SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Download to read offline
INTERNALISASI FALSAFAH ISLAM DAN
DEKOLONIALISASI KUHP
*Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH
Prolog
KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang
bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada
prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang.
KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di
Indonesia dengan beberapa penyesuaian.
Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan
pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk
melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB
tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku
kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada
selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman
kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil, serta ketinggalan zaman
dan tidak sesuai dengan kenyataan, karena tidak berakar dan pada nilai-nilai
budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak
responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.
Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan "puncak" dari Sistem Peradilan
Pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. Secara teoritik, dalam
kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa
Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih
diperdebatkan.1
Konkretnya, secara lebih gradual Sistem Peradilan Pidana dapat
dikaji melalui pendekatan dimensi hukum, sosiologi, ekonomi dan menajemen.
"Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem
peradilan pidana (criminal justice system-SPP), yaitu dengan pendekatan hukum
dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan
manajemen. Dari segi profesional, SPP lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga
hukum yang berdiri sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas,
doktrin dan perundang-undangan yang mengatur SPP tersebut. Dalam ilmu
hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis."2
. Dikaji dari perspektif
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)3
maka di Indonesia dikenal 5
1Kenneth J. Peak, Justice Administration, Departement of Criminal Justice, University of Nevada,
1987, hlm. 25 menganalisis lebih jauh apakah komponen sistem peradilan pidana tersebut terdiri dari
proses, network, nonsystem, dan sistem.
2Satjipto Rahadjo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial, Jurnal Hukum Pidana
Dan Kriminologi, Vol. I/Nomor I/1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 97
3Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di Amerika Serikat oleh
pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science. Menurut Mardjono Reksodiputro
maka Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan. (Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
(lima) institusi yang merupakan sub Sistem Peradilan Pidana. Terminologi lima
institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.4
Pada Sistem Peradilan Pidana tersebut yang berpuncak adanya "putusan" atau
"vonnis" hakim hakekatnya dikaji dari perspektif teoritik dan praktik peradilan
acapkali menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity)
dan juga berkorelasi dengan "kebijakan pidana" dimana kebijakan formulatif
merupakan kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif. Pada
dasarnya, konteks "kebijakan". Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-
prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas
termasuk penegak hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-
urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan
perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/ peraturan dengan suatu
tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau
kemakmuran masyarakat (warga negara).5
Berdasarkan dimensi tersebut, kebijakan hukum pidana hakikatnya
merupakan "usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana
agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa
mendatang (ius constituendum)". Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum
pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu
sistem, hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan
substansi (substantive) hukum.6
Dikaji dari perspektif politik hukum maka
Universitas Indonesia, 1994, hlm. 84-85). Ditinjau dari dimensinya maka Frank Hagan (1987)
membedakan antara Criminal Justice System dengan Criminal Justice Process. (Romli Atmasasmita,
Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: PT
Alumni, 1982, hlm. 70). Pada dasarnya, Criminal Justice System adalah: " ...is the system by which society,
fist determinies what will constitue a crime and then identifies, accuses, tries, convicts, and punishes those
who violated the criminal law. Sedangkan Criminal Justice Process diartikan sebagai: "the series of
procedure by which society identifies, accuses, tries, convicts, and punishes offender". Oleh karena itu,
terdapat perbedaan gradual kedua pengertian di atas yaitu Criminal Justice System merupakan
substantive law sedangkan Criminal Justice Process menunjuk pada pengamanan penerapan dari
Substantive law. Menurut Allan Coffey maka ada perbedaan antara "sistem" dengan "proses" dimana
dikatakan bahwa, "The process of the system refers to many activities of police, attorneys, judges,
probahation and a role and prison staff. Process therefore is the most visible part of the system." (Lilik
Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, PT. Jambatan, Jakarta, 2004, hlm.
1-2).
4Pada dasarnya di Amerika Serikat tempat lahirnya Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) seperti dikemukakan oleh Prof Neil C. Chamelin, Phd. terdiri dari Polisi, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan dengan tujuan menanggulangi kejahatan yang timbul dalam tata kehidupan
masyarakat pada tingkat pemerintahan lokal dimana ditentukan dengan redaksional: "Basically the
American Criminal Justice System is composed of Police, Courts, and Corrections in local, state, and federal
levels. These criminal justice components functions separetely and together with majority of activities
occuring at the local level of government (city and country). (Neil C. Chamelin, et.al., Introduction to
Criminal Justice, Prentice-Hall, New Jersey, 1975, hlm. 1).
5Ibid, hlm. 26
6Terhadap pengertian sistem hukum yang terdiri dari cultural, structural dan substantive dapat
dilihat pada tulisan Lawrence M. Friedman dalam Legal Culture and Social Development, hlm. 1002-1010
dan Law and Society An Introduction, New
Jersey: Prentice Hall Inc, 1977, hlm. 6-7
politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang-
undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel maka penal policy merupakan
"Ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum
positif yang dirumuskan secara lebih baik". Peraturan hukum positif di sini
diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Karena itu
istilah penal policy menurut Ancel, sama dengan istilah "kebijakan atau politik
hukum pidana"7
Konkretnya, menurut Jeremy Bentham, janganlah hukum
pidana dikenakan/ digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or
inefficacious.8
Demikian pula Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan
sanksi pidana secara sembarangan/ tidak pandang bulu/menyamaratakan dan
digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu
menjadi suatu "pengancam yang utama" (prime threatener).9
Internalisasi Falsafah Islam
Anjuran menggunakan logika dinyatakan secara jelas bahwa,
‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih berganti antara siang
dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang BERAKAL’.10
Logika (mantiq)
tersebut digunakan dalam pelbagai situasi dan konteks –setidak-tidaknya 100 kali
disebut dalam Qur’an– (Q: Al-Baqarah, 44, 118, 219, 266; Q: Ali Imran, 65 dan 118;
Q: An-Nisa’, 82; Q: Al- Anam, 32, 50, 80, 151 dan Al-A’raf, 3, 26, 169, 176, 179, 184
dan 185; yang disimbolkan sebagai ‘sambil berdiri, duduk dan berbaring dengan
maksud bahwa penciptaan tersebut bukanlah sesuatu yang sia-sia.‘11
Struktur
berfikir menggunakan logika inilah, dalam literatur Barat dinamakan dengan
Falsafah, yaitu upaya berfikir kritis, argumentatif, analisis dan konklusif untuk
mencari dan mencapai kebenaran.
Di era kepemimpinan Nabi Muhammad (Nubuwwah), shahabat dan Tabi’;
falsafah tidak dipakai secara menyeluruh sebagai methode untuk menjawab
pelbagai isu tentang siasah, mu’amalah, munahakat, qital, kehidupan masa
depan (Syurga dan Neraka), kehadiran Dajjal, keabsahan kisah tentang ke-
Rasulan sebelum Nabi Muhammad SAW, fenomena kegemilangan kreasi
manusia dan isu imamah dan kemanusiaan yang sangat complex; karena semua
masalah yang muncul pada masa itu dapat diatasi oleh Rasulullah melalui wahyu
dan Hadits. Namun begitu, Amr bin Ash telah berterus terang kepada Rusulullah
sambil mengisyaratkan akan memakai ijtihad bagi menyelesaikan suatu masalah,
sekiranya rujukan penyelesaian tidak didapati dalam Qur’an adan Hadits. Ini
merupakan langkah awal menggunakan logika (falsafah) sebagai alasan
pembenar (justification) dalam upaya mencari kebenaran.
7Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.
2
8Ibid, hlm. 39
9Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press, California,
1968, hlm. 87
10 Qur’an, Surat Ali ‘Imran, ayat 190.
11 Ibid., ayat 191.
Persilangan pendapat di kalangan masyarakat muslim baru muncul fasca
Rasulullah sudah wafat, walaupun para shahabat masih lagi mampu memberi
jawaban terhadap pelbagai masalah yang muncul kehidupan berbangsa dan
bernegara; namun pada masa yang sama, muncul aliran Khawarij, ekoran dari
ketidak puasan terhadap penyerahan kuasa dari Syaidina Hasan kepada
Muawwiyah berdasarkan Perjanjian yang dinilai cacat hukum (illegal). Sejak itu,
pengikut Khawarij muncul dengan gaya konfrontatif yang menuntut keadilan,
kejujuran, menentang penguasa, menuntut supaya Hukum Allah sepenuhnya
dijalankan sebagaimana difirmankan dalam Qur’an, Surat Al-Maidah, ayat 44, 45
dan 47; bahkan telah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib karena koflik Ali-
Muawwiyah diselesaikan dengan cara musyawarah yang dianggap mengetepikan
ketentuan al-Qur’an.
Pada gilirannya, muncul aliran Mu’tazilah12
yang mengadopsi falsafah
Barat untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan yang muncul di kalangan
masyarakat muslim. Difahamkan bahwa, lintas pendapat antara pemikir Islam
dengan falsafah Barat –terutama pendapat Socrates, Plato dan Aristoteles
tentang pelbagai isu– berlangsung lebih awal berbanding berbanding dengan
kalangan Puritan (Rohaniawan Gereja) yang mengisolasi diri dengan doktrin
Gereja. Salah satu perististiwa yang memalukan dunia Krestian (Nasrani) adalah
pihak Gereja telah menjatuhkan hukuman mati mandatory (hukuman gantung)
kepada Galilleo Galilei (1564-1642), karena pendapatnya yang menyebut bahwa
’Matahari dan bumi masing-masing saling berputar mengelilingi pada sumbu
masing-masing’ dinilai berseberangan dengan teks Injil yang menyatakan
Mataharilah yang mengelilingi bumi. Pendapat Galilleo boleh jadi diadopsi dari
teks al-Qur’an Surat Yaasiin, 38-40). Sehubungan itu, putusan Gereja merupakan
pelecehan terhadap logika (rasionalitas) dan tradisi ilmu pengetahuan.
Sikap ilmuan Islam lebih bersikap terbuka untuk ber-argumen dengan
sederetan filosuf Barat yang memakai logika; tidak merasa malu untuk
mengadopsi metode falsafah untuk mengkaji, memperkaya khazanah pemikiran
dan mempertajam daya analisis bagi memahami keseluruhan teks Al-Qur’an
(dengan mengenal pasti asbabun nuzul) dan Hadits (nukud, yaitu sebab-
musabab munculnya sebuah Hadits). Sementara itu, pihak Gereja gagal
menghadapi derasnya arus pemikiran falsafah Barat, terutama idé tentang
keadilan, hukum, moral dan kebenaran yang dilontarkan oleh Socrates, Plato dan
Aristoteles serta filosuf Yunani lainnya. Jadi, pemikir Islam telah turut mengantar
mereka ke pintu gerbang berfikir menggunakan logika (falsafah).
Di tapal batas rasional, falsafah Barat tadi tidak ditempatkan sebagai
instrument untuk memperindah wajah syari’at Islam; akan tetapi Washil bin
Atha’ (700-748) dan pengikutnya, telah memposisikan falsafah sebagai wujud
rasionalitas yang memiliki authoritas dan dipakai sebagai metode dan standard
berfikir untuk mengkaji, menganalisis, mengevaluasi dan menafsirkan teks al-
12 Sebuah aliran rasionalis Islam yang didirikan oleh Washil bin Atha’ pada tahun 105-110 H (700
Masehi) di zaman Bani Abbasyiah di bawah pemerintahan Abdul Malik Marwan.
Qur’an, Hadits dan hasil Ijtihad. Bagaimana pun tidak dapat dipungkiri akan
sumbangan pemikiran rasionalitas Mu’tazilah dalam mempertahankan prinsip-
prinsip aqidah Islamiah menurut kadar keilmuan Islam yang mereka miliki,
walaupun sebagian penganut aliran ini terpengaruh dan perterangkap, akibat
dari perasaan galau terhadap hal-hal baru –terutama di peringkat awal
perkenalan dengan falsafah Barat– yang dikaguminya tanpa kendali.
Dalam perkembangan selanjutnya, kehadiran falsafah Barat tidak dipakai
sebagai instumen yang bebas berfikir kritis dan menghormati pendapat orang
lain. Malangnya, falsafah telah menjadi boomerang, bahkan cenderung
mengkafirkan (takfiri) pihak tertentu yang berbeda pendapat. Pandangan ‘takfiri’
merupakan gambaran dari pemahaman yang mencorakkan kecètèkan berfikir
untuk membangun tamadun Islam. Falsafah, selain memberi pengaruh terhadap
pola fikir, objektif, subjektifitas, juga berani berterus terang menentukan pilihan
keyakinan masing-masing. Abu Hasan al-Asy’ari (873-935) misalnya, selama 40
tahun hidup satu atap bersama Mu’tazilah, akhirnya memutuskan untuk ‘pisah
ranjang’ dan menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah yang dianggapnya sudah
melèncèng dari aqidah Islam. Pandangan Mu’tazilah yang disifatkan sebagai
metaforis terhadap ayat-ayat al-Qur’an, seperti perkataan ‘yadullah’ ditafsirkan
sebagai kekuasaan Allah dan ‘wajhullah’ sebagai keredhaan Allah; hak
prerogative Allah untuk mengampuni atau tidak terhadap dosa-dosa yang
dilakukan oleh hamba-Nya; sebagaimana disebut, ‘hanya terhadap dosa
mempersekutukan Allah (musyrik) yang tidak diampuni oleh Allah, selain dosa
itu masih terbuka ampunan Allah’,13
sukar dicerna oleh pemikir Islam lainnya.
Oleh itu, Abu Hasan al-Asyari menghidupkan semula fahaman Ahlul Sunnah wal
Jama’ah yang sudah dipugar lebih awal oleh Ibn Abbas yang bertujuan untuk
menjaga kemurnian Islam.
Walaupun Abu Hasan al-Asyari popular dengan temuan ‘Sifat Allah 20’,
bukan berarti beliau bebas dari kritikan. Dalam isu-isu tertentu, Abu Mansur al-
Maturidy (803-944) telah melancarkan kritik kepada Abu Hasan al-Asyari. Pada
giliranya, Abu Mansur al-Maturidy, juga dikritik oleh Al-Baqalany yang tidak
sepakat dengan beberapa pandangannya. Tragisnya, Ibn Sina (Avicenna 980-
1037)14
yang oleh sebagian pemikir Islam, seperti Imam Ghazali (1058-1111) telah
melancarkan kritik tajam, menganggap sudah tenggelam kedasar laut falsafah
Barat, yang terang-terangan menolak pandangan Al-Farabi berhubung dengan
kaedah filsafah Yunani dan mengkafirkan (‘takfiri)’ melalui karyanya Tahafut-al-
Falasifa (The Incoherenceof the Philosophers). Giliran pendapat Imam Ghazali,
juga dikritik Ibn Taimiyyah.15
Romantika dan dinamika pemikiran tersebut dapat
13 Qur’an, surat Annisa’, ayat 48 dan 116.
14 Ibn Sina (Avicenna), adalah seorang pemikir Islam asal Parsi dikenali sebagai pakar sains, etika,
logika Matematika dan Falsafah. Antara karyanya yang terkenal adalah Atqanun fi Altibb, Kitab Asyifa
dan Al- Najat. Alam fikirannya dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles dan Al-Farabi.
15 Seorang pemikir Islam yang dianggap oleh penguasa ketika hidupanya sebagai pemikir
kontroversial, sehingga Ibn Taimiyyah telah dijebloskan 7 kali kedalam penjara hingga beliau meninggal
dalam penjara.
difahami, karena selain menghidupkan tradisi berfikir yang tidak menafikan al-
Qur’an, Hadits dan ijtihad sebagai standard dan kriteria pembanding, dipakai
sebagai acuan dan alasan untuk menolak seluruh atau sebagaian dari kaedah
falsafah Barat.
Setelah dunia Islam memecahkan record pada zaman Ummar bin Khattab
(583-644) yang menguasai hampir sepetiga dunia –menakluki kerajaan Parsi dan
Rum– disusul dengan kejayaan Bani Abbasyiah (750-1517), Bani Umayyah 97
tahun (661-750) disambung lagi (756-1031) dan kekhalifahan Oesmaniyah Turki
(1299-1924) yang ditandai dengan penakukkan kerajaan Rum oleh Muhammad
al-Fateh (1453). Tibalah giliran kolonial Barat muncul sebagai kekuatan baru
mengalahkan pengaruh dan kekuatan Islam melalui perang Salib yang dipicu
oleh sentimen keagamaan dan politik perluasan wilayah di kurun masa abad ke-
11 sampai 13, dan seiring dengannya; dunia Islam –terutama di Zazirah Arab,
Afrika dan Asia– jatuh berguguran satu demi satu.
Di antara implikasi kolonialisme Eropah adalah, berubahnya peta
kekuatan geo-politik dunia yang dikuasai oleh dua kuasa dunia –Sepanyol dan
Portugis– pada abad ke 15, yang membagi seluruh belahan bumi ini dibawah dua
kuasa tersebut. Bersamaan itu, juga terjadi perubahan dalam wacana pemikiran
falsafah dan kekuatan politik hukum di seluruh dunia yang mengklasifikasi
kepada dua sistem hukum. Pertama, sistem Hukum Eropa Kontinental –‘civil
law’– merupakan kodifikasi dari ‘Corpus Juris Civilis’ yang berlaku pada masa
pemerintahan Kaisar Justianus pada abad ke-6. Hukum inilah yang kemudian
menjadi konstitusi di kebanyakan negara-negara Eropa, seperti Jerman, Belanda,
Prancis dan Italia, termasuk Amerika Latin dan Asia. Serentak dengan itu, sistem
perundangan Islam ditukar kepada sistem hukum yang berteraskan falsafah
Barat dan produk hukum Romawi. Kedua, sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo
Amerika), yang sejak abad ke-11 sudah berkembang di Inggris dengan nama
‘Common Law’, walau pun bentuknya berupa yurisprudensi, namun bagian
tertentu yang tertulis (statues) tetap dipertahankan. Dalam perkembangannya,
sistem hukum Anglo Amerika ini lebih cenderung kepada hukum positif
(tertulis), selain berlaku di Amerika Serikat dan Kanada, juga berlaku di beberapa
negara di Asia, terutama negara-negara kumpulan commonwealth Inggris. Sistem
hukum Anglo Amerika, juga meletakkan kewibawaan hukum kepada putusan
pengadilan, memperhatikan dan menghormati setiap perubahan dan
perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat (sosiological
jurisprudence), dimana Hakim mempunyai hak dan berwenang untuk mengadili
suatu kasus, menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan merumuskan
kaedah-kaedah hukum baru untuk dijadikan sebagai acuan bagi hakim untuk
memutus perkara yang sejenis. Artinya, sistem hukum Anglo Amerika, langsung
merujuk kepada putusan hakim terdahulu; terkecuali jika didapati bukti baru
sehingga putusan terdahulu tadi dinilai tidak relevan dengan perubahan
tuntutan zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan
keyakinan yang tidak berlawanan dengan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan
akal sehat (common sense).
Kolonialisme Eropah, selain berhasil merubah struktur berfikir umat Islam
–dari menolak kepada menerima hukum positive kolonial– sekaligus menggiring
prilaku dan mentalitas bangsa terjajah supaya tetap merasa ketergantungan
kepada keunggulan berfikir Barat dan mengekalkan hukum kolonial.
Konsekuensinya, bangsa terjajah tidak berani memangkas atau mengganti
produk hukum kolonial kepada hukum positive nasional berbasis adat-istiadat,
budaya dan hukum Islam. Rasa ketergantungan terus saja berlaku, walau pun
negara tersebut sudah merdeka. Inilah yang berlaku di Mesir, Marokko, Libya,
Irak, Algeria, Libanon, Afika dan Asia. Konstitusi Libanon misalnya, menetapkan
bahwa Presiden Libanon hanya boleh dipilih dari kalangan Kristen-Katholik,
Ketua Parlemen dari kalangan muslim Syi’ah, Perdana Menteri mewakili
masyarakat Muslim dan Wakil mewakili Kristen-Katholik. Ketetapan tersebut
dibuat oleh Perancis.
Di Indonesia, ketergantungan terhadap hukum positive kolonial nampak
dari untaian kalimat ’segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama masih diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar ini.’16
Berangkat dari sinilah, lahir UU No. 1/1946 tentang berlakunya
KUHPidana di seluruh wilayah Indonesia. Status Undang-undang ini dipertegas
semula melalui UU No. 73 tahun 1958 yang menyatakan UU No. 1/1946 tentang
berlakunya KUHPidana berlaku di wilayah Indonesia. KUHPidana ini adalah anak
kandung dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) 1795,
dengan nama Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland, disahkan semasa
Lodewijk Napoleon memerintah ’republic Batavia’ (koloni Belanda di wilayah
’Nederlanad Aest Indies’). Serentak dengan itu, Code Penal yang disusun pada
tahun 1810 diberlakukan. Setelah Persetujuan Amiens 1802 disetujui oleh pihak-
pihak yang terlibat perang di Eropah; maka Perancis menyerahkan semula
’republic Batavia’ kepada Belanda pada tahun 1813. Walau demikian, Belanda dan
pemerintahan Hindia Belanda; masih tetap mempertahankan Code Penal itu
sampai tahun 1886, sambil melakukan revisi terhadap Code Penal. Di wilayah
’Nederlands Aest Indies’; Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
diberlakukan dengan Koninklijk Besluit Nomor 33 15 Oktober 1915 dan sejak 1
Januari 1918 berlaku efektif. Sebelumnya, di wilayah Hindia Belanda diberlakukan
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55, berlaku sejak 1 Januari 1867,
khusus kepada golongan Eropah; sementara bagi golongan yang bukan Eropa
diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan
berlaku sejak 1 Januari 1873.
Sejak Wetboek van Strafrecht (KUHPidana) diberlakukan, Indonesia sukar
untuk keluar dari lingkaran pemikiran hukum kolonial. Buktinya, walaupun
16 Pasal II, Aturan Peralihan UUD 1945.
Indonesia sudah merdeka selama 36 tahun; Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
ditetapkan dengan Undang-undang No. 8 tahun 1981 dan aturan Pra-peradilan,
diadopsi dari hukum positive Belanda. Demikian pula Mahkamah Konstitusi yang
diatur dlam UU No. 24/2003, dicontoh dari sistem Hukum Amerika Serikat yang
dirintis oleh John Masrshall (Ketua Mahkamh Agung Amerika) saat melakukan
pengujian konstitusionalitas dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun
1803, yang kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen.17
Efeknya adalah, struktur
berfikir dan geraham bangsa terjajah dibiasakan supaya mengunyah dan
menelan istilah-istilah yang diperkenalkan dalam hukum positif. Asas ’Nullum
Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali’ yang diperkenalkan oleh Von
Feuerbach yang kemudian diletakkan pada pasal 1 ayat (1) KUHPidana yang
menyebut: ’Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.’ Pada hal, asas legalitas
ini, didapati pada setiap sistem hukum, tidak terkesuali Hukum Islam,
sebagaimana dikatakan: ’Kami tidak akan mengazab, sebelum Kami mengutus
seorang Rasul.’18
Senada dengan itu dikatakan pula, ’tidak ada tindak pidana dan
hukuman kecuali dengan nash dan tiada hukum bagi perbuatan orang yang
berakal sehat, sebelum ada hukum yang mengaturnya’.
Demikian pula dengan Asas Praduga Tak Bersalah (presumtion
innoncence) mengandung makna bahwa di depan hukum, seseorang tidak dapat
dianggap bersalah, sebelum ada putusan hakim (Mahkamah) yang berkekuatan
dan kepastian hukum, sebagaimana disebut dalam Penjelasan Umum KUHAP:
’setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap.’19
Islam meletakkan dasar bahwa’… Jauhilah oleh kamu kebanyakan dari
prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu merupakan dosa,’20
bahkan ditegaskan: ’mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut,
orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka
sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang
nyata’.21
Dalam konteks ini, Islam memiliki standard moral, seperimana
dikatakan, ’kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun
menjadi kaum yang binasa.’22
Demikian pula asas ’Lex Specialis Derogat Legi Generalis’, yang
mengajarakan bahwa aturan hukum yang bersifat khusus dapat
mengesampingkan aturan hukum yang umum dengan syarat ketentuan-
17 Yusra Habib Abdul Gani, 2011, Eksistensi Mahkamah Konstitusi, Serambi Indonesia dan Aceh
Vision, 18 Mei 2011.
18 Qur’an, Surat al-Isra’, 15. Lihat juga: Surat al-Qashash, 59; Qur’an Surat Al-Baqarah, 286, An-
Nisa’, 16 dan Al-Anfal, 38.
19 Penjelasan Umum KUHAP (Undang-undang No. 8 tahun 1981).
20 Qur’an, Surat Al-Hujurat, ayat 12.
21 Qur’an, Surat An-Nur, ayat 12.
22 Qur’an, Surat Al-Fath, ayat 11-12.
ketentuan lex specialis mestilah setara statusnya dengan ketentuan-ketentuan
lex generalis (misalnya, jika terdapat suatu Undang-undang yang mengatur suatu
hal bersifat umum, dapat dikesampingkan sekiranya ada undang-undang yang
mengatur perkara yang sama secara specifik). Perkara ini berbeda dengan
doktrin Hukum Islam yang menetapkan bahwa, suatu ketentuan yang terdapat
dalam sumber hukum primer (al-Qur’an), tidak mungkin dikesampingkan oleh
ayat lain, apalagi berlawanan antara yang satu dengan lainnya. Begitu pula
sumber hukum, yang hiarkhinya lebih rendah, sudah tentu tidak boleh
mengenyampingkan ketentuan sumber hukum primer. Pada prinsipnya, sumber
hukum yang statusnya lebih rendah (Hadits), hanya dapat memperkukuh dan
menyempurnakan keterangan yang terdapat dalam sumber hukum primer dan
tidak mungkin mengenyampingkannya; tidak terkecuali interpretasi yang
ditempuh melalui Ijtihad, mesti bersifat memperkaya khazanah berfikir dan
memperindah warna hukum Islam; bukan menentang ketentuan yang terdapat
dalam Qur’aan dan Hadits. Akan halnya dengan asas Lex superior derogat legi
inferior, yang menyebut bahwa hukum yang statusnya lebih tinggi diutamakan
berlaku, berbanding hukum yang lebih rendah dan tidak boleh berlaku tumpang
tindih antara peraturan yang rendah dengan peraturan yang lebih tinggi.
Tentang hal ini, Islam secara tegas menyatakan urutannya, yaitu Al-Qur’an (Lex
superior) > Hadits (legi inferior) dan > Ijtihad (Ijma’, qiyas dll). Demikian juga
istilah ’terra nulius’ (yaitu suatu kawasan di permukaan bumi tidak bertuan),23
yang dapat dijarah secara sukarela oleh sesiapa yang mempunyai kekuatan.
Istilah ini diakui dalam hukum Internasional; sesungguhnya sudah diterapkan
sejak abad ke 15 lagi, ketika Portugis dan Sepanyol beraksi menjarah dan
menguasai kawasan (tanah) di atas permukaan dunia ini yang belum dijamah
oleh manusia yang mengklaim seagai milik mereka masing-masing.
Nampaknya, para praktisi dan kalangan teoritis hukum kita, tidak dapat
mengelak dari validitas asas-asas hukum yang di-dewa-kan dalam doktrin
hukum positive. Hal ini menimbulkan kesan bahwa, orang Islam seakan-akan
jumud berfikir –tidak memiliki apa-apa (doktrin atau pun asas hukum) yang
dapat dikedepankan sebagai alternatif– pada hal lebih dari 1.400 tahun yang
silam, Islam sudah memiliki asas-asas hukum sebagaimana dipaparkan di atas.
Namun, para pakar hukum posistive berbasis muslim merasa rendah diri
(’inpriority-complex’) saat berhadapan dengan buah pemikiran falsafah Barat
yang sudah pun telanjur digeruni. Selain itu, hukum positive mensyaratkan
bahwa suatu kesaksian dianggap tidak sah, sekiranya disampaikan oleh orang
yang mempunyai hubungan darah dengan pihak korban. Sementara Hukum
Islam menentukan lain, sebagaimana difirmankan Allah, ’Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
23 Hungdah Chiu & Choon Ho-Park, 1975, Legal status of the pararel and Spratly land ocean
depelopment and International law.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.24
Dalam konteks ini, terdapat sebuah yurisprudensi mengenai kasus
pencurian baju gamis Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh seorang Yahudi. Ali
dikalahkan oleh majlis hakim di Mahkamah, karena menghadirkan kedua-dua
anak kandungnya (Hasan & Husén) sebagai saksi yang menurut hukum Acara
Pidana Islam tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi.25
Yurisprudensi
tersebut telah digunakan sebagai alasan pembenar (justification) untuk
membatalkan keterangan saksi yang mempunyai hubungan darah/keluarga. Hal
ini berlawanan dengan ketentuan ayat 135 Surat An-Nisa’ tersebut. Makalah ii
berpendapat bahwa, dalam kasus-kasus tertentu, menghadirkan kesaksian
anggota keluarga dalam sebuah kasus tidak dapat dinafikan dan dibantah, jika
yang bersangkutan merupakan saksi primer. Intinya adalah ’janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.’26
Lagi pula,
dalam kasus Ali bin Abi Thalib, ternyata setelah putusan Hakim, pencuri
mengaku bahwa keterangan Hasan-Husén adalah benar dan oleh karenanya, dia
mengembalikan baju gamis kepada Ali bin Abi Thalib (pemilik. Mengapa fakta ini
diabakan?
Demikian pula dalam delik pembunuhan yang disebut dalam pasal 135-138
KUHPidana, yang ancaman hukumnya lebih dari 5 tahun, seumur hidup dan
hukuman mati. Hukum Islam menetapkan bahwa,’qisas diwajibkan atasmu
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.27
Namun begitu
terdapat unsur maaf sebagai ruang untuk tidak mseti mengeksekusi putusan
hakim, sebagaimana difirmankan ’Maka, barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yangbaik (pula).’28
Sumber lain menyebut ’sesiapa yang
menjadi keluarga korban terbunuh, maka ia memilih dua pilihan, memilih diyat dan
pelaksaan qisas.’29
Anehnya, perkara ini justeru diamalkan dalam masyarakat
hukum Adat yang mengenyampingkan ketentuan hukum positive (KUHPidana).
Sementara pakar hukum (teoritis) dan praktisi hukum, nampaknya masih
terkungkung dalam rumusan hukum kolonial. Begitu pula eksistensi lembaga
24 Qur’an, Surah An-Nisa’, ayat 135
25 Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, edisi Desember 2017, KPK vs Novanto: Berpacu Dengan Waktu,
ILC TVOne, Jakarta.
26 Qur’an, Surah An-Nisa’, ayat 135.
27 Qur’an, Surah An-Nisa’, ayat 135.
28 Qur’an, Surat Al-Baqarah, ayat 178-179.
29 Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
’Arbitrase’ yang digunakan untuk menyelesaiakan sengketa perdata di luar
peradilan umum, didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis,30
adalah
merupakan perkara baru dalam sistem hukum ’civil law’ dan ’Anglo Amerika’.
Hukum Islam mengenal lembaga ’Arbitrase’ dengan istilah ’Tahkim’ (yaitu
sebuah lembaga yang diberi kuasa oleh para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perkara, dimana putusan lembaga Tahkim diterima secara
sukarea oleh kedua-dua belah pihak yang bertikai), sebagaimana disebut, “… Jika
dua golongan yang beriman bertengkar, damaikanlah mereka….’31
Dan ’…
Angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang hakam dari keluarga
si wanita. Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah akan memberi
taufik kepada keduanya.’32
Penerapan ’arbitrase’ dalam hukum positive hanya
dibatasi terhadap kasus perdata saja,33
berdasarkan ketentuan hukum syara’
secara damai.34
Adalah suatu kemajuan, apabila Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) diresmikan pada 23 Oktober 1993,35
yang kemudian bertukar
nama kepada BASYARNAS,36
untuk menyelesaikan perselisihan yang
ditimbulkan dari perjanjian antara nasabah dengan Bank Muamalat Indonesia
tahun 1992.37
Namun, pakar hukum Islam tidak mempunyai inisiatif untuk
mengusul supaya badan ’arbitrase’ tidak saja diterapkan terhadap perkara
keperdataan saja, tetapi juga diterapkan di lingkungan hukum pidana yang
mengandungi unsur kesengajaan maupun ketidak sengajaan, sebagaimana telah
diterapkan dalam masyarakat adat. Hal yang demikian relevan dengan ketentuan
hukum Islam. Dalam konteks ini, terdapat yurisprudensi dalam kasus saling
membunuh antara bani Hamdan dan bani Murad yang sudah berlangsung
sebelum datangnya Islam, telah diselesaikan oleh Rasulullah secara damai
(arbitrase), dimana Rasulullah sendiri bertindak sebagai arbiter.
Pemikiran falsafah Barat lain yang telah memberi pengaruh kepada kita
adalah, eksistesni dan validitas Piagam PBB, 1945, yang dalam realitasnya lebih
populer di mata masyarakat dunia berbanding Piagam Madinah, yang disepakati
oleh berbilang kaum –orang Islam, Yahudi mahu pun penduduk Nasrani– yang
menetap dalam wilayah negara Madinah. Piagam ini telah berhasil mewujudkan
persatuan, melindungi hak-hak seluruh penduduk, menciptakan kestabilan
politik dan keamanan. Piagam tersebut wujud di tengah-tengah kemajmukan
30 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 2000, Sinar Grafika Jakarta,
2000, hlm. 3
31 Al-Qur’an, Surat Al-Hujarat, ayat 9.
32 Qur’an, Surat aN-Nisa, ayat 35.
33 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 (Cet. I: Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), h. 3. Lihat juga: A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
hlm. 43.

34 Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 1997) hlm. 81.
35 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan
pasar Modal Syari’ah di Indonesia), hlm. 167.

36 Lembagai tersebut merupakan hasil dari Rakernas MUI tahun 2002, yang Pengurus diautr melaui
MUI No kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003.
37 Ahmad Dimiyati, Sejarah Lahirnya BAMUI dalam Arbitrase Islam di Indonesia, hlm. 191.
masyarakat, dimana Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah model
kehidupan pluralisme secara damai berteraskan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika
itu, umat Islam diikat dengan jalinan persaudaraan antara golongan Ansyar-
Muhajirin dan kesamaan aqidah; sementara bagi non-Muslim disatukan dan
dieratkan diatas acuan kepentingan nasional negara Madinah, ikatan sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan. Ruh Piagam Madinah tersebut semestinya di-
internasional-kan kembali, selain menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa
Islam mempunyai standard berfikir unggul dalam isu kemasyarakatan dan
kemanusiaan, juga mendidik masyarakat dunia bahwa Piagan Madinah
merupakan sebuah model atau pun blueprint membangun peradaban manusia
sejagat. Namun umat Islam nampaknya belum mampu bersaing melawan
kekuatan politik non-muslim di gelanggang politik Internasional.
Terakhir, ramai pemikir hukum dan HAM telah terperangkap dengan
alam fikiran falsafah Barat –terutama yang berkaitan faham ’universalisme’ dalam
konteks hubungan hukum dengan HAM– yang memberi kebebasan terhadap
semua bentuk interaksi (termasuk kebebasan hubungan sexual) berdasarkan
Universal declaration of human rights, 1948. Fahaman ini telah menggasak nilai-
nilai peradaban Islam hingga sukar dikawal; walaupun terdapat faham
’particularisme’ (yang menyatakan bahwa rumusan hukum dan HAM versi Barat
bertentangan dengan versi Timur, dimana rumusan hukum tergantung kepada
ajaran agama (Islam) dan nilai-nilai adat-istiadat yang hidup dalam kehidupan
masyarakat tertentu. Perkara ini ditegaskan dalam Convention tentang HAM di
Cairo, 1998. Pandangan seperti ini, bahkan sudah pernah digagas dimana, hukum
itu berubah berubah sejalan dengan keperluan semasa dan adat-istiadat
setempat;38
namun para pakar hukum positive kita tidak berani bertarung,
sekaligus menjabarkan lebih terperinci kandungan Convention Cairo 1998, untuk
diterapkan dalam hukum positif, apalagi Indonesia merupakan salah satu negara
penandatangan Convention Cairo 1998. Adalah benar pasal 28 g (2) KUHAP,
memberi wewenang kepada praktisi hukum untuk menggunakan pertimbangan
aspek moral, nilai-nilai agama dan keamanan masyarakat untuk menangani
perkara yang berkaitan dengan HAM, namun beranikah?
Capaian Pemidanaan Humanistis
Hukum pidana baru Indonesia, yang telah dirancang bangun oleh para ahli
hukum, telah memberikan konstribusi pemikiran kearah hukum pidana modern,
selaras dengan keinginan pembaruan hukum pidana Indonesia, karenanya
politik hukum menjadi sandaran dalam pergumulan dan tarik menarik
kepentingan, untuk menjadikan hukum pidana modern ini dapat berlangsung
untuk sebuah Negara yang berkemajuan.
Politik hukum pidana, pada dasarnya adalah merupakan aktivitas, yang
menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut.
Terkait proses pengambilan keputusan, atau pemilihan melalui seleksi, diantara
38 Ibn Qayyim (1292-1350 M 691-751 H)
berbagai alternatif yang ada, yang menjadi tujuan sistem hukum pidana
mendatang. Karena dipilih berbagai masalah pokok dalam hukum pidana, yakni
perbuatan yang bersifat melawan hukum, Kesalahan atau pertanggungjawaban
pidana, dan berbagai sanksi alternatif, baik yang merupakan sanksi pidana
maupun tindakan.39
Hukum merupakan suatu tatanan perbuatan manusia.
Melalui suatu peraturan, yang mengandung suatu kesatuan, dengan hakikatnya
yang mempertautkan peraturan-peraturan yang khusus tatanan perbuatan yang
lain disebut juga sebagai tatanan moral, tatanan agama.40
Hukum adalah suatu
kondisi, dimana manusia, yang secara alamiah berdiri sendiri, menyatukan diri
mereka dalam masyarakat. Hanya hukum yang mampu menentukan hukuman
atas setiap kejahatan, dan kewenangan untuk membuat hukum pidana hanya
terletak di tangan legislator, yang mewakili seluruh masyarakat, yang disatukan
oleh permufakatan sosial. Setiap individu terikat ke dalam masyarakat, dan
masyarakat juga terikat dengan dirinya sendiri, melalui suatu kontrak, yang
sama-sama mengikat.41
Hukum merupakan suatu pencerminan dari suatu peradaban,
kebudayaan, dan suatu jalinan, yang erat. Sesungguhnya hukum telah jatuh
merosot ke dalam suatu dekadensi, jika kekurangan dari para pembentuk
hukum, telah menunjukkan ketertinggalan, berkenaan dengan fakta-fakta dan
pemikiran-pemikiran yang berlaku atau yang mulai berkembang. 42
Pembaruan hukum pidana, menuntut adanya penelitian dan pemikiran
terhadap masalah sentral, yang sangat fundamental dan strategis, termasuk
dalam masalah kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana. Kebijakan
menetapkan pidana dalam perundang-undangan. Sebagai suatu garis kebijakan
sistem pidana dan pemidanaan, yang sekaligus sebagai landasan legalitas pada
tahap berikutnya.43
Pengaturan hukum pidana merupakan pencerminan ideologi
suatu bangsa, yang menjadikan hukum itu berkembang, dan merupakan hal yang
sangat penting, bahwa seluruh bangunan hukum itu, bertumpu pada pandangan
politik yang sehat dan konsisten. 44
Dalam merumuskan hukum pidana baru, maka diperhitungkan pula
persinggungan eksistensi norma-norma sosial, yang oleh hukum pidana
dirumuskan dan dilengkapi. Karenanya diperlukan tranformasi norma-norma
sosial menjadi norma hukum.45
Pemahaman mengenai pemidanaan di era modern tidak hanya melibatkan
bagaimana hukum pidana menimbulkan dan menciptakan rasa jera melalui
sanksi tetapi juga menimbulkan ketakutan akan penjeraan dalam sistem
39 Muladi. Demokrasi dan HAM.Op cit, hlm. 251.
40 Hans Kelsen. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara.(Bandung; Nusa Media, 2011) hlm. 3-4.
41 Cesare Beccaria. Perihal Kejahatan dan Hukuman. Op cit, hlm. 1-8.
42 Lili Rasyidi. Dinamika Situasi dan Kondisi Hukum Dewasa ini. Kapita Selekta Hukum. Op cit,
hlm. 4.
43 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan. Op,cit , hlm. 3-4.
44 Sudarto. Hukum Pidana dan Pandangan Masyarakat (Bandung; Sinar Baru, 1990) hlm. 3.
45 Jan Remmelink. Op cit, hlm. 3-4.
peradilan pidana, sehingga sanksi tidak hanya dipandang sebagai pusat orbit
peletakkan jera dan derita, tetapi juga sebagai alat untuk mencegah potensi
kriminal yang mungkin terjadi.46
Oleh karena itu, pemidanaan akan sangat
bergantung kepada kemandirian hakim dalam mengambil suatu putusan melalui
pertimbangan yang mengkombinasikan antara dimensi hukum dan dimensi
kemanusiaan sehingga hukum pidana dapat menciptakan konsepsi pemidanaan
yang humanistis.47
Di berbagai belahan dunia terkini hukum pidana yang
modern dicerminkan melalui penjatuhan pelaksanaan dan pengawasan sanksi
yang tidak hanya difokuskan untuk memunculkan nestapa tetapi juga
memunculkan rasa untuk kembali ke sistem sosial sehingga hukum pidana dapat
dianalogikan sebagai rumah sakit yang kemudian kejahatan adalah sebuah
penyakit yang kemudian dilakukan serangkaian perawatan untuk dikembalikan
performanya.
Perjuangan menegakkan keadilan, telah dilakukan oleh bangsa-bangsa
yang beradab di belahan dunia ini. Termasuk Negeri Indonesia, yang dari masa
ke masa, menorehkan perjuangan keadilan, kemerdekaan, kesejahteraan, sejak
bangsa Eropa datang, hingga perjuangan fisik, untuk mencapai kemerdekaan.
Bahkan hingga pengalaman kemerdekaan menghantarkan negeri ini, memasuki
abad dan era sebagai bagian dari negara hukum modern di dunia. Sisa-sisa
kolonial pada lapangan Hukum, masih terasa, disebabkan politik hukum kita,
pada masa lalu terfokus pada pembangunan fisik, sosial, ekonomi dan budaya,
pertahanan dan keamanan, tetapi sangat lamban pada pembangunan bidang
hukum.
Hukum modern tidak jatuh dari langit. Hukum modern tumbuh dan
berkembang melalui perjalanan sejarah yang amat panjang, hingga terbentuk
hukum modern seperti yang sekarang ini. Hukum menyimpan kaidah nilai,
kaidah peran dan organisasi. Melalui hukum, nilai-nilai dapat dijabarkan
menjadi kaidah dan karena itu mempunyai kekuatan yang dipaksakan. Negara
hukum modern Indonesia, lebih mengunggulkan Supremacy of moral. Sehingga
memberikan tekanan yang istimewa terhadap aspek moral daripada aspek
perundang-undangan semata-mata.48
Hukum pidana materiil dan formil,
merupakan rumpun hukum publik. Karenanya hukum pidana materiil (KUHP)
dan hukum pidana Formiil (KUHAP), terjalin hubungan yang erat, mesra dan
tidak terpisahkan dan saling menunjang. Hukum acara pidana merupakan
peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan mempertahankan
eksistensi ketentuan hukum pidana materiil. Mengatur bagaimana cara dan
proses pengambilan keputusan Hakim. Tentang peraturan hukum yang
mengatur tahap pelaksanaan putusan Hakim, dengan berbagai asas yang
dianutnya, yakni Asas Equality before the law, Asas Legalitas, Asas Presumtion of
46 Lee Epstein dan Jeffrey A. Segal, Advice and Consent: The Politics of Judical Appointments, (New
York: Oxford University Press, 1998) hlm 221-222
47 Ibid, hlm 223
48 Suteki.Op cit, hlm. 269.
innocence, Asas peradilan cepat, Asas bantuan hukum,. Asas peradilan yang
terbuka, fairnes.49
Adapun RUU KUHAP, yang telah mendapatkan berbagai masukan,
terdapat sembilan perubahan yang mendasar;50
Memperlakukan adanya Suspects
right to remain silent and the presumtion of innocence. Aturan ini memberikan
hak kepada tersangka, untuk bisa tidak menjawab pertanyaan penyidik. Adanya
Protect citezens liberty and privacy interest in the area of pretrial detention.
Berkaitan dengan penahanan. Dalam waktu 5x24 jam tersangka harus
dihadapkan pada hakim komisaris, diselaraskan dengan ketentuan international
covenant civil and political right (ICCPR). Adanya remove the preliminary
investigation stage and ensure better police/ prosecutor cooperation. Persoalan
hubungan penyidikan dan penuntutan, sejak awal terjalin, dimana jaksa
memberikan petunjuk sehingga memenuhi persyaratan formil dan substansi
berita acara yang ada. Adanya Develop a pretrial stage and clarify the role of the
commissioner judge to preside over it. Perubahan yang penting pada tahap pra
persidangan dan pembentukan lembaga baru yakni Hakim Komisaris, (Hakim
Pemeriksa Pendahuluan) memiliki tanggung jawab pemberian otorisasi atas
surat perintah penggeledahan. Hakim komisaris melakukan hearing secara
khusus pada penuntut umum. Hakim komisaris dapat meniadakan dan
memerintahkan untuk membebaskan penangkapan kepada tersangka secara
sewenang-wenang.
Sehingga Hakim Komisaris dapat melindungi kebebasan individu pada
tahap prapersidangan. Adanya Simplity indicment (penyederhanaan dakwaan)
surat dakwaan yang ringkas, terfokus, surat dakwaan yang diteliti oleh jaksa
terutama persoalan apakah dakwaan akan bertanggung jawab sesuai
dakwaannya. Adanya Promote adversarial trial procedures. Memperkenalkan
adversarial khususnya pada tahap persidangan. Adanya kesempatan untuk
memberikan pertanyaan dari pihak jaksa dan penasehat hukum, dan kesempatan
untuk menghadirkan saksi, untuk memperkuat dan memperjelas dakwaan.
Peran pengadilan menentukan pencarian fakta secara aktif. RUU KUHAP
memperluas alat bukti, yakni bukti eletronik dan barang bukti physical evidence,
bertujuan untuk mempermudah dengan cara meninggalkan segala fleksibilitas
bagi jaksa dan penasehat hukum, dengan menampilkan alat bukti baru yang
potensial di pengadilan. Terhadap alat bukti atas kejahatan transnasional, alat
bukti yang diperoleh di luar negeri, dianggap sebagai alat bukti yang sah, jika
diperoleh secara sah, berdasarkan hukum di negara hukum tersebut, dengan
tidak melanggar konstitusi, hukum dan perjanjian kerjasama dengan Indonesia.
Adanya Case dismissal, guity pleas, and cooperating dependants. Adanya
kemungkinan penghentian kasus-kasus yang tidak berdasarkan kepentingan
umum, biasanya semua kasus pidana, bahkan tuntutan pidana yang kecil
diserahkan pada pengadilan. Terutama adanya perdamaian antara pelaku dan
49 Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, praktek, Op cit. hlm. 1-15.
50 Indriyanto Seno Adji. KUHAP Dalam Prospektif. (Jakarta; Diadit Media, 2011) hlm. 18-22.
korban, perhatian pada adanya pengurangan hukuman, pengakuan bersalah dari
terdakwa. Tetapi dalam hal tertentu hakim dapat membatalkan atau menarik
putusannya. Terdakwa tidak secara otomatis menjadi saksi mahkota,
kesemuanya di bawah kontrol jaksa. Adanya Rights of Victims. Dengan
memperkuat hak korban dengan adanya tuntutan perdata yang paralel dengan
pidana, untuk menerima ganti rugi. Karenanya RUU KUHAP, menentukan
keputusan pidana secara final atas tuntutan perdata yang memiliki paralitas
dengan perkara pidana.
Pembaruan hukum pidana, merupakan kerja dan usaha yang patut
mendapatkan dukungan, karena tumpuan pencari keadilan, masyarakat pada
umumnya, berkeinginan tercapainya model pemidanaan, yang mengurangi
kebutuhan akan “pembalasan” semata-mata. Tetapi mengembangkan
perlindungan masyarakat atas akses keadilan secara meluas, yang tercermin
dalam putusan-putusan peradilan pidana. Inilah tersisa kerja para ahli hukum
pidana, praktisi dan pergumulan hakim pidana setiap harinya dalam
menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum konkrit dalam masyarakat.
Epilog
Tanpa disadari bahwa pakar hukum di negara-negara yang pernah dijajah,
sukar keluar dari ketergantungan –terutama dalam pemikiran hukum, ekonomi,
politik dan humanisme– dari pengaruh falsafah pemikiran Barat. Sistem hukum
positive di 52 negara bekas koloni Inggeris yang tergabung dalam Commonwealth
misalnya, tetap saja dipengaruhi oleh sistem hukum Inggeris, bukan saja
rumusan undang-undangya, akan tetapi juga prinsip HAM, pemerintahan yang
baik (good-government), kebebasan individual, perdagangan, egalitarianisme,
multilateralisme dan demkorasi. Begitu juga negara bekas koloni Belanda –
Indonesia- tidak mampu keluar dari pengaruh sistem hukum positive Belanda,
mulai dari KUHPerdata, KUHPidana, KUHAP dan perundang-undangan lainnya.
Hal yang sama dialami juga oleh negara-negara bekas koloni Perancis yang
tergabung dalam ’la languue francaise’; selain bahasa, juga sistem hukum dan
demokrasi dipengaruhi oleh sistem hukum positive Perancis; walaupun ada
pengecualian terhadap Mauritania yang sejak tahun 1985 telah menetapkan dan
memberlakukan hukum Islam sebagai konstitusi negara sejak tahun 1991.
Akhirnya, terlepas dari pertimbangan dan alasan apapun juga, falsafah
Barat masih berpengaruh dan mendominasi pemikiran hukum positive –
terutama negara-negara bekas jajahan kuasa Eropah. Dalam konteks Implikasi
Falsafah Barat Terhadap Pemikiran Hukum Positive, agaknya analisis Amr bin
Ash51
terhadap Hadits Rasulullah yang berbunyi: ’pada akhir zaman nanti, di
negeri Rum (baca: Eropah) itu lebih banyak jumlah orang yang hidup’52
patut
menjadi renungan. Penagalaman Amr bin Ash selama menjadi diplomat Islam
51 Amr bin Ash adalah seorang diplomat handal yang pernah dikirim sebagai utusan Rasulullah
ke Sirya (pada ketika itu dipimpin oleh Nazasi, di bawah kuasa kerajaan RUM)
52 Hadits shaheh Rasulullah, diriwayatkan oleh Muslim.
yang bertugas di Sirya (Rum) semasa Rasulullah memerintah menyimpulkan
bahwa, Rum itu ternyata memiliki lima karakter utama:
1. Bangsa yang santun saat berlaku fitnah dan mampu mengendalikan
diri
2. Bangsa yang cepat bangkit setelah ditimpa musibah
3. Cepat mengalahkan musuh stelah dikalahkan
4. Masyarakat yang sangat baik mengurus orang fakir miskin dan yatim
(kebajikan)
5. Menghalang kejahilan penguasa
6. Bangsa yang mencatat (dokumen) dan menyimpan dengan kemas
segala peristiwa buruk dan baik
7. Masyarakat yang pada umumnya sangat berterus terang. (point 6 & 7
adalah temuan saya peribadi selama 18 tahun hidup di Eropah).
Akhirnya, untuk membebaskan diri dari pengaruh pemikiran falsafah
Barat, tidak mesti kita ditempuh dengan cara mengecam, membelasah dan
mengutuknya, akan tetapi kita berani bersaing secara sehat sehat dan profesional
untuk melahirkan konsep untuk membangun tamadun masusia yang beradab,
hingga tiba masanya orang akan sampai kepada keimpulan bahwa dalam segala
aspek, pemikiran dan konsep membangun peradaban manusia, Islam lebih
unggul berbanding falsafah Barat.

More Related Content

What's hot

Perkembangan teori hukum revisi
Perkembangan teori hukum revisiPerkembangan teori hukum revisi
Perkembangan teori hukum revisi
juniska efendi
 
Filsafat hukum
Filsafat hukumFilsafat hukum
Filsafat hukum
Kau Hatiku
 
Contoh makalah-kriminologi
Contoh makalah-kriminologiContoh makalah-kriminologi
Contoh makalah-kriminologi
Terminal Purba
 
Awal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukum
Awal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukumAwal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukum
Awal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukum
greghendy
 
realisme hukum
 realisme hukum realisme hukum
realisme hukum
D'jaln Sunyi
 

What's hot (20)

Beberapa mazhab-dalam-ilmu-hukum(4)
Beberapa mazhab-dalam-ilmu-hukum(4)Beberapa mazhab-dalam-ilmu-hukum(4)
Beberapa mazhab-dalam-ilmu-hukum(4)
 
Konstruksi teori hukum
Konstruksi teori hukumKonstruksi teori hukum
Konstruksi teori hukum
 
Kriminologi
KriminologiKriminologi
Kriminologi
 
Filsafat hukum dan Teori Hukum
Filsafat hukum  dan Teori HukumFilsafat hukum  dan Teori Hukum
Filsafat hukum dan Teori Hukum
 
Perkembangan teori hukum revisi
Perkembangan teori hukum revisiPerkembangan teori hukum revisi
Perkembangan teori hukum revisi
 
Kriminologi kd1
Kriminologi kd1Kriminologi kd1
Kriminologi kd1
 
Teori hukum part ii
Teori hukum part iiTeori hukum part ii
Teori hukum part ii
 
Filsafat hukum
Filsafat hukumFilsafat hukum
Filsafat hukum
 
Kriminologi
KriminologiKriminologi
Kriminologi
 
obyek kriminologi dan hub. dg pidana
obyek kriminologi dan hub. dg pidanaobyek kriminologi dan hub. dg pidana
obyek kriminologi dan hub. dg pidana
 
Sinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukumSinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukum
 
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisiplinerKebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
 
Contoh makalah-kriminologi
Contoh makalah-kriminologiContoh makalah-kriminologi
Contoh makalah-kriminologi
 
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realismLatar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
 
Pengertian Kriminologi
Pengertian KriminologiPengertian Kriminologi
Pengertian Kriminologi
 
Teori ilmu-hukum
Teori ilmu-hukumTeori ilmu-hukum
Teori ilmu-hukum
 
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCESOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
 
Awal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukum
Awal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukumAwal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukum
Awal memahami hukum teori hukum dan filsafat hukum
 
realisme hukum
 realisme hukum realisme hukum
realisme hukum
 
tipologi kejahatan penjahat
tipologi kejahatan  penjahattipologi kejahatan  penjahat
tipologi kejahatan penjahat
 

Similar to Internalisasi Falsafah Islam dan Dekolonialisasi KUHP

22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
Mael Aja
 
Hukum vs perangkat hukum
Hukum vs perangkat hukumHukum vs perangkat hukum
Hukum vs perangkat hukum
MISMAN SAFI
 
Materi subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasila
Materi subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasilaMateri subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasila
Materi subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasila
edo soehendro
 

Similar to Internalisasi Falsafah Islam dan Dekolonialisasi KUHP (20)

Bab 1
Bab 1Bab 1
Bab 1
 
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
 
Pengantar Ilmu Hukum.pptx
Pengantar Ilmu Hukum.pptxPengantar Ilmu Hukum.pptx
Pengantar Ilmu Hukum.pptx
 
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
 
233938998.pdf
233938998.pdf233938998.pdf
233938998.pdf
 
Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan InterdisiplinerKebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
 
PKn Bab 2 sistem hukum dan peradilan nasional
PKn Bab 2 sistem hukum dan peradilan nasionalPKn Bab 2 sistem hukum dan peradilan nasional
PKn Bab 2 sistem hukum dan peradilan nasional
 
Pengantar-Anthropologi-Hukum.ppt
Pengantar-Anthropologi-Hukum.pptPengantar-Anthropologi-Hukum.ppt
Pengantar-Anthropologi-Hukum.ppt
 
Ketidakadilan hukum indonesia sebuah refleksi sila kelima pancasila
Ketidakadilan hukum indonesia sebuah refleksi sila kelima pancasilaKetidakadilan hukum indonesia sebuah refleksi sila kelima pancasila
Ketidakadilan hukum indonesia sebuah refleksi sila kelima pancasila
 
PHI 1b.pptx
PHI 1b.pptxPHI 1b.pptx
PHI 1b.pptx
 
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptxMateri kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
Materi kuliah ke-5 Pengantar ilmu hukum.pptx
 
RPP SMA PPKN Kelas XI
RPP SMA PPKN Kelas XIRPP SMA PPKN Kelas XI
RPP SMA PPKN Kelas XI
 
RPP SMA PPKN Kelas XII
RPP SMA PPKN Kelas XIIRPP SMA PPKN Kelas XII
RPP SMA PPKN Kelas XII
 
Shi
ShiShi
Shi
 
Hukum vs perangkat hukum
Hukum vs perangkat hukumHukum vs perangkat hukum
Hukum vs perangkat hukum
 
Materi subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasila
Materi subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasilaMateri subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasila
Materi subtansi hak dan kewajiban asasi manusia dalam pancasila
 
Sap han i, ihk a,b,c, d
Sap han i, ihk a,b,c, dSap han i, ihk a,b,c, d
Sap han i, ihk a,b,c, d
 
PHI-FH_2.pptx
PHI-FH_2.pptxPHI-FH_2.pptx
PHI-FH_2.pptx
 
PHI-FH_2.pptx
PHI-FH_2.pptxPHI-FH_2.pptx
PHI-FH_2.pptx
 
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-pptPancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
Pancasila sebagai-sumber-dari-segala-sember-hukum-ppt
 

More from Fenti Anita Sari

Contoh Kasus Pelanggaran HAM Luar Negeri
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Luar NegeriContoh Kasus Pelanggaran HAM Luar Negeri
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Luar Negeri
Fenti Anita Sari
 
Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA
Fenti Anita Sari
 
Hukum Acara Pidana Militer
Hukum Acara Pidana MiliterHukum Acara Pidana Militer
Hukum Acara Pidana Militer
Fenti Anita Sari
 
Makalah hubungan antar lembaga negara
Makalah hubungan antar lembaga negaraMakalah hubungan antar lembaga negara
Makalah hubungan antar lembaga negara
Fenti Anita Sari
 
Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)
Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)
Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)
Fenti Anita Sari
 
Kriminologi Tugas Teori2 Sebab Kejahatan
Kriminologi Tugas Teori2 Sebab KejahatanKriminologi Tugas Teori2 Sebab Kejahatan
Kriminologi Tugas Teori2 Sebab Kejahatan
Fenti Anita Sari
 
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)
Fenti Anita Sari
 

More from Fenti Anita Sari (20)

Contoh Surat Tuntutan
Contoh Surat TuntutanContoh Surat Tuntutan
Contoh Surat Tuntutan
 
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Luar Negeri
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Luar NegeriContoh Kasus Pelanggaran HAM Luar Negeri
Contoh Kasus Pelanggaran HAM Luar Negeri
 
Perwujudan Keadilan HAM
Perwujudan Keadilan HAMPerwujudan Keadilan HAM
Perwujudan Keadilan HAM
 
UAS Cyber Law (Fenti Anita Sari)
UAS Cyber Law (Fenti Anita Sari)UAS Cyber Law (Fenti Anita Sari)
UAS Cyber Law (Fenti Anita Sari)
 
UAS Hukum Acara Perdata Lanjut (Fenti Anita Sari)
UAS Hukum Acara Perdata Lanjut (Fenti Anita Sari)UAS Hukum Acara Perdata Lanjut (Fenti Anita Sari)
UAS Hukum Acara Perdata Lanjut (Fenti Anita Sari)
 
UAS HUKUM PERADILAN HAM (Fenti Anita Sari)
UAS HUKUM PERADILAN HAM (Fenti Anita Sari)UAS HUKUM PERADILAN HAM (Fenti Anita Sari)
UAS HUKUM PERADILAN HAM (Fenti Anita Sari)
 
Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA
 
Makalah Sewa Guna Usaha
Makalah Sewa Guna UsahaMakalah Sewa Guna Usaha
Makalah Sewa Guna Usaha
 
Leasing (Hukum Pembiayaan)
Leasing (Hukum Pembiayaan)Leasing (Hukum Pembiayaan)
Leasing (Hukum Pembiayaan)
 
Makalah Hukum dan HAM (Sejarah Perkembangan HAM)
Makalah Hukum dan HAM (Sejarah Perkembangan HAM)Makalah Hukum dan HAM (Sejarah Perkembangan HAM)
Makalah Hukum dan HAM (Sejarah Perkembangan HAM)
 
Hukum Acara Pidana Militer PPT
Hukum Acara Pidana Militer PPT Hukum Acara Pidana Militer PPT
Hukum Acara Pidana Militer PPT
 
Hukum Acara Pidana Militer
Hukum Acara Pidana MiliterHukum Acara Pidana Militer
Hukum Acara Pidana Militer
 
Makalah Fungsi Etika Profesi Hukum
Makalah Fungsi Etika Profesi HukumMakalah Fungsi Etika Profesi Hukum
Makalah Fungsi Etika Profesi Hukum
 
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu TertentuPerjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
 
Makalah hubungan antar lembaga negara
Makalah hubungan antar lembaga negaraMakalah hubungan antar lembaga negara
Makalah hubungan antar lembaga negara
 
Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)
Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)
Hk kontrak II (SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU KONTRAK)
 
Hukum Asuransi Individu
Hukum Asuransi IndividuHukum Asuransi Individu
Hukum Asuransi Individu
 
Kriminologi Tugas Teori2 Sebab Kejahatan
Kriminologi Tugas Teori2 Sebab KejahatanKriminologi Tugas Teori2 Sebab Kejahatan
Kriminologi Tugas Teori2 Sebab Kejahatan
 
Proposal PKMK “KEBUNAGA” ( KERUPUK BUAH NAGA )
Proposal PKMK  “KEBUNAGA”  ( KERUPUK BUAH NAGA )Proposal PKMK  “KEBUNAGA”  ( KERUPUK BUAH NAGA )
Proposal PKMK “KEBUNAGA” ( KERUPUK BUAH NAGA )
 
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)
New Makalah Keuangan dan Perbankan (Study Lapang Bank BCA Syariah)
 

Recently uploaded

Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
JarzaniIsmail
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
NurindahSetyawati1
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
JuliBriana2
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
nabilafarahdiba95
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
dpp11tya
 
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
pipinafindraputri1
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
ssuser35630b
 

Recently uploaded (20)

Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
 
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
 
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 

Internalisasi Falsafah Islam dan Dekolonialisasi KUHP

  • 1. INTERNALISASI FALSAFAH ISLAM DAN DEKOLONIALISASI KUHP *Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH Prolog KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian. Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil, serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan, karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan "puncak" dari Sistem Peradilan Pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan.1 Konkretnya, secara lebih gradual Sistem Peradilan Pidana dapat dikaji melalui pendekatan dimensi hukum, sosiologi, ekonomi dan menajemen. "Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem peradilan pidana (criminal justice system-SPP), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dari segi profesional, SPP lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas, doktrin dan perundang-undangan yang mengatur SPP tersebut. Dalam ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis."2 . Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)3 maka di Indonesia dikenal 5 1Kenneth J. Peak, Justice Administration, Departement of Criminal Justice, University of Nevada, 1987, hlm. 25 menganalisis lebih jauh apakah komponen sistem peradilan pidana tersebut terdiri dari proses, network, nonsystem, dan sistem. 2Satjipto Rahadjo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial, Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/Nomor I/1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 97 3Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science. Menurut Mardjono Reksodiputro maka Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. (Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
  • 2. (lima) institusi yang merupakan sub Sistem Peradilan Pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.4 Pada Sistem Peradilan Pidana tersebut yang berpuncak adanya "putusan" atau "vonnis" hakim hakekatnya dikaji dari perspektif teoritik dan praktik peradilan acapkali menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity) dan juga berkorelasi dengan "kebijakan pidana" dimana kebijakan formulatif merupakan kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif. Pada dasarnya, konteks "kebijakan". Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip- prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan- urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/ peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).5 Berdasarkan dimensi tersebut, kebijakan hukum pidana hakikatnya merupakan "usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum)". Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum.6 Dikaji dari perspektif politik hukum maka Universitas Indonesia, 1994, hlm. 84-85). Ditinjau dari dimensinya maka Frank Hagan (1987) membedakan antara Criminal Justice System dengan Criminal Justice Process. (Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: PT Alumni, 1982, hlm. 70). Pada dasarnya, Criminal Justice System adalah: " ...is the system by which society, fist determinies what will constitue a crime and then identifies, accuses, tries, convicts, and punishes those who violated the criminal law. Sedangkan Criminal Justice Process diartikan sebagai: "the series of procedure by which society identifies, accuses, tries, convicts, and punishes offender". Oleh karena itu, terdapat perbedaan gradual kedua pengertian di atas yaitu Criminal Justice System merupakan substantive law sedangkan Criminal Justice Process menunjuk pada pengamanan penerapan dari Substantive law. Menurut Allan Coffey maka ada perbedaan antara "sistem" dengan "proses" dimana dikatakan bahwa, "The process of the system refers to many activities of police, attorneys, judges, probahation and a role and prison staff. Process therefore is the most visible part of the system." (Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, PT. Jambatan, Jakarta, 2004, hlm. 1-2). 4Pada dasarnya di Amerika Serikat tempat lahirnya Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) seperti dikemukakan oleh Prof Neil C. Chamelin, Phd. terdiri dari Polisi, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan dengan tujuan menanggulangi kejahatan yang timbul dalam tata kehidupan masyarakat pada tingkat pemerintahan lokal dimana ditentukan dengan redaksional: "Basically the American Criminal Justice System is composed of Police, Courts, and Corrections in local, state, and federal levels. These criminal justice components functions separetely and together with majority of activities occuring at the local level of government (city and country). (Neil C. Chamelin, et.al., Introduction to Criminal Justice, Prentice-Hall, New Jersey, 1975, hlm. 1). 5Ibid, hlm. 26 6Terhadap pengertian sistem hukum yang terdiri dari cultural, structural dan substantive dapat dilihat pada tulisan Lawrence M. Friedman dalam Legal Culture and Social Development, hlm. 1002-1010 dan Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1977, hlm. 6-7
  • 3. politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang- undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel maka penal policy merupakan "Ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang dirumuskan secara lebih baik". Peraturan hukum positif di sini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Karena itu istilah penal policy menurut Ancel, sama dengan istilah "kebijakan atau politik hukum pidana"7 Konkretnya, menurut Jeremy Bentham, janganlah hukum pidana dikenakan/ digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or inefficacious.8 Demikian pula Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/ tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu "pengancam yang utama" (prime threatener).9 Internalisasi Falsafah Islam Anjuran menggunakan logika dinyatakan secara jelas bahwa, ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih berganti antara siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang BERAKAL’.10 Logika (mantiq) tersebut digunakan dalam pelbagai situasi dan konteks –setidak-tidaknya 100 kali disebut dalam Qur’an– (Q: Al-Baqarah, 44, 118, 219, 266; Q: Ali Imran, 65 dan 118; Q: An-Nisa’, 82; Q: Al- Anam, 32, 50, 80, 151 dan Al-A’raf, 3, 26, 169, 176, 179, 184 dan 185; yang disimbolkan sebagai ‘sambil berdiri, duduk dan berbaring dengan maksud bahwa penciptaan tersebut bukanlah sesuatu yang sia-sia.‘11 Struktur berfikir menggunakan logika inilah, dalam literatur Barat dinamakan dengan Falsafah, yaitu upaya berfikir kritis, argumentatif, analisis dan konklusif untuk mencari dan mencapai kebenaran. Di era kepemimpinan Nabi Muhammad (Nubuwwah), shahabat dan Tabi’; falsafah tidak dipakai secara menyeluruh sebagai methode untuk menjawab pelbagai isu tentang siasah, mu’amalah, munahakat, qital, kehidupan masa depan (Syurga dan Neraka), kehadiran Dajjal, keabsahan kisah tentang ke- Rasulan sebelum Nabi Muhammad SAW, fenomena kegemilangan kreasi manusia dan isu imamah dan kemanusiaan yang sangat complex; karena semua masalah yang muncul pada masa itu dapat diatasi oleh Rasulullah melalui wahyu dan Hadits. Namun begitu, Amr bin Ash telah berterus terang kepada Rusulullah sambil mengisyaratkan akan memakai ijtihad bagi menyelesaikan suatu masalah, sekiranya rujukan penyelesaian tidak didapati dalam Qur’an adan Hadits. Ini merupakan langkah awal menggunakan logika (falsafah) sebagai alasan pembenar (justification) dalam upaya mencari kebenaran. 7Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 2 8Ibid, hlm. 39 9Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press, California, 1968, hlm. 87 10 Qur’an, Surat Ali ‘Imran, ayat 190. 11 Ibid., ayat 191.
  • 4. Persilangan pendapat di kalangan masyarakat muslim baru muncul fasca Rasulullah sudah wafat, walaupun para shahabat masih lagi mampu memberi jawaban terhadap pelbagai masalah yang muncul kehidupan berbangsa dan bernegara; namun pada masa yang sama, muncul aliran Khawarij, ekoran dari ketidak puasan terhadap penyerahan kuasa dari Syaidina Hasan kepada Muawwiyah berdasarkan Perjanjian yang dinilai cacat hukum (illegal). Sejak itu, pengikut Khawarij muncul dengan gaya konfrontatif yang menuntut keadilan, kejujuran, menentang penguasa, menuntut supaya Hukum Allah sepenuhnya dijalankan sebagaimana difirmankan dalam Qur’an, Surat Al-Maidah, ayat 44, 45 dan 47; bahkan telah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib karena koflik Ali- Muawwiyah diselesaikan dengan cara musyawarah yang dianggap mengetepikan ketentuan al-Qur’an. Pada gilirannya, muncul aliran Mu’tazilah12 yang mengadopsi falsafah Barat untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan yang muncul di kalangan masyarakat muslim. Difahamkan bahwa, lintas pendapat antara pemikir Islam dengan falsafah Barat –terutama pendapat Socrates, Plato dan Aristoteles tentang pelbagai isu– berlangsung lebih awal berbanding berbanding dengan kalangan Puritan (Rohaniawan Gereja) yang mengisolasi diri dengan doktrin Gereja. Salah satu perististiwa yang memalukan dunia Krestian (Nasrani) adalah pihak Gereja telah menjatuhkan hukuman mati mandatory (hukuman gantung) kepada Galilleo Galilei (1564-1642), karena pendapatnya yang menyebut bahwa ’Matahari dan bumi masing-masing saling berputar mengelilingi pada sumbu masing-masing’ dinilai berseberangan dengan teks Injil yang menyatakan Mataharilah yang mengelilingi bumi. Pendapat Galilleo boleh jadi diadopsi dari teks al-Qur’an Surat Yaasiin, 38-40). Sehubungan itu, putusan Gereja merupakan pelecehan terhadap logika (rasionalitas) dan tradisi ilmu pengetahuan. Sikap ilmuan Islam lebih bersikap terbuka untuk ber-argumen dengan sederetan filosuf Barat yang memakai logika; tidak merasa malu untuk mengadopsi metode falsafah untuk mengkaji, memperkaya khazanah pemikiran dan mempertajam daya analisis bagi memahami keseluruhan teks Al-Qur’an (dengan mengenal pasti asbabun nuzul) dan Hadits (nukud, yaitu sebab- musabab munculnya sebuah Hadits). Sementara itu, pihak Gereja gagal menghadapi derasnya arus pemikiran falsafah Barat, terutama idé tentang keadilan, hukum, moral dan kebenaran yang dilontarkan oleh Socrates, Plato dan Aristoteles serta filosuf Yunani lainnya. Jadi, pemikir Islam telah turut mengantar mereka ke pintu gerbang berfikir menggunakan logika (falsafah). Di tapal batas rasional, falsafah Barat tadi tidak ditempatkan sebagai instrument untuk memperindah wajah syari’at Islam; akan tetapi Washil bin Atha’ (700-748) dan pengikutnya, telah memposisikan falsafah sebagai wujud rasionalitas yang memiliki authoritas dan dipakai sebagai metode dan standard berfikir untuk mengkaji, menganalisis, mengevaluasi dan menafsirkan teks al- 12 Sebuah aliran rasionalis Islam yang didirikan oleh Washil bin Atha’ pada tahun 105-110 H (700 Masehi) di zaman Bani Abbasyiah di bawah pemerintahan Abdul Malik Marwan.
  • 5. Qur’an, Hadits dan hasil Ijtihad. Bagaimana pun tidak dapat dipungkiri akan sumbangan pemikiran rasionalitas Mu’tazilah dalam mempertahankan prinsip- prinsip aqidah Islamiah menurut kadar keilmuan Islam yang mereka miliki, walaupun sebagian penganut aliran ini terpengaruh dan perterangkap, akibat dari perasaan galau terhadap hal-hal baru –terutama di peringkat awal perkenalan dengan falsafah Barat– yang dikaguminya tanpa kendali. Dalam perkembangan selanjutnya, kehadiran falsafah Barat tidak dipakai sebagai instumen yang bebas berfikir kritis dan menghormati pendapat orang lain. Malangnya, falsafah telah menjadi boomerang, bahkan cenderung mengkafirkan (takfiri) pihak tertentu yang berbeda pendapat. Pandangan ‘takfiri’ merupakan gambaran dari pemahaman yang mencorakkan kecètèkan berfikir untuk membangun tamadun Islam. Falsafah, selain memberi pengaruh terhadap pola fikir, objektif, subjektifitas, juga berani berterus terang menentukan pilihan keyakinan masing-masing. Abu Hasan al-Asy’ari (873-935) misalnya, selama 40 tahun hidup satu atap bersama Mu’tazilah, akhirnya memutuskan untuk ‘pisah ranjang’ dan menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah yang dianggapnya sudah melèncèng dari aqidah Islam. Pandangan Mu’tazilah yang disifatkan sebagai metaforis terhadap ayat-ayat al-Qur’an, seperti perkataan ‘yadullah’ ditafsirkan sebagai kekuasaan Allah dan ‘wajhullah’ sebagai keredhaan Allah; hak prerogative Allah untuk mengampuni atau tidak terhadap dosa-dosa yang dilakukan oleh hamba-Nya; sebagaimana disebut, ‘hanya terhadap dosa mempersekutukan Allah (musyrik) yang tidak diampuni oleh Allah, selain dosa itu masih terbuka ampunan Allah’,13 sukar dicerna oleh pemikir Islam lainnya. Oleh itu, Abu Hasan al-Asyari menghidupkan semula fahaman Ahlul Sunnah wal Jama’ah yang sudah dipugar lebih awal oleh Ibn Abbas yang bertujuan untuk menjaga kemurnian Islam. Walaupun Abu Hasan al-Asyari popular dengan temuan ‘Sifat Allah 20’, bukan berarti beliau bebas dari kritikan. Dalam isu-isu tertentu, Abu Mansur al- Maturidy (803-944) telah melancarkan kritik kepada Abu Hasan al-Asyari. Pada giliranya, Abu Mansur al-Maturidy, juga dikritik oleh Al-Baqalany yang tidak sepakat dengan beberapa pandangannya. Tragisnya, Ibn Sina (Avicenna 980- 1037)14 yang oleh sebagian pemikir Islam, seperti Imam Ghazali (1058-1111) telah melancarkan kritik tajam, menganggap sudah tenggelam kedasar laut falsafah Barat, yang terang-terangan menolak pandangan Al-Farabi berhubung dengan kaedah filsafah Yunani dan mengkafirkan (‘takfiri)’ melalui karyanya Tahafut-al- Falasifa (The Incoherenceof the Philosophers). Giliran pendapat Imam Ghazali, juga dikritik Ibn Taimiyyah.15 Romantika dan dinamika pemikiran tersebut dapat 13 Qur’an, surat Annisa’, ayat 48 dan 116. 14 Ibn Sina (Avicenna), adalah seorang pemikir Islam asal Parsi dikenali sebagai pakar sains, etika, logika Matematika dan Falsafah. Antara karyanya yang terkenal adalah Atqanun fi Altibb, Kitab Asyifa dan Al- Najat. Alam fikirannya dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles dan Al-Farabi. 15 Seorang pemikir Islam yang dianggap oleh penguasa ketika hidupanya sebagai pemikir kontroversial, sehingga Ibn Taimiyyah telah dijebloskan 7 kali kedalam penjara hingga beliau meninggal dalam penjara.
  • 6. difahami, karena selain menghidupkan tradisi berfikir yang tidak menafikan al- Qur’an, Hadits dan ijtihad sebagai standard dan kriteria pembanding, dipakai sebagai acuan dan alasan untuk menolak seluruh atau sebagaian dari kaedah falsafah Barat. Setelah dunia Islam memecahkan record pada zaman Ummar bin Khattab (583-644) yang menguasai hampir sepetiga dunia –menakluki kerajaan Parsi dan Rum– disusul dengan kejayaan Bani Abbasyiah (750-1517), Bani Umayyah 97 tahun (661-750) disambung lagi (756-1031) dan kekhalifahan Oesmaniyah Turki (1299-1924) yang ditandai dengan penakukkan kerajaan Rum oleh Muhammad al-Fateh (1453). Tibalah giliran kolonial Barat muncul sebagai kekuatan baru mengalahkan pengaruh dan kekuatan Islam melalui perang Salib yang dipicu oleh sentimen keagamaan dan politik perluasan wilayah di kurun masa abad ke- 11 sampai 13, dan seiring dengannya; dunia Islam –terutama di Zazirah Arab, Afrika dan Asia– jatuh berguguran satu demi satu. Di antara implikasi kolonialisme Eropah adalah, berubahnya peta kekuatan geo-politik dunia yang dikuasai oleh dua kuasa dunia –Sepanyol dan Portugis– pada abad ke 15, yang membagi seluruh belahan bumi ini dibawah dua kuasa tersebut. Bersamaan itu, juga terjadi perubahan dalam wacana pemikiran falsafah dan kekuatan politik hukum di seluruh dunia yang mengklasifikasi kepada dua sistem hukum. Pertama, sistem Hukum Eropa Kontinental –‘civil law’– merupakan kodifikasi dari ‘Corpus Juris Civilis’ yang berlaku pada masa pemerintahan Kaisar Justianus pada abad ke-6. Hukum inilah yang kemudian menjadi konstitusi di kebanyakan negara-negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Prancis dan Italia, termasuk Amerika Latin dan Asia. Serentak dengan itu, sistem perundangan Islam ditukar kepada sistem hukum yang berteraskan falsafah Barat dan produk hukum Romawi. Kedua, sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika), yang sejak abad ke-11 sudah berkembang di Inggris dengan nama ‘Common Law’, walau pun bentuknya berupa yurisprudensi, namun bagian tertentu yang tertulis (statues) tetap dipertahankan. Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Amerika ini lebih cenderung kepada hukum positif (tertulis), selain berlaku di Amerika Serikat dan Kanada, juga berlaku di beberapa negara di Asia, terutama negara-negara kumpulan commonwealth Inggris. Sistem hukum Anglo Amerika, juga meletakkan kewibawaan hukum kepada putusan pengadilan, memperhatikan dan menghormati setiap perubahan dan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat (sosiological jurisprudence), dimana Hakim mempunyai hak dan berwenang untuk mengadili suatu kasus, menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan merumuskan kaedah-kaedah hukum baru untuk dijadikan sebagai acuan bagi hakim untuk memutus perkara yang sejenis. Artinya, sistem hukum Anglo Amerika, langsung merujuk kepada putusan hakim terdahulu; terkecuali jika didapati bukti baru sehingga putusan terdahulu tadi dinilai tidak relevan dengan perubahan tuntutan zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan
  • 7. keyakinan yang tidak berlawanan dengan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat (common sense). Kolonialisme Eropah, selain berhasil merubah struktur berfikir umat Islam –dari menolak kepada menerima hukum positive kolonial– sekaligus menggiring prilaku dan mentalitas bangsa terjajah supaya tetap merasa ketergantungan kepada keunggulan berfikir Barat dan mengekalkan hukum kolonial. Konsekuensinya, bangsa terjajah tidak berani memangkas atau mengganti produk hukum kolonial kepada hukum positive nasional berbasis adat-istiadat, budaya dan hukum Islam. Rasa ketergantungan terus saja berlaku, walau pun negara tersebut sudah merdeka. Inilah yang berlaku di Mesir, Marokko, Libya, Irak, Algeria, Libanon, Afika dan Asia. Konstitusi Libanon misalnya, menetapkan bahwa Presiden Libanon hanya boleh dipilih dari kalangan Kristen-Katholik, Ketua Parlemen dari kalangan muslim Syi’ah, Perdana Menteri mewakili masyarakat Muslim dan Wakil mewakili Kristen-Katholik. Ketetapan tersebut dibuat oleh Perancis. Di Indonesia, ketergantungan terhadap hukum positive kolonial nampak dari untaian kalimat ’segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama masih diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.’16 Berangkat dari sinilah, lahir UU No. 1/1946 tentang berlakunya KUHPidana di seluruh wilayah Indonesia. Status Undang-undang ini dipertegas semula melalui UU No. 73 tahun 1958 yang menyatakan UU No. 1/1946 tentang berlakunya KUHPidana berlaku di wilayah Indonesia. KUHPidana ini adalah anak kandung dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) 1795, dengan nama Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland, disahkan semasa Lodewijk Napoleon memerintah ’republic Batavia’ (koloni Belanda di wilayah ’Nederlanad Aest Indies’). Serentak dengan itu, Code Penal yang disusun pada tahun 1810 diberlakukan. Setelah Persetujuan Amiens 1802 disetujui oleh pihak- pihak yang terlibat perang di Eropah; maka Perancis menyerahkan semula ’republic Batavia’ kepada Belanda pada tahun 1813. Walau demikian, Belanda dan pemerintahan Hindia Belanda; masih tetap mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886, sambil melakukan revisi terhadap Code Penal. Di wilayah ’Nederlands Aest Indies’; Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diberlakukan dengan Koninklijk Besluit Nomor 33 15 Oktober 1915 dan sejak 1 Januari 1918 berlaku efektif. Sebelumnya, di wilayah Hindia Belanda diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55, berlaku sejak 1 Januari 1867, khusus kepada golongan Eropah; sementara bagi golongan yang bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1873. Sejak Wetboek van Strafrecht (KUHPidana) diberlakukan, Indonesia sukar untuk keluar dari lingkaran pemikiran hukum kolonial. Buktinya, walaupun 16 Pasal II, Aturan Peralihan UUD 1945.
  • 8. Indonesia sudah merdeka selama 36 tahun; Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang ditetapkan dengan Undang-undang No. 8 tahun 1981 dan aturan Pra-peradilan, diadopsi dari hukum positive Belanda. Demikian pula Mahkamah Konstitusi yang diatur dlam UU No. 24/2003, dicontoh dari sistem Hukum Amerika Serikat yang dirintis oleh John Masrshall (Ketua Mahkamh Agung Amerika) saat melakukan pengujian konstitusionalitas dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803, yang kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen.17 Efeknya adalah, struktur berfikir dan geraham bangsa terjajah dibiasakan supaya mengunyah dan menelan istilah-istilah yang diperkenalkan dalam hukum positif. Asas ’Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali’ yang diperkenalkan oleh Von Feuerbach yang kemudian diletakkan pada pasal 1 ayat (1) KUHPidana yang menyebut: ’Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.’ Pada hal, asas legalitas ini, didapati pada setiap sistem hukum, tidak terkesuali Hukum Islam, sebagaimana dikatakan: ’Kami tidak akan mengazab, sebelum Kami mengutus seorang Rasul.’18 Senada dengan itu dikatakan pula, ’tidak ada tindak pidana dan hukuman kecuali dengan nash dan tiada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat, sebelum ada hukum yang mengaturnya’. Demikian pula dengan Asas Praduga Tak Bersalah (presumtion innoncence) mengandung makna bahwa di depan hukum, seseorang tidak dapat dianggap bersalah, sebelum ada putusan hakim (Mahkamah) yang berkekuatan dan kepastian hukum, sebagaimana disebut dalam Penjelasan Umum KUHAP: ’setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.’19 Islam meletakkan dasar bahwa’… Jauhilah oleh kamu kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu merupakan dosa,’20 bahkan ditegaskan: ’mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.21 Dalam konteks ini, Islam memiliki standard moral, seperimana dikatakan, ’kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.’22 Demikian pula asas ’Lex Specialis Derogat Legi Generalis’, yang mengajarakan bahwa aturan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang umum dengan syarat ketentuan- 17 Yusra Habib Abdul Gani, 2011, Eksistensi Mahkamah Konstitusi, Serambi Indonesia dan Aceh Vision, 18 Mei 2011. 18 Qur’an, Surat al-Isra’, 15. Lihat juga: Surat al-Qashash, 59; Qur’an Surat Al-Baqarah, 286, An- Nisa’, 16 dan Al-Anfal, 38. 19 Penjelasan Umum KUHAP (Undang-undang No. 8 tahun 1981). 20 Qur’an, Surat Al-Hujurat, ayat 12. 21 Qur’an, Surat An-Nur, ayat 12. 22 Qur’an, Surat Al-Fath, ayat 11-12.
  • 9. ketentuan lex specialis mestilah setara statusnya dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (misalnya, jika terdapat suatu Undang-undang yang mengatur suatu hal bersifat umum, dapat dikesampingkan sekiranya ada undang-undang yang mengatur perkara yang sama secara specifik). Perkara ini berbeda dengan doktrin Hukum Islam yang menetapkan bahwa, suatu ketentuan yang terdapat dalam sumber hukum primer (al-Qur’an), tidak mungkin dikesampingkan oleh ayat lain, apalagi berlawanan antara yang satu dengan lainnya. Begitu pula sumber hukum, yang hiarkhinya lebih rendah, sudah tentu tidak boleh mengenyampingkan ketentuan sumber hukum primer. Pada prinsipnya, sumber hukum yang statusnya lebih rendah (Hadits), hanya dapat memperkukuh dan menyempurnakan keterangan yang terdapat dalam sumber hukum primer dan tidak mungkin mengenyampingkannya; tidak terkecuali interpretasi yang ditempuh melalui Ijtihad, mesti bersifat memperkaya khazanah berfikir dan memperindah warna hukum Islam; bukan menentang ketentuan yang terdapat dalam Qur’aan dan Hadits. Akan halnya dengan asas Lex superior derogat legi inferior, yang menyebut bahwa hukum yang statusnya lebih tinggi diutamakan berlaku, berbanding hukum yang lebih rendah dan tidak boleh berlaku tumpang tindih antara peraturan yang rendah dengan peraturan yang lebih tinggi. Tentang hal ini, Islam secara tegas menyatakan urutannya, yaitu Al-Qur’an (Lex superior) > Hadits (legi inferior) dan > Ijtihad (Ijma’, qiyas dll). Demikian juga istilah ’terra nulius’ (yaitu suatu kawasan di permukaan bumi tidak bertuan),23 yang dapat dijarah secara sukarela oleh sesiapa yang mempunyai kekuatan. Istilah ini diakui dalam hukum Internasional; sesungguhnya sudah diterapkan sejak abad ke 15 lagi, ketika Portugis dan Sepanyol beraksi menjarah dan menguasai kawasan (tanah) di atas permukaan dunia ini yang belum dijamah oleh manusia yang mengklaim seagai milik mereka masing-masing. Nampaknya, para praktisi dan kalangan teoritis hukum kita, tidak dapat mengelak dari validitas asas-asas hukum yang di-dewa-kan dalam doktrin hukum positive. Hal ini menimbulkan kesan bahwa, orang Islam seakan-akan jumud berfikir –tidak memiliki apa-apa (doktrin atau pun asas hukum) yang dapat dikedepankan sebagai alternatif– pada hal lebih dari 1.400 tahun yang silam, Islam sudah memiliki asas-asas hukum sebagaimana dipaparkan di atas. Namun, para pakar hukum posistive berbasis muslim merasa rendah diri (’inpriority-complex’) saat berhadapan dengan buah pemikiran falsafah Barat yang sudah pun telanjur digeruni. Selain itu, hukum positive mensyaratkan bahwa suatu kesaksian dianggap tidak sah, sekiranya disampaikan oleh orang yang mempunyai hubungan darah dengan pihak korban. Sementara Hukum Islam menentukan lain, sebagaimana difirmankan Allah, ’Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. 23 Hungdah Chiu & Choon Ho-Park, 1975, Legal status of the pararel and Spratly land ocean depelopment and International law.
  • 10. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.24 Dalam konteks ini, terdapat sebuah yurisprudensi mengenai kasus pencurian baju gamis Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh seorang Yahudi. Ali dikalahkan oleh majlis hakim di Mahkamah, karena menghadirkan kedua-dua anak kandungnya (Hasan & Husén) sebagai saksi yang menurut hukum Acara Pidana Islam tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi.25 Yurisprudensi tersebut telah digunakan sebagai alasan pembenar (justification) untuk membatalkan keterangan saksi yang mempunyai hubungan darah/keluarga. Hal ini berlawanan dengan ketentuan ayat 135 Surat An-Nisa’ tersebut. Makalah ii berpendapat bahwa, dalam kasus-kasus tertentu, menghadirkan kesaksian anggota keluarga dalam sebuah kasus tidak dapat dinafikan dan dibantah, jika yang bersangkutan merupakan saksi primer. Intinya adalah ’janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.’26 Lagi pula, dalam kasus Ali bin Abi Thalib, ternyata setelah putusan Hakim, pencuri mengaku bahwa keterangan Hasan-Husén adalah benar dan oleh karenanya, dia mengembalikan baju gamis kepada Ali bin Abi Thalib (pemilik. Mengapa fakta ini diabakan? Demikian pula dalam delik pembunuhan yang disebut dalam pasal 135-138 KUHPidana, yang ancaman hukumnya lebih dari 5 tahun, seumur hidup dan hukuman mati. Hukum Islam menetapkan bahwa,’qisas diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.27 Namun begitu terdapat unsur maaf sebagai ruang untuk tidak mseti mengeksekusi putusan hakim, sebagaimana difirmankan ’Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yangbaik (pula).’28 Sumber lain menyebut ’sesiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh, maka ia memilih dua pilihan, memilih diyat dan pelaksaan qisas.’29 Anehnya, perkara ini justeru diamalkan dalam masyarakat hukum Adat yang mengenyampingkan ketentuan hukum positive (KUHPidana). Sementara pakar hukum (teoritis) dan praktisi hukum, nampaknya masih terkungkung dalam rumusan hukum kolonial. Begitu pula eksistensi lembaga 24 Qur’an, Surah An-Nisa’, ayat 135 25 Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, edisi Desember 2017, KPK vs Novanto: Berpacu Dengan Waktu, ILC TVOne, Jakarta. 26 Qur’an, Surah An-Nisa’, ayat 135. 27 Qur’an, Surah An-Nisa’, ayat 135. 28 Qur’an, Surat Al-Baqarah, ayat 178-179. 29 Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
  • 11. ’Arbitrase’ yang digunakan untuk menyelesaiakan sengketa perdata di luar peradilan umum, didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis,30 adalah merupakan perkara baru dalam sistem hukum ’civil law’ dan ’Anglo Amerika’. Hukum Islam mengenal lembaga ’Arbitrase’ dengan istilah ’Tahkim’ (yaitu sebuah lembaga yang diberi kuasa oleh para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perkara, dimana putusan lembaga Tahkim diterima secara sukarea oleh kedua-dua belah pihak yang bertikai), sebagaimana disebut, “… Jika dua golongan yang beriman bertengkar, damaikanlah mereka….’31 Dan ’… Angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang hakam dari keluarga si wanita. Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada keduanya.’32 Penerapan ’arbitrase’ dalam hukum positive hanya dibatasi terhadap kasus perdata saja,33 berdasarkan ketentuan hukum syara’ secara damai.34 Adalah suatu kemajuan, apabila Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diresmikan pada 23 Oktober 1993,35 yang kemudian bertukar nama kepada BASYARNAS,36 untuk menyelesaikan perselisihan yang ditimbulkan dari perjanjian antara nasabah dengan Bank Muamalat Indonesia tahun 1992.37 Namun, pakar hukum Islam tidak mempunyai inisiatif untuk mengusul supaya badan ’arbitrase’ tidak saja diterapkan terhadap perkara keperdataan saja, tetapi juga diterapkan di lingkungan hukum pidana yang mengandungi unsur kesengajaan maupun ketidak sengajaan, sebagaimana telah diterapkan dalam masyarakat adat. Hal yang demikian relevan dengan ketentuan hukum Islam. Dalam konteks ini, terdapat yurisprudensi dalam kasus saling membunuh antara bani Hamdan dan bani Murad yang sudah berlangsung sebelum datangnya Islam, telah diselesaikan oleh Rasulullah secara damai (arbitrase), dimana Rasulullah sendiri bertindak sebagai arbiter. Pemikiran falsafah Barat lain yang telah memberi pengaruh kepada kita adalah, eksistesni dan validitas Piagam PBB, 1945, yang dalam realitasnya lebih populer di mata masyarakat dunia berbanding Piagam Madinah, yang disepakati oleh berbilang kaum –orang Islam, Yahudi mahu pun penduduk Nasrani– yang menetap dalam wilayah negara Madinah. Piagam ini telah berhasil mewujudkan persatuan, melindungi hak-hak seluruh penduduk, menciptakan kestabilan politik dan keamanan. Piagam tersebut wujud di tengah-tengah kemajmukan 30 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 2000, Sinar Grafika Jakarta, 2000, hlm. 3 31 Al-Qur’an, Surat Al-Hujarat, ayat 9. 32 Qur’an, Surat aN-Nisa, ayat 35. 33 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 (Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 3. Lihat juga: A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, hlm. 43.
 34 Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 81. 35 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan pasar Modal Syari’ah di Indonesia), hlm. 167.
 36 Lembagai tersebut merupakan hasil dari Rakernas MUI tahun 2002, yang Pengurus diautr melaui MUI No kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003. 37 Ahmad Dimiyati, Sejarah Lahirnya BAMUI dalam Arbitrase Islam di Indonesia, hlm. 191.
  • 12. masyarakat, dimana Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah model kehidupan pluralisme secara damai berteraskan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika itu, umat Islam diikat dengan jalinan persaudaraan antara golongan Ansyar- Muhajirin dan kesamaan aqidah; sementara bagi non-Muslim disatukan dan dieratkan diatas acuan kepentingan nasional negara Madinah, ikatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan. Ruh Piagam Madinah tersebut semestinya di- internasional-kan kembali, selain menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa Islam mempunyai standard berfikir unggul dalam isu kemasyarakatan dan kemanusiaan, juga mendidik masyarakat dunia bahwa Piagan Madinah merupakan sebuah model atau pun blueprint membangun peradaban manusia sejagat. Namun umat Islam nampaknya belum mampu bersaing melawan kekuatan politik non-muslim di gelanggang politik Internasional. Terakhir, ramai pemikir hukum dan HAM telah terperangkap dengan alam fikiran falsafah Barat –terutama yang berkaitan faham ’universalisme’ dalam konteks hubungan hukum dengan HAM– yang memberi kebebasan terhadap semua bentuk interaksi (termasuk kebebasan hubungan sexual) berdasarkan Universal declaration of human rights, 1948. Fahaman ini telah menggasak nilai- nilai peradaban Islam hingga sukar dikawal; walaupun terdapat faham ’particularisme’ (yang menyatakan bahwa rumusan hukum dan HAM versi Barat bertentangan dengan versi Timur, dimana rumusan hukum tergantung kepada ajaran agama (Islam) dan nilai-nilai adat-istiadat yang hidup dalam kehidupan masyarakat tertentu. Perkara ini ditegaskan dalam Convention tentang HAM di Cairo, 1998. Pandangan seperti ini, bahkan sudah pernah digagas dimana, hukum itu berubah berubah sejalan dengan keperluan semasa dan adat-istiadat setempat;38 namun para pakar hukum positive kita tidak berani bertarung, sekaligus menjabarkan lebih terperinci kandungan Convention Cairo 1998, untuk diterapkan dalam hukum positif, apalagi Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan Convention Cairo 1998. Adalah benar pasal 28 g (2) KUHAP, memberi wewenang kepada praktisi hukum untuk menggunakan pertimbangan aspek moral, nilai-nilai agama dan keamanan masyarakat untuk menangani perkara yang berkaitan dengan HAM, namun beranikah? Capaian Pemidanaan Humanistis Hukum pidana baru Indonesia, yang telah dirancang bangun oleh para ahli hukum, telah memberikan konstribusi pemikiran kearah hukum pidana modern, selaras dengan keinginan pembaruan hukum pidana Indonesia, karenanya politik hukum menjadi sandaran dalam pergumulan dan tarik menarik kepentingan, untuk menjadikan hukum pidana modern ini dapat berlangsung untuk sebuah Negara yang berkemajuan. Politik hukum pidana, pada dasarnya adalah merupakan aktivitas, yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan, atau pemilihan melalui seleksi, diantara 38 Ibn Qayyim (1292-1350 M 691-751 H)
  • 13. berbagai alternatif yang ada, yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Karena dipilih berbagai masalah pokok dalam hukum pidana, yakni perbuatan yang bersifat melawan hukum, Kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan berbagai sanksi alternatif, baik yang merupakan sanksi pidana maupun tindakan.39 Hukum merupakan suatu tatanan perbuatan manusia. Melalui suatu peraturan, yang mengandung suatu kesatuan, dengan hakikatnya yang mempertautkan peraturan-peraturan yang khusus tatanan perbuatan yang lain disebut juga sebagai tatanan moral, tatanan agama.40 Hukum adalah suatu kondisi, dimana manusia, yang secara alamiah berdiri sendiri, menyatukan diri mereka dalam masyarakat. Hanya hukum yang mampu menentukan hukuman atas setiap kejahatan, dan kewenangan untuk membuat hukum pidana hanya terletak di tangan legislator, yang mewakili seluruh masyarakat, yang disatukan oleh permufakatan sosial. Setiap individu terikat ke dalam masyarakat, dan masyarakat juga terikat dengan dirinya sendiri, melalui suatu kontrak, yang sama-sama mengikat.41 Hukum merupakan suatu pencerminan dari suatu peradaban, kebudayaan, dan suatu jalinan, yang erat. Sesungguhnya hukum telah jatuh merosot ke dalam suatu dekadensi, jika kekurangan dari para pembentuk hukum, telah menunjukkan ketertinggalan, berkenaan dengan fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang berlaku atau yang mulai berkembang. 42 Pembaruan hukum pidana, menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral, yang sangat fundamental dan strategis, termasuk dalam masalah kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana. Kebijakan menetapkan pidana dalam perundang-undangan. Sebagai suatu garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan, yang sekaligus sebagai landasan legalitas pada tahap berikutnya.43 Pengaturan hukum pidana merupakan pencerminan ideologi suatu bangsa, yang menjadikan hukum itu berkembang, dan merupakan hal yang sangat penting, bahwa seluruh bangunan hukum itu, bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan konsisten. 44 Dalam merumuskan hukum pidana baru, maka diperhitungkan pula persinggungan eksistensi norma-norma sosial, yang oleh hukum pidana dirumuskan dan dilengkapi. Karenanya diperlukan tranformasi norma-norma sosial menjadi norma hukum.45 Pemahaman mengenai pemidanaan di era modern tidak hanya melibatkan bagaimana hukum pidana menimbulkan dan menciptakan rasa jera melalui sanksi tetapi juga menimbulkan ketakutan akan penjeraan dalam sistem 39 Muladi. Demokrasi dan HAM.Op cit, hlm. 251. 40 Hans Kelsen. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara.(Bandung; Nusa Media, 2011) hlm. 3-4. 41 Cesare Beccaria. Perihal Kejahatan dan Hukuman. Op cit, hlm. 1-8. 42 Lili Rasyidi. Dinamika Situasi dan Kondisi Hukum Dewasa ini. Kapita Selekta Hukum. Op cit, hlm. 4. 43 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan. Op,cit , hlm. 3-4. 44 Sudarto. Hukum Pidana dan Pandangan Masyarakat (Bandung; Sinar Baru, 1990) hlm. 3. 45 Jan Remmelink. Op cit, hlm. 3-4.
  • 14. peradilan pidana, sehingga sanksi tidak hanya dipandang sebagai pusat orbit peletakkan jera dan derita, tetapi juga sebagai alat untuk mencegah potensi kriminal yang mungkin terjadi.46 Oleh karena itu, pemidanaan akan sangat bergantung kepada kemandirian hakim dalam mengambil suatu putusan melalui pertimbangan yang mengkombinasikan antara dimensi hukum dan dimensi kemanusiaan sehingga hukum pidana dapat menciptakan konsepsi pemidanaan yang humanistis.47 Di berbagai belahan dunia terkini hukum pidana yang modern dicerminkan melalui penjatuhan pelaksanaan dan pengawasan sanksi yang tidak hanya difokuskan untuk memunculkan nestapa tetapi juga memunculkan rasa untuk kembali ke sistem sosial sehingga hukum pidana dapat dianalogikan sebagai rumah sakit yang kemudian kejahatan adalah sebuah penyakit yang kemudian dilakukan serangkaian perawatan untuk dikembalikan performanya. Perjuangan menegakkan keadilan, telah dilakukan oleh bangsa-bangsa yang beradab di belahan dunia ini. Termasuk Negeri Indonesia, yang dari masa ke masa, menorehkan perjuangan keadilan, kemerdekaan, kesejahteraan, sejak bangsa Eropa datang, hingga perjuangan fisik, untuk mencapai kemerdekaan. Bahkan hingga pengalaman kemerdekaan menghantarkan negeri ini, memasuki abad dan era sebagai bagian dari negara hukum modern di dunia. Sisa-sisa kolonial pada lapangan Hukum, masih terasa, disebabkan politik hukum kita, pada masa lalu terfokus pada pembangunan fisik, sosial, ekonomi dan budaya, pertahanan dan keamanan, tetapi sangat lamban pada pembangunan bidang hukum. Hukum modern tidak jatuh dari langit. Hukum modern tumbuh dan berkembang melalui perjalanan sejarah yang amat panjang, hingga terbentuk hukum modern seperti yang sekarang ini. Hukum menyimpan kaidah nilai, kaidah peran dan organisasi. Melalui hukum, nilai-nilai dapat dijabarkan menjadi kaidah dan karena itu mempunyai kekuatan yang dipaksakan. Negara hukum modern Indonesia, lebih mengunggulkan Supremacy of moral. Sehingga memberikan tekanan yang istimewa terhadap aspek moral daripada aspek perundang-undangan semata-mata.48 Hukum pidana materiil dan formil, merupakan rumpun hukum publik. Karenanya hukum pidana materiil (KUHP) dan hukum pidana Formiil (KUHAP), terjalin hubungan yang erat, mesra dan tidak terpisahkan dan saling menunjang. Hukum acara pidana merupakan peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana materiil. Mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan keputusan Hakim. Tentang peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan putusan Hakim, dengan berbagai asas yang dianutnya, yakni Asas Equality before the law, Asas Legalitas, Asas Presumtion of 46 Lee Epstein dan Jeffrey A. Segal, Advice and Consent: The Politics of Judical Appointments, (New York: Oxford University Press, 1998) hlm 221-222 47 Ibid, hlm 223 48 Suteki.Op cit, hlm. 269.
  • 15. innocence, Asas peradilan cepat, Asas bantuan hukum,. Asas peradilan yang terbuka, fairnes.49 Adapun RUU KUHAP, yang telah mendapatkan berbagai masukan, terdapat sembilan perubahan yang mendasar;50 Memperlakukan adanya Suspects right to remain silent and the presumtion of innocence. Aturan ini memberikan hak kepada tersangka, untuk bisa tidak menjawab pertanyaan penyidik. Adanya Protect citezens liberty and privacy interest in the area of pretrial detention. Berkaitan dengan penahanan. Dalam waktu 5x24 jam tersangka harus dihadapkan pada hakim komisaris, diselaraskan dengan ketentuan international covenant civil and political right (ICCPR). Adanya remove the preliminary investigation stage and ensure better police/ prosecutor cooperation. Persoalan hubungan penyidikan dan penuntutan, sejak awal terjalin, dimana jaksa memberikan petunjuk sehingga memenuhi persyaratan formil dan substansi berita acara yang ada. Adanya Develop a pretrial stage and clarify the role of the commissioner judge to preside over it. Perubahan yang penting pada tahap pra persidangan dan pembentukan lembaga baru yakni Hakim Komisaris, (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) memiliki tanggung jawab pemberian otorisasi atas surat perintah penggeledahan. Hakim komisaris melakukan hearing secara khusus pada penuntut umum. Hakim komisaris dapat meniadakan dan memerintahkan untuk membebaskan penangkapan kepada tersangka secara sewenang-wenang. Sehingga Hakim Komisaris dapat melindungi kebebasan individu pada tahap prapersidangan. Adanya Simplity indicment (penyederhanaan dakwaan) surat dakwaan yang ringkas, terfokus, surat dakwaan yang diteliti oleh jaksa terutama persoalan apakah dakwaan akan bertanggung jawab sesuai dakwaannya. Adanya Promote adversarial trial procedures. Memperkenalkan adversarial khususnya pada tahap persidangan. Adanya kesempatan untuk memberikan pertanyaan dari pihak jaksa dan penasehat hukum, dan kesempatan untuk menghadirkan saksi, untuk memperkuat dan memperjelas dakwaan. Peran pengadilan menentukan pencarian fakta secara aktif. RUU KUHAP memperluas alat bukti, yakni bukti eletronik dan barang bukti physical evidence, bertujuan untuk mempermudah dengan cara meninggalkan segala fleksibilitas bagi jaksa dan penasehat hukum, dengan menampilkan alat bukti baru yang potensial di pengadilan. Terhadap alat bukti atas kejahatan transnasional, alat bukti yang diperoleh di luar negeri, dianggap sebagai alat bukti yang sah, jika diperoleh secara sah, berdasarkan hukum di negara hukum tersebut, dengan tidak melanggar konstitusi, hukum dan perjanjian kerjasama dengan Indonesia. Adanya Case dismissal, guity pleas, and cooperating dependants. Adanya kemungkinan penghentian kasus-kasus yang tidak berdasarkan kepentingan umum, biasanya semua kasus pidana, bahkan tuntutan pidana yang kecil diserahkan pada pengadilan. Terutama adanya perdamaian antara pelaku dan 49 Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, praktek, Op cit. hlm. 1-15. 50 Indriyanto Seno Adji. KUHAP Dalam Prospektif. (Jakarta; Diadit Media, 2011) hlm. 18-22.
  • 16. korban, perhatian pada adanya pengurangan hukuman, pengakuan bersalah dari terdakwa. Tetapi dalam hal tertentu hakim dapat membatalkan atau menarik putusannya. Terdakwa tidak secara otomatis menjadi saksi mahkota, kesemuanya di bawah kontrol jaksa. Adanya Rights of Victims. Dengan memperkuat hak korban dengan adanya tuntutan perdata yang paralel dengan pidana, untuk menerima ganti rugi. Karenanya RUU KUHAP, menentukan keputusan pidana secara final atas tuntutan perdata yang memiliki paralitas dengan perkara pidana. Pembaruan hukum pidana, merupakan kerja dan usaha yang patut mendapatkan dukungan, karena tumpuan pencari keadilan, masyarakat pada umumnya, berkeinginan tercapainya model pemidanaan, yang mengurangi kebutuhan akan “pembalasan” semata-mata. Tetapi mengembangkan perlindungan masyarakat atas akses keadilan secara meluas, yang tercermin dalam putusan-putusan peradilan pidana. Inilah tersisa kerja para ahli hukum pidana, praktisi dan pergumulan hakim pidana setiap harinya dalam menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum konkrit dalam masyarakat. Epilog Tanpa disadari bahwa pakar hukum di negara-negara yang pernah dijajah, sukar keluar dari ketergantungan –terutama dalam pemikiran hukum, ekonomi, politik dan humanisme– dari pengaruh falsafah pemikiran Barat. Sistem hukum positive di 52 negara bekas koloni Inggeris yang tergabung dalam Commonwealth misalnya, tetap saja dipengaruhi oleh sistem hukum Inggeris, bukan saja rumusan undang-undangya, akan tetapi juga prinsip HAM, pemerintahan yang baik (good-government), kebebasan individual, perdagangan, egalitarianisme, multilateralisme dan demkorasi. Begitu juga negara bekas koloni Belanda – Indonesia- tidak mampu keluar dari pengaruh sistem hukum positive Belanda, mulai dari KUHPerdata, KUHPidana, KUHAP dan perundang-undangan lainnya. Hal yang sama dialami juga oleh negara-negara bekas koloni Perancis yang tergabung dalam ’la languue francaise’; selain bahasa, juga sistem hukum dan demokrasi dipengaruhi oleh sistem hukum positive Perancis; walaupun ada pengecualian terhadap Mauritania yang sejak tahun 1985 telah menetapkan dan memberlakukan hukum Islam sebagai konstitusi negara sejak tahun 1991. Akhirnya, terlepas dari pertimbangan dan alasan apapun juga, falsafah Barat masih berpengaruh dan mendominasi pemikiran hukum positive – terutama negara-negara bekas jajahan kuasa Eropah. Dalam konteks Implikasi Falsafah Barat Terhadap Pemikiran Hukum Positive, agaknya analisis Amr bin Ash51 terhadap Hadits Rasulullah yang berbunyi: ’pada akhir zaman nanti, di negeri Rum (baca: Eropah) itu lebih banyak jumlah orang yang hidup’52 patut menjadi renungan. Penagalaman Amr bin Ash selama menjadi diplomat Islam 51 Amr bin Ash adalah seorang diplomat handal yang pernah dikirim sebagai utusan Rasulullah ke Sirya (pada ketika itu dipimpin oleh Nazasi, di bawah kuasa kerajaan RUM) 52 Hadits shaheh Rasulullah, diriwayatkan oleh Muslim.
  • 17. yang bertugas di Sirya (Rum) semasa Rasulullah memerintah menyimpulkan bahwa, Rum itu ternyata memiliki lima karakter utama: 1. Bangsa yang santun saat berlaku fitnah dan mampu mengendalikan diri 2. Bangsa yang cepat bangkit setelah ditimpa musibah 3. Cepat mengalahkan musuh stelah dikalahkan 4. Masyarakat yang sangat baik mengurus orang fakir miskin dan yatim (kebajikan) 5. Menghalang kejahilan penguasa 6. Bangsa yang mencatat (dokumen) dan menyimpan dengan kemas segala peristiwa buruk dan baik 7. Masyarakat yang pada umumnya sangat berterus terang. (point 6 & 7 adalah temuan saya peribadi selama 18 tahun hidup di Eropah). Akhirnya, untuk membebaskan diri dari pengaruh pemikiran falsafah Barat, tidak mesti kita ditempuh dengan cara mengecam, membelasah dan mengutuknya, akan tetapi kita berani bersaing secara sehat sehat dan profesional untuk melahirkan konsep untuk membangun tamadun masusia yang beradab, hingga tiba masanya orang akan sampai kepada keimpulan bahwa dalam segala aspek, pemikiran dan konsep membangun peradaban manusia, Islam lebih unggul berbanding falsafah Barat.