Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional terhadap UUD 1945. Namun, kedudukan perjanjian internasional dalam hukum nasional Indonesia belum jelas, sehingga ruang lingkup pengujian Mahkamah Konstitusi terhadap perjanjian internasional masih perlu ditentukan."
Wewenang mk dalam menguji uu ratifikasi perjanjian internasional
1. Piagam Asean mengancam UUD 1945
Sejumlah LSM mempersoalkan Piagam ASEAN yang membentuk pasar bebas sebagai
bertentangan dengan UUD 1945. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
dengan meminta judicial review terhadap UU yang meratifikasinya, yakni UU Nomor 38
Tahun 2008.
Saat Pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN di Bali pekan lalu, MK mulai menggelar
perkara ini dengan mendengarkan pandangan para pemohon dan pemerintah serta para saksi
ahli.
Gugatan judicial review ini menggiring opini publik ke arah pertanyaan mendasar, yaitu
"Benarkah Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945" Tanpa mengurangi arti penting
pertanyaan itu, penulis justru lebih tergelitik dengan pertanyaan proseduralnya, yaitu
"Apakah MK dapat menguji perjanjian internasional terhadap UUD 194?
Dalam risalah sidang pemeriksaan pendahuluan MK terhadap perkara ini, terdapat beberapa
permintaan hakim untuk dilengkapi oleh pemohon.
Di antaranya ada dua yang menarik perhatian. Pertama, permintaan agar pemohon
menjelaskan bagaimana posisi perjanjian internasional yang disahkan oleh Undang-Undang.
Apakah norma-normanya otomatis menjadi UU atau harus dimuat lagi dalam UU tersendiri.
Hal ini tentu akan terkait dengan kewenangan MK untuk melakukan pengujian.
Kedua, agar pemohon menjelaskan apakah mungkin dilakukan pembatalan sepihak oleh
Indonesia terhadap Piagam ASEAN. Pemohon meyakini bahwa UU ini dapat diuji oleh MK
karena UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas
mengatakan UU jenis ini adalah UU dan tidak membedakannya dengan UU lainnya.
Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran dan dengan demikian identik dengan UU
ini.
UU No. 38 Tahun 2008 ini sebenarnya hanya memuat dua pasal; pasal (1) menyatakan
mengesahkan Piagam ASEAN, pasal (2) tentang mulai berlakunya UU ini, sedangkan
Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran.
Persoalan mendasar dalam perkara ini sebetulnya bukanlah tentang apakah UU No. 38 Tahun
2008 yang meratifikasi Piagam ASEAN dapat menjadi objek pengujian materi oleh MK
melainkan lebih ke pertanyaan apakah UU No. 38 Tahun 2008 adalah identik dengan Piagam
ASEAN sebagai traktat (perjanjian internasional), atau apakah materi normatif Piagam
ASEAN telah menjelma menjadi UU No. 38 Tahun 2008 (terminologi juridis yang sering
dipakai adalah "transformasi").
Jika secara konstitusional Piagam ASEAN telah berubah menjadi UU maka MK memiliki
wewenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai UU, namun
jika tidak maka MK hanya menguji kedua Pasal UU tersebut.
Syarat konstitusional
2. UU No. 38 Tahun 2008 sebenarnya hanya merupakan syarat konstitusional seperti yang
diminta oleh Pasal 11 UUD 45: "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain".
Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa "tidak
diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga
persetujuan DPR itu sendiri berupa apa pun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi
Pasal 11 (Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid III, 1960). Dari konstruksi ini maka UU No. 38
Tahun 2008 pada hakikatnya, dan tidak lain, adalah bentuk "persetujuan DPR" dan bukan
Piagam ASEAN itu sendiri.
Persoalan status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional RI memang masih
belum jelas. Kedudukannya dalam rumah hukum nasional belum diperjelas. Banyak kalangan
terjebak untuk menempatkan perjanjian internasional berada dalam rumah undang-undang,
dalam hal ini UU yang meratifikasinya. Artinya karena diratifikasi dengan UU maka
perjanjian internasional telah berubah wujud menjadi UU.
Pandangan ini agak anomali karena mata kuliah hukum tatanegara yang dipelajari oleh
seluruh pakar hukum Indonesia selalu mengajarkan bahwa perjanjian internasional (traktat)
duduk bersebelahan dengan, dan tidak berada dalam, suatu UU.
Telah menjadi kesepakatan di kalangan pakar hukum tatanegara dan tidak pernah
dipersoalkan sampai saat ini bahwa sumber hukum tatanegara adalah UUD, UU, traktat,
dimana traktat berdiri sendiri dan terpisah dari UU.
Itulah sebabnya salah satu hakim MK, Dr. Harjono SH yang dalam bukunya (Transformasi
Demokrasi, 2010) secara tepat mengatakan "Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau
traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang".
Praktik Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasioal dalam
bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional
sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formal undang-undang, padahal bukan. Status
perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan
sumber hukum.
Senada dengan itu, mantan Ketua MA Prof. Bagir Manan membuat pernyataan yang sangat
menarik yaitu `Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, perjanjian
internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain
perjanjian internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan".
Lebih tinggi
Sejak awal abad ini, Belanda telah memutuskan bahwa traktat berkedudukan lebih tinggi dari
UU termasuk UUD dengan kata lain menganut monisme primat hukum internasional.
Sebelum traktat diratifikasi oleh seorang raja maka perlu mendapat persetujuan parlemen.
Persetujuan Parlemen ini dituangkan dalam bentuk UU (wet) namun digarisbawahi pula
bahwa Wet ini hanya format persetujuan Parlemen dan bukan dimaksudkan sebagai wet
dalam arti yang lazim. Sekalipun parlemen sudah menyetujui, tidak otomatis raja
berkewajiban untuk meratifikasinya.
3. Praktik Belanda ini ternyata diikuti oleh para ahli hukum Indonesia seperti Prof Utrecht,
pakar hukum pada awal kemerdekaan, yang menjelaskan mekanisme Pasal 11 UUD 1945
yaitu suatu perjanjian internasional harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR dan
dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) yang bersifat undang-
undang formil saja. Kemudian, setelah mendapat persetujuan DPR, presiden melakukan
pengesahan yang disebut dengan "ratifikasi".
Berbeda dengan Belanda, maka Jerman menggunakan doktrin bahwa UU yang meratifikasi
perjanjian memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai format persetujuan DPR dan sekaligus
sebagai mentransformasikan materi normatif perjanjian menjadi kaidah UU nasional.
Doktrin ini sangat dipengaruhi oleh ahli hukum Jerman H. Triepel pada awal abad ke-20
yang terkenal sebagai penganut dualisme dalam hubungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional.
Jika dilihat dari akar hukumnya maka seharusnya doktrin Belanda yang harus jadi pedoman
bagi Indonesia. Artinya, MK hanya dapat menguji UU No. 38 Tahun 2008 namun bukan
Piagam ASEAN, karena UU No. 38 Tahun 2008 hanya bentuk persetujuan DPR dan tidak
dimaksudkan untuk menjadikan Piagam ASEAN sebagai UU nasional.
Dengan pemikiran ini maka wewenang MK hanya menguji 2 (dua) pasal prosedural UU ini
dan tidak berwenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN. Bukti kuat bahwa UU No.
38 Tahun 2008 tidak identik dengan Piagam ASEAN adalah bahwa mulai berlakunya kedua
instrumen ini berbeda.
UU No. 38 Tahun 2008 mulai berlaku pada saat diundangkan yakin tanggal 6 November
2008 sedangkan untuk pemberlakuan Piagam ASEAN ditentukan setelah dipenuhinya syarat
yang ditetapkan oleh Piagam ASEAN itu sendiri yaitu 30 hari sejak diterimanya ratifikasi ke
10 negara anggota ASEAN, yakni 15 Desember 2008.
Jika MK mengabulkan gugatan pemohon, maka apakah Indonesia dapat menarik diri secara
sepihak dari Piagam ASEAN ?
Jawaban pertanyaan ini tentunya terletak pada hukum internasional dan bukannya pada
hukum tatanegara Indonesia karena Piagam ASEAN adalah kontrak antarnegara yang tunduk
pada hukum internasional bukan pada hukum Indonesia.
Sayangnya, menurut hukum internasional (Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional) Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang disetujuinya
dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. Maka dilema hukum akan muncul bagi
Indonesia (sebagai negara), yaitu menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum
internasional, atau menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.
Namun, terdapat pula pertanyaan ketatanegaraan yang sama rumitnya, yaitu apakah
pembatalan UU No. 38 Tahun 2008 serta merta akan mewajibkan presiden melakukan
penarikan diri terhadap Piagam ASEAN? Atau dengan perkataan lain, apakah MK memiliki
wewenang untuk meminta presiden menarik diri dari Piagam ASEAN?.
Pertanyaan ini mirip dengan ilustrasi sebagai berikut: jika seorang suami telah menikah
dengan istri kedua atas dasar ijin istri pertama, dapatkan suami tersebut membatalkan
4. perkawinan tersebut semata-mata karena istri pertama mencabut kembali ijin yang telah
diberikan?
Dalam situasi inilah MK diperhadapkan dengan gugatan uji materi Piagam ASEAN. Apa pun
yang menjadi keputusan MK akan menjadi sangat penting, bukan hanya bagi penggugat dan
Pemerintah RI/DPR, namun juga bagi dunia akademisi hukum.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSITUSI REPUBLIK
INDONESIA DALAM MENGUJI UNDANG – UNDANG HASIL
RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL
Kajian Menurut Hukum Nasional di Indonesia
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah
Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yaitu :
1.Menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945,
2.Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
3.Memutus pembubaran partai politik, dan
4.Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Menurut Undang Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
pada Pasal 10 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian sekilas mata maka perjanjian internasional yang disahkan dengan
undang-undang, sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2000, dapat diajukan
ke hadapan Mahkamah Konstitusi untuk di uji apakah sesuai dengan UUD 1945.
Maka dapat dimungkinkan undang-undang yang mengesahkan perjanjian
internasional tersebut dapat dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan ini,maka setiap undang – undang yang dihasilkan oleh
kekuasaan legislatif, memiliki kemungkinan untuk diuji secara materil oleh
Mahkamah Konstitusi hanya berdasarkan gugatan yang diajukan masyarakat. Luas
bidang dari undang – undang ini tidak akan membawa masalah apabila hanya
menyangkut undang – undang yang berasal dari kepentingan nasional. Namun
apabila dikaitkan dengan sebuah Perjanjian Internasional yang membawa
kepentingan masyarakat internasional yang di dalamnya terkandung makna
kepentingan negara lain, maka secara implisit sebuah undang – undang yang
5. meratifikasi perjanjian internasional dapat dikatakan bukanlah undang – undang
yang membawa kepentingan nasional saja.
UU No. 24 tentang Perjanjian Internasional tidak secara tegas menjelaskan
kedudukan perjanjian internasional dalam sistem perundang-undangan namun
hanya menyatakan bahwa perjanjian internasional disahkan dengan undang-
undang/Peraturan Presiden tanpa lebih lanjut menjelaskan apa arti dan
konsekuensinya bagi perundang-undangan Indonesia. Sedangkan dalam sistem
hukum Indonesia, suatu undang – undang berlaku sejak tanggal di tetapkannya
undang – undang tersebut. I Wayan Parthiana menyebutkan salah satu cara
menentukan saat berlakunya suatu Perjanjian Internasional yaitu pada saat
perjanjian itu diratifikasi secara serentak oleh organ yang berwenang dari masing –
masing pihak. Hal ini membuktikan, berlakunya sebuah Perjanjian Internasional juga
tidak terlepas dari peran negara sebagai organ yang berwenang untuk menjadikan
perjanjian internasional tersebut berlaku terhadap masyarakatnya. Dengan
penjelasan ini, maka secara teoritis, mengutip pendapat salah satu mantan Hakim
Konstitusi periode 2003-2008, I Gede Palguna, maka Mahkamah Konstitusi
seharusnya dapat menguji secara materil undang – undang hasil ratifikasi sebuah
perjanjian internasional, mengingat undang – undang ratifikasi juga menjadi bagian
sebuah proses berlakunya perjanjian internasional, dan dibuat oleh negara itu
sendiri.
Kajian Menurut Hukum Internasional
Perkembangan dunia hukum internasional di Indonesia memiliki berbagai
kontroversi dengan adanya simpang siur pemikiran antara berbagai kelompok
akademisi yang mengkategorikan Indonesia masuk sebagai penganut aliran
Monisme, Dualisme, bahkan keduanya. Aliran Monisme menangkap Indonesia
menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat internasional, dan
sangat bergantung pada berbagai keputusan dari organisasi – organisasi
internasional untuk menjadi hukum yang berlaku secara lurus di Indonesia.
Sedangkan aliran dualisme seolah – olah membebaskan Indonesia dari
cengkeraman dunia luar untuk mengendalikan tatanan masyarakat Indonesia,
dimana setiap peraturan yang dihasilkan lewat perjanjian internasional tidak serta
merta dijadikan sebagai sumber hukum di Indonesia.
Pada akhirnya, opini masyarakat membawa pemikiran saya kepada alam dualisme,
dimana hukum nasional sama sekali berbeda dengan hukum internasional. Hal ini
disebabkan adanya pengaruh aliran realisme yang sangat cocok diterapkan pada
negara berkembang. Kemandirian sebuah negara dalam mengelola sumber
dayanya harus diutamakan ketimbang menerima mentah – mentah peraturan –
peraturan internasional untuk diberlakukan dalam pengembangan sumber daya di
negara tersebut. Sehingga berdasarkan pemikiran ini, sebuah perjanjian
internasional yang ingin masuk menjadi bagian dari sebuah hukum negara,
mengutip pernyataan Herry Purwanto, SH., M.Hum., haruslah melalui sebuah proses
transformasi bentuk dari hukum internasional ke hukum nasional terlebih dahulu.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Untuk Menguji Undang – Undang Hasil
Ratifikasi
6. Dalam meneliti kewenangan Mahkamah Kontitusi ini, saya mengambil kasus
gugatan terhadap Undang – Undang Ratifikasi Piagam ASEAN. Secara substantif
menurut Faajrul Faalakh, secara substantif ASEAN Charter yang disahkan dengan
UU Nomor 38/2008 bukanlah wet in formele zjin, sehingga bukan merupakan UU
yang dapat dimohonkan pengujian di MK. secara substantif suatu peraturan
presiden yang mengesahkan perjanjian internasional juga bukanlah hal yang dapat
diuji oleh Mahkamah Agung (MA). Prosedur internal di Indonesia, sebagaimana
diatur UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian
internasional tidak memerlukan pengujian ke MK, dan apabila MK dan MA
berwenang menguji perjanjian internasional, banyak ratifikasi konvensi atau
perjanjian internasional berpotensi dibatalkan di forum pengadilan yang tidak
tunggal.
Secara prosedur, setelah Undang – Undang No. 38 / 2008 tersebut diundangkan,
Menteri Luar Negeri mengeluarkan sebuah dokumen formal yang disebut sebagai
instrumen ratifikasi untuk disampaikan kepada Sekjen ASEAN. Dengan diterimanya
instrumen ratifikasi ini maka sejak itulah Piagam ASEAN mulai berlaku terhadap
Indonesia. Tanggal berlakunya UU No 38/2008 dengan tanggal berlakunya Piagam
ASEAN berbeda. Hal ini sudah memperlihatkan bahwa kedua dokumen ini tidak
pernah identik. Jika dua pasal pada UU No 38/2008 yang akan di-judicial review
maka tidak akan ditemukan masalah konsitutionalitas. Namun jika Piagam ASEAN
yang akan di-judicial review, pertanyaannya adalah dapatkah MK menguji perjanjian
internasional sebagai produk hukum internasional?
Secara teoritis, persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang
dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum
nasional. Pada negara-negara maju, aliran ini telah dicerminkan dalam UUD yang
secara tegas memuat kaidah tentang apa status perjanjian internasional dalam
hukum nasionalnya.
Jika MK memutuskan bahwa Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945,
maka dilema hukum akan muncul bagi Indonesia (sebagai Negara), yaitu
menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum internasional, atau
menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap hukum nasional, namun dengan
mempertimbangkan keikutsertaan Indonesia sebagai masyarakat internasional, dan
betapa dalamnya Indonesia terlibat dalam saling ketergantungan antar negara,
maka saya berpendapat maka Indonesia haruslah tunduk pada hukum internasional
itu sendiri, dimana Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang
disetujuinya dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. Dan menurut
analisa saya, secara teoritis memang Mahkamah Konstitusi dapat menguji undang –
undang hasil ratifikasi jika ditilik dari original intent perumusan pasal 11 UUD 1945
yang menggambarkan perjanjian internasional sebenarnya diserahkan tidak secara
eksklusif pada cabang kekuasaan tertentu saja melainkan kepada eksekutif
(presiden) dan legislatif (DPR) karena berkaitan dengan hak – hak warga negara
yang harus dilindungi yang oleh karena itu perjanjian internasional yang diratifikasi
haruslah dapat melindungi kedaulatan dan menjamin hak – hak warga negara, dan
tugas pengawasannya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun demikian,
pada praktik sebagai masyarakat internasional, Mahkamah Konstitusi tidak bisa
7. menguji undang – undang hasil ratifikasi dengan melihat bagaimana Indonesia
menjadi bagian yang utuh dalam perkembangan masyarakat internasional itu sendiri
dengan keanggotaannya secara penuh pada PBB, yang pada akhirnya menjadikan
Indonesia harus tunduk pada hukum internasional.
Perjanjian Internasional yang Bertentangan dengan Konstitusi
Bagaimana jika salah satu isi perjanjian internasional bertentangan dengan konstitusi negara?
Apakah negara akan tetap ikut dalam perjanjian tersebut? Mohon penjelasannya, Terima
kasih.
Di Kenegaraan
Jawaban
Bung Pokrol
Negara dalam pembuatan perjanjian internasional, dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Republik Indonesia
harus berpedoman pada kepentingan nasional dan mendasarkan pada prinsip-prinsip persamaan kedudukan,
saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku
(lihat Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Oleh karena itu, Pemerintah dalam membuat suatu perjanjian internasional juga harus memperhatikan Konstitusi
Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menjadi hukum
nasional tertinggi sesuai dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menjawab pertanyaan Anda, mengacu pada ketentuan Pasal 4 UU No. 24/2000 di atas maka Negara tidak boleh
ikut dalam suatu perjanjian internasional yang seluruh atau sebagian isinya bertentangan dengan Konstitusi
Negara yaitu UUD 1945.
Namun dalam prakteknya, menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana dalam sebuah wawancara
yang dimuat di situs eralawonline.com, selama ini departemen atau instansi yang mengajukan untuk meratifikasi
perjanjian internasional tidak melihat pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam konstitusi. Atau apakah
perjanjian internasional itu sudah sesuai atau tidak dengan konstitusi. Di sisi lain, mengenai isi perjanjian
internasional yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, lebih jauh Hikmahanto
berpendapat:
8. “Kalau sudah ikut maka peraturan perundang-undangan kita itu harus disisir dulu, ada tidak yang masih
belum diatur. Kalau belum ada berarti kita harus membuat aturan itu. Kalau misalnya sudah ada tapi
bertentangan maka ketentuan peraturan dalam negeri yang harus menyesuaikan dengan perjanjian
internasional, karena kita sudah meratifikasi secara sukarela. Walaupun sukarela sebetulnya ada
paksaannya juga. Karena begini, ada negara maju lewat lembaga keuangan internasionalnya mereka akan
mensyaratkan, kamu saya kasih bantuan tapi kamu harus ikut perjanjian ini perjanjian itu. Sehingga
seolah-olah kita tidak punya kedaulatan untuk menentukan perjanjian mana yang akan kita ikuti.”
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
2. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Apakah MK Bisa Menguji Piagam Asean?
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah LSM mempersoalkan
Piagam ASEAN yang membentuk pasar bebas sebagai bertentangan dengan UUD 1945.
Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan meminta judicial review
terhadap UU yang meratifikasinya, yakni UU Nomor 38 Tahun 2008.
Saat Pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN di Bali pekan lalu, MK mulai menggelar
perkara ini dengan mendengarkan pandangan para pemohon dan pemerintah serta para saksi
ahli.
Gugatan judicial review ini menggiring opini publik ke arah pertanyaan mendasar, yaitu
"Benarkah Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945" Tanpa mengurangi arti penting
pertanyaan itu, penulis justru lebih tergelitik dengan pertanyaan proseduralnya, yaitu
9. "Apakah MK dapat menguji perjanjian internasional terhadap UUD 194?
Dalam risalah sidang pemeriksaan pendahuluan MK terhadap perkara ini, terdapat beberapa
permintaan hakim untuk dilengkapi oleh pemohon.
Di antaranya ada dua yang menarik perhatian. Pertama, permintaan agar pemohon
menjelaskan bagaimana posisi perjanjian internasional yang disahkan oleh Undang-Undang.
Apakah norma-normanya otomatis menjadi UU atau harus dimuat lagi dalam UU tersendiri.
Hal ini tentu akan terkait dengan kewenangan MK untuk melakukan pengujian.
Kedua, agar pemohon menjelaskan apakah mungkin dilakukan pembatalan sepihak oleh
Indonesia terhadap Piagam ASEAN. Pemohon meyakini bahwa UU ini dapat diuji oleh MK
karena UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas
mengatakan UU jenis ini adalah UU dan tidak membedakannya dengan UU lainnya.
Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran dan dengan demikian identik dengan UU
ini.
UU No. 38 Tahun 2008 ini sebenarnya hanya memuat dua pasal; pasal (1) menyatakan
mengesahkan Piagam ASEAN, pasal (2) tentang mulai berlakunya UU ini, sedangkan
Piagam ASEAN sendiri adalah merupakan lampiran.
Persoalan mendasar dalam perkara ini sebetulnya bukanlah tentang apakah UU No. 38 Tahun
2008 yang meratifikasi Piagam ASEAN dapat menjadi objek pengujian materi oleh MK
melainkan lebih ke pertanyaan apakah UU No. 38 Tahun 2008 adalah identik dengan Piagam
ASEAN sebagai traktat (perjanjian internasional), atau apakah materi normatif Piagam
ASEAN telah menjelma menjadi UU No. 38 Tahun 2008 (terminologi juridis yang sering
dipakai adalah "transformasi").
Jika secara konstitusional Piagam ASEAN telah berubah menjadi UU maka MK memiliki
wewenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN dalam formatnya sebagai UU, namun
jika tidak maka MK hanya menguji kedua Pasal UU tersebut.
Syarat konstitusional
UU No. 38 Tahun 2008 sebenarnya hanya merupakan syarat konstitusional seperti yang
diminta oleh Pasal 11 UUD 45: "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain".
Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa "tidak
diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga
persetujuan DPR itu sendiri berupa apa pun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi
Pasal 11 (Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid III, 1960). Dari konstruksi ini maka UU No. 38
Tahun 2008 pada hakikatnya, dan tidak lain, adalah bentuk "persetujuan DPR" dan bukan
Piagam ASEAN itu sendiri.
Persoalan status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional RI memang masih
belum jelas. Kedudukannya dalam rumah hukum nasional belum diperjelas. Banyak kalangan
terjebak untuk menempatkan perjanjian internasional berada dalam rumah undang-undang,
dalam hal ini UU yang meratifikasinya. Artinya karena diratifikasi dengan UU maka
perjanjian internasional telah berubah wujud menjadi UU.
10. Pandangan ini agak anomali karena mata kuliah hukum tatanegara yang dipelajari oleh
seluruh pakar hukum Indonesia selalu mengajarkan bahwa perjanjian internasional (traktat)
duduk bersebelahan dengan, dan tidak berada dalam, suatu UU.
Telah menjadi kesepakatan di kalangan pakar hukum tatanegara dan tidak pernah
dipersoalkan sampai saat ini bahwa sumber hukum tatanegara adalah UUD, UU, traktat,
dimana traktat berdiri sendiri dan terpisah dari UU.
Itulah sebabnya salah satu hakim MK, Dr. Harjono SH yang dalam bukunya (Transformasi
Demokrasi, 2010) secara tepat mengatakan "Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau
traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang".
Praktik Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasioal dalam
bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional
sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formal undang-undang, padahal bukan. Status
perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan
sumber hukum.
Senada dengan itu, mantan Ketua MA Prof. Bagir Manan membuat pernyataan yang sangat
menarik yaitu `Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, perjanjian
internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain
perjanjian internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan".
Lebih tinggi
Sejak awal abad ini, Belanda telah memutuskan bahwa traktat berkedudukan lebih tinggi dari
UU termasuk UUD dengan kata lain menganut monisme primat hukum internasional.
Sebelum traktat diratifikasi oleh seorang raja maka perlu mendapat persetujuan parlemen.
Persetujuan Parlemen ini dituangkan dalam bentuk UU (wet) namun digarisbawahi pula
bahwa Wet ini hanya format persetujuan Parlemen dan bukan dimaksudkan sebagai wet
dalam arti yang lazim. Sekalipun parlemen sudah menyetujui, tidak otomatis raja
berkewajiban untuk meratifikasinya.
Praktik Belanda ini ternyata diikuti oleh para ahli hukum Indonesia seperti Prof Utrecht,
pakar hukum pada awal kemerdekaan, yang menjelaskan mekanisme Pasal 11 UUD 1945
yaitu suatu perjanjian internasional harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR dan
dituangkan dalam suatu undang-undang persetujuan (goedkeuringswet) yang bersifat undang-
undang formil saja. Kemudian, setelah mendapat persetujuan DPR, presiden melakukan
pengesahan yang disebut dengan "ratifikasi".
Berbeda dengan Belanda, maka Jerman menggunakan doktrin bahwa UU yang meratifikasi
perjanjian memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai format persetujuan DPR dan sekaligus
sebagai mentransformasikan materi normatif perjanjian menjadi kaidah UU nasional.
Doktrin ini sangat dipengaruhi oleh ahli hukum Jerman H. Triepel pada awal abad ke-20
yang terkenal sebagai penganut dualisme dalam hubungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional.
Jika dilihat dari akar hukumnya maka seharusnya doktrin Belanda yang harus jadi pedoman
11. bagi Indonesia. Artinya, MK hanya dapat menguji UU No. 38 Tahun 2008 namun bukan
Piagam ASEAN, karena UU No. 38 Tahun 2008 hanya bentuk persetujuan DPR dan tidak
dimaksudkan untuk menjadikan Piagam ASEAN sebagai UU nasional.
Dengan pemikiran ini maka wewenang MK hanya menguji 2 (dua) pasal prosedural UU ini
dan tidak berwenang menguji pasal-pasal pada Piagam ASEAN. Bukti kuat bahwa UU No.
38 Tahun 2008 tidak identik dengan Piagam ASEAN adalah bahwa mulai berlakunya kedua
instrumen ini berbeda.
UU No. 38 Tahun 2008 mulai berlaku pada saat diundangkan yakin tanggal 6 November
2008 sedangkan untuk pemberlakuan Piagam ASEAN ditentukan setelah dipenuhinya syarat
yang ditetapkan oleh Piagam ASEAN itu sendiri yaitu 30 hari sejak diterimanya ratifikasi ke
10 negara anggota ASEAN, yakni 15 Desember 2008.
Jika MK mengabulkan gugatan pemohon, maka apakah Indonesia dapat menarik diri secara
sepihak dari Piagam ASEAN ?
Jawaban pertanyaan ini tentunya terletak pada hukum internasional dan bukannya pada
hukum tatanegara Indonesia karena Piagam ASEAN adalah kontrak antarnegara yang tunduk
pada hukum internasional bukan pada hukum Indonesia.
Sayangnya, menurut hukum internasional (Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional) Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang disetujuinya
dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. Maka dilema hukum akan muncul bagi
Indonesia (sebagai negara), yaitu menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum
internasional, atau menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.
Namun, terdapat pula pertanyaan ketatanegaraan yang sama rumitnya, yaitu apakah
pembatalan UU No. 38 Tahun 2008 serta merta akan mewajibkan presiden melakukan
penarikan diri terhadap Piagam ASEAN? Atau dengan perkataan lain, apakah MK memiliki
wewenang untuk meminta presiden menarik diri dari Piagam ASEAN?.
Pertanyaan ini mirip dengan ilustrasi sebagai berikut: jika seorang suami telah menikah
dengan istri kedua atas dasar ijin istri pertama, dapatkan suami tersebut membatalkan
perkawinan tersebut semata-mata karena istri pertama mencabut kembali ijin yang telah
diberikan?
Dalam situasi inilah MK diperhadapkan dengan gugatan uji materi Piagam ASEAN. Apa pun
yang menjadi keputusan MK akan menjadi sangat penting, bukan hanya bagi penggugat dan
Pemerintah RI/DPR, namun juga bagi dunia akademisi hukum.
Pakar: MK Tak Berwenang
Menguji Hukum Internasional
Kamis, 4 Agustus 2011
JAKARTA (Suara Karya): Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang menguji hukum
internasional yang disahkan menjadi undang-undang, meski salah satu wewenang MK
menguji hukum di bawah UUD 1945.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Fajrul Falaakh
menegaskan hal itu saat bersaksi sebagai ahli dalam sidang pleno pengujian
Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat 2 huruf n UU 38 tahun 2008 tentang Hasil
Ratifikasi Piagam ASEAN (ASEAN Charter).
12. Secara substantif ASEAN Charter yang disahkan dengan UU nomor 38 tahun 2008
bukanlah wet in formele zjin sehingga bukan merupakan UU yang dapat
dimohonkan pengujian di MK," kata Fajrul.
Perpres atau Keppres yang mengesahkan perjanjian internasional juga bukan
Perpres/Keppres yang dapat digugat ke Mahkamah Agung (MA) atau PTUN.
Fajrul menjelaskan, menurut prosedur internal di Indonesia sebagaimana diatur
UU No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian
internasional tidak memerlukan pengujian ke MK.
"Jika MK dan MA berwenang menguji perjanjian internasional, banyak ratifikasi
konvensi/perjanjian internasional berpotensi dibatalkan oleh pengadilan yang
tidak tunggal," ujarnya.
Menurutnya, tidak menjadi original intent dari Pasal 11 UUD 1945, jika perjanjian
internasional dan persetujuan DPR (ratifikasi) terhadap perjanjian internasional
disamakan dengan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5, 20, dan
22A UUD 1945.
"Persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tidak harus disamakan
dengan persetujuan bersama DPR-Presiden terhadap RUU sesuai Pasal 20 ayat
(2) UUD 1945," paparnya.
UU Dibatalkan, Indonesia Tetap Terikat Piagam ASEAN
JAKARTA(radabangka.co.id)-
DirekturJenderal(Dirjen)HukumdanPerjanjianInternasionalKementerianLuarNegeri(Kemenlu),
LinggawatyHakim,menilaiberlakunyaPiagamASEANterhadapIndonesiatidaksertamertadidasarkanpadapemberl
akuanUU
Nomor38Tahun2008tentangPengesahanPiagamASEAN.Pasalnya,pernyataanpengikatandiriIndonesiapadaPia
gamASEAN
didasarkanpadapenyerahanPiagamPengesahankepadaSekretariatASEANsepertidiaturPasal14UUNomor24Ta
hun2000 tentangPerjanjianInternasional.
“Karenaitu,pemberlakuanPiagamASEANbagiIndonesiadanne
garaAsiaTenggara sepenuhnya ditentukan penerapan ketentuan Piagam ASEAN itu sendiri yang merupakan
perjanjian internasional, bukan UU
pengesahannya,”kataLinggawatydalampengujianPasal1angka5danPasal2ayat2hurufnUUPengesahanP
iagam ASEANdiruangsidangGedungMK,Rabu(20/7).
Ditegaskanya,materimuatanUUPengesahanPiagamASEANhanyam
erupakan
persetujuanpemerintahdanDPRuntukmengikatkandiriterhadapPiagamASEAN.“Materinyasamasekalitida
kuntuk mengubah bentuk ketentuan Piagam ASEAN dari norma hukum internasional menjadi hukum
nasional,” kata Linggawaty.
Karenanyaiamembantahdalihpemohonyangmenyatakanbahwakesepakatanfreetradeareayangdidasarkanpada
PiagamASEAN.Sebab,AFTA,ASEAN-ChinaFreeTradeArea(ACFTA),ASEAN-IndiaTradeArea,ASEAN-
JapanFreeTrade Area,danASEAN-
Australia/NewZealandFreeTradeAreadibuatatasdasarperjanjianinternasionalsecaraterpisahsebelum
PiagamASEANberlaku.
Karenanya,kataLinggawaty,kalaupunnantinyaMKmembatalkanUUtentangratifikasiPiagamAseanmaka
perjanjian-
perjanjianFTAyangtelahditandatanganiIndonesiatetapberlakudanmengikat.Apalagi,lanjutnya,Pasal27Konvensi
WinayangmengaturtentangPerjanjianInternasionalmenegaskanbahwasuatupihaktidakdapatmenggunakanhuku
mnasionalnya sebagaialasanpembenarataskegagalannyamelaksanakanperjanjianInternasional.
“Menuruthukuminternasional,Indonesia
tidakdapatmenggunakanalasanpembatalanolehMahkamahsebagaialasanpembenaruntuktidakmelaksanakanP
asal1angka5
danPasal2ayat(2)hurufn.JikaMahkamahmengabulkanpermohonanini,Indonesiasecarahukumdalamposisiyan
gsangatsulit. KarenaitupasalitutidakbertentangandenganUUD1945,"tandasnya.
Sepertidiketahui,ujimateriUUNomor38Tahun2008
diajukanolehAliansiuntukKeadilanGlobaldiantaranyaInstituteforGlobalJustice,SerikatPetaniRakyat,Perkumpul
anINFID, Aliansi Petani Indonesia, FNPBI, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Migrant Care, Aktivis
Petisi 28, Asosiasi Pembela
PerempuanUsahaKecil,KoalisiAntiUtang,Salamuddin,DaniSetiawan,danHarisRusli.
13. Parapemoho
nmenganggappasal1ayat
(5)UUtersebutmengaturprinsippasartunggaldenganbasisproduksitunggalyangberartipelaksanaankesepakata
nperdagangan ASEANituharussama(homogen).Pasalitu
yangmenjadilandasanbagiASEANuntukmelakukanperdaganganbebasdengan negara-
negaradiluarkawasansepertiACFTA,ASEAN-KoreanFreeTradeAggreement,ASEAN-
AusralianFreeTradeAgreement.
Pemohonmenilai,
pemberlakuanPiagamASEANyangmenyangkutperdaganganbebasitumerugikanindustridanperdagangan
nasionalkarena Indonesia
harustundukdengansegalakeputusanyangdiambilditingkatASEAN.Karenaitu,parapemohon meminta MK
membatalkan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN karena dinilai
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945