SlideShare a Scribd company logo
1 of 36
TEMA :

 KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU
                 PENDEKATAN INTERDISIPLINER

                              JUDUL :

PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM YANG POSITIVISTIK TERHADAP
NILAI-NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT (Suatu tinjauan Sosiologis)

     ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum )




                               Oleh :

                  FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.

                     NIM : 11/322217/PHK/06731




  PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
                  GADJAH MADA YOGYAKARTA

                        MAGISTER HUKUM

                                2011


                                                                   1
BAB I

                                       PENDAHULUAN




A. LATAR BELAKANG

          Keadaan Indonesia pada masa lalu telah melahirkan berbagai pergulatan
pemikiran, termasuk dalam lingkup hukum dan ilmu hukum. Keadaan masa lalu
tersebut, awalnya muncul dari aliran positivistik yang sangat mempengaruhi
keluarga hukum Eropa-Kontinental, atau yang lebih dikenal dengan sistem civil law,
hingga akhirnya berpengaruh juga pada sistem hukum Indonesia. Civil law
dikembangkan dari hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang
dikodifikasi pada masa Kaisar Yustitianus. Sistem hukum ini berkembang dari
Romawi, terus diikuti oleh Jerman dan selanjutnya Perancis, karena Belanda pernah
menjadi jajahan Perancis pada masa Napoleon Bonaparte maka Belanda pun
memakai sistem hukum ini, akibat kolonialisme Belanda di Indonesia, maka
Indonesia juga penganut sistem hukum civil law.1 Ada usaha dari pemikir hukum
untuk menawarkan gagasan agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui “jalan
buntu.” Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut sebagai
hukum, apabila hukum tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut
konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan.
Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan
secara eksplisit. Didalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung
tindakan - tindakan yang harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum. Pertanyaan
logis yang kemudian muncul adalah, siapakah yang akan melaksanakan semua
tindakan tersebut? Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan, jelas tidak melakukan
semuanya. Dari sinilah masuknya peranan para penegak hukum yang tidak lain
adalah manusia - manusia. Apabila disini dilibatkan tingkah laku manusia, maka
sesungguhnya hanya merupakan kelanjutan saja dari metode yang dipakai. Dalam
perumusannya yang negatif, metode tersebut monolak cara pengkajian hukum yang
didasarkan dengan apa yang tertera secara hitam-putih berupa peraturan hukum.
Metode yang lazim disebut sebagai normatif-dogmatis, bertolak dari keharusan -

1
    Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009, hal.31-33

                                                                                          2
keharusan yang tercantum dalam peraturan hukum dan menerimanya sebagai
kenyataan.

        Namun, dalam kenyataannya pendekatan ini memiliki kelemahan atau
kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara
memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan
hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan
bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum
tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus
ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya
terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.
Sehingga pada praktiknya, hakim di Indonesia umumnya hanya menjadi corong
undang-undang.2 Kebanyakan hakim selalu berpandangan positivisme bahwa apa
yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga
merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup
dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk
perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang
hukum, dalam hal ini adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Sehingga terkadang apa yang menurut hukum adat itu
merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata hal tersebut telah
melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut
harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.

B. PERUMUSAN MASALAH

        Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Penegakan Hukum Oleh Hakim
Dalam Berpikir Positivistik Terhadap Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat?”


2
  lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal.52
 “Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam
 menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan
 peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang
 (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat
 menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena Montesquieu undang-
 undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.”

                                                                                          3
C. KERANGKA TEORITIS

1. Positivistime Hukum
       Secara embrional positivisme hukum lahir dari rahim positivisme, suatu
paham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di perancis
dengan dua eksponennya yang terkenal, yaitu Henry Saint-Simon (1760-1825) dan
August Comte (1798-1857). Dalam Positivisme hukum-hukum yang berlaku dalam
ilmu pengetahuan alam dirumuskan dengan anggapan bahwa alam dapat
diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dan ruang dan waktu. Positivisme ini
berkembang akibat perjuangan gigih dari August Comte. Comte mengatakan
terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala hidup
bersama, dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebut hukum tiga tahap. Artinya,
tiap-tiap masyarakat mesti melalui tiga tahap itu, pertama, tahap teologis, kedua,
tahap metafisik, dan ketiga, tahap positif. Pada tahap teologis, manusia percaya pada
kekuatan-kekuatan ilahi dibelakang gejala-gejala alam. Sedangkan pada tahap
metafisik ini dimulailah kritik terhadap segala pikiran termasuk teologis. Ide-ide
teologi diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Adapun pada tahap positif
gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu idea alam yang abstrak, tetapi gejala
diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum diantara gejala-gejala
bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan bentuk relasi yang
konstan diantara gejala-gejala tersebut.
       Pemikiran positivisme hukum ini kemudian digunakan dalam hukum
sehingga menjelma menjadi aliran positivisme hukum. Aliran ini lahir pada abad ke-
19. Dua eksponen yang utamanya yang terkenal adalah John Austin dan Hans
Kelsen. Austin mengatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah perintah penguasa.
Austin memperkenalkan tiga faham pokok diseputar positivisme hukum; (1)
kekuasaan yang tertinggi yang ada dalam suatu Negara adalah satu-satunya sumber
hukum. Hukum adalah perintah dari suatu politik yang berdaulat dalam suatu
Negara, (2) Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (close
logical system). Sebagai objek kajian, hukum harus dilepaskan dari unsur nilai, dan
(3) Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, tidak bisa dikategorikan hukum
sebagai hukum tetapi moral positif.


                                                                                   4
Sementara itu, Kelsen terkenal dengan teori hukum murninya (the pure
theory of law). Klesen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dari hukum
itu sendiri, hukum harus diseragam dalam arti dapat diterapkan pada semua waktu
dan tempat, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir politik dan dipisahkan dari
moral; dengan kata lain hukum harus benar-benar murni dan hukum merupakan
pencerminan dari proposisi yang “seharusnya”. Konsep yang dibangun oleh aliran
positivisme hukum ini menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai
hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu,
setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-
norma yang positif (all law is enacted law), ditegaskan sebagai wujud kesepakatan
kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsikan
sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan,
melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalian normatif harus
dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.3 Dapat dikatakan, aliran
positivisme yuridis menyatakan hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis.
Hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh negara, jika hukum telah dibuat
oleh negara maka rakyat wajib mematuhinya, jika tidak dipatuhi akan menerima
sanksi. Adil atau tidak bukanlah persoalan, relevan atau tidak bukanlah urusan
hukum, yang penting adalah sah atau tidaknya secara yuridis. Hukum bukanlah dasar
dalam kehidupan sosial, bukan pula bersumber dari jiwa bangsa, tapi hukum itu ada
karena bentuk positifnya dari yang berwenang.4 Selain itu, aliran teori hukum murni
berpendapat, bahwa norma memberikan arahan atau ancangan pada manusia dalam
bertindak. Hukum positif merupakan sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap
tindak manusia dalam cara tertentu.5
        Disamping itu, dalam konteks positivisme hukum oleh Hart (Dias, 1976)
diartikan antara lain :
            1. Hukum adalah perintah;



3
  Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai - Nilai
Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal.82-84
4
  Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Cet. III,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal.119-121
5
  Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet.II, Kencana,
Jakarta, 2008, hal.81

                                                                                               5
2. Keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan yang sudah
               ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial,
               kebijakan serta moralitas;
           3. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan
               oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
           4. Hukum yang di undangkan/ditetapkan/positum harus dipisahkan dari
               hukum yang seharusnya diciptakan/diinginkan.6
       Aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu
pelajaran yang menyatakan tiada hukum diluar undang-undang menjadi sumber
hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum identik. Legisme hukum tidak
sama dengan positivisme hukum, karena pada legisme hukum hanya menganggap
undang-undang saja sebagai suatu sumber hukum, sedangkan pada positivisme
hukum tidak hanya membatasi undang-undang saja sebagai sumber hukum, tetapi
juga kebiasaan, adat yang baik, dan pendapat masyarakat. Dalam memutuskan
perkara, ajaran positivisme hukum megutamakan penemuan hukum dan kepastian
hukum. Aliran legisme bersumber pada teori-teori perjanjian Negara seperti yang
dibentangkan oleh Thomas Hobbes, yang menghendaki suatu pemerintahan yang
absolute dan hanya kehendak pemerintah itulah hukum.7



2. Penegakan Hukum

       Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah
semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum itu mampu bekerja mewujudkan
nilai-nilai moral dalam hukum. Adanya, kegagalan penegakan hukum di era
reformasi karena gagalnya pemerintahan era reformasi tersebut untuk mewujudkan
nilai-nilai hukum tersebut, dapat dikatakan era reformasi hukum masih sangat miskin
implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari
masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan Ufran:

               “Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan
               nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan dari hukum.
6
  Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari positivistik ke
progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009, hal.6
7
  Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif, Cet.Pertama,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.29

                                                                                        6
Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti
                keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan
                dalam realitas nyata. Eksistensi diakui apabila nilai-nilai moral yang
                terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau
                tidak”.8

        Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:

                “Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak
                pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di
                dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
                tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk
                menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
                hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya
                merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak
                secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur
                penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara
                hukum dan moral”9
        Jika kita berbicara tentang penegakan hukum pidana ada beberapa teori yang
menyertainya antara lain :10
          1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel,
              Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar
              keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang
              mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu
              melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan
              itu (pemabalasan).
          2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum
              bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/tujuan hukuman,
              artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin
              mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah
              kejahatan     baik    pencegahan      umum      (algemene     crime)    maupun
              pencegahan khusus (special crime). Selain itu, terdapat paham lain
              yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang
              melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan


8
    Ufran, dalam Kata Pengantar Editor, Rahardjo Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.Vii.
9
   Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1983, hal.5
10
    Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai Pustaka, Jakarta,
1993, hal.97

                                                                                              7
daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi
              disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative
              modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori
              ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban
              hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi
              masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung
              larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.
          3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah
              terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori
              mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada
              hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.

        Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-
pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum
itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai
kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum)
yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.”11 Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran
agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga
hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa
berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat
jahat. Penegakan hukum dengan sarana non-penal mempunyai sasaran dan tujuan
untuk kepentingan internalisasi.12
        Dalam proses penegakan hukum banyak faktor yang mempengaruhi
bekerjanya hukum. Robert B. Seidman,13 mengemukakan teorinya tentang faktor-
faktor bekerjanya hukum ialah menyatukan tiga kekuatan antara lain, kekuatan


11
   Rahardjo Satjipto., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983, hal.24
12
   Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hal.142
13
   lihat: Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2010, hal.9-10

                                                                                              8
pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang-
undang dalam hal ini adalah eksekutif dan kekuatan sosial lain yaitu pemegang peran
atau masyarakat yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum
masyarakat.


3. Hukum Dan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat

       Parson mengatakan, bahwa yang disebut norma itu adalah suatu deskripsi
tertulis mengenai suatu rangkaian perbuatan yang konkrit dan yang dipandang
sebagai suatu hal yang diinginkan (desirable). Deskripsi masih dikombinasikan
dengan suatu paksaan untuk mendorong agar perbuatan-perbuatan tertentu
dikemudian hari mencocoki perbuatan yang dikehendaki. Lain hal lagi dengan
Holmans yang mengatakan bahwa suatu norma adalah suatu pernyataan (statement)
yang dibuat oleh anggota suatu kelompok, tidak perlu seluruhnya yang mengatakan
bahwa para anggotanya seyogyanya dalam keadaan tertentu bertingkah laku menurut
cara yang tertentu. Para angota yang membuat pernyataan itu berpendapat bahwa
adalah suatu hal yang memberikan kepuasan (rewarding) apabila perbuatan-
perbuatannya sendiri dan orang lain sampai dengan taraf yang tertentu akan
bersesuaian dengan tingkah laku ideal yang dilukiskan oleh norma bersangkutan.

       Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu
pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai menunjuk
pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili
suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual.
Hal yang menarik dikatakan oleh John Finley Scott adalah, bahwa manusia sebagai
makhluk yang bermasyarakat memberikan respons yang sangat kuat terhadap
interaksinya yang sangat kuat terhadap interaksi yang dilakukannya dengan sesama
anggota masyarakat yang lain, sehingga nilai yang olehnya dipandang sebagai paling
kuat lazimnya bersifat sosial pula. Dalam hubungan ini maka dengan perkataan lain
hendak dikatakan, bahwa norma-norma itu sekaligus nilai-nilai yang baginya terkuat.

       Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai suatu usaha mencapai tujuan
tertentu (purposeful enterprise). Oleh karena tekanan disini adalah pada usaha, maka
dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut


                                                                                   9
tergantung       pada     energi,    wawasan      (insight),   intelegensia     dan   kejujuran
(conscientiousness) dari mereka yang harus menjalankan hukum itu.

           Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai-
nilai yang intrinsik, sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem yang
intrinsik. Kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya
(Gestal visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya
intrinsik ada pada hukum. Apa yang nantinya diwujudkan sebagai hukum didalam
masyarakat yang bersangkutan tergantung dari titik tolak pandangannya mengenai
apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai itu. Didalam pembicaraan mengenai
hukum, maka nilai-nilai tersebut berkembang menjadi antara hukum dan moral. Oleh
Schuyt moral itu dibedakan didalam formal dan material.

           Philip Selznick di dalam bukunya Law, Society, and Industrial Justice, yang
berpendapat bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan
nilai-nilai tertentu. Selznick mengatakan, bahwa dewasa ini dapat dikenali konflik
antara dua pandangan dalam hukum, yang pertama melihat hukum sebagai sesuatu
yang harus diterima begitu saja; sedangkan yang kedua, yang berpandangan
idealistis berpendapat, bahwa hukum itu mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan
moral. Pandangan yang pertama juga disebut sebagai fungsional dan melihat hukum
sebagai sarana untuk menyelesaikan problem-problem praktis. Berlainan dengan itu
maka pandangan idealis menggantungi hukum dengan harapan dan janji.14




14
     Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal. 76-80

                                                                                            10
BAB II

                                      PEMBAHASAN




A. POSITIVISME PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM

        Supremasi hukum merupakan titik tolak penegakan hukum positif, maka
hukum adalah di atas segala-galanya. Berdasarkan cirinya yang dibuat oleh
legislatif, maka hukum positif merupakan produk politik, karena lagislatif lahir dari
proses politik. Sebagai produk politik, maka hukum amat kental dengan
kepentingan, rasanya pandangan equality before the law akan sulit diterapkan, sebab
logika politik adalah harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya
hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukumpun akan
mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri.15 Untuk itu, hakim adalah
figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut untuk membangun
kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan
spiritual, jika kecerdasan intelektual, emosional, dan moral spiritual terbangun dan
tepelihara dengan baik bukan hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri,
tetapi juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan
hukum.16 Maka, hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori
hukum dan filsafat hukum serta hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara
normatif saja, oleh sebab itu hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara
lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan dan harus mampu melihat hal-hal
yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, serta pemikiran-pemikiran
apa yang ada dalam ketentuan itu, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran yang
ada dalam masyarakat.

        Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai hasil perubahan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970



15
   lihat: Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003,
hal.232-234
16
   Kamil Ahmad., Pedoman Perilaku Hakim Dalam Perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum,
suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008, hal.38

                                                                                              11
dan kemudian di ubah lagi dalam UU No.48 Tahun 2009, dengan jelas dan tegas
termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa:
                   "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
                   memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
                   masyarakat".

           Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi,
agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada tetapi masih
harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan.
Scholten mengatakan bahwa didalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat
hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat
atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau
menemukannya.17Tersirat secara yuridis maupun filosofis, bahwa hakim mempunyai
kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar
putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dalam semua lingkungan peradilan dan
dalam semua tingkatan.
           Montesquieu menyatakan, ada tiga bentuk negara dan pada setiap negara
terdapat penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk negaranya.
Dalam ètat despotique yang tidak ada undang-undang. Disini hakim dalam
mengadili setiap peristiwa individual didasarkan atas apresiasi pribadinya secara
arbitrer sehingga terjadi penemuan hukum secara “otonom mutlak”. Sedangkan di
dalam negara ètat republicain, terdapat penemuan hukum yang heteronom: di mana
hakim menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam ètat
monarchique, meskipun hakim berperan sebagai corong undang-undang, tetapi dapat
menafsirkan dengan mencari jiwanya. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang
bersifat heteronom dan otonom. Di Indonesia mengenal penemuan hukum
heteronom dan otonom18 sehingga karenanya apabila dihadapkan suatu kasus sesulit
apapun hakim wajib menemukan hukumnya, baik melalui terobosan hukum (contra
legem), atau melalui konstruksi hukum (rechts construksi), baik dengan cara
menafsirkan hukum yang sudah ada maupun dengan cara menggali nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Peranan hakim disini lebih bersifat otonom. Agar putusan

17
     Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal.61
18
     Ibid. hal.56-59

                                                                                12
yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis maupun secara
moral, maka dalam menghadapi fakta konkrit, hakim harus mampu menemukan
hukumnya melalui interpretasi.
           Selanjutnya, Pasal 10 UU No.48 Tahun 2009, menyatakan bahwa:
                   “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
                   memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
                   tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
                   mengadilinya.”

           Ketentuan Pasal tersebut diatas mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila
terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya,
maka hakim harus bertindak atas inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang
merupakan         hukum,     sekalipun     peraturan     perundang-undangan   tidak   dapt
membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.
Selanjutnya, ketentuan Pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai
organ utama dalam suatu penagdilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
yang dianggap memahami hukum, untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu
perkara, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan
hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan suatu
perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab.
           Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari ketentuan
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 10 Undang-
Undang No.48 Tahun 2009), yaitu :
               1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang akan
                    diajukan ke pengadilan akan diputus.
               2. Untuk mendorong hakim melakukan penemuan hukum.
               3. Sebagai perlambang kebebasan hakim dalam memutus perkara.
               4. Sebagai perlambang hakim tidak selalu harus terikat secara harafiah
                    pada peraturan perundang-undangan yang ada. Hakim dapat
                    mempergunakan berbagai cara untuk mewujudkan peradilan yang
                    benar dan adil.19



19
     Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.26-27

                                                                                       13
Menurut Roscoe Pound, ada beberapa langkah yang biasa dilakukan oleh
seorang hakim pada saat mengadili suatu perkara di pengadilan, yaitu menemukan
hukum, menafsirkan hukum, dan menerapkan hukum.20
        Dalam hal peraturannya tidak ada atau tidak lengkap maka tersedialah
metode argumentasi, sebagai berikut :21
            a) Argumentum per analogiam

              Mengambil kesimpulan secara analogi terhadap Pasal, meskipun tidak
              memenuhi unsur-unsur pada Pasal tersebut. contohnya : Pasal 1756 BW
              mengatur tentang mata uang. Apakah uang kertas termasuk di
              dalamnya? dengan jalan analogi maka “mata uang” menurut Pasal 1756
              BW ayat 2 ditafsirkan termasuk uang kertas.

            b) Argumentum ά contrario

              Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang
              mirip tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku yang sebaliknya.

              contoh : jika seorang janda harus menunggu masa iddah untuk menikah
              lagi, meskipun terhadap duda tidak aturannya seperti itu, maka bisa
              digunakan untuk ditafsirkan sama.

        Untuk itu, dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti
pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan
yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan
untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk
mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam
menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game)
untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan
progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya
ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.
Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan



20
  Ibid, hal.8
21
  Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan, Teori Hukum, Universitas Gadjah Mada,
2011., lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal. 84-90

                                                                                          14
sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari
kebenaran.22

        Adanya, terjadi suatu kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan
melalui hukum modern yang disebabkan oleh permainan prosedur itu, sehingga
menimbulkan       pertanyaan      “apakah     pengadilan     itu   mencari     keadilan     atau
kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur
(heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas
segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem
seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.23 Salah satu penyebab
kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab
kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai
analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang
senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun
pada peristiwa hukumnya.24 Sehingga, hukum hanya dipahami dalam artian yang
sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai
diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.

        Mengenai kekakuan prosedural legalistik hukum positif, Lawrence M.
Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan
hukuman atau imbalan, masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh
subjek hidup masyarakat.25 Salah penilaian jika menganggap hukum adalah segala-
galanya, manusia yang menjadi subjek hukum bukanlah mesin, tapi makhluk sosial
yang memiliki ide dan nilai sendiri. Di samping itu, manusia bukanlah sesuatu yang
statis, tapi makhluk yang dinamis, bisa saja sanksi yang aka dijatuhkan oleh hukum
diarahkan pada hal tertentu.26 Hukum formal legalis yang prosedural biasanya
mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada prakteknya hukum formal
sulit memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya




22
   Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal.276
23
   Ibid, hal.272
24
   Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009, hal.219
25
   Friedman Lawrence M.., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,, Cet. III, Nusa
Media Bandung, 2009, hal.139
26
   Ibid.hal.140

                                                                                              15
akan lebih diperhatikan.27 Pemberlakuan hukum dengan karakter informal yang lebih
luas, dengan mengedepankan pemenuhan fungsi hukum sebagai sumber keadilan,
maka hukum akan berfungsi sebagaimana mestinya. Terhadap hal tersebut,
penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan
kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan
menimbulkan anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah
ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi
keadilan yang diinginkan oleh seseorang sebenarnya adalah keadilan yang substantif,
bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di dalam undang-undang saja. Hukum
bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin menegakkan keadilan
demi kebahagiaan manusia.28

        Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan
prosedur, sering disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar
menawar hukum otonom. Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan
substantif kepada pihak lain, sebagai gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk
menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat untk mendapatkan akses ke dan
cara berpartisipasi dalam proses hukum.29 Dengan kekuasaan ini, pengadilan dapat
mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus
melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum. Pemahaman
tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini banyak
mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia.
Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil
hanyalah cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia.
Hukum tidak saja diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada
keberhasilan untuk mencapai tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada
efisiensi.30




27
   Lihat : Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal.264-
265
28
   Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum.., Op.cit.hal.10
29
   Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung
2008, hal.74
30
   Rahardjo Satjipto., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media Nusantara,
Jakarta, 2006, hal.194

                                                                                                  16
B. PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP NILAI - NILAI
     BUDAYA MASYARAKAT


       Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin
kehendak bersama para anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu
perbuatan hukum serta cermin dari rasa keadilan mereka. Sebuah fakta yang tidak
terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat pencari keadilan
melalui lembaga peradilan di negeri ini merasa kecewa, karena seringnya keadilan
dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan masyarakat yang mempunyai strata
sosial yang tinggi, dan akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah
fatamorgana bagi masyarakat pencari keadilan. Masyarakat sudah bosan dan lelah
menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini.
Sudah banyak isu-isu miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik
itu polisi, jaksa, hakim maupun pengacara/advokat, lembaga legislatif (DPR), dan
lembaga eksekutif (pemerintah). Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah
disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor
penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliyunan rupiah dibebaskan oleh
pengadilan. Bahkan masyarakat awampun dapat menyaksikan bahwa orang miskin
akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit
akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Hal ini dikarenakan penegakan hukum
baik dari substantif maupun proseduralnya bermuara dengan kepastian hukum dan
sebagai hasil perebutan kekuasaan belaka.31
       Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat
dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus
dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit
dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah
menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan
tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan
dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi. Akibatnya,
tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak hukum. Dapat juga

31
 Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Cet.IV, Nusa
Media, Bandung, 2010, hal.106

                                                                                     17
terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang meewajibkan
rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu.
Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat.
Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum
tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu.
Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah
yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak hukum harus
menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak
hukum menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hukum
mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.32
           Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga
peradilan adalah tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak
berkembang menjadi konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4
(empat) prasyarat :33
                   1) Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan
                       memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki;
                   2) Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga
                       yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak
                       korup dan nilai-nilai utama lainnya;
                   3) Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia;
                   4) Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-
                       benar memperoleh perlindungan hukum.
           Untuk itu, dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem
peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan yang dapat dirinci
sebagai berikut :

                 1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;
                 2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal;
                 3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak
                     senantiasa bersih);


32
     Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.25
33
     Rahardjo Satjipto., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hal.107

                                                                                      18
4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai;
               5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.34

          Selanjutnya, hakim disini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari
pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu
didalam menjalankan peranannya itu merupakan :

             1. Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat;
             2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi); dan
             3. Sasaran lingkungan pada waktu itu.35

          Sosialisasi hakim para disini terutama dikaitkan dengan pendidikan yang
diperolehnya untuk mencapai keahlian sebagai sarjana hukum. Pendidikan sebagai
suatu unsur dalam proses sosialisasi seorang hakim akan menentukan kerangka
berpikir dan mengambil keputusan. Konsep-konsep tentang hukum, asas-asas dalam
hukum, metode berpikir dan sebagainya merupakan kekayaan yang tersimpan
didalam diri seorang hakim dan merupakan kerangka berpikirnya sebagaimana
disebutkan diatas.36 Untuk melengkapi perbedaan hukum dalam ungkapan formalnya
dengan kenyataan yang dijalankan sehari-hari, sekedar dilihat dari sudut
organisasinya,    disini   akan   di   tambahkan      pula   pendapat     Schuyt,   yang
menghubungkan bekerjanya hukum melalui organ-organ pelaksananya, tetapi atas
dasar yang lebih umum. Menurut Schuyt tujuan hukum yang kemudian harus
diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur
sifatnya. Ia menunjuk pada nilai-nilai : keadilan, keserasian (doelmatigheid) dan
kepastian hukum sebagai tujuan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari.37

          Terkait dengan hal tersebut diatas maka idealnya suatu putusan hakim,
menurut Radbruch (Radbruch, 1946:30) ialah mengandung 3 (tiga) unsur “Idee des
Rechts”:


34
   Barimbing R.E.., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum,
Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal.2
35
   Ibid .hal.58
36
   Ibid. hal.59
37
   Ibid, hal.75

                                                                                       19
1) Keadilan (gerechtigkeid)
               2) Kemanfaatan (zweckmassigkeit); dan
               3) Kepastian hukum (rechtssicherheit) secara prorposional.
           Jadi, suatu putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang
bersangkutan maupun bagi masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya. Namun,
pada praktiknya, dapat dikatakan tidak mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee des
Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau
konflik antara ketiga unsur itu. Bagaimana cara seorang hakim dapat mengatasi
“konflik” atau “tarik-menarik” antara gerechtigkeid, zweckmassigkeit, dan
rechtssicherheit dalam mengadili sebuah perkara merupakan sebuah seni atau kiat
sendiri. Bagaimanakah menjatuhkan putusan yang adil, tetapi tidak menyimpang dari
peraturan hukum, atau bagaimanakah menjatuhkan putusan dengan mentaati
peraturan hukum, tetapi tidak mengorbankan keadilan? Hakim harus mengusahakan
adanya keseimbangan antara tiga (3) unsur Idee des Rechts secara proposional dalam
suatu putusan.38

           Terhadap praktiknya ketidakmungkinan menghadirkan ketiga unsur Idee des
Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan tersebut diatas, hakim dalam
memutuskan suatu perkara cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum saja,
dimana hakim lebih memilih mempertahankan norma-norma secara tertulis yang ada
dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum
positif, dengan cara menggunakan pendekatan legalitas/yuridis normatif. Jika hal ini
dipertahankan maka hakim akan mengalami kebuntuan dalam berfikir, karena sulit
untuk menemukan Pasal apa yang akan diterapkan (dikarenakan peraturan itu tidak
lengkap atau tidak ada) terhadap perkara itu. Padahal, telah dengan jelas dan tegas
dinyatakan dalam dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa: "Hakim dan hakim kosntitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Kenyataan yang ada, hakim “sulit” melaksanakan ketentuan tersebut. Untuk itu, jika
masyarakat diperhadapkan dengan persoalan hukum, serta dalam hal hakim
melakukan pendekatan-pendekatan berupa metode penemuan hukum dalam
menyelesaikan suatu perkara hukum, hakim juga seharusnya lebih memperhatikan

38
     Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, hal.23

                                                                                              20
nilai-nilai yang masih diakui, dianut, dipercaya dan dijalankan dalam kehidupan
masyarakat (sesuai juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009),
artinya penegakan hukum oleh hakim, tidak hanya sekedar penegakan hukum
berdasarkan Pasal-Pasal/teks dalam undang-undang, karena hukum harus dapat
dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, dan
dengan hati nurani, sebab hanya dengan cara itu, maka masyarakat akan merasakan
hukum itu adil dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut, serta
memberikan kemanfaatan dari hukum yang diciptakan untuk manusia.
           Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan
memutuskan suatu perkara berada (bergerak) diantara 2 (dua) titik pembatas dalam
garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau kepastian hukum,
sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat hakim
menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum,
maka secara otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau
haik menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara
otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-
batas kebebasan hakim. Dimana hakim hanya dapat bergerak diantara 2(dua) titik
pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan
menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus
berada di dekat titik keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.
Menurut konsep pertanggungjawaban dalam administrasi Negara, dimana dikatakan
walaupun administrasi Negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijakan-
kebijakan, tetapi sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara
moral maupun hukum.39

           Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum40maka hakim
berdasarkan Freies Ermessen-nya (kebebasannya) dapat memilih keadilan dengan
mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
umum atau Negara. Disini hakim harus lebih mengutamakan kepentingan pihak yang
bersangkutan dari pada kepastian hukum tetapi tidak bertentangan dengan


39
     Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.132-133
40
     Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Op.cit. hal.24

                                                                                 21
kesusilaan, kepentingan umum atau Negara. Pemikiran ini dikenal sebagai problem
oriented thinking. Hakim pada dasarnya tidak boleh melanggar undang-undang,
tidak boleh melanggar sistem, harus berpikir system oriented. Berdasarkan
kebebasannya (freies ermessen) hakim harus berani memutuskan secara adil,
walaupun itu bertentangan dengan kepastian hukum atau undang-undang. Ada suatu
ungkapan yang berbunyi : summum ius summum injuria, yang berarti : makin
lengkap , rinci atau lengkap peraturan hukumnya maka keadilannya makin terdesak
atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum. Bunyi
irah-irah atau titel eksekutarial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

           Sebagai contoh kasus, penulis mengambilnya dari studi dominasi Negara
dalam semua peyelesaian sengketa pidana dan konstruksi penyelesaian perkara carok
berdasarkan nilai - nilai budaya masyarakat Madura, dimana ketidakmampuan
hukum Negara untuk menyelesaikan perkara carok, tidak satupun yang memandang
carok sebagai perbuatan yang penuh dengan makna dan memiliki kaitan yang sangat
erat dengan pembelaan terhadap kehormatan diri, keturunan dan agama orang
Madura. Pengadilan Negara memandang carok sebagai persolan hitam putih yang
sama dengan kejahatan - kejahatan lain.

           Hal ini terlihat dari perkara carok dimana hakim menjatuhkan pidana penjara
selama 4 bulan 15 hari kepada Juma’atun P. Anik karena telah membacok Saniwi P.
Hasad dengan menggunakan celurit karena telah mengganggu atau berselingkuh
dengan istrinya, Astutik. Dalam putusan ini, hakim sama sekali tidak membuktikan
unsur-unsur Pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Demikian juga dengan
perkara, dengan terdakwa Abd. Rofik yang membacok tubuh Suro karena diketahui
akan menggauli istrinya yang sedang tidur. Putusan hakim dalam perkara ini tidak
didasarkan pada terbuktinya unsur - unsur delik dalam rumusan Pasal yang di
dakwakan, tapi hanya berdasarkan keterangan saksi - saksi dan terdakwa
dipersidangan. Sedangkan unsur-unsur delik tidak disebutkan dan diuraikan satu
persatu didalam putusan.41



41
     Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.76

                                                                                   22
Terhadap perkara carok yang disebabkan oleh pelecehan eksistensi diri
dengan cara menantang carok, dalam putusan terdakwa Badri dan Atmoyo, warga
Desa Kadur, Pamekasan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan:

                    “Dari keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan keterangan
                    terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti yang ada dimana satu
                    dengan lainnya saling berhubungan, maka Majelis Hakim sependapat
                    dengan Penuntut Umum yang menyatakan perbuatan terdakwa telah
                    terbukti memenuhi unsur-unsur dari dakwaan subsidair, sehingga
                    Majelis Hakim berkeyakinan terdakwa telah terbukti secara sah
                    bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
                    dakwaan tersebut.”

           Sayangnya, hakim tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa
menyetujui pendapat Penuntut Umum dalam tuntutannya. Dengan kata lain hakim
memindahkan argumen Penuntut Umum ke dalam pertimbangannya.42

           Dengan menjadikan Pasal yang didakwakan sebagai pedoman untuk
memutus bersalah tidaknya pelaku. terjadinya reduksi cerita yang tidak sesuai
dengan komponen Pasal tersebut tidak dielakkan. Reduksi inilah yang merupakan
ciri positivisme hukum. Hakim mereduksi makna carok dengan memandangnya
sebagai pembunuhan pada umumnya. Hakim tidak melihat bahwa carok merupakan
pembelaan harga diri masyarakat Madura dalam rangka membela kehormatan diri,
keturunan dan agama mereka. Setiap pembunuhan dan penganiayaan yang
meyebabkan matinya orang, apapun bentuk dan motifnya, tetaplah pembunuhan.
Pembunuhan yang disebabkan oleh balas dendam kematian anggota keluarga,
isstrinya diganggu, dan pelecehan harga diri direduksi maknanya sebagai
pembunuhan biasa. Oleh karenanya, Pasal 338, Pasal 340 dan Pasal 351 ayat (3)
KUHP sangat layak dijadikan dasar untuk memidana pelaku. hakim akan membuang
cerita yang tidak sesuai dengan Pasal yang didakwakan. Makna dan nilai-nilai
budaya Madura tentang pembelaan kehormatan diri, keturunan dan agama tidak akan
dijadikan sebagai pertimbangan oleh hakim, karena hal itu jelas tidak cocok dengan
komponen Pasal pembunuhan baik biasa maupun yang direncanakan.

           Pada akhirnya, peraturan-peraturan hukum yang merupakan tumpuan
konsepsi hukum prosedural itu hanya akan menunjukkan bagan-bagan bagi

42
     Ibid. hal.79

                                                                                  23
penyelesaian sengketa-sengketa tersebut. Tetapi ia tidak menjawab bagaimana rakyat
itu menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi diantara mereka; tentang jenis-
jenis subyek yang dapat dipercaya untuk menangani penyelesaian itu serta macam-
macam penyelesaian yang bagaimana saja yang dipakai disitu, seperti misalnya
apakah mediasi, kompromi atau lainnya lagi. semua yang disebut terakhir ini
bukannya hubungan-hubungan yang dilafalkan didalam bagan-bagan tersebut,
melainkan tingkah laku atau hubungan-hubungan yang nyata terjadi dan dibiasakan
didalam masyarakat serta didukung oleh nilai-nilai yang dihayati oleh anggota
masyarakat.43

           Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa setiap perumusan adalah penegasan
atau pencitraan tentang suatu hal (to define, definition). pencitraan adalah pembuatan
konsep. Dalam pembuatan konsep tersebut selalu dimulai dengan pembatasan atau
pembedaan antara yang dirumuskan dan yang tidak atau yang berada diluarnya.
Dengan adanya perumusan tertulis oleh hukum tentang pembunuhan, maka orang
menjadi tahu perbuatan mana yang bukan pembunuhan. oleh karena perumusan itu
bekerja dengan cara membatasi seperti itu, maka timbul resiko besar akan
ketidaktepatan perumusan. Tidak salah kiranya jika dikatakan bahwa perumusan
suatu teks hukum merupakan wilayah kebahasaan, dan demikian telah memasuki
suatu permainan bahasa (language game). Permainan bahasa ini akhirnya
menimbulkan reduksionis dan sakralitas teks. Hakim kemudian menjadikan teks
sebagai suatu yang otonom, dalam arti semua keterangan saksi-saksi dan terdakwa
harus disesuaikan dengan Pasal yang dijadikan pedoman hakim. Disini keberadaan
nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan dan tidak berpengaruh terhadap putusan yang
dijatuhhkan oleh hakim. Eksistensi hakim, para saksi, dan terdakwa tidak boleh
memberikan pengaruh terhadap makna yang terkandung dalam Pasal tersebut. Sebab
teks (hukum) independen sifatnya, sehingga eksistensinya objektif dari sejumlah
kritik dan kerangka kerja hermeneutis pembaca. Oleh karena itu, interpretasi yang
benar adalah yang sesuai dengan kenyataan otonomi teks.44




43
     Satjipto Rahardjo., Hukum Dan.., Op.cit.hal.82
44
     Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.80-82

                                                                                   24
C. PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF YANG BERKEADILAN

       Kemunculan hukum yang progresif, tidak dapat pula dipisahkan dari
munculnya aliran Critical Legal Study (CLS) di Amerika Serikat pada tahun 1977,
dimana jika diteliti lebih dekat, mengandung substansi kritik atas kemapanan akan
aliran dalam hukum liberal yang bersifat formalistik dan prosedural, serta juga rasa
ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
CLS langsung menutup jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu
sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal. CLS lahir dari
bentuk pembangkangan terhadap realitas sosial tentang ketidakadilan yang memang
merisaukan para ahli hukum saat ini. Hukum positif telah memperlihatkan dirinya
tidak berdaya dan telah digunakan hanya sekedar sebagai suatu alat penindas atau
pemanis belaka. Oleh karena itu, para penganut CLS berusaha keluar dari doktrin-
doktrin yang sudah usang untuk segera masuk kedalam suatu tatanan hukum yang
lebih baik sesuai dengan perkembangan masyarakat yang damai, tidak rasialis, tidak
genderis, dan tidak korup. Pemikiran CLS tersebut, setidaknya telah mengilhami
beberapa ahli hukum di Indonesia, sehingga sedikit banyak pemikirannya
dipengaruhi oleh gerakan ini. Sebut saja, Prof. Satjipto Rahardjo yang menggagas
bentuk pemikiran yang dinamakannya hukum progresif dengan dilatarbelakangi oleh
keprihatinan akan lemahnya law enforcement di Indonesia dewasa ini, yang
selanjutnya pemikiran tersebut berkembang dan mengilhami banyak kalangan
hukum lainnya di negeri ini.45

       Kata progresif itu sendiri berasal dari progress yang berarti adalah kemajuan.
Jadi, disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan
zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serata
mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari
sumber daya penegak hukum itu sendiri.46Dasar filosofi dari hukum progresif adalah
suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
sejahtera dan membuat manusia bahagia.47 Selain itu juga, hukum progresif menolak
segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak,

45
   Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.43
46
   Ibid. hal.44
47
   Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya
Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hal.31

                                                                                     25
sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam
proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini
dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:

               “Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang
               mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya
               untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang
               demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi.
               Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan
               mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih
               baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-
               faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-
               lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as
               a process, law in the making).”48

       Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak,
berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan
mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam
ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final,
melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu
melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima
hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai
solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk
memenuhi kepentingan kepastian hukum.

       Selanjutnya, Satjipto Rahardjo mengatakan:

               …., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan
               kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan
               perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya
               dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri
               dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya
               kebahagiaan manusia.49

       Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang
mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut
sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep
48
 Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hal.72
49
  Rahardjo Satjipto.,Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix

                                                                                       26
keadilan yang telah disepakati bersama.50 Merumuskan konsep keadilan progresif
ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan
prosedur. Akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap
aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara
pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif
bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern
disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah
pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?.” Proses pengadilan dinegara
yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur
dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi
(accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials
without truth.51 Habermas mengemukakan bahwa satu aturan tentang nilai-nilai
hidup tidak mungkin dapat ditetapkan pada suatu masyarakat yang plural tanpa
suatu konsensus. Pandangan deontologist ini menempatkan keadilan sebagai nilai
utama yang tertinggi yang disebut the primacy of justice. Maka hukum progresif
dalam pengembaraannya mencari keadilan substansial tidak hanya mendasarkan diri
pada satu tatanan nilai tertentu, tetapi pada suatu komunikasi dan transformasi dari
semua aspek nilai yang plural dan bersifat holistis.52

        Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan
hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the
letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual,
melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang
biasa dilakukan.53 Oleh karena itu, hukum progresif tercermin dalam apa yang
menjadi karekteristiknya, yaitu pertama, bahwa “hukum untuk manusia”, kedua,
bahwa “hukum menolak untuk mempertahankan status quo”, dan yang terakhir


50
   Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 270
51
   Ibid, hal. 272
52
   Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru .., Op.cit.hal.103
53
   Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.xiii

                                                                                 27
“hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia
dalam berhukum”.54 Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya
dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang
mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak
cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi
KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan
sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut
(metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.55

       Berdasarkan karakteristik hukum progresif tersebut diatas, maka menurut
pendapat Achmad Rifai,56 bahwa karakteristik penemuan hukum progresif adalah :

           1) Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri
               dengan dibimbing oleh pandangan atau pemikirannya secara mandiri,
               dengan berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk
               mengabdi kepada manusia;
           2) Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum,
               kebenaran dan keadilan, serta juga etika dan moralitas;
           3) Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam
               kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu
               masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi
               serta keadaan masyarakat.

       Selanjutnya, dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum
progresif diatas, maka Achmad Rifai57 berpendapat bahwa metode penemuan hukum
yang sesuai adalah sebagai berikut :

           1. Metode hukum yang bersifat visioner, dengan melihat permasalahan
               hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang kedepan dengan
               melihat case by case.


54
   Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru;.., Op.cit.hal.143
55
   Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju
Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm.70
56
   Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.48
57
   Ibid. hal.93

                                                                                       28
2. Metode hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule
                   breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap
                   berpedoman pada hukum dan kebenaran, dan keadilan serta memihak
                   dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya.
               3. Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan
                   kemakmuran masyarakat dan dapat juga membawa bangsa dan
                   Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti
                   saat ini.

           Oleh karena itu, hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa
pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang,
melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari
cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan
pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut
fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana
hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.58 Oleh karena itu, dengan
menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor
manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion
(perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung
jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad). Sebagaimana
Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim
yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan
yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-
undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita
untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.59 Mengutamakan
faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti
melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari arah legalistik-positivistik
ke arah kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu)
dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai
tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan
kepada siapapun.


58
     Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 276
59
     Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif;.., Op.cit.hal.74

                                                                                  29
Berdasarkan hal tersebut, menurut Achmad Rifai60 putusan hakim yang
sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah :

               1) Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni
                   hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi)
                   meskipun memang seharusnya hakim selalu harus legalistik karena
                   putusannya tetap pada peraturan perundang-udangan yang berlaku;
               2) Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau
                   sekedar hanya memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus
                   befungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun
                   harmonisasi sosial dalam pergaulan;
               3) Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner),
                   yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan
                   hukum (rule breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang-
                   undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan,
                   peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam
                   masyarakat, maka hakim bebas dan bebas melakukan tindakan contra
                   legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal
                   undang-undang yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai
                   kebenaran dan keadilan;
               4) Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan
                   bangsa    dan    negaranya,     yang    bertujuan   pada   peningkatan
                   kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa
                   dan Negara keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.

          Dapat dikatakan bahwa hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan
“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum
yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih
mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan
penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu
melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. Satjipto Rahardjo
memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim


60
     Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;,Op.cit. hal.137-138

                                                                                      30
Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir
korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung
Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan
tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter.
Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin
Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak
pada Tempo.61

            Paradigma “pembebasan” yang dimaksud diatas bukan berarti menjurus
kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada
“logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan
“logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas.
Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali
“paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif bahwa
“hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum progresif
merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang
tepat untuk mewujudkannya.




61
     Ibid, hal.75

                                                                                 31
BAB III

                                    PENUTUP




A. KESIMPULAN

       Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
       Bahwa penegakan hukum itu terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai
rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh sebab itu, hakim sebagai
penegak hukum senantiasa harus memperhatikan dan mengikuti dinamika
masyarakat, sebab dalam kenyataannya hukum yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan sering tidak mampu menjangkau kebutuhan yang ada.
       Bahwa nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat mewujud dalam bentuk
hukum, yaitu hukum yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua
permasalahan yang ada ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis
berpendapat bahwa hukum adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk itu hukum
harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
       Penegakan hukum oleh hakim tidak sama dengan penegakan undang-undang,
yang hanya sekedar sebagai corong undang-undang. Keberanian hakim untuk
melakukan terobosan hukum baru (rule breaking), ialah dengan menempatkan nilai-
nilai dan rasa keadilan masyarakat sebagai kekuatan “pembebasan” yang dapat
memberi jalan keluar terhadap kebuntuan dari pendekatan legalitas formal. Oleh
karena itu, filosofi hukum progresif adalah hukum untuk manusia, dan bukan
sebaliknya, dan juga hukum itu bukan hanya bangunan peraturan belaka, melainkan
juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita, serta dengan tujuan mencapai kesejahteraan
dan membahagiakan Manusia.




                                                                                 32
B. SARAN

       Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran yang
dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :

       Bahwa dalam hal peran hakim dalam penegakan hukum, maka hukum harus
dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar relijiusnya,
sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan
nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak sesuai dengan
nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah
sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi), dan
bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap
aturan hukum itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya.

       Bahwa penegakan hukum oleh hakim sedapat mungkin menghadirkan ketiga
unsur Idee des Rechts, yang tidak sekedar memutuskan suatu perkara cenderung
lebih menekankan pada kepastian hukum, dengan mempertahankan norma-norma
secara tertulis yang ada dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang
berlaku sebagai hukum positif. Jika hal ini dipertahankan maka hakim akan
mengalami kebuntuan dalam berfikir, Oleh sebab itu putusan hakim harus
didasarkan kepada suatu keyakinan yang jernih berdasarkan suara hati nurani,
dengan pertimbangan senantiasa harus memperhatikan aspek filosofis maupun
sosiologis agar putusannya menyentuh rasa keadilan masyarakat.

       Hakim sebagai penegak hukum, dalam hal memeriksa, mengadili suatu
perkara, apabila mengalami kebuntuan berpikir secara positivistik, maka hakim
harus berani mengadirkan hukum progresif yang menempatkan diri sebagai kekuatan
“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum
yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih
mengutamakan “tujuan” dari pada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan
penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu
melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking” dengan pertimbangan
kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.



                                                                                  33
DAFTAR PUSTAKA




Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok
      Berdasarkan Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-
      Indonesia, Yogyakarta, 2009

Barimbing R.E., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan
      Supremasi Hukum, Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001

Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum,
      Cet.II, Kencana, Jakarta, 2008

Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan., Teori Hukum,
      Universitas Gadjah Mada, 2011

Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010

Friedman Lawrence M., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,,
      Cet. III, Nusa Media Bandung, 2009

Kamil Ahmad., Pedoman perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika, Dalam
      Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008

Kansil C.S.T., Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai
      Pustaka, Jakarta, 1993

Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari
      positivistik ke progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009

Kusumaatmaja    Mochtar.,   Pendidik   &Negarawan      (Kumpulan     Karya    Tulis
      Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M.,
      Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Alumni, Bandung, 1999

Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik
      Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama
      LSHP, Yogyakarta, 2009



                                                                                34
Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta
       2003

Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009

Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas
       Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010

Mertokusumo    Sudikno.,   Teori   Hukum,    Universitas   Atmajaya   Yogyakarta,
       Yogyakarta, 2011

Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa
       Media, Bandung 2008

Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980

______________., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
       Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983

______________., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986

______________., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
       2006

______________., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media
       Nusantara, Jakarta, 2006

______________., Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan
       Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007

______________., Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Cet.I, Genta
       Pubishing, Yogyakarta, 2009

Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif,
       Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010

Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in
       Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone,
       Jakarta, 2006


                                                                              35
Soekanto Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
       Grafindo Persada, Jakarta, 1983

Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo
       Persada, Jakarta, 2004

Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
       Waktu, Cet. III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010

Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern,
       Cet.IV, Nusa Media, Bandung, 2010

Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009

Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit
       Universitas Diponegoro, Semarang, 2010

Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009




                                                                                    36

More Related Content

What's hot

PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1
PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1
PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1dina susiani
 
56940113 pengantar-ilmu-hukum
56940113 pengantar-ilmu-hukum56940113 pengantar-ilmu-hukum
56940113 pengantar-ilmu-hukumocoysan
 
Filsafat hukum
Filsafat hukumFilsafat hukum
Filsafat hukumKau Hatiku
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPuspa Bunga
 
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slideMael Aja
 
07 asas asas hukum
07 asas asas hukum07 asas asas hukum
07 asas asas hukummudanp.com
 
Makalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahanMakalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahanRoberto Pecah
 
Pkn Kelas X Sistem Hukum di Indonesia
Pkn Kelas X Sistem Hukum di IndonesiaPkn Kelas X Sistem Hukum di Indonesia
Pkn Kelas X Sistem Hukum di IndonesiaNandha Zulyana
 
SOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUM
SOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUMSOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUM
SOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUMUnivers
 
Keabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu SaktiKeabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu Saktialsalcunsoed
 
Disiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negaraDisiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negaraMAHASISWI
 
Pengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukumPengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukumAndrew Fritz
 
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCESOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCEDian Oktavia
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 

What's hot (20)

PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1
PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1
PENGANTAR ILMU HUKUM PERTEMUAN 1
 
56940113 pengantar-ilmu-hukum
56940113 pengantar-ilmu-hukum56940113 pengantar-ilmu-hukum
56940113 pengantar-ilmu-hukum
 
Filsafat hukum
Filsafat hukumFilsafat hukum
Filsafat hukum
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power point
 
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
 
Sinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukumSinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukum
 
07 asas asas hukum
07 asas asas hukum07 asas asas hukum
07 asas asas hukum
 
Hukum
HukumHukum
Hukum
 
Makalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahanMakalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahan
 
Pengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukumPengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukum
 
Teori teori hukum konstitusi
Teori teori hukum konstitusiTeori teori hukum konstitusi
Teori teori hukum konstitusi
 
Makalah tugas sosiologi hukum
Makalah tugas sosiologi hukumMakalah tugas sosiologi hukum
Makalah tugas sosiologi hukum
 
Pkn Kelas X Sistem Hukum di Indonesia
Pkn Kelas X Sistem Hukum di IndonesiaPkn Kelas X Sistem Hukum di Indonesia
Pkn Kelas X Sistem Hukum di Indonesia
 
SOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUM
SOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUMSOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUM
SOSIOLOGI HUKUM MENGENAI SUBSTANSI HUKUM
 
Keabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu SaktiKeabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu Sakti
 
Disiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negaraDisiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negara
 
Pengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukumPengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukum
 
Efektifitas penerapan hukum dalam masyarakat
Efektifitas penerapan hukum dalam masyarakatEfektifitas penerapan hukum dalam masyarakat
Efektifitas penerapan hukum dalam masyarakat
 
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCESOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 

Similar to Penegakan Hukum oleh Hakim

Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realismLatar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realismIsnaldi Utih
 
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docxmakalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docxbagussanjaya24
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).pptMATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).pptKukuhDt
 
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxPERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxIlyasAlbar
 
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptxPPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptxFiaHarleni
 
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMULANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMUKuliahMandiri.org
 
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdfTUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdfkarisma46
 
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)R Maulana
 
Materi pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semesterMateri pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semesterEko Nainggolan
 
Negara ri belum memiliki hukum nasional
Negara ri belum memiliki hukum nasionalNegara ri belum memiliki hukum nasional
Negara ri belum memiliki hukum nasionallutpimajidi
 
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.pptBAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.pptasifsardari
 
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesia
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesiaHukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesia
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesiadestarizki
 

Similar to Penegakan Hukum oleh Hakim (20)

Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan InterdisiplinerKebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
 
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realismLatar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
 
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docxmakalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
Law Sociology
Law SociologyLaw Sociology
Law Sociology
 
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).pptMATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
 
TEORI HUKUM
TEORI HUKUMTEORI HUKUM
TEORI HUKUM
 
Paradigma hukum
Paradigma hukumParadigma hukum
Paradigma hukum
 
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxPERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
 
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptxPPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
 
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMULANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
 
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdfTUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
 
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
 
Materi pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semesterMateri pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semester
 
Negara ri belum memiliki hukum nasional
Negara ri belum memiliki hukum nasionalNegara ri belum memiliki hukum nasional
Negara ri belum memiliki hukum nasional
 
penyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukumpenyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukum
 
Fungsi Filsafat Hukum
Fungsi Filsafat HukumFungsi Filsafat Hukum
Fungsi Filsafat Hukum
 
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.pptBAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
 
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesia
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesiaHukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesia
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat indonesia
 
mashab aliran hukum.ppt
mashab aliran hukum.pptmashab aliran hukum.ppt
mashab aliran hukum.ppt
 

More from Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia

More from Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia (15)

Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
 
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
 
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
 
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
 
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenangTinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
 
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
 
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINERKEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
 
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
 
Teori hukum
Teori hukumTeori hukum
Teori hukum
 
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasionalFungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
 
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negaraPeranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
 
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridisKetidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
 
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesiaPenggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
 
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunanPeranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
 
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
 

Penegakan Hukum oleh Hakim

  • 1. TEMA : KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER JUDUL : PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM YANG POSITIVISTIK TERHADAP NILAI-NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT (Suatu tinjauan Sosiologis) ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum ) Oleh : FREINGKY A. NDAUMANU, S.H. NIM : 11/322217/PHK/06731 PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA MAGISTER HUKUM 2011 1
  • 2. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keadaan Indonesia pada masa lalu telah melahirkan berbagai pergulatan pemikiran, termasuk dalam lingkup hukum dan ilmu hukum. Keadaan masa lalu tersebut, awalnya muncul dari aliran positivistik yang sangat mempengaruhi keluarga hukum Eropa-Kontinental, atau yang lebih dikenal dengan sistem civil law, hingga akhirnya berpengaruh juga pada sistem hukum Indonesia. Civil law dikembangkan dari hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang dikodifikasi pada masa Kaisar Yustitianus. Sistem hukum ini berkembang dari Romawi, terus diikuti oleh Jerman dan selanjutnya Perancis, karena Belanda pernah menjadi jajahan Perancis pada masa Napoleon Bonaparte maka Belanda pun memakai sistem hukum ini, akibat kolonialisme Belanda di Indonesia, maka Indonesia juga penganut sistem hukum civil law.1 Ada usaha dari pemikir hukum untuk menawarkan gagasan agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui “jalan buntu.” Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut sebagai hukum, apabila hukum tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Didalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung tindakan - tindakan yang harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum. Pertanyaan logis yang kemudian muncul adalah, siapakah yang akan melaksanakan semua tindakan tersebut? Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan, jelas tidak melakukan semuanya. Dari sinilah masuknya peranan para penegak hukum yang tidak lain adalah manusia - manusia. Apabila disini dilibatkan tingkah laku manusia, maka sesungguhnya hanya merupakan kelanjutan saja dari metode yang dipakai. Dalam perumusannya yang negatif, metode tersebut monolak cara pengkajian hukum yang didasarkan dengan apa yang tertera secara hitam-putih berupa peraturan hukum. Metode yang lazim disebut sebagai normatif-dogmatis, bertolak dari keharusan - 1 Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009, hal.31-33 2
  • 3. keharusan yang tercantum dalam peraturan hukum dan menerimanya sebagai kenyataan. Namun, dalam kenyataannya pendekatan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi. Sehingga pada praktiknya, hakim di Indonesia umumnya hanya menjadi corong undang-undang.2 Kebanyakan hakim selalu berpandangan positivisme bahwa apa yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang hukum, dalam hal ini adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga terkadang apa yang menurut hukum adat itu merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata hal tersebut telah melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Berpikir Positivistik Terhadap Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat?” 2 lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal.52 “Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena Montesquieu undang- undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.” 3
  • 4. C. KERANGKA TEORITIS 1. Positivistime Hukum Secara embrional positivisme hukum lahir dari rahim positivisme, suatu paham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di perancis dengan dua eksponennya yang terkenal, yaitu Henry Saint-Simon (1760-1825) dan August Comte (1798-1857). Dalam Positivisme hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alam dirumuskan dengan anggapan bahwa alam dapat diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dan ruang dan waktu. Positivisme ini berkembang akibat perjuangan gigih dari August Comte. Comte mengatakan terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala hidup bersama, dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebut hukum tiga tahap. Artinya, tiap-tiap masyarakat mesti melalui tiga tahap itu, pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, dan ketiga, tahap positif. Pada tahap teologis, manusia percaya pada kekuatan-kekuatan ilahi dibelakang gejala-gejala alam. Sedangkan pada tahap metafisik ini dimulailah kritik terhadap segala pikiran termasuk teologis. Ide-ide teologi diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Adapun pada tahap positif gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu idea alam yang abstrak, tetapi gejala diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum diantara gejala-gejala bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan bentuk relasi yang konstan diantara gejala-gejala tersebut. Pemikiran positivisme hukum ini kemudian digunakan dalam hukum sehingga menjelma menjadi aliran positivisme hukum. Aliran ini lahir pada abad ke- 19. Dua eksponen yang utamanya yang terkenal adalah John Austin dan Hans Kelsen. Austin mengatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah perintah penguasa. Austin memperkenalkan tiga faham pokok diseputar positivisme hukum; (1) kekuasaan yang tertinggi yang ada dalam suatu Negara adalah satu-satunya sumber hukum. Hukum adalah perintah dari suatu politik yang berdaulat dalam suatu Negara, (2) Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (close logical system). Sebagai objek kajian, hukum harus dilepaskan dari unsur nilai, dan (3) Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, tidak bisa dikategorikan hukum sebagai hukum tetapi moral positif. 4
  • 5. Sementara itu, Kelsen terkenal dengan teori hukum murninya (the pure theory of law). Klesen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dari hukum itu sendiri, hukum harus diseragam dalam arti dapat diterapkan pada semua waktu dan tempat, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir politik dan dipisahkan dari moral; dengan kata lain hukum harus benar-benar murni dan hukum merupakan pencerminan dari proposisi yang “seharusnya”. Konsep yang dibangun oleh aliran positivisme hukum ini menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma- norma yang positif (all law is enacted law), ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalian normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.3 Dapat dikatakan, aliran positivisme yuridis menyatakan hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis. Hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh negara, jika hukum telah dibuat oleh negara maka rakyat wajib mematuhinya, jika tidak dipatuhi akan menerima sanksi. Adil atau tidak bukanlah persoalan, relevan atau tidak bukanlah urusan hukum, yang penting adalah sah atau tidaknya secara yuridis. Hukum bukanlah dasar dalam kehidupan sosial, bukan pula bersumber dari jiwa bangsa, tapi hukum itu ada karena bentuk positifnya dari yang berwenang.4 Selain itu, aliran teori hukum murni berpendapat, bahwa norma memberikan arahan atau ancangan pada manusia dalam bertindak. Hukum positif merupakan sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap tindak manusia dalam cara tertentu.5 Disamping itu, dalam konteks positivisme hukum oleh Hart (Dias, 1976) diartikan antara lain : 1. Hukum adalah perintah; 3 Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal.82-84 4 Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Cet. III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal.119-121 5 Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta, 2008, hal.81 5
  • 6. 2. Keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas; 3. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian 4. Hukum yang di undangkan/ditetapkan/positum harus dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan/diinginkan.6 Aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tiada hukum diluar undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum identik. Legisme hukum tidak sama dengan positivisme hukum, karena pada legisme hukum hanya menganggap undang-undang saja sebagai suatu sumber hukum, sedangkan pada positivisme hukum tidak hanya membatasi undang-undang saja sebagai sumber hukum, tetapi juga kebiasaan, adat yang baik, dan pendapat masyarakat. Dalam memutuskan perkara, ajaran positivisme hukum megutamakan penemuan hukum dan kepastian hukum. Aliran legisme bersumber pada teori-teori perjanjian Negara seperti yang dibentangkan oleh Thomas Hobbes, yang menghendaki suatu pemerintahan yang absolute dan hanya kehendak pemerintah itulah hukum.7 2. Penegakan Hukum Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum itu mampu bekerja mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Adanya, kegagalan penegakan hukum di era reformasi karena gagalnya pemerintahan era reformasi tersebut untuk mewujudkan nilai-nilai hukum tersebut, dapat dikatakan era reformasi hukum masih sangat miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan Ufran: “Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan dari hukum. 6 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari positivistik ke progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009, hal.6 7 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.29 6
  • 7. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau tidak”.8 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto: “Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”9 Jika kita berbicara tentang penegakan hukum pidana ada beberapa teori yang menyertainya antara lain :10 1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan). 2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan umum (algemene crime) maupun pencegahan khusus (special crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan 8 Ufran, dalam Kata Pengantar Editor, Rahardjo Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.Vii. 9 Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hal.5 10 Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hal.97 7
  • 8. daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma. 3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran- pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.”11 Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non-penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.12 Dalam proses penegakan hukum banyak faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Robert B. Seidman,13 mengemukakan teorinya tentang faktor- faktor bekerjanya hukum ialah menyatukan tiga kekuatan antara lain, kekuatan 11 Rahardjo Satjipto., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983, hal.24 12 Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.142 13 lihat: Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hal.9-10 8
  • 9. pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang- undang dalam hal ini adalah eksekutif dan kekuatan sosial lain yaitu pemegang peran atau masyarakat yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum masyarakat. 3. Hukum Dan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat Parson mengatakan, bahwa yang disebut norma itu adalah suatu deskripsi tertulis mengenai suatu rangkaian perbuatan yang konkrit dan yang dipandang sebagai suatu hal yang diinginkan (desirable). Deskripsi masih dikombinasikan dengan suatu paksaan untuk mendorong agar perbuatan-perbuatan tertentu dikemudian hari mencocoki perbuatan yang dikehendaki. Lain hal lagi dengan Holmans yang mengatakan bahwa suatu norma adalah suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh anggota suatu kelompok, tidak perlu seluruhnya yang mengatakan bahwa para anggotanya seyogyanya dalam keadaan tertentu bertingkah laku menurut cara yang tertentu. Para angota yang membuat pernyataan itu berpendapat bahwa adalah suatu hal yang memberikan kepuasan (rewarding) apabila perbuatan- perbuatannya sendiri dan orang lain sampai dengan taraf yang tertentu akan bersesuaian dengan tingkah laku ideal yang dilukiskan oleh norma bersangkutan. Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai menunjuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual. Hal yang menarik dikatakan oleh John Finley Scott adalah, bahwa manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat memberikan respons yang sangat kuat terhadap interaksinya yang sangat kuat terhadap interaksi yang dilakukannya dengan sesama anggota masyarakat yang lain, sehingga nilai yang olehnya dipandang sebagai paling kuat lazimnya bersifat sosial pula. Dalam hubungan ini maka dengan perkataan lain hendak dikatakan, bahwa norma-norma itu sekaligus nilai-nilai yang baginya terkuat. Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai suatu usaha mencapai tujuan tertentu (purposeful enterprise). Oleh karena tekanan disini adalah pada usaha, maka dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut 9
  • 10. tergantung pada energi, wawasan (insight), intelegensia dan kejujuran (conscientiousness) dari mereka yang harus menjalankan hukum itu. Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai- nilai yang intrinsik, sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem yang intrinsik. Kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya (Gestal visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya intrinsik ada pada hukum. Apa yang nantinya diwujudkan sebagai hukum didalam masyarakat yang bersangkutan tergantung dari titik tolak pandangannya mengenai apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai itu. Didalam pembicaraan mengenai hukum, maka nilai-nilai tersebut berkembang menjadi antara hukum dan moral. Oleh Schuyt moral itu dibedakan didalam formal dan material. Philip Selznick di dalam bukunya Law, Society, and Industrial Justice, yang berpendapat bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu. Selznick mengatakan, bahwa dewasa ini dapat dikenali konflik antara dua pandangan dalam hukum, yang pertama melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja; sedangkan yang kedua, yang berpandangan idealistis berpendapat, bahwa hukum itu mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan moral. Pandangan yang pertama juga disebut sebagai fungsional dan melihat hukum sebagai sarana untuk menyelesaikan problem-problem praktis. Berlainan dengan itu maka pandangan idealis menggantungi hukum dengan harapan dan janji.14 14 Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal. 76-80 10
  • 11. BAB II PEMBAHASAN A. POSITIVISME PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM Supremasi hukum merupakan titik tolak penegakan hukum positif, maka hukum adalah di atas segala-galanya. Berdasarkan cirinya yang dibuat oleh legislatif, maka hukum positif merupakan produk politik, karena lagislatif lahir dari proses politik. Sebagai produk politik, maka hukum amat kental dengan kepentingan, rasanya pandangan equality before the law akan sulit diterapkan, sebab logika politik adalah harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukumpun akan mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri.15 Untuk itu, hakim adalah figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut untuk membangun kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan spiritual, jika kecerdasan intelektual, emosional, dan moral spiritual terbangun dan tepelihara dengan baik bukan hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri, tetapi juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan hukum.16 Maka, hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum serta hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara normatif saja, oleh sebab itu hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan dan harus mampu melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, serta pemikiran-pemikiran apa yang ada dalam ketentuan itu, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran yang ada dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai hasil perubahan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 15 lihat: Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003, hal.232-234 16 Kamil Ahmad., Pedoman Perilaku Hakim Dalam Perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008, hal.38 11
  • 12. dan kemudian di ubah lagi dalam UU No.48 Tahun 2009, dengan jelas dan tegas termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten mengatakan bahwa didalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.17Tersirat secara yuridis maupun filosofis, bahwa hakim mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dalam semua lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan. Montesquieu menyatakan, ada tiga bentuk negara dan pada setiap negara terdapat penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk negaranya. Dalam ètat despotique yang tidak ada undang-undang. Disini hakim dalam mengadili setiap peristiwa individual didasarkan atas apresiasi pribadinya secara arbitrer sehingga terjadi penemuan hukum secara “otonom mutlak”. Sedangkan di dalam negara ètat republicain, terdapat penemuan hukum yang heteronom: di mana hakim menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam ètat monarchique, meskipun hakim berperan sebagai corong undang-undang, tetapi dapat menafsirkan dengan mencari jiwanya. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang bersifat heteronom dan otonom. Di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom dan otonom18 sehingga karenanya apabila dihadapkan suatu kasus sesulit apapun hakim wajib menemukan hukumnya, baik melalui terobosan hukum (contra legem), atau melalui konstruksi hukum (rechts construksi), baik dengan cara menafsirkan hukum yang sudah ada maupun dengan cara menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Peranan hakim disini lebih bersifat otonom. Agar putusan 17 Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal.61 18 Ibid. hal.56-59 12
  • 13. yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis maupun secara moral, maka dalam menghadapi fakta konkrit, hakim harus mampu menemukan hukumnya melalui interpretasi. Selanjutnya, Pasal 10 UU No.48 Tahun 2009, menyatakan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Ketentuan Pasal tersebut diatas mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, maka hakim harus bertindak atas inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapt membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum. Selanjutnya, ketentuan Pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai organ utama dalam suatu penagdilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang dianggap memahami hukum, untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu perkara, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab. Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 10 Undang- Undang No.48 Tahun 2009), yaitu : 1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang akan diajukan ke pengadilan akan diputus. 2. Untuk mendorong hakim melakukan penemuan hukum. 3. Sebagai perlambang kebebasan hakim dalam memutus perkara. 4. Sebagai perlambang hakim tidak selalu harus terikat secara harafiah pada peraturan perundang-undangan yang ada. Hakim dapat mempergunakan berbagai cara untuk mewujudkan peradilan yang benar dan adil.19 19 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.26-27 13
  • 14. Menurut Roscoe Pound, ada beberapa langkah yang biasa dilakukan oleh seorang hakim pada saat mengadili suatu perkara di pengadilan, yaitu menemukan hukum, menafsirkan hukum, dan menerapkan hukum.20 Dalam hal peraturannya tidak ada atau tidak lengkap maka tersedialah metode argumentasi, sebagai berikut :21 a) Argumentum per analogiam Mengambil kesimpulan secara analogi terhadap Pasal, meskipun tidak memenuhi unsur-unsur pada Pasal tersebut. contohnya : Pasal 1756 BW mengatur tentang mata uang. Apakah uang kertas termasuk di dalamnya? dengan jalan analogi maka “mata uang” menurut Pasal 1756 BW ayat 2 ditafsirkan termasuk uang kertas. b) Argumentum ά contrario Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang mirip tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku yang sebaliknya. contoh : jika seorang janda harus menunggu masa iddah untuk menikah lagi, meskipun terhadap duda tidak aturannya seperti itu, maka bisa digunakan untuk ditafsirkan sama. Untuk itu, dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan 20 Ibid, hal.8 21 Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan, Teori Hukum, Universitas Gadjah Mada, 2011., lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal. 84-90 14
  • 15. sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.22 Adanya, terjadi suatu kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern yang disebabkan oleh permainan prosedur itu, sehingga menimbulkan pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.23 Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.24 Sehingga, hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum. Mengenai kekakuan prosedural legalistik hukum positif, Lawrence M. Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan hukuman atau imbalan, masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh subjek hidup masyarakat.25 Salah penilaian jika menganggap hukum adalah segala- galanya, manusia yang menjadi subjek hukum bukanlah mesin, tapi makhluk sosial yang memiliki ide dan nilai sendiri. Di samping itu, manusia bukanlah sesuatu yang statis, tapi makhluk yang dinamis, bisa saja sanksi yang aka dijatuhkan oleh hukum diarahkan pada hal tertentu.26 Hukum formal legalis yang prosedural biasanya mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada prakteknya hukum formal sulit memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya 22 Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal.276 23 Ibid, hal.272 24 Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009, hal.219 25 Friedman Lawrence M.., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,, Cet. III, Nusa Media Bandung, 2009, hal.139 26 Ibid.hal.140 15
  • 16. akan lebih diperhatikan.27 Pemberlakuan hukum dengan karakter informal yang lebih luas, dengan mengedepankan pemenuhan fungsi hukum sebagai sumber keadilan, maka hukum akan berfungsi sebagaimana mestinya. Terhadap hal tersebut, penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan menimbulkan anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi keadilan yang diinginkan oleh seseorang sebenarnya adalah keadilan yang substantif, bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di dalam undang-undang saja. Hukum bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin menegakkan keadilan demi kebahagiaan manusia.28 Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan prosedur, sering disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar menawar hukum otonom. Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan substantif kepada pihak lain, sebagai gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat untk mendapatkan akses ke dan cara berpartisipasi dalam proses hukum.29 Dengan kekuasaan ini, pengadilan dapat mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum. Pemahaman tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini banyak mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil hanyalah cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia. Hukum tidak saja diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada keberhasilan untuk mencapai tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada efisiensi.30 27 Lihat : Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal.264- 265 28 Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum.., Op.cit.hal.10 29 Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2008, hal.74 30 Rahardjo Satjipto., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006, hal.194 16
  • 17. B. PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP NILAI - NILAI BUDAYA MASYARAKAT Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin kehendak bersama para anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu perbuatan hukum serta cermin dari rasa keadilan mereka. Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat pencari keadilan melalui lembaga peradilan di negeri ini merasa kecewa, karena seringnya keadilan dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan masyarakat yang mempunyai strata sosial yang tinggi, dan akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah fatamorgana bagi masyarakat pencari keadilan. Masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak isu-isu miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, hakim maupun pengacara/advokat, lembaga legislatif (DPR), dan lembaga eksekutif (pemerintah). Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliyunan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Bahkan masyarakat awampun dapat menyaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Hal ini dikarenakan penegakan hukum baik dari substantif maupun proseduralnya bermuara dengan kepastian hukum dan sebagai hasil perebutan kekuasaan belaka.31 Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi. Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak hukum. Dapat juga 31 Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Cet.IV, Nusa Media, Bandung, 2010, hal.106 17
  • 18. terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang meewajibkan rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu. Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak hukum harus menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak hukum menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hukum mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.32 Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga peradilan adalah tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak berkembang menjadi konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4 (empat) prasyarat :33 1) Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki; 2) Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya; 3) Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia; 4) Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar- benar memperoleh perlindungan hukum. Untuk itu, dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan yang dapat dirinci sebagai berikut : 1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu; 2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal; 3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih); 32 Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.25 33 Rahardjo Satjipto., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hal.107 18
  • 19. 4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai; 5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.34 Selanjutnya, hakim disini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu didalam menjalankan peranannya itu merupakan : 1. Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat; 2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi); dan 3. Sasaran lingkungan pada waktu itu.35 Sosialisasi hakim para disini terutama dikaitkan dengan pendidikan yang diperolehnya untuk mencapai keahlian sebagai sarjana hukum. Pendidikan sebagai suatu unsur dalam proses sosialisasi seorang hakim akan menentukan kerangka berpikir dan mengambil keputusan. Konsep-konsep tentang hukum, asas-asas dalam hukum, metode berpikir dan sebagainya merupakan kekayaan yang tersimpan didalam diri seorang hakim dan merupakan kerangka berpikirnya sebagaimana disebutkan diatas.36 Untuk melengkapi perbedaan hukum dalam ungkapan formalnya dengan kenyataan yang dijalankan sehari-hari, sekedar dilihat dari sudut organisasinya, disini akan di tambahkan pula pendapat Schuyt, yang menghubungkan bekerjanya hukum melalui organ-organ pelaksananya, tetapi atas dasar yang lebih umum. Menurut Schuyt tujuan hukum yang kemudian harus diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur sifatnya. Ia menunjuk pada nilai-nilai : keadilan, keserasian (doelmatigheid) dan kepastian hukum sebagai tujuan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari- hari.37 Terkait dengan hal tersebut diatas maka idealnya suatu putusan hakim, menurut Radbruch (Radbruch, 1946:30) ialah mengandung 3 (tiga) unsur “Idee des Rechts”: 34 Barimbing R.E.., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal.2 35 Ibid .hal.58 36 Ibid. hal.59 37 Ibid, hal.75 19
  • 20. 1) Keadilan (gerechtigkeid) 2) Kemanfaatan (zweckmassigkeit); dan 3) Kepastian hukum (rechtssicherheit) secara prorposional. Jadi, suatu putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya. Namun, pada praktiknya, dapat dikatakan tidak mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau konflik antara ketiga unsur itu. Bagaimana cara seorang hakim dapat mengatasi “konflik” atau “tarik-menarik” antara gerechtigkeid, zweckmassigkeit, dan rechtssicherheit dalam mengadili sebuah perkara merupakan sebuah seni atau kiat sendiri. Bagaimanakah menjatuhkan putusan yang adil, tetapi tidak menyimpang dari peraturan hukum, atau bagaimanakah menjatuhkan putusan dengan mentaati peraturan hukum, tetapi tidak mengorbankan keadilan? Hakim harus mengusahakan adanya keseimbangan antara tiga (3) unsur Idee des Rechts secara proposional dalam suatu putusan.38 Terhadap praktiknya ketidakmungkinan menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan tersebut diatas, hakim dalam memutuskan suatu perkara cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum saja, dimana hakim lebih memilih mempertahankan norma-norma secara tertulis yang ada dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif, dengan cara menggunakan pendekatan legalitas/yuridis normatif. Jika hal ini dipertahankan maka hakim akan mengalami kebuntuan dalam berfikir, karena sulit untuk menemukan Pasal apa yang akan diterapkan (dikarenakan peraturan itu tidak lengkap atau tidak ada) terhadap perkara itu. Padahal, telah dengan jelas dan tegas dinyatakan dalam dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: "Hakim dan hakim kosntitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kenyataan yang ada, hakim “sulit” melaksanakan ketentuan tersebut. Untuk itu, jika masyarakat diperhadapkan dengan persoalan hukum, serta dalam hal hakim melakukan pendekatan-pendekatan berupa metode penemuan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara hukum, hakim juga seharusnya lebih memperhatikan 38 Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, hal.23 20
  • 21. nilai-nilai yang masih diakui, dianut, dipercaya dan dijalankan dalam kehidupan masyarakat (sesuai juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009), artinya penegakan hukum oleh hakim, tidak hanya sekedar penegakan hukum berdasarkan Pasal-Pasal/teks dalam undang-undang, karena hukum harus dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, dan dengan hati nurani, sebab hanya dengan cara itu, maka masyarakat akan merasakan hukum itu adil dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut, serta memberikan kemanfaatan dari hukum yang diciptakan untuk manusia. Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada (bergerak) diantara 2 (dua) titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau haik menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas- batas kebebasan hakim. Dimana hakim hanya dapat bergerak diantara 2(dua) titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di dekat titik keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas. Menurut konsep pertanggungjawaban dalam administrasi Negara, dimana dikatakan walaupun administrasi Negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijakan- kebijakan, tetapi sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.39 Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum40maka hakim berdasarkan Freies Ermessen-nya (kebebasannya) dapat memilih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau Negara. Disini hakim harus lebih mengutamakan kepentingan pihak yang bersangkutan dari pada kepastian hukum tetapi tidak bertentangan dengan 39 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.132-133 40 Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Op.cit. hal.24 21
  • 22. kesusilaan, kepentingan umum atau Negara. Pemikiran ini dikenal sebagai problem oriented thinking. Hakim pada dasarnya tidak boleh melanggar undang-undang, tidak boleh melanggar sistem, harus berpikir system oriented. Berdasarkan kebebasannya (freies ermessen) hakim harus berani memutuskan secara adil, walaupun itu bertentangan dengan kepastian hukum atau undang-undang. Ada suatu ungkapan yang berbunyi : summum ius summum injuria, yang berarti : makin lengkap , rinci atau lengkap peraturan hukumnya maka keadilannya makin terdesak atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum. Bunyi irah-irah atau titel eksekutarial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebagai contoh kasus, penulis mengambilnya dari studi dominasi Negara dalam semua peyelesaian sengketa pidana dan konstruksi penyelesaian perkara carok berdasarkan nilai - nilai budaya masyarakat Madura, dimana ketidakmampuan hukum Negara untuk menyelesaikan perkara carok, tidak satupun yang memandang carok sebagai perbuatan yang penuh dengan makna dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pembelaan terhadap kehormatan diri, keturunan dan agama orang Madura. Pengadilan Negara memandang carok sebagai persolan hitam putih yang sama dengan kejahatan - kejahatan lain. Hal ini terlihat dari perkara carok dimana hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 bulan 15 hari kepada Juma’atun P. Anik karena telah membacok Saniwi P. Hasad dengan menggunakan celurit karena telah mengganggu atau berselingkuh dengan istrinya, Astutik. Dalam putusan ini, hakim sama sekali tidak membuktikan unsur-unsur Pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Demikian juga dengan perkara, dengan terdakwa Abd. Rofik yang membacok tubuh Suro karena diketahui akan menggauli istrinya yang sedang tidur. Putusan hakim dalam perkara ini tidak didasarkan pada terbuktinya unsur - unsur delik dalam rumusan Pasal yang di dakwakan, tapi hanya berdasarkan keterangan saksi - saksi dan terdakwa dipersidangan. Sedangkan unsur-unsur delik tidak disebutkan dan diuraikan satu persatu didalam putusan.41 41 Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.76 22
  • 23. Terhadap perkara carok yang disebabkan oleh pelecehan eksistensi diri dengan cara menantang carok, dalam putusan terdakwa Badri dan Atmoyo, warga Desa Kadur, Pamekasan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan: “Dari keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan keterangan terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti yang ada dimana satu dengan lainnya saling berhubungan, maka Majelis Hakim sependapat dengan Penuntut Umum yang menyatakan perbuatan terdakwa telah terbukti memenuhi unsur-unsur dari dakwaan subsidair, sehingga Majelis Hakim berkeyakinan terdakwa telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan tersebut.” Sayangnya, hakim tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa menyetujui pendapat Penuntut Umum dalam tuntutannya. Dengan kata lain hakim memindahkan argumen Penuntut Umum ke dalam pertimbangannya.42 Dengan menjadikan Pasal yang didakwakan sebagai pedoman untuk memutus bersalah tidaknya pelaku. terjadinya reduksi cerita yang tidak sesuai dengan komponen Pasal tersebut tidak dielakkan. Reduksi inilah yang merupakan ciri positivisme hukum. Hakim mereduksi makna carok dengan memandangnya sebagai pembunuhan pada umumnya. Hakim tidak melihat bahwa carok merupakan pembelaan harga diri masyarakat Madura dalam rangka membela kehormatan diri, keturunan dan agama mereka. Setiap pembunuhan dan penganiayaan yang meyebabkan matinya orang, apapun bentuk dan motifnya, tetaplah pembunuhan. Pembunuhan yang disebabkan oleh balas dendam kematian anggota keluarga, isstrinya diganggu, dan pelecehan harga diri direduksi maknanya sebagai pembunuhan biasa. Oleh karenanya, Pasal 338, Pasal 340 dan Pasal 351 ayat (3) KUHP sangat layak dijadikan dasar untuk memidana pelaku. hakim akan membuang cerita yang tidak sesuai dengan Pasal yang didakwakan. Makna dan nilai-nilai budaya Madura tentang pembelaan kehormatan diri, keturunan dan agama tidak akan dijadikan sebagai pertimbangan oleh hakim, karena hal itu jelas tidak cocok dengan komponen Pasal pembunuhan baik biasa maupun yang direncanakan. Pada akhirnya, peraturan-peraturan hukum yang merupakan tumpuan konsepsi hukum prosedural itu hanya akan menunjukkan bagan-bagan bagi 42 Ibid. hal.79 23
  • 24. penyelesaian sengketa-sengketa tersebut. Tetapi ia tidak menjawab bagaimana rakyat itu menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi diantara mereka; tentang jenis- jenis subyek yang dapat dipercaya untuk menangani penyelesaian itu serta macam- macam penyelesaian yang bagaimana saja yang dipakai disitu, seperti misalnya apakah mediasi, kompromi atau lainnya lagi. semua yang disebut terakhir ini bukannya hubungan-hubungan yang dilafalkan didalam bagan-bagan tersebut, melainkan tingkah laku atau hubungan-hubungan yang nyata terjadi dan dibiasakan didalam masyarakat serta didukung oleh nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat.43 Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa setiap perumusan adalah penegasan atau pencitraan tentang suatu hal (to define, definition). pencitraan adalah pembuatan konsep. Dalam pembuatan konsep tersebut selalu dimulai dengan pembatasan atau pembedaan antara yang dirumuskan dan yang tidak atau yang berada diluarnya. Dengan adanya perumusan tertulis oleh hukum tentang pembunuhan, maka orang menjadi tahu perbuatan mana yang bukan pembunuhan. oleh karena perumusan itu bekerja dengan cara membatasi seperti itu, maka timbul resiko besar akan ketidaktepatan perumusan. Tidak salah kiranya jika dikatakan bahwa perumusan suatu teks hukum merupakan wilayah kebahasaan, dan demikian telah memasuki suatu permainan bahasa (language game). Permainan bahasa ini akhirnya menimbulkan reduksionis dan sakralitas teks. Hakim kemudian menjadikan teks sebagai suatu yang otonom, dalam arti semua keterangan saksi-saksi dan terdakwa harus disesuaikan dengan Pasal yang dijadikan pedoman hakim. Disini keberadaan nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan dan tidak berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhhkan oleh hakim. Eksistensi hakim, para saksi, dan terdakwa tidak boleh memberikan pengaruh terhadap makna yang terkandung dalam Pasal tersebut. Sebab teks (hukum) independen sifatnya, sehingga eksistensinya objektif dari sejumlah kritik dan kerangka kerja hermeneutis pembaca. Oleh karena itu, interpretasi yang benar adalah yang sesuai dengan kenyataan otonomi teks.44 43 Satjipto Rahardjo., Hukum Dan.., Op.cit.hal.82 44 Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.80-82 24
  • 25. C. PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF YANG BERKEADILAN Kemunculan hukum yang progresif, tidak dapat pula dipisahkan dari munculnya aliran Critical Legal Study (CLS) di Amerika Serikat pada tahun 1977, dimana jika diteliti lebih dekat, mengandung substansi kritik atas kemapanan akan aliran dalam hukum liberal yang bersifat formalistik dan prosedural, serta juga rasa ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum yang berlaku di Amerika Serikat. CLS langsung menutup jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal. CLS lahir dari bentuk pembangkangan terhadap realitas sosial tentang ketidakadilan yang memang merisaukan para ahli hukum saat ini. Hukum positif telah memperlihatkan dirinya tidak berdaya dan telah digunakan hanya sekedar sebagai suatu alat penindas atau pemanis belaka. Oleh karena itu, para penganut CLS berusaha keluar dari doktrin- doktrin yang sudah usang untuk segera masuk kedalam suatu tatanan hukum yang lebih baik sesuai dengan perkembangan masyarakat yang damai, tidak rasialis, tidak genderis, dan tidak korup. Pemikiran CLS tersebut, setidaknya telah mengilhami beberapa ahli hukum di Indonesia, sehingga sedikit banyak pemikirannya dipengaruhi oleh gerakan ini. Sebut saja, Prof. Satjipto Rahardjo yang menggagas bentuk pemikiran yang dinamakannya hukum progresif dengan dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan lemahnya law enforcement di Indonesia dewasa ini, yang selanjutnya pemikiran tersebut berkembang dan mengilhami banyak kalangan hukum lainnya di negeri ini.45 Kata progresif itu sendiri berasal dari progress yang berarti adalah kemajuan. Jadi, disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serata mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya penegak hukum itu sendiri.46Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.47 Selain itu juga, hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, 45 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.43 46 Ibid. hal.44 47 Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hal.31 25
  • 26. sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut: “Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor- faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain- lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).”48 Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum. Selanjutnya, Satjipto Rahardjo mengatakan: …., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.49 Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep 48 Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hal.72 49 Rahardjo Satjipto.,Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix 26
  • 27. keadilan yang telah disepakati bersama.50 Merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif. Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?.” Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.51 Habermas mengemukakan bahwa satu aturan tentang nilai-nilai hidup tidak mungkin dapat ditetapkan pada suatu masyarakat yang plural tanpa suatu konsensus. Pandangan deontologist ini menempatkan keadilan sebagai nilai utama yang tertinggi yang disebut the primacy of justice. Maka hukum progresif dalam pengembaraannya mencari keadilan substansial tidak hanya mendasarkan diri pada satu tatanan nilai tertentu, tetapi pada suatu komunikasi dan transformasi dari semua aspek nilai yang plural dan bersifat holistis.52 Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang biasa dilakukan.53 Oleh karena itu, hukum progresif tercermin dalam apa yang menjadi karekteristiknya, yaitu pertama, bahwa “hukum untuk manusia”, kedua, bahwa “hukum menolak untuk mempertahankan status quo”, dan yang terakhir 50 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 270 51 Ibid, hal. 272 52 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru .., Op.cit.hal.103 53 Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.xiii 27
  • 28. “hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum”.54 Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.55 Berdasarkan karakteristik hukum progresif tersebut diatas, maka menurut pendapat Achmad Rifai,56 bahwa karakteristik penemuan hukum progresif adalah : 1) Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan dibimbing oleh pandangan atau pemikirannya secara mandiri, dengan berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia; 2) Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan, serta juga etika dan moralitas; 3) Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta keadaan masyarakat. Selanjutnya, dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum progresif diatas, maka Achmad Rifai57 berpendapat bahwa metode penemuan hukum yang sesuai adalah sebagai berikut : 1. Metode hukum yang bersifat visioner, dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang kedepan dengan melihat case by case. 54 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru;.., Op.cit.hal.143 55 Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm.70 56 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.48 57 Ibid. hal.93 28
  • 29. 2. Metode hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum dan kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya. 3. Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan dapat juga membawa bangsa dan Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini. Oleh karena itu, hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.58 Oleh karena itu, dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad). Sebagaimana Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang- undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.59 Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari arah legalistik-positivistik ke arah kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun. 58 Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 276 59 Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif;.., Op.cit.hal.74 29
  • 30. Berdasarkan hal tersebut, menurut Achmad Rifai60 putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah : 1) Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun memang seharusnya hakim selalu harus legalistik karena putusannya tetap pada peraturan perundang-udangan yang berlaku; 2) Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau sekedar hanya memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus befungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan; 3) Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner), yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang- undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim bebas dan bebas melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan; 4) Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan Negara keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan. Dapat dikatakan bahwa hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim 60 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;,Op.cit. hal.137-138 30
  • 31. Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.61 Paradigma “pembebasan” yang dimaksud diatas bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya. 61 Ibid, hal.75 31
  • 32. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : Bahwa penegakan hukum itu terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh sebab itu, hakim sebagai penegak hukum senantiasa harus memperhatikan dan mengikuti dinamika masyarakat, sebab dalam kenyataannya hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan sering tidak mampu menjangkau kebutuhan yang ada. Bahwa nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat mewujud dalam bentuk hukum, yaitu hukum yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua permasalahan yang ada ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis berpendapat bahwa hukum adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk itu hukum harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Penegakan hukum oleh hakim tidak sama dengan penegakan undang-undang, yang hanya sekedar sebagai corong undang-undang. Keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum baru (rule breaking), ialah dengan menempatkan nilai- nilai dan rasa keadilan masyarakat sebagai kekuatan “pembebasan” yang dapat memberi jalan keluar terhadap kebuntuan dari pendekatan legalitas formal. Oleh karena itu, filosofi hukum progresif adalah hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya, dan juga hukum itu bukan hanya bangunan peraturan belaka, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita, serta dengan tujuan mencapai kesejahteraan dan membahagiakan Manusia. 32
  • 33. B. SARAN Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut : Bahwa dalam hal peran hakim dalam penegakan hukum, maka hukum harus dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar relijiusnya, sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak sesuai dengan nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi), dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap aturan hukum itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya. Bahwa penegakan hukum oleh hakim sedapat mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts, yang tidak sekedar memutuskan suatu perkara cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum, dengan mempertahankan norma-norma secara tertulis yang ada dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif. Jika hal ini dipertahankan maka hakim akan mengalami kebuntuan dalam berfikir, Oleh sebab itu putusan hakim harus didasarkan kepada suatu keyakinan yang jernih berdasarkan suara hati nurani, dengan pertimbangan senantiasa harus memperhatikan aspek filosofis maupun sosiologis agar putusannya menyentuh rasa keadilan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum, dalam hal memeriksa, mengadili suatu perkara, apabila mengalami kebuntuan berpikir secara positivistik, maka hakim harus berani mengadirkan hukum progresif yang menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” dari pada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking” dengan pertimbangan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 33
  • 34. DAFTAR PUSTAKA Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang- Indonesia, Yogyakarta, 2009 Barimbing R.E., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001 Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta, 2008 Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan., Teori Hukum, Universitas Gadjah Mada, 2011 Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010 Friedman Lawrence M., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,, Cet. III, Nusa Media Bandung, 2009 Kamil Ahmad., Pedoman perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008 Kansil C.S.T., Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari positivistik ke progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009 Kusumaatmaja Mochtar., Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Alumni, Bandung, 1999 Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009 34
  • 35. Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003 Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009 Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010 Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011 Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2008 Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980 ______________., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983 ______________., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986 ______________., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006 ______________., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006 ______________., Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007 ______________., Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Cet.I, Genta Pubishing, Yogyakarta, 2009 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006 35
  • 36. Soekanto Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983 Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Cet. III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Cet.IV, Nusa Media, Bandung, 2010 Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010 Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009 36