1. KECANDUAN OBAT DAN SIRKUIT-SIRKUIT REWARD OTAK
A. PRINSIP-PRINSIP DASARKERJA OBAT
Bagian ini di fokuskan pada prinsip-prinsip dasar kerja obat dengan penekanan pada obat-
obatan psikoaktif,obat-obatan yang mempengaruhi pengalaman dan perilaku subjektif dengan bekerja
pada sistem saraf.
Pengadministrasian dan Penyerapan Obat
Obat-obatan biasanya diadministrasikan dengan salah satu di antara empat cara: lewat selaput,
disuntikan, dihirup, atau diserap melalui selaput lendir hidung, mulut, atau rektrum (usur besar). Rute
pengadministrasian obat mempengaruhi tingkat dan derajat pencapaian obat di tempat obat-obat itu
bekerja dalam tubuh.
Lewat Mulut Rute oral adalah rute pengadministrasian yang lebih di sukai untuk banyak
obat. Begitu di telan,obat itu akan larut dalam cairan perut dan di bawa ke usus, tempat obat itu di
serap dalam aliran darah. Akan tetapi, sebagian obat dapat mudah menembus dinding perut (misalnya,
alkohol) dan ini memberikan efek yang lebih cepat karena tidak harus mencapaiusus agar di serap,
Obat-obatan yang tidak dapat di serap dengan mudah dari saluran penceranaan atau yang di uraikan
menjadi metabolit tidak aktif sebelum dapat di serap harus diambil oleh rute lain.
Dua keuntungan utama rute pengadministrasian oral obat adalah kemudahan keamanan
relatifnya. Ketidakuntunganya adalah kesulitannya untuk diprediksi. Penyerapan dari saluran
pencernaan ke dalam aliran darah bisa sangat di pengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit di ukur
seperti banyaknya makanan dan tipe makanan di dalam perut.
Lewat Suntikan Suntikan obat lazim di dalam praktik medis karena efek obat yang di
suntikkan kuat, cepat, dan dapat di prediksi. Suntikan obat biasanya dilakukan secara subcutaneously
(SC), yaitu masuk kedalam jaringan lemak tepat di bawah kulit;intramuscularly (IM), ke dalam otot –
otot besar; atau intravenously (IV),langsung ke dalam urat darah di tititik-titik tempat darah itu
mengalir tepat di bawah kulit. Banyak para pecandu obat yang lebih menyukai rute IV karena aliran
darah mengantarkan obat itu langsung ke otak. Selain itu, banyak pecandu yang mengembangkan
jaringan perut, infeksi, dan urat darah yang kolaps di beberapa tempat tubuhnya, yang terdapat urat-
urat darah besar yang dapat di akses.
2. Lewat Inhalasi Beberapa obat dapat di serap ke dalam aliran darah melalui jaringan kapiler
yang begitu banyak dalam paru-paru. Banyak anetesiolog (obat bius) yang biasanya di berikan
melalui inhalasi, sepertitembakau dan mariyuana. Dua kelemahan rute ini adalah sulitnya untuk
mengatur dengan tepat dosis obat yang di hirup, dan banyak substansi yang merusak paru-paru bila di
hirup secar kronis.
Penetrasi obat ke sistem sarafpusat
Begitu memasuki aliran darah, obat di bawa dalam darah ke pembuluh-pembuluh darah
sistem saraf pusat. Untungnya, sebuah filter protektif, penghalang darah-otak, menyukitkan banyak
obat yang di bawa darah untuk melewati pembuluh-pembuluh darah CNS ke dalam neuron neuron.
Mekanisme Kerja Obat
Obat-obat psikoatkif mempengaruhi sistem sarfa dengan banyak cara. Sebagian obat
(misalanya, alkohol dan banyka di antara anestertik-anestetik umum) yang bekerja secara menyebar di
seluruh membran-membran neural di seluruh CNS. Obat-obat lainnya bekerja dengan cara yang lebih
spesifik, yaitu dengan cara mengikatkan diri pada reseotor-reseptor sinaptik tertentu; dengan
mempengaruhi sintesis, transportasi, pelepasan, atau deaktivasi neurotransmiter-neurotransmiter
tertentu.
Eliminasi dan Mekanisme Obat
Kerja kebanyakan obat di hentikan oleh enzim-enzim yang di sintetiskan oleh liver (hati).
Enzim hati menstimulasi konversi obat-obat aktif ke bentuk-bentuk non aktif proses yang di sebut
metabolisme obat. Di samping itu, obat—obat psikoaktif dalam jumlah sedikit dari tubuh masuk ke
urin, keringat, feses,napas, dan air susu ibu.
Toleransi Obat
Tolerani obat adalah keadaan kepekaan yang berkurang akibat paparan obat tersebut. Ada tiga
hal yang penting untuk di ingat tentang ke spesifikan toleransi obat.
Sebuah obat dapat menghasilkan toleransi terhadap obat-obatan lain yang bekerja dengan
mekanisme yang sama; ini di sebut cross tolerance (toleransi silang).
Toleransi obat sering kali berkembang ke sebagian efek obat, tetapi tidak untuk efek obat
lainnya. Faktanya, toleransi dapat berkembang ke sebgian efek obat sementara sentivitas
terhadap efek-efek lain dari obat yang sama justru meningkat. Meningkatnya kepekaan
terhadap obat di sebut sensitisasi obat (Robinson,1991).
3. Toleransi obat bukan sebuah fenomenon uniter; artinya, tidak ada sebuah mekanisme tunggal
yang mendasari semua contohnya. Dua kategori perubahan mendasari toleransi obat :
metabolik dan fungsional. Toleransi obat yang diakibatkan oleh perubahan—perubahan yang
mengurangi banyaknya obat yang sampai pada lokasi-lokasi kerjanya di sebut toleransi
metabolik. Toleransi obat yang di akibatkan oleh perubahan-perubahan yang mengurangi
reaktivitas lokasi-lokasi kerja di sebut toleransi fungsional.
Efek Penghentian Pemakaian Obat dan Ketergantugan Fisik
Setelah obat dalam jumlah yang signifikan sudah dalam tubuh dalam kurun waktu tertentu
(misalnya beberapa hari), eliminasi obat itu secara tiba-tiba dapat memicu sebuah reaksi fisiologis
adversif yang disebut withdrawal syndrome. Efek-efek withdrawal(penghentian pemakaian) obat
hampir selalu berlawanan dengan efek-efek awalobat itu. Individu-individu yang mengalami reaksi-
reaksi withdrawal ketika memakai obat di katakan tergantung secara fisik pada obat itu. Menurut teori
ini, paparan sebuah obat menghasilkan perubahan-perunahan kompensatorik di dalam sistem saraf
yang meng-offset efek-efek obat dan menghasilkan toleransi.
Berat atau ringannya gejala withdrawal bergantung pada obat yang di maksud, pada durasi
paparan obat sebelumnya, dan seberapa cepat obat itu di eliminasi tubuh. Secara umum, paparan ke
dosis lebih besar yang diikuti oleh eliminasi yang lebih cepat menghasilkan efek withdrawal yang
lebih besar.
Kecanduan apa yang di maksud ?
Addict (pacandu) adalah pemakai obat habitual, tetapi tidak semua pemakai obat habitual
adalah pecandu. Pecandu adalah pemakai obat habitual yang terus memakai obat terlepas upacaya dari
berulang-kali untuk menghentikannya. Meskipun penyederhana konsepsi semacam ini sangat
menggoda, tetapi konsepsi tentang adiksi obat ini tidak konsisten dengan bukti-buktinya. Pecandu
kadang memakai obat untuk mencegah atau mengurangi withdrawalnya (Baker et al..,2006), tetapi ini
bukan faktor utama pendorong adiksinya. Bahkan, orang yang sangat kegemukan, yang terus-menerus
melahap makanan tinggi kalori jelas memenuhi definisi addict (pecandu) (Volkow & Wise, 2005.
B. Peran belajar dalam Toleransi Obat
Salah satu penelitian psikofarmalogis penting menunjukkan bahwa belajar memeainkan peran
penting dalam toleransi obat. Penelitian tentang peran belajar di dalam toleransi obat di fokuskan pada
dua fenomena: contingent drug tolerance dan conditioned drug tolerance.
Contingent Drug Tolerance
4. Contingent drug tolerance mengacu pada demonstrasi bahwa toleransi berkembang hanya
pada efek-efek obat yang benar di alami. Dalam eksperimen sebelum dan sesudah, dua kelompok
subjek menerima serangkaian suntikan obat yang sama dan serangkaian obat yang sama, tetapi subjek
di salah satu kelompok menerima obat sebelum setiap tes dan subjek di kelompok lain menerima obat
setelah setiap tes. Selama fase pengembangan toleransi, tikus-tikus di salah satu kelompok menerima
suntikan alkohol 1 jam sebelum stimulasi konvulsif ringan pada amigdala sehingga efek
antikonvulsan alkohol dapat dapat di alami setiap percobaan. Tikus-tikus di kelompok lain menerima
suntikan satu jam setiap setelah stimulasi konvulsif sehingga banyaknya toleransi terhadap efek
antikonvulsan alkohol pada kedua kelompok itu dapat di bandingkan. Contingent drug Tolerance
telah didemonstrasikan untuk banyak efek obat lainnya dan banyak spesies.
Conditioned Drug Tolerance
Conditioned drug tolerance mengacu pada demonstrasibahwa efek-efek toleransi
diekspresikan paling maksimal hanya ketika sebuah obat diadministrasikan di situasi yang sama
dimana mereka sebelumnya diadministrasikan. Di salah satu demonstrasi toleransi obat terkondisi
(Crowell, Hinson & Siegel, 1981), dua kelompok tikus menerima 20 suntikan alkohol dan 20 suntikan
salin (garam) secara bergantian, satu suntikan setiap hari. Satu-satunya perbedaan di antara kedua
kelompok tikus-tikus disalah satu kelompok menerima ke-20 suntikan alkohol di ruang tes yang sama
sekali berbeda dan 20 suntikan salin di ruang koloni, sementara tikus-tikus di ruangan lain menerima
suntikan alkohol dan suntikan salin di ruang tes yang sama sekali berbeda. Ada belusin-lusin
demonstrasi lain untuk situational specificity of drug tolerance (toleransiobat spesifik-situasi).
Toleransi obat yang spesifik-situasi ini membuat Siegel dan rekan-rekan sejawatnya untuk
mengatakan bahwa pecandu bisa sangat rentan terhadap efek-efek mematikan overdosis obat bila obat
itu diadministrasikan di sebuah konteks baru. Hipotesis mereka adalah pecandu menjadi toleran bila
mereka mengadministrasikan-sendiri obat mereka secara berulang-ulang di lingkungan yang sama
dan, sebagaiakibatnya, mulai memakai dosis yang semakin laa semakin besar untuk mengatasi
berkurangnya efek obat. Siegel melihat insiden administrasi obat di sebuah percobaan pengondisian
Pavlovian, yang berbagai stimuli lingkunganya yang lazim reguler memprediksi pengadministrasian
obat itu (misalnya, pub, kamar kecil, jarum, pecandu lain) adalah kondisi-kondisional efek-efek obat
adalah stimuli tak kondisional. Siegel mengistilahkan respon hipotesis yang berlawanan ini
conditioned compensatory responses (respon kompensatorik terkondisi). Kebanyakan tentang
toleransi obat terkondisi menggunakan stimuli eksteroseptif (stimuli publik eksternal, seperti
lingkungan pengadministrasian obat) sebagai stimuli kondisionalnya. Aakan tetapi, stimuli
interoseptif(stimuli pribadi internal) sama efektifnya dalam peran ini. Sebagai contoh, perasaan yang
di hasilkan oleh ritual memakai obat dan efek-efek ringan pertama obat yang di alami setelah di
administrasikan obat. Meskipun toleransi berkembang ke banyak efek obat, kadang-kadang hal yang
5. sebaliknya sensitisasi terjadi. Sensitisasi obat,sepertihanya toleransi obat, dapat mengalami spesifik-
situasi. Sebagai contoh, Anagnostaras dan Robinson (1996) mendemostrasikan sensitisasi spesifik-
situasi terhadap efek-efek stimulan motorik amfetamin. Efek withdrawal obat dan respons
kompensatorik terkondisi serupa: Keduanya adalah respon yang berlawanan dengan efek tak
terkondisi obat dimaksud.
Berpikir tentang Pengondisian Obat
Disemua situasi yang obat diadministrasikan berulang-ulang, efek-efek terkondisi tak
terhindarkan. Akan tetapi, kebanyakan teori tentang pengondisian obat memiliki masalah serius:
Mereka sulit memprediksi arah efek-efek terkondisi itu. Ramsay dan Woods (1997) berpendapat
bahwa bayak kebingungan tentang efek-efek terkondisi obat berasal dari kesalahpahaman terhadap
pengondisian Pavlovian. Secara khusus, mereka mengkritik asumsi lazim bahwa stimulus tak
terkondisional di dalam eksperimen toleransi obat adalah obat itu dan bahwa respon tak
terkondisionalnya adalah perubahan apapun pada fisiologi atau perilaku yang kebetulan terekam oleh
si eksperimenter. Perubahan dalam prespektif ini mmembuat perbedaan besar. Sebagai contoh, dalam
eksperimen toleransi alkohol Crowell dan rekan-rekan sejawat nya (1981) yang telah didekskripsikan
sebelumnya, alkohol di anggap sebagai stimulus tak kondisionalnya dan hipotermia yang di hasilkan
adalah respons tak kondisionalnya. Sebaliknya, Ramsay dan Woods mengatakan bahwa stimulus tak
kondisionalnya adalah hipotermia yang di hasilkan secara langsung oleh paparan alkoohol, sementara
perubahan kompensatorik yang cenderung menangkal berkurangnya suhu tubuh adalah respon tak
kondisionalnya.