber daya alam oleh sektor industri
seringkali menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang parah.
Hal mendasar yang ingin selalu dibangun oleh suatu perusahaan adalah reputasi positif tentang
perusahaan. CSR dinilai sebagai salah satu cara suatu perusahaan guna membangun reputasi
tersebut. Masyarakat luas akan menilai kualitas dan membangun kepercayaan terhadap
perusahaan melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut agar tetap terjaga di
mata masyarakat sekaligus sebagai usaha untuk mempengaruhi masyarakat untuk
mempertahankan loyalitas terhadap perusahaan. Hal ini disebabkan perusahaan sebagai sebuah
2. sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak dapat berdiri sendiri. Keberadaan
perusahaan dalam lingkungan masyarakat membawa pengaruh bagi kehidupan sosial,
ekonomi, serta budaya. Dalam perjalanannya, aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan
bersinggungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat dan
lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengingat dan memperhatikan aspek sosial
budaya. Salah satunya adalah dengan membina hubungan baik yang bersifat reciprocal (timbal
balik) dengan stakeholder-stakeholder lain, baik pemerintah, swasta, maupun dari berbagai
tingkatan elemen masyarakat. Hubungan baik ini dapat dibentuk dari adanya interaksi antar
stakeholder dalam kaitannya dengan penyelenggaraan program CSR (Rosyida, Ismadan F.T.
Nasdian, 2011:51-70).
CSR di Indonesia sendiri diatur secara tegas dalam peraturan perundangundangan. CSR antara
lain diatur dalam UU 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam pasal 74 dijelaskan
bahwa:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam, wajib melaksanakan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan,
2) Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan
kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutandankewajaran,
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan diatur
denganPeraturanPemerintah. Selain itu, Peraturan lain yang mewajibkan CSR adalah Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal, baik penanaman modal dalam
negeri, maupun penanaman modal asing. Dalam Pasal 15 (b)dinyatakan bahwa setia penanam
modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Sanksi-sanksi terhadap
badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa
sanksi administratif dan sanksi lainnya, diantaranya:
(a) Peringatan tertulis;
(b) pembatasan kegiatan usaha;
(c) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
(d) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Hanya saja, persoalan yang muncul adalah, adanya pemahaman atau persepsi yang berbeda-
beda tentang CSR, baik dari perspektif masyarakat,pemerintah,maupun kalangan dunia usaha.
Masyarakat awam secara sederhana mengartikan CSR sebagai program perusahaan yang
memberikan bantuan bagi masyarakat sekitar. Perusahaan selaku entity bisnis yang tumbuh
dan berkembang di lingkungannya berkewajiban memperhatikan dan membantu masyarakat
sekitarnya. Apabila perusahaan tidak memperhatikan dan membantu masyarakat sekitarnya,
maka perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya sehingga dapat
dituntut masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya tersebut.
3. Sedangkan menurut Pemerintah, pelaksanaan CSR harus sesuai dengan ketentuan UU PT.
Pasal 74 ayat (1) UUPT sebagaimana yang telah diungkapkan di atas menjelaskan bahwa
ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang,
dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Sementara itu,
pengusaha memiliki pandangan yang berbeda mengenai CSR. Fase defensive, dimana
perusahaan akan bersikap reaktif terhadap kritik yang ditujukan kepadanya, yang biasanya
dijawab dengan kata-kata standar “ini bukan salah kami”. Selanjutnya masuk fase compliance,
dimana perusahaan berusaha memenuhi aturan yang ada dengan tujuan menghindari
munculnya kritik.
Berbicara mengenai manfaat CSR, terdapat manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan
tanggunggjawab sosial perusahaan, baik bagi perusahaan sendiri, bagi masyarakat, pemerintah
dan pemangku kepentingan lainnya. Wibisono (2007: 99)
Pertama, Bagi Perusahaan. Terdapat empat manfaat yang diperoleh perusahaan dengan
mengimplementasikan CSR:
1) keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan, dan perusahaan mendapatkan citra
yang positif dari masyarakat luas
2) perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap modal (capital).
3) perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang
berkualitas.
4)perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical
decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management),
Kedua, Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai tambah adanya
perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas sosial
di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan perlindungan akan hak-
haknya sebagai pekerja. Jika terdapat masyarakat adat atau masyarakat lokal, praktek CSR
akan menghargai keberadaan tradisi dan budaya lokal tersebut,
Ketiga, Bagi lingkungan, praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya
alam, menjaga kualitas lingkungan dengan menekan tingkat polusi dan justru perusahaan
terlibat mempengaruhi lingkungannya,
Keempat, Bagi negara, praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut “corporate
misconduct” atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada aparat negara atau aparat hukum
yang memicu tingginya korupsi. Selain itu, negara akan menikmati pendapatan dari pajak yang
wajar (yang tidak digelapkan) oleh perusahaan. Terkait kemitraan antara perusahaan dengan
pemerintah, kedua belah pihak mendapatkan manfaat dari tanggungjawab sosial yang
dilakukan oleh perusahaan. Bagi perusahaan akan lebih mudah memperoleh akses terhadap
modal (capital), dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical
decision making), dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).
Pemerintah mendapatkan keuntungan berupa adanya partisipasi pihak perusahaan dalam
mendukung program-program pemerintah, dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4. Program-program CSR yang dilaksanakan seringkali kurang menyentuh akar permasalahan
komunitas yang sesungguhnya. Seringkali pihak perusahaan masih menganggap dirinya
sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan komunitas, sementara komunitas dianggap
sebagai kelompok pinggiran yang menderita sehingga memerlukan bantuan perusahaan. Di
samping itu, aktivitas CSR dianggap hanya semata-mata dilakukan demi terciptanya reputasi
perusahaan yang pasif bukan demi perbaikan kualitas hidup komunitas dalam jangka panjang
(Margiono, 2006).
Kritik lain dari pelaksanaan CSR adalah karena seringkali diselenggarakan dengan jumlah
biaya yang tidak sedikit, maka CSR identik dengan perusahan besar yang ternama. Yang
menjadi permasalahan adalah dengan kekuatan sumber daya yang ada dan dengan kekuatan
sumber daya yang dimilikinya, perusahan-perusahan besar dan ternama ini mampu membentuk
opini publik yang mengesankan seolah-olah mereka telah melaksanakan CSR, padahal yang
dilakukanya hanya semata-mata hanya aktivitas filantropis, bahkan boleh jadi dilakukan untuk
menutupi perilaku-perilakuyang tidak etis serta perbuatan melanggar hokum (Margiono,ibid).
Tekanan secara nasional dan internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk
mempengaruhi perilaku bisnis korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang
saham, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), partner bisnis (terutama dari negara yang
komunitas bisnisnya peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan
publik (public inter-est lawyers). Dalam hal ini CSR merupakan komitmen perusahaan atau
dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan
antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Mapisangka,2009:40).
Hubungan antara Board of Directors dengan Corporate Social Responsibility (CSR) dan
Implementasinya di Indonesia
Pada tahun-tahun pertumbuhan setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua konsumsi sumber
daya alam bumi terus meningkat seiring ekonomi berkembang. Hal ini memicu kekhawatiran
konsumen dan investor tentang pencemaran lingkungan dan konsumsi berlebihan. Sikap 'hidup
untuk hari ini dan jangan khawatir tentang besok' kehilangan akal sehatnya. Orang mulai
menyadari bahwa masa depan kita yang panjang dan kesehatan planet ini sedang dipertaruhkan.
Pada 1970-an, titik di mana cadangan minyak dunia akan memulai penurunan yang tak
terelakkan dan tidak menentu, beredar luas. Tidak ada yang tahu pasti kapan dunia akan
dipaksa untuk beralih dari ekonomi berbasis karbon ke karbon pasca-karbon, tapi ini akan
terjadi. Terlepas dari perdebatan pakar dan ketidaksepakatan industri, banyak hal pasti akan
berubah.
Beberapa dekade terakhir telah menyaksikan pertumbuhan pesat di ekonomi China dan India.
Keduanya adalah konsumen berat sumber daya alam. Hal ini juga meningkatkan kesadaran
akan sifat internasional isu hijau. Perubahan iklim dan pemanasan global adalah realitas global
dan akan membawa upaya global untuk mengatasinya.
5. Berapa lama ini bisa terus? Apakah perusahaan bagian dari masalah, solusinya atau keduanya?
Bisakah pilihan konsumen dan investasi kita benar-benar mendorong perubahan perilaku?
Bagaimana dewan direksi menangani tanggung jawab sosial perusahaan mereka?
Bangkitnya tanggung jawab sosial perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility / CSR) adalah usaha yang
mengatur sendiri oleh perusahaan untuk menerapkan strategi cerdas dan berkelanjutan yang
berkaitan dengan masalah lingkungan, sosial dan tata kelola. Sangat sedikit perusahaan yang
memiliki kebijakan CSR satu generasi yang lalu dan sekarang ini merupakan alat strategis yang
penting. Sekarang peraturannya, bukan pengecualian, mengharapkan perusahaan melakukan
segala sesuatu yang mungkin untuk secara operasional mengurangi dampak sosial atau
lingkungan yang merugikan - sekarang dan di masa depan.
Di antara tugas lainnya, dewan direksi harus menunjukkan bahwa kekhawatiran investor
sedang ditangani. Salah satu cara yang paling efektif untuk melakukannya adalah dengan
menciptakan dan mengelola program CSR yang efektif. Hal ini dapat dicapai dengan
menciptakan kebijakan dan mengawasi kinerja di tingkat perusahaan yang tinggi. Tapi harus
diperkuat dengan menerapkan langkah-langkah akuntabilitas dan pelatihan bagi karyawan.
Reputasi dan faktor risiko
Tidak menerapkan CSR adalah strategi yang berisiko. Kegagalan untuk terlibat dengan
pemangku kepentingan yang tertarik menciptakan kesenjangan pengetahuan dan dinamika
musuh, yang mungkin menjadi masalah besar bagi dewan direksi atau BOD. Ini dapat
mencakup lebih sedikit akses terhadap modal, biaya modal yang lebih tinggi, penurunan moral
angkatan kerja (yang mempengaruhi biaya perekrutan dan retensi), keterpaparan yang lebih
besar terhadap tuntutan hukum dan denda dari badan pengawas. Oposisi terhadap kegiatan
bisnis sehari-hari perusahaan juga bisa tumbuh merepotkan di masyarakat tempat perusahaan
beroperasi.
Bahkan ada lebih banyak risiko kerusakan reputasi pada perusahaan. Ini bisa timbul dari satu
kejadian bencana besar, yang menodai citra publik dan koneksi bisnis perusahaan selama
bertahun-tahun. Kejatuhan ini bisa mengasingkan sekutu dan membuatnya jauh lebih sulit
untuk bergerak maju dengan strategi bisnis dalam jangka pendek dan panjang.
Dalam sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Eisner, 54% direktur menyatakan bahwa
kerusakan reputasi merupakan perhatian utama perusahaan mereka.
Dewan direksi perlu menyadari perkembangan dan tren dunia CSR. Hal ini terutama berlaku
di daerah yang terkadang diabaikan: adanya harapan stakeholder yang terus berubah.
Pemangku kepentingan yang memiliki ketertarikan khusus pada CSR mengharapkan
perusahaan melampaui hanya mematuhi persyaratan peraturan dan hukum, harapan semacam
itu mungkin dapat memprediksi persyaratan hukum atau peraturan di masa depan.
Hak Asasi Manusia
Semua dewan direksi harus memiliki pemahaman mendasar tentang hak asasi manusia dan
dampak sosial dari operasi perusahaan. Jika perusahaan menggunakan fasilitas manufaktur di
6. luar negeri, misalnya, anda dapat menderita kerusakan reputasi yang parah karena kondisi kerja
yang buruk, kematian pekerja atau cedera, atau bahkan pemeriksaan publik atas upah rendah
yang dibayarkan di pabrik di luar negeri. Dan bahkan bagian rantai pasokan yang lebih jauh
lagi, bagian yang tidak dimiliki atau dioperasikan langsung oleh perusahaan, dapat menjadi
kewajiban publik (jika tidak legal).
Jika dewan direksi tidak melakukan peninjauan, ini sangat mempengaruhi perusahaan yang
bersangkutan. Masyarakat umum dan investor telah dikepung dengan cerita-cerita mengerikan
dan tragis. Bila kondisi kerja yang tidak aman atau eksploitatif muncul dalam laporan media,
tim PR atau hubungan masyarakat perusahaan harus bekerja ekstra keras untuk melawan
publisitas buruk itu. Dewan direksi harus membantu menyusun kebijakan perusahaan yang
menjamin pengawasan dan pengendalian yang memadai atas sistem perusahaan.
Tanggung jawab direktur
Anggota dewan perusahaan memiliki tanggung jawab untuk merumuskan dan mengarahkan
kebijakan yang menangani risiko utama, termasuk yang sangat penting dari kerusakan reputasi
potensial. Ini adalah masalah ekonomi dan hukum. Badan pengatur sekarang memiliki
kekuatan besar dan selalu ada kemungkinan tindakan hukum dan hukuman karena kegagalan
sistemik atau strategis. Tuntutan hukum yang dibawa oleh individu atau organisasi untuk
beberapa dampak lingkungan atau sosial yang merugikan adalah fakta kehidupan; dewan bisa
membantu menjaga mereka.
Kebijakan CSR yang dibuat dan diawasi oleh dewan direksi harus memungkinkan manajemen
untuk secara efektif mempromosikan nilai-nilai kunci dan menjalankan strategi inti bisnis.
Mengelola masalah pemangku kepentingan dan memenuhi harapan ekonomi perusahaan harus
seimbang.
Normatif Implementasi CSR di Indonesia
Dalam Jurnal sosioteknologi Edisi 12 tahun 6, Desember 2007 oleh Chairil N.Siregar
menuliskan bahwa dalam perjalannya CSR banyak menghadapi kendala-kendala yang
diantaranya;
a. Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat
b. Masih terjadi perbedaan pandangan antara institusi-institusi pemerintah mengenai CSR
berdasarkan UU PT tahun 74 yang baru seperti diterangkan diatas.
c. Belum adanya aturan jelas dalam pelaksanaan CSR di kalangan perusahaan (sekarang sudah
mulai dijelaskan melalui isian kuesioner PROPER, penegasan dalam Peraturan Pemerintah
turunan dari UU PT, dan beberapa Peraturan Daerah seperti salah satunya di Kalimantan).
Menanggapi kendala di poin a dan b berbagai departemen yang berhubungan langsung dengan
pelaksanaan CSR sudah berusaha menyamakan persepsi. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai
seminar dan lokakarya yang diadakan dimana bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, LSM dan
pihak swasta. Keilmuan CSR sendiri mengarah ke tren Sustainability atau beberapa pihak
7. menyebutnya CSV yaitu Coorporate Shared Value. Dari argumentasi-argumentasi yang
disampaikan bahwa pada dasarnya adalah sama Karena kesemuanya menginginkan
keterlibatan pihak swasta dalam mewujudkan lingkungan dunia yang lebih baik dan
pelaksanaannya memenuhi keberlangsungan ekonomi, pelestarian lingkungan hidup,
kesejahteraan sosial.program CSR yang lebih mengacu pada pemberdayaan.
Untuk poin c, kita patut bersyukur bahwa beberapa tahun belakangan ini konsep standarisasi
pelaksanaan CSR mulai bermunculan. Beberapa diantaranya bahkan cukup detil mengatur
bagaimana CSR harus dilaksanakan dan didokumentasikan. Ada SA 9000, ISO 26000 untuk
standarisasi manajemen CSR, sementara itu GRI (Global Report Initiative) lebih mengatur
masalah standarisasi pelaporan secara internasional yang lebih dikenal dengan Sustainability
Report dimana ada lebih dari 70-an kriteria yang dipertanyakan. Khusus untuk industri
perkebunan kelapa sawit bahkan Pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan standarisasi
khusus dengan nama ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dimana keikutsertaannya
menjadi keharusan bagi perusahaan perkebunan yang mendapat PROPER berwarna biru.
Apapun konsep yang digunakan, tidak akan efektif dilaksanakan jika pada saat penyusunan
program perusahaan tidak berusaha melakukan survei kebutuhan program terhadap target
penerima manfaatnya terlebih dahulu. Terlebih lagi tidak melakukan pemetaan siapa saja yang
menjadi pemangku kepentingan atas operasional usahanya tersebut. Hal-hal mendasar ini yang
seringkali terlupakan atau dilewatkan sehingga akhirnya setelah berjuta-juta dan bahkan
bermilyar anggaran CSR dikeluarkan tetap saja hasilnya tidak sesuai harapan. Tidak harapan
masyarakat, tidak pula harapan manajemen perusahaan.
Beberapa perusahaan sudah mulai melakukan pendekatan CSR dengan melaksanakan baseline
survey terhadap target masyarakat yang menjadi stakeholder perusahaan setelah sebelumnya
melakukan stakeholder mapping, kemudian needs assessment analysis berdasarkan baseline
survey tadi.
Baseline survey memberi cara bagi perusahaan untuk menemukan indikator dasar masyarakat
sekitarnya, yang nantinya dibantu dan berdayakan melalui program-program sesuai arahan visi
misi perusahaan. Hanya dengan mengukur dan menganalisa indikator-indikator yang telah
ditentukan tadi, pihak manajemen mendapatkan persentase perubahan aktual atas program
yang mereka laksanakan. Perubahan tren pada penghasilan masyarakat, jumlah kasus penyakit
yang diderita masyarakat, dan kepemilikan barang bisa menjadi acuan analisa terjadinya
pertumbuhan ekonomi, keberhasilan program kesehatan, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh; jika awal indikator pendidikan masyarakat setempat adalah tingkat buta huruf
yang tinggi, maka program pendidikan yang mereka lakukan sebaiknya mampu menurunkan
angka atau jumlah masyarakat buta huruf itu tadi hingga sekian persen (tergantung target
perusahaan masing-masing).
Dengan demikian, pihak manajemen akan lebih mudah membuat analisa keberhasilan program
dimana manfaatnya dapat langsung terbaca oleh pihak luar, selain itu program tadi dapat
menurunkan budget rekruitmen karena perusahaan bisa mengambil calon tenaga kerja lokal
lebih tinggi dari sebelumnya.
8. Selain dari baseline survey dan Needs Assessment Analysis, perusahaan juga perlu melakukan
social impact assessment yang mengukur tingkat kepuasan penerima manfaat (dalam hal ini
masyarakat) untuk memahami apakah program yang dianggap penting dan baik untuk mereka
juga dianggap sama pentingnya.
Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan CSR
sebuah perusahaan. Salah satunya adalah jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang
memiliki produk yang dijual. Perusahaan bisa mengambil data awal market share mereka
sebelum program CSR mereka laksanakan. Kemudian setelah itu membandingkan market
share mereka setelah program CSR mereka laksanakan. Apakah trennya naik atau turun.
Bisa juga mengukur seberapa jauh masyarakat mengenal perusahaan tersebut, lagi-lagi melalui
survey langsung. Bisa lewat telpon atau face-to-face, perusahaan bisa mengukur perubahan
tingkat image building mereka diminta masyarakat sebelum dan sesudah CSR dilaksanakan.
Yang saat ini menggelitik adalah semakin terlihat indikasi bahwa masyarakat menempatkan
perusahaan sebagai penanggung jawab utama mengalahkan pemerintah bahkan atas fasilitas
dasar umum seperti ketersediaan listrik, air bersih, infrastruktur jalan dan lain sebagainya. Pada
kasus industri pertambangan, perkebunan, yang pekerjanya diberikan fasilitas rumah oleh
perusahaan lengkap dengan aliran listrik, aliran air bersih, jalan, dll menjadi menarik saat salah
seorang dari mereka bertanya “untuk apa kemudian mereka membayar pajak penghasilan jika
semua kebutuhan mereka ditanggung perusahaan dan hanya sangat sedikit yang mereka
nikmati dari fasilitas yang dibangun pemerintah.”
DAFTAR PUSTAKA
Evan Harvey. https://ethicalboardroom.com/corporate-responsibility-the-board-of-directors-
role/, (26 September 2017, 14.35).
Lukita Wardhani, 2012. http://www.kompasiana.com/missluki/analisa-terhadap-
implementasi-csr-di-indonesia_5518a7ba81331128699de8cb, (26 September 2017, 1510).
Manurung, Dwi Endah Mira, FE UI, 2012. Analisis Penerapan Corporate Social
Responsibility, Jakarta