Dokumen tersebut membahas tentang penegakan hukum oleh hakim dengan pendekatan positivistik yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Dokumen ini menjelaskan latar belakang masalah tersebut dan kerangka teori positivisme hukum serta penegakan hukum. Dibahas pula permasalahan utama yaitu bagaimana penegakan hukum oleh hakim dalam berpikir positivistik terhadap nilai-nilai
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Penegakan Hukum oleh Hakim
1. TEMA :
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU
PENDEKATAN INTERDISIPLINER
JUDUL :
PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM YANG POSITIVISTIK TERHADAP
NILAI-NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT (Suatu tinjauan Sosiologis)
( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum )
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
NIM : 11/322217/PHK/06731
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
GADJAH MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2011
1
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keadaan Indonesia pada masa lalu telah melahirkan berbagai pergulatan
pemikiran, termasuk dalam lingkup hukum dan ilmu hukum. Keadaan masa lalu
tersebut, awalnya muncul dari aliran positivistik yang sangat mempengaruhi
keluarga hukum Eropa-Kontinental, atau yang lebih dikenal dengan sistem civil law,
hingga akhirnya berpengaruh juga pada sistem hukum Indonesia. Civil law
dikembangkan dari hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang
dikodifikasi pada masa Kaisar Yustitianus. Sistem hukum ini berkembang dari
Romawi, terus diikuti oleh Jerman dan selanjutnya Perancis, karena Belanda pernah
menjadi jajahan Perancis pada masa Napoleon Bonaparte maka Belanda pun
memakai sistem hukum ini, akibat kolonialisme Belanda di Indonesia, maka
Indonesia juga penganut sistem hukum civil law.1 Ada usaha dari pemikir hukum
untuk menawarkan gagasan agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui “jalan
buntu.” Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut sebagai
hukum, apabila hukum tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut
konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan.
Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan
secara eksplisit. Didalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung
tindakan - tindakan yang harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum. Pertanyaan
logis yang kemudian muncul adalah, siapakah yang akan melaksanakan semua
tindakan tersebut? Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan, jelas tidak melakukan
semuanya. Dari sinilah masuknya peranan para penegak hukum yang tidak lain
adalah manusia - manusia. Apabila disini dilibatkan tingkah laku manusia, maka
sesungguhnya hanya merupakan kelanjutan saja dari metode yang dipakai. Dalam
perumusannya yang negatif, metode tersebut monolak cara pengkajian hukum yang
didasarkan dengan apa yang tertera secara hitam-putih berupa peraturan hukum.
Metode yang lazim disebut sebagai normatif-dogmatis, bertolak dari keharusan -
1
Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009, hal.31-33
2
3. keharusan yang tercantum dalam peraturan hukum dan menerimanya sebagai
kenyataan.
Namun, dalam kenyataannya pendekatan ini memiliki kelemahan atau
kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara
memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan
hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan
bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum
tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus
ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya
terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.
Sehingga pada praktiknya, hakim di Indonesia umumnya hanya menjadi corong
undang-undang.2 Kebanyakan hakim selalu berpandangan positivisme bahwa apa
yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga
merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup
dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk
perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang
hukum, dalam hal ini adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Sehingga terkadang apa yang menurut hukum adat itu
merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata hal tersebut telah
melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut
harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Penegakan Hukum Oleh Hakim
Dalam Berpikir Positivistik Terhadap Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat?”
2
lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal.52
“Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam
menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan
peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang
(bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat
menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena Montesquieu undang-
undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.”
3
4. C. KERANGKA TEORITIS
1. Positivistime Hukum
Secara embrional positivisme hukum lahir dari rahim positivisme, suatu
paham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di perancis
dengan dua eksponennya yang terkenal, yaitu Henry Saint-Simon (1760-1825) dan
August Comte (1798-1857). Dalam Positivisme hukum-hukum yang berlaku dalam
ilmu pengetahuan alam dirumuskan dengan anggapan bahwa alam dapat
diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dan ruang dan waktu. Positivisme ini
berkembang akibat perjuangan gigih dari August Comte. Comte mengatakan
terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala hidup
bersama, dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebut hukum tiga tahap. Artinya,
tiap-tiap masyarakat mesti melalui tiga tahap itu, pertama, tahap teologis, kedua,
tahap metafisik, dan ketiga, tahap positif. Pada tahap teologis, manusia percaya pada
kekuatan-kekuatan ilahi dibelakang gejala-gejala alam. Sedangkan pada tahap
metafisik ini dimulailah kritik terhadap segala pikiran termasuk teologis. Ide-ide
teologi diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Adapun pada tahap positif
gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu idea alam yang abstrak, tetapi gejala
diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum diantara gejala-gejala
bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan bentuk relasi yang
konstan diantara gejala-gejala tersebut.
Pemikiran positivisme hukum ini kemudian digunakan dalam hukum
sehingga menjelma menjadi aliran positivisme hukum. Aliran ini lahir pada abad ke-
19. Dua eksponen yang utamanya yang terkenal adalah John Austin dan Hans
Kelsen. Austin mengatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah perintah penguasa.
Austin memperkenalkan tiga faham pokok diseputar positivisme hukum; (1)
kekuasaan yang tertinggi yang ada dalam suatu Negara adalah satu-satunya sumber
hukum. Hukum adalah perintah dari suatu politik yang berdaulat dalam suatu
Negara, (2) Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (close
logical system). Sebagai objek kajian, hukum harus dilepaskan dari unsur nilai, dan
(3) Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, tidak bisa dikategorikan hukum
sebagai hukum tetapi moral positif.
4
5. Sementara itu, Kelsen terkenal dengan teori hukum murninya (the pure
theory of law). Klesen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dari hukum
itu sendiri, hukum harus diseragam dalam arti dapat diterapkan pada semua waktu
dan tempat, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir politik dan dipisahkan dari
moral; dengan kata lain hukum harus benar-benar murni dan hukum merupakan
pencerminan dari proposisi yang “seharusnya”. Konsep yang dibangun oleh aliran
positivisme hukum ini menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai
hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu,
setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-
norma yang positif (all law is enacted law), ditegaskan sebagai wujud kesepakatan
kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsikan
sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan,
melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalian normatif harus
dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.3 Dapat dikatakan, aliran
positivisme yuridis menyatakan hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis.
Hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh negara, jika hukum telah dibuat
oleh negara maka rakyat wajib mematuhinya, jika tidak dipatuhi akan menerima
sanksi. Adil atau tidak bukanlah persoalan, relevan atau tidak bukanlah urusan
hukum, yang penting adalah sah atau tidaknya secara yuridis. Hukum bukanlah dasar
dalam kehidupan sosial, bukan pula bersumber dari jiwa bangsa, tapi hukum itu ada
karena bentuk positifnya dari yang berwenang.4 Selain itu, aliran teori hukum murni
berpendapat, bahwa norma memberikan arahan atau ancangan pada manusia dalam
bertindak. Hukum positif merupakan sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap
tindak manusia dalam cara tertentu.5
Disamping itu, dalam konteks positivisme hukum oleh Hart (Dias, 1976)
diartikan antara lain :
1. Hukum adalah perintah;
3
Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai - Nilai
Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal.82-84
4
Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Cet. III,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal.119-121
5
Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet.II, Kencana,
Jakarta, 2008, hal.81
5
6. 2. Keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan yang sudah
ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial,
kebijakan serta moralitas;
3. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan
oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
4. Hukum yang di undangkan/ditetapkan/positum harus dipisahkan dari
hukum yang seharusnya diciptakan/diinginkan.6
Aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu
pelajaran yang menyatakan tiada hukum diluar undang-undang menjadi sumber
hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum identik. Legisme hukum tidak
sama dengan positivisme hukum, karena pada legisme hukum hanya menganggap
undang-undang saja sebagai suatu sumber hukum, sedangkan pada positivisme
hukum tidak hanya membatasi undang-undang saja sebagai sumber hukum, tetapi
juga kebiasaan, adat yang baik, dan pendapat masyarakat. Dalam memutuskan
perkara, ajaran positivisme hukum megutamakan penemuan hukum dan kepastian
hukum. Aliran legisme bersumber pada teori-teori perjanjian Negara seperti yang
dibentangkan oleh Thomas Hobbes, yang menghendaki suatu pemerintahan yang
absolute dan hanya kehendak pemerintah itulah hukum.7
2. Penegakan Hukum
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah
semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum itu mampu bekerja mewujudkan
nilai-nilai moral dalam hukum. Adanya, kegagalan penegakan hukum di era
reformasi karena gagalnya pemerintahan era reformasi tersebut untuk mewujudkan
nilai-nilai hukum tersebut, dapat dikatakan era reformasi hukum masih sangat miskin
implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari
masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan Ufran:
“Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan
nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan dari hukum.
6
Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari positivistik ke
progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009, hal.6
7
Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif, Cet.Pertama,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.29
6
7. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti
keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan
dalam realitas nyata. Eksistensi diakui apabila nilai-nilai moral yang
terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau
tidak”.8
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:
“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya
merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak
secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur
penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara
hukum dan moral”9
Jika kita berbicara tentang penegakan hukum pidana ada beberapa teori yang
menyertainya antara lain :10
1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel,
Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar
keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang
mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu
melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan
itu (pemabalasan).
2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum
bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/tujuan hukuman,
artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin
mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah
kejahatan baik pencegahan umum (algemene crime) maupun
pencegahan khusus (special crime). Selain itu, terdapat paham lain
yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang
melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan
8
Ufran, dalam Kata Pengantar Editor, Rahardjo Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.Vii.
9
Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1983, hal.5
10
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai Pustaka, Jakarta,
1993, hal.97
7
8. daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi
disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative
modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori
ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban
hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi
masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung
larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.
3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah
terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori
mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada
hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-
pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum
itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai
kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum)
yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.”11 Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran
agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga
hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa
berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat
jahat. Penegakan hukum dengan sarana non-penal mempunyai sasaran dan tujuan
untuk kepentingan internalisasi.12
Dalam proses penegakan hukum banyak faktor yang mempengaruhi
bekerjanya hukum. Robert B. Seidman,13 mengemukakan teorinya tentang faktor-
faktor bekerjanya hukum ialah menyatukan tiga kekuatan antara lain, kekuatan
11
Rahardjo Satjipto., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983, hal.24
12
Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hal.142
13
lihat: Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2010, hal.9-10
8
9. pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang-
undang dalam hal ini adalah eksekutif dan kekuatan sosial lain yaitu pemegang peran
atau masyarakat yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum
masyarakat.
3. Hukum Dan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat
Parson mengatakan, bahwa yang disebut norma itu adalah suatu deskripsi
tertulis mengenai suatu rangkaian perbuatan yang konkrit dan yang dipandang
sebagai suatu hal yang diinginkan (desirable). Deskripsi masih dikombinasikan
dengan suatu paksaan untuk mendorong agar perbuatan-perbuatan tertentu
dikemudian hari mencocoki perbuatan yang dikehendaki. Lain hal lagi dengan
Holmans yang mengatakan bahwa suatu norma adalah suatu pernyataan (statement)
yang dibuat oleh anggota suatu kelompok, tidak perlu seluruhnya yang mengatakan
bahwa para anggotanya seyogyanya dalam keadaan tertentu bertingkah laku menurut
cara yang tertentu. Para angota yang membuat pernyataan itu berpendapat bahwa
adalah suatu hal yang memberikan kepuasan (rewarding) apabila perbuatan-
perbuatannya sendiri dan orang lain sampai dengan taraf yang tertentu akan
bersesuaian dengan tingkah laku ideal yang dilukiskan oleh norma bersangkutan.
Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu
pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai menunjuk
pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili
suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual.
Hal yang menarik dikatakan oleh John Finley Scott adalah, bahwa manusia sebagai
makhluk yang bermasyarakat memberikan respons yang sangat kuat terhadap
interaksinya yang sangat kuat terhadap interaksi yang dilakukannya dengan sesama
anggota masyarakat yang lain, sehingga nilai yang olehnya dipandang sebagai paling
kuat lazimnya bersifat sosial pula. Dalam hubungan ini maka dengan perkataan lain
hendak dikatakan, bahwa norma-norma itu sekaligus nilai-nilai yang baginya terkuat.
Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai suatu usaha mencapai tujuan
tertentu (purposeful enterprise). Oleh karena tekanan disini adalah pada usaha, maka
dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut
9
10. tergantung pada energi, wawasan (insight), intelegensia dan kejujuran
(conscientiousness) dari mereka yang harus menjalankan hukum itu.
Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai-
nilai yang intrinsik, sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem yang
intrinsik. Kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya
(Gestal visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya
intrinsik ada pada hukum. Apa yang nantinya diwujudkan sebagai hukum didalam
masyarakat yang bersangkutan tergantung dari titik tolak pandangannya mengenai
apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai itu. Didalam pembicaraan mengenai
hukum, maka nilai-nilai tersebut berkembang menjadi antara hukum dan moral. Oleh
Schuyt moral itu dibedakan didalam formal dan material.
Philip Selznick di dalam bukunya Law, Society, and Industrial Justice, yang
berpendapat bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan
nilai-nilai tertentu. Selznick mengatakan, bahwa dewasa ini dapat dikenali konflik
antara dua pandangan dalam hukum, yang pertama melihat hukum sebagai sesuatu
yang harus diterima begitu saja; sedangkan yang kedua, yang berpandangan
idealistis berpendapat, bahwa hukum itu mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan
moral. Pandangan yang pertama juga disebut sebagai fungsional dan melihat hukum
sebagai sarana untuk menyelesaikan problem-problem praktis. Berlainan dengan itu
maka pandangan idealis menggantungi hukum dengan harapan dan janji.14
14
Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal. 76-80
10
11. BAB II
PEMBAHASAN
A. POSITIVISME PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM
Supremasi hukum merupakan titik tolak penegakan hukum positif, maka
hukum adalah di atas segala-galanya. Berdasarkan cirinya yang dibuat oleh
legislatif, maka hukum positif merupakan produk politik, karena lagislatif lahir dari
proses politik. Sebagai produk politik, maka hukum amat kental dengan
kepentingan, rasanya pandangan equality before the law akan sulit diterapkan, sebab
logika politik adalah harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya
hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukumpun akan
mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri.15 Untuk itu, hakim adalah
figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut untuk membangun
kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan
spiritual, jika kecerdasan intelektual, emosional, dan moral spiritual terbangun dan
tepelihara dengan baik bukan hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri,
tetapi juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan
hukum.16 Maka, hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori
hukum dan filsafat hukum serta hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara
normatif saja, oleh sebab itu hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara
lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan dan harus mampu melihat hal-hal
yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, serta pemikiran-pemikiran
apa yang ada dalam ketentuan itu, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran yang
ada dalam masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai hasil perubahan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
15
lihat: Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003,
hal.232-234
16
Kamil Ahmad., Pedoman Perilaku Hakim Dalam Perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum,
suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008, hal.38
11
12. dan kemudian di ubah lagi dalam UU No.48 Tahun 2009, dengan jelas dan tegas
termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa:
"Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat".
Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi,
agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada tetapi masih
harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan.
Scholten mengatakan bahwa didalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat
hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat
atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau
menemukannya.17Tersirat secara yuridis maupun filosofis, bahwa hakim mempunyai
kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar
putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dalam semua lingkungan peradilan dan
dalam semua tingkatan.
Montesquieu menyatakan, ada tiga bentuk negara dan pada setiap negara
terdapat penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk negaranya.
Dalam ètat despotique yang tidak ada undang-undang. Disini hakim dalam
mengadili setiap peristiwa individual didasarkan atas apresiasi pribadinya secara
arbitrer sehingga terjadi penemuan hukum secara “otonom mutlak”. Sedangkan di
dalam negara ètat republicain, terdapat penemuan hukum yang heteronom: di mana
hakim menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam ètat
monarchique, meskipun hakim berperan sebagai corong undang-undang, tetapi dapat
menafsirkan dengan mencari jiwanya. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang
bersifat heteronom dan otonom. Di Indonesia mengenal penemuan hukum
heteronom dan otonom18 sehingga karenanya apabila dihadapkan suatu kasus sesulit
apapun hakim wajib menemukan hukumnya, baik melalui terobosan hukum (contra
legem), atau melalui konstruksi hukum (rechts construksi), baik dengan cara
menafsirkan hukum yang sudah ada maupun dengan cara menggali nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Peranan hakim disini lebih bersifat otonom. Agar putusan
17
Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal.61
18
Ibid. hal.56-59
12
13. yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis maupun secara
moral, maka dalam menghadapi fakta konkrit, hakim harus mampu menemukan
hukumnya melalui interpretasi.
Selanjutnya, Pasal 10 UU No.48 Tahun 2009, menyatakan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Ketentuan Pasal tersebut diatas mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila
terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya,
maka hakim harus bertindak atas inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang
merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapt
membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.
Selanjutnya, ketentuan Pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai
organ utama dalam suatu penagdilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
yang dianggap memahami hukum, untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu
perkara, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan
hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan suatu
perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari ketentuan
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 10 Undang-
Undang No.48 Tahun 2009), yaitu :
1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang akan
diajukan ke pengadilan akan diputus.
2. Untuk mendorong hakim melakukan penemuan hukum.
3. Sebagai perlambang kebebasan hakim dalam memutus perkara.
4. Sebagai perlambang hakim tidak selalu harus terikat secara harafiah
pada peraturan perundang-undangan yang ada. Hakim dapat
mempergunakan berbagai cara untuk mewujudkan peradilan yang
benar dan adil.19
19
Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.26-27
13
14. Menurut Roscoe Pound, ada beberapa langkah yang biasa dilakukan oleh
seorang hakim pada saat mengadili suatu perkara di pengadilan, yaitu menemukan
hukum, menafsirkan hukum, dan menerapkan hukum.20
Dalam hal peraturannya tidak ada atau tidak lengkap maka tersedialah
metode argumentasi, sebagai berikut :21
a) Argumentum per analogiam
Mengambil kesimpulan secara analogi terhadap Pasal, meskipun tidak
memenuhi unsur-unsur pada Pasal tersebut. contohnya : Pasal 1756 BW
mengatur tentang mata uang. Apakah uang kertas termasuk di
dalamnya? dengan jalan analogi maka “mata uang” menurut Pasal 1756
BW ayat 2 ditafsirkan termasuk uang kertas.
b) Argumentum ά contrario
Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang
mirip tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku yang sebaliknya.
contoh : jika seorang janda harus menunggu masa iddah untuk menikah
lagi, meskipun terhadap duda tidak aturannya seperti itu, maka bisa
digunakan untuk ditafsirkan sama.
Untuk itu, dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti
pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan
yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan
untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk
mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam
menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game)
untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan
progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya
ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.
Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan
20
Ibid, hal.8
21
Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan, Teori Hukum, Universitas Gadjah Mada,
2011., lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal. 84-90
14
15. sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari
kebenaran.22
Adanya, terjadi suatu kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan
melalui hukum modern yang disebabkan oleh permainan prosedur itu, sehingga
menimbulkan pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau
kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur
(heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas
segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem
seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.23 Salah satu penyebab
kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab
kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai
analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang
senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun
pada peristiwa hukumnya.24 Sehingga, hukum hanya dipahami dalam artian yang
sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai
diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Mengenai kekakuan prosedural legalistik hukum positif, Lawrence M.
Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan
hukuman atau imbalan, masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh
subjek hidup masyarakat.25 Salah penilaian jika menganggap hukum adalah segala-
galanya, manusia yang menjadi subjek hukum bukanlah mesin, tapi makhluk sosial
yang memiliki ide dan nilai sendiri. Di samping itu, manusia bukanlah sesuatu yang
statis, tapi makhluk yang dinamis, bisa saja sanksi yang aka dijatuhkan oleh hukum
diarahkan pada hal tertentu.26 Hukum formal legalis yang prosedural biasanya
mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada prakteknya hukum formal
sulit memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya
22
Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal.276
23
Ibid, hal.272
24
Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009, hal.219
25
Friedman Lawrence M.., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,, Cet. III, Nusa
Media Bandung, 2009, hal.139
26
Ibid.hal.140
15
16. akan lebih diperhatikan.27 Pemberlakuan hukum dengan karakter informal yang lebih
luas, dengan mengedepankan pemenuhan fungsi hukum sebagai sumber keadilan,
maka hukum akan berfungsi sebagaimana mestinya. Terhadap hal tersebut,
penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan
kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan
menimbulkan anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah
ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi
keadilan yang diinginkan oleh seseorang sebenarnya adalah keadilan yang substantif,
bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di dalam undang-undang saja. Hukum
bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin menegakkan keadilan
demi kebahagiaan manusia.28
Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan
prosedur, sering disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar
menawar hukum otonom. Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan
substantif kepada pihak lain, sebagai gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk
menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat untk mendapatkan akses ke dan
cara berpartisipasi dalam proses hukum.29 Dengan kekuasaan ini, pengadilan dapat
mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus
melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum. Pemahaman
tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini banyak
mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia.
Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil
hanyalah cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia.
Hukum tidak saja diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada
keberhasilan untuk mencapai tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada
efisiensi.30
27
Lihat : Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal.264-
265
28
Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum.., Op.cit.hal.10
29
Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung
2008, hal.74
30
Rahardjo Satjipto., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media Nusantara,
Jakarta, 2006, hal.194
16
17. B. PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP NILAI - NILAI
BUDAYA MASYARAKAT
Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin
kehendak bersama para anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu
perbuatan hukum serta cermin dari rasa keadilan mereka. Sebuah fakta yang tidak
terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat pencari keadilan
melalui lembaga peradilan di negeri ini merasa kecewa, karena seringnya keadilan
dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan masyarakat yang mempunyai strata
sosial yang tinggi, dan akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah
fatamorgana bagi masyarakat pencari keadilan. Masyarakat sudah bosan dan lelah
menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini.
Sudah banyak isu-isu miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik
itu polisi, jaksa, hakim maupun pengacara/advokat, lembaga legislatif (DPR), dan
lembaga eksekutif (pemerintah). Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah
disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor
penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliyunan rupiah dibebaskan oleh
pengadilan. Bahkan masyarakat awampun dapat menyaksikan bahwa orang miskin
akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit
akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Hal ini dikarenakan penegakan hukum
baik dari substantif maupun proseduralnya bermuara dengan kepastian hukum dan
sebagai hasil perebutan kekuasaan belaka.31
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat
dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus
dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit
dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah
menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan
tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan
dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi. Akibatnya,
tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak hukum. Dapat juga
31
Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Cet.IV, Nusa
Media, Bandung, 2010, hal.106
17
18. terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang meewajibkan
rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu.
Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat.
Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum
tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu.
Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah
yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak hukum harus
menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak
hukum menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hukum
mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.32
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga
peradilan adalah tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak
berkembang menjadi konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4
(empat) prasyarat :33
1) Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan
memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki;
2) Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga
yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak
korup dan nilai-nilai utama lainnya;
3) Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia;
4) Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-
benar memperoleh perlindungan hukum.
Untuk itu, dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem
peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan yang dapat dirinci
sebagai berikut :
1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;
2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal;
3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak
senantiasa bersih);
32
Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.25
33
Rahardjo Satjipto., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hal.107
18
19. 4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai;
5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.34
Selanjutnya, hakim disini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari
pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu
didalam menjalankan peranannya itu merupakan :
1. Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat;
2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi); dan
3. Sasaran lingkungan pada waktu itu.35
Sosialisasi hakim para disini terutama dikaitkan dengan pendidikan yang
diperolehnya untuk mencapai keahlian sebagai sarjana hukum. Pendidikan sebagai
suatu unsur dalam proses sosialisasi seorang hakim akan menentukan kerangka
berpikir dan mengambil keputusan. Konsep-konsep tentang hukum, asas-asas dalam
hukum, metode berpikir dan sebagainya merupakan kekayaan yang tersimpan
didalam diri seorang hakim dan merupakan kerangka berpikirnya sebagaimana
disebutkan diatas.36 Untuk melengkapi perbedaan hukum dalam ungkapan formalnya
dengan kenyataan yang dijalankan sehari-hari, sekedar dilihat dari sudut
organisasinya, disini akan di tambahkan pula pendapat Schuyt, yang
menghubungkan bekerjanya hukum melalui organ-organ pelaksananya, tetapi atas
dasar yang lebih umum. Menurut Schuyt tujuan hukum yang kemudian harus
diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur
sifatnya. Ia menunjuk pada nilai-nilai : keadilan, keserasian (doelmatigheid) dan
kepastian hukum sebagai tujuan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari.37
Terkait dengan hal tersebut diatas maka idealnya suatu putusan hakim,
menurut Radbruch (Radbruch, 1946:30) ialah mengandung 3 (tiga) unsur “Idee des
Rechts”:
34
Barimbing R.E.., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum,
Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal.2
35
Ibid .hal.58
36
Ibid. hal.59
37
Ibid, hal.75
19
20. 1) Keadilan (gerechtigkeid)
2) Kemanfaatan (zweckmassigkeit); dan
3) Kepastian hukum (rechtssicherheit) secara prorposional.
Jadi, suatu putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang
bersangkutan maupun bagi masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya. Namun,
pada praktiknya, dapat dikatakan tidak mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee des
Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau
konflik antara ketiga unsur itu. Bagaimana cara seorang hakim dapat mengatasi
“konflik” atau “tarik-menarik” antara gerechtigkeid, zweckmassigkeit, dan
rechtssicherheit dalam mengadili sebuah perkara merupakan sebuah seni atau kiat
sendiri. Bagaimanakah menjatuhkan putusan yang adil, tetapi tidak menyimpang dari
peraturan hukum, atau bagaimanakah menjatuhkan putusan dengan mentaati
peraturan hukum, tetapi tidak mengorbankan keadilan? Hakim harus mengusahakan
adanya keseimbangan antara tiga (3) unsur Idee des Rechts secara proposional dalam
suatu putusan.38
Terhadap praktiknya ketidakmungkinan menghadirkan ketiga unsur Idee des
Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan tersebut diatas, hakim dalam
memutuskan suatu perkara cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum saja,
dimana hakim lebih memilih mempertahankan norma-norma secara tertulis yang ada
dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum
positif, dengan cara menggunakan pendekatan legalitas/yuridis normatif. Jika hal ini
dipertahankan maka hakim akan mengalami kebuntuan dalam berfikir, karena sulit
untuk menemukan Pasal apa yang akan diterapkan (dikarenakan peraturan itu tidak
lengkap atau tidak ada) terhadap perkara itu. Padahal, telah dengan jelas dan tegas
dinyatakan dalam dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa: "Hakim dan hakim kosntitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Kenyataan yang ada, hakim “sulit” melaksanakan ketentuan tersebut. Untuk itu, jika
masyarakat diperhadapkan dengan persoalan hukum, serta dalam hal hakim
melakukan pendekatan-pendekatan berupa metode penemuan hukum dalam
menyelesaikan suatu perkara hukum, hakim juga seharusnya lebih memperhatikan
38
Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, hal.23
20
21. nilai-nilai yang masih diakui, dianut, dipercaya dan dijalankan dalam kehidupan
masyarakat (sesuai juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009),
artinya penegakan hukum oleh hakim, tidak hanya sekedar penegakan hukum
berdasarkan Pasal-Pasal/teks dalam undang-undang, karena hukum harus dapat
dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, dan
dengan hati nurani, sebab hanya dengan cara itu, maka masyarakat akan merasakan
hukum itu adil dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut, serta
memberikan kemanfaatan dari hukum yang diciptakan untuk manusia.
Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan
memutuskan suatu perkara berada (bergerak) diantara 2 (dua) titik pembatas dalam
garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau kepastian hukum,
sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat hakim
menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum,
maka secara otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau
haik menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara
otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-
batas kebebasan hakim. Dimana hakim hanya dapat bergerak diantara 2(dua) titik
pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan
menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus
berada di dekat titik keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.
Menurut konsep pertanggungjawaban dalam administrasi Negara, dimana dikatakan
walaupun administrasi Negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijakan-
kebijakan, tetapi sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara
moral maupun hukum.39
Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum40maka hakim
berdasarkan Freies Ermessen-nya (kebebasannya) dapat memilih keadilan dengan
mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
umum atau Negara. Disini hakim harus lebih mengutamakan kepentingan pihak yang
bersangkutan dari pada kepastian hukum tetapi tidak bertentangan dengan
39
Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.132-133
40
Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Op.cit. hal.24
21
22. kesusilaan, kepentingan umum atau Negara. Pemikiran ini dikenal sebagai problem
oriented thinking. Hakim pada dasarnya tidak boleh melanggar undang-undang,
tidak boleh melanggar sistem, harus berpikir system oriented. Berdasarkan
kebebasannya (freies ermessen) hakim harus berani memutuskan secara adil,
walaupun itu bertentangan dengan kepastian hukum atau undang-undang. Ada suatu
ungkapan yang berbunyi : summum ius summum injuria, yang berarti : makin
lengkap , rinci atau lengkap peraturan hukumnya maka keadilannya makin terdesak
atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum. Bunyi
irah-irah atau titel eksekutarial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sebagai contoh kasus, penulis mengambilnya dari studi dominasi Negara
dalam semua peyelesaian sengketa pidana dan konstruksi penyelesaian perkara carok
berdasarkan nilai - nilai budaya masyarakat Madura, dimana ketidakmampuan
hukum Negara untuk menyelesaikan perkara carok, tidak satupun yang memandang
carok sebagai perbuatan yang penuh dengan makna dan memiliki kaitan yang sangat
erat dengan pembelaan terhadap kehormatan diri, keturunan dan agama orang
Madura. Pengadilan Negara memandang carok sebagai persolan hitam putih yang
sama dengan kejahatan - kejahatan lain.
Hal ini terlihat dari perkara carok dimana hakim menjatuhkan pidana penjara
selama 4 bulan 15 hari kepada Juma’atun P. Anik karena telah membacok Saniwi P.
Hasad dengan menggunakan celurit karena telah mengganggu atau berselingkuh
dengan istrinya, Astutik. Dalam putusan ini, hakim sama sekali tidak membuktikan
unsur-unsur Pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Demikian juga dengan
perkara, dengan terdakwa Abd. Rofik yang membacok tubuh Suro karena diketahui
akan menggauli istrinya yang sedang tidur. Putusan hakim dalam perkara ini tidak
didasarkan pada terbuktinya unsur - unsur delik dalam rumusan Pasal yang di
dakwakan, tapi hanya berdasarkan keterangan saksi - saksi dan terdakwa
dipersidangan. Sedangkan unsur-unsur delik tidak disebutkan dan diuraikan satu
persatu didalam putusan.41
41
Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.76
22
23. Terhadap perkara carok yang disebabkan oleh pelecehan eksistensi diri
dengan cara menantang carok, dalam putusan terdakwa Badri dan Atmoyo, warga
Desa Kadur, Pamekasan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan:
“Dari keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan keterangan
terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti yang ada dimana satu
dengan lainnya saling berhubungan, maka Majelis Hakim sependapat
dengan Penuntut Umum yang menyatakan perbuatan terdakwa telah
terbukti memenuhi unsur-unsur dari dakwaan subsidair, sehingga
Majelis Hakim berkeyakinan terdakwa telah terbukti secara sah
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
dakwaan tersebut.”
Sayangnya, hakim tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa
menyetujui pendapat Penuntut Umum dalam tuntutannya. Dengan kata lain hakim
memindahkan argumen Penuntut Umum ke dalam pertimbangannya.42
Dengan menjadikan Pasal yang didakwakan sebagai pedoman untuk
memutus bersalah tidaknya pelaku. terjadinya reduksi cerita yang tidak sesuai
dengan komponen Pasal tersebut tidak dielakkan. Reduksi inilah yang merupakan
ciri positivisme hukum. Hakim mereduksi makna carok dengan memandangnya
sebagai pembunuhan pada umumnya. Hakim tidak melihat bahwa carok merupakan
pembelaan harga diri masyarakat Madura dalam rangka membela kehormatan diri,
keturunan dan agama mereka. Setiap pembunuhan dan penganiayaan yang
meyebabkan matinya orang, apapun bentuk dan motifnya, tetaplah pembunuhan.
Pembunuhan yang disebabkan oleh balas dendam kematian anggota keluarga,
isstrinya diganggu, dan pelecehan harga diri direduksi maknanya sebagai
pembunuhan biasa. Oleh karenanya, Pasal 338, Pasal 340 dan Pasal 351 ayat (3)
KUHP sangat layak dijadikan dasar untuk memidana pelaku. hakim akan membuang
cerita yang tidak sesuai dengan Pasal yang didakwakan. Makna dan nilai-nilai
budaya Madura tentang pembelaan kehormatan diri, keturunan dan agama tidak akan
dijadikan sebagai pertimbangan oleh hakim, karena hal itu jelas tidak cocok dengan
komponen Pasal pembunuhan baik biasa maupun yang direncanakan.
Pada akhirnya, peraturan-peraturan hukum yang merupakan tumpuan
konsepsi hukum prosedural itu hanya akan menunjukkan bagan-bagan bagi
42
Ibid. hal.79
23
24. penyelesaian sengketa-sengketa tersebut. Tetapi ia tidak menjawab bagaimana rakyat
itu menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi diantara mereka; tentang jenis-
jenis subyek yang dapat dipercaya untuk menangani penyelesaian itu serta macam-
macam penyelesaian yang bagaimana saja yang dipakai disitu, seperti misalnya
apakah mediasi, kompromi atau lainnya lagi. semua yang disebut terakhir ini
bukannya hubungan-hubungan yang dilafalkan didalam bagan-bagan tersebut,
melainkan tingkah laku atau hubungan-hubungan yang nyata terjadi dan dibiasakan
didalam masyarakat serta didukung oleh nilai-nilai yang dihayati oleh anggota
masyarakat.43
Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa setiap perumusan adalah penegasan
atau pencitraan tentang suatu hal (to define, definition). pencitraan adalah pembuatan
konsep. Dalam pembuatan konsep tersebut selalu dimulai dengan pembatasan atau
pembedaan antara yang dirumuskan dan yang tidak atau yang berada diluarnya.
Dengan adanya perumusan tertulis oleh hukum tentang pembunuhan, maka orang
menjadi tahu perbuatan mana yang bukan pembunuhan. oleh karena perumusan itu
bekerja dengan cara membatasi seperti itu, maka timbul resiko besar akan
ketidaktepatan perumusan. Tidak salah kiranya jika dikatakan bahwa perumusan
suatu teks hukum merupakan wilayah kebahasaan, dan demikian telah memasuki
suatu permainan bahasa (language game). Permainan bahasa ini akhirnya
menimbulkan reduksionis dan sakralitas teks. Hakim kemudian menjadikan teks
sebagai suatu yang otonom, dalam arti semua keterangan saksi-saksi dan terdakwa
harus disesuaikan dengan Pasal yang dijadikan pedoman hakim. Disini keberadaan
nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan dan tidak berpengaruh terhadap putusan yang
dijatuhhkan oleh hakim. Eksistensi hakim, para saksi, dan terdakwa tidak boleh
memberikan pengaruh terhadap makna yang terkandung dalam Pasal tersebut. Sebab
teks (hukum) independen sifatnya, sehingga eksistensinya objektif dari sejumlah
kritik dan kerangka kerja hermeneutis pembaca. Oleh karena itu, interpretasi yang
benar adalah yang sesuai dengan kenyataan otonomi teks.44
43
Satjipto Rahardjo., Hukum Dan.., Op.cit.hal.82
44
Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.80-82
24
25. C. PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF YANG BERKEADILAN
Kemunculan hukum yang progresif, tidak dapat pula dipisahkan dari
munculnya aliran Critical Legal Study (CLS) di Amerika Serikat pada tahun 1977,
dimana jika diteliti lebih dekat, mengandung substansi kritik atas kemapanan akan
aliran dalam hukum liberal yang bersifat formalistik dan prosedural, serta juga rasa
ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
CLS langsung menutup jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu
sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal. CLS lahir dari
bentuk pembangkangan terhadap realitas sosial tentang ketidakadilan yang memang
merisaukan para ahli hukum saat ini. Hukum positif telah memperlihatkan dirinya
tidak berdaya dan telah digunakan hanya sekedar sebagai suatu alat penindas atau
pemanis belaka. Oleh karena itu, para penganut CLS berusaha keluar dari doktrin-
doktrin yang sudah usang untuk segera masuk kedalam suatu tatanan hukum yang
lebih baik sesuai dengan perkembangan masyarakat yang damai, tidak rasialis, tidak
genderis, dan tidak korup. Pemikiran CLS tersebut, setidaknya telah mengilhami
beberapa ahli hukum di Indonesia, sehingga sedikit banyak pemikirannya
dipengaruhi oleh gerakan ini. Sebut saja, Prof. Satjipto Rahardjo yang menggagas
bentuk pemikiran yang dinamakannya hukum progresif dengan dilatarbelakangi oleh
keprihatinan akan lemahnya law enforcement di Indonesia dewasa ini, yang
selanjutnya pemikiran tersebut berkembang dan mengilhami banyak kalangan
hukum lainnya di negeri ini.45
Kata progresif itu sendiri berasal dari progress yang berarti adalah kemajuan.
Jadi, disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan
zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serata
mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari
sumber daya penegak hukum itu sendiri.46Dasar filosofi dari hukum progresif adalah
suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
sejahtera dan membuat manusia bahagia.47 Selain itu juga, hukum progresif menolak
segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak,
45
Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.43
46
Ibid. hal.44
47
Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya
Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hal.31
25
26. sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam
proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini
dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
“Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang
mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya
untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang
demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi.
Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan
mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih
baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-
faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-
lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as
a process, law in the making).”48
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak,
berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan
mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam
ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final,
melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu
melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima
hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai
solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk
memenuhi kepentingan kepastian hukum.
Selanjutnya, Satjipto Rahardjo mengatakan:
…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan
kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan
perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya
dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri
dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya
kebahagiaan manusia.49
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang
mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut
sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep
48
Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hal.72
49
Rahardjo Satjipto.,Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix
26
27. keadilan yang telah disepakati bersama.50 Merumuskan konsep keadilan progresif
ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan
prosedur. Akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap
aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara
pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif
bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern
disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah
pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?.” Proses pengadilan dinegara
yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur
dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi
(accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials
without truth.51 Habermas mengemukakan bahwa satu aturan tentang nilai-nilai
hidup tidak mungkin dapat ditetapkan pada suatu masyarakat yang plural tanpa
suatu konsensus. Pandangan deontologist ini menempatkan keadilan sebagai nilai
utama yang tertinggi yang disebut the primacy of justice. Maka hukum progresif
dalam pengembaraannya mencari keadilan substansial tidak hanya mendasarkan diri
pada satu tatanan nilai tertentu, tetapi pada suatu komunikasi dan transformasi dari
semua aspek nilai yang plural dan bersifat holistis.52
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan
hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the
letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual,
melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang
biasa dilakukan.53 Oleh karena itu, hukum progresif tercermin dalam apa yang
menjadi karekteristiknya, yaitu pertama, bahwa “hukum untuk manusia”, kedua,
bahwa “hukum menolak untuk mempertahankan status quo”, dan yang terakhir
50
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 270
51
Ibid, hal. 272
52
Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru .., Op.cit.hal.103
53
Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.xiii
27
28. “hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia
dalam berhukum”.54 Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya
dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang
mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak
cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi
KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan
sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut
(metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.55
Berdasarkan karakteristik hukum progresif tersebut diatas, maka menurut
pendapat Achmad Rifai,56 bahwa karakteristik penemuan hukum progresif adalah :
1) Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri
dengan dibimbing oleh pandangan atau pemikirannya secara mandiri,
dengan berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk
mengabdi kepada manusia;
2) Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum,
kebenaran dan keadilan, serta juga etika dan moralitas;
3) Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam
kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu
masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi
serta keadaan masyarakat.
Selanjutnya, dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum
progresif diatas, maka Achmad Rifai57 berpendapat bahwa metode penemuan hukum
yang sesuai adalah sebagai berikut :
1. Metode hukum yang bersifat visioner, dengan melihat permasalahan
hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang kedepan dengan
melihat case by case.
54
Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru;.., Op.cit.hal.143
55
Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju
Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm.70
56
Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.48
57
Ibid. hal.93
28
29. 2. Metode hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule
breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap
berpedoman pada hukum dan kebenaran, dan keadilan serta memihak
dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya.
3. Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat dan dapat juga membawa bangsa dan
Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti
saat ini.
Oleh karena itu, hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa
pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang,
melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari
cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan
pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut
fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana
hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.58 Oleh karena itu, dengan
menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor
manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion
(perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung
jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad). Sebagaimana
Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim
yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan
yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-
undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita
untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.59 Mengutamakan
faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti
melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari arah legalistik-positivistik
ke arah kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu)
dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai
tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan
kepada siapapun.
58
Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 276
59
Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif;.., Op.cit.hal.74
29
30. Berdasarkan hal tersebut, menurut Achmad Rifai60 putusan hakim yang
sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah :
1) Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni
hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi)
meskipun memang seharusnya hakim selalu harus legalistik karena
putusannya tetap pada peraturan perundang-udangan yang berlaku;
2) Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau
sekedar hanya memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus
befungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun
harmonisasi sosial dalam pergaulan;
3) Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner),
yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan
hukum (rule breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang-
undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan,
peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, maka hakim bebas dan bebas melakukan tindakan contra
legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal
undang-undang yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai
kebenaran dan keadilan;
4) Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan
bangsa dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa
dan Negara keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.
Dapat dikatakan bahwa hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan
“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum
yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih
mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan
penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu
melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. Satjipto Rahardjo
memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim
60
Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;,Op.cit. hal.137-138
30
31. Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir
korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung
Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan
tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter.
Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin
Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak
pada Tempo.61
Paradigma “pembebasan” yang dimaksud diatas bukan berarti menjurus
kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada
“logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan
“logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas.
Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali
“paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif bahwa
“hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum progresif
merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang
tepat untuk mewujudkannya.
61
Ibid, hal.75
31
32. BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
Bahwa penegakan hukum itu terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai
rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh sebab itu, hakim sebagai
penegak hukum senantiasa harus memperhatikan dan mengikuti dinamika
masyarakat, sebab dalam kenyataannya hukum yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan sering tidak mampu menjangkau kebutuhan yang ada.
Bahwa nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat mewujud dalam bentuk
hukum, yaitu hukum yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua
permasalahan yang ada ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis
berpendapat bahwa hukum adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk itu hukum
harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Penegakan hukum oleh hakim tidak sama dengan penegakan undang-undang,
yang hanya sekedar sebagai corong undang-undang. Keberanian hakim untuk
melakukan terobosan hukum baru (rule breaking), ialah dengan menempatkan nilai-
nilai dan rasa keadilan masyarakat sebagai kekuatan “pembebasan” yang dapat
memberi jalan keluar terhadap kebuntuan dari pendekatan legalitas formal. Oleh
karena itu, filosofi hukum progresif adalah hukum untuk manusia, dan bukan
sebaliknya, dan juga hukum itu bukan hanya bangunan peraturan belaka, melainkan
juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita, serta dengan tujuan mencapai kesejahteraan
dan membahagiakan Manusia.
32
33. B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran yang
dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa dalam hal peran hakim dalam penegakan hukum, maka hukum harus
dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar relijiusnya,
sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan
nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak sesuai dengan
nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah
sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi), dan
bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap
aturan hukum itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya.
Bahwa penegakan hukum oleh hakim sedapat mungkin menghadirkan ketiga
unsur Idee des Rechts, yang tidak sekedar memutuskan suatu perkara cenderung
lebih menekankan pada kepastian hukum, dengan mempertahankan norma-norma
secara tertulis yang ada dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang
berlaku sebagai hukum positif. Jika hal ini dipertahankan maka hakim akan
mengalami kebuntuan dalam berfikir, Oleh sebab itu putusan hakim harus
didasarkan kepada suatu keyakinan yang jernih berdasarkan suara hati nurani,
dengan pertimbangan senantiasa harus memperhatikan aspek filosofis maupun
sosiologis agar putusannya menyentuh rasa keadilan masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum, dalam hal memeriksa, mengadili suatu
perkara, apabila mengalami kebuntuan berpikir secara positivistik, maka hakim
harus berani mengadirkan hukum progresif yang menempatkan diri sebagai kekuatan
“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum
yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih
mengutamakan “tujuan” dari pada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan
penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu
melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking” dengan pertimbangan
kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
33
34. DAFTAR PUSTAKA
Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok
Berdasarkan Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-
Indonesia, Yogyakarta, 2009
Barimbing R.E., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan
Supremasi Hukum, Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001
Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum,
Cet.II, Kencana, Jakarta, 2008
Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan., Teori Hukum,
Universitas Gadjah Mada, 2011
Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Friedman Lawrence M., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,,
Cet. III, Nusa Media Bandung, 2009
Kamil Ahmad., Pedoman perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika, Dalam
Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008
Kansil C.S.T., Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai
Pustaka, Jakarta, 1993
Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari
positivistik ke progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009
Kusumaatmaja Mochtar., Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis
Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M.,
Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Alumni, Bandung, 1999
Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik
Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama
LSHP, Yogyakarta, 2009
34
35. Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta
2003
Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009
Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas
Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2011
Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa
Media, Bandung 2008
Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980
______________., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983
______________., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986
______________., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2006
______________., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media
Nusantara, Jakarta, 2006
______________., Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007
______________., Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Cet.I, Genta
Pubishing, Yogyakarta, 2009
Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif,
Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in
Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone,
Jakarta, 2006
35
36. Soekanto Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1983
Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004
Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Waktu, Cet. III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern,
Cet.IV, Nusa Media, Bandung, 2010
Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009
Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2010
Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009
36