1. Sejarah perkembangan kriminologi dimulai dari pemikiran Cesare Lombroso pada abad ke-19 yang melihat hubungan antara kejahatan dengan faktor biologis.
2. Pada abad ke-18 muncul mazhab klasik yang mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran undang-undang, dengan asas bahwa tidak ada kejahatan tanpa undang-undang.
3. Perkembangan selanjutnya membahas pandangan Plato,
1. 1
SEJARAH PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI
Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala dari manusia lain,
selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan keperluan orang lain maka
diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal tersebut penting
sehingga manusia tidak selalu berkelahi untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Tujuan dari norma adalah untuk ditaati dan untuk, agar norma ditaati suatu
norma membutuhkan suatu sanksi. Dalam ilmu hukum dikenal berbagai bentuk
norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan, norma susila, norma
adat, norma agama dan norma hukum. Sanksi yang paling hebat dari norma-norma
tersebut terdapat pada hukum pidana, yaitu derita, nestapa yang diberikan secara
sengaja dan sadar bpada seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran
hukum. Pasal 10 KUHP menetapkan empat bentuk hukuman pokok bagi seseorang
pelaku tindak pidana yaitu : hukum mati, penjara, kurungan dan denda.
Adalah suatu kenyataan bahwa hukum pidana belum efektif. Thomas More
membuktikan bahwa sanksi berat bukanlah faktor utama untuk memacu efektivitas
dari hukum pidana.
Sejarah perkembangan Kriminologi, pada dasarnya dibagi atas beberapa
periode sebagai berikut :
A. SEBELUM ABAD KE 19
ZAMAN KUNO
Pada abad ke-19 lahirlah ilmu sosiologi yang dipelopori oleh Aguste
Comte seorang ahli sosiologi dari Perancis. Pada abad yang sama lahir pula
kriminologi Tahun 1830, ketika itu sudah banyak ilmu pengetahuan, namun
kriminologi belum mendapat perhatian secara sistematik.
Ada beberapa catatan yang membahas tentang kejahatan yakni Les
economiques de la criminalite (1930) dari Van Kan yang mengetengahkan
hasil penelitian ahli tentang sebab musabab kejahatan dengan orientasi
sosiologi (dalam buku Bonger dengan judul criminalite at conditions
economiques 1905). Kemudian penelitian dengan orientasi antropolgi
2. 2
criminal oleh G. Antonini dengan karya at preccuson di Lombraso (1909).
Jauh sebelum iniPlato dalam bukunya Republiek telah mengemukakan
“emas manusia merupakan kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam
pandangan manusia, makin merosot pandangan kesusilaan.” Dalam suatu
negara sebahagian besar rakyat berada dalam kemiskinan, pasti secara
diam-diam bersarang bajingan, tukang copet, anti agama, yang
menyuburkan lahirnya komunis. Dewetten dalam karyanya juga
mengemukakan, jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin,
dan tidak ada pula orang kaya, akan dapat kesusilaan yang tinggi, karena
disitu tak aka nada rasa iri hati dalam kelaliman. Aristoteles (384-322 SM)
seorang pengarang Yunani kemiskinan menimbulkan kejahatan dan
pemberontakan. Dewetten dan Aristoteles berpengaruh dalam hokum
pidana, mereka mengatakan bahwa hokum pidana dijatuhkan bukan karena
berbuat jahat, tetapi agar jangan berbuat jahat.
Sejarah perkembangan pemikiran kriminologi berasal dari suatu
penyelidikan yang dilakukan oleh Cesare Lombroso seorang ahli matematika
berkebangsaan Itali. Bersamaan dengan ini, lahirlah mashab klasik pada
Abad ke-18, yang dipelopori pula oleh Cesare Lombroso dipandang sebagai
“tokoh revolusi” terhadap hokum pidana dan juga dikenal sebagai “bapak
kriminologi” (the father of criminology). Aliran klasik kemudian hadir di
Inggris pada abad ke-19 dan terbesar di Eropa dan Amerika Serikat. Mashab
klasik ini didasarkan pada “teori hedonistic” dengan memperkenalkan doktrin
“free will” dengan melandasi pada filsafat hedonistis yang memandang
bahwa manusia mempunyai kebebasan memilih perbuatan yang dapae
memberikan kebahagiaan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang akan
memberikan penderitaan.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penyelidikan secara ilmiah
tentang kejahatan justru bukan dari Cesare Lombroso, melainkan Adolphe
Quetelet seorang Belgia yang memiliki keahlian di bidang matematika, yang
melahirkan “statistik Kriminal” yang digunakan oleh pihak kepolisian
diseluruh negara, dalam memberikan deskripsi tentang perkembangan
kejahatan di negara-negara.
3. 3
Menurut asalnya kejahatan tidak ada pembatasan resmi dan tidak ada
campur tangan penguasa terhadap kejahatan, kejahatan semata-mata
dipandang sebagai persoalan individu atau pribadi atau keluarga. Individu
yang merasa dirinya menjadi korban orang lain akan mencari “balas”
terhadap pelakunya atau keluarganya. Konsep peradilan ini dapat diterima
pada perundang-undangan lama seperti Code Hummurabi (1900 SM).
Perundang-undangan romawi Kuno (450 SM) dan pada masyarakat Yunani
kuno seperti “curi sapi bayar sapi”. Pembahasan ini juga ada pada kitab
Yunani lama “eye for eye”.
Kemudian konsep kejahatan ini berkembang untuk perbuatan-
perbuatan yang ditujukan kepada individu masalah menjadi urusan pribadi.
Seiring dengan perjalanan waktu, kejahatan menjadi urusan raja (negara),
yaitu dengan mulai berkembangnya apa yang disebut sebagai parents
patriae, dengan demikian maka tidak ada main hakim sendiri.
ZAMAN PERTENGAHAN
Pada zaman pertangahanVan Kan memberikan kontribusi pemikiran
dalam pertumbuhan kriminologi dengan orientasi sosiologi criminal. Thomas
Aquino (1226-1274) mengemukakan pendapat bahwa kemiskinan dapat
menimbulkan kejahatan, sedang orang kaya yang hidup bermewah-mewah
akan menjadi pencuri bila jatuh miskin, dan kemiskinan biasanya memberi
dorongan mencuri, yang menarik perhatian dari kalangan ini “summa
theologika” dimana membenarkan boleh mencuri bila keadaan memaksa.
Permulaan sejarah baru ini dapat dianggap lahirnya kriminologi dalam
arti sempit, karena pada zaman ini Thomas More membahas hubungan
kejahatan dengan masyarakat, ia mengarang roman sosialistis bersifat utopis
(15-16). Ia mengkritik pemerintahan Inggris menghukum penjahat terlalu
keras dan mengatakan kejahatan akan berkurang bila ada perbaikan hidup,
bukan karena hukuman yang keras. Mengecam susunan hukuman pidana
dimana berlaku hukuman mati untuk pencurian, tetapi setuju bahwa penjahat
harus menebus dosanya.
4. 4
PERMULAAN SEJARAH BARU (ABAD KE 16)
Pada masa ini Thomas More membahas tentang hubungan kejahatan
dengan masyarakat. Serta mengarang sebuah roman sosialistis yang bersifat
utopis. Pada masa ini Thomas More mengkritik Pemerintahan Inggris yang
menghukum penjahat terlalu keras, serta mengatakan kejahatan akan
berkurang apabila ada perbaikan hidup. Kemudian, Thomas More mengecam
bentuk hukuman yang keras dalam Hukum Pidana sebagai hukuman mati
untuk pencurian.
Dalam khayalan sosialistis ini, nampaknya Thomas More sangat
dipengaruhi oleh Plato. Tetapi jauh dari nilai yang lebih tinggi, digambarkan
suatu negara yang alat-alat produksinya dikuasai oleh umum. “Penduduk
Utopia”, demikian dinyatakan oleh Plato melebihi semua bangsa di dunia ini
dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.
Plato juga dikenal sebagai ahli sosiografi dan sebagai ahli kritik terhadap
keadaan sosial. Plato menguraikan tingkat kejahatan dan kekerasan di
Pengadilan pada masa itu selama 24 Tahun ada 72.000 pencuri digantung.
walaupun dibrantas dengan kekerasan. Namun, arus kejahatan tetap tidak
berhenti.
Zaman ini dapat dianggap zaman lahirnya kriminologi dalam arti
sempit, karena pada zaman ini Thomas More membahas hubungan kejahatan
dengan masyarakat. Ahli hukum ini mengarang sebuah roman sisialistis yang
bersifat utopis (1516). Dia mengkritik pemerintah Inggris yang menghukum
penjahat terlalu keras mengatakan kejahatan hanya akan berkurang bila ada
perbaikan hidup, bukan karena hukuman yang keras. Mengecam susunan
hukum pidana diamna berlaku hukuman mati untuk pencurian, tetapi setuju
bahwa penjahat harus menebus dosanya.
PADA ABAD KE 17
Tidak banyak yang diuraikan van kan juga menguraiakan beberapa
pernyataan dari Erasmus, luther dan calvinj. Semuanya ini hanya pernyataan
5. 5
yang sambil lalu saja, umpama bahwa kemiskinan dapat menyebabkan
kejahatan. Mereka tak menujukkan suatu pengertian dalam masyarakat ini.
ABAD KE 18
Pada Abad ke-18 muncul mazhab klasik, sebagai reaksi atau
ketidakpuasan dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan pengusaha
pada waktu ancient regime. Mazhab klasik ini mengartikan kejahatan
sebagai peraturan yang melanggar undang-undang. Ajarannya yang
terpenting adalah “nulla crime sine lage” yang berarti tidak ada kejahatan
apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai
perbuatan yang dilarang. Hukum bertujuan menakut-nakuti dengan
penjatuhan hukuman penganiayaan. Secara yuridis adalah benar bahwa
suatu tindakan disebut sebagai perbuatan jahat atau kejahatan, ketika
tindakan atau perbuatan tersebut telah memenuhi syarat atau masuk dalam
ranah perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dibuat oleh
lembaga yang diberi wewenang oleh negara. Aliran yuridis membatasi
sesuatu perbuatan jahat atau kejahatan sebagai perbuatan yang telah
ditetapkan oleh negara, sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan
diancam dengan suatu sanksi.
Sedangkan penjahat adalah para pelaku pelanggar hukum pidana
tersebut dan telah diputus oleh pengadilan pidana atas perbuatannya.
Artinya aliran yuridis atau hukum hanya melihat dan bersandar pada Asas
Legalitas yang termuat dalam Pasal 1 (1) Kitam Undang-Undang Hukum
Pidana bahwa “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari
pada perbuatan itu, dalam penjelasan ketentuan ini ditugaskan bahwa
ketentuan hukum pidana modern yang menuntut ketentuan pidana harus
ditetapkan oleh undang-undang yang sah, mengandung arti bahwa
larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang.
Selanjutnya menuntut pula bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang
tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum
ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan. Undang-undang tidak
6. 6
dapat berlaku surut (mundur) “nullum delictum sine praevia lege poenali”
yakni peristiwa pidana tidak aka nada jika ketentuan pidana dalam undang-
undang tidak akanada “terlebih dahulu”. Dengan beelandaskan ketentuan
ini, maka hakim terikat oleh undang-undang sehingga terjaminlah hak
kemerdekaan diri pribadi orang, karena sekalipun seseorang telah
dinyatakan sebagai penjahat oleh ketentuan undang-undang dan peradilan
pidana, namun orang tersebut atau pelaku tindak pidana memiliki hak
sebagai individu. Inilah gambaran dari reaksi masyarakat terhadap pelaku
dan kejahatan, yang dikuatkan oleh pembentuk undang-undang , dan aturan
hokum pidana yang berlaku. Jelas terlihat bahwa aliran yuridis yang sangat
kaku, karena hanya menekankan pada hukum yang berlaku dengan tidak
melihat akan kondisi sosial, individu dan lingkungan sekitar.
Hasskel dan Yablonsky menerima alasan defenisi yuridis karena:
1. Statistik kejahatan dari pelanggaran-pelanggaran hukum yang diketahui
oleh polisi, yang dipertegas dalam catatan-catatan penahanan atau
peradilan serta data-datayang diperoleh dari orang-orang yang berada
dalam penjara. Perilaku yang tidak normatif atau perilaku anti sosial,
yang melanggar hukum tidak mungkin menjadi catatan apapun.
2. Tidak ada kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud dengan
perbuatan anti sosial
3. Tidak ada kesepakatan yang norma-norma pelanggarannya merupakan
perilaku non normatifdengan suatu sifat kejahatan (kecuali bagi hukum
pidana)
4. Hukum menyiapkan perlindungan bagi stigmatisasi yang tidak adil.
Adalah suatu kesalahan apabila meninggalkan hal ini dalam rangka
membuat pengertian kejahatan menjadi lebih inklusif
Kesulitan pendataan kejahatan menjadi suatu persoalan karena data
statistik tidak dapat menjamin keakuratan data, tidak dapat mendeteksi
dengan benar jumlah kejahatan “yang melanggar hukum pidana yang
berlaku pada setiap tahunnya”, apalagi tidak ada ketetapan secara jelas
tentang perbuatan anti sosial, selain yang ditetapkan oleh hukum pidana.
Hukum pidana sebagai pedoman menetapkan suatu perbuatan sebagai
7. 7
kejahatan. Aliran yuridis hanya menekankan pada persoalan perbuatan
kejahatan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum pidana. Kondisi ini
ada benarnya untuk menghindari dari tindakan aparat hukum dalam
ruangan lingkup sistem peradilan pidana dengan mengkriminalisasikan suatu
perbuatan sebagai kejahatan atas dasar pandangan di luar hukum pidana.
Penentangan terhadap hukum pidana dan acara pidana yang berlaku
Hukum pidana dari akhir pertengahan dan abad ke-16, ke 17 dan bagian
besar dari abad ke 18 semata-mata ditujukan untuk menakut-nakuti dengan
jalan menjatuhkan hukuman yang sangat berat. Hukuman mati yang dilakukan
beranekaragam, umumnya didahului dengan penganiayaan yang ngeri
(badannya ditarik dengan roda) dan hukuman atas badan merupakan hukuman
yang sehari-hari dilakukan dan yang diperhitungkan ialah pencegahan umum.
Kepribadian si penjahat tidak diperhatikan, ia hanya merupakan alat untuk
menakuti orang lain sebagai contoh dan hanya di pandang penting hanyalah
perbuatan yang jahat itu.Perturan-peraturan hukum pidana tidak tegas
perumusannya (analogi dalam hukum pidana) dan memberikan kemungkinan
untuk berbagi-bagi tafsiran). Acara pidana demikian juga. Sifatnya equisitor, dan
terdakwa di pandang hanya sebagai benda pemeriksaan,yang di lakukan dengan
rahasia. dan hanya berdasarkan laporan-laporan tertulis saja. Cara
pembuktiannya sangat tergantung dari kemauan sipemeriksa,dan pengakuan di
pandang sebagai syarat pembuktian yang utama (karena itu bangku penyiksa).
Gerakan penentangan yang terbesar dari rakyat golongan tengah terhadap
“ancien ragime” mempengaruhi juga jalannya perubahan dalam hukum pidana
dan acara piadana “aufklarung” juga menyoroti lapangan tersebut. Hak-hak
manusia akan beralaku juga untuk penjahat-penjahat. Montesquieu (1689-1755)
membuka jalan dengan bukunya “Esprit des luis” (1748), dimana ia menentang
tindakan sewenang-wenang, hukum yang kejam, dan banyaknya hukuman yang
di jatuhkan.
8. 8
Sebab-sebab sosial (kemasyarakatan) dari kejahatan
Karangan-karangan yang terbit dalam zaman penerangan memberikan
penghargaan tinggi kepada pendidikan manusia, jadi kita antara lain pada
penglihatan pertama mengharap bahwa akan diberikan perhatian pada bagian
dari kriminologi ini. Sosiologi umum pada waktu itu belum cukup berkembang
untuk itu criminal yakni statistic criminal, belum ada.
Oleh para pembuat encyclopaedia dan para pemimipin revolusi perancis sekali-
sekali ditunjuk tentang adanya hubungan antara kejahatan dengan keadaan
masyarakat. Montesquieu menyatakan, bahwa penbentukan perundang-
undangan yang baik harus lebih mengikhtiarkan pencegahan kejahatan daripada
hukuman “Voltaire dalam bukunya prix de la justice et de I’humanite” (1777)
mencacat bahwa pencurian dan lain-lain kejahatannya adalah orang miskin.
Brissot de warville yang pertama kali mengucapkan : ia propriete c’est le vol
menrangkan dalam bukunya theory des lois criminal bahwa manusia dilahirkan
tidak sebagai musuh masyarakat, tapi menjadi demikian karena keadaan
(kekurangan, kemalangan). Kurangnya kejahatan berhubungan langsung
dengan baik atau tidaknya cara menjalankan pemerintahan.
Sebab-sebab anthropologi daripada kejahatan.
Memandang kejahatan dari sudut medis pelopornya dakter prancis j.c de la
mettrie (1709-1750) ini merujuk kepada pengaruh zat-zat sehiggga apa yang
mereka lakukan di luas kesadaran mereka sehingga mereka tidak bisa lagi
mengktrol apay ang dilakukannya sehigga kejahatan itu terjadi.
Kemudian, C. Beccaria dengan judul karangannya “Dei Deliti E Delle Pene
(1764)” mengutarakan segala keberatan terhadap segala hukum pidana dan
hukuman-hukuman yang berlaku pada waktu itu. G. Filangieri dengan judul
bukunya “Scienza Della Legislazione (1780/5)”. Sedangkan di Inggris dan di
Jerman pada waktu itu belum ada yang terkenal, hanya J. Bentham (1748-
1832), ahli hukum dan filsafat yang menciptakan aliran utilitarisme. Karya
utamanya ialah “Introduction to the Principles of Morals and Legislation ” (1780).
Dia pada tahun 1791 menerbitkan suatu rencana pembuatan lembaga
pemasyarakatan model baru yang dinamai Panopticon or the Inspection House.
9. 9
Bahkan sebelum zaman Revolusi Perancis, ide-ide ini sudah ada hasilnya. Dan
pada tahun 1780 Perancis menghapuskan penganiayaan, sedang pada tahun
1740 Frederik Agung sudah menghapuskan penganiayaan tersebut. Sedangkan
Joseph II menghapuskan hukuman mati.
B. ABAD KE 19
Pada abad ke-19 muncul pandangan baru yang menitikberatkan pada
pelakunya dalam studi kejahatan. Mazhab ini disebut dengan Mazhab positif
di pelopori oleh Cesare Lombroso dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman
dari Italia. Aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana
dengan mengajukan konsep yang non hukum, serta mengartikan kejahatan
sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law).
Perkembangan kejahatan dengan menentang pada aliran yuridis, dimana
para sarjana aliran sosiologis tidak menyetujui adanya batasan menetapkan
kejahatan sebagaimana yang ditegaskan oleh aliran yuridis. Defenisi yuridis
telah memberikan “batasan atas perilaku yang disebut kejahatan”, karena
bersifat “statis”.
Perkembangan masyarakat selalu tidak statis dari masa ke masa,
demikian perkembangan kejahatan. Perkembangan dunia kejahatan lebih
pesat dibanding dengan perkembangan hukum. Satjipto Rahardjo
mengatakan hukum terseok-seok mengejar perkembangan zaman.
Pada zaman modernisasi, globalisasi, bahkan pada zaman Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) hukum akan tertinggal jauh dari perkembangan
kejahatan. Segala cara akan dilakukan orang demi keuntungan pribadi atau
kelompok, meskipun melalui cara-cara anti sosial, maka akan hadir pula
bentuk-bentuk kejahatan, dan hukum pidana harus bekerja keras untuk
membentengi dan membatasi kejahatan yang berkembang dan hidup di
masyarakat.
Oleh sebab itu, Thorsten Selli mengatkan bahwa pemberian batasan
defenisi kejahatan secara yuridis tidak memenuhi tuntutan-tuntutan
keilmuan. Suatu dasar yang lebih baik bagi perkembangan kategori-kategori
keilmuan adalah dengan memberikan dasar yang lebih baik dengan
10. 10
mempelajari norma-norma kelakuan (conduct norm), karena konsep norma-
norma perilaku yang mencakup setiap kelompok atau lembaga seperti
negara serta merupakan ciptaan kelompok-kelompok normatif maupun,
serta tidak terkurung oleh batasan-batasan politik dan tidak selalu
terkandung dalam hukum.
Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya “Esprit des lois” (1748)
membuka jalan, dimana ia menentang tindakan sewenang-wenang hukuman
yang kejam. Kemudian, Rousseau (1712-1778), melawan terhadap
perlakuan kejahatan kepada penjahat. Voltaire (1648-1778) yang pada
tahun 1672 tampil sebagai pembela “Jean Clas” yang tidak berdosa yang
dijatuhi hukuman mati dan menentang terhadap peradilan pidana yang
sewenang-wenang itu. Pada tahun 1777 di Bern diadakan perlombaan
mengarang untuk merencanakan suatu hukuman pidana yang baik. JP Marat
judul karangannya Plan de Legislation Criminelle (1980) dan JP Issot de
Warville (1745-1793) dengan judul Theorie des Lois Criminelles (1781).
Di Inggris dan Jerman waktu itu belum ada yang terkenal hanya J.
Bentham (1748-1882), ahli hukum dan filsafat yang menciptakan aliran
Utilitarisme, karya utamanya adalah Introduction to the principles of morals
and legislation (1780). Pada tahun 1791, ia merencanakan menerbitkan
lembaga permasyarakatan model baru yang dinamai “Penopticon or the
inspection house).
Sebelum zaman revolusi Perancis ide-ide ini sudah ada dan hasilnya
pada tahun 1780 Perancis menghapus penganiayaan dan pada tahun 1740
Frederik Agung sudah menghapus penganiayaan tersebut. Sedangkan
Joseph menghapus hukuman mati.
Aliran sosiologis menegaskan bahwa kejahatan merupakan suatu
perilaku manusia yang ditetapkan oleh masyarakat walaupun masyarakat
memiliki perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi ada didalamnya bagian-
bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini dimungkinkan
oleh karena adanya sistem kaidah.
11. 11
Gejala kejahatan itu terjadi didalam suatu proses interaksi sosial, ada
bagian-bagian tertentu dari masyarakat yang memiliki wewenang untuk
merumuskan tentang kejahatan.
Austin Turk memberikan gambaran tentang kejahatan sebagai berikut:
1. There is apparently not pettern of human behavior which has nor
been at least toleranted in some normative structure
2. The behavioral element comparison illegal act are not specific to
criminals as distinguished from other human behavior
3. There is selective and differential perception of every element
(individual testimony, actions, sequences of evens, location
involving a criminal act)
4. An individual range behavioral included many more acceptable than
intolerable actions objective and relations
5. Criminal acts attributed to the some individuals vary in terms both
than actual of imputed behavior on separated occasions and of the
frequencies of particulrs act
6. Most criminal acts do not become known and recorded
7. Not all person known to have violated to law providing for
penalties imposed by authorities are subjective to punitive legal
recognition
8. For more offense categories, the rates are relatively high for lower
status minority groups, young male, transien urban populations
Kejahatan adalah bukan pola perilaku manusia yang telah atau
setidaknya ditoleransikan pada beberapa struktur normatif. Perilaku
menyimpang yang disebut kejahatan bukan hanya ada pada aturan tertulis
atau struktur normatis saja tetapi juga pada nilai-nilai masyarakat bahwa
perilaku itu adalah kejahatan. Bagian dari perilaku menyimpang bukan
perbandingan yang sah, antara perbuatan kejahatan dan perbuatan yang
tidak khusus sebagai kejahatan seperti yang dibedakan dengan perilaku
manusia lainnya. Perilaku menyimpang itu sesungguhnya tidak dapat
dibatasi keberadaannyadengan sebutan kejahatan dan bukan kejahatan,
karena perilaku menyimpang hidup dan berkembang dalam masyarakat
12. 12
tidak bisa dibatasi dan dikotakkan dalam sebutan kejahatan dalam rumusan
yang dibatasi. Perilaku menyimpang atau kejahatan perlu diselektif dan
dibedakan dalam beberapa bagian yakni individunya, kesaksian, urutan
kronologis tindakan yang seimbang dan lokasi tindak pidana. Pada dasarnya
tidak mudah untuk menetapkan suatu tindakan penyimpangan yang
dilakukan oleh seseorang merupakan kejahatan, perlu diselektif dalam
melihat perbuatannya tersebut. Perilaku dalam jumlah banyak harus masuk
dan diterima sebagai perilaku menyimpang secara obyektif dan memiliki
hubungan yang erat sehingga dapat dikatakan sebagai kejahatan.
Tindak pidana terkait pada seseorang, dan sangat bervariasi dan
meningkat secara jumlah yang merupakan bagian dari tindakan. Banyak
pula tindak pidana yang tidak diketahui dan dicatat keberadaannya. Dan
tidak semua orang atau pelanggar mengetahui ada hukuman yang
dipaksakan oleh kekuasaan yang secara subyektif untuk adanya pengakuan
dan dihukum. Untuk kategori pelanggaran atau kejahatan rangking tertinggi
untuk status yang rendah atau menurun adalah untuk kelompok minoritas,
anak laki-laki, penduduk pindahan dan urbanisasi. Pribadi penjahat tidak
mendapat perhatian sehingga acara pidana bersifat inquisitor. Pembuktian
tergantung dari kemauan si pemeriksa dan pengakuan sitersangka. Keadaan
ini mengundang reaksi. Reaksi terhadap ancient regime mempengaruhi
hukum dan acara pidana. Keadaan ini disokong dengan timbulnya afklarung.
Mulailah hak asasi manusia diberlakukan pula untuk si penjahat demi rasa
adil.
Ada tidak hal penting yang terjadi dalam Kriminologi :
a. Perubahan dalam Hukum Pidana
Perancis mengakhiri sistem hukum pidana lama. Code Penalnya
disusun dimana telah dirumuskan dengan tegas kejahatan, dan tiap
manusia sama dimuka bumi Undang-undang. Hal ini berpengaruh ke
negeri Belanda sehingga pada Tahun 1809 diadakan “Het criminiel
wetboek voor het Koningkrijk Holland”. Juga Inggris dipengaruhi oleh
J. Bentham menyusun KUHP Pidana Inggris (1810). Keadaan lembaga
13. 13
pemasyarakatan di Inggris sangat buruk tetapi di Nederland telah ada
reorientasi. Di Amerika diadakan perubahan yang radikal (1791)
dalam lembaga pemasyarakatan. Pada tahun 1823 di New York
diadakan sistem Auburn. Perbaikan ini belum menyeluruh baru
bersifat yuridis, suatu hal yang masih utopis adalah mempersamakan
semua penjahat. Hal ini masih mendapat perlawanan karena penjahat
berbuat jahat tidak sama, dan logis bila tidak dipersamakan. Iklim
baru benar-benar terjadi pada tahun 70 abad 19. Kriminologi
memberi sumbangannya.
b. Sebab-sebab Sosial dari kejahatan
W. Gowin (1756-1836) menerangkan adanya hubungan susunan
masyarakat dengan kejahatan. Ch. Hall (1739-1819) mengkritik
keadaan sosial yang pincang dari kaum buruh sebagai akibat
industrialisasi. Th Hodsgskin (1787-1869), dan R. Owen (1771-1858)
memberi pandangan baru dalam bukunya “The Book of the new
moral world” (1844) mengatakan bahwa lingkungan yang tidak baik
membuat kelakuan seseorang menjadi jahat, dan lingkungan yang
baiksebaliknya. Timbullah semboyan : ubahlah keadaan masyarakat
dan anggota-anggotanya akan berubah pula. Jika tiap orang dididik
dengan baik serta cukup untuk hidup, taraf moral akan naik dan
hukuman tidak perlu.
c. Sebab-sebab psikiatri antropologis dari kejahatan
Pada masa ini orang gila masih diperlakukan seperti penjahat.
Penjahat yang mempunyai kemauan bebas (free will) sedang orang
gila sebelumnya tidak memiliki kemauan bebas untuk memilih
perbuatan baik atau buruk, tetapi berkat lahirnya ilmu psikiatrik
mulailah ada perubahan.Dokter Perancis Ph. Pinel (1754-1826)
memperkenalkan ilmu baru ini. Hasilnya ditambahkannya dalam satu
pasal Code Penal yang berbunyi, “tidaklah terdapat suatu kejahatan
apabila si terdakwa berada dalam sakit jiwa”.
14. 14
F.J. Gall (1758-1828) berpendapat bahwa kelainan pada otak
(antropologis) menyebabkan orang jadi jahat. P. Broca (1824-1880)
juga menyatakan bahwa benjolan pada tengkorak (antropologis)
menyebabkan kejahatan
C. ABAD KE 20
Pada akhir 19 kriminologi konvensional dianggap ilmu pengetahuan
tersendiri di Eropa dan Amerika Serikat. Para pelopornya adalah Lombroso,
Ferri, Von Liszt. Kriminologi ditujukan untuk memahami penjahat secara
rasionil dan obyektif. Berdasarkan penelitiannya Lambroso memperkenalkan
teori bahwa penjahat dapat dikenal dari bentuk badan yang dibawa sejak
lahir. Teori ini tidak mengandung kebenaran, sehingga menimbulkan reaksi.
Ferri memperbaiki teori ini dengan mengkompromikan teori Lacas Sagne. Von
Liszt sependapat dengan Ferri, dan menyarankan agar pendapat baru
kriminologi ini diperhatikan dalam hukum pidana. Dan hal ini merupakan
aliran baru dalam hukum pidana mulai saat itu kriminologi menjadi
pengetahuan bantuan hukum pidana. Karena aliran baru hukum pidana
menganut aliran baru kriminologi , lalu berpendapat bakat serta lingkungan
tindak perlu diperhatikan dalam menjatuhkan hukuman. Ini berarti meminta
petugas pelaksana hukum pidana mempertimbangkan lingkungan dan bakat
petindak sebelum menjatuhkan hukuman. Aliran baru ini menentang aliran
konvensional hukum pidana yang berpendapat tindakan pelanggar hukum
timbul dari keinginan sendiri setelah memperhitungkan untung ruginya.
Makanya cukup mempelajari tindakannya saja tanpa memperhatikan diri
petindak dan hukuman wajar diberi.
Hemat penulis, paparan di atas mengindikasikan adanya perkembangan pesat
dalam kriminologi. Sehingga ia tidak hanya mempelajari kejahatan dan yang
berkaitan, tetapi ia sudah menjelma dalam bentuk kajian keilmuan tersendiri.
Seperti yang dilakukan difakultas-fakultas hukum. Tidak lain dan tidak bukan
karena mamfaatnya yang sangat besar tehadap kejahatan dan bagaimana
antisipasinya. Hal ini, misalnya terlihat dari kajian-kajian yang dilakukan oleh
Stepahan Hurwitz, Soedjono D., dll.
15. 15
Pada pertengahan abad ke-20, konsep kejahatan yang non hukum
menguasai para sarjana kriminologi. Ray Jeffrey menegaskan bahwa
mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana dari
hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti dalam kondisi yang
bagaimana suatu tingkah laku dipandang sebagai kejahatan, dan bagaimana
peraturan perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain.
Konsep ini mengambil dua model atau menggunakan penggabungan
pandangan yuridis dan sosiologis. George C. Vold menegaskan bahwa dalam
mempelajari kejahatan terdapat “persoalan rangkap”, artinya kejahatan selalu
menunjuk pada perbuatan manusia, dan juga batasan-batasan atau
pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan, dan apa yang dilarang,
apa yang baik dan apa yang buruk, yang semuanya itu terdapat dalam
undang-undang kebiasaan dan adat istiadat.
E. Durkheim seorang pakar sosiologi, kejahatan bukan saja normal.
Dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan, bahkan ia menambahkan
bahwa kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri setiap
masyarakat adalah dinamis dan perbuatan yang telah menggerakan
masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan
seperti dengan dijatuhkan hukuman mati terhadap Socrates dari Galileo-
Galelea atas buah pikieannya. Ia menegaskan bahwa kejahatan bukanlah
fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan
menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi “cap” dan ditanggapi sebagai
kejahatan. Disana harus ada masyarakat, normanya. Aturannya dan
hukumnya yang dilanggar. Disamping ada lembaga yang bertugas
menegakkan norma dan menghukum pelanggarnya.
Ada tiga aliran yang berkembang pada bad ke-20
a. Aliran Positif
Matza, cirri-ciri aliran positif yaitu :
1. Mengutamakan pelaku kejahatan dari hukum pidana
2. Tingkah lakumanusia ditentukan oleh factor-faktor lingkungan dan fisik
(Hagan 1987)
16. 16
3. Pelaku kejahatan sangat berbeda dengan yang bukan pelaku kejahatan
b. Aliran Hukum dan Kejahatan
Sejak Tahun 60-an perhatian terhadap hukum memperoleh peranan
kembali. Peranan hukum sangat penting dalam menentukan pengertian
kejahatan. Tokoh-tokohnya adalah :
1. Sutherland yang berpendapat bahwa criminal behavior is behavior in
violetion of a criminal law.
2. Nettler (1984) a crime is an intentional violation of criminal law
3. Tappen (1960) crime is an international act or omission of criminal law
4. Mannhein (1965) kejahatan adalah konsep yuridis, tingkah laku
manusia yang dapat dihukum berdasarkan hokum pidana.
c. Aliran Social Defence
Dipelopori Judge Marc Ancel (Paris 1954) penjelasan teori ini adalah
sebagai berikut :
1. Tidak bersifat deterministic
2. Tidak menyetujui tipologi kejahatan
3. Memiliki keyakinan akan nilai-nilai kesusilaan
4. Menolak dominasi ilmu pengetahuan modern dan menghendaki diganti
dengan politik criminal
Pada abad ini mulai terdapat penentangan terhadap hukum pidana. Hukum pidana
sebelumnya ditujukan untuk menakuti dengan penjatuhan hukuman penganiayaan
yang menjerakan. Pribadi penjahat tidak mendapat perhatian sehingga hukum acara
pidana bersifat
Pembuktian tergantung dari kemaun si pemeriksa dan pengakuan si tersangka .
Keadaan ini mengundang reaksi, reaksi terhadap ancientregime mempengaruhi
hukum dan hukum acara pidana. Keadaan ini disokong dengan timbulnya
Aufklarung. Mulai pidana. hukum dan Hak Azasi manusia diberlakukan untuk si
penjahat dan rasa yang berkeadilan.
17. 17
D. SEJARAH KRIMINOLOGI DI INDONESIA
Masuknya kriminologi dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia adalah
melalui kurikulum Fakultas Hukum (FH) dan kemudian pula melalui Lembaga
Kriminologi (LK). Di FH pengajaran kriminologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan
bantuan(hulp wetenschap) untuk pendalaman ilmu hukum pidana. Sedangkan di LK
pengertian kriminologi adalah dalam arti luas, mencakup kriminalistik dan ilmu-ilmu
forensik. Sekurang-kurangnya dapat ditelusuri masuknya pengajaran kriminologi ini
sejak tahun 1948.
Pembukaan Jurusan Kriminologi (JK) di Universitas Indonesia di mulai ketika
Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan menjadi FH dan
FIPK. Pendekatan kurikulum JK di FIPK adalah dekat dengan Jurusan Sosiologi.
Sedangkan matakuliah kriminologi di FH-UI juga mengambil pendekatan sosiologi
(melalui bahan pustakanya, maupun metode penelitiannya). Pendekatan psikologi
juga diakui, khususnya untuk studi-studi klinis (clinical criminology).
Pada bulan Oktober 1976 di antara pengajar-pengajar senior dari FH di UI, UNDIP
dan UNAIR diadakan kesepakatan (tidak tertulis) untuk mengembangkan kriminologi
dengan memberi tanggung jawab penyelenggaraan seminar-seminar berkala
(sebagai forum diskusi hasil penelitian), kepada UNDIP tentang Kriminologi, UNAIR
tentang Viktimologi dan UI tentang Pemasyarakatan Narapidana (Penologi).
Kecuali di Fakultas Hukum serta di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UI, maka
kriminologi di Jakarta antara lain juga dikuliahkan di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK) dan di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP).
Pengembangan perkuliahan di bidang kriminologi di berbagai negara di dunia pernah
dilaporkan antara lain oleh UNESCO (Report on the Teaching of Criminology,
1963?) terutama untuk pendidikan di Eropa, Canada dan Amerika Serikat.
“Ilmu” Kriminologi
Studi-studi awal kriminologi memang bermaksud menerangkan hubungan kausal
antara berbagai faktor sosial, psikologis dan budaya dengan timbulnya kejahatan
18. 18
(pelanggaran norma perilaku bermasyarakat yang diberi sanksi pidana). Studi-studi
ini dikenal dengan nama Etiologi Kriminal, dengan berbagai teori yang dikenal di
Indonesia (tahun 1960-1980an) antara lain Moedikdo, Bonger, Sutherland, Merton,
Sellin, Wolfgang, Ian Taylor, Jock Young, dan lain-lain.(6)
Dengan tujuan memahami “sebab” terjadinya kejahatan, maka kriminologi dianggap
sebagai “ilmu-bantu” bagi ilmu hukum pidana (materiil dan formil). Sebagai “ilmu-
bantu” menjawab permasalahan gejala kejahatan di dunia (the globalization of
crime), maka batas-batasnya menjadi sangat “longgar” (dapat memasuki berbagai
ilmu lain, seperti: ilmu hukum, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, ilmu politik,
psikologi, dsb-nya) dan karena itu terkenal ucapan “the Criminologist is a King
without a Country” (van Bemmelen).
Perkembangan teori-teori kriminologi yang semula mencari pemahaman tentang
hubungan “segitiga” (basic triangle of relations): pelaku-negara-dan korban,
sekarang telah berubah menjadi “hubungan segi-empat” (the square of crime):
pelaku dan korban (sebagai aktor) serta negara dan masyarakat-madani (sebagai re-
aktor).
Terdapat juga perbedaan di antara berbagai negara, tentang penanggungjawab
dalam pengembangan “ilmu” ini. Disebagian negara perkembangan dilakukan secara
“akademik” oleh lembaga (-lembaga) universitas, tetapi dibeberapa negara lain
pengembangan terutama dibebankan (misalnya dalam anggaran riset) pada
lembaga (-lembaga) eksekutif (pemerintah). Bagaimanapun, dalam pengelolaan
“ilmu” ini, memang yang diharapkan adalah, adanya kerjasama optimal antara
pembuat-kebijakan (policy maker) dengan para peneliti (dunia akademik). Contoh
yang baik di Indonesia adalah di bidang “ilmu” ekonomi dan kedokteran, di mana
kerjasama ini terlihat sangat jelas.
Tentang “profesi” ahli kriminologi
Menghindari perdebatan tentang pengertian “profesi”, maka saya mencontohkan
sebagai profesi adalah: dokter, advokat, akuntan dan apoteker. Dari sekian banyak
syarat yang dijadikan pedoman, saya berpendapat bahwa untuk profesi yang utama
adalah: a) pendidikan keahlian diperoleh di sebuah universitas (pendidikan tinggi),
19. 19
untuk membedakan dari “vokasi” (dapat hasil pendidikan akademi atau sekolah
menengah); b) adanya kode etik dengan sanksi penegakan disiplin profesi yang
efektif; c) tersedia majalah ilmiah yang menerbitkan tulisan-tulisan laporan riset
maupun seminar dan lokakarya organisasi profesi; dan d) ada organisasi profesi
yang demokratis; serta e) diperkenalkan ke masyarakat sebagai profesi.
Dengan kriteria di atas, untuk saya profesi “ahli kriminologi” (dipergunakan istilah
kriminolog) hanya berlaku untuk mereka yang melakukan pendidikan di universitas
dan/atau yang melakukan riset di bidang kriminologi (dalam arti luas). Yang terakhir
ini, baik melalui lembaga universitas maupun lembaga eksekutif, menuliskan
laporannya dalam majalah profesi dan menaati etik kriminolog tentang hubungan
dengan subyek (obyek) risetnya.
Saya akui bahwa pemahaman saya ini akan “membatasi” pengertian profesi bagi
lulusan JK yang bekerja, misalnya di Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pengadilan,
maupun Lembaga (kantor) Pemasyarakatan. Boleh jadi mereka mem-“praktek”-kan
pengetahuan kriminologi mereka, tetapi untuk saya mereka bukan “kriminolog”,
selama mereka tidak bekerja di bidang pendidikan, atau tidak melakukan riset dan
mempublikasikan hasil riset mereka.
Pengertian saya ini memang berbeda dengan contoh profesi yang saya berikan di
atas. Perbedaan tersebut terletak pada kenyataan bahwa masyarakat memang
sudah mengenal dokter, advokat, akuntan dan apoteker sebagai profesi (meskipun
tidak melakukan riset), tetapi tidak mengenal kriminolog sebagai profesi dalam
masyarakat.
Tentang “aplikasi” pengetahuan kriminologi
Menurut pemahaman saya, pengetahuan kriminologi ini terutama ditujukan pada
kemampuan aplikasinya untuk pembuatan “kebijakan kriminal” (criminal
policy).Kebijakan ini ditujukan pada aspek “pencegahannya”, maupun pada
aspek“penanggulangan” gejala kriminalitas dalam masyarakat.
Kriminalitas yang terjadi (dan meningkat) dalam masyarakat dipersepsikan sebagai
(sangat) merugikan, dilihat dari aspek perlindungan atas jiwa, badan, kehormatan
dan kesusilaan, maupun dilihat pada aspek harta benda (kekayaan). Dengan
20. 20
demikian pengetahuan kriminologi ini (dapat) bermanfaat untuk mengurangi atau
membatasi kerugian yang dapat timbul dalam masyarakat sebagai akibat gejala
kriminalitas.
Secara umum, (mungkin) dapat dikatakan bahwa “aplikasi” ilmu pengetahuan ini
adalah dalam membangun kerjasama saling bermanfaat antara peneliti-
ilmiah(researcher) dengan pelaksana (policy maker) dalam bidang pencegahan
kriminalitas. Yang terakhir ini membawa kita pada “sistem peradilan pidana”(criminal
justice system) yang antara lain bertujuan: a) mencegah masyarakat menjadi
korban dan membawa pelakunya ke pengadilan, b) berusaha agar pelaku tidak
menjadi residivis, dan c) memberi kepuasan kepada “korban” (dapat individu, dapat
pula kolektivitas) bahwa kasusnya dapat diselesaikan secara adil.
Disini kriminologi menjadi berdampingan dengan pengetahuan “criminal justice”yang
mempelajari lembaga-lembaga (agencies) yang berada dalam sistem peradilan
pidana.
Tentang “keahlian”
Keahlian dapat dikaitkan dengan “profesi” (seperti telah diuraikan sebelumnya),
tetapi juga sebagai suatu spesialisasi dalam pendidikan yang menimbulkan
kepercayaan masyarakat tentang “keahlian” tersebut (dalam dunia ilmu kedokteran,
kita mengenal Spesialis Penyakit THT, Spesialis Bedah, Spesialis Penyakit Anak, dsb-
nya). Karena itu pengertian keahlian bagi seseorang yang mendapat pendidikan
dalam JK, sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat dan/atau lembaga-
lembaga yang memerlukan keahlian tersebut.
Menyangkut ilmu pengetahuan “kriminalistik”, misalnya, keahlian seorang
“dokter/ahli kedokteran forensik” dipercaya oleh sistem peradilan pidana (oleh
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).
Dalam hal keahlian seorang “kriminolog”, pertanyaan utama/pokok adalah: seberapa
jauh kalangan penegak hukum (law enforcement officers-Polisi dan JPU), penegak
keadilan (justice agencies, the court, the prison, probation & parole
agencies) mempercayai manfaat riset kriminologi yang dilakukan oleh seorang
kriminolog. Juga seberapa jauh rekomendasi-rekomendasi seorang kriminolog
21. 21
(sebagai ahli) dianggap bermanfaat bagi penyusunan kebijakan kriminal. Inilah
tantangan utama, dalam melihat perkembangan kriminologi sebagai satu keahlian.
Tentang “kesarjanaan”
Kalau kita mengartikan “kesarjanaan” sebagai “kelulusan” dari suatu pendidikan
tinggi (graduate from a university), maka tidak dibedakan di sini apakah kelulusan
itu adalah dari program S-1, S-2 ataupun S-3.
Pertanyaannya hanyalah di bidang ilmu mana seorang kriminolog (ahli kriminologi)
itu harus memperoleh dasar ilmunya: ilmu hukum pidana, ilmu kepolisian, (ilmu)
pemasyarakatan (penology) atau dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences). Dengan
mengambil (hanya) perkembangan “ilmu” kriminologi di Indonesia (yang saya
kenali), maka bagi saya Sarjana Kriminologi itu harus berasal dari bidang-ilmu sosial,
jadi dibangunnya JK seharusnya adalah di FISIP.
Kesimpulan Umum
Untuk perkembangan masa depan perlu di ”bangun” hubungan timbal-balik yang
saling bermanfaat antara Pembuat Keputusan (policy maker) di bidang kejahatan
dan gejala kriminalitas, dengan para kriminolog (sebagai ahli dan peneliti ilmiah).
Pertanyaan-pernyataan yang (mungkin) relevan untuk perkembangan Kriminologi di
Indonesia adalah, antara lain:
1. Bagaimana memberi penjelasan kepada Pembuat Keputusan tentang
perkembangan (ilmu) kriminologi di Indonesia;
2. Bagaimana menjelaskan kepada Pembuat Keputusan tentang apa yang
mungkin dan apa pula yang tidak mungkin diteliti oleh (ilmu) kriminologi di
Indonesia;
3. Bagaimana cara kita berusaha agar Pembuat Keputusan tidak saja mengetahui
apa yang dapat diteliti, tetapi juga bagaimana manfaat hasil penelitian tersebut
untuk penyusunan kebijakan kriminal (criminal policy);
22. 22
4. Bagaimana kita di dunia universitas (sebagai Peneliti) mendapat informasi yang
jelas tentang masalah-masalah yang mungkin (dapat) diteliti oleh kriminologi
Indonesia, yang hasilnya memang bermanfaat bagi Pembuat Keputusan;
5. Bagaimana menciptakan keadaan di mana para Pembuat Keputusan dan dunia
universitas (para Peneliti) saling menghargai dan berusaha bekerja sama.
Catatan:
1) Pada 15 September 1948 didirikan Criminologisch Instituut di Universiteit
van Indonesie, dengan Prof. van Hattum (Hukum Pidana), Prof. Mueller
(Kedokteran Forensik) dan Prof. Noach (Kriminologi) sebagai pimpinannya.
Lembaga Kriminologi UI ini pernah berganti nama menjadi Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum, namun tahun 2000 membubarkan diri.
2) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI berdiri 1 Februari 1968
dengan pemisahannya dari Fakultas Hukum dan dengan Dekan pertama
Prof. Selo Sumardjan. Jurusan Kriminologi sendiri telah berdiri sejak
tanggal 1 September 1962, ketika itu masih di bawah Fakultas Hukum dan
IPK. Pendiriannya adalah antara lain disponsori oleh Paul Moedikdo
Moediono, SH, Koesriani Siswosoebroto, SH dan Mardjono Reksodiputro,
SH.
3) Pada tahun 1976-1982 Jurusan Kriminologi menjadi Program Studi
Kriminologi, di bawah Departemen Sosiologi. Setelah itu kembali berstatus
jurusan dalam tahun 1982 dengan kurikulum yang menggunakan
pendekatan ilmu-ilmu sosial dan mencoba membangun disiplin kriminologi
Indonesia.
4) Kesepakatan tersebut dicapai dalam Seminar Kriminologi III yang
diselenggarakan di Universitas Diponegoro, Semarang. Direncana-kan
bahwa secara berkala (3 tahun sekali) secara bergantian akan
diselenggarakan Seminar Kriminologi (di UNDIP), Seminar Viktimologi (di
UNAIR) dan Seminar Pemasyarakatan Narapidana (di UI). Pendekatan ini
antara lain disponsori oleh Prof. J.E. Sahetapy, Prof. Sutandyo, Prof.
Muladi, Prof. Barda Nawawi dan Prof. Mardjono Reksodiputro.
23. 23
5) Dalam buku UNESCO ini antara lain dijelaskan tentang perkembangan
kriminologi di Eropa yang kuat dengan Clinical Criminology (dalam literatur
dapat diketahui hal ini terutama di Italia dan Belanda) dan di Amerika
Serikat yang kuat dengan perkembangan Sociology of Deviant
Behavior (lihat misalnya perkembangan dari Chicago School dengan Prof.
Sutherland). Di University of California-Berkeley, terdapat pendidikan
kriminologi-sosiologi dan kriminalistik untuk tenaga-tenaga kepolisian. Di
University of Pennsylvania pendekatannya lebih ke Sosiologi (dengan Prof.
Sellin dan Prof. Wolfgang). Di University of Michigan mulai diperkenal-kan
program “Criminal Justice” yang mempelajari lembaga-lembaga penegak
hukum. Yang terakhir ini juga mendorong perkuliahan tentang Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia.
6) Antara lain adalah: Teori Dialog Dalam Kriminologi, Teori Ekonomi tentang
Kejahatan,Differential Association Theory, Teori Anomi, Culture Conflict
Theory, Sub-Culture of Violence, dan The New Criminology.
7) Ucapan ini memang dapat ditafsirkan sebagai ejekan. Tetapi dapat juga
sebagai pujian, bukanlah sekarang terbukti dengan “globalization of
crime”, bahwa kriminologi sering harus melewati “batas disiplin ilmu”?
8) Jangan pula lupa bahwa sekarang mulai pula dipermasalahkan negara
sebagai aktor (pelaku), misalnya dalam diskusi-diskusi tentang HAM (state
crime ; organizational crime).
9) Penelitian dan rekomendasi dari bidang studi Ekonomi dan bidang studi
Kedokteran, dipergunakan oleh Pemerintah Indonesia.
10) Pengertian “profesi” ini sering pula dikaitkan dengan “tempat/sekolah
pendidikannya”, maka di luar negeri ada istilah “profesional
schools” (kedokteran, hukum bisnis, perawatan, pekerja sosial, dll)
11) Tetapi harus pula dijaga agar kriminologi tidak menjadi “applied
science” atau “overly practical policy science” yang tidak mampu memberi
kontribusi teori dalam memahami gejala kriminalitas, baik lokal (kerusuhan
etnis dengan penganiayaan dan pembunuhan) maupun internasional
(terorisme, korupsi dan yang serupa).
24. 24
12) Dalam bahan pustaka dibedakan antara: (a) Criminology (study of the
origin, nature dan extent of crime-termasuk: crime control,
penology), (b) Criminal Justice (study of the agencies of social control and
correction, termasuk: criminalization, legalization, dan (c)Deviance (study
of acts that depart from social norms, termasuk: sociology of law). Namun
dalam perkuliahan di Indonesia perbedaan ini tidak terlalu ditekankan.
13) Keterangan keahlian dalam bentuk Visum et Repertum dari seorang dokter
ahli kedokteran forensik diterima sebagai alat bukti di Pengadilan, tetapi
dapatlah keterangan-ahli seorang kriminolog tentang status kejiwaan dan
pengaruh hubungan sosial pada perbuatan seorang terdakwa diterima di
Pengadilan? Untuk Indonesia keterangan ahli seperti ini penting terutama
untuk kasus-kasus: kejahatan remaja, pemakaian narkoba dan kekerasan
dalam rumah tangga.
Pendidikan Sarjana Kriminologi yang mempunyai basis pada ilmu-ilmu sosial,
khususnya Sosiologi, dapat dimanfaatkan pula untuk pendidikan tenaga kepolisian,
tenaga lembaga pemasyarakatan dan tenaga pekerja sosial yang akan bekerja di
bidang penegakan hukum pidana atau sistem peradilan pidana. Disiplin ilmu
kriminologi, disiplin ilmu kepolisian, disiplin ilmu pembinaan dan pemasyarakatan
narapidana, serta disiplin ilmu kerjahteraan sosial dapat dikembangkan
dengan “cross-fertilization” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.