SlideShare a Scribd company logo
1 of 28
DAMPAK DAN AKIBAT HUKUM PENERTIBAN TANAH
KELEBIHAN MAKSIMUM, TANAH ABSENTEE, DAN TANAH
TERLANTAR
Disusun dalam rangka memenuhi tugas
MAKALAH
SOSIOLOGI HUKUM
Oleh:
Nama: Nursiah
NIM: 1908018024
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
FAKULTAS HUKUM
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan petunjukNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Sosiologi Hukum berjudul “Dampak dan Akibat Hukum Penertiban Tanah
Terlantar, Tanah Absentee, dan Tanah Kelebihan Maksimum.”
Penulis menyadari, keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih
kepada Dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi Hukum dan seluruh rekan-rekan
mahasiswa program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Mulawarman atas
segala kontribusinya.
Akhir kata, penulis memohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang memerlukan.
Samarinda, Oktober 2019
PENULIS
N U R S I A H
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….............. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………
B. Rumusan Masalah dan Tujuan ……………………………………
C. Metode Penulisan …………………………………………………
1
9
9
BAB II PEMBAHASAN
A. Tinjauan Teoritis Penulisan ….........................................................
B. Dampak Sosial Penertiban ….……………………………………..
C. Akibat Hukum Penertiban …………………………………………
10
21
23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………..
B. Saran ………………………………………………………………
24
24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir mengawali reformasi agraria di negeri
ini pasca kemerdekaannya. Tanah partikelir merupakan tanah yang oleh
penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan
disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni berkuasa atas
tanah beserta orang-orang di dalamnya. Penguasaan semacam itu membuat
tanah partikelir seperti negara dalam negara, sebab penguasanya dapat hak
mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang
pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. 1 Dua tahun
berikutnya, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang sering disebut UUPA.
Setelah 15 tahun lamanya dirumuskan, UUPA akhirnya menjadi
fondasi utama dilakukannya perubahan mendasar sistem penguasaan dan
pengelolaan tanah di negara ini. UUPA meletakkan landasan hukum
berkenaan dengan redistribusi penggunaan tanah yang dianggap
monumental sekaligus revolusioner. UUPA antara lain mengatur
pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara
1 Hendri F. Isnaeni, Reforma Agraria. Konflik Agraria Terjadi Karena UUPA Tidak
Dijalankan.Diakses dari https://historia.id pada 01 Oktober 2019 pukul 20.00 Wita.
untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga
negara asing tak punya hak milik.
Atas dasar pengaturan di UUPA kemudian dibentuk Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian yang disahkan dengan UU Nomor 1 Tahun
1961. Reformasi agraria kemudian dilanjutkan dengan lahirnya Peraturan
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian. Pengaturan tersebut untuk mendukung
program redistribusi tanah untuk meminimalisasi konflik.2 Tanah-tanah
berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan, setelah diberikan ganti
rugi, selanjutnya dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah.
Kemudian lahir Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah. Pengaturan tersebut untuk mengetahui dan memberi
kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah.
Beberapa tahun setelah reformasi agraria dijalankan, tepatnya pada
1965, Pemerintah Indonesia berganti rezim. Program reformasi agraria yang
dijalankan negara, yang sesungguhnya dirumuskan sebagai dasar
pembangunan Indonesia, harus menghadapi hambatan terbesarnya segera
setelah rezim militer Soeharto berkuasa. Pemerintah Orde Baru membawa
perubahan besar pada politik agraria. Berbeda dengan rezim sebelumnya
yang memiliki pandangan politik agraria ‘tanah untuk rakyat’ (land for the
people) dan ‘tanah untuk petani penggarap’ (‘land to the tiller’) yang
2 Ibid.
dijalankan melalui program land reform.3 Argumentasinya, orientasi politik
agraria rezim Orde Baru cenderung mendukung investasi-investasi skala
besar. Penyediaan lahan dalam skala besar untuk kepentingan modal dalam
negeri maupun luar negeri menjadi prioritas. Penguasaan tanah dinilai
menjadi komoditas ekonomi yang bertentangan dengan ketentuan dalam
UUPA yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial.
Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, reformasi
agraria diawali dengan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7
ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan
sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan
menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam
rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah,
koperasi dan masyarakat luas. TAP MPR tersebut ditindaklanjuti dengan
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian
Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam rangka
Pelaksanaan Landreform.
Pada tahun 2001, MPR membentuk TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang
mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di
3 Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Enam Dekade Ketimpangan. Masalah
Penguasaan Tanah di Indonesia, Agrarian Resource Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Bandung,2011, hlm. 6-7.
Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan Yang
Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Di antara arah kebijakan
reformasi agraria di Era Reformasi adalah melaksanakan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform)
yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
Arah kebijakan tersebut merupakan yang paling esensial dalam mencapai
tujuan reformasi agraria.4
Dalam pelaksanaanya, redistribusi tanah sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan landreform terkendala sejumlah masalah. Sebagai contoh yang
terjadi di Kalimantan Selatan.5 Program redistribusi tanah untuk pertanian
belum dikenal masyarakat dan penerima program ini masih belum tepat
sasaran. Selain itu tanah yang diredistribusi di Kalimantan Selatan adalah
tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Implementasi redistribusi lahan
pertanian dari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah
terlantar tidak terlaksana. Karena objek program redistribusi tanah hanya
berasal dari dari tanah yang dikuasai negara, maka luas tanah yang diterima
4 Oswar Mungkasa, Reforma Agraria. Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin
Agraria Indonesia, Edisi I, 2014, hlm. 6-8.
5 Fathul Achmadi Abby, et. al., Target and Mastery Lands of The Scop of Land
Agricultural Land Redistribution in the Province of South Kalimantan, Lambung Mangkurat Law
Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2017, hlm. 9-10.
petani kurang dari 2 hektare, bahkan ada yang menerima hanya 0,5 hektare.
Hasilnya berdampak pada kurang terpenuhinya kesejahteraan petani.
Faktanya, pelaksanaan reformasi agraria tidak mudah, bahkan setelah
Pemerintah membentuk Peraturan Presiden (Prepres) Nomor 86 Tahun 2018
tentang Reforma Agraria. Pemerintah Indonesia di bawah kekuasaan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesulitan dalam melaksanakan Program
Reforma Agraria karena permasalahannya begitu kompleks. Kompleksitas
tersebut menyangkut jumlah lahan yang akan dijadikan objek reforma
agraria. Di awal pemerintahan, terdapat tanah seluas 9 juta hektare yang bisa
dijadikan objek reforma agraria, namun ketika diimplementasikan, ternyata
tanah yang rencananya dijadikan sebagai objek reforma agraria sudah tidak
ada lagi.6
Penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah jika dimaknai secara ideal dan implementatif adalah
penertiban atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di antaranya
adalah penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah
terlantar. Karena praktik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah memiliki hubungan hukum, maka pelaksanaan
penertiban sebagai implementasi reforma agraria dapat memberikan
dampak sosial dan akibat hukum.
6 Pemerintah Kesusahan Jalankan Reforma Agraria, CNN Indonesia. Diakses dari
https://www.cnnindonesia.com pada 01 Oktober 2019 pukul 22.00 Wita.
B. Rumusan Masalah dan Tujuan
Rumusan masalah penulisan ini dituangkan dalam bentuk pertanyaan
apakah dampak sosial dan akibat hukum penertiban penguasaan atas tanah
negara sebagai tindaklanjut reformasi agraria?
C. Metode Penulisan
Berdasarkan cara perumusannya, jenis penelitian dalam karya ilmiah
ini adalah penelitian normatif dengan metode studi pustaka. Sumber datanya
adalah peraturan perundangan tentang agraria dan reformasi agraria, serta
berbagai penelitian terkait sebagai sumber sekunder.
Metode analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, dalam hal ini literatur berupa hasil penelitian,
karya ilmiah, buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan rumusan masalah penelitian. Sumber data tersebut kemudian dibaca,
dipelajari, dan telaah untuk kemudian direduksi dengan cara membuat
abstraksi atau rangkuman inti yang konsistensi eksistensinya dalam
penyajian data perlu dijaga. Langkah selanjutnya adalah menyusun hasil
abstraksi dalam satuan-satuan untuk kemudian dikategorisasi. Data yang
sudah dikategorisasi kemudian diperiksa dan disajikan pada tinjauan
pustaka (literature review) sebagai penegasan untuk menjadi jawaban atas
rumusan masalah. Hasil analisa data lainnya akan disajikan kemudian untuk
kemudian ditafsirkan dengan metode deskripsi analitik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Teoritis Penertiban
Definisi Penertiban
Penertiban berasal dari kata dasar tertib yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) berarti teratur; menurut aturan; rapi. Sedangkan
penertiban merupakan kata benda memiliki arti proses, cara, perbuatan
menertibkan.7 Dalam konteks reformasi agraria, penertiban yang dimaksud
adalah untuk menata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah yang pada keadaan tertentu dicabut hak atas penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya sehingga dapat dibagikankembali ke
masyarakat lain yang berstatus miskin untuk tujuan pemerataan dan
keadilan.8
Dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria (Perpres No. 86/2018), redistribusi tanah disebut sebagai bentuk
penataan aset dalam tahapan pelaksanaan reforma agraria. Ada sebelas
obyek redistribusi tanah, di antaranya adalah tanah negara bekas tanah
terlantar, serta tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang masih
tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek
redistribusi tanah.
7 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id pada 02 Oktober 2019 pukul 10.15 Wita.
8 Supriadi, Redistribusi Tanah Negara Objek Landreform Dalam Mendukung Program
Reforma Agraria di Kabupaten Sumbawa,Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 3 Nomor 2,
Agustus 2015, hlm. 367-368.
Sedangkan terma tanah merupakan kata benda berarti permukaan
bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; keadaan bumi di suatu tempat;
permukaan bumi yang diberi batas; daratan; permukaan bumi yang terbatas
yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu negara atau menjadi
daerah negara; negeri; negara; bahan-bahan dari bumi; bumi sebagai bahan
sesuatu (pasir, napal, cadas, dan sebagainya); dasar (warna, cat, dan
sebagainya).9
Boedi Harsono berpendapat10, secara yuridis tanah berarti permukaan
bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Menurut Rosmidah11 , tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang
dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau
dimanfaatkan. Sehingga diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-
hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada
tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun pasti
diperlukan juga penggunaan sebagian yang ada di bawahnya dan air serta
ruang yang ada diatasnya. Oleh karena itu bahwa hak-hak atas tanah bukan
hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh
bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.
9 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan.Loc.Cit.
10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid I. Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.
18.
11 Rosmidah, Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif,
Volume 6 Nomor 2, 2013, hlm.64.
Bagi Heru Nugroho12, tanah memiliki makna multidimensional, pertama, dari
sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan
kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam
pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya yang dapat menentukan
tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena
berurusandenganw arisan danmasalah-masalah transendental. Karena maknanya yang
sangat penting itu, maka wajar jika pemerintah dalam berbagai kebijakan berupaya
untuk mengatur pemanfaatan, peruntukan dan penggunaan tanah demi kemaslahatan
umat manusia di Indonesia.
Tanah Terlantar
Definisi tanah terlantar tidak disebutkan dalam PP Nomor 11 Tahun
2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP
No.11/2010). Tetapi penjelasannya tertuang pada Pasal 1 angka 6 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun
2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah
tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar
penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya. Supriyanto mendefinisikan tanah
terlantar sebagai tanah yang pernah dibuka, dikerjakan oleh
pemilik/penggarapnya sampai 1 kali atau 2 kali panen, kemudian
12 Heru Nugroho, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak -Hak Atas
Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 99.
ditinggalkan oleh pemiliknya dalam waktu tertentu sampai menjadi hutan
kembali. Secara yuridis kemudian tanah ini kembali pada hak ulayatnya.13
Pada Pasal 2 PP No.11/2010, disebutkan bahwa yang termasuk
sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh
Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Tanah yang tidak termasuk sebagai obyek penertiban tanah terlantar
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No.11/2010 adalah tanah Hak Milik
atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya,dan tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun
tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik
Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Tanah Absentee
Kata absentee berasal dari kata latin absentee atau absentis, yang
berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M.Echlos
dan Hasan Sadily, absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di
tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu,
tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat. Dalam KBBI, tanah yang
13 Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundangan di Indoneia,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1, Januari 2010, hlm. 52
pemiliknya bukan penduduk daerah bersangkutan disebut tanah guntai atau
absente.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana
telah diubah dengan PP No. 41 Tahun 1964, mengatur bahwa pemilik tanah
pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya,
dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada
orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan
letak tanah tersebut.
Ketentuan dalam UUPA terutama pada Pasal 10, pada prinsipnya
mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu
hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan. Menurut Dewi, pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya
adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah absentee umumnya
bertempat tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah
pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian
untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan termasuk
kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee
adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian
besar dapat dinikmatioleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan,
bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.14
Astutiningsih berpendapat bahwa larangan tanah absentee
sebagaimana diatur dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No.
41/1964, merupakan tindaklanjut dari ketentuan pada Pasal 7, 10, dan 17.
Maksudnya agar petani bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah
pertanian miliknya, sehingga produktivitasnya bisa tinggi dan melenyapkan
pengumpulan tanah di tangan segelintir tuan-tuan tanah.15 Sementara Boedi
Harsono menyatakan bahwa tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil
yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati
oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena
pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Pemilikan tanah
pertanian secara absentee ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien,
misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan
hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini berarti
bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh
tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima
sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada
jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung
14 Ariska Dewi, Tesis Magister Kenotariatan: Ariska Dewi, Peran Kantor Pertanahan
Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas, Universitas
Diponegoro, Malang, 2008, hlm. 26.
15 Anastasia Apsari Astutiningsih dan Isharyanto, Peran Kantor Pertanahan Dalam
Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Sukoharjo, Jurnal Repertorium,
Volume 5 Nomor 1, 2018, hlm. 4.
segala resiko dan tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan
bagian lebih besar dari hasil tanahnya.16
Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat
letaknya tanahnya. Sesuai ketentuan Pasal 3 PP No. 224/1961 sebagaimana
diubah PP No. 41/1964, larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik
yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan
tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dan
tanahnya, masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut
secara efisien. Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini
adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan
dalam pasal ini termasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau
dwingend recht. 17 Jadi siapapun dalam hubungan dengan masalah
pemilikan tanah absentee harus tunduk kepada aturan tersebut. Terlebih lagi
terdapat ketentuan pada Pasal 19 yang menyebutkan sanksi pidana kepada
pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi
pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya.
Ada beberapa pengecualian atas penerapan tanah absentee, pertama,
sesuai pasal 3 PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964, ada
tiga pihak yang mendapatkan pengecualian kepemilikan atas tanah
absentee: (a) Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang
berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak
16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Djambatan, Jakarta, 2006, hlm. 385.
17 Ariska Dewi, Op. Cit., hlm. 28.
antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan untuk
mengerjakan tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia
landreform daerah kabupaten/kota; (b) Mereka yang sedang menjalankan
tugas negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus
lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria; (c) Bagi pegawai-pegawai
negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka
yang sedang menjalankan tugas negara.18 Pengecualian lainnya diberikan
kepada pensiunan pegawai negeri sesuai ketentuan PP No. 4 Tahun 1977
tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para
Pensiunan Pegawai Negeri. Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara
guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk daerah kabupaten/kotayang
bersangkutan, diberikan kepada pensiunan pegawai negeri dan janda
pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak
menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai
negeri.19
Tanah Kelebihan Maksimum
Pasal 7 UUPA mengamanatkan bahwa untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan. Selanjutnya di dalam Pasal 17 bahwa untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) UUPA diatur luas
maksimum dan atau minimum tanah yang dapat dipunyai dengan sesuatu
18 Ni Made Asri Alvionita, et.al., Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el), Jurnal
Hukum Kenotariatan, Volume 3 Nomor 1, 2018, hlm. 81-82.
19 Ariska Dewi, Loc. Cit.
hak oleh seseorang sehingga dapat memperoleh penghasilan yang cukup
untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Tanahtanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum tidak akan disita tetapi akan
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian dan selanjutnya tanah
tersebut akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Luas
maksimum dan minimum dimaksud ditetapkan dalam Perpu 56/1960 yang
kemudian dipertegas dalam Peraturan Kepala BPN (Perka BPN) Nomor 18
Tahun 2015 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian.
Pasal 3 UU 56/1960, mewajibkan pemilik tanah pertanian yang
melebihi batas maksimum untuk melapor dalam waktu 3 bulan, Selanjutnya
Pasal 4 Perpu 56/1960 mengatur bahwa orang atau orangorang sekeluarga
yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas
maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau
sebagian tanah tersebut. Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) tetap efektif dalam
menata dan mengembangkan kerangka hukum, politik dan kebijakan
pertanahan kedepan (Reforma Agraria), khususnya untuk mencegah
terjadinya kembali konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah, dengan
perkataan lain, untuk mencegah timbulnya tanah-tanah kelebihan dari batas
maksimum baru.
Perpu No 56 Tahun 1960, pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai
berikut: (a) penetapan batas maksimum yang dapat dimiliki oleh keluarga;
(b) penetapan batas minimun yang dapat dimiliki oleh keluarga; (c) larangan
pemindahtanganan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum;
(d) pengembalian tanah-tanah gadai kepada pemiliknya; (e) pemberian
sanksi bagi pelanggar ketentuan.
Bentuk Penertiban
Kunci dari penertiban tanah absentee dan tanah kelebihan
maksimum diatur dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No.
41/1964. Sedangkan penertiban tanah terlantar PP Nomor 11 Tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP No. 11/2010).
Status tanah yang telah ditertibkan, baik tanah absentee, tanah kelebihan
maksimum maupun tanah terlantar adalah langsung dikuasai oleh negara.
Berdasarkan Perpres No. 86/2018, tanah yang berasal dari tanah absentee,
tanah kelebihan maksimum, dan tanah terlantar menjadi objek reforma
agraria yang dapat dibagikan kembali kepada masyarakat untuk keperluan
pertanian.
Dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964
mengatur sejumlah ketentuan tentang larangan memiliki tanah absentee dan
kelebihan maksimum. Pemilik tanah diberikan waktu untuk
mengalihkannya kepada orang lain, jika sampai batas waktu yang telah
ditentukan belum dilakukan, maka pemerintah dapat mengambil alih
dengan terlebih dahulu memberikan ganti rugi. Setelah diberikan ganti rugi,
tanah tersebut diredistribusikan.
Sedangkan dalam PP No. 11/2010 dan peraturan turunannya,
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar (Perka BPN No.
4/2010), penertiban dilakukan dalam beberapa tahap, mulai dari
inventarisasi, identifikasi dan penelitian, peringatan, dan penetapan. Setalah
tanah ditetapkan terlantar dan status hukumnya menjadi dikuasai langsung
oleh negara menjadi objek redistribusi. Pada saat ditetapkan menjadi tanah
terlantar, pemerintah menetapkanya dengan keputusan yang menyatakan
bahwa hak atas tanah tersebut menjadi hapus, sekaligus memutuskan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara.
Dian Aries Mujiburohman mengemukakan sejumlah pendapat
tentang proses penertiban tanah yang menjadi objek redistribusi tanah.20 Ia
mengemukakan tentang akhir dari proses penertiban itu adalah pembagian
tanah untuk tujuan keadilan dan pemerataan atas sumber penghidupan
masyarakat tani. Tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya
dibagi-bagikan kepada para petani yang membutuhkan itu tidak disita,
melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian, kecuali untuk
tanah terlantar.
Kedala Penertiban
Program Reforma Agraria yang telah dijalankan pemerintah di bawah
kekuasaan Presiden Joko Widodo belum berjalan optimal. Redistribusi
tanah dari objek tanah yang berasal dari tanah absentee, kelebihan
maksimum dan tanah terlantar tidak terealisasi, seperti halnya dipaparkan
Fathul Achmadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya terkait
20 Dian Aries Mujiburohman, Problematika Pengaturan Tanah Negara Bekas Hak Yang
telah Berakhir,Jurnal Bhumi, Vol. 2 No. 2, November 2016, hlm. 153-154.
implementasi program Reforma Agraria di Provisi Kalimantan Selatan.
Salah satu sebab tidak adanya realisasi redistribusi tanah dari objek tanah
yang berasal dari tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar
adalah ketiadaan data terkait kesemua objek tanah tersebut.21
Berdasarkan informasi dari Direktorat Penataan Agraria Kementerian
Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional, hingga akhir
2017, telah melakukan legalisasi aset tanah transmigran sebanyak 20.252
bidang, legalisasi aset 6,207 juta bidang, dan redistribusi tanah sebanyak
262.189 bidang tanah. Namun masih ada sejumlah permasalahan teknis
yang menjadi kendala, di antaranya adalah ketiadaan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan kurangnya koordinasi pemerintah daerah dengan
masyarakat.22 Data lainnya menyebutkan bahwa objek redistribusi tanah
yang presentase realisasinya besar adalah dari bekas Hak Guna Usaha
(HGU) dan eks tanah hasil pelepasan kawasan hutan.23
B. Dampak Sosial Penertiban
Objek penertiban tanah absentee, kelebihan maksimum, dan tanah
terlantar cenderung mengarah pada bidang tanah yang telah melekat di
atasnya hak atas tanah, seperti hak milik yang telah didaftarkan ke Badan
Pertanahan Nasional dan bersetifikat hak milik. Sementara tanah yang
masih berstatus belum hak milik yang alasnya, baik berupa surat pernyataan
21 Fathul Achmadi Abby, et. al., Op.Cit., hlm. 28.
22 Tane Hadiyanto, Program Reforma Agraria Masih Terkedala, diakses dari
https://nasional.kontan.co.id pada 03 Oktober 2019 pukul 15.00 Wita.
23 Efrem Siregar, Program Jokowi Soal Bagi-BagiTanah Baru Tercapai 65%,diakses dari
https://www.cnbcindonesia.com pada 03 Oktober 2019 pukul 15.15 Wita.
penguasaan yang diketahui oleh Kepala Desa atau Camat, maupun
berdasarkan Surat Keterangan Tanah atau Surat Keterangan Penguasaan
Tanah atau semacamnya yang diterbitkan Kepala Desa maupun Camat,
belum menjadi objek prioritas dalam penertiban.
Padahal tanah yang dikuasai berdasarkan Surat Pernyataan
Penguasaan ataupun Surat Keterangan Tanah dari Kepala Desa/Camat
jumlahnya jauh lebih banyak. Hampir tidak ada sejengkalpun tanah di
negeri ini yang belum dikuasai oleh masyarakat, baik secara individu
maupun kelompok. Dan kebanyakan tanah yang dikuasai tersebut belum
dikelola dan dimanfaatkan. Statusnya jelas berpotensi menjadi tanah
terlantar. Belum lagi jika didasarkan atas ketentuan absentee dan kelebihan
maksimum, kemungkinan pelanggaran atas penguasaan tanah makin besar.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan melakukan inventarisasi,
memberikan izin pembukaan dan garapan tanah menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Bahkan Pemerintah Desa pun memiliki kewenangan
melakukan inventarisasi terhadap tanah yang ada di desa dengan
mengadministrasikannya sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47
Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintah Desa.24
Namun penertiban tanah terlantar, absentee, dan kelebihan
maksimum bukan perkara mudah. Selain soal ganti rugi materil yang
24 Amiruddin Setiawan, Pelaksanaan Pengawasan Oleh Camat Dalam Upaya Mencapai
Efektivitas Pengelolaan Administrasi Pertanahan, Jurnal Ilmu Administrasi Cendekia, Volume 5
Nomor 2, 2012, hlm. 153-154.
membebankan anggaran negara, juga soal potensi sengketa dan
ketidakterimaan si penguasa tanah untuk memberikan tanahnya meskipun
diberikan ganti rugi. Dampaknya jelas, konflik horizontal antar masyarakat
dan konflik vertikal antar masyarakat dan pemerintah.
C. Akibat Hukum Penertiban
Selain berdampak pada konflik horizontal dan vertikal, penertiban
tanah tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan maksimum berpotensi
besar menimbulkan gugatan, baik yang berkaitan dengan sengketa
keputusan tata usaha negara, maupun gugatan secara perdata atas kerugian
materil dan imateril terhadap keputusan penertiban tanah terlantar,
absentee, dan kelebihan maksimum. Dengan adanya gugatan tersebut, maka
bukan saja akan dapat menguras tenaga dan pikiran, tetapi juga berpotensi
menguras anggaran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan penertiban tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan
maksimum belum berjalan optimal, terlebih untuk menyentuh tanah-
tanah yang penguasaannya masih belum didaftarkan atau belum
bersertifikat hak milik. Bukti nyatanya adalah objek redistribusi lahan
program reforma agraria yang sebagian besar didominasi dari objek
bekas Hak Guna Usaha dan pelepasan kawasan hutan.
2. Objek penertiban tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan
maksimum masih fokus pada tanah yang berstatus hak milik dan belum
menyentuh pada tanah yang saat ini inventarisasi serta izin pembukaan
dan penggarapannya menjadi domain pemerintah daerah
kabupaten/kota.
3. Penertiban atas tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan
maksimum dapat berdampak pada munculnya konflik horizontal dan
vertikal. Selain itu, penetapan tanah terlantar, absentee, dan tanah
kelebihan maksimum dan pengambilalihannya untuk di-redistribusi
juga dapat berakibat hukum munculnya sengketa keputusan tata usaha
negara dan tuntutan secara perdata.
B. Saran
Untuk menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, maka Pemerintah dapat mempertegas regulasi
penertiban dan penegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan dan
pemerataan kepemilikan/penguasaan/pengelolaan atas tanah untuk tujuan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Isnaeni, Hendri F., 2019, Reforma Agraria. Konflik Agraria Terjadi Karena
UUPA Tidak Dijalankan. Diakses dari https://historia.id pada 01 Oktober
2019 pukul 20.00 Wita.
Wiradi, Gunawan dan Dianto Bachriadi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan.
Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Bandung: Agrarian Resource
Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Mungkasa, Oswar dan Reforma Agraria. 2014. Sejarah, Konsep dan
Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia, Edisi I.
Abby, Fathul Achmadi, et. al. Maret 2017. Target and Mastery Lands of The
Scop of Land Agricultural Land Redistribution in the Province of South
Kalimantan, Lambung Mangkurat Law Journal, Volume 2 Nomor 1.
CNN Indonesia, 10 Mei 2019. Pemerintah Kesusahan Jalankan Reforma
Agraria.Diakses dari https://www.cnnindonesia.com pada 01 Oktober 2019
pukul 22.00 Wita.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2019. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id pada 02 Oktober 2019 pukul 10.15 Wita.
Supriadi. Agustus 2015. Redistribusi Tanah Negara Objek Landreform Dalam
Mendukung Program Reforma Agraria di Kabupaten Sumbawa, Jurnal
Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 3 Nomor 2.
Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Bagian Pertama,
Jilid I. Jakarta: Djambatan.
Rosmidah. 2013. Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal Ilmu
Hukum Inovatif, Volume 6 Nomor 2.
Nugroho, Heru. 2002. Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan
Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju.
Supriyanto. Januari 2010. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan
Perundangan di Indoneia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1.
Dewi, Ariska. 2008. Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan
Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas. Malang: Universitas
Diponegoro.
Isharyanto dan Anastasia Apsari Astutiningsih. 2018. Peran Kantor
Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di
Kabupaten Sukoharjo, Jurnal Repertorium, Volume 5 Nomor 1.
Harsono, Boedi. 2006. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-
Peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan.
Alvionita, Ni Made Asri, et.al. 2018. Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian
Secara Absentee Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda
Penduduk Elektronik (KTP-el), Jurnal Hukum Kenotariatan, Volume 3
Nomor 1.
Mujiburohman, Dian Aries. November 2016. Problematika Pengaturan Tanah
Negara Bekas Hak Yang telah Berakhir, Jurnal Bhumi, Vol. 2 No. 2.
Hadiyanto, Tane. 29 Maret 2018. Program Reforma Agraria Masih Terkedala,
diakses dari https://nasional.kontan.co.id pada 03 Oktober 2019 pukul 15.00
Wita.
Siregar, Efrem. 5 Agustus 2019. Program Jokowi Soal Bagi-Bagi Tanah
Baru Tercapai 65%, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com pada 03
Oktober 2019 pukul 15.15 Wita.
Setiawan, Amiruddin. 2012. Pelaksanaan Pengawasan Oleh Camat Dalam
Upaya Mencapai Efektivitas Pengelolaan Administrasi Pertanahan. Jurnal
Ilmu Administrasi Cendekia, Volume 5 Nomor 2.

More Related Content

What's hot

Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb f...
Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb   f...Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb   f...
Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb f...
Indonesia Anti Corruption Forum
 
Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah 181121
Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah   181121Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah   181121
Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah 181121
WahyudiAgustian1
 
Perkembangan tora yang berasal dari kawasan hutan
Perkembangan tora yang berasal dari kawasan hutanPerkembangan tora yang berasal dari kawasan hutan
Perkembangan tora yang berasal dari kawasan hutan
Adi Pujakesuma
 
Dasar hukum agraria
Dasar hukum agrariaDasar hukum agraria
Dasar hukum agraria
yoko14
 
MEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTR
MEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTRMEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTR
MEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTR
Fitri Indra Wardhono
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan TimurRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur
Kamen Ride
 
Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata RuangPerencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata Ruang
Sri Wahyuni
 
Sistem jaringan prasarana utama
Sistem jaringan prasarana utamaSistem jaringan prasarana utama
Sistem jaringan prasarana utama
Ary Ajo
 

What's hot (20)

Pedoman teknis pembangunan gedung negara
Pedoman teknis pembangunan gedung negaraPedoman teknis pembangunan gedung negara
Pedoman teknis pembangunan gedung negara
 
Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb f...
Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb   f...Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb   f...
Slide presentasi fakta transparansi & akuntabilitas partai politik di ntb f...
 
Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah 181121
Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah   181121Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah   181121
Paparan bimbingan teknis penguatan layanan kkpr di daerah 181121
 
Permen PU Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagi...
Permen PU Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagi...Permen PU Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagi...
Permen PU Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagi...
 
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan DaerahPerencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Temanggung
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten TemanggungRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Temanggung
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Temanggung
 
Audit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Audit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan RuangAudit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Audit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
 
PENATAAN RUANG SEBAGAI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM YANG BERKE...
PENATAAN RUANG SEBAGAI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM YANG BERKE...PENATAAN RUANG SEBAGAI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM YANG BERKE...
PENATAAN RUANG SEBAGAI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM YANG BERKE...
 
Perkembangan tora yang berasal dari kawasan hutan
Perkembangan tora yang berasal dari kawasan hutanPerkembangan tora yang berasal dari kawasan hutan
Perkembangan tora yang berasal dari kawasan hutan
 
Dasar hukum agraria
Dasar hukum agrariaDasar hukum agraria
Dasar hukum agraria
 
PPT RDTR_31052022.pptx
PPT RDTR_31052022.pptxPPT RDTR_31052022.pptx
PPT RDTR_31052022.pptx
 
MEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTR
MEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTRMEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTR
MEKANISME PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENYUSUN RDTR
 
Mekanisme dan Dokumen Perencanaan
Mekanisme dan Dokumen PerencanaanMekanisme dan Dokumen Perencanaan
Mekanisme dan Dokumen Perencanaan
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan TimurRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa BaratRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi SelatanRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
 
Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata RuangPerencanaan Tata Ruang
Perencanaan Tata Ruang
 
STANDAR TEKNIS SPM PUPR Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Peru...
STANDAR TEKNIS SPM PUPR Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Peru...STANDAR TEKNIS SPM PUPR Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Peru...
STANDAR TEKNIS SPM PUPR Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Peru...
 
Kebijakan Penyelenggaraan KKPRL
Kebijakan Penyelenggaraan KKPRLKebijakan Penyelenggaraan KKPRL
Kebijakan Penyelenggaraan KKPRL
 
Sistem jaringan prasarana utama
Sistem jaringan prasarana utamaSistem jaringan prasarana utama
Sistem jaringan prasarana utama
 

Similar to Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar

MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...
MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...
MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...
sukmawatirajalan
 
Hak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanah
Hak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanahHak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanah
Hak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanah
rahmat_tiflen
 
Pendaftaran tanah menunjang perencanaan fisik
Pendaftaran tanah menunjang perencanaan fisikPendaftaran tanah menunjang perencanaan fisik
Pendaftaran tanah menunjang perencanaan fisik
Retno Pratiwi
 

Similar to Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar (20)

Kebijakan landreform
Kebijakan landreformKebijakan landreform
Kebijakan landreform
 
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptxPenguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
 
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma AgrariaPeran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
 
KKL
KKLKKL
KKL
 
Perpres nomor 86 tahun 2018
Perpres nomor 86 tahun 2018Perpres nomor 86 tahun 2018
Perpres nomor 86 tahun 2018
 
Jurnal penelitian masyarakat adat
Jurnal penelitian masyarakat adatJurnal penelitian masyarakat adat
Jurnal penelitian masyarakat adat
 
MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...
MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...
MAKALAH HUKUM AGRARIA untunk orag orang yang mencari hukum argumen coba baca ...
 
Jurnal penelitian Masyarakat Adat
Jurnal penelitian Masyarakat AdatJurnal penelitian Masyarakat Adat
Jurnal penelitian Masyarakat Adat
 
Kendala implementasi Landreform di Indonesia
Kendala implementasi Landreform di IndonesiaKendala implementasi Landreform di Indonesia
Kendala implementasi Landreform di Indonesia
 
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangJalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
 
Informasi agraria dari sumber resmi
Informasi agraria dari sumber resmiInformasi agraria dari sumber resmi
Informasi agraria dari sumber resmi
 
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan yang Mendorong In...
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan  yang Mendorong In...Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan  yang Mendorong In...
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan yang Mendorong In...
 
Hak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanah
Hak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanahHak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanah
Hak hak atas tanah dan sistem konversi atas tanah
 
Buku tora syahyuti
Buku tora   syahyutiBuku tora   syahyuti
Buku tora syahyuti
 
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit DiwujudkanTerbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
 
PRESENTASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG HAK MILIK DI INDONESIA.pdf
PRESENTASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG HAK MILIK DI INDONESIA.pdfPRESENTASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG HAK MILIK DI INDONESIA.pdf
PRESENTASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG HAK MILIK DI INDONESIA.pdf
 
LAND RIGHT
LAND RIGHTLAND RIGHT
LAND RIGHT
 
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdf
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdfDiskusi 4 Hukum Agraria.pdf
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdf
 
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdfTUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
 
Pendaftaran tanah menunjang perencanaan fisik
Pendaftaran tanah menunjang perencanaan fisikPendaftaran tanah menunjang perencanaan fisik
Pendaftaran tanah menunjang perencanaan fisik
 

Recently uploaded

445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt
445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt
445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt
YuyunFitriani2
 
Toko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di Medan
Toko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di MedanToko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di Medan
Toko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di Medan
alimenyut76
 
Bahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggi
Bahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggiBahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggi
Bahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggi
290165
 

Recently uploaded (11)

Tugas dan kewenangan PKA dan PPK dalam PBJ .pptx
Tugas dan kewenangan PKA dan PPK dalam PBJ .pptxTugas dan kewenangan PKA dan PPK dalam PBJ .pptx
Tugas dan kewenangan PKA dan PPK dalam PBJ .pptx
 
Perbandingan Pemerintahan - Sistem Pemerintahan Trias Politica di Indonesia
Perbandingan Pemerintahan - Sistem Pemerintahan Trias Politica di IndonesiaPerbandingan Pemerintahan - Sistem Pemerintahan Trias Politica di Indonesia
Perbandingan Pemerintahan - Sistem Pemerintahan Trias Politica di Indonesia
 
Materi Pengelolaan Keuangan desa dan aset
Materi Pengelolaan Keuangan desa dan asetMateri Pengelolaan Keuangan desa dan aset
Materi Pengelolaan Keuangan desa dan aset
 
Inovasi Kebijakan dalam Administrasi Publik
Inovasi Kebijakan dalam Administrasi PublikInovasi Kebijakan dalam Administrasi Publik
Inovasi Kebijakan dalam Administrasi Publik
 
Dedy-Permadi-Social Development Talks edisi 18 Maret 2021_ Melihat Lebih Jauh...
Dedy-Permadi-Social Development Talks edisi 18 Maret 2021_ Melihat Lebih Jauh...Dedy-Permadi-Social Development Talks edisi 18 Maret 2021_ Melihat Lebih Jauh...
Dedy-Permadi-Social Development Talks edisi 18 Maret 2021_ Melihat Lebih Jauh...
 
03_pengelolaan kinerja guru semester 1 di PMM
03_pengelolaan kinerja guru semester 1 di PMM03_pengelolaan kinerja guru semester 1 di PMM
03_pengelolaan kinerja guru semester 1 di PMM
 
Masterplan IAD-PSDA Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat
Masterplan IAD-PSDA Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan BaratMasterplan IAD-PSDA Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat
Masterplan IAD-PSDA Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat
 
445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt
445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt
445855272-Materi-9-10-KEPEMIMPINAN-DALAM-ORGANISASI-ppt.ppt
 
Toko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di Medan
Toko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di MedanToko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di Medan
Toko Obat Kuat Di Medan 081227526446 Jual Viagra Asli Di Medan
 
Bahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggi
Bahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggiBahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggi
Bahan Materi Kebijakan Publik untuk pendidikan tinggi
 
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Korporasi Petani
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Korporasi PetaniKebijakan dan Strategi Pengembangan Korporasi Petani
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Korporasi Petani
 

Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar

  • 1. DAMPAK DAN AKIBAT HUKUM PENERTIBAN TANAH KELEBIHAN MAKSIMUM, TANAH ABSENTEE, DAN TANAH TERLANTAR Disusun dalam rangka memenuhi tugas MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM Oleh: Nama: Nursiah NIM: 1908018024 PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS HUKUM 2019
  • 2. KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan petunjukNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Sosiologi Hukum berjudul “Dampak dan Akibat Hukum Penertiban Tanah Terlantar, Tanah Absentee, dan Tanah Kelebihan Maksimum.” Penulis menyadari, keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi Hukum dan seluruh rekan-rekan mahasiswa program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Mulawarman atas segala kontribusinya. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Samarinda, Oktober 2019 PENULIS N U R S I A H
  • 3. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i KATA PENGANTAR …………………………………………………………… ii DAFTAR ISI …………………………………………………………….............. iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………………… B. Rumusan Masalah dan Tujuan …………………………………… C. Metode Penulisan ………………………………………………… 1 9 9 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Teoritis Penulisan …......................................................... B. Dampak Sosial Penertiban ….…………………………………….. C. Akibat Hukum Penertiban ………………………………………… 10 21 23 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………….. B. Saran ……………………………………………………………… 24 24 DAFTAR PUSTAKA
  • 4. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir mengawali reformasi agraria di negeri ini pasca kemerdekaannya. Tanah partikelir merupakan tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Penguasaan semacam itu membuat tanah partikelir seperti negara dalam negara, sebab penguasanya dapat hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. 1 Dua tahun berikutnya, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang sering disebut UUPA. Setelah 15 tahun lamanya dirumuskan, UUPA akhirnya menjadi fondasi utama dilakukannya perubahan mendasar sistem penguasaan dan pengelolaan tanah di negara ini. UUPA meletakkan landasan hukum berkenaan dengan redistribusi penggunaan tanah yang dianggap monumental sekaligus revolusioner. UUPA antara lain mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara 1 Hendri F. Isnaeni, Reforma Agraria. Konflik Agraria Terjadi Karena UUPA Tidak Dijalankan.Diakses dari https://historia.id pada 01 Oktober 2019 pukul 20.00 Wita.
  • 5. untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Atas dasar pengaturan di UUPA kemudian dibentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang disahkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1961. Reformasi agraria kemudian dilanjutkan dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Pengaturan tersebut untuk mendukung program redistribusi tanah untuk meminimalisasi konflik.2 Tanah-tanah berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan, setelah diberikan ganti rugi, selanjutnya dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah. Kemudian lahir Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pengaturan tersebut untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Beberapa tahun setelah reformasi agraria dijalankan, tepatnya pada 1965, Pemerintah Indonesia berganti rezim. Program reformasi agraria yang dijalankan negara, yang sesungguhnya dirumuskan sebagai dasar pembangunan Indonesia, harus menghadapi hambatan terbesarnya segera setelah rezim militer Soeharto berkuasa. Pemerintah Orde Baru membawa perubahan besar pada politik agraria. Berbeda dengan rezim sebelumnya yang memiliki pandangan politik agraria ‘tanah untuk rakyat’ (land for the people) dan ‘tanah untuk petani penggarap’ (‘land to the tiller’) yang 2 Ibid.
  • 6. dijalankan melalui program land reform.3 Argumentasinya, orientasi politik agraria rezim Orde Baru cenderung mendukung investasi-investasi skala besar. Penyediaan lahan dalam skala besar untuk kepentingan modal dalam negeri maupun luar negeri menjadi prioritas. Penguasaan tanah dinilai menjadi komoditas ekonomi yang bertentangan dengan ketentuan dalam UUPA yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, reformasi agraria diawali dengan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas. TAP MPR tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam rangka Pelaksanaan Landreform. Pada tahun 2001, MPR membentuk TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di 3 Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Enam Dekade Ketimpangan. Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Agrarian Resource Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Bandung,2011, hlm. 6-7.
  • 7. Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Di antara arah kebijakan reformasi agraria di Era Reformasi adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Arah kebijakan tersebut merupakan yang paling esensial dalam mencapai tujuan reformasi agraria.4 Dalam pelaksanaanya, redistribusi tanah sebagai salah satu bentuk pelaksanaan landreform terkendala sejumlah masalah. Sebagai contoh yang terjadi di Kalimantan Selatan.5 Program redistribusi tanah untuk pertanian belum dikenal masyarakat dan penerima program ini masih belum tepat sasaran. Selain itu tanah yang diredistribusi di Kalimantan Selatan adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Implementasi redistribusi lahan pertanian dari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar tidak terlaksana. Karena objek program redistribusi tanah hanya berasal dari dari tanah yang dikuasai negara, maka luas tanah yang diterima 4 Oswar Mungkasa, Reforma Agraria. Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia, Edisi I, 2014, hlm. 6-8. 5 Fathul Achmadi Abby, et. al., Target and Mastery Lands of The Scop of Land Agricultural Land Redistribution in the Province of South Kalimantan, Lambung Mangkurat Law Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2017, hlm. 9-10.
  • 8. petani kurang dari 2 hektare, bahkan ada yang menerima hanya 0,5 hektare. Hasilnya berdampak pada kurang terpenuhinya kesejahteraan petani. Faktanya, pelaksanaan reformasi agraria tidak mudah, bahkan setelah Pemerintah membentuk Peraturan Presiden (Prepres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Pemerintah Indonesia di bawah kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesulitan dalam melaksanakan Program Reforma Agraria karena permasalahannya begitu kompleks. Kompleksitas tersebut menyangkut jumlah lahan yang akan dijadikan objek reforma agraria. Di awal pemerintahan, terdapat tanah seluas 9 juta hektare yang bisa dijadikan objek reforma agraria, namun ketika diimplementasikan, ternyata tanah yang rencananya dijadikan sebagai objek reforma agraria sudah tidak ada lagi.6 Penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah jika dimaknai secara ideal dan implementatif adalah penertiban atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di antaranya adalah penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar. Karena praktik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah memiliki hubungan hukum, maka pelaksanaan penertiban sebagai implementasi reforma agraria dapat memberikan dampak sosial dan akibat hukum. 6 Pemerintah Kesusahan Jalankan Reforma Agraria, CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com pada 01 Oktober 2019 pukul 22.00 Wita.
  • 9. B. Rumusan Masalah dan Tujuan Rumusan masalah penulisan ini dituangkan dalam bentuk pertanyaan apakah dampak sosial dan akibat hukum penertiban penguasaan atas tanah negara sebagai tindaklanjut reformasi agraria? C. Metode Penulisan Berdasarkan cara perumusannya, jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian normatif dengan metode studi pustaka. Sumber datanya adalah peraturan perundangan tentang agraria dan reformasi agraria, serta berbagai penelitian terkait sebagai sumber sekunder. Metode analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, dalam hal ini literatur berupa hasil penelitian, karya ilmiah, buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. Sumber data tersebut kemudian dibaca, dipelajari, dan telaah untuk kemudian direduksi dengan cara membuat abstraksi atau rangkuman inti yang konsistensi eksistensinya dalam penyajian data perlu dijaga. Langkah selanjutnya adalah menyusun hasil abstraksi dalam satuan-satuan untuk kemudian dikategorisasi. Data yang sudah dikategorisasi kemudian diperiksa dan disajikan pada tinjauan pustaka (literature review) sebagai penegasan untuk menjadi jawaban atas rumusan masalah. Hasil analisa data lainnya akan disajikan kemudian untuk kemudian ditafsirkan dengan metode deskripsi analitik. BAB II
  • 10. PEMBAHASAN A. Tinjauan Teoritis Penertiban Definisi Penertiban Penertiban berasal dari kata dasar tertib yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti teratur; menurut aturan; rapi. Sedangkan penertiban merupakan kata benda memiliki arti proses, cara, perbuatan menertibkan.7 Dalam konteks reformasi agraria, penertiban yang dimaksud adalah untuk menata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang pada keadaan tertentu dicabut hak atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya sehingga dapat dibagikankembali ke masyarakat lain yang berstatus miskin untuk tujuan pemerataan dan keadilan.8 Dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres No. 86/2018), redistribusi tanah disebut sebagai bentuk penataan aset dalam tahapan pelaksanaan reforma agraria. Ada sebelas obyek redistribusi tanah, di antaranya adalah tanah negara bekas tanah terlantar, serta tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi tanah. 7 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id pada 02 Oktober 2019 pukul 10.15 Wita. 8 Supriadi, Redistribusi Tanah Negara Objek Landreform Dalam Mendukung Program Reforma Agraria di Kabupaten Sumbawa,Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 3 Nomor 2, Agustus 2015, hlm. 367-368.
  • 11. Sedangkan terma tanah merupakan kata benda berarti permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; keadaan bumi di suatu tempat; permukaan bumi yang diberi batas; daratan; permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu negara atau menjadi daerah negara; negeri; negara; bahan-bahan dari bumi; bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, napal, cadas, dan sebagainya); dasar (warna, cat, dan sebagainya).9 Boedi Harsono berpendapat10, secara yuridis tanah berarti permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Menurut Rosmidah11 , tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Sehingga diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak- hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun pasti diperlukan juga penggunaan sebagian yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Oleh karena itu bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan.Loc.Cit. 10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid I. Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 18. 11 Rosmidah, Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif, Volume 6 Nomor 2, 2013, hlm.64.
  • 12. Bagi Heru Nugroho12, tanah memiliki makna multidimensional, pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusandenganw arisan danmasalah-masalah transendental. Karena maknanya yang sangat penting itu, maka wajar jika pemerintah dalam berbagai kebijakan berupaya untuk mengatur pemanfaatan, peruntukan dan penggunaan tanah demi kemaslahatan umat manusia di Indonesia. Tanah Terlantar Definisi tanah terlantar tidak disebutkan dalam PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP No.11/2010). Tetapi penjelasannya tertuang pada Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Supriyanto mendefinisikan tanah terlantar sebagai tanah yang pernah dibuka, dikerjakan oleh pemilik/penggarapnya sampai 1 kali atau 2 kali panen, kemudian 12 Heru Nugroho, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak -Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 99.
  • 13. ditinggalkan oleh pemiliknya dalam waktu tertentu sampai menjadi hutan kembali. Secara yuridis kemudian tanah ini kembali pada hak ulayatnya.13 Pada Pasal 2 PP No.11/2010, disebutkan bahwa yang termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Tanah yang tidak termasuk sebagai obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No.11/2010 adalah tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya,dan tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Tanah Absentee Kata absentee berasal dari kata latin absentee atau absentis, yang berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M.Echlos dan Hasan Sadily, absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat. Dalam KBBI, tanah yang 13 Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundangan di Indoneia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1, Januari 2010, hlm. 52
  • 14. pemiliknya bukan penduduk daerah bersangkutan disebut tanah guntai atau absente. Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana telah diubah dengan PP No. 41 Tahun 1964, mengatur bahwa pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Ketentuan dalam UUPA terutama pada Pasal 10, pada prinsipnya mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Menurut Dewi, pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian
  • 15. besar dapat dinikmatioleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.14 Astutiningsih berpendapat bahwa larangan tanah absentee sebagaimana diatur dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964, merupakan tindaklanjut dari ketentuan pada Pasal 7, 10, dan 17. Maksudnya agar petani bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah pertanian miliknya, sehingga produktivitasnya bisa tinggi dan melenyapkan pengumpulan tanah di tangan segelintir tuan-tuan tanah.15 Sementara Boedi Harsono menyatakan bahwa tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Pemilikan tanah pertanian secara absentee ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini berarti bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung 14 Ariska Dewi, Tesis Magister Kenotariatan: Ariska Dewi, Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas, Universitas Diponegoro, Malang, 2008, hlm. 26. 15 Anastasia Apsari Astutiningsih dan Isharyanto, Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Sukoharjo, Jurnal Repertorium, Volume 5 Nomor 1, 2018, hlm. 4.
  • 16. segala resiko dan tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasil tanahnya.16 Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letaknya tanahnya. Sesuai ketentuan Pasal 3 PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964, larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dan tanahnya, masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien. Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal ini termasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau dwingend recht. 17 Jadi siapapun dalam hubungan dengan masalah pemilikan tanah absentee harus tunduk kepada aturan tersebut. Terlebih lagi terdapat ketentuan pada Pasal 19 yang menyebutkan sanksi pidana kepada pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya. Ada beberapa pengecualian atas penerapan tanah absentee, pertama, sesuai pasal 3 PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964, ada tiga pihak yang mendapatkan pengecualian kepemilikan atas tanah absentee: (a) Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak 16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2006, hlm. 385. 17 Ariska Dewi, Op. Cit., hlm. 28.
  • 17. antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia landreform daerah kabupaten/kota; (b) Mereka yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria; (c) Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka yang sedang menjalankan tugas negara.18 Pengecualian lainnya diberikan kepada pensiunan pegawai negeri sesuai ketentuan PP No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk daerah kabupaten/kotayang bersangkutan, diberikan kepada pensiunan pegawai negeri dan janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.19 Tanah Kelebihan Maksimum Pasal 7 UUPA mengamanatkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Selanjutnya di dalam Pasal 17 bahwa untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) UUPA diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang dapat dipunyai dengan sesuatu 18 Ni Made Asri Alvionita, et.al., Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el), Jurnal Hukum Kenotariatan, Volume 3 Nomor 1, 2018, hlm. 81-82. 19 Ariska Dewi, Loc. Cit.
  • 18. hak oleh seseorang sehingga dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Tanahtanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tidak akan disita tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian dan selanjutnya tanah tersebut akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Luas maksimum dan minimum dimaksud ditetapkan dalam Perpu 56/1960 yang kemudian dipertegas dalam Peraturan Kepala BPN (Perka BPN) Nomor 18 Tahun 2015 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian. Pasal 3 UU 56/1960, mewajibkan pemilik tanah pertanian yang melebihi batas maksimum untuk melapor dalam waktu 3 bulan, Selanjutnya Pasal 4 Perpu 56/1960 mengatur bahwa orang atau orangorang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut. Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) tetap efektif dalam menata dan mengembangkan kerangka hukum, politik dan kebijakan pertanahan kedepan (Reforma Agraria), khususnya untuk mencegah terjadinya kembali konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah, dengan perkataan lain, untuk mencegah timbulnya tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum baru. Perpu No 56 Tahun 1960, pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut: (a) penetapan batas maksimum yang dapat dimiliki oleh keluarga; (b) penetapan batas minimun yang dapat dimiliki oleh keluarga; (c) larangan pemindahtanganan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum;
  • 19. (d) pengembalian tanah-tanah gadai kepada pemiliknya; (e) pemberian sanksi bagi pelanggar ketentuan. Bentuk Penertiban Kunci dari penertiban tanah absentee dan tanah kelebihan maksimum diatur dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964. Sedangkan penertiban tanah terlantar PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP No. 11/2010). Status tanah yang telah ditertibkan, baik tanah absentee, tanah kelebihan maksimum maupun tanah terlantar adalah langsung dikuasai oleh negara. Berdasarkan Perpres No. 86/2018, tanah yang berasal dari tanah absentee, tanah kelebihan maksimum, dan tanah terlantar menjadi objek reforma agraria yang dapat dibagikan kembali kepada masyarakat untuk keperluan pertanian. Dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964 mengatur sejumlah ketentuan tentang larangan memiliki tanah absentee dan kelebihan maksimum. Pemilik tanah diberikan waktu untuk mengalihkannya kepada orang lain, jika sampai batas waktu yang telah ditentukan belum dilakukan, maka pemerintah dapat mengambil alih dengan terlebih dahulu memberikan ganti rugi. Setelah diberikan ganti rugi, tanah tersebut diredistribusikan. Sedangkan dalam PP No. 11/2010 dan peraturan turunannya, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar (Perka BPN No.
  • 20. 4/2010), penertiban dilakukan dalam beberapa tahap, mulai dari inventarisasi, identifikasi dan penelitian, peringatan, dan penetapan. Setalah tanah ditetapkan terlantar dan status hukumnya menjadi dikuasai langsung oleh negara menjadi objek redistribusi. Pada saat ditetapkan menjadi tanah terlantar, pemerintah menetapkanya dengan keputusan yang menyatakan bahwa hak atas tanah tersebut menjadi hapus, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dian Aries Mujiburohman mengemukakan sejumlah pendapat tentang proses penertiban tanah yang menjadi objek redistribusi tanah.20 Ia mengemukakan tentang akhir dari proses penertiban itu adalah pembagian tanah untuk tujuan keadilan dan pemerataan atas sumber penghidupan masyarakat tani. Tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada para petani yang membutuhkan itu tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian, kecuali untuk tanah terlantar. Kedala Penertiban Program Reforma Agraria yang telah dijalankan pemerintah di bawah kekuasaan Presiden Joko Widodo belum berjalan optimal. Redistribusi tanah dari objek tanah yang berasal dari tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar tidak terealisasi, seperti halnya dipaparkan Fathul Achmadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya terkait 20 Dian Aries Mujiburohman, Problematika Pengaturan Tanah Negara Bekas Hak Yang telah Berakhir,Jurnal Bhumi, Vol. 2 No. 2, November 2016, hlm. 153-154.
  • 21. implementasi program Reforma Agraria di Provisi Kalimantan Selatan. Salah satu sebab tidak adanya realisasi redistribusi tanah dari objek tanah yang berasal dari tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar adalah ketiadaan data terkait kesemua objek tanah tersebut.21 Berdasarkan informasi dari Direktorat Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional, hingga akhir 2017, telah melakukan legalisasi aset tanah transmigran sebanyak 20.252 bidang, legalisasi aset 6,207 juta bidang, dan redistribusi tanah sebanyak 262.189 bidang tanah. Namun masih ada sejumlah permasalahan teknis yang menjadi kendala, di antaranya adalah ketiadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kurangnya koordinasi pemerintah daerah dengan masyarakat.22 Data lainnya menyebutkan bahwa objek redistribusi tanah yang presentase realisasinya besar adalah dari bekas Hak Guna Usaha (HGU) dan eks tanah hasil pelepasan kawasan hutan.23 B. Dampak Sosial Penertiban Objek penertiban tanah absentee, kelebihan maksimum, dan tanah terlantar cenderung mengarah pada bidang tanah yang telah melekat di atasnya hak atas tanah, seperti hak milik yang telah didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional dan bersetifikat hak milik. Sementara tanah yang masih berstatus belum hak milik yang alasnya, baik berupa surat pernyataan 21 Fathul Achmadi Abby, et. al., Op.Cit., hlm. 28. 22 Tane Hadiyanto, Program Reforma Agraria Masih Terkedala, diakses dari https://nasional.kontan.co.id pada 03 Oktober 2019 pukul 15.00 Wita. 23 Efrem Siregar, Program Jokowi Soal Bagi-BagiTanah Baru Tercapai 65%,diakses dari https://www.cnbcindonesia.com pada 03 Oktober 2019 pukul 15.15 Wita.
  • 22. penguasaan yang diketahui oleh Kepala Desa atau Camat, maupun berdasarkan Surat Keterangan Tanah atau Surat Keterangan Penguasaan Tanah atau semacamnya yang diterbitkan Kepala Desa maupun Camat, belum menjadi objek prioritas dalam penertiban. Padahal tanah yang dikuasai berdasarkan Surat Pernyataan Penguasaan ataupun Surat Keterangan Tanah dari Kepala Desa/Camat jumlahnya jauh lebih banyak. Hampir tidak ada sejengkalpun tanah di negeri ini yang belum dikuasai oleh masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Dan kebanyakan tanah yang dikuasai tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan. Statusnya jelas berpotensi menjadi tanah terlantar. Belum lagi jika didasarkan atas ketentuan absentee dan kelebihan maksimum, kemungkinan pelanggaran atas penguasaan tanah makin besar. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan melakukan inventarisasi, memberikan izin pembukaan dan garapan tanah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Bahkan Pemerintah Desa pun memiliki kewenangan melakukan inventarisasi terhadap tanah yang ada di desa dengan mengadministrasikannya sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintah Desa.24 Namun penertiban tanah terlantar, absentee, dan kelebihan maksimum bukan perkara mudah. Selain soal ganti rugi materil yang 24 Amiruddin Setiawan, Pelaksanaan Pengawasan Oleh Camat Dalam Upaya Mencapai Efektivitas Pengelolaan Administrasi Pertanahan, Jurnal Ilmu Administrasi Cendekia, Volume 5 Nomor 2, 2012, hlm. 153-154.
  • 23. membebankan anggaran negara, juga soal potensi sengketa dan ketidakterimaan si penguasa tanah untuk memberikan tanahnya meskipun diberikan ganti rugi. Dampaknya jelas, konflik horizontal antar masyarakat dan konflik vertikal antar masyarakat dan pemerintah. C. Akibat Hukum Penertiban Selain berdampak pada konflik horizontal dan vertikal, penertiban tanah tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan maksimum berpotensi besar menimbulkan gugatan, baik yang berkaitan dengan sengketa keputusan tata usaha negara, maupun gugatan secara perdata atas kerugian materil dan imateril terhadap keputusan penertiban tanah terlantar, absentee, dan kelebihan maksimum. Dengan adanya gugatan tersebut, maka bukan saja akan dapat menguras tenaga dan pikiran, tetapi juga berpotensi menguras anggaran. BAB III PENUTUP
  • 24. A. Kesimpulan 1. Pelaksanaan penertiban tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan maksimum belum berjalan optimal, terlebih untuk menyentuh tanah- tanah yang penguasaannya masih belum didaftarkan atau belum bersertifikat hak milik. Bukti nyatanya adalah objek redistribusi lahan program reforma agraria yang sebagian besar didominasi dari objek bekas Hak Guna Usaha dan pelepasan kawasan hutan. 2. Objek penertiban tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan maksimum masih fokus pada tanah yang berstatus hak milik dan belum menyentuh pada tanah yang saat ini inventarisasi serta izin pembukaan dan penggarapannya menjadi domain pemerintah daerah kabupaten/kota. 3. Penertiban atas tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan maksimum dapat berdampak pada munculnya konflik horizontal dan vertikal. Selain itu, penetapan tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan maksimum dan pengambilalihannya untuk di-redistribusi juga dapat berakibat hukum munculnya sengketa keputusan tata usaha negara dan tuntutan secara perdata. B. Saran Untuk menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka Pemerintah dapat mempertegas regulasi
  • 25. penertiban dan penegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan kepemilikan/penguasaan/pengelolaan atas tanah untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. DAFTAR PUSTAKA
  • 26. Isnaeni, Hendri F., 2019, Reforma Agraria. Konflik Agraria Terjadi Karena UUPA Tidak Dijalankan. Diakses dari https://historia.id pada 01 Oktober 2019 pukul 20.00 Wita. Wiradi, Gunawan dan Dianto Bachriadi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan. Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Bandung: Agrarian Resource Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mungkasa, Oswar dan Reforma Agraria. 2014. Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia, Edisi I. Abby, Fathul Achmadi, et. al. Maret 2017. Target and Mastery Lands of The Scop of Land Agricultural Land Redistribution in the Province of South Kalimantan, Lambung Mangkurat Law Journal, Volume 2 Nomor 1. CNN Indonesia, 10 Mei 2019. Pemerintah Kesusahan Jalankan Reforma Agraria.Diakses dari https://www.cnnindonesia.com pada 01 Oktober 2019 pukul 22.00 Wita. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id pada 02 Oktober 2019 pukul 10.15 Wita. Supriadi. Agustus 2015. Redistribusi Tanah Negara Objek Landreform Dalam Mendukung Program Reforma Agraria di Kabupaten Sumbawa, Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 3 Nomor 2.
  • 27. Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Bagian Pertama, Jilid I. Jakarta: Djambatan. Rosmidah. 2013. Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif, Volume 6 Nomor 2. Nugroho, Heru. 2002. Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju. Supriyanto. Januari 2010. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundangan di Indoneia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1. Dewi, Ariska. 2008. Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas. Malang: Universitas Diponegoro. Isharyanto dan Anastasia Apsari Astutiningsih. 2018. Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Sukoharjo, Jurnal Repertorium, Volume 5 Nomor 1. Harsono, Boedi. 2006. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan. Alvionita, Ni Made Asri, et.al. 2018. Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda
  • 28. Penduduk Elektronik (KTP-el), Jurnal Hukum Kenotariatan, Volume 3 Nomor 1. Mujiburohman, Dian Aries. November 2016. Problematika Pengaturan Tanah Negara Bekas Hak Yang telah Berakhir, Jurnal Bhumi, Vol. 2 No. 2. Hadiyanto, Tane. 29 Maret 2018. Program Reforma Agraria Masih Terkedala, diakses dari https://nasional.kontan.co.id pada 03 Oktober 2019 pukul 15.00 Wita. Siregar, Efrem. 5 Agustus 2019. Program Jokowi Soal Bagi-Bagi Tanah Baru Tercapai 65%, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com pada 03 Oktober 2019 pukul 15.15 Wita. Setiawan, Amiruddin. 2012. Pelaksanaan Pengawasan Oleh Camat Dalam Upaya Mencapai Efektivitas Pengelolaan Administrasi Pertanahan. Jurnal Ilmu Administrasi Cendekia, Volume 5 Nomor 2.