Dokumen tersebut membahas tentang Filsafat Bahasa Biasa (Ordinary Language Philosophy) dan tokoh-tokohnya seperti Wittgenstein dan Ryle. Wittgenstein memperkenalkan konsep "Tata Permainan Bahasa" dan mengkritisis penggunaan bahasa filsafat. Ryle dipengaruhi Wittgenstein dan Moore dalam menganalisis penggunaan bahasa sehari-hari untuk tujuan filsafat.
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
87360428 filba
1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)
Setelah kurang lebih tiga dasawarsa kaum Atomisme Logik dan juga
Positivisme Logik menanamkan pengaruhnya dalam sejarah perkembangan
filsafat analitik, secara perlahan namun pasti, gaung ajaran mereka mulai agak
reda. Sebab para filsuf analitik yang muncul kemudian menyadari bahwa teknik
analisa bahasa yang melulu diarahkan pada pencarian makna bahasa-penonjolan
aspek semantik semata- dapat menggiring mereka sendiri pada pernyataan yang
tidak bermakna. Filsuf analitik yang muncul belakangan mulai meragukan
keampuhan bahasa logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya suatu
ungkapan. Sekarang mereka mulai mengalihkan perhatian pada titik-tolak
penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu faham yang demikian itu dikenal
dengan nama Filsafat Bahasa Biasa.
Bagi penganut faham Filsafat Bahasa Biasa, permasalahan utama yang
lebih penting daripada masalah makna, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah
atau ungkapan dapat mengandung arti demikian. Oleh karena itu perlu terlebih
dahulu diselidiki atau diteliti aspek pragmatiknya ketimbang aspek semantiknya.
Filsuf analitik yang dapat dianggap sebagai perintis aliran filsafat bahasa
biasa adalah Wittgenstein. Dalam periode kedua filsafat ini, Wittgenstein.lebih
dekat kepada pemikiran Moore daripada pemikiran Russel. Filsuf analitik lainnya
yang menaruh perhatian terhadap penggunaan bahasa biasa ini bagi maksud-
maksud filsafat antara lain Ryle, dan Austin. Kedua filsuf analitik yang disebut
belakangan ini adalah tokoh terkemuka dari universitas Oxford, berbeda halnya
dengan Wittgenstein, Moore, dan Russel yang merupakan tokoh dari universitas
Cambridge. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kami akan menampilkan dua tokoh
dari Oxford yaitu, Gilbert Ryle dan J.L. Austin, di samping pandangan
Wittgenstein sendiri yang merupakan perintis aliran Filsafat Bahasa Biasa.
2. BAB II
PEMBAHASAN
Ludwig Wittgenstein
Wittgenstein dalam periode filsafatnya yang kedua ini- lazim dikenal
dengan sebutan Wittgenstein II. Periode filsafatnya yang kedua ini terungkap
melalui karyanya yang berjudul Philosophical Investigations (PI). Buku ini
diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1953. PI ini disusun dalam bentuk
section yang terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Ada kesan tersendiri yang tampak dalam PI ini yaitu,
upaya menghindari penggunaan bahasa logika dalam merumusan konsepsi
filsafatnya. Dalam periode kedua ini, Wittgenstein mengubah alur
pemikirannya yang semula bertitik-tolak dari bahasa logika ke arah
penggunaan bahasa biasa dengan pelbagai aspek yang terkandung di
dalamnya. Ada pertalian yang cukup erat di antara kedua karyanya itu,
kendatipun ada perubahan arah yang cukup mendalam. PI merupakan
pengembangan dari gagasan yang sebelumnya sudah terkandung dalam
Tractatus menjadi sebuah kunci pemahaman baru, gagasan itu ditampilkan ke
dalam ruang lingkup yang baru, diterapkan dalamsuatu cara yang berbeda.
Batas bahasa pada Tractatus diubah menjadi batas dari bagian “tata permainan
bahasa”, “apa yang tidak dapat diungkapkan” diubah menjadi aturan atau
“paradigma” permainan bahasa”.
Perbedaan yang hakiki di antara ke dua karya Wittgenstein itu tercermin
dalam penolakannya terhadap tiga hal yang dulu diadaikan begitu saja pada
periodenya yang pertama, yaitu:
a) Bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan States
of Affairs (keadaan faktual),
b) Kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni
menggambarkan satu keadaan faktual, dan
3. c) Setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang
sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk
dilihat.
Pokok-pokok pemikiran Wittgenstein II sebagai berikut:
1.1 Tata Permainan Bahasa (Language-games)
Sebagian besar isi kandungan PI diarahkan untuk menjelaskan
konsep mengenai Tata Permainan Bahasa (Language-games) ini. Tata
Permainan Bahasa adalah proses menyeluruh penggunaan kata, termasuk
juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan.
Konon istilah “Tata Permainan Bahasa” timbul sebagai suatu gagasan
filsafat ketika suatu hari Wittgenstein melihat sebuah pertandingan sepak
bola. Tiba-tiba melintas dalam benaknya bahwa sesungguhnya dalam
bahasa, kita pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata.
Gagasan mengenai penggunaan istilah “Tata Permainan Bahasa”
itu tidak akan dapat terwujud dengan baik apabila Wittgenstein tidak
menghubungkannya dengan kenyataan di hadapannya, yaitu adanya
keanekaragaman bahasa yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari
keanekaragaman “Tata Permainan Bahasa” itu meliputi :
“ memberi perintah, menggambarkan penampakn sesuatu objek,
menyusun sesuatu objek, melaporkan jalannya suatu peristiwa,
menyusun dan menguji hipotesa, mengarang suatu cerita dan
menceritakannya kepada orang lain, bermain komedi, menghayati
syair lagu, menjawab teka-teki, bersenda-gurau, membuat lelucon,
memecahkab persoalan hitungan, bertanya, mengalihbahasakan
satu bahasa ke bahasa yang lain, berterimakasaih, mengucapkan
salam, berdoa, dan sebagainya”.
Sebagaimana lazimnya dalam sebuah permainan, orang yang
terlibat dalam permainan tertentu-misalnya permainan catur-haruslah
terlebih dahulu mengetahui aturan yang digariskan dalam permainan
tersebut. Aturan ini dibutuhkan sebagai pedoman bagi penyelenggara
4. permainan itu secara baik, jelas, dan bertanggung jawab.Begitu pula
halnya yang terjadi dalam “Tata Permainan Bahasa”, setiap bentuk
permainan bahasa itu memiliki aturan sendiri yang tidak dapat
dicampuradukkan begitu saja.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai kata atau
ungkapan yang sama yang dipergunakan dalam pelbagai bentuk
permainan bahasa. Menurut pendapat Wittgenstein, bisa saja bahasa itu
menghasilkan sesuatu yang bersifat umum. Sesungguhnya kata atau
ungkapan itu dihubungkan satu sama lain dalam banyak cara yang
berbeda. Untuk menjelaskan pandangan itu, Wittgenstein mengajukan
contoh tentang “aneka kemiripan keluarga” sebagai analogi dari bentuk
permainan bahasa. Aneka kemiripan di antara anggota keluarga itu terlihat
pada: bentuk, sifat, warna, mata, sikap, temperamennya dan lain-lain.
Dengan demikian penerapan kata atau ungkapan yang sama dalam
pelbagai cara yang berbeda, bukan mengandung makna yang sama,
melainkan dasar-dasar kemiripan yang sifatnya umum. Dua saudara
kembar sekalipun tidak akan memiliki kesamaan yang bersifat mutlak,
pasti ada perbedaan antara keduanya. Hal yang sama berlaku pula bagi
penggunaan kata atau kalimat yang sama dalam banyak cara yang
berbeda, meskipun mengandung sesuatu yang bersifat umum
(kemiripannya), naming maknanya tergantung pada cara penggunaannya.
Contoh: pemakaian kata “aku” dalam bahasa Indonesia. Kata
“aku” mengandung sesuatu yang bersifat umum yaitu, mengacu pada diri
si penutur pada situasi penggunaan yang manapun juga. Akan tetapi
penggunaan kata “aku” dalam lingkup pembicaraan dengan orang yang
lebih tua umurnya mempunyai pengertian yang berbeda (menimbulkan
kesan kurang sopan pada diri si penutur atau kurang hormat terhadap
pendengar yang lebih tua). Sedangkan penggunaan kata “aku” dalam
lingkup pembicaraan dengan teman sebaya mungkin tidak mendatangkan
kesan sopan, bahkan justru lebih akrab.
5. Jadi pembicara dengan orang yang lebih tua merupakan bentuk permainan
bahasa yang berbeda dngan pembicaraan dengan teman sebaya. Inilah
yang dimaksudkan dengan pengertian “serupa tapi tak sama” dalam
analogi “aneka kemiripan keluarga” itu tadi. Artinya, kata “aku”
mempunyai sifat umum yang serupa yaitu, mengacu pada diri si penutur,
tetapi makna kata “aku” tidak sama, tergantung pada lingkup
penggunaannya.
1.2 Kelemahan Bahasa Filsafat
Melalui konsep tentang “Tata Permainan Bahasa” itu tadi,
Wittgenstein bermaksud menunjukkan kekacauan penggunaan bahasa
dalam filsafat. Artinya, penggunaan istilah atau ungkapan yang telah
membingungkan dan memusingkan begitu banyak orang, sesungguhnya
disebabkan para filsuf tidak mengikuti aturan permainan bahasa.
Ada beberapa kelemahan penggunaan bahasa dalam filsafat, yang baik
secara langsung maupun tidak, ditunjukkan oleh Wittgenstein dalam
periodenya yang kedua ini:
1. Penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak
sesuai dengan aturan permainan bahasa.
2. Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat
umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan
mencerminkan sifat keumumannya. Penyakit filsafat yang
demikian itu disebut Wittgenstein dengan istilah “Craving for
Generality” yaitu, “kecenderungan untuk mencari sesuatu yang
umum pada semua satuan-satuan konkrit yang diletakkan atau
dihimpun di bawah suatu istilah umum.
3. Penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung melalui
pengajuan istilah yang tidak dapat dipahami, seperti:
“keperiadaan”, “ketiadaan” dan sebagainya. Oleh karena itu
Wittgenstein menganjurkan agar kita “melewati atau menghindari
6. penyamaran dari sesuatu yang tidak terpahami itu dengan
menunjukkan bahwa itu sebenarnya omong kosong saja.
1.3 Tugas Filsafat
Ada dua aspek yang terkandung dalam analisa bahasa menurut
Wittgenstein II, yaitu aspek penyembuhan yaitu menghilangkan
kekacauan yang terjadi dalam bahasa filsafat.dan aspek metodis.
Aspek metodis yang diperlihatkan Wittgenstein II ini dalam kaitannya
dengan tugas filsafat, yaitu :
a) Bertitik tolak pada penggunaan bahasa sehari-hari, dengan meneliti
dan membedakan aturan-aturan dalam permainan bahasa. Dalam
periode pertama Wittgenstein lebih bertitik-tolak pada bahasa
logika dalam upaya membentuk bahasa ideal bagi filsafat.
b) “Menunjukkan kepada lalat jalan keluar dari sebuah botol lalat”.
Analogi ini dikenakan bagi para filsuf yang mencoba menjelaskan
realitas melalui penggunaan istilah atau ungkapan yang
membingungkan sehingga mereka terjebak ke dalam pesona
bahasa yang mengikat pemikiran mereka sendiri. Jalan keluar yang
ditawarkan Wittgenstein adalah melalui penampakkan jalannya
bahasa, yang bagaimanapun juga membuat kita mengakui jalan itu
walaupun timbul dorongan kearah kesalahfahaman.
c) Analisa bahasa harus berfungsi sebagai metode netral, dan tidak
ikut “latah” memberikan penafsiran tentang realitas. “Filsafat itu
tidak ikut campur tangan dalam penggunaan bahasa yang actual.
Pada akhirnya filsafat itu hanya memerikan atau memaparkan apa
adanya. Menetapkan filsafat sebagai metode netral, ini berarti
pandangan yang bersifat metafisik-upaya memperoleh pemahaman
tentang realitas-seperti yang tercermin dalam teori gambar
(Wittgenstein I), tidak lagi mendapat tempat dalam periode kedua
ini. Atau dengan kata lain, Wittgenstein II tidak melibatkan diri
dalam corak pandangan yang bersifat metafisik. Situasi inilah yang
7. sesungguhnya membedakan konsep filsafat Wittgenstein I dengan
konsep filsafat Wittgenstein II.
Gilbert Ryle (1900-1976)
Berbeda dengan tokoh filsafat analitik yang telah banyak dibicarakan, ryle
adalh tokoh kenamaan dari universitas Oxford, sebagaimana yang telah
disinggung bahwa sebelum perang dunia kedua, perkembangan filsafat
didominasi oleh Cambridge, terutama moore, russel dan wittgenstein, tetapi
setelah perang dunia kedua, peranan itu diambil alih oleh tokoh dari Oxford,
diantaranya ryle dan Austin. Ryle sedikit bayak dipengaruhi oleh pemikiran
moore terhadap konsep filsafatnya, terutama titik-tolak pada penggunaan bahasa
biasa bagi maksud-maksud filsafat. Bahkan secara umum dapat dikatakan -
kendati Ryle sendiri mungkin tidak mengakuinya – bahwa konsep filsafat bahasa
biasa dari Ryle ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari apa yang telah
dirintis oleh Wittgenstein II.
Pemikiran filsafatnya mendasarkan pada filsfafat bahasa biasa. Filsafatnya
dipengaruhi oleh Widgenstein dalam hal titik tolak dan Moore dalam prinsip
analisisnya. Pemikiran filsafatnya memadukan prinsip atomisme logis dengan
filsafat bahasa biasa melalui suatu analisis bahasa. Meskipun unsur logika bahasa
mempengaruhi pemikirannya, namun pada filsafatnya Ryle tidak mendasarkan
struktur logika bahasanya melainkan ia memperhatikan dan menganalisis
penggunaan bahasa sehari-hari berdasarkan prinsip-prinsip logika, sehingga dapat
dipahami bahwa akan sering ditemukan penggunaan bahasa sehari-hari yang
menyalahi prinsip logika.
Meskipun ia tidak mengungkapkan secara jelas mengenai language
games, tetapi ada satu dari teorinya yang dapat dipakai sebagai bentuk penjelasan
mengenai language games karena kemiripan teori Ryle dan language games yang
dikemukakan Widgenstein.
Dalam teorinya dibedakan antara “penggunaan dari bahasa biasa” (the use
of ordinary language), “penggunaan bahasa yang biasa” (the ordinary linguistic
8. usage), “penggunaan bahasa biasa” (the use of ordinary language), dengan
penggunaan bahasa yang didasarkan atsa ungkapan ( the ordinary use of the
expression). Dengan adanya pembedaan ini, dimaksudkan untuk memberi suatu
penekanan bahwa tujuan diadakannya analisis bahasa ialah untuk mendapatkan
suatu kejelasan yang memadai bagi penggunaan bahasa-bahasa baku. Dengan kata
lain Ryle menginginkan suatu penganalisisan bahasa yang bersifat teknis dengan
membandingkannya dengan bahasa biasa. Proses analisis ungkapan dalam filsafat
bahasa biasa harus memperhatikan aturan-aturan yang ada dalam penggunaan
ungkapan. Dalam penggunaan aturan logika perlu diperhatikan mengenai aturan-
aturan logika. Penggunaan (use) ungkapan itu dapat sah atau tidak sah secara
logis (yaitu harus sesuai dengan hukum logika).
Jadi teori yang dikemukakan oleh Ryle ini maka akan mencapai suatu
pernyataan yang hamper mirip dengan Witgenstein, tetapi Ryle memiliki
kekhasan dengan menggabungkan prinsip-prinsip analitis istilah-istilah dengan
mendasarkannya pada prinsip-prinsip logika, sehingga akan terbentuklah suatu
tatanan permainan bahasa yang mampu mencakup analisis terhadap bahasa
sehari-hari.
Penggunaan Bahasa Biasa (ordinary language)
Pada pandangan Ryle kita akan menjumpai perbedaan yang cukup
tajam diantarra kedua hal tersebut yaitu terhadap penggunaan bahasa sehari-hari
dan penggunaan bahasa biasa yang baku atau standar. Menurut Ryle, “kesalahan
filsafat yang paling menggelikan adalah saat “penggunaan bahasa biasa/yang
baku” (ordinary use) dianggap tumbuh dengan “penggunaan bahasa yang
biasa/menurut kebiasaan sehari-hari” (ordinary usage)”. Alasannya ialah bahwa
bahasa yang kita pergunakan menurut kebiasaan sehari-hari belum tentu
mencerminkan penggunaan bahasa yang baku. Contohnya ialah ketika kita
menggunakan bahasa Indonesia baku yang sesuai dengan kaidah yang ditentukan
– memenuhi tuntunan tatabahasa yang baik dan benar serta pemakaian istilah
yang baku, inilah yang dimaksudkan dengan “penggunaan bahasa biasa/yang
baku”. Sedangkan “penggunaan bahasa yang biasa/ menurut kebiasaan sehari-
9. hari” lebih banyak dijumpai dalam pergaulan, seperti pemakaian bahasa daerah
ataupun pemakaian bahasa Indonesia yang tidak didasarkan pada tuntunan
tatabahasa yang baik dan benar, penggunaan istilah asing yang belum dibakukan,
dan semacamnya.
Menurut pendapat Ryle, filsafat bahasa seharusnya diarahkan pada
penggunaan bahasa yang baku, bukan penggunaan bahasa menurut kebiasaan
sehari-hari. Pandangan yang demikan ini jelas bertentang dengan pendapat
Wittgenstein II yang lebih banyak atau memang secara khusus mengarahkan
perhatiannya pada penggunaan bahasa menurut kebiasaan sehari-hari, dalam
keberagaman tata permainan bahasa. Menurut Ryle, tujuan mengarahkan teknik
analisa bahasa itu pada penggunaan bahasa yang baku, yaitu agar kita dapat
memberikan penjelasan yang memadai bagi penggunaan yang biasa/standar dari
ungkapan.
Penggunaan ungkapan yang standar (ordinarily use expressions) ini
artinya penggunaan istilah atau ungkapan teknis dalam bidang ilmu pengetahuan
yang mempunyai arti yang tepat. Untuk memeriksa apakah istilah teknis itu
dipergunakan sesuai pada tempatnya, diperlukan penjelasan (clarification) yang
memadai. Ryle berpendapat bahwa penjelasan yang memadai itu dapat ditempuh
melalui penggunaan bahasa yang baku, bukan penggunaan bahasa sehari-hari.
Misalnya; untuk menjelaskan bidang Ekonomi seperti “permintaan” dan
“Penawaran” (demand and supply). Dan kita harus menjelaskan dengan
penggunaan bahasa yang baku pula. Dengan demikian kita dapat
membatasipengertian istilah “permintaan” dan “penawaran” itu tadi sesuai dengan
lingkup penggunaannya dalam ilmu ekonomi. Menjadi sebab ialah apabila
menjelaskan ke dua istilah tersebut melalui penggunaan bahasa sehari-hari, akan
menimbulkan kesalahpahaman terhadap arti istilah itu yang sesungguhnya.
Barangkali kita lalu mengira bahwa manakala seorang tetangga menunjukan
ermintaan agar kita menghadiri kenduri dirumahnya, sama dengan hokum “
permintaan” yang berlaku dalam ilmu ekonomi. Kesalahfahaman ini disebabkan
kita tidak menjelaskan arti istilah itu dengan bahasa yangbaku, tetapi dengan
10. menggunakan bahasa sehari-hari yang bermakna ganda. Oleh karena itu, Ryle
menyarankan agar para filusuf mencari penggunaan ungkapan yang standar
sebagaimana menemukan penggunaan yang pasti dan tepat. Yaitu dengan cara
memanipulasi alat yang dipergunakanitu sendiri”.
Para filsuf Oxford termasuk pula Ryle menganggap istilah filsafat, seperti “tahu”,
“fikir”, “sebab”, “discaya”, “kebenaran”, dan lain-lain, sebagai istilah yang
dipakai dalam kehidupan sehari-sehari. Seperti seorang anak kecil, kita
mempelajari istilah itu melalui uji coba (trial and error), cara menggunakan setiap
istilah itu agar mengandung makna, untuk tugas apa, dan ruang lingkup yang
mana istilah itu dipakai, dan adalah mustahil jika kita mengajukan alas an bahwa
kita membutuhkan seorang filsuf untuk mengatakan cara menggunakan istilah
tersebut. Oleh karena itu, Ryle menyimpulkan tentang penggunaan bahasa biasa
itu dengan mengatakan bahwa kita semua mengetahui cara menerapkan setiap
kata, dan kita pun mengerti manakala orang lain menerapkannya. Di sini tampak
jelas bahwa sinyalemen para filsuf Oxford tentang penggunaan bahasa biasa
sebagai ungkapan yang bermakna, serupa halnya dengan sinyalemen Moore
tentang “akal sehat” sebagai sarana yang dapat dipercaya untuk menjelaskan arti
suatu ungkapan. Penyalahgunaan ataupun penyimpangan dari bahasa biasa timbul
lantaran adanya pertentangan diantara kelas-kelas dari ungkapan yang kita
pergunakan dalam bahasa biasa.
Kegalatan Kategori (Category Mistake)
Salah-satu teori Ryle adalah Kegalatan Teori, yang artinya adalah kekeliruan atau
kegalatan yang terjadi manakala seorang menggambarkan fakta yang sebenarnya
termasuk kategori yang satu dengan menggunakan cirri-ciri logis yang menandai
kategori lainnya. Contohnya, seorang anak kecil sedang menyaksikan pawai atau
parade barisan Angkatan Bersenjata (ABRI). Di situ ia melihat ada parade
Ankatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Kemudian anak
itu bertanya kapan barisan ABRI akan melewati tempat itu. Ia mengira ABRI
11. termasuk, kelas yang sama dengan angkatan dara, laut, udara, dan kepolisian yang
telah dilihatnya tadi. Itu merupakan suatu kegalatan teori, sebab parade angkatan
itu semuanya termasuk ABRI.
Melalui konsep Kegalatan Teori, Ryle mengeritik konsep dualisme Descrates.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Descrates menampilkan dua
sebstansi yang berfikir (Res Cogitans) dan substansi yang meluas (Res Extansa).
Corak logis yang diajukan Descrates bagi substansi yang berfikir yaitu, “manusia
mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk yang berfikir, . . .yang tidak bersifat
kebendaan, jadi suatu substansi yang kekal, dan juga mengenal dirinya sebagai
suatu kesadaran”. Di pihak lain, subsatansi yang meluas dianggap sebagai “suatu
substansi yang kedua, yang tidak berfikir tetapi hanya bersifat lapang dan luas.
Perubahan yang terjadi pada dunia jasmaniah itu dapat diterangkan atas dasar-
dasar yang murni kausal-mekanis. Dunia keluasan ini dipandang sebagai dunia
mesin yang murni mekanis, didalamnya termasuk juga binatang yang tidak
mempunyai kesadaran dan berupa otomat belaka yang tidak berjiwa”.
Menurut Ryle, sangatlah aneh dua substansi yang begitu beda corak logis atau
kategorinya dapat bergabung secara harmonis dalam diri manusia, ini tak ubahnya
“sebagai dogma tentang hantu dalam sebuah mesin”. Dengan demikian Ryle
menganggap aspek jiwa dan badan sebenarnya merupakan dua istilah yang
termasuk pada kategori yang sama yaitu, manusia. Ryle menganalogikan sebagai
berikut: “jadi seorang pembeli boleh saja mengataka ia telah membeli sebuah
sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan, tetapi ia tidak dapat
mengatakan telah membeli sebuah sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan
kanan, dan sepasan sarung tangan”.
Kelemahan Bahasa Filsafat
Setelah memperlihatkan kegalatan teori seperti yang telah diuraikan di atas, Ryle
juga menguraikan beberapa kelemahan bahasa filsafat lainnya. Hal ini terutama
mencakup penggunaan pelbagai jenis kata yang tidak pernah ditunjukan secara
jelas oleh para filsuf. Apa arti atau maksud yang sebenarnya dari kata atau istilah
12. yang mereka pergunakan, bahkan acapkali mereka mencampuradukan arti jenis
kata yang satu ke jenis kata yang lain, sehingga menimbulkan kekaburan
pengertian terhadap arti atau maksud jenis kata yang bersangkutan. Kelemahan itu
meliputi antara lain:
1) Penggunaan „ dispositional statements”, yaitu pernyataan yang menunjuk
pada sifat atau kebiasaan tertentu. Menurut Ryle, pernyataan yang
menunjuk pada sifat atau kebiasaan ini haruslah dibedakan dari pernyataan
yang menunjuk pada suatu peristiwa, sebab keduanya secara logis
mempunyai pengertian yang berbeda. Ryle mengajukan contoh sebagai
berikut: “bilamana seekor lembu sikatakan sebagai binatang “pemamah
yang baik”, atau seorang pria disebut sebagai perokok, itu tidak berarti
lembu pemamah yang baik sekarang, atau pria itu sedang merokok
sekarang. Kata “pemamah yang baik” atau “perokok” menunjuk pada sifat
atau suatu kebiasaan. Dengan demikian delaslah ada perbedaan logis
antara penggambaran suatu sifat atau kebiasaan (dispositions) dengan
penggambaran suatu peristiwa (occurrences).
2) Penggunaan jenis kata kerja mengacu tugas (Task Verbs) dan kata kerja
mengacu kepada tujuan(achievement Verbs). Menurut Ryle, kendatipun
kedua jenis kata kerja inicenderung menunjukan aktivitas yang sama (satu
kerja tertentu), namun kekuatan logis yang terkandung antara kedua jenis
kata kerja itu berbeda. Ryle mengajukan contoh sebagai berikut: “satu
perbedaan yang besar antara kekuatan logis yang terkandung dalam jenis
“kata kerja mengacu tugas” dengan jenis “kata kerja yang mengacu
kepada tujuan” yaitu bahwasanya dalam penerapan “kata kerja mengacu
tujuan” kita menjelaskan beberapa bentuk peristiwa yang meliputidan
mengatasi hal-hal yang terkandung di dalam tindakan yang dilakukan,
melebihi pelaksanaan suatu tugas.
13. John Langshaw Austin (1911-1960)
Sebagaimana halnya Ryle, Austin juga termasuk salah seorang tokoh
kenamaan Oxford. Dalam usianya yang begitu singkat (49 tahun), Austin tidak
banyak meninggalkan tulisan. Namun pengaruhnya besar, terutama dalam diskusi
rutin yang diselenggarakan kalangan itu sendiri. Di sana Austin banyak
menampilakn gagasan baru yang belum pernah dibicarakan oleh para filsuf
analitik sebelumnya, terutama yang berkenaan dengan jenis ucapan (utterances)
dan tindakan bahasa (speech acts) dalam pergaulan sehari-hari. Jika dalam
pandangan Ryle kita melihat suatu upaya untuk membedakan secara rinci
penggunaan bahasa baku/standar, maka Austin tidak terlalu mempermasalahkan
hal itu. Baginya, jauh lebih penting diselidiki penggunaan bahasa pergaulan
yangan perbagai corak dan perbedaannya, sehingga kita dapat menemukan
sumber kekacauan filosofis yang sesungguhnya.
Ucapan-ucapan yang diantaranya termasuk kedalam pemikiran Austin
pada filsafat bahasa biasa ialah:
1. Jenis Ucapan (Utterances)
2. Ucapan Konstantif (Constantive Utterance)
3. Ucapan Performatif (Per formative Utterance)
Tindakan Bahasa
Tesis utamanya tentang tindakan bahasa “dalam mengatakan sesuatu,
berarti kita melakukan sesuatu pula”. Ini berarti apa yang kita katakan
mencerminkan apa yang akan kita lakukan pula.
Tindakan Lokusi
Dalam tindakan Lokusi, si penutur melakukan tindakan bahasa dengan
mengatakan sesuatu yang pasti. Artinya, gaya bicara si penutur dihubungkan
dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya. “perhatian kita dalam
tindakan Lokusi pada prinsipnya membuat jelas tindakan lokusi itu sendiri dengan
14. membedakannya dari tindakan bahasa yang lain, dan menghubungkannya pada
sesuatu yang kita utamakan.
Tindakan Illokusi
Tindakan Illokusi yang merupakan salah satu jenis tindakan bahasa ini
dapat ditafsirkan sebagai dasar dari teori arti dan merupakan dasar dari ilmu
semantic. Austin berpendapat “tinadakan dalam mengatakan sesuatu merupakan
lawan terhadap tindakan mengatakan sesuatu”
Petunjuk penting dari tyindakan illokusi adalah “apa yang dikehendaki
bagi pengucapan suatu kalimat yang laik /wajar bagi suatu tindakan illokusi,
bukan lantaran keadaan lingkungan itu secara actual menimbulkan pengaruh yang
pasti atau sipenutur benar-benar mempercayai pengaruh yang ditimbulkan oleh
keadaan itu bagi tindakan bahasa yang dilakukannya, melainkan sipenutur
semata-mata memiliki tangggung jawab terhadap tindakan bahasa yang
dilakukannya. Atau dengan kata lain, si penutur benar-benar mengakui bahwa apa
yang diperbuatnya itu tyelah diarahkan sesuai dengan aturan yang
dikehendakinya.
Tindakan Perlokusi
Adalah akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata
ataupun tidak. Dalam tindakan perlokusi, pengaruh atau akibat yang timbul
memang dirancang atau diarahkan sedemikian rupa, sehingga ada upaya untuk
mempengaruhi pendengar secara maksimal.
15. KESIMPULAN
Kendati sebuah makalah ini berakhir, akan tatapi filsafat analitik tidak aka
pernah berhenti. Tokoh yang dibicarakan, dengan perbagai taknik analisa bahasa
yang menjadi cirri filsafat mereka itu, tepat jika dijuluki sebagai Founding Father
metode analisa bahasa. Mereka lah yang cukup kokoh bagi filsafat yang bercorak
logosentris ini. Namun rangkaian perkembangan filsafat analitik itu masih terus
berlangsung hingga sekarang. Dan konsep para filusuf diatas merupakan untaian
berharga bagi siapa saja yang ingin menerapkan metoda analisa bahsa kedalam
filsafat. Terutama dalam rangka menentukan atau pemcari tolok-ukur yang tepat
dan memadai bagi masalah arti atau makna bahasa filsafat.
Peranan sebuah bahasa tidak akan dapat terlepas dari apapun begitu juga
halnya kedalam filsafat sehingga begitu santernya filusuf-filusuf yang
berdatangan untuk mengungkapkan apresiasinya terhadap bahasa dan akhirnya
timbul filsafat analitik. Dan dari situ pula banyak berdatangan para pengikut atau
ada juga pemikir sebuah aliran terhadap filsafat analitik tersebut.
16. Daftar Pustaka
Mustansyir, Rizal. 1987. Filsafat Analtik: sejarah, perkembangan dan peranan
para tokohnya. Jakarta: rajawali pers.
Titus, H Harold. Smith, S Marilyn. Nolan, T Richard. 1984. Persoalan-persoalan
Filsafat. Jakarta: PT. bulan Bintang.