Makalah ini membahas dampak sosial dan akibat hukum penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar sebagai bagian dari pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia. Penertiban dimaknai sebagai penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan agar dapat dibagikan kepada petani miskin.
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Korporasi Petani
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
1. DAMPAK DAN AKIBAT HUKUM PENERTIBAN TANAH
KELEBIHAN MAKSIMUM, TANAH ABSENTEE, DAN TANAH
TERLANTAR
Disusun dalam rangka memenuhi tugas
MAKALAH
SOSIOLOGI HUKUM
Oleh:
Nama: Nursiah
NIM: 1908018024
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
FAKULTAS HUKUM
2019
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan petunjukNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Sosiologi Hukum berjudul “Dampak dan Akibat Hukum Penertiban Tanah
Terlantar, Tanah Absentee, dan Tanah Kelebihan Maksimum.”
Penulis menyadari, keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih
kepada Dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi Hukum dan seluruh rekan-rekan
mahasiswa program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Mulawarman atas
segala kontribusinya.
Akhir kata, penulis memohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang memerlukan.
Samarinda, Oktober 2019
PENULIS
N U R S I A H
3. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….............. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………
B. Rumusan Masalah dan Tujuan ……………………………………
C. Metode Penulisan …………………………………………………
1
9
9
BAB II PEMBAHASAN
A. Tinjauan Teoritis Penulisan ….........................................................
B. Dampak Sosial Penertiban ….……………………………………..
C. Akibat Hukum Penertiban …………………………………………
10
21
23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………..
B. Saran ………………………………………………………………
24
24
DAFTAR PUSTAKA
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir mengawali reformasi agraria di negeri
ini pasca kemerdekaannya. Tanah partikelir merupakan tanah yang oleh
penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan
disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni berkuasa atas
tanah beserta orang-orang di dalamnya. Penguasaan semacam itu membuat
tanah partikelir seperti negara dalam negara, sebab penguasanya dapat hak
mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang
pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. 1 Dua tahun
berikutnya, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang sering disebut UUPA.
Setelah 15 tahun lamanya dirumuskan, UUPA akhirnya menjadi
fondasi utama dilakukannya perubahan mendasar sistem penguasaan dan
pengelolaan tanah di negara ini. UUPA meletakkan landasan hukum
berkenaan dengan redistribusi penggunaan tanah yang dianggap
monumental sekaligus revolusioner. UUPA antara lain mengatur
pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara
1 Hendri F. Isnaeni, Reforma Agraria. Konflik Agraria Terjadi Karena UUPA Tidak
Dijalankan.Diakses dari https://historia.id pada 01 Oktober 2019 pukul 20.00 Wita.
5. untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga
negara asing tak punya hak milik.
Atas dasar pengaturan di UUPA kemudian dibentuk Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian yang disahkan dengan UU Nomor 1 Tahun
1961. Reformasi agraria kemudian dilanjutkan dengan lahirnya Peraturan
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian. Pengaturan tersebut untuk mendukung
program redistribusi tanah untuk meminimalisasi konflik.2 Tanah-tanah
berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan, setelah diberikan ganti
rugi, selanjutnya dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah.
Kemudian lahir Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah. Pengaturan tersebut untuk mengetahui dan memberi
kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah.
Beberapa tahun setelah reformasi agraria dijalankan, tepatnya pada
1965, Pemerintah Indonesia berganti rezim. Program reformasi agraria yang
dijalankan negara, yang sesungguhnya dirumuskan sebagai dasar
pembangunan Indonesia, harus menghadapi hambatan terbesarnya segera
setelah rezim militer Soeharto berkuasa. Pemerintah Orde Baru membawa
perubahan besar pada politik agraria. Berbeda dengan rezim sebelumnya
yang memiliki pandangan politik agraria ‘tanah untuk rakyat’ (land for the
people) dan ‘tanah untuk petani penggarap’ (‘land to the tiller’) yang
2 Ibid.
6. dijalankan melalui program land reform.3 Argumentasinya, orientasi politik
agraria rezim Orde Baru cenderung mendukung investasi-investasi skala
besar. Penyediaan lahan dalam skala besar untuk kepentingan modal dalam
negeri maupun luar negeri menjadi prioritas. Penguasaan tanah dinilai
menjadi komoditas ekonomi yang bertentangan dengan ketentuan dalam
UUPA yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial.
Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, reformasi
agraria diawali dengan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7
ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan
sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan
menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam
rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah,
koperasi dan masyarakat luas. TAP MPR tersebut ditindaklanjuti dengan
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian
Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam rangka
Pelaksanaan Landreform.
Pada tahun 2001, MPR membentuk TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang
mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di
3 Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Enam Dekade Ketimpangan. Masalah
Penguasaan Tanah di Indonesia, Agrarian Resource Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Bandung,2011, hlm. 6-7.
7. Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan Yang
Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Di antara arah kebijakan
reformasi agraria di Era Reformasi adalah melaksanakan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform)
yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
Arah kebijakan tersebut merupakan yang paling esensial dalam mencapai
tujuan reformasi agraria.4
Dalam pelaksanaanya, redistribusi tanah sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan landreform terkendala sejumlah masalah. Sebagai contoh yang
terjadi di Kalimantan Selatan.5 Program redistribusi tanah untuk pertanian
belum dikenal masyarakat dan penerima program ini masih belum tepat
sasaran. Selain itu tanah yang diredistribusi di Kalimantan Selatan adalah
tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Implementasi redistribusi lahan
pertanian dari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah
terlantar tidak terlaksana. Karena objek program redistribusi tanah hanya
berasal dari dari tanah yang dikuasai negara, maka luas tanah yang diterima
4 Oswar Mungkasa, Reforma Agraria. Sejarah, Konsep dan Implementasinya, Buletin
Agraria Indonesia, Edisi I, 2014, hlm. 6-8.
5 Fathul Achmadi Abby, et. al., Target and Mastery Lands of The Scop of Land
Agricultural Land Redistribution in the Province of South Kalimantan, Lambung Mangkurat Law
Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2017, hlm. 9-10.
8. petani kurang dari 2 hektare, bahkan ada yang menerima hanya 0,5 hektare.
Hasilnya berdampak pada kurang terpenuhinya kesejahteraan petani.
Faktanya, pelaksanaan reformasi agraria tidak mudah, bahkan setelah
Pemerintah membentuk Peraturan Presiden (Prepres) Nomor 86 Tahun 2018
tentang Reforma Agraria. Pemerintah Indonesia di bawah kekuasaan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesulitan dalam melaksanakan Program
Reforma Agraria karena permasalahannya begitu kompleks. Kompleksitas
tersebut menyangkut jumlah lahan yang akan dijadikan objek reforma
agraria. Di awal pemerintahan, terdapat tanah seluas 9 juta hektare yang bisa
dijadikan objek reforma agraria, namun ketika diimplementasikan, ternyata
tanah yang rencananya dijadikan sebagai objek reforma agraria sudah tidak
ada lagi.6
Penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah jika dimaknai secara ideal dan implementatif adalah
penertiban atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Di antaranya
adalah penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah
terlantar. Karena praktik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah memiliki hubungan hukum, maka pelaksanaan
penertiban sebagai implementasi reforma agraria dapat memberikan
dampak sosial dan akibat hukum.
6 Pemerintah Kesusahan Jalankan Reforma Agraria, CNN Indonesia. Diakses dari
https://www.cnnindonesia.com pada 01 Oktober 2019 pukul 22.00 Wita.
9. B. Rumusan Masalah dan Tujuan
Rumusan masalah penulisan ini dituangkan dalam bentuk pertanyaan
apakah dampak sosial dan akibat hukum penertiban penguasaan atas tanah
negara sebagai tindaklanjut reformasi agraria?
C. Metode Penulisan
Berdasarkan cara perumusannya, jenis penelitian dalam karya ilmiah
ini adalah penelitian normatif dengan metode studi pustaka. Sumber datanya
adalah peraturan perundangan tentang agraria dan reformasi agraria, serta
berbagai penelitian terkait sebagai sumber sekunder.
Metode analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, dalam hal ini literatur berupa hasil penelitian,
karya ilmiah, buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan rumusan masalah penelitian. Sumber data tersebut kemudian dibaca,
dipelajari, dan telaah untuk kemudian direduksi dengan cara membuat
abstraksi atau rangkuman inti yang konsistensi eksistensinya dalam
penyajian data perlu dijaga. Langkah selanjutnya adalah menyusun hasil
abstraksi dalam satuan-satuan untuk kemudian dikategorisasi. Data yang
sudah dikategorisasi kemudian diperiksa dan disajikan pada tinjauan
pustaka (literature review) sebagai penegasan untuk menjadi jawaban atas
rumusan masalah. Hasil analisa data lainnya akan disajikan kemudian untuk
kemudian ditafsirkan dengan metode deskripsi analitik.
BAB II
10. PEMBAHASAN
A. Tinjauan Teoritis Penertiban
Definisi Penertiban
Penertiban berasal dari kata dasar tertib yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) berarti teratur; menurut aturan; rapi. Sedangkan
penertiban merupakan kata benda memiliki arti proses, cara, perbuatan
menertibkan.7 Dalam konteks reformasi agraria, penertiban yang dimaksud
adalah untuk menata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah yang pada keadaan tertentu dicabut hak atas penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya sehingga dapat dibagikankembali ke
masyarakat lain yang berstatus miskin untuk tujuan pemerataan dan
keadilan.8
Dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria (Perpres No. 86/2018), redistribusi tanah disebut sebagai bentuk
penataan aset dalam tahapan pelaksanaan reforma agraria. Ada sebelas
obyek redistribusi tanah, di antaranya adalah tanah negara bekas tanah
terlantar, serta tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang masih
tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan sebagai objek
redistribusi tanah.
7 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id pada 02 Oktober 2019 pukul 10.15 Wita.
8 Supriadi, Redistribusi Tanah Negara Objek Landreform Dalam Mendukung Program
Reforma Agraria di Kabupaten Sumbawa,Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 3 Nomor 2,
Agustus 2015, hlm. 367-368.
11. Sedangkan terma tanah merupakan kata benda berarti permukaan
bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; keadaan bumi di suatu tempat;
permukaan bumi yang diberi batas; daratan; permukaan bumi yang terbatas
yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu negara atau menjadi
daerah negara; negeri; negara; bahan-bahan dari bumi; bumi sebagai bahan
sesuatu (pasir, napal, cadas, dan sebagainya); dasar (warna, cat, dan
sebagainya).9
Boedi Harsono berpendapat10, secara yuridis tanah berarti permukaan
bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Menurut Rosmidah11 , tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang
dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau
dimanfaatkan. Sehingga diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-
hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada
tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun pasti
diperlukan juga penggunaan sebagian yang ada di bawahnya dan air serta
ruang yang ada diatasnya. Oleh karena itu bahwa hak-hak atas tanah bukan
hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh
bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.
9 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan.Loc.Cit.
10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid I. Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.
18.
11 Rosmidah, Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif,
Volume 6 Nomor 2, 2013, hlm.64.
12. Bagi Heru Nugroho12, tanah memiliki makna multidimensional, pertama, dari
sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan
kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam
pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya yang dapat menentukan
tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena
berurusandenganw arisan danmasalah-masalah transendental. Karena maknanya yang
sangat penting itu, maka wajar jika pemerintah dalam berbagai kebijakan berupaya
untuk mengatur pemanfaatan, peruntukan dan penggunaan tanah demi kemaslahatan
umat manusia di Indonesia.
Tanah Terlantar
Definisi tanah terlantar tidak disebutkan dalam PP Nomor 11 Tahun
2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP
No.11/2010). Tetapi penjelasannya tertuang pada Pasal 1 angka 6 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun
2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah
tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar
penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya. Supriyanto mendefinisikan tanah
terlantar sebagai tanah yang pernah dibuka, dikerjakan oleh
pemilik/penggarapnya sampai 1 kali atau 2 kali panen, kemudian
12 Heru Nugroho, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak -Hak Atas
Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 99.
13. ditinggalkan oleh pemiliknya dalam waktu tertentu sampai menjadi hutan
kembali. Secara yuridis kemudian tanah ini kembali pada hak ulayatnya.13
Pada Pasal 2 PP No.11/2010, disebutkan bahwa yang termasuk
sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh
Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Tanah yang tidak termasuk sebagai obyek penertiban tanah terlantar
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No.11/2010 adalah tanah Hak Milik
atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya,dan tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun
tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik
Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Tanah Absentee
Kata absentee berasal dari kata latin absentee atau absentis, yang
berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M.Echlos
dan Hasan Sadily, absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di
tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu,
tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat. Dalam KBBI, tanah yang
13 Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundangan di Indoneia,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1, Januari 2010, hlm. 52
14. pemiliknya bukan penduduk daerah bersangkutan disebut tanah guntai atau
absente.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana
telah diubah dengan PP No. 41 Tahun 1964, mengatur bahwa pemilik tanah
pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya,
dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada
orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan
letak tanah tersebut.
Ketentuan dalam UUPA terutama pada Pasal 10, pada prinsipnya
mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu
hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan. Menurut Dewi, pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya
adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah absentee umumnya
bertempat tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah
pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian
untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan termasuk
kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee
adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian
15. besar dapat dinikmatioleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan,
bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.14
Astutiningsih berpendapat bahwa larangan tanah absentee
sebagaimana diatur dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No.
41/1964, merupakan tindaklanjut dari ketentuan pada Pasal 7, 10, dan 17.
Maksudnya agar petani bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah
pertanian miliknya, sehingga produktivitasnya bisa tinggi dan melenyapkan
pengumpulan tanah di tangan segelintir tuan-tuan tanah.15 Sementara Boedi
Harsono menyatakan bahwa tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil
yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati
oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena
pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Pemilikan tanah
pertanian secara absentee ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien,
misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan
hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini berarti
bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh
tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima
sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada
jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung
14 Ariska Dewi, Tesis Magister Kenotariatan: Ariska Dewi, Peran Kantor Pertanahan
Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas, Universitas
Diponegoro, Malang, 2008, hlm. 26.
15 Anastasia Apsari Astutiningsih dan Isharyanto, Peran Kantor Pertanahan Dalam
Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Sukoharjo, Jurnal Repertorium,
Volume 5 Nomor 1, 2018, hlm. 4.
16. segala resiko dan tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan
bagian lebih besar dari hasil tanahnya.16
Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat
letaknya tanahnya. Sesuai ketentuan Pasal 3 PP No. 224/1961 sebagaimana
diubah PP No. 41/1964, larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik
yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan
tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dan
tanahnya, masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut
secara efisien. Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini
adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan
dalam pasal ini termasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau
dwingend recht. 17 Jadi siapapun dalam hubungan dengan masalah
pemilikan tanah absentee harus tunduk kepada aturan tersebut. Terlebih lagi
terdapat ketentuan pada Pasal 19 yang menyebutkan sanksi pidana kepada
pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi
pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya.
Ada beberapa pengecualian atas penerapan tanah absentee, pertama,
sesuai pasal 3 PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964, ada
tiga pihak yang mendapatkan pengecualian kepemilikan atas tanah
absentee: (a) Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang
berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak
16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Djambatan, Jakarta, 2006, hlm. 385.
17 Ariska Dewi, Op. Cit., hlm. 28.
17. antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan untuk
mengerjakan tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia
landreform daerah kabupaten/kota; (b) Mereka yang sedang menjalankan
tugas negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus
lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria; (c) Bagi pegawai-pegawai
negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka
yang sedang menjalankan tugas negara.18 Pengecualian lainnya diberikan
kepada pensiunan pegawai negeri sesuai ketentuan PP No. 4 Tahun 1977
tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para
Pensiunan Pegawai Negeri. Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara
guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk daerah kabupaten/kotayang
bersangkutan, diberikan kepada pensiunan pegawai negeri dan janda
pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak
menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai
negeri.19
Tanah Kelebihan Maksimum
Pasal 7 UUPA mengamanatkan bahwa untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan. Selanjutnya di dalam Pasal 17 bahwa untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) UUPA diatur luas
maksimum dan atau minimum tanah yang dapat dipunyai dengan sesuatu
18 Ni Made Asri Alvionita, et.al., Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el), Jurnal
Hukum Kenotariatan, Volume 3 Nomor 1, 2018, hlm. 81-82.
19 Ariska Dewi, Loc. Cit.
18. hak oleh seseorang sehingga dapat memperoleh penghasilan yang cukup
untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Tanahtanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum tidak akan disita tetapi akan
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian dan selanjutnya tanah
tersebut akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Luas
maksimum dan minimum dimaksud ditetapkan dalam Perpu 56/1960 yang
kemudian dipertegas dalam Peraturan Kepala BPN (Perka BPN) Nomor 18
Tahun 2015 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian.
Pasal 3 UU 56/1960, mewajibkan pemilik tanah pertanian yang
melebihi batas maksimum untuk melapor dalam waktu 3 bulan, Selanjutnya
Pasal 4 Perpu 56/1960 mengatur bahwa orang atau orangorang sekeluarga
yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas
maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau
sebagian tanah tersebut. Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) tetap efektif dalam
menata dan mengembangkan kerangka hukum, politik dan kebijakan
pertanahan kedepan (Reforma Agraria), khususnya untuk mencegah
terjadinya kembali konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah, dengan
perkataan lain, untuk mencegah timbulnya tanah-tanah kelebihan dari batas
maksimum baru.
Perpu No 56 Tahun 1960, pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai
berikut: (a) penetapan batas maksimum yang dapat dimiliki oleh keluarga;
(b) penetapan batas minimun yang dapat dimiliki oleh keluarga; (c) larangan
pemindahtanganan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum;
19. (d) pengembalian tanah-tanah gadai kepada pemiliknya; (e) pemberian
sanksi bagi pelanggar ketentuan.
Bentuk Penertiban
Kunci dari penertiban tanah absentee dan tanah kelebihan
maksimum diatur dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No.
41/1964. Sedangkan penertiban tanah terlantar PP Nomor 11 Tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP No. 11/2010).
Status tanah yang telah ditertibkan, baik tanah absentee, tanah kelebihan
maksimum maupun tanah terlantar adalah langsung dikuasai oleh negara.
Berdasarkan Perpres No. 86/2018, tanah yang berasal dari tanah absentee,
tanah kelebihan maksimum, dan tanah terlantar menjadi objek reforma
agraria yang dapat dibagikan kembali kepada masyarakat untuk keperluan
pertanian.
Dalam PP No. 224/1961 sebagaimana diubah PP No. 41/1964
mengatur sejumlah ketentuan tentang larangan memiliki tanah absentee dan
kelebihan maksimum. Pemilik tanah diberikan waktu untuk
mengalihkannya kepada orang lain, jika sampai batas waktu yang telah
ditentukan belum dilakukan, maka pemerintah dapat mengambil alih
dengan terlebih dahulu memberikan ganti rugi. Setelah diberikan ganti rugi,
tanah tersebut diredistribusikan.
Sedangkan dalam PP No. 11/2010 dan peraturan turunannya,
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar (Perka BPN No.
20. 4/2010), penertiban dilakukan dalam beberapa tahap, mulai dari
inventarisasi, identifikasi dan penelitian, peringatan, dan penetapan. Setalah
tanah ditetapkan terlantar dan status hukumnya menjadi dikuasai langsung
oleh negara menjadi objek redistribusi. Pada saat ditetapkan menjadi tanah
terlantar, pemerintah menetapkanya dengan keputusan yang menyatakan
bahwa hak atas tanah tersebut menjadi hapus, sekaligus memutuskan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara.
Dian Aries Mujiburohman mengemukakan sejumlah pendapat
tentang proses penertiban tanah yang menjadi objek redistribusi tanah.20 Ia
mengemukakan tentang akhir dari proses penertiban itu adalah pembagian
tanah untuk tujuan keadilan dan pemerataan atas sumber penghidupan
masyarakat tani. Tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya
dibagi-bagikan kepada para petani yang membutuhkan itu tidak disita,
melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian, kecuali untuk
tanah terlantar.
Kedala Penertiban
Program Reforma Agraria yang telah dijalankan pemerintah di bawah
kekuasaan Presiden Joko Widodo belum berjalan optimal. Redistribusi
tanah dari objek tanah yang berasal dari tanah absentee, kelebihan
maksimum dan tanah terlantar tidak terealisasi, seperti halnya dipaparkan
Fathul Achmadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya terkait
20 Dian Aries Mujiburohman, Problematika Pengaturan Tanah Negara Bekas Hak Yang
telah Berakhir,Jurnal Bhumi, Vol. 2 No. 2, November 2016, hlm. 153-154.
21. implementasi program Reforma Agraria di Provisi Kalimantan Selatan.
Salah satu sebab tidak adanya realisasi redistribusi tanah dari objek tanah
yang berasal dari tanah absentee, kelebihan maksimum dan tanah terlantar
adalah ketiadaan data terkait kesemua objek tanah tersebut.21
Berdasarkan informasi dari Direktorat Penataan Agraria Kementerian
Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional, hingga akhir
2017, telah melakukan legalisasi aset tanah transmigran sebanyak 20.252
bidang, legalisasi aset 6,207 juta bidang, dan redistribusi tanah sebanyak
262.189 bidang tanah. Namun masih ada sejumlah permasalahan teknis
yang menjadi kendala, di antaranya adalah ketiadaan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan kurangnya koordinasi pemerintah daerah dengan
masyarakat.22 Data lainnya menyebutkan bahwa objek redistribusi tanah
yang presentase realisasinya besar adalah dari bekas Hak Guna Usaha
(HGU) dan eks tanah hasil pelepasan kawasan hutan.23
B. Dampak Sosial Penertiban
Objek penertiban tanah absentee, kelebihan maksimum, dan tanah
terlantar cenderung mengarah pada bidang tanah yang telah melekat di
atasnya hak atas tanah, seperti hak milik yang telah didaftarkan ke Badan
Pertanahan Nasional dan bersetifikat hak milik. Sementara tanah yang
masih berstatus belum hak milik yang alasnya, baik berupa surat pernyataan
21 Fathul Achmadi Abby, et. al., Op.Cit., hlm. 28.
22 Tane Hadiyanto, Program Reforma Agraria Masih Terkedala, diakses dari
https://nasional.kontan.co.id pada 03 Oktober 2019 pukul 15.00 Wita.
23 Efrem Siregar, Program Jokowi Soal Bagi-BagiTanah Baru Tercapai 65%,diakses dari
https://www.cnbcindonesia.com pada 03 Oktober 2019 pukul 15.15 Wita.
22. penguasaan yang diketahui oleh Kepala Desa atau Camat, maupun
berdasarkan Surat Keterangan Tanah atau Surat Keterangan Penguasaan
Tanah atau semacamnya yang diterbitkan Kepala Desa maupun Camat,
belum menjadi objek prioritas dalam penertiban.
Padahal tanah yang dikuasai berdasarkan Surat Pernyataan
Penguasaan ataupun Surat Keterangan Tanah dari Kepala Desa/Camat
jumlahnya jauh lebih banyak. Hampir tidak ada sejengkalpun tanah di
negeri ini yang belum dikuasai oleh masyarakat, baik secara individu
maupun kelompok. Dan kebanyakan tanah yang dikuasai tersebut belum
dikelola dan dimanfaatkan. Statusnya jelas berpotensi menjadi tanah
terlantar. Belum lagi jika didasarkan atas ketentuan absentee dan kelebihan
maksimum, kemungkinan pelanggaran atas penguasaan tanah makin besar.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan melakukan inventarisasi,
memberikan izin pembukaan dan garapan tanah menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Bahkan Pemerintah Desa pun memiliki kewenangan
melakukan inventarisasi terhadap tanah yang ada di desa dengan
mengadministrasikannya sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47
Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintah Desa.24
Namun penertiban tanah terlantar, absentee, dan kelebihan
maksimum bukan perkara mudah. Selain soal ganti rugi materil yang
24 Amiruddin Setiawan, Pelaksanaan Pengawasan Oleh Camat Dalam Upaya Mencapai
Efektivitas Pengelolaan Administrasi Pertanahan, Jurnal Ilmu Administrasi Cendekia, Volume 5
Nomor 2, 2012, hlm. 153-154.
23. membebankan anggaran negara, juga soal potensi sengketa dan
ketidakterimaan si penguasa tanah untuk memberikan tanahnya meskipun
diberikan ganti rugi. Dampaknya jelas, konflik horizontal antar masyarakat
dan konflik vertikal antar masyarakat dan pemerintah.
C. Akibat Hukum Penertiban
Selain berdampak pada konflik horizontal dan vertikal, penertiban
tanah tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan maksimum berpotensi
besar menimbulkan gugatan, baik yang berkaitan dengan sengketa
keputusan tata usaha negara, maupun gugatan secara perdata atas kerugian
materil dan imateril terhadap keputusan penertiban tanah terlantar,
absentee, dan kelebihan maksimum. Dengan adanya gugatan tersebut, maka
bukan saja akan dapat menguras tenaga dan pikiran, tetapi juga berpotensi
menguras anggaran.
BAB III
PENUTUP
24. A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan penertiban tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan
maksimum belum berjalan optimal, terlebih untuk menyentuh tanah-
tanah yang penguasaannya masih belum didaftarkan atau belum
bersertifikat hak milik. Bukti nyatanya adalah objek redistribusi lahan
program reforma agraria yang sebagian besar didominasi dari objek
bekas Hak Guna Usaha dan pelepasan kawasan hutan.
2. Objek penertiban tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan
maksimum masih fokus pada tanah yang berstatus hak milik dan belum
menyentuh pada tanah yang saat ini inventarisasi serta izin pembukaan
dan penggarapannya menjadi domain pemerintah daerah
kabupaten/kota.
3. Penertiban atas tanah terlantar, absentee, dan tanah kelebihan
maksimum dapat berdampak pada munculnya konflik horizontal dan
vertikal. Selain itu, penetapan tanah terlantar, absentee, dan tanah
kelebihan maksimum dan pengambilalihannya untuk di-redistribusi
juga dapat berakibat hukum munculnya sengketa keputusan tata usaha
negara dan tuntutan secara perdata.
B. Saran
Untuk menjalankan amanah Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, maka Pemerintah dapat mempertegas regulasi
25. penertiban dan penegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan dan
pemerataan kepemilikan/penguasaan/pengelolaan atas tanah untuk tujuan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
26. Isnaeni, Hendri F., 2019, Reforma Agraria. Konflik Agraria Terjadi Karena
UUPA Tidak Dijalankan. Diakses dari https://historia.id pada 01 Oktober
2019 pukul 20.00 Wita.
Wiradi, Gunawan dan Dianto Bachriadi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan.
Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Bandung: Agrarian Resource
Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Mungkasa, Oswar dan Reforma Agraria. 2014. Sejarah, Konsep dan
Implementasinya, Buletin Agraria Indonesia, Edisi I.
Abby, Fathul Achmadi, et. al. Maret 2017. Target and Mastery Lands of The
Scop of Land Agricultural Land Redistribution in the Province of South
Kalimantan, Lambung Mangkurat Law Journal, Volume 2 Nomor 1.
CNN Indonesia, 10 Mei 2019. Pemerintah Kesusahan Jalankan Reforma
Agraria.Diakses dari https://www.cnnindonesia.com pada 01 Oktober 2019
pukul 22.00 Wita.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2019. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan. Diakses dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id pada 02 Oktober 2019 pukul 10.15 Wita.
Supriadi. Agustus 2015. Redistribusi Tanah Negara Objek Landreform Dalam
Mendukung Program Reforma Agraria di Kabupaten Sumbawa, Jurnal
Kajian Hukum dan Keadilan, Volume 3 Nomor 2.
27. Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Bagian Pertama,
Jilid I. Jakarta: Djambatan.
Rosmidah. 2013. Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia, Jurnal Ilmu
Hukum Inovatif, Volume 6 Nomor 2.
Nugroho, Heru. 2002. Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan
Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju.
Supriyanto. Januari 2010. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan
Perundangan di Indoneia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1.
Dewi, Ariska. 2008. Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan
Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas. Malang: Universitas
Diponegoro.
Isharyanto dan Anastasia Apsari Astutiningsih. 2018. Peran Kantor
Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di
Kabupaten Sukoharjo, Jurnal Repertorium, Volume 5 Nomor 1.
Harsono, Boedi. 2006. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-
Peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan.
Alvionita, Ni Made Asri, et.al. 2018. Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian
Secara Absentee Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda
28. Penduduk Elektronik (KTP-el), Jurnal Hukum Kenotariatan, Volume 3
Nomor 1.
Mujiburohman, Dian Aries. November 2016. Problematika Pengaturan Tanah
Negara Bekas Hak Yang telah Berakhir, Jurnal Bhumi, Vol. 2 No. 2.
Hadiyanto, Tane. 29 Maret 2018. Program Reforma Agraria Masih Terkedala,
diakses dari https://nasional.kontan.co.id pada 03 Oktober 2019 pukul 15.00
Wita.
Siregar, Efrem. 5 Agustus 2019. Program Jokowi Soal Bagi-Bagi Tanah
Baru Tercapai 65%, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com pada 03
Oktober 2019 pukul 15.15 Wita.
Setiawan, Amiruddin. 2012. Pelaksanaan Pengawasan Oleh Camat Dalam
Upaya Mencapai Efektivitas Pengelolaan Administrasi Pertanahan. Jurnal
Ilmu Administrasi Cendekia, Volume 5 Nomor 2.