SlideShare a Scribd company logo
1 of 26
TANAH DAN HUKUM TANAH
masalah tanah merupakan persoalaan esensial bagi kehidupan dan penghidupan umat
manusia. tanah multi dimensi, berbagai aspek terkait bisa politik, hukum, sosial dan
budaya. saya ingin membagi pengetahuan, diskusi tentang politik hukum pertanahan,
konsultasi hukum khususnya masalah pertanahan

Blog ini
Di-link Dari Sini
Daftar Blog Saya
Web
Blog ini



Di-link Dari Sini



Daftar Blog Saya



Web




Sabtu, 15 Mei 2010
KARAKTER HUKUM SERTIFIKAT HAK

DR. Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, SH.,M.hum

Uraian berikut dibawah ini diawali dengan pertanyaan hukum apakah ada korelasinya
antara karakter hukum sertipikat hak dengan status hukum tanah dan akibat hukumnya.
Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, Sertipikat merupakan dokumen tertulis
yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerinah ( badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara ) untuk dipergunakan sebagai tanda bukti hak dan alat pembuktian yang
dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Bila mana sertipikat
dikatakan sebagai suatu dokumen formal suatu surat tanda bukti hak atas tanah, berarti
bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memegang sertipikat tanah menunjukan
mereka itu mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu[1]. Ketika
suatu sertipikat dikonsepkan sebagai suatu alat bukti hak kepemilikan atas tanah maka
sertifikat bukan merupakan alat bukti satu – satunya adanya keberadaan hak kepemilikan
atas tanah.

Ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 PP No. 24 tahun 1997, menunjukan
konstruksi hukum yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu yang dapat dijadikan alas
hak ( title) yang dapat dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum dapat menuntut
kepada Negara adanya keberadaan hak atas tanah yang dipegang atau dimiliki. Secara
hukum dengan berpegang pada alat bukti ini maka merupakan landasan yuridis guna
dapat dipergunakan untuk melegalisasi asetnya untuk dapat diterbitkan sertipikat tanda
bukti sekaligus alat bukti kepemilikan hak atas tanah.

Pertama, instrument yuridis atau alat bukti kepemilikan yang disebut sebagai “hak baru”
atas tanah harus dibuktikan dengan “Penetapan pemerintah” yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang apabila hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak
pengelolaan. Wujud kontret dari penetapan pemerintah ini adalah Surat Keputusan
Pemberian hak kepemilikan atas tanah (SK hak milik, SK HGB, dst); dan atau

Kedua, akta otentik PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah ) menurut ketentuan hukum
termasuk alat bukti kepemilikan hak baru, dimana akte otentik tersebut memuat
pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang
bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik.
( pasal 23 PP No. 24 tahun 1997)

Ketiga, instrument yuridis tertulis lainnya yang disebut sebagai hak atas tanah yang
“lama” ( pasal 24 PP No. 24 tahun 1997), yang diakui keberadaannya oleh hukum
sebagai alat bukti tertulis kepemilikan hak atas tanah. Selanjutnya instrument yuridis
tentang keberadaan alat bukti kepemilikan tersebut secara terinci diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria ( PMNA)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional ( KBPN ) No. 3
tahun 1997. Didalam pasal 24 PP No. 24 tahun 1997 dan pasal 60 dari PMNA/KBPN No.
3 tahun 1997, beserta penjelasan pasalnya disebutkan alat bukti kepemilikan lama yakni:
grosse/salinan akte eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan
peraturan swapraja, surat tanda bukti hak milik yang dikeluarka berdasarkan peraturan
Menteri Agraria No. 9 tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat
yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai
kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah memenuhi semua
kewajiban yang disebut didalamnya, petok D / girik, pipil, ketitir, dan verponding
Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, akta pemindahan hak dibawah
tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala Adat/desa/kelurahan yang dibuat
sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan,
akta pemindahan yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan
disertai alas hak yang dialihkan, akta ikrar wakaf / surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum
atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28 tahun 1977 dengan disertai alas hak yang
diwakafkan, risalah lelang, surat penunjukan pembelian kaveling tanah pengganti tanah
yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kepala
kantor PBB dengan disertai alas hak yang dialihkan, lain-lain bentuk alat pembuktian
tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana di maksud dalam pasal II, VI, dan VII
ketentuan konversi. Alat-alat bukti kepemilikan hak ini pada hakekatnya merupakan
representasi dari pengakuan dari Negara terhadap hak kepemilikan yang dipunyai oleh
warga Negara Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah
merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung
tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan
merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang
yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh
negara.[2] Hak milik ( property rights ) merupakan suatu hak yang mempunyai hubungan
kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan
lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun
wewenang atas tanah yang dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouse “
property is basic to the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can do
without it”.[3] Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya selama mereka tidak
melepaskan haknya ( peralihan hak).[4] Demikian juga bila dicermati ajaran John Locke
mengenai hak milik ini yang mengatakan bahwa: Ownership of property is a natural
right and that the purpose of Government is to protect and preserve natural property
right.[5] Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan keharusan
bagi negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak kepemilikan warga
negaranya. Ajaran maupun teori hak kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam
Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan hukum,
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ( UUDNRI 1945). Implementasi dari jaminan
perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah ( agraria )
oleh Negara selanjutnya dijabarkan kedalam UUPA. [6]

Berkaitan dengan hal tersebut diatas,sebagai konsekuensi yuridisnya maka diatur bahwa
terhadap tanah hak yang berasal dari hak lama ( adat ) oleh hukum dilakukan perubahan
hukum berdasarkan prinsip pengakuan Negara terhadap hak kepemilikan atas tanah
rakyat karena hukum dikonversi sebagai hak-hak yang baru dan jenis-jenis hak atas tanah
yang diciptakan oleh UUPA. Pengakuan Negara tersebut memunculkan model sertipikat
hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat “ Deklaratif” ( declaratoir).
Disamping model pengakuan Negara terhadap hak atas tanah rakyat, Negara
mengakomodir adanya hak atas tanah yang muncul yang berasal dari status tanah-tanah
diluar tanah hak yang dikuasai rakyat ( tanah Negara ). Hak atas tanah ini terbit
berdasarkan pada tindakan pemerintah yang berupa “penetapan” atau “ keputusan” hak
memunculkan model sertifikat yang berkarakter yuridis yang bersifat “Konstitutif”(
Konstitutief). [7]

Dalam ajaran hukum bahwa yang disebut sebagai suatu ketetapan atau keputusan yang
bersifat deklaratif yakni suatu ketetapan atau keputusan yang menetapkan mengikatnya
suatu hubungan hukum yang sebetulnya memang telah ada sebelumnya. Utrecht
menyebutkan bahwa suatu ketetapan / keputusan deklaratif merupakan ketetapan yang
hanya menyatakan yang bersangkutan dapat diberikan haknya karena termasuk golongan
ketetapan yang menyatakan hukum ( rechtsvastellende beschikking), sedang yang disebut
sebagai ketetapan Konstitutif adalah ketetapan membuat hukum baru ( rechtscheppend).
[8] Menurut P. de Haan cs, “ Bestuursrecht in de sociale rechtsstaat” halaman 30, yang
dikutip oleh Philipus M. Hadjon terdapat pengelompokan Beschikking, khusus yang
disebut sebagai keputusan deklaratur maupun konstitutif (Rechtsvastellend en
rechtsscheppend ) diuraikan bahwa Pada keputusan Tata Usaha Negara deklaratif
hubungan hukum pada dasarnya sudah ada. Contoh: akte kelahiran, hak milik atas tanah
eks hukum adat. Relevansi praktis dari pembedaan ini berkaitan dengan alat bukti.
Keputusan tata usaha Negara deklaratif bukanlah alat bukti mutlak. Adanya hubungan
hukum masih mungkin dapat dibuktikan dengan alat bukti lain. Pada keputusan Tata
Usaha Negara konstitutif, adanya keputusan tata usaha Negara merupakan syarat mutlak
lahirnya hubungan hukum. Contoh: sertifikat HGB, SK pengangkatan sebagai pegawai
negeri dan lain-lain; berbeda dengan keputusan tata usaha Negara deklaratif, dalam
keputusan tata usaha Negara konstitutif merupakan alat bukti mutlak. Dengan kata lain,
tidak ada hubungan hukum tanpa adanya keputusan tata usaha Negara yang sifatnya
konstitutif.[9]

Ajaran hukum tersebut selaras dengan konsep hukum tanah yang pada prinsipnya yang
diatur dalam UUPA bahwa hak kepemilikan atas tanah tercipta atau lahir dapat berasal
dari:

   1. Berdasarkan pada konsep pengakuan adanya keberadaan hak kepemilikan yang
      telah ada sebelum UUPA yang dalam hal ini masuk dalam kelompok tanah hak
      barat yang disebut sebagai tanah yang pernah “ terdaftar” dan kelompok yang
      belum pernah terdaftar yakni seperti tanah hak masyarakat ( adat ) yang diakui
      tanah milik adat dan;
   2. Hak kepemilikan atas tanah yang lahir atau diperoleh berdasarkan ketentuan
      hukum ( undang-undang) yang berupa Penetapan Pemerintah.[10]

Kedua kelompok ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda terhadap pengaturan
hukum ketata usahaan pendaftaran dan alat bukti hak atas tanah, serta akibat hukum yang
ditimbulkan bila terjadi sengketa hak kepemilikan atas tanahnya.

Pertama, Hak kepemilikan atas tanah yang lahir karena Penetapan Pemerintah ( istilah
lain dari keputusan pemberian hak ) sesuai dengan ajaran ilmu hukum dan sebagaimana
diatur dalam ketentuan UUPA maupun peraturan pelaksanaannya dilahirkan berdasarkan
pada suatu tindakan atau perbuatan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
berupa keputusan pemberian hak milik. Dalam konteks ini hubungan hukum antara
subyek dan obyek secara yuridis belum ada. Hubungan yang terjadi antara subyek dan
obyek hanya sekedar hubungan penguasaan secara fisik ( possession ). Secara hukum
baru ada setelah adanya Keputusan Penetapan Hak Kepemilikan atas tanah dan
selanjutnya berdasarkan keputusan atau ketetapan hak inilah yang menjadi dasar alas hak
pendaftaran hak dan terbitnya sertifikat hak kepemilikan atas tanah yang berkarakter
yuridis yang bersifat Konstitutif. Ciri khas dari model ketetapan atau keputusan
pemberian atas tanah dan yang melahirkan sertifikat yang bersifat konstitutif berasal dari
obyek tanah yang berstatus tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau “tanah
Negara”.[11]
Pengaturan lebih lanjut terhadap keputusan pemberian hak atas tanah yang berstatus
tanah negara ini dapat terbaca dalam beberapa peraturan perundangan antara lain:
Keppres No. 32 tahun 1979 tentang Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru
Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, Peraturan Menteri Dalam Negeri ( PMDN) No. 5
tahun 1973, Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas
Tanah, yo. PMDN No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Pemberian Hak Atas Tanah.
Peraturan ini dicabut oleh PMNA /KBPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian
Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yo. PMNA/ KBPN No. 3
tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Keseluruhan bentuk atau macam sebutan tanah-tanah
negara merupakan obyek dari keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konstitutif,
dimana untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut diperlukan suatu permohonan kepada
negara dan apabila persyaratan dianggap telah memenuhi dan permohonan dikabulkan
maka Badan atau Pejabat Tata usaha negara yang berwenang untuk itu melakukan
tindakan hukum berupa menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah kepada
pemohon. Dengan adanya Keputusan tersebut muncul hubungan hukum antara obyek
( tanah negara ) dengan subyek yaitu seseorang atau badan hukum yang mengajukan
permohonan hak atas tanah negara tersebut dan sejak saat dikeluarkan keputusan tersebut
maka terbit Hak kepemilikan Atas Tanah yang bersangkutan. Dengan catatan bahwa yang
bersangkutan memenuhi segala persayaratan yang ditentukan didalam keputusan tersebut.
Apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maka hak tersebut menjadi “ batal
“ dengan sendirinya dan tanahnya kembali dikuasai oleh negara atau menjadi tanah
negara kembali. Dengan perkataan lain bahwa Karakter khas yang muncul dari tanah –
tanah yang berstatus tanah negara yang oleh negara yang diberikan sesuatu hak atas tanah
adalah:

(1) sebelum terbit sertifikat hak atas tanah yang dipergunakan sebagai tanda bukti
kepemilikan tanah, akan didahului dengan adanya tindakan hukum dari pemerintah yang
dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Badan atau Pejabat Tata usaha Negara
yang diwujudkan dalam Keputusan berbentuk “ Surat Keputusan” ( SK) pemberian hak
atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan haknya;

(2) didalam ketetapan yang berupa suatu keputusan pemberian hak tersebut selalu ada
persyaratan-persyaratan baik berupa persyaratan umum maupun khusus maupun
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang bersangkutan, dengan akibat hukum
“ batal” dengan sendirinya apabila persyaratan dan atau kewajiban tidak dipenuhi oleh
mereka yang mengajukan permohonan hak atas tanah yang bersangkutan.

Gambar 4. Skema pendaftaran Sertifikat berkarakter yuridis bersifat Konstitutif.
Kedua, hak kepemilikan atas tanah yang telah ada baik hak barat maupun hak adat
( terdaftar maupun yang belum terdaftar) diakui keberadaannya yang oleh UUPA diubah
kedalam bentuk baru ( konversi ) jenis-jenis hak ciptaan UUPA. Pengakuan negara dan
perubahan kepada hak baru dengan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang.
Pada prinsipnya pengakuan negara terhadap keberadaan hak kepemilikan atas tanah yang
ada dituangkan kedalam bentuk penegasan, dan Sesuai dengan ajaran hukum penegasan
semacam ini disebut sebagai suatu keputusan yang dalam wujud konkretnya berupa
keputusan penegasan (deklaratif). Dalam model keputusan deklaratif ini syarat adanya
keputusan Tata Usaha Negara bukan merupakan syarat mutlak adanya hubungan hukum
antara subyek dan obyeknya pada dasarnya telah ada. Hubungan hukum antara subyek
dan obyeknya dapat dibuktikan dengan alat bukti keperdataan tertulis yang lain ( PP No.
24 tahun 1997 yo. PMNA/ KBPN No. 3 Tahun 1997). Ketentuan hukum sebagaimana
diatur dalam ketentuan konversi UUPA, PMA No. 2 tahun 1960 tentang Pelaksana
beberapa ketentuan Undang Undang Pokok Agraria Yo. PMA No. 5 tahun 1960 dan
PMPA No. 2 tahun 1962 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Hak-Hak
Indonesia, merupakan bentuk adanya pengakuan oleh negara terhadap hak-hak rakyat
baik hak kepemilikan yang diatur menurut hukum perdata barat ( BW) maupun hak-hak
tanah adat.

Namun demikian ada karakter hukum yang khas dari ketentuan penegasan konversi hak
kepemilikan atas tanah dalam UUPA. Hukum mengatur adanya prinsip-prinsip
“Nasionalitas” yang wajib hukumnya harus dipenuhi bagi pemegang hak atas tanah agar
dapat memperoleh pengakuan dan penegasan hak atas tanahnya. Maksudnya adalah
pengakuan penegasan terhadap hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah antara
pemegang hak dengan obyeknya diakui oleh negara syaratnya adalah Warga negara
Indonesia. Konsekuensi hukum bilamana syarat tersebut tidak dipenuhi maka hubungan
hukum hak kepemilikan atas tanah diubah (diturunkan) kepada hak jenis lain dan dalam
jangka waktu tertentu dicabut oleh negara, sehingga berdasarkan ketentuan hukum
( UUPA) status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara ( tanah negara). Untuk hak atas tanah yang berasal dari bekas hak barat ( pasal I
ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA): Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai
berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak
memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 ayat (1) UUPA, yakni harus
Warganegara Indonesia sejak 24 september 1960. berdasarkan ketentuan pembuktian
kewarganegaraan diberikan waktu 6 (enam ) bulan (pasal 2 PMA No. 2 tahun 1960).
Pemegang hak eigendom yang dapat membuktikan kewarga negaraannya maka oleh
KKPT ( Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ) saat ini Kepala Kantor Pertanahan,
eigendomnya dikonversi menjadi hak milik dan tanda bukti kepemilikan hak tersebut
dicatat baik pada asli akta maupun didalam salinan aktanya, demikian disebutkan dalam
pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960.[12] Pencatatan konversi oleh KKPT ini dilaksanakan
dengan membubuhi keterangan dengan kata-kata “ Berdasarkan pasal dan ayat ketentuan
konversi Undang-Undang Pokok Agraria dikonversi menjadi: Hak ( isi: milik, guna
bangunan, Guna usaha atau pakai) dengan jangka waktu” ( pasal 18 PMA No. 2 tahun
1960). Akibat hukumnya apabila pemegang hak tidak melaporkan status hukum
kewarganegaraannya dalam waktu 6 bulan atau tidak dapat membuktikan
kepemilikannya maka menurut hukum hak eigendomnya berubah menjadi hak guna
bangunan dengan jangka waktu 20 tahun.[13] Dan setelah 20 tahun jika tidak
diperbaharui haknya hapus menjadi tanah negara berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1979
yo. PMDN No. 3 tahun 1979. Untuk pengakuan negara terhadap tanah-tanah Adat diatur
dalam pasal II dan pasal VII Ketentuan konversi UUPA. Dalam pasal II Ketentuan
Konversi berisi hak – hak atas tanah-tanah adat yang memberikan wewenang yang mirip
dengan hak milik pasal 21 UUPA dikonversi menjadi hak milik, bilamana memenuhi
persyaratan yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 UUPA yaitu: hak Agrarisch eigendom,
milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan,
landrijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir,
demikian juga tanah pekulen, sanggan, gogolan yang sifatnya tetap dan hak-hak lain
dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh menteri agraria, sejak
mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya
tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 UUPA. Mengingat adanya
perbedaan karakter tersebut maka sebagai konsekuensi hukumnya akan berbeda pula
pada saat terjadi pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanahnya yang menjadi alas atau
dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut.

Skema pendaftaran Sertipikat yang berkarakter yuridis bersifat Deklaratif.




KARAKTER HUKUM KEPUTUSAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA.

Didalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum (
rechsmatig ) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan
oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka
keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum ( rechtskrach ) untuk dilaksanakan.
sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut
hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi “ tidak sah” yang berakibat hukum
menjadi “ batal” ( nietig ). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus di penuhi agar
ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi
dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak
sah: 1. bevoedgheid ( kewenangan ) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen
juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam
pembentukan kehendak ); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam
bentuk yang telah diketapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan
tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.[14] Philipus M. Hadjon
mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan
landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah.
Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan
ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan
tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas
keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan
atau keputusan tidak ada “ Error in re”. [15] selanjutnya dijelaskan bahwa istilah
keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda “ rechtmatigheid” ( van bestuur).
Rechtmatigheid = legalitas = legality. Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang;
2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 ( wewenang dan substansi ) merupakan landasan
bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa.
Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan:
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata
Usaha negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. [16]

Sebaliknya Berdasarkan hukum suatu keputusan yang tidak memenuhi elemen atau syarat
dapat dikatakan bahwa keputusan mengandung kekurangan juridis dalam pembuatannya,
sehingga keputusan tersebut merupakan suatu keputusan menjadi tidak sah. E. Utrecht,
mengatakan:suatu ketetapan yang mengandung kekurangan tidak selalu merupakan
ketetapan atau keputusan yang tidak sah. Ada ketetapan yang mengandung kekurangan
tetap merupakan ketetapan sah. Menurutnya pada umumnya tergantung pada hal apakah
syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan bestaansvoorwaarde atau tidak untuk adanya
ketetapan itu. ( bestaansvoorwaarde= syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu ada; kalau
syarat tidak dipenuhi maka sesuatu itu (dianggap) tidak ada.[17]

Stelinga, mengatakan bahwa suatu ketetapan yang mengandung kekurangan masih dapat
diterima sah oleh karena sah tidaknya sesuatu ketetapan yang mengandung kekurangan
tergantung pada beratnya kekurangan itu.[18]Menurut Soehino, bahwa yang disebut
sebagai ketetapan yang tidak sah bila mengandung kekurangan syarat yang seharusnya
dipenuhi dalam pembuatan ketetapan administrasi tersebut.[19] Dengan adanya
kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dapat berakibat hukum batalnya ketetapan
tersebut. Disamping batal atau dapat dibatalkan ketetapan tersebut dimungkinkan bahwa
ketetapan tersebut dicabut oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan.
Masih berkaitan dengan ketetapan yang mempunyai kekurangan yuridis, van der Wel,
berpendapat agak berbeda sebagaimana yang dikutip oleh Bachsan Mustafa dalam
bukunya:
Suatu ketetapan yang menetapkan sesuatu yang sungguh-sungguh tidak mungkin dapat
dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan yang
lainnya kita harus melihat apakah kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan “
esensial” atau kekurangan yang “ bukan esensial”, kekurangan yang bukan yang esensial
tidak dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan. Mengenai kekurangan esensial harus
dilihat beratnya kekurangan. Apabila kekurangan itu dirasakan begitu berat sehingga
ketetapan yang bersangkutan sebetulnya tidak berupa ketetapan, maka ketetapan yang
bersangkutan itu dapat dianggap batal sama sekali.

Apabila kekurangan itu tidak begitu berat, maka ketetapan yang bersangkutan dapat
dianggap batal terhadap subyek hukum yang mempunyai alat untuk menggugat
berlakunya ketetapan itu ( misalnya dalam bandingan).[20]

E.Utrecht berkomentar bahwa dia dapat menerima pembagian kekurangan ketetapan
kedalam kekurangan yang esensial ( inti) dan yang bukan yang esensial. Namun
kandungan kekurangan tersebut harus dilihat secara kasuistis yang penting bahwa
keputusan Administrasi negara adalah pemanfaatan / kegunaannya ( doelmatigheid) lebih
penting dari pada sesuai tidaknya dengan hukum positif ( rechtsmatigheid). [21]

Untuk mengetahui suatu keputusan itu mempunyai kekurangan yang masuk dalam ranah
kekurangan yang esensial atau yang bukan esensial, sehingga ketetapan tersebut menjadi
sah atau tidak sah. Apabila mengikuti teorinya van der Pot, maka ada 4 syarat yakni:
dibuat oleh Badan atau pejabat yang berwenang, tidak boleh adanya kekurangan yuridis,
berhubungan dengan bentuk ( vorm) dan prosedur, serta isi dan tujuan harus sesuai
dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Atau sebagaimana disampaikan oleh Philipus
M. Hadjon ada 3 aspek yang penting yakni: Wewenang, Prosedur dan substansi untuk
dapat dikatakan sahnya ketetapan atau keputusan.

Didalam Hukum Administrasi bahwa ketetapan tidak sah akan berakibat batal ketetapan
tersebut, dapat dibedakan 3 ( tiga ) jenis pembatalan suatu ketetapan tidak sah yaitu:
pertama, ketetapan yang batal karena hukum ( nietigheid van rechtswege); kedua,
ketetapan yang batal ( nietig, juga: batal absolut, absoluut nietig); ketiga, ketetapan yang
dapat dibatalkan ( vernietigbaar).[22]

Keputusan yang “ batal demi hukum” adalah suatu ketetapan yang isinya menetapkan
adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap
tidak ada, tanpa diperlukan keputusan pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berwenang menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal
sejak dikeluarkan.bagi hukum dianggap tidak ada ( dihapus ) tanpa diperlukan suatu
keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk
menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.[23] Namun Utrecht sendiri menjelaskan
dalam catatat kaki bukunya, bahwa hal ini jarang sekali terjadi namun ada atau dengan
kata-kata “ satu dua hal”. [24] yang maksudnya bahwa sebetulnya Utrecht mempunyai
pendapat secara umum bahwa batal karena hukum suatu ketetapan tidak secara otomatis
artinya diperlukan suatu tindakan pembatalan dari Pengadilan maupun Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Selanjutnya suatu ketetapan yang “Batal” ( nietig)
merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan yang berakibat suatu
perbuatan dianggap tidak pernah ada [25] yang disebut juga sebagai “ Absoluut nietig”.
[26] Selanjutnya pengertian “ dapat dibatalkan” ( vernietigbaar) merupakan suatu
tindakan atau perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang dalam pengertian
dapat dibatalkan karena diketahui perbuatan itu mengandung kekurangan. Perbuatan yang
dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh
suatu badan pemerintah lain yang berkompeten ( pembatalan diadakan karena pembuatan
tersebut mengandung sesuatu kekurangan ). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai
waktu pembatalannya, menjadi sah ( terkecuali dalam hal undang-undang menyebut
beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada
dan – bila mungkin – diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau
sebagiannya hapus.[27] Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan keputusan yang
dapat dibatalkan ( vernietigbaar) yaitu Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal
setelah pembatalan oleh hakim atau instansi yang berwenang membatalkan, dan
pembatalan tidak berlaku surut. Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum
yang ditimbulkan dianggap sah sampai dikeluarkan keputusan pembatalan ( ex-nunc)
kecuali undang-undang menentukan lain.

Gambar 6. Tabel perbedaan Batal ( Nietig), batal demi hukum ( van rechts wege nietig)
dan dapat dibatalkan ( vernietigbaar).

No   URAIAN               NIETIG            VAN RECHTS         VERNIETIGBAAR
                                            WEGE NIETIG
1.   Sejak kapan batal    Ex tunc*          Ex tunc            Ex nunc*
2.   Tindakan             Dengan            Tanpa perlu ada    Mutlak harus ada
     pembatalan           putusan/keputusan putusan /          putusan / keputusan
                                            keputusan
                          Sifat putusan/                       Sifat putusan/
                          keputusan:                           keputusan:

                          Konstatering/                        Konstitutif
                          deklaratif

Sumber: Philipus M. Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pemerintahan, Copy-
Perc&stensil Jumali, Surabaya, 1985, h. 25.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan hukum adalah sebab atau alasan pembatalan atau
batalnya suatu ketetapan atau keputusan yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran hukum bahwa suatu
keputusan ( beschikking ) dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat, seperti yang
diajukan van der Pot ada 4 syarat fundamental:

1. Bevoedgheid ( kewenangan) organ Administrasi negara yang membuat keputusan;

2. Geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam
pembentukan kehendak );
3. Vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan
dan dibuat menurut tatacara yang telah ditetapkan;

4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.[28]

Philipus M. Hadjon mengutarakan bahwa wewenang, prosedur dan substansi, ketiga
aspek hukum tersebut merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan
atau keputusan tersebut sah menurut hukum. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini
artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai
kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur,
berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang
disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi,
artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “ Error in re”.[29] Hal ini
selaras dengan hukum Acara yang di atur didalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya diubah ( sebagian ) oleh UU No. 9 tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (1) UU No. 5
tahun 1986, menetapkan bahwa Seseorang atau Badan hukum perdata yang
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun dasar alasan gugatan
sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) nya, isinya menyatakan bahwa alasan gugatan
yang digunakan adalah Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara lain adanya kesalahan bersifat kewenangan,
prosedur dan substansi ( penjelasan pasal), penyalahgunaan wewenang ( de tournament
de pouvoir) dan larangan berbuat sewenang-wenang. Adapun rumusan lengkapnya pasal
53 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut:

(3) seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan atau rehabilitasi;

(4) alasan – alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah digunakan wewenangnya untuk tujuan lain
dari maksud yang diberikannya wewenang tersebut;

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan atau tidak
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada
pengambilan atau tidak keputusan tersebut.

Dengan demikian bahwa dalam hukum acara pasal 53 ayat (2) UU. No. 5 Tahun 1986,
merupakan dasar dari alasan untuk menggugat ( Beroepsgronden) seseorang atau badan
hukum perdata dan sekaligus pengujian oleh hakim pengadilan terhadap keputusan Tata
usaha Negara ( KTUN) sebagai berikut:

Pertama, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya bilama dicermati dalam penjelasan
otentik dari pasal ini memberikan penjelasan tentang pengertian “ bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku” yaitu:

1. Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural atau formal;

2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersifat material atau substansi;

3. Bahwa keputusan Tata usaha Negara dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
yang tidak berwenang dan apabila tidak berwenang dikaitkan dengan kompetensi Jabatan
maka dimungkinkan ada tiga macam bentuk tidak berwenang ( onbevoegdheid) yaitu:
onbevoegdheid ratione materiae ( menyangkut kompetensi absolute), onbevoegdheid
ratione loci ( kompetensi relative) dan onbevoegdheid ratione temporis ( tidak
berwenang dari segi waktu).

Kedua, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut yang dikenal dengan sebutan “
penyalahgunaan wewenang” ( de tournament de pouvoir). Menurut Philipus M. Hadjon,
alasan yang dikemukakan dalam penjelasan otentik ini dalam prakteknya sulit di buktikan
karenanya jarang digunakan. Oleh karena itu dalam gugatan sering menggunakan dasar
seperti tersebut dalam butir 3.[30]

Ketiga, dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa dasar pembatalan sering
disebutkan “ larangan berbuat sewenang-wenang” ( willekeur) merupakan konsep yang
sulit diukur. Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:

Larangan berbuat sewenang-wenang justru membuat rumusan yang operasional – terukur
menjadi sulit / tidak terukur. Kalau kita bandingkan dengan ketentuan Wet AROB di
Belanda, nampaknya disatu pihak ada kesamaan untuk huruf a,b,c, sedangkan huruf d
tidak terdapat dalam pasal 53 ayat 2.[31]

Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 ini diubah oleh UU No. 9 Tahun 2004, terutama dalam
ayat (2) b dan c, yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan tindakan
larangan berbuat sewenang – wenang, bagaimana diatur dalam pasal 53 UU No. 9 Tahun
2004, berbunyi:

(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan atau
rehabilitasi;

(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

Gambar 7. Tabel alasan menjadi dasar keputusan tidak sah / dibatalkan

Van der Pot             Philipus M.Hadjon   UU No 5 tahun 1986       Akibat
                                                                     hukum
                                           Pasal 53 (2), yo. UU
                                           No. 9 tahun 2004
1. Bevoedgheid;         1. Aspek wewenang; 1. Bertentangan dengan Tidak sah
                                           peraturan perundang- atau batal
2. geen juridische      2. Aspek prosedur; undangan berlaku:
gebreken in de                             bersifat Wewenang,
wilsvorming;            3. Aspek substansi Prosedur, Substansi;

3. vorm dan                                 2. bertentangan dengan
procedure;                                  asas umum
                                            pemerintahan yang baik
4. isi dan tujuan
keputusan sesuai
dengan isi dan tujuan
peraturan dasar

Sesuai dengan ajaran hukum dan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 53 ayat (2)
UU No. 5 tahun 1986 yo. UU No. 9 tahun 2004, maka bilamana suatu keputusan Tata
Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat wewenang, prosedur dan substansi, keputusan Tata Usaha Negara tersebut yang
ditemukan oleh Peradilan dalam pertimbangan hukumnya, menjadi dasar untuk putusan
pengadilan menyatakan tidak sah atau batal keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
Sesuai dengan konsep hukum/ ajaran hukum dan ketentuan pertanahan Keputusan Tata
Usaha Negara merupakan sumber hukum dan alat bukti dari lahirnya sertifikat hak atas
tanah yang berkarakter yang bersifat Konstitutif, dengan demikian maka bilamana terjadi
persengketaan berkaitan dengan kepemilikan hak atas masuk dalam kompetensi absolut
dari pengadilan tata usaha negara yang mana alat bukti keputusan Tata Usaha Negara
tersebut terbitnya yang berkaitan dengan adanya cacat dalam aspek wewenang, prosedur
dan substansi yang menjadi titik tolak dalam beracara dan tuntutan pembatalannya.
Berbeda dengan sertifikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat deklaratif,
sesuai dengan sumber dasar hak kepemilikan atas tanah yang exsistensinya diakui oleh
negara sehingga dalam proses persengketaan hukumnya berada diwilayah Peradilan
umum, dimana bukti perolehan kepemilikan keperdataan dan obyek gugatannya yang
ditimbulkan berkaitan dengan keabsahan dari aspek kesepakatan, kecakapan, obyek dan
kausa tertentu yang menjadi dasar gugatan dan proses pembuktian di peradilan umum
tersebut.

5. Penutup.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka yang akan menjadi isu sentral
yang hendak dikaji dalam kajian penulisan disertasi ini adalah pembatalan sertifikat oleh
Peradilan dan akibat hukum terhadap sertifikat hak atas tanah, yang dilatar belakangi
adanya ketidak pastian hukum dan kepastian hak disebabkan karena masih banyaknya
sengketa tanah dimana sertifikat hak atas tanah oleh pengadilan diputus dinyatakan tidak
sah dan harus dibatalkan. Salah satu kelemahan dari disebabkan hukum tanah nasional
yang dibangun berdasarkan pada konsepsi pengakuan hak Negara terhadap hak yang ada
dan sistem pendaftaran tanah yang mengenal adanya alat bukti kepemilikan hak atas
tanah yang lain selain sertifikat hak atas tanah. Konsep pengakuan negara dan sistem
pendaftaran tanah berakibat pada karakteristik khas dari sertifikat yang mana konstruksi
hukum dari sertifikat hak atas tanah yang terbit dikenal adanya sertifikat dengan karakter
yuridis yang bersifat Konstitutif maupun terdapat sertifikat yang bersifat deklaratif.
Konstruksi hukum dari karakteristik sertifikat hak atas tanah tersebut membawa
konsekuensi hukum terhadap bentuk sengketanya, badan Peradilan yang menangani
perkaranya dan akibat hukum yang berbeda pula satu dengan yang lain bilamana terjadi
eksekusi pelaksanaan hukum terhadap putusan pengadilan baik terhadap hak kepemilikan
atas tanahnya maupun terhadap status hukum obyek tanahnya.


[1] Boedi Harsono, Beberapa analisis tentang hukum agrarian, bagian 3, Era study
Club, Jakarta, 1980, h. 1.

[2] Lihat L.B. Curzon, LandLaw, Seventh edition, Pearson Education Ltd, Great Britain,
1999, h. 8-9. dikatakan Property is the highest right a man have to any thing; a right
over a determinate thing, either a tract of land or chattel; an exclusive right to control an
economic good; an aggregate of rights guaranteed and protected by the government;
everything which is the subject of ownership; a social institution whereby people
regulate the acquisitionand use of the resources of our environment according to a
system of roles; a concept that refers to the rights, obligations, priveileges and
restrictions that govern the relations of men with respect to things of value.

[3] Lihat, Jesse Dukemenier, Property, Gilbert Law Summaries, 1991-1992, h. i.

[4] Lihat Hari Chand, Modern Jurisprudence, International Law Book series, Kuala
Lumpur, 1994, h. 261.

[5] John Locke “ second treatise on Government”, 1689, dikutip oleh Rock Deborah,
Property Law & Human Rights, First Published, Blackstone Press Limited Aldine Place,
London, 2001, h. 3.

[6] Pengaturan hak kepemilikan atas tanah termasuk kedalam Hukum administrasi adalah
merupakan seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk
undang-undang, peraturan, perintah dan keputusan-keputusan ( body of law created by
administrative agencies in the form of rules, regulations, orders, and decisions to carry
out regulatory powers and duties of such agencies). Henry Campbell Black, Black’s
Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paull, Minn, West Publishing Co, 1993, h. 29.

[7] Istilah “beschikking”“ ada yang menterjemahkan sebagai “keputusan” atau
“ketetapan”demikian juga dengan sebutan “ Tata Usaha Negara” ada yang
mempergunakan “ Administrasi Negara”. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5
tahun 1986 ; menurut Kuncoro Purbopranoto, istilah “ Beschikking” ( Belanda ) atau “
Acte administrative” ( Perancis), atau “ verwaltungsakt” ( Jerman). diintrudusir oleh van
der Pot dan van Vollenhoven. Kuncoro Purbopratoto, Beberapa Catatan tentang
hukum peradilan Administrasi negara dan hukum pemerintah, Alumni, Bandung, 1978,
h. 45; Namun istilah Beschikking menurut Utrecht dan Sjachran Basah, lebih tepat
diterjemahkan sebagai “ Ketetapan”. sebagaimana yang dikatakan: Berbagai pengertian
ketetapan yang dilontarkan oleh para ahli dan setelah membandingkan serta mengkajinya,
maka penulis berpendirian bahwa ketetapan adalah keputusan tertulis administrasi
Negara, yang mempunyai akibat hukum dalam menyelenggarakan pemerintahan ( dalam
arti kata sempit).Sjachran Basah, Existensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, h. 13.

[8] E Utrecht, Op.cit, h. 184-185.

[9] lihat Philipus M. Hadjon, et.al, h. 143-146.

[10] Istilah “Penetapan Pemerintah “yang dipakai dalam pasal 23 PP No. 24 tahun 1997.
penetapan Pemerintah adalah keputusan Tata Usaha Negara, dalam istilah lain adalah
keputusan pemberian hak ( surat keputusan ) yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha
Negara dalam hal ini BPN ( Badan Pertanahan Nasional)

[11] Penyebutan tanah Negara sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara sebelum
berlakunya UUPA sudah diintrudusir Di dalam PP No. 8 tahun 1953, tentang Penguasaan
Tanah-tanah Negara, didalam pasal 1 huruf a, disebutkan bahwa “ tanah Negara, ialah
tanah yang dikuasai penuh oleh negara” pengertian ini sebetulnya secara filosofi
mengacu pada konsep “ domein verklaring”. Dalam penjelasan umum UUPA tanah
negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Didalam konsep historis, tanah
negara berarti sebagai tanah miliknya Negara atau Raja. Dalam konsep ini semua tanah
yang ada merupakan hak milik ( domein ) dari Raja jadi tidak ada yang namanya hak
milik rakyat, dimana rakyat diposisikan sebagai penyewa atau penggarap. Dalam konsep
pemerintahan Hindia Belanda asas Domein verklaring yang dinyatakan di dalam pasal 1 “
Agrarisch besluit” dikenal adanya dua macam status tanah yaitu: pertama, tanah milik
( domein) Negara, yang sepenuhnya dikuasai oleh negara ( Vrijlandsdomein) dan tanah
negara yang diatasnya ada penguasaan rakyat misalnya tanah-tanah adat ( on
vrijlandsdomein).dan; kedua, tanah hak milik ( eigendom ), dimana diatas tanah tersebut
sudah ada atau dilekati dengan sesuatu hak. Setelah lahir UUPA dikenal adanya beberapa
jenis klasifikasi yang disebut tanah negara antara lain:

   1. tanah negara bebas yaitu merupakan tanah yang mana diatastanah tersebut belum
      ada hak atas tanah yang melekat yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda
      disebut “ Vrij lands Domein”, (tanah-tanah “ Timbul” “ Aanslibbing” ) termasuk
      seperti tanah yang berasal dari endapan Lumpur di tepi pantai atau sungai.
   2. tanah negara bekas hak barat atau yang lazim dalam praktek pertanahan disebut “
      tanah ex barat”. Yang masuk dalam kategori ini adalah tanah bekas hak yang
      dihapuskan oleh peraturan perundangan seperti “ Tanah – tanah Partikulir”
      dengan UU No. 1 tahun 1958, tanah Erfpacht pertanian kecil oleh ketentuan
      konversi UUPA. Tanah bekas hak barat yang terkena ketentuan Keppres No. 32
      tahun 1979, Termasuk didalam kategori ini adalah tanah-tanah hak yang bersifat
      sementara ( berjangka waktu) telah berakhir jangka waktunya dan tidak
      diperpanjang atau diperbaharui kembali.
   3. Tanah negara bekas tanah hak. yang dilepaskan oleh pemegang haknya kepada
      negara secara sukarela karena maksud tertentu. Seperti tanah hak yang dibebaskan
      oleh negara untuk tujuan kepentingan umum.

[12] Pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960: Hak-hak eigendom yang pemiliknya terbukti
berkewarganegaraan Indonesia tunggal dicatat oleh K.K.P.T., baik pada asli maupun
pada grosse aktanya sebagai telah dikonversi menjadi hak milik.

[13] pasal 4 PMA No. 2 tahun 1960 sebagai berikut: Hak eigendom yang setelah jangka
waktu 6 bulan tersebut pada pasal 2 lampau pemiliknya tidak dating pada K.K.P.T. atau
yang pemiliknya tidak dapat membuktikan, bahwa ia kewarganegaraan Indonesia
tunggal, oleh K.K.P.T. dicatat pada asli aktanya sebagai dikonversi menjadi hak-guna-
bangunan, dengan jangka waktu 20 tahun.

[14] Sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang
Tindak Pemerintahan, Copy - Percetakan & stensil Djumali, Surabaya, 1985, h. 8-9;

[15] Lihat Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah
Mada University Press, Jogjakarta, 2005, h. 83
[16] Philipus M. Hadjon, dalam makalah: Tolok Ukur Keabsahan Tindak
Pemerintahan dan Keputusan Tata Usaha Negara, makalah yang disampaikan pada
penyelenggaraan – House legal Training Hukum Administrasi dan PTUN, tanggal 19-29
Juli 2004, h. 1; lihat pula sebagaimana dikutip oleh Soehino, Asas-asas Hukum Tata
Usaha Negara, Liberty, Bandung, h. 102-119.

[17] E. Utrecht, Op. cit, h. 108.

[18] E. Utrecht, loc. Cit.

[19] Soehino, Op. cit, h. 100.

[20] Bachsan Mustafa, Op. cit, h. 92

[21] Bachsan Mustafa, Ibid, 92.

[22] E. Utrecht, Op. cit, h. 109.

[23] E. Utrecht, Ibid, h. 111.

[24] Ibid, h. 110

[25] Dalam bukunya, Utrecht memberikan contoh A. mengadakan perjanjian dengan B.
perjanjian itu diadakan pada tanggal 1 Pebruari 1954. pada tanggal 1 april 1954 oleh
hakim diadakan pembatalan ( vernietiging) perjanjian itu, karena mengandung beberapa
kekurangan “essentieel” ( perjanjian itu tidak memuat beberapa essentialia) ( pasal 1320
KUH Perdata). Perjanjian itu bagi hukum dianggap tidak pernah ada, jadi, akibat
perjanjian itu dengan sendirinya bagi hukum dianggap tidak pernah ada. Segala sesuatu
yang karena perjanjian itu diadakan antara 1 Pebruari 1954 dan tanggal 1 April 1954
harus dihapuskan, atau dengan kata lain: status hukum kedua belah pihak pada tangal 1
april harus dikembalikan pada status hukum mereka sebelum tanggal 1 pebruari 1954,
seakan-akan perjanjian itu tidak pernah diadakan. Jadi, seluruh akibat perjanjian itu
dihapuskan. Oleh sebab itu “ batal” dapat juga disebut “ batal mutlak” ( absoluut nietig).
Utrecht, loc. Cit.

[26] Lihat Utrecht, loc.cit

[27] E. Utrecht, Ibid, h. 111.

*catatan: Ex tunc, secara harfiah berarti sejak waktu ( dulu) itu, dalam konteks ini ex
tunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada; sedang Ex nunc, secara
harfiah berarti sejak saat sekarang. Dalam konteks ini, ex nunc berarti perbuatan dan
akibat dianggap ada sampai saat pembatalannya.

[28] Lihat dalam Philipus M. Hadjon, Ibid, h. 8.
[29] Lihat Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. cit, , h. 83

[30] Philipus M. Hadjon, et.al, Op. cit, h. 327

[31] Philipus M. Hadjon, Ibid, 327

Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 03:08 0 komentar
   Posting Lama Beranda
Langgan: Entri (Atom)

pengunjung




SELAMAT DATANG DIBLOG SAYA: MUDAH-
MUDAHAN BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA
semua tulisan yang ada didalam blok ini berdasarkan hasil wawasan pemikiran, analisis
dan pengalaman selama ini saya alami dan ketahui. blok ini memang baru nanti secara
bertahap insyaallah akan saya sempurnakan baik dari sisi tampilan tulisan maupun format
blognya. untuk itu saya persilahkan anda dapat memberikan masukan-masukan
mengkritisi tulisan-tulisan yang ada maupun berdiskusi tentang politik hukum dan
pertanahan yang memang merupakan bidang keahlian saya.


boedi djatmiko
Tampilan slide
frofil Saya



Boedi Djatmiko hadiatmodjo
       Jogyakarta, DIY, Indonesia
       seorang pemerhati masalah pertanahan, pendidikan terakhir S3 ilmu hukum Unair
Lihat profil lengkapku


Daftar Blog Saya
   •

       BBC News | News Front Page | World Edition
Courses 'may close' if visas cut - Leading university vice-chancellors warn that
      they have to close some courses unless the government drops plans to limit visas
      for foreign students.

      51 menit yang lalu

  •

      Christian Science Monitor | Top Stories

      Airline pretzels no longer free on Continental - Airline pretzels are the latest
      freebie to disappear from some airlines. With no more airline pretzels, can
      carriers' profits really soar?

      6 jam yang lalu




Share it


komentar


Cari Blog Ini

didukung
oleh




Picasa album


Label
  •   Disertasi (5)
  •   TANAH (2)
•   PPAT (1)
   •   Politik hukum (1)




Arsip Blog
   •   ▼ 2010 (2)
         o ▼ Mei (1)
                 KARAKTER HUKUM SERTIFIKAT HAK
         o ► Maret (1)
                 RURAL DEVELOPMENT INSTITUTE - Home Page

   •   ► 2009 (9)
         o ► September (6)
                 Pembaharuan hukum agraria di Indonesia: penyelesai...
                 Pembaharuan hukum agraria dan peneyelesaian sengke...
                 Sistem pendaftaran tanah
                 Karakter hukum keputusan PTUN
                 Karakter hukum sertipikat hak
                 Sertipikat hak dan kekuatan pembuktiannya
         o ► Agustus (1)
                 Pembatalan sertipikat oleh peradilan dan akibat hu...
         o ► April (1)
                 TINJAUAN PERSOALAN HUKUM PEMILIKAN TANAH
                  (BEKAS ) ...
         o ► Februari (1)
                 KAJIAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAN
                  PERMA...

   •   ► 2008 (1)
         o ► Agustus (1)
                 TANAH NEGARA DAN WEWENANG PEMBERIAN
                  HAKNYA


Ada kesalahan di dalam gadget ini

                             The following text will not be seen after you upload your
          website, please keep it in order to retain your counter functionality
                                      Free Trackers
                                          Help
•   bpn.go.id
   •   legalitas.urg




Langgan
   Post
   Semua Komentar


Pengikut


berita dunia
Apple Google Microsoft
BlackBerry Siap Pasangkan BBM di Android dan Apple iOS
Metro TV News
- 06 Mar 2011
- 2 jam lalu
Sebuah blog yang cukup dihormati dikalangan gadget mania, Boy Genius Report (BGR)
pada Sabtu (5/2) mengabarkan pihak Research in Motion (RIM) telah melakukakn
pembicaraan dengan Apple dan Google untuk membahas rencana pembuatan software
atau perangkat ...
Artikel Terkait »
dicuplik dari Google - 3/2011
Apple Luncurkan iPad 2
Tribunnews
- 06 Mar 2011
- 1 jam lalu
APPLE segera meluncurkan produk terbaru iPad 2, Jumat (11/3011) mendatang.
Perangkat tablet dengan menampilkan A5 CPU dual-core, yang menyediakan hingga dua
kali lipat kecepatan pemrosesan dan kemampuan grafis sampai sembilan kali lebih cepat
ketimbang ...
Artikel Terkait »
dicuplik dari Google - 3/2011
Jobs Luncurkan iPad 2
JPNN.com
- 05 Mar 2011
- 05 Mar 2011
CEO Apple Inc, Steve Jobs, memperkenalkan iPad 2 yang tebalnya hanya 8,8 mili di San
Francisco, California. Kemunculan Jobs bisa dikatakan mengejutkan. Sejak Januari lalu,
pria 56 tahun itu absen dari Apple untuk berobat (kabarnya untuk merawat kanker ...
Artikel Terkait »
dicuplik dari Google - 3/2011
Apple rilis 'iTunes 10.2' untuk Windows&Mac
Waspada Online
- 04 Mar 2011
- 04 Mar 2011
Apple telah meluncurkan iTunes 10.2 untuk Windows dan Mac. Fungsi utamanya adalah
untuk menambahkan kompabilitas untuk perangkat iOS 4.3 seperti iPad dan iPhone 4.
iTunes 10.2 untuk Windows dan Mac ini juga telah dilengkapi dukungan untuk Home
Sharing, ...
Artikel Terkait »
dicuplik dari Google - 3/2011
didukung oleh



                    Template Watermark. Didukung oleh Blogger.

More Related Content

What's hot

Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)Leks&Co
 
Masalah pertanahan di indonesia
Masalah pertanahan di indonesiaMasalah pertanahan di indonesia
Masalah pertanahan di indonesiaAyu Ana Inayah
 
Hukum Pada Umumnya
Hukum Pada UmumnyaHukum Pada Umumnya
Hukum Pada UmumnyaDiarta
 
pengertian-dasar-ilmu-hukum
pengertian-dasar-ilmu-hukumpengertian-dasar-ilmu-hukum
pengertian-dasar-ilmu-hukumFakhrul Rozi
 
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANBAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANvit28
 
Subjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumSubjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumEga Jalaludin
 
Kuliah makalah bab ii materi subyek dan obyek hukum
Kuliah   makalah bab ii materi subyek dan obyek hukumKuliah   makalah bab ii materi subyek dan obyek hukum
Kuliah makalah bab ii materi subyek dan obyek hukumauditasastra
 
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 20191,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019riskiariyani2976
 
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)Leks&Co
 
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumiJual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumiSumardi Arahbani
 
presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006
presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006
presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006Agung Budiono
 
12.106.115.budi.sunanda
12.106.115.budi.sunanda12.106.115.budi.sunanda
12.106.115.budi.sunandacalderaboys
 

What's hot (20)

Bahan 3
Bahan 3Bahan 3
Bahan 3
 
Asas asas hukum benda
Asas asas hukum bendaAsas asas hukum benda
Asas asas hukum benda
 
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
 
Masalah pertanahan di indonesia
Masalah pertanahan di indonesiaMasalah pertanahan di indonesia
Masalah pertanahan di indonesia
 
Humbis pert 2
Humbis   pert 2Humbis   pert 2
Humbis pert 2
 
Hukum benda
Hukum bendaHukum benda
Hukum benda
 
Hukum Pada Umumnya
Hukum Pada UmumnyaHukum Pada Umumnya
Hukum Pada Umumnya
 
pengertian-dasar-ilmu-hukum
pengertian-dasar-ilmu-hukumpengertian-dasar-ilmu-hukum
pengertian-dasar-ilmu-hukum
 
Hukumpadaumumnya 090617152131-phpapp01
Hukumpadaumumnya 090617152131-phpapp01Hukumpadaumumnya 090617152131-phpapp01
Hukumpadaumumnya 090617152131-phpapp01
 
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANBAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
 
Bab Tata Hukum Indonesia
Bab  Tata Hukum IndonesiaBab  Tata Hukum Indonesia
Bab Tata Hukum Indonesia
 
Subjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukumSubjek dan objek hukum
Subjek dan objek hukum
 
Hukum perdata
Hukum perdataHukum perdata
Hukum perdata
 
A
AA
A
 
Kuliah makalah bab ii materi subyek dan obyek hukum
Kuliah   makalah bab ii materi subyek dan obyek hukumKuliah   makalah bab ii materi subyek dan obyek hukum
Kuliah makalah bab ii materi subyek dan obyek hukum
 
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 20191,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
1,hbl, riski ariyani, hapzi ali, umb, 2019
 
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
 
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumiJual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
 
presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006
presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006
presentasi Wakaf : PP 42 tahun 2006
 
12.106.115.budi.sunanda
12.106.115.budi.sunanda12.106.115.budi.sunanda
12.106.115.budi.sunanda
 

Viewers also liked

Visi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Visi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan SwastaVisi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Visi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan SwastaOswar Mungkasa
 
Perpres no 38 tahun 2015
Perpres no 38 tahun  2015Perpres no 38 tahun  2015
Perpres no 38 tahun 2015Irman Gapur
 
Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...
Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...
Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...Oswar Mungkasa
 
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBUPresentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBUH2O Management
 
Hukum agraria
Hukum agraria Hukum agraria
Hukum agraria Mr.Mahmud
 
PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA
PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA
PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA Anton Riyanto
 
Pengenalan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Pengenalan Kerjasama Pemerintah dan SwastaPengenalan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Pengenalan Kerjasama Pemerintah dan SwastaOswar Mungkasa
 
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...infosanitasi
 
Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta Oswar Mungkasa
 
KONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIRKONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIREDIS BLOG
 
Siklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Siklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah SwastaSiklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Siklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah SwastaOswar Mungkasa
 
Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur
Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur
Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur Oswar Mungkasa
 
Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016
Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016
Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016Instansi
 
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri Saputra
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri SaputraPAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri Saputra
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri SaputraIndah Mawarni
 
Slide presentasi PPh pasal 21
Slide presentasi PPh pasal 21Slide presentasi PPh pasal 21
Slide presentasi PPh pasal 21alarif-aholic
 
Slide PPh Pasal 21
Slide PPh Pasal 21Slide PPh Pasal 21
Slide PPh Pasal 21Dudi Wahyudi
 
Tata Cara Bendahara Pengeluaran
Tata Cara Bendahara PengeluaranTata Cara Bendahara Pengeluaran
Tata Cara Bendahara PengeluaranDeddi Nordiawan
 

Viewers also liked (20)

Visi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Visi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan SwastaVisi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Visi - Misi - Kebijakan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
 
Perpres no 38 tahun 2015
Perpres no 38 tahun  2015Perpres no 38 tahun  2015
Perpres no 38 tahun 2015
 
Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...
Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...
Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Via...
 
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBUPresentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
 
Hukum agraria
Hukum agraria Hukum agraria
Hukum agraria
 
PPN
PPNPPN
PPN
 
PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA
PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA
PENGEMBANGAN KERJASAMA PEMERINTAH- SWASTA
 
Pengenalan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Pengenalan Kerjasama Pemerintah dan SwastaPengenalan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Pengenalan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
 
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan P...
 
Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Prosedur Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
 
KONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIRKONSERVASI TANAH DAN AIR
KONSERVASI TANAH DAN AIR
 
Siklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Siklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah SwastaSiklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Siklus Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
 
Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur
Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur
Kajian Komersial dan Keuangan Proyek Infrastruktur
 
Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016
Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016
Peran swasta dlm infrastruktur indonesia,13 april 2016
 
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri Saputra
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri SaputraPAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri Saputra
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPn) by Andri Saputra
 
Presentasi PPh pasal 22
Presentasi PPh pasal 22Presentasi PPh pasal 22
Presentasi PPh pasal 22
 
Slide presentasi PPh pasal 21
Slide presentasi PPh pasal 21Slide presentasi PPh pasal 21
Slide presentasi PPh pasal 21
 
PPh 23
PPh 23PPh 23
PPh 23
 
Slide PPh Pasal 21
Slide PPh Pasal 21Slide PPh Pasal 21
Slide PPh Pasal 21
 
Tata Cara Bendahara Pengeluaran
Tata Cara Bendahara PengeluaranTata Cara Bendahara Pengeluaran
Tata Cara Bendahara Pengeluaran
 

Similar to Tanah dan hukum tanah

Hukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanahHukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanahsesukakita
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negaranurul khaiva
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumYeepe
 
Hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruik
Hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruikHak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruik
Hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruikvinnalusianaSHMkn
 
Kuliah pthi, asas asas hukum perdata
Kuliah pthi, asas asas hukum perdataKuliah pthi, asas asas hukum perdata
Kuliah pthi, asas asas hukum perdataBetlehemKetarenR
 
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn. Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn. teresa irene
 
Pengantar hukum bisnis
Pengantar hukum bisnisPengantar hukum bisnis
Pengantar hukum bisniswafa khairani
 
HUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxHUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxAdeFitri22
 
MATRIKULASI dasar dasar hukum.pptx
MATRIKULASI dasar dasar hukum.pptxMATRIKULASI dasar dasar hukum.pptx
MATRIKULASI dasar dasar hukum.pptxwinanti6
 
Hukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita SariHukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita SariFenti Anita Sari
 
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita SariContoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita SariFenti Anita Sari
 
PPT sumber-sumber hukum dan subjek hukum
PPT sumber-sumber hukum dan subjek hukumPPT sumber-sumber hukum dan subjek hukum
PPT sumber-sumber hukum dan subjek hukumJemsTandodo
 
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum PertanahanDasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum PertanahanLeks&Co
 
15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak (kontrak outentik).ppt
15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak  (kontrak outentik).ppt15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak  (kontrak outentik).ppt
15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak (kontrak outentik).pptYyny123
 
VI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptxVI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptxdonihasmanto
 

Similar to Tanah dan hukum tanah (20)

Hukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanahHukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanah
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara
 
Bab i
Bab i Bab i
Bab i
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
 
hukum perdata.pptx
hukum perdata.pptxhukum perdata.pptx
hukum perdata.pptx
 
Hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruik
Hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruikHak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruik
Hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan hak gebruik
 
Kuliah pthi, asas asas hukum perdata
Kuliah pthi, asas asas hukum perdataKuliah pthi, asas asas hukum perdata
Kuliah pthi, asas asas hukum perdata
 
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn. Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
 
Pengantar hukum bisnis
Pengantar hukum bisnisPengantar hukum bisnis
Pengantar hukum bisnis
 
HUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxHUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptx
 
MATRIKULASI dasar dasar hukum.pptx
MATRIKULASI dasar dasar hukum.pptxMATRIKULASI dasar dasar hukum.pptx
MATRIKULASI dasar dasar hukum.pptx
 
Hukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita SariHukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita Sari
 
subyek obyek_hukum
subyek obyek_hukumsubyek obyek_hukum
subyek obyek_hukum
 
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
 
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita SariContoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
 
Hukum Agraria Indonesia
Hukum Agraria IndonesiaHukum Agraria Indonesia
Hukum Agraria Indonesia
 
PPT sumber-sumber hukum dan subjek hukum
PPT sumber-sumber hukum dan subjek hukumPPT sumber-sumber hukum dan subjek hukum
PPT sumber-sumber hukum dan subjek hukum
 
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum PertanahanDasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
 
15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak (kontrak outentik).ppt
15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak  (kontrak outentik).ppt15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak  (kontrak outentik).ppt
15-Teknik Pembuatan Akta Kontrak (kontrak outentik).ppt
 
VI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptxVI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptx
 

Tanah dan hukum tanah

  • 1. TANAH DAN HUKUM TANAH masalah tanah merupakan persoalaan esensial bagi kehidupan dan penghidupan umat manusia. tanah multi dimensi, berbagai aspek terkait bisa politik, hukum, sosial dan budaya. saya ingin membagi pengetahuan, diskusi tentang politik hukum pertanahan, konsultasi hukum khususnya masalah pertanahan Blog ini Di-link Dari Sini Daftar Blog Saya Web Blog ini Di-link Dari Sini Daftar Blog Saya Web Sabtu, 15 Mei 2010 KARAKTER HUKUM SERTIFIKAT HAK DR. Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, SH.,M.hum Uraian berikut dibawah ini diawali dengan pertanyaan hukum apakah ada korelasinya antara karakter hukum sertipikat hak dengan status hukum tanah dan akibat hukumnya. Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, Sertipikat merupakan dokumen tertulis yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerinah ( badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ) untuk dipergunakan sebagai tanda bukti hak dan alat pembuktian yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Bila mana sertipikat dikatakan sebagai suatu dokumen formal suatu surat tanda bukti hak atas tanah, berarti bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memegang sertipikat tanah menunjukan mereka itu mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu[1]. Ketika suatu sertipikat dikonsepkan sebagai suatu alat bukti hak kepemilikan atas tanah maka
  • 2. sertifikat bukan merupakan alat bukti satu – satunya adanya keberadaan hak kepemilikan atas tanah. Ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 PP No. 24 tahun 1997, menunjukan konstruksi hukum yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu yang dapat dijadikan alas hak ( title) yang dapat dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum dapat menuntut kepada Negara adanya keberadaan hak atas tanah yang dipegang atau dimiliki. Secara hukum dengan berpegang pada alat bukti ini maka merupakan landasan yuridis guna dapat dipergunakan untuk melegalisasi asetnya untuk dapat diterbitkan sertipikat tanda bukti sekaligus alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Pertama, instrument yuridis atau alat bukti kepemilikan yang disebut sebagai “hak baru” atas tanah harus dibuktikan dengan “Penetapan pemerintah” yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang apabila hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. Wujud kontret dari penetapan pemerintah ini adalah Surat Keputusan Pemberian hak kepemilikan atas tanah (SK hak milik, SK HGB, dst); dan atau Kedua, akta otentik PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah ) menurut ketentuan hukum termasuk alat bukti kepemilikan hak baru, dimana akte otentik tersebut memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik. ( pasal 23 PP No. 24 tahun 1997) Ketiga, instrument yuridis tertulis lainnya yang disebut sebagai hak atas tanah yang “lama” ( pasal 24 PP No. 24 tahun 1997), yang diakui keberadaannya oleh hukum sebagai alat bukti tertulis kepemilikan hak atas tanah. Selanjutnya instrument yuridis tentang keberadaan alat bukti kepemilikan tersebut secara terinci diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria ( PMNA)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional ( KBPN ) No. 3 tahun 1997. Didalam pasal 24 PP No. 24 tahun 1997 dan pasal 60 dari PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, beserta penjelasan pasalnya disebutkan alat bukti kepemilikan lama yakni: grosse/salinan akte eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja, surat tanda bukti hak milik yang dikeluarka berdasarkan peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah memenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, petok D / girik, pipil, ketitir, dan verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, akta pemindahan hak dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala Adat/desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta ikrar wakaf / surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28 tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, risalah lelang, surat penunjukan pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kepala kantor PBB dengan disertai alas hak yang dialihkan, lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana di maksud dalam pasal II, VI, dan VII
  • 3. ketentuan konversi. Alat-alat bukti kepemilikan hak ini pada hakekatnya merupakan representasi dari pengakuan dari Negara terhadap hak kepemilikan yang dipunyai oleh warga Negara Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh negara.[2] Hak milik ( property rights ) merupakan suatu hak yang mempunyai hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouse “ property is basic to the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can do without it”.[3] Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya selama mereka tidak melepaskan haknya ( peralihan hak).[4] Demikian juga bila dicermati ajaran John Locke mengenai hak milik ini yang mengatakan bahwa: Ownership of property is a natural right and that the purpose of Government is to protect and preserve natural property right.[5] Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan keharusan bagi negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak kepemilikan warga negaranya. Ajaran maupun teori hak kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ( UUDNRI 1945). Implementasi dari jaminan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah ( agraria ) oleh Negara selanjutnya dijabarkan kedalam UUPA. [6] Berkaitan dengan hal tersebut diatas,sebagai konsekuensi yuridisnya maka diatur bahwa terhadap tanah hak yang berasal dari hak lama ( adat ) oleh hukum dilakukan perubahan hukum berdasarkan prinsip pengakuan Negara terhadap hak kepemilikan atas tanah rakyat karena hukum dikonversi sebagai hak-hak yang baru dan jenis-jenis hak atas tanah yang diciptakan oleh UUPA. Pengakuan Negara tersebut memunculkan model sertipikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat “ Deklaratif” ( declaratoir). Disamping model pengakuan Negara terhadap hak atas tanah rakyat, Negara mengakomodir adanya hak atas tanah yang muncul yang berasal dari status tanah-tanah diluar tanah hak yang dikuasai rakyat ( tanah Negara ). Hak atas tanah ini terbit berdasarkan pada tindakan pemerintah yang berupa “penetapan” atau “ keputusan” hak memunculkan model sertifikat yang berkarakter yuridis yang bersifat “Konstitutif”( Konstitutief). [7] Dalam ajaran hukum bahwa yang disebut sebagai suatu ketetapan atau keputusan yang bersifat deklaratif yakni suatu ketetapan atau keputusan yang menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum yang sebetulnya memang telah ada sebelumnya. Utrecht menyebutkan bahwa suatu ketetapan / keputusan deklaratif merupakan ketetapan yang hanya menyatakan yang bersangkutan dapat diberikan haknya karena termasuk golongan ketetapan yang menyatakan hukum ( rechtsvastellende beschikking), sedang yang disebut
  • 4. sebagai ketetapan Konstitutif adalah ketetapan membuat hukum baru ( rechtscheppend). [8] Menurut P. de Haan cs, “ Bestuursrecht in de sociale rechtsstaat” halaman 30, yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon terdapat pengelompokan Beschikking, khusus yang disebut sebagai keputusan deklaratur maupun konstitutif (Rechtsvastellend en rechtsscheppend ) diuraikan bahwa Pada keputusan Tata Usaha Negara deklaratif hubungan hukum pada dasarnya sudah ada. Contoh: akte kelahiran, hak milik atas tanah eks hukum adat. Relevansi praktis dari pembedaan ini berkaitan dengan alat bukti. Keputusan tata usaha Negara deklaratif bukanlah alat bukti mutlak. Adanya hubungan hukum masih mungkin dapat dibuktikan dengan alat bukti lain. Pada keputusan Tata Usaha Negara konstitutif, adanya keputusan tata usaha Negara merupakan syarat mutlak lahirnya hubungan hukum. Contoh: sertifikat HGB, SK pengangkatan sebagai pegawai negeri dan lain-lain; berbeda dengan keputusan tata usaha Negara deklaratif, dalam keputusan tata usaha Negara konstitutif merupakan alat bukti mutlak. Dengan kata lain, tidak ada hubungan hukum tanpa adanya keputusan tata usaha Negara yang sifatnya konstitutif.[9] Ajaran hukum tersebut selaras dengan konsep hukum tanah yang pada prinsipnya yang diatur dalam UUPA bahwa hak kepemilikan atas tanah tercipta atau lahir dapat berasal dari: 1. Berdasarkan pada konsep pengakuan adanya keberadaan hak kepemilikan yang telah ada sebelum UUPA yang dalam hal ini masuk dalam kelompok tanah hak barat yang disebut sebagai tanah yang pernah “ terdaftar” dan kelompok yang belum pernah terdaftar yakni seperti tanah hak masyarakat ( adat ) yang diakui tanah milik adat dan; 2. Hak kepemilikan atas tanah yang lahir atau diperoleh berdasarkan ketentuan hukum ( undang-undang) yang berupa Penetapan Pemerintah.[10] Kedua kelompok ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda terhadap pengaturan hukum ketata usahaan pendaftaran dan alat bukti hak atas tanah, serta akibat hukum yang ditimbulkan bila terjadi sengketa hak kepemilikan atas tanahnya. Pertama, Hak kepemilikan atas tanah yang lahir karena Penetapan Pemerintah ( istilah lain dari keputusan pemberian hak ) sesuai dengan ajaran ilmu hukum dan sebagaimana diatur dalam ketentuan UUPA maupun peraturan pelaksanaannya dilahirkan berdasarkan pada suatu tindakan atau perbuatan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berupa keputusan pemberian hak milik. Dalam konteks ini hubungan hukum antara subyek dan obyek secara yuridis belum ada. Hubungan yang terjadi antara subyek dan obyek hanya sekedar hubungan penguasaan secara fisik ( possession ). Secara hukum baru ada setelah adanya Keputusan Penetapan Hak Kepemilikan atas tanah dan selanjutnya berdasarkan keputusan atau ketetapan hak inilah yang menjadi dasar alas hak pendaftaran hak dan terbitnya sertifikat hak kepemilikan atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat Konstitutif. Ciri khas dari model ketetapan atau keputusan pemberian atas tanah dan yang melahirkan sertifikat yang bersifat konstitutif berasal dari obyek tanah yang berstatus tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau “tanah Negara”.[11]
  • 5. Pengaturan lebih lanjut terhadap keputusan pemberian hak atas tanah yang berstatus tanah negara ini dapat terbaca dalam beberapa peraturan perundangan antara lain: Keppres No. 32 tahun 1979 tentang Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, Peraturan Menteri Dalam Negeri ( PMDN) No. 5 tahun 1973, Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, yo. PMDN No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Pemberian Hak Atas Tanah. Peraturan ini dicabut oleh PMNA /KBPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yo. PMNA/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Keseluruhan bentuk atau macam sebutan tanah-tanah negara merupakan obyek dari keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konstitutif, dimana untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut diperlukan suatu permohonan kepada negara dan apabila persyaratan dianggap telah memenuhi dan permohonan dikabulkan maka Badan atau Pejabat Tata usaha negara yang berwenang untuk itu melakukan tindakan hukum berupa menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah kepada pemohon. Dengan adanya Keputusan tersebut muncul hubungan hukum antara obyek ( tanah negara ) dengan subyek yaitu seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan hak atas tanah negara tersebut dan sejak saat dikeluarkan keputusan tersebut maka terbit Hak kepemilikan Atas Tanah yang bersangkutan. Dengan catatan bahwa yang bersangkutan memenuhi segala persayaratan yang ditentukan didalam keputusan tersebut. Apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maka hak tersebut menjadi “ batal “ dengan sendirinya dan tanahnya kembali dikuasai oleh negara atau menjadi tanah negara kembali. Dengan perkataan lain bahwa Karakter khas yang muncul dari tanah – tanah yang berstatus tanah negara yang oleh negara yang diberikan sesuatu hak atas tanah adalah: (1) sebelum terbit sertifikat hak atas tanah yang dipergunakan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah, akan didahului dengan adanya tindakan hukum dari pemerintah yang dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Badan atau Pejabat Tata usaha Negara yang diwujudkan dalam Keputusan berbentuk “ Surat Keputusan” ( SK) pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan haknya; (2) didalam ketetapan yang berupa suatu keputusan pemberian hak tersebut selalu ada persyaratan-persyaratan baik berupa persyaratan umum maupun khusus maupun kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang bersangkutan, dengan akibat hukum “ batal” dengan sendirinya apabila persyaratan dan atau kewajiban tidak dipenuhi oleh mereka yang mengajukan permohonan hak atas tanah yang bersangkutan. Gambar 4. Skema pendaftaran Sertifikat berkarakter yuridis bersifat Konstitutif.
  • 6. Kedua, hak kepemilikan atas tanah yang telah ada baik hak barat maupun hak adat ( terdaftar maupun yang belum terdaftar) diakui keberadaannya yang oleh UUPA diubah kedalam bentuk baru ( konversi ) jenis-jenis hak ciptaan UUPA. Pengakuan negara dan perubahan kepada hak baru dengan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Pada prinsipnya pengakuan negara terhadap keberadaan hak kepemilikan atas tanah yang ada dituangkan kedalam bentuk penegasan, dan Sesuai dengan ajaran hukum penegasan semacam ini disebut sebagai suatu keputusan yang dalam wujud konkretnya berupa keputusan penegasan (deklaratif). Dalam model keputusan deklaratif ini syarat adanya keputusan Tata Usaha Negara bukan merupakan syarat mutlak adanya hubungan hukum antara subyek dan obyeknya pada dasarnya telah ada. Hubungan hukum antara subyek dan obyeknya dapat dibuktikan dengan alat bukti keperdataan tertulis yang lain ( PP No. 24 tahun 1997 yo. PMNA/ KBPN No. 3 Tahun 1997). Ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi UUPA, PMA No. 2 tahun 1960 tentang Pelaksana beberapa ketentuan Undang Undang Pokok Agraria Yo. PMA No. 5 tahun 1960 dan PMPA No. 2 tahun 1962 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Hak-Hak Indonesia, merupakan bentuk adanya pengakuan oleh negara terhadap hak-hak rakyat baik hak kepemilikan yang diatur menurut hukum perdata barat ( BW) maupun hak-hak tanah adat. Namun demikian ada karakter hukum yang khas dari ketentuan penegasan konversi hak kepemilikan atas tanah dalam UUPA. Hukum mengatur adanya prinsip-prinsip “Nasionalitas” yang wajib hukumnya harus dipenuhi bagi pemegang hak atas tanah agar dapat memperoleh pengakuan dan penegasan hak atas tanahnya. Maksudnya adalah pengakuan penegasan terhadap hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah antara pemegang hak dengan obyeknya diakui oleh negara syaratnya adalah Warga negara Indonesia. Konsekuensi hukum bilamana syarat tersebut tidak dipenuhi maka hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah diubah (diturunkan) kepada hak jenis lain dan dalam jangka waktu tertentu dicabut oleh negara, sehingga berdasarkan ketentuan hukum ( UUPA) status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara ( tanah negara). Untuk hak atas tanah yang berasal dari bekas hak barat ( pasal I ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA): Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 ayat (1) UUPA, yakni harus Warganegara Indonesia sejak 24 september 1960. berdasarkan ketentuan pembuktian kewarganegaraan diberikan waktu 6 (enam ) bulan (pasal 2 PMA No. 2 tahun 1960). Pemegang hak eigendom yang dapat membuktikan kewarga negaraannya maka oleh KKPT ( Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ) saat ini Kepala Kantor Pertanahan,
  • 7. eigendomnya dikonversi menjadi hak milik dan tanda bukti kepemilikan hak tersebut dicatat baik pada asli akta maupun didalam salinan aktanya, demikian disebutkan dalam pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960.[12] Pencatatan konversi oleh KKPT ini dilaksanakan dengan membubuhi keterangan dengan kata-kata “ Berdasarkan pasal dan ayat ketentuan konversi Undang-Undang Pokok Agraria dikonversi menjadi: Hak ( isi: milik, guna bangunan, Guna usaha atau pakai) dengan jangka waktu” ( pasal 18 PMA No. 2 tahun 1960). Akibat hukumnya apabila pemegang hak tidak melaporkan status hukum kewarganegaraannya dalam waktu 6 bulan atau tidak dapat membuktikan kepemilikannya maka menurut hukum hak eigendomnya berubah menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun.[13] Dan setelah 20 tahun jika tidak diperbaharui haknya hapus menjadi tanah negara berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1979 yo. PMDN No. 3 tahun 1979. Untuk pengakuan negara terhadap tanah-tanah Adat diatur dalam pasal II dan pasal VII Ketentuan konversi UUPA. Dalam pasal II Ketentuan Konversi berisi hak – hak atas tanah-tanah adat yang memberikan wewenang yang mirip dengan hak milik pasal 21 UUPA dikonversi menjadi hak milik, bilamana memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 UUPA yaitu: hak Agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landrijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, demikian juga tanah pekulen, sanggan, gogolan yang sifatnya tetap dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh menteri agraria, sejak mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21 UUPA. Mengingat adanya perbedaan karakter tersebut maka sebagai konsekuensi hukumnya akan berbeda pula pada saat terjadi pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanahnya yang menjadi alas atau dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut. Skema pendaftaran Sertipikat yang berkarakter yuridis bersifat Deklaratif. KARAKTER HUKUM KEPUTUSAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA. Didalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum ( rechsmatig ) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum ( rechtskrach ) untuk dilaksanakan. sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut
  • 8. hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi “ tidak sah” yang berakibat hukum menjadi “ batal” ( nietig ). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus di penuhi agar ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. bevoedgheid ( kewenangan ) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak ); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah diketapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.[14] Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “ Error in re”. [15] selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda “ rechtmatigheid” ( van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality. Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 ( wewenang dan substansi ) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata Usaha negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. [16] Sebaliknya Berdasarkan hukum suatu keputusan yang tidak memenuhi elemen atau syarat dapat dikatakan bahwa keputusan mengandung kekurangan juridis dalam pembuatannya, sehingga keputusan tersebut merupakan suatu keputusan menjadi tidak sah. E. Utrecht, mengatakan:suatu ketetapan yang mengandung kekurangan tidak selalu merupakan ketetapan atau keputusan yang tidak sah. Ada ketetapan yang mengandung kekurangan tetap merupakan ketetapan sah. Menurutnya pada umumnya tergantung pada hal apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan bestaansvoorwaarde atau tidak untuk adanya ketetapan itu. ( bestaansvoorwaarde= syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu ada; kalau syarat tidak dipenuhi maka sesuatu itu (dianggap) tidak ada.[17] Stelinga, mengatakan bahwa suatu ketetapan yang mengandung kekurangan masih dapat diterima sah oleh karena sah tidaknya sesuatu ketetapan yang mengandung kekurangan tergantung pada beratnya kekurangan itu.[18]Menurut Soehino, bahwa yang disebut sebagai ketetapan yang tidak sah bila mengandung kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dalam pembuatan ketetapan administrasi tersebut.[19] Dengan adanya kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dapat berakibat hukum batalnya ketetapan tersebut. Disamping batal atau dapat dibatalkan ketetapan tersebut dimungkinkan bahwa ketetapan tersebut dicabut oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan. Masih berkaitan dengan ketetapan yang mempunyai kekurangan yuridis, van der Wel, berpendapat agak berbeda sebagaimana yang dikutip oleh Bachsan Mustafa dalam bukunya:
  • 9. Suatu ketetapan yang menetapkan sesuatu yang sungguh-sungguh tidak mungkin dapat dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan yang lainnya kita harus melihat apakah kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan “ esensial” atau kekurangan yang “ bukan esensial”, kekurangan yang bukan yang esensial tidak dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan. Mengenai kekurangan esensial harus dilihat beratnya kekurangan. Apabila kekurangan itu dirasakan begitu berat sehingga ketetapan yang bersangkutan sebetulnya tidak berupa ketetapan, maka ketetapan yang bersangkutan itu dapat dianggap batal sama sekali. Apabila kekurangan itu tidak begitu berat, maka ketetapan yang bersangkutan dapat dianggap batal terhadap subyek hukum yang mempunyai alat untuk menggugat berlakunya ketetapan itu ( misalnya dalam bandingan).[20] E.Utrecht berkomentar bahwa dia dapat menerima pembagian kekurangan ketetapan kedalam kekurangan yang esensial ( inti) dan yang bukan yang esensial. Namun kandungan kekurangan tersebut harus dilihat secara kasuistis yang penting bahwa keputusan Administrasi negara adalah pemanfaatan / kegunaannya ( doelmatigheid) lebih penting dari pada sesuai tidaknya dengan hukum positif ( rechtsmatigheid). [21] Untuk mengetahui suatu keputusan itu mempunyai kekurangan yang masuk dalam ranah kekurangan yang esensial atau yang bukan esensial, sehingga ketetapan tersebut menjadi sah atau tidak sah. Apabila mengikuti teorinya van der Pot, maka ada 4 syarat yakni: dibuat oleh Badan atau pejabat yang berwenang, tidak boleh adanya kekurangan yuridis, berhubungan dengan bentuk ( vorm) dan prosedur, serta isi dan tujuan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Atau sebagaimana disampaikan oleh Philipus M. Hadjon ada 3 aspek yang penting yakni: Wewenang, Prosedur dan substansi untuk dapat dikatakan sahnya ketetapan atau keputusan. Didalam Hukum Administrasi bahwa ketetapan tidak sah akan berakibat batal ketetapan tersebut, dapat dibedakan 3 ( tiga ) jenis pembatalan suatu ketetapan tidak sah yaitu: pertama, ketetapan yang batal karena hukum ( nietigheid van rechtswege); kedua, ketetapan yang batal ( nietig, juga: batal absolut, absoluut nietig); ketiga, ketetapan yang dapat dibatalkan ( vernietigbaar).[22] Keputusan yang “ batal demi hukum” adalah suatu ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak dikeluarkan.bagi hukum dianggap tidak ada ( dihapus ) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.[23] Namun Utrecht sendiri menjelaskan dalam catatat kaki bukunya, bahwa hal ini jarang sekali terjadi namun ada atau dengan kata-kata “ satu dua hal”. [24] yang maksudnya bahwa sebetulnya Utrecht mempunyai pendapat secara umum bahwa batal karena hukum suatu ketetapan tidak secara otomatis artinya diperlukan suatu tindakan pembatalan dari Pengadilan maupun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Selanjutnya suatu ketetapan yang “Batal” ( nietig)
  • 10. merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan yang berakibat suatu perbuatan dianggap tidak pernah ada [25] yang disebut juga sebagai “ Absoluut nietig”. [26] Selanjutnya pengertian “ dapat dibatalkan” ( vernietigbaar) merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang dalam pengertian dapat dibatalkan karena diketahui perbuatan itu mengandung kekurangan. Perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten ( pembatalan diadakan karena pembuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan ). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannya, menjadi sah ( terkecuali dalam hal undang-undang menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan – bila mungkin – diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus.[27] Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan keputusan yang dapat dibatalkan ( vernietigbaar) yaitu Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal setelah pembatalan oleh hakim atau instansi yang berwenang membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dianggap sah sampai dikeluarkan keputusan pembatalan ( ex-nunc) kecuali undang-undang menentukan lain. Gambar 6. Tabel perbedaan Batal ( Nietig), batal demi hukum ( van rechts wege nietig) dan dapat dibatalkan ( vernietigbaar). No URAIAN NIETIG VAN RECHTS VERNIETIGBAAR WEGE NIETIG 1. Sejak kapan batal Ex tunc* Ex tunc Ex nunc* 2. Tindakan Dengan Tanpa perlu ada Mutlak harus ada pembatalan putusan/keputusan putusan / putusan / keputusan keputusan Sifat putusan/ Sifat putusan/ keputusan: keputusan: Konstatering/ Konstitutif deklaratif Sumber: Philipus M. Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pemerintahan, Copy- Perc&stensil Jumali, Surabaya, 1985, h. 25. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan hukum adalah sebab atau alasan pembatalan atau batalnya suatu ketetapan atau keputusan yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran hukum bahwa suatu keputusan ( beschikking ) dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat, seperti yang diajukan van der Pot ada 4 syarat fundamental: 1. Bevoedgheid ( kewenangan) organ Administrasi negara yang membuat keputusan; 2. Geen juridische gebreken in de wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak );
  • 11. 3. Vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut tatacara yang telah ditetapkan; 4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.[28] Philipus M. Hadjon mengutarakan bahwa wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum tersebut merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah menurut hukum. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “ Error in re”.[29] Hal ini selaras dengan hukum Acara yang di atur didalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya diubah ( sebagian ) oleh UU No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986, menetapkan bahwa Seseorang atau Badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun dasar alasan gugatan sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) nya, isinya menyatakan bahwa alasan gugatan yang digunakan adalah Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain adanya kesalahan bersifat kewenangan, prosedur dan substansi ( penjelasan pasal), penyalahgunaan wewenang ( de tournament de pouvoir) dan larangan berbuat sewenang-wenang. Adapun rumusan lengkapnya pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut: (3) seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi; (4) alasan – alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah digunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud yang diberikannya wewenang tersebut; c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan atau tidak keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua
  • 12. kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak keputusan tersebut. Dengan demikian bahwa dalam hukum acara pasal 53 ayat (2) UU. No. 5 Tahun 1986, merupakan dasar dari alasan untuk menggugat ( Beroepsgronden) seseorang atau badan hukum perdata dan sekaligus pengujian oleh hakim pengadilan terhadap keputusan Tata usaha Negara ( KTUN) sebagai berikut: Pertama, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya bilama dicermati dalam penjelasan otentik dari pasal ini memberikan penjelasan tentang pengertian “ bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” yaitu: 1. Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural atau formal; 2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material atau substansi; 3. Bahwa keputusan Tata usaha Negara dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang tidak berwenang dan apabila tidak berwenang dikaitkan dengan kompetensi Jabatan maka dimungkinkan ada tiga macam bentuk tidak berwenang ( onbevoegdheid) yaitu: onbevoegdheid ratione materiae ( menyangkut kompetensi absolute), onbevoegdheid ratione loci ( kompetensi relative) dan onbevoegdheid ratione temporis ( tidak berwenang dari segi waktu). Kedua, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut yang dikenal dengan sebutan “ penyalahgunaan wewenang” ( de tournament de pouvoir). Menurut Philipus M. Hadjon, alasan yang dikemukakan dalam penjelasan otentik ini dalam prakteknya sulit di buktikan karenanya jarang digunakan. Oleh karena itu dalam gugatan sering menggunakan dasar seperti tersebut dalam butir 3.[30] Ketiga, dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa dasar pembatalan sering disebutkan “ larangan berbuat sewenang-wenang” ( willekeur) merupakan konsep yang sulit diukur. Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: Larangan berbuat sewenang-wenang justru membuat rumusan yang operasional – terukur menjadi sulit / tidak terukur. Kalau kita bandingkan dengan ketentuan Wet AROB di Belanda, nampaknya disatu pihak ada kesamaan untuk huruf a,b,c, sedangkan huruf d tidak terdapat dalam pasal 53 ayat 2.[31] Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 ini diubah oleh UU No. 9 Tahun 2004, terutama dalam ayat (2) b dan c, yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan tindakan
  • 13. larangan berbuat sewenang – wenang, bagaimana diatur dalam pasal 53 UU No. 9 Tahun 2004, berbunyi: (1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi; (2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Gambar 7. Tabel alasan menjadi dasar keputusan tidak sah / dibatalkan Van der Pot Philipus M.Hadjon UU No 5 tahun 1986 Akibat hukum Pasal 53 (2), yo. UU No. 9 tahun 2004 1. Bevoedgheid; 1. Aspek wewenang; 1. Bertentangan dengan Tidak sah peraturan perundang- atau batal 2. geen juridische 2. Aspek prosedur; undangan berlaku: gebreken in de bersifat Wewenang, wilsvorming; 3. Aspek substansi Prosedur, Substansi; 3. vorm dan 2. bertentangan dengan procedure; asas umum pemerintahan yang baik 4. isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar Sesuai dengan ajaran hukum dan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 yo. UU No. 9 tahun 2004, maka bilamana suatu keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat wewenang, prosedur dan substansi, keputusan Tata Usaha Negara tersebut yang ditemukan oleh Peradilan dalam pertimbangan hukumnya, menjadi dasar untuk putusan pengadilan menyatakan tidak sah atau batal keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
  • 14. Sesuai dengan konsep hukum/ ajaran hukum dan ketentuan pertanahan Keputusan Tata Usaha Negara merupakan sumber hukum dan alat bukti dari lahirnya sertifikat hak atas tanah yang berkarakter yang bersifat Konstitutif, dengan demikian maka bilamana terjadi persengketaan berkaitan dengan kepemilikan hak atas masuk dalam kompetensi absolut dari pengadilan tata usaha negara yang mana alat bukti keputusan Tata Usaha Negara tersebut terbitnya yang berkaitan dengan adanya cacat dalam aspek wewenang, prosedur dan substansi yang menjadi titik tolak dalam beracara dan tuntutan pembatalannya. Berbeda dengan sertifikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat deklaratif, sesuai dengan sumber dasar hak kepemilikan atas tanah yang exsistensinya diakui oleh negara sehingga dalam proses persengketaan hukumnya berada diwilayah Peradilan umum, dimana bukti perolehan kepemilikan keperdataan dan obyek gugatannya yang ditimbulkan berkaitan dengan keabsahan dari aspek kesepakatan, kecakapan, obyek dan kausa tertentu yang menjadi dasar gugatan dan proses pembuktian di peradilan umum tersebut. 5. Penutup. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka yang akan menjadi isu sentral yang hendak dikaji dalam kajian penulisan disertasi ini adalah pembatalan sertifikat oleh Peradilan dan akibat hukum terhadap sertifikat hak atas tanah, yang dilatar belakangi adanya ketidak pastian hukum dan kepastian hak disebabkan karena masih banyaknya sengketa tanah dimana sertifikat hak atas tanah oleh pengadilan diputus dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan. Salah satu kelemahan dari disebabkan hukum tanah nasional yang dibangun berdasarkan pada konsepsi pengakuan hak Negara terhadap hak yang ada dan sistem pendaftaran tanah yang mengenal adanya alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang lain selain sertifikat hak atas tanah. Konsep pengakuan negara dan sistem pendaftaran tanah berakibat pada karakteristik khas dari sertifikat yang mana konstruksi hukum dari sertifikat hak atas tanah yang terbit dikenal adanya sertifikat dengan karakter yuridis yang bersifat Konstitutif maupun terdapat sertifikat yang bersifat deklaratif. Konstruksi hukum dari karakteristik sertifikat hak atas tanah tersebut membawa konsekuensi hukum terhadap bentuk sengketanya, badan Peradilan yang menangani perkaranya dan akibat hukum yang berbeda pula satu dengan yang lain bilamana terjadi eksekusi pelaksanaan hukum terhadap putusan pengadilan baik terhadap hak kepemilikan atas tanahnya maupun terhadap status hukum obyek tanahnya. [1] Boedi Harsono, Beberapa analisis tentang hukum agrarian, bagian 3, Era study Club, Jakarta, 1980, h. 1. [2] Lihat L.B. Curzon, LandLaw, Seventh edition, Pearson Education Ltd, Great Britain, 1999, h. 8-9. dikatakan Property is the highest right a man have to any thing; a right over a determinate thing, either a tract of land or chattel; an exclusive right to control an economic good; an aggregate of rights guaranteed and protected by the government; everything which is the subject of ownership; a social institution whereby people regulate the acquisitionand use of the resources of our environment according to a
  • 15. system of roles; a concept that refers to the rights, obligations, priveileges and restrictions that govern the relations of men with respect to things of value. [3] Lihat, Jesse Dukemenier, Property, Gilbert Law Summaries, 1991-1992, h. i. [4] Lihat Hari Chand, Modern Jurisprudence, International Law Book series, Kuala Lumpur, 1994, h. 261. [5] John Locke “ second treatise on Government”, 1689, dikutip oleh Rock Deborah, Property Law & Human Rights, First Published, Blackstone Press Limited Aldine Place, London, 2001, h. 3. [6] Pengaturan hak kepemilikan atas tanah termasuk kedalam Hukum administrasi adalah merupakan seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk undang-undang, peraturan, perintah dan keputusan-keputusan ( body of law created by administrative agencies in the form of rules, regulations, orders, and decisions to carry out regulatory powers and duties of such agencies). Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paull, Minn, West Publishing Co, 1993, h. 29. [7] Istilah “beschikking”“ ada yang menterjemahkan sebagai “keputusan” atau “ketetapan”demikian juga dengan sebutan “ Tata Usaha Negara” ada yang mempergunakan “ Administrasi Negara”. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 ; menurut Kuncoro Purbopranoto, istilah “ Beschikking” ( Belanda ) atau “ Acte administrative” ( Perancis), atau “ verwaltungsakt” ( Jerman). diintrudusir oleh van der Pot dan van Vollenhoven. Kuncoro Purbopratoto, Beberapa Catatan tentang hukum peradilan Administrasi negara dan hukum pemerintah, Alumni, Bandung, 1978, h. 45; Namun istilah Beschikking menurut Utrecht dan Sjachran Basah, lebih tepat diterjemahkan sebagai “ Ketetapan”. sebagaimana yang dikatakan: Berbagai pengertian ketetapan yang dilontarkan oleh para ahli dan setelah membandingkan serta mengkajinya, maka penulis berpendirian bahwa ketetapan adalah keputusan tertulis administrasi Negara, yang mempunyai akibat hukum dalam menyelenggarakan pemerintahan ( dalam arti kata sempit).Sjachran Basah, Existensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, h. 13. [8] E Utrecht, Op.cit, h. 184-185. [9] lihat Philipus M. Hadjon, et.al, h. 143-146. [10] Istilah “Penetapan Pemerintah “yang dipakai dalam pasal 23 PP No. 24 tahun 1997. penetapan Pemerintah adalah keputusan Tata Usaha Negara, dalam istilah lain adalah keputusan pemberian hak ( surat keputusan ) yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara dalam hal ini BPN ( Badan Pertanahan Nasional) [11] Penyebutan tanah Negara sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara sebelum berlakunya UUPA sudah diintrudusir Di dalam PP No. 8 tahun 1953, tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, didalam pasal 1 huruf a, disebutkan bahwa “ tanah Negara, ialah
  • 16. tanah yang dikuasai penuh oleh negara” pengertian ini sebetulnya secara filosofi mengacu pada konsep “ domein verklaring”. Dalam penjelasan umum UUPA tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Didalam konsep historis, tanah negara berarti sebagai tanah miliknya Negara atau Raja. Dalam konsep ini semua tanah yang ada merupakan hak milik ( domein ) dari Raja jadi tidak ada yang namanya hak milik rakyat, dimana rakyat diposisikan sebagai penyewa atau penggarap. Dalam konsep pemerintahan Hindia Belanda asas Domein verklaring yang dinyatakan di dalam pasal 1 “ Agrarisch besluit” dikenal adanya dua macam status tanah yaitu: pertama, tanah milik ( domein) Negara, yang sepenuhnya dikuasai oleh negara ( Vrijlandsdomein) dan tanah negara yang diatasnya ada penguasaan rakyat misalnya tanah-tanah adat ( on vrijlandsdomein).dan; kedua, tanah hak milik ( eigendom ), dimana diatas tanah tersebut sudah ada atau dilekati dengan sesuatu hak. Setelah lahir UUPA dikenal adanya beberapa jenis klasifikasi yang disebut tanah negara antara lain: 1. tanah negara bebas yaitu merupakan tanah yang mana diatastanah tersebut belum ada hak atas tanah yang melekat yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda disebut “ Vrij lands Domein”, (tanah-tanah “ Timbul” “ Aanslibbing” ) termasuk seperti tanah yang berasal dari endapan Lumpur di tepi pantai atau sungai. 2. tanah negara bekas hak barat atau yang lazim dalam praktek pertanahan disebut “ tanah ex barat”. Yang masuk dalam kategori ini adalah tanah bekas hak yang dihapuskan oleh peraturan perundangan seperti “ Tanah – tanah Partikulir” dengan UU No. 1 tahun 1958, tanah Erfpacht pertanian kecil oleh ketentuan konversi UUPA. Tanah bekas hak barat yang terkena ketentuan Keppres No. 32 tahun 1979, Termasuk didalam kategori ini adalah tanah-tanah hak yang bersifat sementara ( berjangka waktu) telah berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang atau diperbaharui kembali. 3. Tanah negara bekas tanah hak. yang dilepaskan oleh pemegang haknya kepada negara secara sukarela karena maksud tertentu. Seperti tanah hak yang dibebaskan oleh negara untuk tujuan kepentingan umum. [12] Pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960: Hak-hak eigendom yang pemiliknya terbukti berkewarganegaraan Indonesia tunggal dicatat oleh K.K.P.T., baik pada asli maupun pada grosse aktanya sebagai telah dikonversi menjadi hak milik. [13] pasal 4 PMA No. 2 tahun 1960 sebagai berikut: Hak eigendom yang setelah jangka waktu 6 bulan tersebut pada pasal 2 lampau pemiliknya tidak dating pada K.K.P.T. atau yang pemiliknya tidak dapat membuktikan, bahwa ia kewarganegaraan Indonesia tunggal, oleh K.K.P.T. dicatat pada asli aktanya sebagai dikonversi menjadi hak-guna- bangunan, dengan jangka waktu 20 tahun. [14] Sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan, Copy - Percetakan & stensil Djumali, Surabaya, 1985, h. 8-9; [15] Lihat Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2005, h. 83
  • 17. [16] Philipus M. Hadjon, dalam makalah: Tolok Ukur Keabsahan Tindak Pemerintahan dan Keputusan Tata Usaha Negara, makalah yang disampaikan pada penyelenggaraan – House legal Training Hukum Administrasi dan PTUN, tanggal 19-29 Juli 2004, h. 1; lihat pula sebagaimana dikutip oleh Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Bandung, h. 102-119. [17] E. Utrecht, Op. cit, h. 108. [18] E. Utrecht, loc. Cit. [19] Soehino, Op. cit, h. 100. [20] Bachsan Mustafa, Op. cit, h. 92 [21] Bachsan Mustafa, Ibid, 92. [22] E. Utrecht, Op. cit, h. 109. [23] E. Utrecht, Ibid, h. 111. [24] Ibid, h. 110 [25] Dalam bukunya, Utrecht memberikan contoh A. mengadakan perjanjian dengan B. perjanjian itu diadakan pada tanggal 1 Pebruari 1954. pada tanggal 1 april 1954 oleh hakim diadakan pembatalan ( vernietiging) perjanjian itu, karena mengandung beberapa kekurangan “essentieel” ( perjanjian itu tidak memuat beberapa essentialia) ( pasal 1320 KUH Perdata). Perjanjian itu bagi hukum dianggap tidak pernah ada, jadi, akibat perjanjian itu dengan sendirinya bagi hukum dianggap tidak pernah ada. Segala sesuatu yang karena perjanjian itu diadakan antara 1 Pebruari 1954 dan tanggal 1 April 1954 harus dihapuskan, atau dengan kata lain: status hukum kedua belah pihak pada tangal 1 april harus dikembalikan pada status hukum mereka sebelum tanggal 1 pebruari 1954, seakan-akan perjanjian itu tidak pernah diadakan. Jadi, seluruh akibat perjanjian itu dihapuskan. Oleh sebab itu “ batal” dapat juga disebut “ batal mutlak” ( absoluut nietig). Utrecht, loc. Cit. [26] Lihat Utrecht, loc.cit [27] E. Utrecht, Ibid, h. 111. *catatan: Ex tunc, secara harfiah berarti sejak waktu ( dulu) itu, dalam konteks ini ex tunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada; sedang Ex nunc, secara harfiah berarti sejak saat sekarang. Dalam konteks ini, ex nunc berarti perbuatan dan akibat dianggap ada sampai saat pembatalannya. [28] Lihat dalam Philipus M. Hadjon, Ibid, h. 8.
  • 18. [29] Lihat Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. cit, , h. 83 [30] Philipus M. Hadjon, et.al, Op. cit, h. 327 [31] Philipus M. Hadjon, Ibid, 327 Diposkan oleh Boedi Djatmiko di 03:08 0 komentar Posting Lama Beranda Langgan: Entri (Atom) pengunjung SELAMAT DATANG DIBLOG SAYA: MUDAH- MUDAHAN BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA semua tulisan yang ada didalam blok ini berdasarkan hasil wawasan pemikiran, analisis dan pengalaman selama ini saya alami dan ketahui. blok ini memang baru nanti secara bertahap insyaallah akan saya sempurnakan baik dari sisi tampilan tulisan maupun format blognya. untuk itu saya persilahkan anda dapat memberikan masukan-masukan mengkritisi tulisan-tulisan yang ada maupun berdiskusi tentang politik hukum dan pertanahan yang memang merupakan bidang keahlian saya. boedi djatmiko
  • 20.
  • 21.
  • 22. frofil Saya Boedi Djatmiko hadiatmodjo Jogyakarta, DIY, Indonesia seorang pemerhati masalah pertanahan, pendidikan terakhir S3 ilmu hukum Unair Lihat profil lengkapku Daftar Blog Saya • BBC News | News Front Page | World Edition
  • 23. Courses 'may close' if visas cut - Leading university vice-chancellors warn that they have to close some courses unless the government drops plans to limit visas for foreign students. 51 menit yang lalu • Christian Science Monitor | Top Stories Airline pretzels no longer free on Continental - Airline pretzels are the latest freebie to disappear from some airlines. With no more airline pretzels, can carriers' profits really soar? 6 jam yang lalu Share it komentar Cari Blog Ini didukung oleh Picasa album Label • Disertasi (5) • TANAH (2)
  • 24. PPAT (1) • Politik hukum (1) Arsip Blog • ▼ 2010 (2) o ▼ Mei (1)  KARAKTER HUKUM SERTIFIKAT HAK o ► Maret (1)  RURAL DEVELOPMENT INSTITUTE - Home Page • ► 2009 (9) o ► September (6)  Pembaharuan hukum agraria di Indonesia: penyelesai...  Pembaharuan hukum agraria dan peneyelesaian sengke...  Sistem pendaftaran tanah  Karakter hukum keputusan PTUN  Karakter hukum sertipikat hak  Sertipikat hak dan kekuatan pembuktiannya o ► Agustus (1)  Pembatalan sertipikat oleh peradilan dan akibat hu... o ► April (1)  TINJAUAN PERSOALAN HUKUM PEMILIKAN TANAH (BEKAS ) ... o ► Februari (1)  KAJIAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAN PERMA... • ► 2008 (1) o ► Agustus (1)  TANAH NEGARA DAN WEWENANG PEMBERIAN HAKNYA Ada kesalahan di dalam gadget ini The following text will not be seen after you upload your website, please keep it in order to retain your counter functionality Free Trackers Help
  • 25. bpn.go.id • legalitas.urg Langgan Post Semua Komentar Pengikut berita dunia Apple Google Microsoft BlackBerry Siap Pasangkan BBM di Android dan Apple iOS Metro TV News - 06 Mar 2011 - 2 jam lalu Sebuah blog yang cukup dihormati dikalangan gadget mania, Boy Genius Report (BGR) pada Sabtu (5/2) mengabarkan pihak Research in Motion (RIM) telah melakukakn pembicaraan dengan Apple dan Google untuk membahas rencana pembuatan software atau perangkat ... Artikel Terkait » dicuplik dari Google - 3/2011 Apple Luncurkan iPad 2 Tribunnews - 06 Mar 2011 - 1 jam lalu APPLE segera meluncurkan produk terbaru iPad 2, Jumat (11/3011) mendatang. Perangkat tablet dengan menampilkan A5 CPU dual-core, yang menyediakan hingga dua kali lipat kecepatan pemrosesan dan kemampuan grafis sampai sembilan kali lebih cepat ketimbang ... Artikel Terkait » dicuplik dari Google - 3/2011 Jobs Luncurkan iPad 2 JPNN.com - 05 Mar 2011 - 05 Mar 2011
  • 26. CEO Apple Inc, Steve Jobs, memperkenalkan iPad 2 yang tebalnya hanya 8,8 mili di San Francisco, California. Kemunculan Jobs bisa dikatakan mengejutkan. Sejak Januari lalu, pria 56 tahun itu absen dari Apple untuk berobat (kabarnya untuk merawat kanker ... Artikel Terkait » dicuplik dari Google - 3/2011 Apple rilis 'iTunes 10.2' untuk Windows&Mac Waspada Online - 04 Mar 2011 - 04 Mar 2011 Apple telah meluncurkan iTunes 10.2 untuk Windows dan Mac. Fungsi utamanya adalah untuk menambahkan kompabilitas untuk perangkat iOS 4.3 seperti iPad dan iPhone 4. iTunes 10.2 untuk Windows dan Mac ini juga telah dilengkapi dukungan untuk Home Sharing, ... Artikel Terkait » dicuplik dari Google - 3/2011 didukung oleh Template Watermark. Didukung oleh Blogger.