Dokumen tersebut membahas tentang sistem kadaster dan pertanahan di Indonesia, mulai dari asal usul kadaster, masuknya kadaster ke Indonesia, sejarah pendaftaran tanah, undang-undang terkait pertanahan, permasalahan pertanahan beserta solusinya, dan daftar pustaka. Secara ringkas, dokumen ini memberikan gambaran mengenai sistem kadaster dan pertanahan di Indonesia secara historis beserta permasalahan dan regulasi yang terkait.
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
Masalah pertanahan di indonesia
1. Nama Kelompok :
Arida Rahma Wardhani
Ayu Ana Inayah
M.Rifqianafi
Sistem Kadaster dan Pertanahan di Indonesia
2. Asal Usul Kadaster
Kadaster secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yang bermakna daftar publik yang
memperlihatkan rincian kepemilikan dan nilai suatu tanah yang dibuat untuk keperluan
perpajakan, namun kemudian masyarakat umum mengaitkan pengertian itu sebagai
Capitastrum yang berasal dari kata Romawi Kuno, atau dari bahasa Itali sebagai Kapitastro
(daftar penghasilan dari tuan tanah). Dalam perkembangan di Indonesia kemudian disebut
Kadaster yang berasal dari bahasa Belanda.
Di Indonesia Kadaster diartikan sebagai kantor yang menangani kegiatan yang
berhubungan dengan pengukuran, pemetaan dan pembukuan hak bidang-bidang tanah
pada suatu wilayah tertentu, baik itu yang berhubungan dengan Recht Kadaster maupun
Fiscale Kadaster.
Pada perkembangan selanjutnya, Negara-negara di seluruh dunia melaksanakan kadaster.
Hal ini ditandai dengan adanya istilah kadaster tersebut dalam beberapa bahasa dan
pelaksanaannya disesuaikan dengan tujuan tertentu. Kadaster di Indonesia pada saat itu
dikenal dengan nama pendaftaran tanah (kantornya maupun kegiatannya)
3. Masuknya Kadaster di Indonesia
Sistem pemilikan tanah di Indonesia masa lalu, berdasarkan sistem administrasinya dapat dibagi
menjadi empat tahapan yaitu :
a. Tahap Pertama. Sistem administrasi untuk tanah komunal (milik bersama) khususnya di
desa-desa sangat tergantung kepada ingatan kepala desa setempat; teknik kadaster seperti
peta dan dokumen belum dikenal.
b. Tahap Kedua. Untuk tanah milik adat, khusunya di daerah perkotaan dan produktif telah
mengenal sistem pajak tanah sejak awal abad ke-19, yaitu tahun 1811; sebagai konsekuensinya,
maka sistem pengukuran kadaster juga telah mulai dikenal, meskipun belum cukup akurat.
c. Tahap Ketiga. Sistem administrasi pertanahan kolonial yang lain adalah sistem yang
dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum, namun demikian hanya merupakan himpunan data fisik
tanpa ada dokumentasi hak atas tanahnya.
d. Tahap Keempat. Konsep kadaster hak (eigendom kadaster – rechts kadaster). Sistem ini
mengelola dokumen administrasi dan pendaftaran atas tanah-tanah milik berdasarkan hokum
Belanda. Di sini tanah-tanah telah diukur dan didaftar sebagaimana mestinya. Kadaster hak milik
memberikan jaminan kepastian hak, baik menyangkut batas-batas tanah, letaknya, maupun
kepemilikannya.
4. Sejarah Pendafataran Tanah di Indonesia
Menurut beberapa referensi, sejarah pendaftaran tanah di Indonesia dibedakan dalam beberapa masa,
yaitu :
- Masa Pra Kadaster (1626-1837), pada masa ini hanya dokumen yang tercatat dalam buku
pendaftaran dan belum didukung dengan peta kadaster.
- Masa Kebangkitan Kadaster (1837-1875), pada masa ini telah dibuat daftar-daftar dan peta-peta
blok
- Masa Kadaster Baru (1875-1961), pada masa ini pelaksanaan kadaster telah menjamin kepastian
hokum tentang batas bidang tanah
- Masa Pendaftaran Tanah (1961-1997), masa ini adalah masa kepastian hukum hak atas tanah
- Masa Informasi Pertanahan (1997-sekarang), masa ini mulai dikenal system informasi dan teknologi
informasi, sehingga perlu perancangan dan pembangunan kadaster multiguna. Masa ini ditandai dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan pemanfaatan citra satelit, hamper semua kegiatan dalam
pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran tanah yang melibatkan kegiatan pengumpulan, pengolahan,
dan manajemen data menggunakan teknologi informasi.
5. Undang Undang Pertanahan
Perpu Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak
Atau Kuasanya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
6. Permasalahan Pertanahan di Indonesia
1. Tanah yang tidak di urus oleh pelimilk sah tanah di akui hak miliknya oleh orang
lain dan orang tersebut mendirikan bangunan berupa rumah di tanah tersebut.
Desa Atu-Atu, Kec. Pelaihari, Kab. Tanah Laut.
Solusi :
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 merumuskan bahwa sertifikat adalah
satu lembar dokumen sebagai surat tanda bukti hak yang memuat data fisik dan
data yuridis objek yang di daftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah
wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-
masing di bukukan dalam buku tanah. Keberadaan sertifikat hak atas tanah
sebagai surat tanda bukti hak memiliki kekuatan sempurna. Hal ini berarti bahwa
selama tidak dapat di buktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang
tercantum di dalamnya harus di terima sebagai data yang benar. Perlindungan
mengemukakan bahwa pada pasal 19 UUPA menyatakan bahwa sertifikat adalah
sebagai alat pembuktian yang kuat, sehingga setiap orang dapat
mempermasalahkan tentang kebenaran sertifikat tanahnya dan jika dapat
dibuktikan ketidakbenaran dari hak atas tanah tersebut, maka sertifikat dapat
dibatalkan oleh pengadilan dan kepala BPN dapat memerintahkan hal tersebut
(Perlindungan 1999).
7. 2. Dua dusun akan di tenggelamkan untuk proyek bendungan oleh
Pemerintah Pusat (Dusun Kedung Glatik di Desa Candirejo dan
Dusun/Desa Panawangan keduanya di wilayah Kecamatan
Pringapus, Kabupaten Semarang)
Solusi :
Pasal 2 ayat 1 UUPA, menegaskan bahwa Negara adalah
Penguasa tertinggi atas bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, selanjutnya dalam
penjelasan disebutkan bahwa soal agraria menurut sifat dan pada
azasnya adalah tugas Pemerintah Pusat.
Itu berarti bahwa kekuasaab negara untuk mengatur hubungan
hukum antara orang dengan tanah, termasuk memutuskan
hubungan atau membatalkan hak orang atas tanah, adalah
wewenang Pemerintah pusat (Presiden). Dan dengan PERPRES
Nomor 10 Tahun 2006, Presiden RI melimpahkan kewenangan
tersebut kedalam tangan Badan Pertanahan Nasional RI (BPN-RI).
8. Sehingga dalam hal pembangunan waduk tersebut,
pemerintah berhak mencabut hak atas warga yang
lahan nya terkena proyek waduk sesuai aturan
perundang-undangan. Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1961
secara tegas mengatakan :
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakya, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan
Menteri yang bersangkutan dan dapat mencabut hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
9. Warga juga sangat mendukung dengan proyek
pembangunan waduk ini, karena selama ini wilayah
tersebut kerap terjadi bencana longsor dan banjir
karena tempatnya berada di cekungan dan dikeliliingi
sungai (sungai Klampok dan Jragung).
10. Ganti Rugi Tanah
Adapun bentuk ganti rugi yang dapat diberikan
dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan
umum tersebut, berdasarkan Pasal 74 Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 adalah sebagai berikut :
a. Uang
b. Tanah pengganti
c. Pemukiman Kembali
d. Kepemilikan saham; atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
11. 3. Tanah yang dibeli tidak mendapatkan akses jalan umum
(terkurung tanah orang lain) waktu saya ingin membeli tanah di
depan tanah yang menutupi tanah saya, namun harga yang di
tawarkan sangat tinggi (Kasus ini terjadi di Kandangan).
Solusi :
-Pasal 667 KUH Perdata :
Pemilik sebidang tanah atau pekarangan, yang demikian terjepit
letaknya antara tanah-tanah orang lain, sehingga ia tak mempunyai
pintu keluar ke jalan atau parit umum, berhak menuntut kepada
pemilik-pemilik pekarangan tetangganya supaya memberikan jalan
kepadanya melalui pekarangan pemilik tetangga itu, dengan
mengganti rugi yang seimbang.
-Pasal 668 KUH Perdata :
“Jalan keluar itu harus diadakan pada sisi pekarangan atau tanah
yang terdekat dengan jalan atau parit umum, namun dalam suatu
jurusan yang demikian sehingga menimbulkan kerugian yang sekecil
kecilnya, bagi pemilik tanah yang di lalui”.
12. Berdasarkan uraian ketentuan Pasal 667 dan Pasal 668
tersebut, maka Anda berhak untuk menuntut kepada
pemilik tanah tersebut agar memberikan jalan keluar
tersebut di adakan pada sisi pekarangan atau tanah yang
terdekat dengan jalan atau parit umum. Sehingga,
pemberian jalan keluar tersebut hanya akan menimbulkan
kerugian yang sekecil-kecilnya bagi pemilik tanah.
Adapun apabila si pemilik tanah memberikan harga
penjualan yang sangat tinggi (tidak wajar) dan tidak
seimbang deengan kerugian yang di akibatkan oleh
pemberian jalan keluar tersebut, maka anda dapat
melakukan suatu upaya hukum melalui gugatan perdata
ke Pengadila Tinggi Negeri setempat.