Makalah ini disajikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Peradilan Agama Islam di Indonesia dan cocok untuk para pencari materi di lingkungan Peradilan Agama
Makalah Peradilan Agama di Indonesia Tentang Peradilan Agama Setelah lahirnya UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
1. MAKALAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
KELOMPOK 4
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA SETELAH LAHIRNYA
UU NO. 7 TAHUN 1989
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia
Dosen Pengampu : Dr. Hotnidah Nasution, M.A
Disusun Oleh :
1. Muhammad Rafi’i Irwanzah 11140440000033
2. Mei Diana Lara Kharisma 11140440000054
3. Ahmad Zulfi Aufar 11150440000003
4. Finza Khasif Ghifarani 11150440000020
HUKUM KELUARGA 6C
FAKULTAS SYARIAH dan HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
2. i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt karena berkat kuasanya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dan sholawat serta
salam kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kebodohan hingga zaman kebenaran.
Terima kasih kepada ibu Dr. Hotnidah Nasution, M.A yang telah memberikan
tugas agar kita dapat mengerti dan memahami tentang peradilan agama di Indonesia
lahirnya UU No. 07 Tahun 1989.
Tujuan penulisan ini untuk menginformasikan kepada pembaca tentang
peradilan agama di Indonesia lahirnya UU No. 07 Tahun 1989 dan untuk memenuhi
tugas yang diberikan oleh ibu Dr. Hotnidah Nasution, M.A. Semoga materi ini
dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi penulis dan umumnya untuk seluruh pembaca
sehingga tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Kami menyadari bahwa penulisan ini banyak kekurangan. Apabila ada
kesalahan pada tulisan ini kami sangat memerlukan kritik dan saran teman teman
kurang lebihnya mohon maaf.
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………….………………...... i
DAFTAR ISI………………………………………………………........ ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………………. 1
Rumusan Masalah ……………………………………………………… 2
Tujuan ………………………………………………………………….. 2
BAB II
Proses Perancangan UU No. 07 Tahun 1989 …….……………………. 3
Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989 ..…………………………………...…5
Perubahan Akibat Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989 …………………..13
BAB III
Penutup
Kesimpulan ........................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA …………..…………………..………...… 19
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa
yakni peratama, masa sebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada
waktu itu pemerintahan berbentuk kerajaan. Kedua, masa pemerintahan kolonial
Belanda. Ketiga, masa penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan
(1945-1974). Kelima, pasca kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun
1974.
Di Negara yang baru merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya
kehendak untuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah. Hukum
yang diwariskan kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan
alam kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh massyaraka dan
hukum penggantinya itu dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan
yang dialami masyarakat dalam negara itu.
Perkembangan peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna
perluasan dan terdapat penambahan dari berbagi aspek, dimulai dari aspek yang
berkenaan dengan kedudukan peradilan sampai kepada hukum acara yang dijadikan
sebagai landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, putusan dan penyelesaian
perkara.
Berbicara tentang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan
sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah
dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara.
Hukum Islam memiliki kedudukan sendiri dalam massyarakat disamping kebiasaan
adat penduduk yang tambah berkembang dalam masyarakat.
Lain dari pada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa
sebelum colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi pasang
surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam
5. 2
pengambilan keputusan. Sebagai salah satu perwujudan politik hukum yang
diambil oleh penguasa Negara melalui interaksi dikalangan elite politik nasional
perkembangan itu merupakan suatu perubahan yang memiliki makna perluasan
ataupun penambahan, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Aktualisasi perkembangan itu di uji dalam cakupan yang lebih luas yaitu
dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan sesuai kedudukannya.
Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini sebagai sarana menambah
pengetahuan sejarah perkembangan Peradilan Agama serta kedudukan serta
kewenangangnya pada saat itu di Indonesia yang diberi judul "Kedudukan
Kewenangan Peradilan Agama Lahirnya UU. No. 7 1989 tentang Peradilan Agama
dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam tatanan Masyarakat Majemuk".
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989?
2. Bagaimana Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
3. Apa saja yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan
informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada
umumnya tentang Peradilan Agama di Indonesia setelah lahirnya UU No. 07 Tahun
1989 dalam bahasan mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Perancangan UU No. 07 Tahun 1989
Bila kita membicarakan Peradilan Agama sebenarnya kita sedang
membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum
Islam di Tanah Air kita telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam diaut
oleh penduduk Nusantara ini. Setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri diberbagai
bagian kepulauan kita, kerajaan-kerajaan itu mendirikan lembaga peradilan untuk
menegakkan hukum Islam yang merupakan bagian agama Islam. Misalnya, sebagai
contoh: di Kerajaan Pasai, Kesultanan Aceh, Jambi, Palembang, Demak, Mataram,
dan Kerajaan-kerajaan Islam lain. Sejarah telah mencatat pula bahwa sebelum
Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai
kedudukan sendiri dalam masyarakat. Sebagai hukum berdiri sendiri, hukum Islam
yang berlaku bagi umat Islam itu tumbuh dan berkembang dalam masyarkat di
samping kebiasaan atau adat penduduk.
Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12
Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan
pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk
Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara
Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan Pembinaan HukumNasional
Departemen Kehakiman, beranggotakan unsur-unsur dari Mahkamah Agung
(Imam Anis Busthanul Arifin), Departemen Kehakiman (Santoso Poedjosoebarto),
BPHN (Nur Aini Barda’i, dan Wahiduddin Adam), Departemen Agama (Muchtar
Zarkasyi). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Ny.
Habibah Daud), Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (A. Wasit Aulawi dan
Asro Sosroatmodjo). Tim yang diketuai oleh Hakim Agung, kemudian diganti oleh
7. 4
Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama ini, berhasil
menyelesaikan tugasnya pada bulan Maret 1984 denga menyusun dua Rancangan
Undang-Undang yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama (yang terdri dari 204 pasal), dan rancangan Undang-Undang
tentang susunan dan kekuasaan Bada-badan Peradilan Agama (58 pasal). Jumlah
pasal dalam kedua Rancangan Undang-Undang tersebut telah disatukan dan
diringkaskan oleh tim lain menjadi Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
yang memuat hanya 108 pasal saja, rancangan yang tersebut terakhir inilah yang
diproses di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ada perbedaan
fundamental antara Rancangan Undang-Udang yang dibuat oleh Tim Inti tersebut
denga Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang sekarang ini, terutama
mengenai kekuasaan atau wewenang Pengadilan Agama. Masalah wewenang
Pengadilan Agama ini adalah masalah inti dalam Rancangan Undang-Undang
Peradilan Agama itu, karena ia merupakan jantung Pengadilan Agama perlu dicatat
bahwa setelah RUU ini menjadi undang-undang kelak banyak hal yang akan dicapai
dalam sistem hukum dan sistem peradilan nasional Indonesia. Diantaranya seperti:
(1) terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama yang disebut
dalam pasal 10 ayat (1) dan Pasal 12, dalam rangka melaksanakan Pasal 24 Undang-
Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; (2) terjadi pembaruan dan
pembangunan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan perangkat
hukum nasional dibidang peradilan agama sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional; (3) sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dala lingkungan Peradilan
Agama, Pengadilan Agama akan mampu secara mandiri melaksanakan keputusan-
keputusannya karena selain dari telah mempunyai hukum acara sendiri juga telah
mempunyai kelengkapan juru sita sebagai pelaksana putusan-putusannya; (4)
kedudukannya benar-benar (akan) sama dan sederajatnya dengan pengadilan-
pengadilan dalam lingungan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara; (5)
mempunyai wewenang yang sama di seluruh Indonesia; (6) terjadi unifikasi hukum
acara Peradilan Agama, yang memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian
hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; dan (7) lebih
8. 5
memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui
yurisprudensi yang akan dijadikan salah satu bahan baku dalam penyusunan dan
pembangunan hukum nasional.1
B. Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal
29 Desember 1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49
tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun
1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab itu adalah Ketentuan
umum, Sususnan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-
ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Disamping itu, dimuat
Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal.
Ketika itu gancarnya tantangan dan hambatan yang datang baik dari
perorangan maupun dari kelompok yang tidak menginginkan terwujudnya
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu menjadi undang-undang dengan
berbagai alasan bahkan tuduhan yang tidak berdasar, sejak dari Keterangan
Pemerintah mengenai RUU-PA itu disampaikan oleh Menteri Agama Rapat
Paripurna DPR tanggal 28 Januari 1989 sampai dengan akhir bulan Agustus 1989,
kehadiran Undang-Undang Peradilan Agama ini patutlah disyukuri. Selain
disyukuri, agaknya lahirnya undang-undang dimaksud dapat pula dipandang
sebagai amal jariah bersama penyelenggara negara dan warga negara yang telah
berupaya memenuhi kebutuhan dasar umat Islam dengan menyediakan sarana atau
fasilitas yang diperlukan umat Islam Indonesia untuk beribadah mematuhi ajaran
agamanya dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum islam yang
sidebutkan dalam Undang-Undanf Peradilan Agama.
Hukum Islam adalah bagian Agama Islam, dirumuskan dengan tepat oleh
orientasi terkemuka Christian Snouck Hurgronje “Islam is a religion of law in the
full meaning of the word”. Artinya, lebih kurang, Islam adalah agam hukum dalam
arti yang sebenarnya. Ini berarti bahwa agama Islam mengadung norma-norma
1
Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 92.
9. 6
hukum, baik kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Tuhan
Yang Maha Esa yang sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam
secara pribadi, maupun kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan
penyelenggara negara untuk dapat melkasanakan dengan sempurna, bermakna pula
bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak dapat diverai pisahkan. Dan kalau
kenyataan ini dihubungkan dengan kata-kata “Negara menjamin kemerdekaan
penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanyitu” seperti
yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, ini berarti pula bahwa negara
menjamin, dalam makna memberi kesempatan kepada pemeluk agama Islam
menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran agamanya. Hukum Islam
yang dimaksudkan adalah hukum perdata Islam yang disebutkan dalam Undang-
Undang Peradilan Agama itu, terbatas hanya pada hukum perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah menjadi bagian hukum positif di
Tanah Air kita. Bahkan kemudian wewenang sebagai Peradilan Agama, seperti
“Aceh” berkembang pada wewenang pidana.
Susunan kekusasaan Undang-undang Peradilan Agama yang disahkan dan
diundangkan itu terdiri dari 7 bab 108 pasal dengan sistematik sebagai berikut: Bab
1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai Susunan dan Kekuasaan Peradilan
Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan
Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan Penutup.
Bab 1 memuat ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat
kedudukan, dan pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Mengenai pengertian disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama
adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, terdiri dari (1) Pengadilan
Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan (2) Pengadilan Tinggi Agama yang
merupakan pengadilan tinggi banding. Tentang kedudukannya disebutkan bahwa
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu (yang
disebut dalam undang-undang itu). Pengadilan Agama berkedudukan di kota madya
10. 7
atau di ibu kota kabupaten, sedang Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di
ibukota provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan negara tertinggi. Pembinaan teknis peradilannya, karena itu, dilakukan
oleh Mahkamah Agung di bawah pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang
Lingkungan Peradilan Agama. Pembinaan organisasi adminitrasi, dan
keuangannya, seperti halnya dengan badan-badan peradilan lain, dilakukan oleh
Departemen Teknis, yaitu Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama.
Bab 2 mengatur tentang susunan pengadilan agama dan pengadilan, yakni
seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. Susunan
pengadilan tinggi agama terdiri bdari pimpinan, yaitu seorang ketua dan seorang
wakil ktua, hakim tinggi (agama) sebagai hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
Bagian kedua mengatur tentang syarta dan tata cara pengangkatan, pemberhentain
ketua, wakil ketua, hakim, panitera, dan juru sita peradilan agama.
Untuk dapat diangkat kedalamlain dari syara jabatan yang ada dalam
susunan pengadilan dalam lingkungan perdailan agama, seseorang harus memenuhi
syarat. Selain dari syarat-syarat umum yang berlaku bagi pengangkatan pegawai
negeri dan pegawai di badan-badan peradilan lain, untuk para pejabat di lingkungan
peradilan agama da syarat khusus yakni harus beragama Islam. Syarat ini tidaklah
dimaksudkan untuk mengadakan deskriminasi berdasarkan agama, tetapi
diperlakukan agar para pencari keadilan yang beragama Islam yang datang ke
peradilan agama itu merasa mantap hati dan perasaannya melaksanakan umum
berurusan dengan orang yang seagama dengan dia. Dan, karena sifat pekerjaan yang
khusus dilingkungan peradilan agama, kecuali dengan juru sita, syarat lain yang
ditentukan untuk dapat diangkat kedalam jabatan-jabatan itu adalah berijazah
sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasain hukum Islam. Bagian ketiga
mengatur tentang sekretaris yang memimpin sekretariat pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, panitera pengadilan merangkap sebagai sekretaris
pengadilan. Dalam melaksanakan kesekretariatan ia dibantu oleh wakil sekretaris
untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris baik di pengadilan agama maupun di
pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat tersebut
11. 8
diatas selain dari beragama Islam, untuk pengadilan agama ia harus berijazah
serendah-rendahnya sarjana muda syari’ah atau sarjana muda hukum yang
menguasain hukum Islam atau sarja muda administrasi. Untuk pengadilan agama,
berijazah syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.
Bab 3 mengatur kekuasaaan pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama. Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan; (b)
warisan wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan
sedekah. Dalam penjelasan Undang-undang Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat 1
diatas dinyatakan cukup jelas mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 1
menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan. Pasal 49 ayat (2) ini dalam
penjelasan diperinci lebih lanjut kedalam 202 butir 10 tentang penyelesaian harta
bersama baik karena perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan diluar sengketa. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) soal
harta bersama ini dirumuskan dengan jelas bersama dengan permohonan atau
gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah istri. Ini merupakan penting
dan mendasar kalau dibandingkan dengan keadaan selama ini dimana soal harta
bersama itu baru dapat dimajukan kemudian dan diselesaikan tidak oleh pengadilan
agama tetapi oleh pengadilan negeri. Menurut pasal 49 ayat (3) kewenangan
pengadilan agama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasar 49 ayat (1) huruf
B sebelumnya, adalah mengenai penentuan, siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penetuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris
dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Dengan demikian,
kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta sebagian bekas residensi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mengenai perkara-perkara kewarisan
yang dicabut oleh pemerintah Belanda pada tahun 1937, melalui undang-undang ini
dikembalikan lagi menjadi wewenang agama, sehingga kewenangan agama Madura
dan di sebagian Kalimantan Selatan dan Timur itu disamakan dengan kewenangan
Pengadilan Agama di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pasal 49 ayat (3) dan
12. 9
penjelasan pasal demi pasal dinyatakan cukup jelas. Hanya, dalam penjelasan
umum disebutkan bahwa para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang digunakan oleh dalam pembagian warisannya.
Mempertimbangkan untuk memilih hukum yang digunakan dalam pembagian
warisan adalah mempertimbangkan kemaslahatan ahli waris. Dalam pertimbangan
kemaslahatan ahli waris sebelum berperkara, hukum Islam membuka peluang bagi
ahli waris untuk berdamai, bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam
menentukan perolehan masing-masing berdasarkan kerelaan, keikhlasan, dan
kekeluargaan.
Hukum acara diatur dalam Bab 4 Undang-Undang Peradilan Agama. bagian
pertama mengatur hal-hal yang bersifat umum. Diantaranya disebutkan bahwa
hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama, disebutkan
dalam bagian kedua yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan (a)
cerai talak yang datang dari pihak suami; (b) cerai gugat yang datang baik dari pihak
istri maupun dari pihak suami; dan (c) dengan alasan zina.
Kalau diperhatikan proses pemeriksaan sengketa perkawinan di Pengadilan
Agama jelas bahwa undang-undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan
kedudukan wanita dengan memberikan hak yang sama kepada istri dalam
megajukan gugatan serta melakukan pembelaan di muka pengadilan. Untuk
melindungi pihak istri, misalnya gugatan perceraian yang diajukan pada suaminya
(tergugat) tidak harus ditujukan ke pengadilan di daerah hukum kediaman tergugat
seperti yang telah menjadi prinsip dalam hukum acara perdata umum, tetapi dalam
hukum acara perdata peradilan agama ini gugatan itu ditujukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri (penggugat) bersangkutan.
Sementara itu perlu dicatat pula bahwa di bagian Bab 5 ini disebutkan: tiap
penetapan dan putusan peradilan agama dimulai dengan kalimat
bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kata-kata demi keadilan berdasarkan
13. 10
Ketuhanan Yang Maha Esa. Penyebutan kata-kata bismillahirrahmanirrahim pada
setiap penetapan dalam putusan peradilan agama itu, selain dari menunjukkan ciri
khusus pelaksana kekuasaan kehakiman yang satu ini, kata-kata itu juga dapat
dihubungkan langsung engan kata-kata “atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa” yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, kata-kata
itu mempunyai fungi dan makna tersendiri bagi hakim dan para pejabat di
lingkungan peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya. Melalui kalimat
pendek yang mencakup maknanya itu, mereka diingatkan agar selalu teliti dan hati-
hati bekerja, sebab semua (isi) penetapan dan putusan yang mereka buat dan
laksanakan yang diawali dengan asma (nama) Allah itu, sesungguhnya berada
dalam titikan Allah mengetahui, maha adil dan bijkasana yang pasti, menurut
keyakinan seorang muslim, akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Bagian lain yakni bagian ketiga Bab 4 ini menyebut soal biaya perkara yang diatur
oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan asas
peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Bab 5 menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan,
pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-
masing. Dalam bab ini disebut dengan jelas tugas juru sita untuk (a) melaksanakan
semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang; (b) menyampaikan pengumuman-
pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan penetapan atau putusan
pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang; (c)
melakukan penyitaan atas perintah ketua pengadilan; (d) membuat berita penyitaan,
yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Juru
sita Pengdilan Agama berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan
yang bersangkutan.
Juru sita, tidak ada dalam urusan peradilan agama ini, sehingga dalam
melaksanakan putusannya yang tidak mau dilaksanakan oleh para pihak, terutama
oleh mereka yang kalah, pengadilan agama selalu bergantung pada pengadilan
negeri. Dengan kata lain, karena tidak ada juru sita dalam tubuhnya sendiri, putusan
pengadilan agama tidak dapat dilaksanakannya sendiri, tetapi harus “minta”
14. 11
persetujuan untuk dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri. Persetujuan ini, dalam
kepustakaan hukum Indonesia, disebut dengan fiat eksekusi. Karena ketiadaan juru
sita itu pula, maka setiap putusan pengadilan agama di bidang perkawinan selama
ini perlu dikukuhkan oleh pengadilan umum atau pengadilan negeri. Dengan
Undang-undang Peradilan Agama ini, ketergantungan pengadilan agama kepada
pengadilan negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan Madura,
diakhiri melalui undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan
ketergantungan peradilan agama kepada peradilan umum, telah terhapuskan. Kini,
peradilan agama tidak lagi seakan-akan “peradilan semu”, tetapi telah benar-benar
menjadi peradilan mandiri.
Bab 6 mengenai ketentuan peralihan. Dalam bab ini disebutkan antara lain
bahwa (1) semua badan peradilan agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan
peradilan agama menurut undang-undang ini. Di seluruh Indonesia, peradilan
agama itu berjumlah 321 buah, terdiri dari 303 pengadilan agama dan 18 pengadilan
tinggi agama. ketentuan peradilan ini menyatakan pula bahwa (2) semua peraturan
pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan agama dinyatakan tetap berlaku
sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan selama
ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan.
Bab 7 tentang ketentuan penutup. Dalam bab terakhir ini ditegaskan bahwa
pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan agama, semua peraturan
tentang peradilan agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi
Kalimantan Selatan dan Timur, dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia,
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, terciptalah pula kesatuan hukum
yang mengatur peradilan agama diseluruh Indonesia, sebagai penerapan wawasan
Nusantara. Di samping itu, dinyatakan juga bahwa aturan mengenai pengukuhan
yang disebut dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tidak berlaku
lagi. Disebutkan pula dalam ketentuan penutup bahwa pembagian harta
peninggalan diluar sengketa antar orang-orang beragama Islam yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, diselesaikan (juga) oleh pengadilan agama dengan
15. 12
disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, perubahan penting dan mendasar
terjadi dalam lingkungan peradilan agama. Diantaranya:
1. Perdailan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya telah
sejajar dan sederajat dengan peradilna umum, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara.
2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara peradilan agama
telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum
acara peradilan agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan
kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan
agama.
3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan antara lain
memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses membela
kepentingannya dimuka pengadilan agama.
4. Lebih menatapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam
melalui yurisprudensi sebagai salah satu bahan dalam penyusunan dan
pembinaan hukum nasional.
5. Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman, terutama yang disebut pada Pasal 10 ayat (1)
mengenai kedudukan pengadilan agama dan pasal 12 tentang susunan,
kekuasaan, dan (hukum) acaranya.
6. Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan Bhinneka
Tunggal Ika dalam bentuk Undang-Undang Peradilan Agama.
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Wakaf sebagai satu lembaga keagamaan dapat digunakan sebagai sarana
pengembangan kehidupan beragama dalam rangka mencapai
kesejahteraan masyarakat;
16. 13
2. Wakaf bisa dengan waktu selamanya dan boleh pula dengan jangka
waktu tertentu;
3. Pada dasarnya wakaf tidak boleh diubah atau diganti, kecuali dalam
keadaan tertentu dengan prosedur yang dibenarkan peraturan
perundangan; dan
4. Dalam hal penyelewengan benda wakaf dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 2004 tentang wakaf terdapat ketentuan-ketentuan Pidana yang
lebih rinci. 2
C. Perubahan Akibat Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989
Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang
penyelenggaraan PADI, yaitu:
1. Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan PADI.
2. Perubahan tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional.
3. Perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama.
4. Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI.
5. Perubahan tentang hukum acara peradilan agama.
6. Perubahan tentang administrasi peradilan agama.
7. Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Perubahan pertama tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan.
Sebelum UU Nomor 7 tahun 1989 berlaku, dasar penyelenggaraan peradilan
beraneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan
sebagian produk pemerintah Republik IIndonesia. Dasar hukum itu meliputi
berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatblad
Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610)
2
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 102
17. 14
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
Sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad. Tahun
1937 Nomor 638 dan 639).
3. Peraturan Pemeritah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
4. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(Lembaran
Negara tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lebaran Negara Nomor 3019).
Sejak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 semua peraturan perundang-
undangan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, maka
penyelenggaraan PADI didasarkan pada peraturan yang sama atau seragam.
Penyeragaman itu dilakukan sebagai upaya penerapan konsep Wawasan Nusantara
di bidang hukum, dan sebagai pelaksanaan politik hukum nasional sebagaimana
diamanatkan di dalam GBHN. Penyeragaman tersebut juga dilakukan untuk
mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 Jo.
UU Nomor 35 Tahun 1999.
Perubahan kedua tentang kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU
Nomor 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum. Hal itu tercermin dengan adanya pranata pengukuhan
putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU Nomor 7
Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sejajar
dengan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya, khususnya dengan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan pengukuhan putusan
Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63
Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dicabut. Dengan demikian,
Pengadilan Agama memiliiki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri
yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru di dalam
susunan organisasi Pengadilan Agama.
18. 15
Perubahan ketiga tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15
ayat (1), Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara
atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang
sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum dan hakim dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam menjalankan tugasnya, hakim
memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas dari pengaruh pemerintah
dan pengaruh pihak lainnya.
Perubahan keempat tentang wewenang pengadilan. Menurur ketentuan
pasal 49 ayat (1), “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan Shadaqah”. Hal itu
menunjukkan bahwa wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di
Jawa-Madura dikembalikan sebagaimana wewenang yang berlaku sebelum tahun
1937. Dengan perkataan lain, wewenang pengadilan tersebut “lebih luas”
dibandingkan dengan masa sebelumnya (1937-1989). Sedangkan wewenang
Pengadilan Agama yang lainnya tidak mengalami perubahan. Namun demikian,
menurut PP Nomor 45 Tahun 1957 wewenang tersebut (selain perselisihan antara
suami dan istri) berhubugan dengan “hukum yang hidup” diputus menurut hukum
agama Islam. Kini, pengganti “hukum yang hidup” itu adalah hukum Islam
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Umum UU tersebut.
Perubahan kelima tentang hukum acara. Menurut ketentuan pasal 54,
hukum acara yang berlau pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini. Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum tertulis,
disamping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam UU Nomor 7
Tahun 1989. Kekhususan itu meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan
alasan zina, dan biaya perkara. Sebelum berlakunya UU tersebut, hukum acara yang
19. 16
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama tersebar dalam
berbagai sumber, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.3
Ketentuan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru
disebutkan secara tegas sejak disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Hukum acara yang dimaksud dalam ketentuan Bab IV
terdiri atas 37 pasal. Meskipun tidak semua ketentuan tentang Hukum Acara
Peradilan Agama yang dimuat dalam Undang-undang ini, tetapi hal tersebut dapat
dilihat dalam pasal 54 yang menjelaskan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang ini.” Oleh karena itu, disamping Hukum Acara Perdata yang
diatur dalam HIR dan RB.g, terdapat pula beberapa pasal atau ketentuan lainnya
yang berisi Hukum Acara Perdata berupa pasal-pasal, seperti yang tercantum dalam
Bab IV tersebut4
Perubahan keenam tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua jenis administrasi,
yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum. Jenis pertama berkenaan
dengan adminintrasi perkara dan teknis yudisia; sedangkan jenis kedua berkenaan
dengan administrasi kepegawaian, keuangan dan umum. Oleh karena itu, di
pengadilan terdapat dua jenis jabatan pengelola kedua jenis adminitrasi itu dikelola
oleh Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Secara khusus,
administrasi peradilan dikelola oleh wakil Panitera, sedangkan administrasi umum
dikelola oleh Wakil Sekretaris. Sebelum berlakunya UU tersebut administrasi pada
pengadilan bercorak tunggal, dan dikelola oleh Panitera Kepala.
Perubahan ketujuh tentang perlindungan terhadap wanita. Menurut
Penjelasan Umum UU itu, “Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian
3
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 125
4
Ade Rosadi, Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum, (Bandung:
Simbiosa Pratama Media, 2015), hlm. 65
20. 17
dalam Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat”. Dalam ketentuan
sebelumnya digunakan Pasal 20 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu “Gugatan
perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasaya kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat”. Ketentuan itu tidak berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; dan tidak pula dihapuskan. Ia
masih tetap berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilam Umum. 5
5
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 125.
21. 18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
- Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal
12 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai
pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal
tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan dan
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama
serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama.
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal
29 Desember 1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI
Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400. Isi
UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Dengan
sistematik sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3
mengenai Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara,
Bab 5 Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan Peralihan, dan Bab 7
Ketentuan Penutup.
- Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan
tentang penyelenggaraan PADI, yaitu: perubahan tentang dasar hukum
penyelenggaraan padi, perubahan tentang kedudukan padi dalam tata
peradilan nasional, perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama,
perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan padi, perubahan
tentang hukum acara peradilan agama, perubahan tentang administrasi
peradilan agama, perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
22. 19
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Djalil, Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Rosadi, Ade. 2015. Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum.
Bandung: Simbiosa Pratama Media.