SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Download to read offline
89
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA:
Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria
Syahyuti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani 70 Bogor
ABSTRACT
Land reform program was once successful in Indonesia in 1960’s although it included only land area and
limited number of receiving farmers. The New Order government never carried out land reform program explicitly,
but it was substituted with programs of certification, transmigration, and Nucleus Estate Smallholders
development. All of those programs aimed at enhancing people’s access to land ownership. The governments in
the reform era improve some regulations related with agrarian reform but no real program of land reform.
Theoretically, there are four imperative factors as prerequisites for land reform program, namely political will of the
government, solid farmers’ organization, complete data, and sufficient budget. At present, all of those factors are
still difficult to realize and, thus, land reform in Indonesia is hard to be implemented simultaneously.
Key words : landreform, agrarian reform, land ownership
ABSTRAK
Program landreform pernah dicoba diimplementasikan di Indonesia pada era tahun 1960-an, meskipun
hanya mencakup luasan tanah dan petani penerima dalam jumlah yang sangat terbatas. Kemudian, sepanjang
pemerintahan Orde Baru, landreform tidak pernah lagi diprogramkan secara terbuka, namun diganti dengan
program pensertifikatan, transmigrasi, dan pengembangan Perkebunan Inti Rakyat, yang pada hakekatnya
bertujuan untuk memperbaiki akses masyarakat terhadap tanah. Sepanjang pemerintahan dalam era reformasi,
telah dicapai beberapa perbaikan dalam hukum dan perundang-undangan keagrariaan, namun tetap belum
dijumpai program nyata tentang landreform. Secara teoritis, ada empat faktor penting sebagai prasyarat
pelaksanaan landreform, yaitu kesadaran dan kemauan dari elit politik, organisasi petani yang kuat, ketersediaan
data yang lengkap, serta dukungan anggaran yang memadai. Saat ini, kondisi keempat faktor tersebut masih
dalam kondisi lemah, sehingga dapat dikatakan implementasi landreform secara serentak dan menyeluruh di
Indonesia masih sulit diwujudkan.
Kata kunci : landreform, pembaruan agraria, penguasaan tanah
PENDAHULUAN
Landreform yang dalam arti lebih sem-
pit berupa penataan ulang struktur penguasa-
an dan pemilikan tanah, merupakan bagian
pokok dalam konsep reforma agraria (agrarian
reform). Semenjak era reformasi, telah terjadi
perkembangan yang menggembirakan, di
mana telah cukup banyak pihak yang membi-
carakan dan peduli dengan permasalahan ini,
meskipun masih terbatas pada tingkat wacana.
Namun demikian, sampai sekarang belum
berhasil disepakati bagaimana landreform dan
agrarian reform (pembaruan agraria) tersebut
sebaiknya untuk kondisi di Indonesia.
Beberapa pihak menginginkan pemba-
ruan agraria secara revolusioner (serentak dan
menyeluruh), namun pihak lain menginginkan
pola yang lebih lunak secara gradual. Selain
perihal pilihan tersebut masih banyak per-
tanyaan yang menggantung yang harus dija-
wab dalam konteks ini, misalnya pembagian
peran pemerintah pusat dan daerah. Menurut
Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002a) bidang
yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah
seyogyanya hanyalah dalam “urusan agraria”,
yaitu bentuk-bentuk dan cara mengusahakan
atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usa-
ha pertanian, kehutanan, pertambangan, dan
perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan
tanah yang mencerminkan makna tanah seba-
90
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101
gai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak
dapat didelegasikan ataupun diserahkan men-
jadi urusan daerah. Artinya, landreform berupa
penataan ulang pemilikan dan penguasaan,
biarlah tetap menjadi wewenang pusat, namun
aspek-aspek land tenure dapat diperankan
oleh daerah mulai sekarang.
Terdapat empat masalah pokok agra-
ria di Indonesia sebagaimana disampaikan
dalam Tap MPR No. IX tahun 2001, yaitu:
pemilikan tanah yang sempit dan timpang,
konflik pertanahan, inkosistensi hukum, serta
kerusakan sumber daya alam. Seluruhnya
mestilah menjadi agenda yang pokok untuk
diselesaikan sebelum sampai kepada peru-
musan konsep landreform yang ideal yaitu
“land to tillers”. Menurut data yang dikum-
pulkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria
(2004), per 30 Desember 2001 tercatat telah
terjadi 1.753 kasus konflik pertanahan di selu-
ruh Indonesia yang mencakup luas 10.892.203
ha tanah, dan melibatkan 1.189.482 keluarga.
Khusus pada bidang pembangunan
pertanian, beberapa permasalahan yang diha-
dapi adalah semakin sempitnya penguasaan
tanah, sulitnya membendung konversi ke
penggunaan pertanian, konflik penguasaan,
serta fragmentasi tanah. Land man ratio di
Indonesia pada tahun 2004 dengan jumlah
penduduk diperkirakan 215 juta jiwa dan luas
lahan pertanian 7,8 juta ha adalah 362 m2
per
kapita. Angka ini jauh lebih rendah misalnya
dibandingkan dengan Thailand yang mencapai
1870 m2
per kapita dan Vietnam 1300 m
2
per
kapita.
Dalam tulisan ini dipaparkan kondisi
kesiapan pemerintah dan masyarakat Indone-
sia saat ini dalam kaitannya dengan peluang
untuk mengimplementasikan program land-
reform. Pada bagian awal tulisan ini disampai-
kan penjelasan konsep landrefrom dan
agrarian reform yang seringkali membingung-
kan beberapa pihak, lalu dilanjutkan struktur
penggunaan dan penguasaan tanah di
Indonesia sekarang ini. Setelah itu dinarasikan
secara ringkas kinerja pelaksanaan landreform
di Indonesia selama ini, dan berikutnya yang
merupakan bagian utama dijabarkan berbagai
kendala riel yang dihadapi untuk mengimple-
mentasikan landreform di Indonesia. Tulisan
ini bertujuan memberikan masukan kepada
para pakar, akademisi, maupun praktisi dan
aktivis sehingga dapat menjadi titik tolak dalam
merumuskan berbagai opsi program land-
reform yang sesuai, atau setidaknya yang
mungkin diimplementasikan di Indonesia.
PENGERTIAN LANDREFORM DAN
AGRARIAN REFORM
Landreform dan agrarian reform diberi-
kan pengertian yang berbeda-beda oleh para
ahli. Namun, dapat disimpulkan bahwa land-
reform adalah salah satu bagian dari agrarian
reform (lihat misalnya Wiradi, 1984). Menurut
Cohen (1978), landreform adalah: “...... change
in land tenure, especially the distribution of
land ownership, thereby achieving the
objective of more equality”. Jadi inti dari
kegiatan landreform adalah redistribusi tanah,
sebagai upaya memperbaiki struktur pengua-
saan dan pemilikan tanah di tengah masya-
rakat, sehingga kemajuan ekonomi dapat
diraih dan lebih menjamin keadilan.
Agrarian reform, atau adakalanya di-
sebut reforma agraria dan pembaruan agraria
(istilah resmi sebagaimana tercantum dalam
Tap MPR No. IX tahun 2001), memiliki
pengertian yang lebih luas, yang mencakup
dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai
produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana
agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978).
Dalam konteks pembaruan agraria, pening-
katan produksi tidak akan mampu dicapai
secara optimal apabila tidak didahului oleh
landreform. Sementara, keadilan juga tidak
mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi,
landreform tetaplah menjadi langkah dasar
yang menjadi basis pembangunan pertanian
dan pedesaan. Dalam pembaruan agraria
tercakup permasalahan redistribusi tanah, pe-
ningkatan produksi dan produktifitas, pengem-
bangan kredit untuk pertanian, pajak lahan,
hubungan penyakapan dan regulasi baru
sistem pengupahan buruh tani, dan konsoli-
dasi tanah. Dengan kata lain, ada dua
pembaruan yang harus dilakukan dalam
pembaruan agraria, yaitu land tenure reform
(hubungan pemilik dan penyakap) dan land
operation reform (perubahan luas penguasa-
an, pola budidaya, hukum penguasaan, dan
lain-lain).
Satu kata kunci yang perlu dipahami
sebelum sampai kepada apa yang dimaksud
dengan agrarian reform dan landreform,
91
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti
adalah tentang batasan “agraria”. Dalam Pasal
1 ayat 2 dan pasal 2 ayat 1 UU No. 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, apa yang dimaksud dengan agraria
adalah: “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya....”. Pengertian ini sejalan dengan
yang tercantum pada Tap MPR no. IX tahun
2001, pada bagian “Menimbang” butir (a), yaitu
“Bahwa sumber daya agraria/sumber daya
alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
Meskipun tanah hanyalah salah satu
objek agraria, namun tanah merupakan objek
pokok yang dicakup dalam pengertian agraria.
Dalam UUPA No. 5 tahun 1960, pada bagian
“Berpendapat” butir (d) disebutkan: “ ...
mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan
tanah dan memimpin penggunaannya, hingga
semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan
bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat...”. Begitu besarnya
esensi permasalahan “tanah” juga ditemui
dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 5
butir (b) yaitu: “Melaksanakan penataan
kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah (landreform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilik-
an tanah untuk rakyat...”.
Pentingnya posisi “tanah” dalam pe-
ngertian agraria tersebut secara tidak
langsung memberi makna bahwa kegiatan per-
tanian merupakan bentuk aktifitas masyarakat
yang paling erat kaitannya dengan apa yang
dibicarakan dalam agraria, termasuk ketika
membicarakan reforma agraria. Hal ini karena
pertanian lah sektor yang paling banyak
bersentuhan dengan pengolahan tanah, bukan
kehutanan dan pertambangan misalnya. Seca-
ra faktual, telah tampak bahwa landreform
merupakan langkah yang tak terpisahkan
dalam pembangunan pertanian sebagaimana
telah dibuktikan oleh Jepang, Taiwan, RRC
dan Vietnam.
Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001
pasal 2 disebutkan: “Pembaruan agraria
mencakup suatu proses yang berkesinam-
bungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pe-
manfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan
dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Terlihat disini, bahwa ada dua bagian pokok
yang menjadi perhatian pembaruan agraria,
yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” di
satu sisi, dan aspek “penggunaan dan peman-
faatan” di sisi lainnya. Penataan penguasaan
dan pemilikan tersebut merupakan kegiatan
utama landreform dengan intinya berupa
redistribusi tanah.
Menurut Wiradi (1984), reforma agra-
ria adalah modifikasi berbagai persyaratan
yang dapat mempengaruhi sektor pertanian
misalnya berupa kredit, kebijakan harga,
penelitian dan penyuluhan, pengadaan input,
koperasi dan lain-lain. Seluruh komponen
tersebut sudah menjadi perhatian kebijakan
pemerintah selama ini, namun karena tidak
didahului dengan landreform, maka selain
hasil yang dicapai tidak optimal, juga dibarengi
oleh ketimpangan penguasaan yang berimpli-
kasi kepada ketimpangan kesejahteraan, mar-
jinalisasi petani kecil, urbanisasi yang tidak
terkendali dari para buruh tani dan petani
sempit, dan lain-lain.
Menurut Harsono (2003), landreform
secara luas meliputi lima program, yaitu:
pelaksanaan pembaruan hukum agraria,
penghapusan hak-hak asing dan konsesi
kolonial atas tanah, diakhirinya kekuasaan
tuan tanah dan para feodal, perombakan pemi-
likan dan penguasaan tanah, serta perencana-
an dan penggunaan sumber daya alam sesuai
kemampuannya. Program landreform secara
lebih spesifik adalah larangan penguasaan
tanah melebihi batas maksimum, larangan
tanah absentee, redistribusi tanah objek
landreform, pengaturan pengembalian dan
penebusan tanah yang digadaikan, penga-
turan tentang bagi hasil, serta penetapan luas
minimum dan pelarangan fragmentasi lahan
pada batas tertentu.
Secara umum, reforma agraria dapat
menempuh dua jalan, yaitu secara serentak,
cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual
namun berkelanjutan. Jalan pertama banyak
didukung oleh kalangan pemerhati agraria,
terutama dari golongan LSM, dimana aspek
landreform merupakan fokus utamanya.
Sementara, jalan yang kedua yang terkesan
lebih “soft” didukung oleh kalangan birokrasi
terutama departemen-departemen teknis, mi-
salnya Departemen Pertanian. Kalangan ini
beranggapan bahwa untuk mengimplimentasi-
kan jalan pertama syarat yang dibutuhkan
92
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101
lebih berat, misalnya diperlukan pembiayaan
yang besar dan sekaligus, pendataan secara
menyeluruh, melibatkan banyak organisasi,
dan resiko politik yang sangat besar. Selain
itu, perkembangan ekonomi juga akan ter-
sendat dalam jangka pendek semenjak refor-
ma agraria tersebut dijalankan.
STRUKTUR PENGGUNAAN DAN
PENGUASAAN TANAH DI INDONESIA
Penataan tanah ditentukan oleh dua
faktor pokok, yaitu bagaimana struktur pe-
nguasaan dan bagaimana pula struktur peng-
gunaan tanah. Pihak yang memiliki hak
menguasai akan memiliki kuasa pula untuk
menggunakannya sesuai dengan kepentingan-
nya. Meskipun tidak didukung oleh program
landreform yang sistematis dan komprehensif,
namun berbagai faktor seperti peningkatan
penduduk, ketersediaan modal dan teknologi
pertanian, pengembangan prasarana, dan lain-
lain telah membentuk suatu struktur peng-
gunaan dan penguasaan tanah di Indonesia
yang berubah secara dinamis dari waktu ke
waktu.
Dari total luas daratan di Indonesia
hampir 191 juta ha, sebagian besar (66,16
persen) merupakan kawasan hutan, sedang-
kan untuk pertanian dengan berbagai agro-
ekologi (sawah, tegalan, dan perkebunan)
adalah 36,35 juta ha (18,72 persen). Perluas-
an lahan pertanian di Indonesia berkembang
agak lambat. Dalam makalah Puslitbangtanak
(2002) dipaparkan bahwa, perbandingan
antara dua titik waktu tahun 1986 dan tahun
1999, lahan sawah berkembang dari 7,75
menjadi 8,70 juta ha, sedangkan lahan kering
lebih lambat lagi yaitu dari 11,27 menjadi
12,23 juta ha. Hanya perkebunan yang cepat
berkembang, yaitu dari 8,05 menjadi lebih dari
17 juta ha pada kurun waktu tersebut.
Dari sisi peluang pemanfaatan lahan,
berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Perta-
nian Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslitbang-
tanak, 2001), luas potensi lahan basah di
Indonesia masih tiga kali lipat yaitu 24,5 juta
ha. Lahan yang luas tersebut terutama berada
di wilayah Papua, Sumatera, dan Kalimantan.
Di wilayah Papua saja, terdapat potensi
pengembangan lahan basah seluas 7,2 juta
ha, yang tersebar di dataran aluvial Sungai
Digul, bagian Selatan Kepala Burung, dan
Lembah Membramo. Sementara untuk pe-
ngembangan tanaman pangan semusim di
lahan kering, terdapat potensi seluas 25,3 juta
ha, dan untuk tanaman perkebunan ada
seluas 50,9 juta ha. Perhitungan ini didasarkan
atas karateristik tanah, iklim, dan kesesuaian
agronomis tanaman; sementara aspek pe-
nguasaan dan pemilikan, serta aksesibiltas
dan keuntungan belum diperhitungkan.
Dalam makalah Kepala BPN (2001)
disebutkan, bahwa berdasarkan indeks rata-
rata nasional penggunaan kawasan budidaya,
menunjukkan bahwa masih tersisa 57,74
persen kawasan budidaya yang berupa hutan.
Artinya, masih tersedia potensi pengemba-
ngan kawasan budidaya dalam jumlah yang
cukup besar. Kawasan tersebut berada di luar
Jawa, secara berturut-turut dari yang terluas
adalah di Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara
dan Maluku, serta Sumatera.
Data tersebut dapat dimaknai, bahwa
sesungguhnya masih terdapat potensi yang
besar untuk pengembangan pertanian (prog-
ram ekstensifikasi), karena tanah yang dapat
dijadikan kawasan budidaya masih cukup luas.
Namun demikian, salah satu kendala untuk
memanfaatkannya adalah perihal penguasaan
yang belum jelas dan kuat secara hukum.
Karena itu, program landreform dapat menjadi
jalan untuk mewujudkan potensi tersebut, yaitu
dengan memberi kepastian hukum kepada
penduduk untuk menguasainya.
Dari sisi struktur penguasaan, khusus
untuk perkebunan, dari total 14,46 juta ha
perkebunan di Indonesia, 4,56 juta ha (32
persen) merupakan pekebunan swasta besar
dengan dasar penguasaan berupa Hak Guna
Usaha (HGU). Sebagian besar HGU terdapat
di wilayah Jawa dan Bali (45 %) dan Sumatera
(37 %) (BPN, 2001). Meskipun perkebunan
rakyat luasnya cukup besar (68 %), namun
dibandingkan dengan jumlah petani pekebun
yang menggantungkan hidupnya secara lang-
sung pada usaha perkebunan rakyat, maka
luasan tersebut masih belum memuaskan.
Secara teoritis, dapat dibuat tiga tipe
struktur agraria di dunia, yaitu: (1) tipe kapi-
talis, dimana tanah dikuasai para pemilik besar
misalnya swasta, (2) tipe sosialis, dimana
negara menguasai tanah secara terpusat, dan
(3) tipe populis, dimana masyarakat memiliki
hak untuk menguasai tanah-tanah secara
93
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti
privat dan kolektif. Di Indonesia, baik swasta,
negara dan masyarakat diberi hak untuk dapat
menguasai tanah. Permasalahannya adalah
tidak cukupnya tanah yang dikuasai masyara-
kat secara privat, sedangkan pihak swasta dan
negara dikritik karena menguasai tanah secara
lebih luas. Semakin sempitnya tanah yang
dikuasai masyarakat, khususnya petani, selain
karena permasalahan internal dalam masyara-
kat itu sendiri, adalah karena tingginya tarikan
swasta dalam mekanisme pasar berupa alih
fungsi lahan, dan kewenangan negara yang
besar dan sepihak dalam mekanisme hukum
formal. Dengan kata lain, “otoritas” petani
terhadap tanah lemah dalam berhadapan de-
ngan swasta dan pemerintah. Dalam konteks
ini, maka landreform merupakan kebijakan
yang sangat solutif, karena memberi otoritas
formal kepada masyarakat untuk dapat me-
nguasai tanah secara layak dari sisi ekonomi.
PELAKSANAAN LANDREFORM DI
INDONESIA
Landreform di Indonesia pernah diim-
plementasikan dalam kurun waktu 1961 sam-
pai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk,
1995). Landasan hukum pelaksanaan land-
reform di Indonesia adalah UUPA No. 5 tahun
1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber pe-
ngaturan pembatasan luas tanah maksimum,
pasal 10 tentang larangan tanah absentee,
dan pasal 53 yang mengatur hak-hak semen-
tara atas tanah pertanian. Produk hukum yang
secara lebih tajam lagi dalam konteks ini
adalah UU Nomor 56 tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian, serta PP
No 224/ 1961 dan PP No 41/1964 tentang
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
Saat program landreform tersebut di-
luncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang
labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik
sebagai panglima”, dimana tiap kebijakan
pemerintah dimaknai dalam konteks politik.
Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian
menjadikan landreform sebagai alat yang
ampuh untuk memikat simpatisan. Landreform
diklaim sebagai alat perjuangan partai mereka,
dengan menjanjikan tanah sebagai faktor
penarik untuk perekrutan anggota. Pola ini
memang kemudian menjadikan PKI cepat
disenangi oleh masyarakat luas terutama di
Jawa yang petaninya sudah merasakan keku-
rangan tanah garapan. Namun bagi petani
bertanah luas, landreform merupakan anca-
man bagi mereka, baik secara politik maupun
ekonomi, yaitu kekhawatiran terhadap akan
menurunnya luas penguasaan tanah mereka
yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan
pendapatan keluarga dan kesejahteraan.
Program landreform hanya berjalan
intensif dari tahun 1961 sampai tahun 1965.
Namun demikian, pemerintahan Orde Baru
yang berkuasa pada masa berikutnya meng-
klaim bahwa landrefrom tetap dilaksanakan
meskipun secara terbatas. Dalam makalah
Posterman (2002) diuraikan, bahwa dari tahun
1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat
telah berhasil dilakukan distribusi lahan dalam
konteks landreform seluas 850.128 ha. Jumlah
rumah tangga tani yang menerima adalah
1.292.851 keluarga, dengan rata-rata keluarga
menerima 0,66 ha.
Data ini sedikit berbeda dengan yang
dikeluarkan oleh BPN (Kepala BPN, 2001),
dimana dari total obyek tanah landreform
1.601.957 ha, pada kurun waktu 1961-2001
telah diredistribusikan tanah seluas 837.082
ha (52%) kepada 1.921.762 petani penerima.
Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah
kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi
oleh pemerintah seluas 134.558 ha kepada
3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti
rugi lebih dari Rp. 88 trilyun.
Khusus selama era pemerintahan
Orde Baru, untuk menghindari kerawanan so-
sial politik yang besar, maka landreform di-
implementasikan dengan bentuk yang sangat
berbeda. Peningkatan akses petani kepada
tanah dilakukan melalui kebijakan berupa
penyeimbangan sebaran penduduk dengan
luas tanah, dengan cara memindahkan pendu-
duk ke daerah-daerah yang tanahnya luas
melalui transmigrasi. Program ini kemudian
dibarengi dengan program pengembangan
PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah
yang diberikan kepada transmigran dan petani
plasma mengikuti ketentuan batas minimum
penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per
keluarga.
Peluang Pelaksanaan Landreform
Pembaruan agraria secara umum
mensyaratkan dua hal pokok, dalam posisi
94
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101
ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen
politik pemerintah yang kuat di satu sisi, dan
tersedianya modal sosial (social capital)
misalnya berkembangnya civil society yang
memadai. Dapat dikatakan, keduanya saat ini
masih dalam kondisi tidak siap. Hambatan lain
datang dari intervensi yang tak terbantahkan
dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui
instrumen pasar global, yang telah menembus
seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal
sistem agraria suatu negara. Jika selama ini
pemerintah yang menjadi penguasa terhadap
petani dengan menggunakan tanah sebagai
alat politiknya, terutama dalam era “Tanam
Paksa”, maka di era pasar bebas ketika komo-
ditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka
pasarlah yang menjadi penguasa. Dengan
kata lain, sistem agraria yang akan berjalan di
suatu negara, baik penguasaan, pemilikan,
dan penggunaan; akan lebih ditentukan oleh
pasar dengan ideologinya sendiri misalnya
dengan penerapan prinsip-prinsip efisiensi dan
keuntungan.
Secara umum ada empat faktor pen-
ting sebagai prasyarat pelaksanaan land-
reform, yaitu: (1) elit politik yang sadar dan
mendukung, (2) organisasi petani dan masya-
rakat yang kuat, (3) ketersediaan data yang
lengkap dan akurat, serta (4) ketersediaan
anggaran yang memadai. Untuk Indonesia,
dapat dikatakan keempat faktor tersebut saat
ini sedang dalam kondisi lemah. Narasi secara
ringkas tentang kondisi keempat aspek
tersebut diuraikan berikut ini.
Lemahnya Keinginan Elite Politik dan
Kapasitas Pemerintah Lokal
Kunci pokok pelaksanaan landreform
ada pada politisi, karena permasalahan land-
reform ada dalam aspek politik. Hal ini dinyata-
kan oleh Walinsky (1997; dalam Abdurrahman,
2004), yaitu: “ The key to who makes agrarian
reform, and to what determines whether an
attempted reform will be successful is political.
Technical expertise in prepering and
administering the necessary legislation in
indispensible but experts do not make reform.
Politician and only politicians, make good or
poor reform or do not make them at all”. Di
pundak para politikuslah masalah besar land-
reform terletak. Hanya mereka yang mampu
melakukannya, atau sebaliknya pada mereka
jugalah yang memastikan apakah landreform
dapat dilaksanakan atau tidak sama sekali.
Kunci pelaksanaan landreform bukanlah pada
perencana, pakar, ataupun undang-undang,
meskipun dalam tataran wacana semua pihak
boleh dan memang sebaiknya ikut terlibat.
Kesadaran dan kemauan pihak politisi
dapat ditelusuri dari produk kebijakan yang
mereka hasilkan. Dengan didasari Keppres No
131 tahun 1961 yang kemudian disempurna-
kan dengan Keppres no 263 tahun 1964,
dibentuk Panitia Landreform di Indonesia mulai
dari tingkat provinsi, kabupaten, sampai de-
ngan kecamatan dan desa. Hal ini menanda-
kan bahwa pemerintah menaruh perhatian
yang tinggi, meskipun masih terkesan sentra-
listik.
Namun kemudian keluar Keppres No
55 tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Penyelenggaraan Landreform, dimana
Panitia Landrfeorm tersebut dibubarkan dan
dialihkan wewenangnya kepada jajaran
birokrasi Departemen Dalam Negeri, mulai dari
menteri sampai dengan camat dan kepala
desa. Semakin jelas dari kebijakan ini, bahwa
landreform dianggap sebagai bagian pekerja-
an rutin belaka oleh pemrintah, namun akses
masyarakat dan swasta untuk terlibat kurang
jelas posisi dan perannya.
Dapat dikatakan, kebijakan landreform
di masa Orde Baru mengambang dan kabur.
Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap
untuk mengambil keuntungan secara politis
dalam perebutan penguasaan lahan ketika
berhadapan dengan petani dan masyarakat.
Dalam konteks otonomi daerah, di
mana pemerintahan daerah semakin diper-
kuat, namun aspek landreform secara umum
masih menjadi kewenangan dari pusat. Lebih
ironisnya, pemerintah lokal yang lebih berpihak
kepada investor swasta, cenderung menjadi
makelar untuk penyediaan tanah bagi mereka.
Kebijakan landreform jelas bukan merupakan
ide yang menguntungkan untuk meraih inves-
tor, retribusi, dan pendapatan daerah.
Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah
diberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional. Kewenangan daerah Kabupaten/
Kota, meliputi:
(1) Pemberian izin lokasi, pengaturan perse-
diaan dan peruntukan tanah;
95
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti
(2) Penyelesaian masalah sengketa tanah
garapan di atas tanah negara;
(3) Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin
dari pihak yang berwenang oleh pihak
yang tidak berhak/kuasanya;
(4) Penyelesaian ganti rugi dan santunan
dalam pengadaan tanah;
(5) Penyelesaian dan penetapan hak ulayat
masyarakat hukum adat;
(6) Penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar;
(7) Penyelesaian dan pemanfaatan sementa-
ra tanah kosong;
(8) Pengaturan tanah reklamasi dan tanah
timbul;
(9) Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi
tanah obyek landreform;
(10) Penetapan penyelenggaraan bagi hasil
(tanah pertanian); dan
(11) Penetapan harga dasar tanah; dan pene-
tapan kawasan siap bangun.
Dalam PP no 25 tahun 2000, disebut-
kan bahwa kewenangan penetapan persyarat-
an landreform berada pada pemerintah pusat
bersama-sama dengan antara lain: penetapan
persyaratan pemberian hak atas tanah, pene-
tapan standar administrasi pertanahan, dan
penetapan pedoman biaya pelayanan perta-
naham. Namun dalam Keppres Nomor 34
tahun 2003, pemerintah daerah Kabupaten/
Kota berwenang dalam menetapkan subyek
dan obyek redistribusi tanah, serta ganti keru-
gian tanah kelebihan maksimum dan tanah
absentee. Menurut penilaian Hutagalung
(2004), kewenangan pemerintah daerah relatif
kecil dalam pelaksanaan landreform.
Terlihat bahwa, sudah cukup banyak
bentuk kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah daerah agar lebih leluasa dalam
mengelola daerahnya. Meskipun demikian,
dalam wawancara dengan berbagai pihak
(dalam penelitian ”Studi Peluang dan Prospek
Reforma Agraria di Sektor Pertanian” yang
penulis ikuti tahun anggaran 2004), ditemukan
kesan yang cenderung kurang peduli kepada
kebijakan landreform. Mereka cenderung ber-
lindung di balik sikap bahwa landreform adalah
suatu yang sulit dan membutuhkan biaya yang
besar, karena itu biarlah menjadi prioritas yang
kesekian.
Dalam studi terhadap berbagai doku-
men pembangunan yang dikeluarkan berbagai
instansi, hukum dan peraturan tentang agraria,
terutama Tap MPR No. IX tahun 2001, belum
menjadi produk hukum yang dipedomani. Be-
lum ditemukan adanya kebijakan pemerintah
yang secara langsung berupaya untuk mem-
perbaiki sistem agraria secara komprehensif.
Satu peristiwa penting yang patut di-
catat pada kurun waktu tahun 2004 ini adalah
dirintisnya pembentukan komisi khusus guna
menangani konflik agraria oleh Komnas HAM
dengan nama Komnas untuk Penyelesaian
Konflik Agraria (KNuPKA), termasuk nanti di
dalamnya peradilan khusus (land claim court).
Pembentukan lembaga ini bertolak dari kenya-
taan besarnya permasalahan konflik agraria di
Indonesia, dimana sepanjang tahun 1999 saja
Komnas HAM telah menerima pengaduan 520
kasus, dan ini merupakan nomor tiga terba-
nyak dibandingkan bidang lain (KPA, 2004).
Keberadaan Komnas HAM terbatas karena
meskipun dapat menerima permasalahan
berkenaan dengan kekerasan, penyiksaan,
dan diskriminasi, namun tidak menyinggung
tentang sengketa tanahnya. Hal ini merupakan
indikasi semakin baiknya kesadaran dan duku-
ngan dari golongan elit dalam memperjuang-
kan permasalahan reforma agraria secara
luas. Namun demikian, melihat lambatnya
perkembangan yang terjadi, maka aroma
pesimisme dari dukungan elit politik sangat
terasa.
Ketiadaan Organisasi Masyarakat Tani
yang Kuat dan Terintegrasi
Jika ditelusuri perkembangan kebera-
daan kelembagaan (atau adakalanya disebut
organisasi) dalam masyarakat pertanian dan
pedesaan, terlihat bahwa kelembagaan umum-
nya dibentuk dari atas, dan lebih sebagai
wadah untuk distribusi bantuan dari pemerin-
tah sekaligus untuk memudahkan pengontrol-
annya (Syahyuti, 2003). Ribuan kelompok tani
yang dibuat serta ditambah ribuan lagi kope-
rasi, umumnya bukan berasal dari ide dan
kebutuhan masyarakat setempat. Jenis kelem-
bagaan seperti ini tentu bukan merupakan
wadah perjuangan yang representatif untuk
mengimplementasikan landrefrom, karena
selain kondisi individualnya yang lemah, juga
tidak terstruktur dan terintegrasi satu sama
lain.
96
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101
Kelompok tani dibangun lebih sebagai
sebuah organisasi ekonomi dan sosial, bukan
organisasi untuk aktifitas politik praktis. Selain
itu, beberapa organisasi yang sudah terbentuk
semenjak era Orde Baru, misalnya Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) selain masih
terjebak kepada kalangan elit (petani), juga
pada awalnya kurang diberi keleluasaan dalam
perjuangan politik.
Namun semenjak era reformasi, orga-
nisasi-organisasi masyarakat yang tumbuh
dari bawah banyak bermunculan, dan seba-
gian mengklaim sebagai organisasi yang
berskala nasional. Salah satu lembaga yang
banyak memperjuangkan ide-ide tersebut
adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
yang juga terlibat langsung dalam aksi-aksi di
lapangan.
Beberapa organisasi menegaskan diri
bahwa mereka memiliki identitas lokal yang
sangat spesifik. Kekuatan ini harus diperhi-
tungkan, karena sebagian tampaknya memiliki
kaitan yang kuat kepada basis komunitasnya.
Namun, bagaimana kata ”lokal” harus didefini-
sikan perlu menelusuri kesatuan-kesatuan
sosial masyarakat yang fungsional secara
sosiologis. Ada beberapa batasan tentang
istilah lokal. Dalam Uphoff (1986), lokal adalah
komponen masyarakat setempat yang batas-
batasnya bersifat abstrak subyektif, dalam
skala kira-kira seluas satu kecamatan.
Khusus tentang stakeholders di tingkat
lokal, tampaknya ada suatu kompetisi antara
pemerintahan daerah dengan masyarakat adat
misalnya. Salah satunya adalah misalnya
kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang
merupakan sub struktur dari Aliansi Masya-
rakat Adat Nusantara (AMAN). Selain orga-
nisasi lokal, perlu juga diperhitungkan tentang
pemimpin-pemimpin lokal. Namun, menurut
penulis, perlu pemahaman antropologis secara
mendalam untuk menentukan pemimpin formal
yang sesungguhnya, karena banyak pemimpin
adat ciptaan sepihak belaka, dan atau pemim-
pin lokal yang terkooptasi oleh pemerintahan
Orde Baru sehingga tidak lagi mengakar di
komunitasnya.
Meskipun semenjak bergulirnya Era
Reformasi beberapa organisasi masyarakat
petani telah mulai menampakkan diri, bebe-
rapa di antaranya cukup radikal, namun secara
keseluruhan belum terbentuk satu organisasi
yang mampu berperan sebagai basis untuk
mengimplementasikan gerakan landreform
ataupun reforma agraria secara lebih luas.
Beberapa demonstrasi yang sering diberitakan
media massa menjadikan reforma agraria
sebagai topiknya, namun baru sebatas tun-
tutan dengan tujuan memberi kesadaran
kepada khalayak. Organisasi itu pun masih
bersifat parsial dan temporal, dan tampaknya
masih bergantung kepada inspirator-inspirator
yang berasal dari luar.
Beberapa demonstrasi petani yang
menonjol akhir-akhir ini antara lain adalah: (1)
demo ribuan petani yang tergabung dalam
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
pada 30 April 2003 di Bundaran Hotel
Indonesia menuntut agar Tap MPR No. IX
tahun 2001 segera direalisasikan, (2) demo
lebih kurang sembilan ribu petani AGRA di
Kabupaten Wonosobo pada 24 februai 2004
dalam rangkaian Konferensi pertama AGRA
yang diikuti 200 petani dari 11 provinsi, dan (3)
demo ribuan petani di Jl. Thamrin, Bundaran
HI, dan Gedung DPR/MPR menolak RUU
Perkebunan dan menuntut penyelesaian
konflik dan reforma agraria pada 8 Juni 2004.
Hal ini perlu diungkapkan untuk menunjukkan
telah mulai tumbuhnya kegairahan dalam
memperjuangkan reforma agraria, dan sekali-
gus beberapa organisasi masyarakat yang
mulai tumbuh dari bawah.
Secara umum, mengintroduksikan wa-
cana landreform kepada masyarakat petani
yang berada pada level sedikit di atas garis
batas subsistensi merupakan ide yang mahal
dan mewah. Inilah salah satu tantangan dalam
implementasi reforma agraria, yaitu untuk
mendapatkan dukungan yang luas dan kokoh
dari masyarakat. Kendala lain adalah karena
adanya pemahaman pada masyarakat, bahwa
segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan
dalam struktur penguasaan agraria saat ini
dianggap merupakan sesuatu yang natural,
semata-mata karena mekanisme pasar, bukan
merupakan kesalahan skenario politik kala-
ngan elit negara. Segala permasalahan yang
dialami dalam berusahatani tidak pernah
dirasakan karena buruknya struktur dan sistem
penguasaan tanah, namun menimpakannya
kepada masalah harga pupuk yang tinggi,
rendahnya harga jual produk, ketiadaan air
irigasi, dan lain-lain.
97
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti
Miskinnya Ketersediaan Data Pertanahan
dan Keagrariaan
Data yang komprehensif merupakan
kebutuhan yang pokok untuk merumuskan
program landreform (dan bahkan reforma
agraria) secara nasional, misalnya untuk
kebutuhan menyusun hukum payung yang
komprehensif. Selain data kuantitatif juga
diperlukan berbagai data kualitatif dalam
konteks sosioagraria. Menurut laporan Kepala
BPN (2001), dari seluruh wilayah di Indonesia
hanya 4 persen atau 2,8 juta ha tanah saja
yang sudah memiliki peta dasar pendaftaran
tanah.
Dari sisi akedemis dibutuhkan peng-
kayaan dari kondisi dan permasalahan spesifik
sosioagraria di luar Jawa, karena pemben-
tukan hukum nasional selama ini sebagaimana
dikritik beberapa pihak, bias hanya dari peng-
galian antropologis di Jawa saja. Pengaruh
pemerintahan kolonial sehingga administrasi
pertanahan di Jawa lebih baik tidak ditemukan
di luar Jawa, kecuali hanya beberapa lokasi,
misalnya di sebagian daerah Sulawesi
Selatan.
Untuk mengimplementasikan land-
reform, maka beberapa pertanyaan pokok,
yang sesungguhnya merupakan data-data uta-
ma, perlu dijawab terlebih dahulu Posterman
(2002) yaitu: siapa yang harus menerima
lahan hasil landreform, dimana harus diseleng-
garakan, berapa tanah yang harus diberikan
kepada penerima, apa jenis tanah yang
menjadi objeknya, berapa biaya yang harus
dikeluarkan, apakah penerima harus memba-
yar, siapa saja yang berperan serta, dan pada
level pemerintahan yang mana yang bertang-
gung jawab dan memonitor. Seluruh perta-
nyaan ini baru bisa dijawab jika tersedia data
yang lengkap.
Suatu lokakarya internasional tentang
Reforma Agraria pernah dilaksanakan di
Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat tahun
1981, yang kemudian menghasilkan sebuah
inventarisasi sejumlah topik sebagai agenda
penelitian. Seluruh topik penelitian tersebut
dirangkum oleh Wiradi (2000) menjadi 12
topik, di antaranya adalah (1) tentang adminis-
trasi pertanahan berupa peta pemilikan,
penguasaan, dan penggunaan secara lengkap
termasuk pendaftaran tanah; (2) perilaku dan
hubungan sosial diantara pemilik tanah,
dengan petani tak bertanah, dan dengan
masyarakat pedesaan; (3) persepsi masyara-
kat tentang hak-hak atas tanah dan fungsi
tanah; (4) kedudukan dan sikap berbagai
kelompok terhadap gagasan reforma agraria;
dan (5) konflik pertanahan. Didorong atas
keprihatinan ketersediaan data pertanahan di
Indonesia, maka pada tahun 2000, dilaksa-
nakan Seminar dan Lokakarya di Bogor
tentang Metode Penelitian Agraria kerjasama
beberapa lembaga penelitian dan Perguruan
Tinggi.
Sebagai sebuah bidang yang caku-
pannya luas dan beragam, maka bentuk
penelitian yang dibutuhkan bersifat induktif-
partisipatif. Semenjak era reformasi ini, banyak
referensi berupa buku maupun makalah dalam
seminar yang cenderung mengangkat “roman-
tisme hukum adat”. Penulis berpendapat,
narasi tekstual hukum adat hanya dapat
menjadi titik tolak dalam menelusuri akar nilai
untuk memahami tatanan hukum agraria yang
eksis saat ini. Transformasi tata nilai yang
telah berlangsung secara gradual, tak dapat
menjadikannya otomatis sebagai aspirasi yang
betul-betul hidup saat ini. Dalam konteks ini,
UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 5 mengakui
keberadaan hukum adat sepanjang tatanan
hukum adat tersebut masih ada. Selanjutnya,
Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun
1999 memungkinkan dilakukannya pensertifi-
katan tanah secara komunal dengan sistem
perwalian. Kebijakan ini dapat dipandang
sebagai salah satu bentuk kompromi antara
penguasaan komunal dari hukum adat dan
penguasaan secara privat dalam hukum
formal.
Metodologi penelitian yang bersifat in-
duktif akan lebih terbuka terhadap keragaman
kondisi lapangan, sehingga dapat memberikan
gambaran yang lebih “berani” di luar dari
mainstream yang sudah ada. Penelitian
kualitatif yang menganalisis struktur politik-
kekuasaan juga dirasa akan lebih objektif dan
akan menghindarkan dari bias ke arah
romatisme hukum adat. Karena beragamnya
stakeholders, maka penelitian yang partisipatif
akan lebih solutif dan implementatif nantinya.
Masalah agraria juga dapat didekati
dari sisi kelembagaan. Kelembagaan agraria
secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
suatu tata hubungan sosial (struktur, perilaku,
dan norma sosial) antara seluruh pihak baik
individu maupun lembaga terhadap sumber-
98
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101
sumber agraria. Khusus dalam konteks
agraria, kelembagaan tersebut dapat dilihat
dalam aras mikro dan makro. Keduanya
memiliki kaitan yang langsung dalam sisi
politik, ekonomi dan sosial. Kelembagaan
dalam konteks mikro mempelajari bagaimana
tata hubungan (struktur, perilaku, dan norma
sosial) antara pemilik tanah, penyakap, buruh
tani, buruh traktor, pedagang gabah, dan lain-
lain. Sementara, kelembagaan dalam konteks
makro mempelajari bagaimana tata hubungan
seluruh pihak yang memiliki kewenangan
dalam aspek hukum dan pengaturan pengua-
saan maupun penggunaan objek-objek agra-
ria, yaitu mulai dari pihak legislatif dan
eksekutif, Badan Pertanahan, departemen
teknis, pemerintah daerah, lembaga non
pemerintah, swasta, dan kelompok-kelompok
masyarakat; baik pada level pusat maupun
daerah/lokal. Pemahaman terhadap kedua
level kelembagaan tersebut juga masih lemah,
apalagi bila diingat bahwa kelembagaan di
level mikro akan sangat beragam antar
wilayah.
Sitorus (2002) menyebutkan bahwa
lingkup hubungan-hubungan agraria menca-
kup sumber-sumber agraria (tanah, air, bahan
tambang, dll) serta pemerintah, swasta, dan
komunitas. Ketiga pihak dimaksud selalu dapat
ditemui pada level mikro maupun makro.
Menurut Cohen (1978), dua hal pokok yang
menjadi perhatian ilmu sosiologi dalam
agrarian structure dan agrarian reform adalah
mempelajari bagaimana tata hubungan antar
kelompok sosial (intergroup relations) dan
bagaimana pola sikap terhadap perubahan
(attitudes towards social change).
Berdasarkan konsep yang dikembang-
kan Syahyuti (2003), dua aspek yang dilihat
dalam kelembagaan adalah aspek keorganisa-
sian (terutama struktur) dan aspek kelembaga-
an (yaitu perilaku yang didalami melalui nor-
ma, aturan, serta hukum dan perundang-
undangan). Struktur agraria merupakan peta
yang menggambarkan posisi tiap pihak,
termasuk otoritas, serta hak dan kewajibannya
masing-masing tehadap satu objek sumber
agraria. Dalam konteks ini dapat dilihat bagai-
mana struktur hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah; bagaimana
komposisi kekuasaan antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat; bagaimana relasi
antara pemerintah dan masyarakat adat;
bagaimana struktur relasi antar departemen
kehutanan, pertanian dan dalam BUMN
terhadap satu areal tanah perkebunan; dan
lain-lain. Dalam konteks mikro, pembahasan
tentang struktur dapat membicarakan relasi
antar kelas sosial antara petani lahan luas dan
sempit, antara pemilik dengan buruh tani,
antara petani dan non-petani, dan lain-lain.
Sementara dari aspek kelembagaan adalah
misalnya bagaimana sistem penyakapan (land
tenure), norma dalam pewarisan tanah, konflik
antara hukum formal dan hukum adat,
perkembangan hukum penguasaan (berupa
hak milik, hak guna usaha, hak sewa, hak
pakai, dan lain-lain), dan hukum penggunaan
(Rencana Tata Ruang Wilayah, dan lain-lain).
Permasalahan elit, data, dan anggaran
akan lebih banyak ditemukan dalam level
makro, sedangkan permasalahan organisasi
masyarakat lebih banyak dipelajari pada level
mikro. Khusus untuk objek “keorganisasian
masyarakat”, sebagaimana metode yang dite-
rapkan Cohen (1978) dalam penelitian sosio-
logi tentang agraria, akan difokuskan kepada
hubungan antar kelompok dan kelas sosial,
serta sikap terhadap perubahan. Kesadaran,
pengetahuan, sikap dan keinginan terhadap
ide reforma agraria dapat ditangkap melalui
kuesioner persepsi; sedangkan eksistensi
kelembagaan masyarakat pada level mikro
dapat dipahami melalui pengamatan, wawan-
cara mendalam, dan diskusi grup.
Ketersediaan dan Alokasi Anggaran yang
Kecil
Pelaksanaan landreform secara seren-
tak dan menyeluruh akan menuntut biaya yang
sangat besar, mulai dari persiapannya, pem-
bentukan organisasi pelaksana, implementasi,
sampai dengan pengawasan pasca redistri-
busi. Landreform di berbagai negara dunia
ketiga yang dilaksanakan pada era tahun
1960-an dimungkinkan karena sesuai dengan
konstelasi politik dunia saat itu, dimana setelah
Perang Dunia II landreform dianggap salah
satu kebijakan yang sangat penting untuk
pembangunan, mengatasi kemiskinan dan
ketimpangan sosial. Saat itu negara-negara
besar dan lembaga donor mendukungnya
(Bahari, 2004).
Namun, setelah era tersebut, land-
reform tampaknya tidak lagi menjadi prioritas.
99
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti
Lembaga donor lebih tertarik untuk meng-
implementasikan program industrialisasi di
negara-negara berkembang dibandingkan
landreform. Kebijakan ini dipilih karena
risikonya lebih kecil, dan tidak menimbulkan
gejolak politik yang mahal. Bersamaan dengan
itu, lahirnya revolusi hijau, semakin menga-
burkan perhatian kepada landreform. Dengan
teknologi baru, terutama introduksi varietas-
varietas unggul (high yield variety), maka
kemajuan ekonomi pedesaan telah tercapai.
Pada kurun selanjutnya, penemuan baru
tentang rekayasa genetika (genetic modified
organism) dan rekayasa sosial melalui sistem
agribisnis dipercaya sebagai jawaban untuk
meningkatkan produksi pertanian dan sekali-
gus kesejahteraan petani.
Sebagai negara berkembang, sebagi-
an modal pembangunan Indonesia berasal
dari pinjaman dari lembaga asing. Lembaga
donor tersebut berkuasa untuk mengontrol
penggunaan pinjaman tersebut. Keterbatasan
anggaran merupakan satu alasan pokok
mengapa pemerintahan Orde Baru tidak
memilih program landreform yang biayanya
besar dan hasilnya belum tampak dalam
jangka pendek. Sebaliknya, karena tekanan
ekonomi kapitalis, maka tanah dijadikan komo-
ditas untuk menarik investor asing menanam-
kan modalnya, misalnya dengan regulasi da-
lam pengembangan perkebunan besar swasta.
Bahkan sampai sekarang, yaitu pada
Kabinet Gorong Royong semenjak era Refor-
masi, landreform belum pernah dijadikan
agenda pemerintahan yang tegas, apalagi
untuk menyisihkan dana anggaran secara
khusus. Dari sisi hukum dan perundang-
undangan telah ada beberapa kemajuan dila-
kukan, namun belum dalam bentuk program
aksi. Kalangan MPR telah mendukung dengan
mengeluarkan Tap No IX tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, meskipun belum diikuti oleh
perbaikan dan sinkronisasi undang-undang
sektoral.
Selain itu, Presiden memerintahkan
kepada BPN melalui Keppres No. 34 tahun
2003 untuk: (1) Menyusun RUU untuk
menyempurnakan UUPA dan RUU tentang
Hak Atas Tanah, (2) Membangun sistem
informasi dan manajemen pertanahan untuk
menunjang landrefrom dan pemberian hak
atas tanah, dan (3) Penyerahan sembilan jenis
kewenangan pertanahan kepada pemerintah
daerah kabupaten/kota. Namun, RUU Sumber
Daya Agraria yang diajukan ke pemerintah
tersebut belum final, dan bahkan menghasil-
kan ketidakpuasan dan kontroversi dengan
kalangan pakar dan LSM. Misalnya, pada
bulan Juli 2004, HKTI menolak RUU tersebut
karena dikawatirkan tidak akan mampu men-
jamin kemudahan petani untuk mendapatkan
tanah.
Dalam beberapa kasus dijumpai ban-
tuan langsung pemerintah dalam pembiayaan
pensertifikatan tanah, misalnya melalui prog-
ram nasional (PRONA). Namun, yang
dibutuhkan sesungguhnya lebih jauh dari itu,
misalnya dapatkah disediakan kredit lunak
bagi petani untuk mendapatkan lahan,
misalnya dengan membeli tanah yang dikuasai
oleh petani luas atau dari swasta. Dari laporan
Kepala BPN (2001) terbaca bahwa, dari total
lebih kurang 85 juta bidang tanah diseluruh
daratan Indonesia, sampai tahun 2001 telah
diterbitkan 24.224.041 sertifikat, yaitu melalui
pola sporadis (16.290.086 lembar), ajudikasi
(1.898.532 lembar), PRONA (3.091.975
lembar), PP10 dan PP 24 (410.437 lembar),
dan melalui program transmigrasi (2.533.011
lembar).
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dari paparan di atas, kondisi yang
dihadapi untuk mengimplementasikan program
landreform di Indonesia sangat berat, dalam
kondisi ekonomi dan politik yang belum
mapan, setelah beberapa tahun dilanda krisis
multidimensi. Beratnya permasalahan yang
ditanggung bahkan sudah terasa semenjak
dalam tataran wacana, yang masih merupakan
langkah awal ke tahap perencanaan. Namun
demikian, beberapa tahun trakhir ini, khusus-
nya semenjak kejatuhan pemerintahan Orde
Baru, telah nampak kegairahan yang besar
pada sebagian pihak dalam membicarakan
tentang reforma agraria dan landrefrom secara
terbuka.
Memasuki abad ke 21 ini, dukungan
internasional dan lembaga-lembaga donor
dapat dikatakan negatif terhadap ide reforma
agraria. Ditambah dengan kondisi politik dan
keuangan dalam negeri yang masih sulit,
maka wajar kalau kalangan elite politik menjadi
100
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101
tidak berani dalam memperjuangkan kebijakan
ini. Peluang landreform semakin kecil jika
diingat, bahwa sesungguhnya belum tumbuh
kesadaran yang kuat pada golongan elit,
bahkan masyarakat, bahwa segala permasa-
lahan pembangunan pertanian dan pedesaan
yang kita hadapi sekarang ini dapat diselesai-
kan secara mendasar, yaitu melalui perbaikan
struktur penguasaan dan pemilikan tanah
pertanian (=landreform).
Meskipun demikian, salah satu pe-
luang yang lebih realistis adalah melaksana-
kan program landreform secara terbatas, yaitu
untuk wilayah-wilayah yang tekanan penduduk
dan konflik pertanahannya masih ringan,
terutama di luar Jawa. Ide ini dapat menjadi
satu point yang menarik, karena dengan
segala permasalahan yang dihadapi ini,
berpikir untuk melakukan reforma agraria
secara serentak dan menyeluruh dapat dikata-
kan hampir mustahil. Landreform terbatas di
sebagian wilayah banyak diterapkan negara-
negara lain, misalnya di India dan Jepang.
Agar diperoleh hasil yang optimal,
maka program landreform harus dilaksanakan
dengan kesiapan unsur-unsur pembaruan
agraria yang lain. Redistribusi lahan di satu
wilayah hanya akan meningkatkan kesejah-
teraan, jika disiapkan unsur-unsur lain seperti
infrastruktur, bentuk-bentuk usaha yang akan
dikembangkan oleh masyarakat, dukungan
permodalan untuk usahatani, serta teknologi
dan pasar. Pelaksanaan landreform yang
terlepas dari konteks pembaruan agraria
hanya akan menghasilkan anarkhi, konflik,
penelantaran tanah dan maraknya jual beli
lahan yang bisa saja akan memperparah
ketimpangan. Karena itu, jika satu wilayah
akan menjalankan landreform maka seluruh
pihak harus mendukung dan siap dengan
kebijakan dan peranannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H. 2004. Tantangan Pelaksanaan
Landreform dalam Konteks Otonomi
Daerah. Seminar Nasional Pambaruan
Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat. BPN,
HKTI Dan Chatolic Relief Services, Jakarta
24-25 Agustus 2004.
Bahari, Syaiful. 2004. Landrefrom di Indonesia:
Tantangan dan Prospeknya ke Depan.
Seminar Nasional Pambaruan Agraria
untuk Kesejahteraan Rakyat. BPN, HKTI
Dan Chatolic Relief Services, Jakarta 24-
25 Agustus 2004.
Cohen, Suleiman I. 1978. Agrarian Structures and
Agrarian Reform: Exercise in Development
Theory and Policy. Martinus Nijhoff Social
Sciences Division, Leiden and Boston,
USA
Harsono, Boedi. 2002. Menuju Penyempurnaan
Hukum Tanah Nasional dalam Hubungan-
nya dengan Tap MPR RI Nomor IX Tahun
2001, Makalah pada Seminar Nasional
Pertanahan 2002 “Pembaruan Agraria”.
STPN Yogyakarta, Tanggal 16 Juli 2002.
Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia
(Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya.
Jilid I, Penerbit Djambatan, Edisi Revisi
2003.
Hussein, Benyamin. 2002. Kelembagaan Perta-
nahan dalam Era Desentralisasi dan
Otonomi Daerah. Diskusi Pengembangan
Kebijakan Pertanahan dalam Era
Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan
Pertanahan Kepada Masyarakat. Direk-
torat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi
Otonomi daerah dan Pengembangan Re-
gional, Bappenas. Jakarta, 12 September
2002.
Hutagalung, Arie S. 2004. Tantangan Pelaksanaan
Land Reform dalam Konteks Otonomi
Daerah. Seminar Nasional Pambaruan
Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat. BPN,
HKTI Dan Chatolic Relief Services, Jakarta
24-25 Agustus 2004.
Kepala BPN. 2001. Pertanahan Indonesia: Suatu
Restropeksi. Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah selaku Kepala BPN,
Jakarta.
Konsorsium Pembaruan Agraria. 2004. Seminar
dan Lokakarya Reforma Agraria: Tanta-
ngan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan
Baru 2004-2009. Pusat Kajian Agraria IPB
dan PBHI. 14-15 September 2004, Bogor.
Posterman, Roy. 2002. Gagasan untuk Penerapan
Landreform di Indonesia. Makalah dalam
Seminar “ Mengkaji Kembali Landreform di
Indonesia”. Di Kempinski Hotel, Jakarta, 8
Mei 2002.
Puslitbangtanak, 2001. Atlas Arahan Tata Ruang
Pertanian di Indonesia skala 1:1.000.000.
Pusat Penelitan dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang
Pertanian, Deptan. Bogor.
101
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat
Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti
Puslitbangtanak. 2002. Optimalisasi Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan untuk Peningkatan
Produksi Pertanian. Makalah Seminar
Nasional Inovasi Agribisnis, Bogor 21-22
Mei 2002.
Rajagukguk, Erman. 1995. Hukum Agraria, Pola
Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup.
Chandra Pratama, Jakarta. 220 hal.
Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia
Belanda. Yayasan Obor Indonesia.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sitorus, MT Felix. 2002b. Lingkup Agraria. Hal 25-
40. dalam E. Suhendar dkk. Eds. 2002.
Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun
Gunawan Wiradi. AKATIGA, Bandung.
Sitorus, Oloan. 2002a. Pembagian Kewenangan
Pusat, Propinsi, dan Daerah di Bidang
Pertanahan. Diskusi Pengembangan Kebi-
jakan Pertanahan dalam Era Desentrali-
sasi dan Peningkatan Pelayanan Per-
tanahan Kepada Masyarakat.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan:
Strategi Pengembangan dan Penerapan-
nya dalam Penelitian Pertanian. Puslitbang
Sosek Pertanian, Bogor.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah
dan Reforma Agraria. Hal. 286-328. dalam
SMP Tjondronegoro dan G. Wiradi. Eds.
1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. PT
Gramedia, Jakarta.

More Related Content

What's hot

Contoh surat gugatan wanprestasi
Contoh surat gugatan wanprestasiContoh surat gugatan wanprestasi
Contoh surat gugatan wanprestasiNasria Ika
 
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaSumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaRoy Pangkey
 
Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata InternasionalHukum Perdata Internasional
Hukum Perdata InternasionalDenaAgustina
 
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021Leks&Co
 
Stelsel pemidanaan
Stelsel pemidanaanStelsel pemidanaan
Stelsel pemidanaanSigit Riono
 
Presentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukumPresentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukumAnto Neo Madani
 
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Idik Saeful Bahri
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Idik Saeful Bahri
 
Kapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdf
Kapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdfKapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdf
Kapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdfKuswidiyantoAriefWic
 
Sumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraSumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraNakano
 
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 384044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3Adi Nugraha
 
surat gugatan
surat gugatansurat gugatan
surat gugatanNakano
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2villa kuta indah
 
Ciri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adatCiri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adatNuelimmanuel22
 

What's hot (20)

Contoh surat gugatan wanprestasi
Contoh surat gugatan wanprestasiContoh surat gugatan wanprestasi
Contoh surat gugatan wanprestasi
 
Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaSumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
 
Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata InternasionalHukum Perdata Internasional
Hukum Perdata Internasional
 
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021
Hukum Pertanahan Pasca UU Cipta Kerja PP No 18 Tahun 2021
 
Stelsel pemidanaan
Stelsel pemidanaanStelsel pemidanaan
Stelsel pemidanaan
 
Presentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukumPresentasi etika profesi hukum
Presentasi etika profesi hukum
 
Hukum Agraria
Hukum AgrariaHukum Agraria
Hukum Agraria
 
Teori biologi kriminal
Teori biologi kriminalTeori biologi kriminal
Teori biologi kriminal
 
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
 
Kapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdf
Kapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdfKapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdf
Kapita Selekta Sengketa Konflik Perkara.pdf
 
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
 
Sumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraSumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negara
 
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
 
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 384044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
84044823 contoh-kasus-hukum-perdata-internasional 3
 
surat gugatan
surat gugatansurat gugatan
surat gugatan
 
tipologi kejahatan penjahat
tipologi kejahatan  penjahattipologi kejahatan  penjahat
tipologi kejahatan penjahat
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2
 
Ciri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adatCiri dan sifat hukum adat
Ciri dan sifat hukum adat
 

Similar to Kendala implementasi Landreform di Indonesia

Perbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma Agraria
Perbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma AgrariaPerbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma Agraria
Perbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma AgrariaSyahyuti Si-Buyuang
 
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantarPenertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantarCV Maju Bersama Bangsa
 
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma AgrariaPeran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma AgrariaSyahyuti Si-Buyuang
 
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptxPenguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptxSMPranata
 
Ra Dan Refleksi Ham
Ra Dan Refleksi HamRa Dan Refleksi Ham
Ra Dan Refleksi Hamlodzi
 
Seminar tora kementan (yuti) new
Seminar tora kementan (yuti)   newSeminar tora kementan (yuti)   new
Seminar tora kementan (yuti) newSyahyuti Si-Buyuang
 
Kebijakan landreform
Kebijakan landreformKebijakan landreform
Kebijakan landreformSalvinusBala1
 
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit DiwujudkanTerbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit DiwujudkanSyahyuti Si-Buyuang
 
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdf
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdfDiskusi 4 Hukum Agraria.pdf
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdfIndra Sofian
 
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan yang Mendorong In...
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan  yang Mendorong In...Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan  yang Mendorong In...
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan yang Mendorong In...Fajar Rian Wulandari
 
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdfTUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdfIndra Sofian
 
74032 reforma-agraria-untuk-pemula
74032 reforma-agraria-untuk-pemula74032 reforma-agraria-untuk-pemula
74032 reforma-agraria-untuk-pemulaSulastri2001113697
 
Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )
Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )
Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )Franky L. Tobing
 
Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...
Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...
Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...Dpc Pkb Aceh Tamiang
 
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
 
Perpres nomor 86 tahun 2018
Perpres nomor 86 tahun 2018Perpres nomor 86 tahun 2018
Perpres nomor 86 tahun 2018KantorHukum1
 
PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...
PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...
PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...Law Firm "Fidel Angwarmasse & Partners"
 

Similar to Kendala implementasi Landreform di Indonesia (20)

Perbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma Agraria
Perbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma AgrariaPerbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma Agraria
Perbaikan Sistem Bagi Hasil untuk Reforma Agraria
 
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantarPenertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
 
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma AgrariaPeran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
Peran Kementerian Pertanian dalam Reforma Agraria
 
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptxPenguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
Penguasaan dan Pengusahaan Lahan serta Kemiskinan di Pedesaan.pptx
 
1 kajian
1 kajian1 kajian
1 kajian
 
Ra Dan Refleksi Ham
Ra Dan Refleksi HamRa Dan Refleksi Ham
Ra Dan Refleksi Ham
 
Seminar tora kementan (yuti) new
Seminar tora kementan (yuti)   newSeminar tora kementan (yuti)   new
Seminar tora kementan (yuti) new
 
Kebijakan landreform
Kebijakan landreformKebijakan landreform
Kebijakan landreform
 
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit DiwujudkanTerbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
Terbukti, Lahan Pangan Berkelanjutan sulit Diwujudkan
 
Buku tora syahyuti
Buku tora   syahyutiBuku tora   syahyuti
Buku tora syahyuti
 
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdf
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdfDiskusi 4 Hukum Agraria.pdf
Diskusi 4 Hukum Agraria.pdf
 
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan yang Mendorong In...
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan  yang Mendorong In...Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan  yang Mendorong In...
Analisis Perbandingan Tingkat Keefektifan Sistem Kebijakan yang Mendorong In...
 
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdfTUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
 
74032 reforma-agraria-untuk-pemula
74032 reforma-agraria-untuk-pemula74032 reforma-agraria-untuk-pemula
74032 reforma-agraria-untuk-pemula
 
Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )
Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )
Hukum agraria ( Makalah Konsolidasi Tanah )
 
Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...
Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...
Instruksi menteri-negara-agraria-kepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-77-ke...
 
Agraria 2011 (syahyuti)
Agraria 2011 (syahyuti)Agraria 2011 (syahyuti)
Agraria 2011 (syahyuti)
 
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
 
Perpres nomor 86 tahun 2018
Perpres nomor 86 tahun 2018Perpres nomor 86 tahun 2018
Perpres nomor 86 tahun 2018
 
PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...
PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...
PERUBAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DARI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN ...
 

More from Syahyuti Si-Buyuang

My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airMy lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airSyahyuti Si-Buyuang
 
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointLukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointSyahyuti Si-Buyuang
 
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Syahyuti Si-Buyuang
 
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfBuku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfSyahyuti Si-Buyuang
 
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxGOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptxPKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxRancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxKPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxMBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxPendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxRCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptFamily farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptSyahyuti Si-Buyuang
 
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxPoint-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Syahyuti Si-Buyuang
 
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxBumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxSyahyuti Si-Buyuang
 
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxKuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxSyahyuti Si-Buyuang
 

More from Syahyuti Si-Buyuang (20)

My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat airMy lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
My lukisan.pptx ballpoint, cat akrilik, cat air
 
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpointLukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
Lukisan-lukisan AYAH.pptx cat air cat minyak pensil ballpoint
 
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
Buku 7 - Tangan2 dicium RASUL (yuti).pdf Pada intinya, buku ini saya tulis un...
 
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
Buku 6 - disertasi Syahyuti Final (yuti).pdf UNIVERSITAS INDONESIA PENGORGANI...
 
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
Buku 4 - mau ini apa itu (yuti).pdf BUKU: Mau INI apa ITU? “Komparasi Konsep,...
 
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdfBuku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
Buku 00 - draft BERTANI ISLAMI - (23 April 2020).pdf
 
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptxGOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
GOOD JOURNAL guideline panduan penulisan proposal dan jurnal .pptx
 
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptxPKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi  (YUTI) .pptx
PKPM Plgkaraya - Bumdes Koperasi (YUTI) .pptx
 
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptxRancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
Rancangan korporasi petani Sulut - 29 Sept 2023 (yuti).pptx
 
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptxKPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
KPPN - penyuluhan ke depan - 20 Okt 2023 (yuti) .pptx
 
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptxMBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
MBBM Bumdes UMKM Bangka (YUTI) .pptx
 
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Biereun (YUTI) .pptx
 
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptxPKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
PKPM Bumdes Takengon (YUTI) .pptx
 
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptxPendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
Pendampingan untuk petani (yuti) 25 Okt 2023.pptx
 
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptxRCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
RCS8 - aktor sawit nasional YUTI .pptx
 
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).pptFamily farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
Family farming KNPK - 17 Mei 2023 (yuti).ppt
 
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptxPoint-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
Point-point POLICY BRIEF (yuti).pptx
 
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
Buku Pertanian Dunia 2020 (Syahyuti dkk IPB Press 2021)
 
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptxBumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
Bumdes - Tasikmalaya 29 Nov 2022 (yuti) - file 01.pptx
 
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptxKuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
Kuliah DASNYUL 15 - 28 Nov 2022 (yuti).pptx
 

Recently uploaded

Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxMateri Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxIKLASSENJAYA
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxresidentcardio13usk
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...laila16682
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfssuser4743df
 
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxPPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxSDN1Wayhalom
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfkaramitha
 
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanamanhormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanamanAprissiliaTaifany1
 
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaModul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaAnggrianiTulle
 
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxPower Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxSitiRukmanah5
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxSyabilAfandi
 

Recently uploaded (10)

Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxMateri Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
 
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxPPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
 
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanamanhormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
 
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaModul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
 
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxPower Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
 

Kendala implementasi Landreform di Indonesia

  • 1. 89 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor ABSTRACT Land reform program was once successful in Indonesia in 1960’s although it included only land area and limited number of receiving farmers. The New Order government never carried out land reform program explicitly, but it was substituted with programs of certification, transmigration, and Nucleus Estate Smallholders development. All of those programs aimed at enhancing people’s access to land ownership. The governments in the reform era improve some regulations related with agrarian reform but no real program of land reform. Theoretically, there are four imperative factors as prerequisites for land reform program, namely political will of the government, solid farmers’ organization, complete data, and sufficient budget. At present, all of those factors are still difficult to realize and, thus, land reform in Indonesia is hard to be implemented simultaneously. Key words : landreform, agrarian reform, land ownership ABSTRAK Program landreform pernah dicoba diimplementasikan di Indonesia pada era tahun 1960-an, meskipun hanya mencakup luasan tanah dan petani penerima dalam jumlah yang sangat terbatas. Kemudian, sepanjang pemerintahan Orde Baru, landreform tidak pernah lagi diprogramkan secara terbuka, namun diganti dengan program pensertifikatan, transmigrasi, dan pengembangan Perkebunan Inti Rakyat, yang pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki akses masyarakat terhadap tanah. Sepanjang pemerintahan dalam era reformasi, telah dicapai beberapa perbaikan dalam hukum dan perundang-undangan keagrariaan, namun tetap belum dijumpai program nyata tentang landreform. Secara teoritis, ada empat faktor penting sebagai prasyarat pelaksanaan landreform, yaitu kesadaran dan kemauan dari elit politik, organisasi petani yang kuat, ketersediaan data yang lengkap, serta dukungan anggaran yang memadai. Saat ini, kondisi keempat faktor tersebut masih dalam kondisi lemah, sehingga dapat dikatakan implementasi landreform secara serentak dan menyeluruh di Indonesia masih sulit diwujudkan. Kata kunci : landreform, pembaruan agraria, penguasaan tanah PENDAHULUAN Landreform yang dalam arti lebih sem- pit berupa penataan ulang struktur penguasa- an dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep reforma agraria (agrarian reform). Semenjak era reformasi, telah terjadi perkembangan yang menggembirakan, di mana telah cukup banyak pihak yang membi- carakan dan peduli dengan permasalahan ini, meskipun masih terbatas pada tingkat wacana. Namun demikian, sampai sekarang belum berhasil disepakati bagaimana landreform dan agrarian reform (pembaruan agraria) tersebut sebaiknya untuk kondisi di Indonesia. Beberapa pihak menginginkan pemba- ruan agraria secara revolusioner (serentak dan menyeluruh), namun pihak lain menginginkan pola yang lebih lunak secara gradual. Selain perihal pilihan tersebut masih banyak per- tanyaan yang menggantung yang harus dija- wab dalam konteks ini, misalnya pembagian peran pemerintah pusat dan daerah. Menurut Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002a) bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah dalam “urusan agraria”, yaitu bentuk-bentuk dan cara mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usa- ha pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah seba-
  • 2. 90 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101 gai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan ataupun diserahkan men- jadi urusan daerah. Artinya, landreform berupa penataan ulang pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap menjadi wewenang pusat, namun aspek-aspek land tenure dapat diperankan oleh daerah mulai sekarang. Terdapat empat masalah pokok agra- ria di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam Tap MPR No. IX tahun 2001, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam. Seluruhnya mestilah menjadi agenda yang pokok untuk diselesaikan sebelum sampai kepada peru- musan konsep landreform yang ideal yaitu “land to tillers”. Menurut data yang dikum- pulkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (2004), per 30 Desember 2001 tercatat telah terjadi 1.753 kasus konflik pertanahan di selu- ruh Indonesia yang mencakup luas 10.892.203 ha tanah, dan melibatkan 1.189.482 keluarga. Khusus pada bidang pembangunan pertanian, beberapa permasalahan yang diha- dapi adalah semakin sempitnya penguasaan tanah, sulitnya membendung konversi ke penggunaan pertanian, konflik penguasaan, serta fragmentasi tanah. Land man ratio di Indonesia pada tahun 2004 dengan jumlah penduduk diperkirakan 215 juta jiwa dan luas lahan pertanian 7,8 juta ha adalah 362 m2 per kapita. Angka ini jauh lebih rendah misalnya dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 1870 m2 per kapita dan Vietnam 1300 m 2 per kapita. Dalam tulisan ini dipaparkan kondisi kesiapan pemerintah dan masyarakat Indone- sia saat ini dalam kaitannya dengan peluang untuk mengimplementasikan program land- reform. Pada bagian awal tulisan ini disampai- kan penjelasan konsep landrefrom dan agrarian reform yang seringkali membingung- kan beberapa pihak, lalu dilanjutkan struktur penggunaan dan penguasaan tanah di Indonesia sekarang ini. Setelah itu dinarasikan secara ringkas kinerja pelaksanaan landreform di Indonesia selama ini, dan berikutnya yang merupakan bagian utama dijabarkan berbagai kendala riel yang dihadapi untuk mengimple- mentasikan landreform di Indonesia. Tulisan ini bertujuan memberikan masukan kepada para pakar, akademisi, maupun praktisi dan aktivis sehingga dapat menjadi titik tolak dalam merumuskan berbagai opsi program land- reform yang sesuai, atau setidaknya yang mungkin diimplementasikan di Indonesia. PENGERTIAN LANDREFORM DAN AGRARIAN REFORM Landreform dan agrarian reform diberi- kan pengertian yang berbeda-beda oleh para ahli. Namun, dapat disimpulkan bahwa land- reform adalah salah satu bagian dari agrarian reform (lihat misalnya Wiradi, 1984). Menurut Cohen (1978), landreform adalah: “...... change in land tenure, especially the distribution of land ownership, thereby achieving the objective of more equality”. Jadi inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah, sebagai upaya memperbaiki struktur pengua- saan dan pemilikan tanah di tengah masya- rakat, sehingga kemajuan ekonomi dapat diraih dan lebih menjamin keadilan. Agrarian reform, atau adakalanya di- sebut reforma agraria dan pembaruan agraria (istilah resmi sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. IX tahun 2001), memiliki pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978). Dalam konteks pembaruan agraria, pening- katan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan. Dalam pembaruan agraria tercakup permasalahan redistribusi tanah, pe- ningkatan produksi dan produktifitas, pengem- bangan kredit untuk pertanian, pajak lahan, hubungan penyakapan dan regulasi baru sistem pengupahan buruh tani, dan konsoli- dasi tanah. Dengan kata lain, ada dua pembaruan yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria, yaitu land tenure reform (hubungan pemilik dan penyakap) dan land operation reform (perubahan luas penguasa- an, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lain-lain). Satu kata kunci yang perlu dipahami sebelum sampai kepada apa yang dimaksud dengan agrarian reform dan landreform,
  • 3. 91 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti adalah tentang batasan “agraria”. Dalam Pasal 1 ayat 2 dan pasal 2 ayat 1 UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, apa yang dimaksud dengan agraria adalah: “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya....”. Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada Tap MPR no. IX tahun 2001, pada bagian “Menimbang” butir (a), yaitu “Bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Meskipun tanah hanyalah salah satu objek agraria, namun tanah merupakan objek pokok yang dicakup dalam pengertian agraria. Dalam UUPA No. 5 tahun 1960, pada bagian “Berpendapat” butir (d) disebutkan: “ ... mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat...”. Begitu besarnya esensi permasalahan “tanah” juga ditemui dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 5 butir (b) yaitu: “Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilik- an tanah untuk rakyat...”. Pentingnya posisi “tanah” dalam pe- ngertian agraria tersebut secara tidak langsung memberi makna bahwa kegiatan per- tanian merupakan bentuk aktifitas masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam agraria, termasuk ketika membicarakan reforma agraria. Hal ini karena pertanian lah sektor yang paling banyak bersentuhan dengan pengolahan tanah, bukan kehutanan dan pertambangan misalnya. Seca- ra faktual, telah tampak bahwa landreform merupakan langkah yang tak terpisahkan dalam pembangunan pertanian sebagaimana telah dibuktikan oleh Jepang, Taiwan, RRC dan Vietnam. Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2 disebutkan: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinam- bungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pe- manfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Terlihat disini, bahwa ada dua bagian pokok yang menjadi perhatian pembaruan agraria, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan aspek “penggunaan dan peman- faatan” di sisi lainnya. Penataan penguasaan dan pemilikan tersebut merupakan kegiatan utama landreform dengan intinya berupa redistribusi tanah. Menurut Wiradi (1984), reforma agra- ria adalah modifikasi berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian misalnya berupa kredit, kebijakan harga, penelitian dan penyuluhan, pengadaan input, koperasi dan lain-lain. Seluruh komponen tersebut sudah menjadi perhatian kebijakan pemerintah selama ini, namun karena tidak didahului dengan landreform, maka selain hasil yang dicapai tidak optimal, juga dibarengi oleh ketimpangan penguasaan yang berimpli- kasi kepada ketimpangan kesejahteraan, mar- jinalisasi petani kecil, urbanisasi yang tidak terkendali dari para buruh tani dan petani sempit, dan lain-lain. Menurut Harsono (2003), landreform secara luas meliputi lima program, yaitu: pelaksanaan pembaruan hukum agraria, penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah, diakhirinya kekuasaan tuan tanah dan para feodal, perombakan pemi- likan dan penguasaan tanah, serta perencana- an dan penggunaan sumber daya alam sesuai kemampuannya. Program landreform secara lebih spesifik adalah larangan penguasaan tanah melebihi batas maksimum, larangan tanah absentee, redistribusi tanah objek landreform, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah yang digadaikan, penga- turan tentang bagi hasil, serta penetapan luas minimum dan pelarangan fragmentasi lahan pada batas tertentu. Secara umum, reforma agraria dapat menempuh dua jalan, yaitu secara serentak, cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual namun berkelanjutan. Jalan pertama banyak didukung oleh kalangan pemerhati agraria, terutama dari golongan LSM, dimana aspek landreform merupakan fokus utamanya. Sementara, jalan yang kedua yang terkesan lebih “soft” didukung oleh kalangan birokrasi terutama departemen-departemen teknis, mi- salnya Departemen Pertanian. Kalangan ini beranggapan bahwa untuk mengimplimentasi- kan jalan pertama syarat yang dibutuhkan
  • 4. 92 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101 lebih berat, misalnya diperlukan pembiayaan yang besar dan sekaligus, pendataan secara menyeluruh, melibatkan banyak organisasi, dan resiko politik yang sangat besar. Selain itu, perkembangan ekonomi juga akan ter- sendat dalam jangka pendek semenjak refor- ma agraria tersebut dijalankan. STRUKTUR PENGGUNAAN DAN PENGUASAAN TANAH DI INDONESIA Penataan tanah ditentukan oleh dua faktor pokok, yaitu bagaimana struktur pe- nguasaan dan bagaimana pula struktur peng- gunaan tanah. Pihak yang memiliki hak menguasai akan memiliki kuasa pula untuk menggunakannya sesuai dengan kepentingan- nya. Meskipun tidak didukung oleh program landreform yang sistematis dan komprehensif, namun berbagai faktor seperti peningkatan penduduk, ketersediaan modal dan teknologi pertanian, pengembangan prasarana, dan lain- lain telah membentuk suatu struktur peng- gunaan dan penguasaan tanah di Indonesia yang berubah secara dinamis dari waktu ke waktu. Dari total luas daratan di Indonesia hampir 191 juta ha, sebagian besar (66,16 persen) merupakan kawasan hutan, sedang- kan untuk pertanian dengan berbagai agro- ekologi (sawah, tegalan, dan perkebunan) adalah 36,35 juta ha (18,72 persen). Perluas- an lahan pertanian di Indonesia berkembang agak lambat. Dalam makalah Puslitbangtanak (2002) dipaparkan bahwa, perbandingan antara dua titik waktu tahun 1986 dan tahun 1999, lahan sawah berkembang dari 7,75 menjadi 8,70 juta ha, sedangkan lahan kering lebih lambat lagi yaitu dari 11,27 menjadi 12,23 juta ha. Hanya perkebunan yang cepat berkembang, yaitu dari 8,05 menjadi lebih dari 17 juta ha pada kurun waktu tersebut. Dari sisi peluang pemanfaatan lahan, berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Perta- nian Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslitbang- tanak, 2001), luas potensi lahan basah di Indonesia masih tiga kali lipat yaitu 24,5 juta ha. Lahan yang luas tersebut terutama berada di wilayah Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Di wilayah Papua saja, terdapat potensi pengembangan lahan basah seluas 7,2 juta ha, yang tersebar di dataran aluvial Sungai Digul, bagian Selatan Kepala Burung, dan Lembah Membramo. Sementara untuk pe- ngembangan tanaman pangan semusim di lahan kering, terdapat potensi seluas 25,3 juta ha, dan untuk tanaman perkebunan ada seluas 50,9 juta ha. Perhitungan ini didasarkan atas karateristik tanah, iklim, dan kesesuaian agronomis tanaman; sementara aspek pe- nguasaan dan pemilikan, serta aksesibiltas dan keuntungan belum diperhitungkan. Dalam makalah Kepala BPN (2001) disebutkan, bahwa berdasarkan indeks rata- rata nasional penggunaan kawasan budidaya, menunjukkan bahwa masih tersisa 57,74 persen kawasan budidaya yang berupa hutan. Artinya, masih tersedia potensi pengemba- ngan kawasan budidaya dalam jumlah yang cukup besar. Kawasan tersebut berada di luar Jawa, secara berturut-turut dari yang terluas adalah di Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku, serta Sumatera. Data tersebut dapat dimaknai, bahwa sesungguhnya masih terdapat potensi yang besar untuk pengembangan pertanian (prog- ram ekstensifikasi), karena tanah yang dapat dijadikan kawasan budidaya masih cukup luas. Namun demikian, salah satu kendala untuk memanfaatkannya adalah perihal penguasaan yang belum jelas dan kuat secara hukum. Karena itu, program landreform dapat menjadi jalan untuk mewujudkan potensi tersebut, yaitu dengan memberi kepastian hukum kepada penduduk untuk menguasainya. Dari sisi struktur penguasaan, khusus untuk perkebunan, dari total 14,46 juta ha perkebunan di Indonesia, 4,56 juta ha (32 persen) merupakan pekebunan swasta besar dengan dasar penguasaan berupa Hak Guna Usaha (HGU). Sebagian besar HGU terdapat di wilayah Jawa dan Bali (45 %) dan Sumatera (37 %) (BPN, 2001). Meskipun perkebunan rakyat luasnya cukup besar (68 %), namun dibandingkan dengan jumlah petani pekebun yang menggantungkan hidupnya secara lang- sung pada usaha perkebunan rakyat, maka luasan tersebut masih belum memuaskan. Secara teoritis, dapat dibuat tiga tipe struktur agraria di dunia, yaitu: (1) tipe kapi- talis, dimana tanah dikuasai para pemilik besar misalnya swasta, (2) tipe sosialis, dimana negara menguasai tanah secara terpusat, dan (3) tipe populis, dimana masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah-tanah secara
  • 5. 93 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti privat dan kolektif. Di Indonesia, baik swasta, negara dan masyarakat diberi hak untuk dapat menguasai tanah. Permasalahannya adalah tidak cukupnya tanah yang dikuasai masyara- kat secara privat, sedangkan pihak swasta dan negara dikritik karena menguasai tanah secara lebih luas. Semakin sempitnya tanah yang dikuasai masyarakat, khususnya petani, selain karena permasalahan internal dalam masyara- kat itu sendiri, adalah karena tingginya tarikan swasta dalam mekanisme pasar berupa alih fungsi lahan, dan kewenangan negara yang besar dan sepihak dalam mekanisme hukum formal. Dengan kata lain, “otoritas” petani terhadap tanah lemah dalam berhadapan de- ngan swasta dan pemerintah. Dalam konteks ini, maka landreform merupakan kebijakan yang sangat solutif, karena memberi otoritas formal kepada masyarakat untuk dapat me- nguasai tanah secara layak dari sisi ekonomi. PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA Landreform di Indonesia pernah diim- plementasikan dalam kurun waktu 1961 sam- pai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Landasan hukum pelaksanaan land- reform di Indonesia adalah UUPA No. 5 tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber pe- ngaturan pembatasan luas tanah maksimum, pasal 10 tentang larangan tanah absentee, dan pasal 53 yang mengatur hak-hak semen- tara atas tanah pertanian. Produk hukum yang secara lebih tajam lagi dalam konteks ini adalah UU Nomor 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, serta PP No 224/ 1961 dan PP No 41/1964 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Saat program landreform tersebut di- luncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”, dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan landreform sebagai alat yang ampuh untuk memikat simpatisan. Landreform diklaim sebagai alat perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan anggota. Pola ini memang kemudian menjadikan PKI cepat disenangi oleh masyarakat luas terutama di Jawa yang petaninya sudah merasakan keku- rangan tanah garapan. Namun bagi petani bertanah luas, landreform merupakan anca- man bagi mereka, baik secara politik maupun ekonomi, yaitu kekhawatiran terhadap akan menurunnya luas penguasaan tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan pendapatan keluarga dan kesejahteraan. Program landreform hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai tahun 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya meng- klaim bahwa landrefrom tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Dalam makalah Posterman (2002) diuraikan, bahwa dari tahun 1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat telah berhasil dilakukan distribusi lahan dalam konteks landreform seluas 850.128 ha. Jumlah rumah tangga tani yang menerima adalah 1.292.851 keluarga, dengan rata-rata keluarga menerima 0,66 ha. Data ini sedikit berbeda dengan yang dikeluarkan oleh BPN (Kepala BPN, 2001), dimana dari total obyek tanah landreform 1.601.957 ha, pada kurun waktu 1961-2001 telah diredistribusikan tanah seluas 837.082 ha (52%) kepada 1.921.762 petani penerima. Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi oleh pemerintah seluas 134.558 ha kepada 3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp. 88 trilyun. Khusus selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan so- sial politik yang besar, maka landreform di- implementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani kepada tanah dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan sebaran penduduk dengan luas tanah, dengan cara memindahkan pendu- duk ke daerah-daerah yang tanahnya luas melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan program pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah yang diberikan kepada transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga. Peluang Pelaksanaan Landreform Pembaruan agraria secara umum mensyaratkan dua hal pokok, dalam posisi
  • 6. 94 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101 ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen politik pemerintah yang kuat di satu sisi, dan tersedianya modal sosial (social capital) misalnya berkembangnya civil society yang memadai. Dapat dikatakan, keduanya saat ini masih dalam kondisi tidak siap. Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria suatu negara. Jika selama ini pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”, maka di era pasar bebas ketika komo- ditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa. Dengan kata lain, sistem agraria yang akan berjalan di suatu negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan; akan lebih ditentukan oleh pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan penerapan prinsip-prinsip efisiensi dan keuntungan. Secara umum ada empat faktor pen- ting sebagai prasyarat pelaksanaan land- reform, yaitu: (1) elit politik yang sadar dan mendukung, (2) organisasi petani dan masya- rakat yang kuat, (3) ketersediaan data yang lengkap dan akurat, serta (4) ketersediaan anggaran yang memadai. Untuk Indonesia, dapat dikatakan keempat faktor tersebut saat ini sedang dalam kondisi lemah. Narasi secara ringkas tentang kondisi keempat aspek tersebut diuraikan berikut ini. Lemahnya Keinginan Elite Politik dan Kapasitas Pemerintah Lokal Kunci pokok pelaksanaan landreform ada pada politisi, karena permasalahan land- reform ada dalam aspek politik. Hal ini dinyata- kan oleh Walinsky (1997; dalam Abdurrahman, 2004), yaitu: “ The key to who makes agrarian reform, and to what determines whether an attempted reform will be successful is political. Technical expertise in prepering and administering the necessary legislation in indispensible but experts do not make reform. Politician and only politicians, make good or poor reform or do not make them at all”. Di pundak para politikuslah masalah besar land- reform terletak. Hanya mereka yang mampu melakukannya, atau sebaliknya pada mereka jugalah yang memastikan apakah landreform dapat dilaksanakan atau tidak sama sekali. Kunci pelaksanaan landreform bukanlah pada perencana, pakar, ataupun undang-undang, meskipun dalam tataran wacana semua pihak boleh dan memang sebaiknya ikut terlibat. Kesadaran dan kemauan pihak politisi dapat ditelusuri dari produk kebijakan yang mereka hasilkan. Dengan didasari Keppres No 131 tahun 1961 yang kemudian disempurna- kan dengan Keppres no 263 tahun 1964, dibentuk Panitia Landreform di Indonesia mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, sampai de- ngan kecamatan dan desa. Hal ini menanda- kan bahwa pemerintah menaruh perhatian yang tinggi, meskipun masih terkesan sentra- listik. Namun kemudian keluar Keppres No 55 tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Landreform, dimana Panitia Landrfeorm tersebut dibubarkan dan dialihkan wewenangnya kepada jajaran birokrasi Departemen Dalam Negeri, mulai dari menteri sampai dengan camat dan kepala desa. Semakin jelas dari kebijakan ini, bahwa landreform dianggap sebagai bagian pekerja- an rutin belaka oleh pemrintah, namun akses masyarakat dan swasta untuk terlibat kurang jelas posisi dan perannya. Dapat dikatakan, kebijakan landreform di masa Orde Baru mengambang dan kabur. Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap untuk mengambil keuntungan secara politis dalam perebutan penguasaan lahan ketika berhadapan dengan petani dan masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, di mana pemerintahan daerah semakin diper- kuat, namun aspek landreform secara umum masih menjadi kewenangan dari pusat. Lebih ironisnya, pemerintah lokal yang lebih berpihak kepada investor swasta, cenderung menjadi makelar untuk penyediaan tanah bagi mereka. Kebijakan landreform jelas bukan merupakan ide yang menguntungkan untuk meraih inves- tor, retribusi, dan pendapatan daerah. Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah diberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Kewenangan daerah Kabupaten/ Kota, meliputi: (1) Pemberian izin lokasi, pengaturan perse- diaan dan peruntukan tanah;
  • 7. 95 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti (2) Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah negara; (3) Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin dari pihak yang berwenang oleh pihak yang tidak berhak/kuasanya; (4) Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam pengadaan tanah; (5) Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat; (6) Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; (7) Penyelesaian dan pemanfaatan sementa- ra tanah kosong; (8) Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul; (9) Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi tanah obyek landreform; (10) Penetapan penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian); dan (11) Penetapan harga dasar tanah; dan pene- tapan kawasan siap bangun. Dalam PP no 25 tahun 2000, disebut- kan bahwa kewenangan penetapan persyarat- an landreform berada pada pemerintah pusat bersama-sama dengan antara lain: penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah, pene- tapan standar administrasi pertanahan, dan penetapan pedoman biaya pelayanan perta- naham. Namun dalam Keppres Nomor 34 tahun 2003, pemerintah daerah Kabupaten/ Kota berwenang dalam menetapkan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti keru- gian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. Menurut penilaian Hutagalung (2004), kewenangan pemerintah daerah relatif kecil dalam pelaksanaan landreform. Terlihat bahwa, sudah cukup banyak bentuk kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah agar lebih leluasa dalam mengelola daerahnya. Meskipun demikian, dalam wawancara dengan berbagai pihak (dalam penelitian ”Studi Peluang dan Prospek Reforma Agraria di Sektor Pertanian” yang penulis ikuti tahun anggaran 2004), ditemukan kesan yang cenderung kurang peduli kepada kebijakan landreform. Mereka cenderung ber- lindung di balik sikap bahwa landreform adalah suatu yang sulit dan membutuhkan biaya yang besar, karena itu biarlah menjadi prioritas yang kesekian. Dalam studi terhadap berbagai doku- men pembangunan yang dikeluarkan berbagai instansi, hukum dan peraturan tentang agraria, terutama Tap MPR No. IX tahun 2001, belum menjadi produk hukum yang dipedomani. Be- lum ditemukan adanya kebijakan pemerintah yang secara langsung berupaya untuk mem- perbaiki sistem agraria secara komprehensif. Satu peristiwa penting yang patut di- catat pada kurun waktu tahun 2004 ini adalah dirintisnya pembentukan komisi khusus guna menangani konflik agraria oleh Komnas HAM dengan nama Komnas untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), termasuk nanti di dalamnya peradilan khusus (land claim court). Pembentukan lembaga ini bertolak dari kenya- taan besarnya permasalahan konflik agraria di Indonesia, dimana sepanjang tahun 1999 saja Komnas HAM telah menerima pengaduan 520 kasus, dan ini merupakan nomor tiga terba- nyak dibandingkan bidang lain (KPA, 2004). Keberadaan Komnas HAM terbatas karena meskipun dapat menerima permasalahan berkenaan dengan kekerasan, penyiksaan, dan diskriminasi, namun tidak menyinggung tentang sengketa tanahnya. Hal ini merupakan indikasi semakin baiknya kesadaran dan duku- ngan dari golongan elit dalam memperjuang- kan permasalahan reforma agraria secara luas. Namun demikian, melihat lambatnya perkembangan yang terjadi, maka aroma pesimisme dari dukungan elit politik sangat terasa. Ketiadaan Organisasi Masyarakat Tani yang Kuat dan Terintegrasi Jika ditelusuri perkembangan kebera- daan kelembagaan (atau adakalanya disebut organisasi) dalam masyarakat pertanian dan pedesaan, terlihat bahwa kelembagaan umum- nya dibentuk dari atas, dan lebih sebagai wadah untuk distribusi bantuan dari pemerin- tah sekaligus untuk memudahkan pengontrol- annya (Syahyuti, 2003). Ribuan kelompok tani yang dibuat serta ditambah ribuan lagi kope- rasi, umumnya bukan berasal dari ide dan kebutuhan masyarakat setempat. Jenis kelem- bagaan seperti ini tentu bukan merupakan wadah perjuangan yang representatif untuk mengimplementasikan landrefrom, karena selain kondisi individualnya yang lemah, juga tidak terstruktur dan terintegrasi satu sama lain.
  • 8. 96 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101 Kelompok tani dibangun lebih sebagai sebuah organisasi ekonomi dan sosial, bukan organisasi untuk aktifitas politik praktis. Selain itu, beberapa organisasi yang sudah terbentuk semenjak era Orde Baru, misalnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) selain masih terjebak kepada kalangan elit (petani), juga pada awalnya kurang diberi keleluasaan dalam perjuangan politik. Namun semenjak era reformasi, orga- nisasi-organisasi masyarakat yang tumbuh dari bawah banyak bermunculan, dan seba- gian mengklaim sebagai organisasi yang berskala nasional. Salah satu lembaga yang banyak memperjuangkan ide-ide tersebut adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang juga terlibat langsung dalam aksi-aksi di lapangan. Beberapa organisasi menegaskan diri bahwa mereka memiliki identitas lokal yang sangat spesifik. Kekuatan ini harus diperhi- tungkan, karena sebagian tampaknya memiliki kaitan yang kuat kepada basis komunitasnya. Namun, bagaimana kata ”lokal” harus didefini- sikan perlu menelusuri kesatuan-kesatuan sosial masyarakat yang fungsional secara sosiologis. Ada beberapa batasan tentang istilah lokal. Dalam Uphoff (1986), lokal adalah komponen masyarakat setempat yang batas- batasnya bersifat abstrak subyektif, dalam skala kira-kira seluas satu kecamatan. Khusus tentang stakeholders di tingkat lokal, tampaknya ada suatu kompetisi antara pemerintahan daerah dengan masyarakat adat misalnya. Salah satunya adalah misalnya kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang merupakan sub struktur dari Aliansi Masya- rakat Adat Nusantara (AMAN). Selain orga- nisasi lokal, perlu juga diperhitungkan tentang pemimpin-pemimpin lokal. Namun, menurut penulis, perlu pemahaman antropologis secara mendalam untuk menentukan pemimpin formal yang sesungguhnya, karena banyak pemimpin adat ciptaan sepihak belaka, dan atau pemim- pin lokal yang terkooptasi oleh pemerintahan Orde Baru sehingga tidak lagi mengakar di komunitasnya. Meskipun semenjak bergulirnya Era Reformasi beberapa organisasi masyarakat petani telah mulai menampakkan diri, bebe- rapa di antaranya cukup radikal, namun secara keseluruhan belum terbentuk satu organisasi yang mampu berperan sebagai basis untuk mengimplementasikan gerakan landreform ataupun reforma agraria secara lebih luas. Beberapa demonstrasi yang sering diberitakan media massa menjadikan reforma agraria sebagai topiknya, namun baru sebatas tun- tutan dengan tujuan memberi kesadaran kepada khalayak. Organisasi itu pun masih bersifat parsial dan temporal, dan tampaknya masih bergantung kepada inspirator-inspirator yang berasal dari luar. Beberapa demonstrasi petani yang menonjol akhir-akhir ini antara lain adalah: (1) demo ribuan petani yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) pada 30 April 2003 di Bundaran Hotel Indonesia menuntut agar Tap MPR No. IX tahun 2001 segera direalisasikan, (2) demo lebih kurang sembilan ribu petani AGRA di Kabupaten Wonosobo pada 24 februai 2004 dalam rangkaian Konferensi pertama AGRA yang diikuti 200 petani dari 11 provinsi, dan (3) demo ribuan petani di Jl. Thamrin, Bundaran HI, dan Gedung DPR/MPR menolak RUU Perkebunan dan menuntut penyelesaian konflik dan reforma agraria pada 8 Juni 2004. Hal ini perlu diungkapkan untuk menunjukkan telah mulai tumbuhnya kegairahan dalam memperjuangkan reforma agraria, dan sekali- gus beberapa organisasi masyarakat yang mulai tumbuh dari bawah. Secara umum, mengintroduksikan wa- cana landreform kepada masyarakat petani yang berada pada level sedikit di atas garis batas subsistensi merupakan ide yang mahal dan mewah. Inilah salah satu tantangan dalam implementasi reforma agraria, yaitu untuk mendapatkan dukungan yang luas dan kokoh dari masyarakat. Kendala lain adalah karena adanya pemahaman pada masyarakat, bahwa segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur penguasaan agraria saat ini dianggap merupakan sesuatu yang natural, semata-mata karena mekanisme pasar, bukan merupakan kesalahan skenario politik kala- ngan elit negara. Segala permasalahan yang dialami dalam berusahatani tidak pernah dirasakan karena buruknya struktur dan sistem penguasaan tanah, namun menimpakannya kepada masalah harga pupuk yang tinggi, rendahnya harga jual produk, ketiadaan air irigasi, dan lain-lain.
  • 9. 97 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti Miskinnya Ketersediaan Data Pertanahan dan Keagrariaan Data yang komprehensif merupakan kebutuhan yang pokok untuk merumuskan program landreform (dan bahkan reforma agraria) secara nasional, misalnya untuk kebutuhan menyusun hukum payung yang komprehensif. Selain data kuantitatif juga diperlukan berbagai data kualitatif dalam konteks sosioagraria. Menurut laporan Kepala BPN (2001), dari seluruh wilayah di Indonesia hanya 4 persen atau 2,8 juta ha tanah saja yang sudah memiliki peta dasar pendaftaran tanah. Dari sisi akedemis dibutuhkan peng- kayaan dari kondisi dan permasalahan spesifik sosioagraria di luar Jawa, karena pemben- tukan hukum nasional selama ini sebagaimana dikritik beberapa pihak, bias hanya dari peng- galian antropologis di Jawa saja. Pengaruh pemerintahan kolonial sehingga administrasi pertanahan di Jawa lebih baik tidak ditemukan di luar Jawa, kecuali hanya beberapa lokasi, misalnya di sebagian daerah Sulawesi Selatan. Untuk mengimplementasikan land- reform, maka beberapa pertanyaan pokok, yang sesungguhnya merupakan data-data uta- ma, perlu dijawab terlebih dahulu Posterman (2002) yaitu: siapa yang harus menerima lahan hasil landreform, dimana harus diseleng- garakan, berapa tanah yang harus diberikan kepada penerima, apa jenis tanah yang menjadi objeknya, berapa biaya yang harus dikeluarkan, apakah penerima harus memba- yar, siapa saja yang berperan serta, dan pada level pemerintahan yang mana yang bertang- gung jawab dan memonitor. Seluruh perta- nyaan ini baru bisa dijawab jika tersedia data yang lengkap. Suatu lokakarya internasional tentang Reforma Agraria pernah dilaksanakan di Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat tahun 1981, yang kemudian menghasilkan sebuah inventarisasi sejumlah topik sebagai agenda penelitian. Seluruh topik penelitian tersebut dirangkum oleh Wiradi (2000) menjadi 12 topik, di antaranya adalah (1) tentang adminis- trasi pertanahan berupa peta pemilikan, penguasaan, dan penggunaan secara lengkap termasuk pendaftaran tanah; (2) perilaku dan hubungan sosial diantara pemilik tanah, dengan petani tak bertanah, dan dengan masyarakat pedesaan; (3) persepsi masyara- kat tentang hak-hak atas tanah dan fungsi tanah; (4) kedudukan dan sikap berbagai kelompok terhadap gagasan reforma agraria; dan (5) konflik pertanahan. Didorong atas keprihatinan ketersediaan data pertanahan di Indonesia, maka pada tahun 2000, dilaksa- nakan Seminar dan Lokakarya di Bogor tentang Metode Penelitian Agraria kerjasama beberapa lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi. Sebagai sebuah bidang yang caku- pannya luas dan beragam, maka bentuk penelitian yang dibutuhkan bersifat induktif- partisipatif. Semenjak era reformasi ini, banyak referensi berupa buku maupun makalah dalam seminar yang cenderung mengangkat “roman- tisme hukum adat”. Penulis berpendapat, narasi tekstual hukum adat hanya dapat menjadi titik tolak dalam menelusuri akar nilai untuk memahami tatanan hukum agraria yang eksis saat ini. Transformasi tata nilai yang telah berlangsung secara gradual, tak dapat menjadikannya otomatis sebagai aspirasi yang betul-betul hidup saat ini. Dalam konteks ini, UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 5 mengakui keberadaan hukum adat sepanjang tatanan hukum adat tersebut masih ada. Selanjutnya, Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun 1999 memungkinkan dilakukannya pensertifi- katan tanah secara komunal dengan sistem perwalian. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kompromi antara penguasaan komunal dari hukum adat dan penguasaan secara privat dalam hukum formal. Metodologi penelitian yang bersifat in- duktif akan lebih terbuka terhadap keragaman kondisi lapangan, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih “berani” di luar dari mainstream yang sudah ada. Penelitian kualitatif yang menganalisis struktur politik- kekuasaan juga dirasa akan lebih objektif dan akan menghindarkan dari bias ke arah romatisme hukum adat. Karena beragamnya stakeholders, maka penelitian yang partisipatif akan lebih solutif dan implementatif nantinya. Masalah agraria juga dapat didekati dari sisi kelembagaan. Kelembagaan agraria secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu tata hubungan sosial (struktur, perilaku, dan norma sosial) antara seluruh pihak baik individu maupun lembaga terhadap sumber-
  • 10. 98 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101 sumber agraria. Khusus dalam konteks agraria, kelembagaan tersebut dapat dilihat dalam aras mikro dan makro. Keduanya memiliki kaitan yang langsung dalam sisi politik, ekonomi dan sosial. Kelembagaan dalam konteks mikro mempelajari bagaimana tata hubungan (struktur, perilaku, dan norma sosial) antara pemilik tanah, penyakap, buruh tani, buruh traktor, pedagang gabah, dan lain- lain. Sementara, kelembagaan dalam konteks makro mempelajari bagaimana tata hubungan seluruh pihak yang memiliki kewenangan dalam aspek hukum dan pengaturan pengua- saan maupun penggunaan objek-objek agra- ria, yaitu mulai dari pihak legislatif dan eksekutif, Badan Pertanahan, departemen teknis, pemerintah daerah, lembaga non pemerintah, swasta, dan kelompok-kelompok masyarakat; baik pada level pusat maupun daerah/lokal. Pemahaman terhadap kedua level kelembagaan tersebut juga masih lemah, apalagi bila diingat bahwa kelembagaan di level mikro akan sangat beragam antar wilayah. Sitorus (2002) menyebutkan bahwa lingkup hubungan-hubungan agraria menca- kup sumber-sumber agraria (tanah, air, bahan tambang, dll) serta pemerintah, swasta, dan komunitas. Ketiga pihak dimaksud selalu dapat ditemui pada level mikro maupun makro. Menurut Cohen (1978), dua hal pokok yang menjadi perhatian ilmu sosiologi dalam agrarian structure dan agrarian reform adalah mempelajari bagaimana tata hubungan antar kelompok sosial (intergroup relations) dan bagaimana pola sikap terhadap perubahan (attitudes towards social change). Berdasarkan konsep yang dikembang- kan Syahyuti (2003), dua aspek yang dilihat dalam kelembagaan adalah aspek keorganisa- sian (terutama struktur) dan aspek kelembaga- an (yaitu perilaku yang didalami melalui nor- ma, aturan, serta hukum dan perundang- undangan). Struktur agraria merupakan peta yang menggambarkan posisi tiap pihak, termasuk otoritas, serta hak dan kewajibannya masing-masing tehadap satu objek sumber agraria. Dalam konteks ini dapat dilihat bagai- mana struktur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; bagaimana komposisi kekuasaan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat; bagaimana relasi antara pemerintah dan masyarakat adat; bagaimana struktur relasi antar departemen kehutanan, pertanian dan dalam BUMN terhadap satu areal tanah perkebunan; dan lain-lain. Dalam konteks mikro, pembahasan tentang struktur dapat membicarakan relasi antar kelas sosial antara petani lahan luas dan sempit, antara pemilik dengan buruh tani, antara petani dan non-petani, dan lain-lain. Sementara dari aspek kelembagaan adalah misalnya bagaimana sistem penyakapan (land tenure), norma dalam pewarisan tanah, konflik antara hukum formal dan hukum adat, perkembangan hukum penguasaan (berupa hak milik, hak guna usaha, hak sewa, hak pakai, dan lain-lain), dan hukum penggunaan (Rencana Tata Ruang Wilayah, dan lain-lain). Permasalahan elit, data, dan anggaran akan lebih banyak ditemukan dalam level makro, sedangkan permasalahan organisasi masyarakat lebih banyak dipelajari pada level mikro. Khusus untuk objek “keorganisasian masyarakat”, sebagaimana metode yang dite- rapkan Cohen (1978) dalam penelitian sosio- logi tentang agraria, akan difokuskan kepada hubungan antar kelompok dan kelas sosial, serta sikap terhadap perubahan. Kesadaran, pengetahuan, sikap dan keinginan terhadap ide reforma agraria dapat ditangkap melalui kuesioner persepsi; sedangkan eksistensi kelembagaan masyarakat pada level mikro dapat dipahami melalui pengamatan, wawan- cara mendalam, dan diskusi grup. Ketersediaan dan Alokasi Anggaran yang Kecil Pelaksanaan landreform secara seren- tak dan menyeluruh akan menuntut biaya yang sangat besar, mulai dari persiapannya, pem- bentukan organisasi pelaksana, implementasi, sampai dengan pengawasan pasca redistri- busi. Landreform di berbagai negara dunia ketiga yang dilaksanakan pada era tahun 1960-an dimungkinkan karena sesuai dengan konstelasi politik dunia saat itu, dimana setelah Perang Dunia II landreform dianggap salah satu kebijakan yang sangat penting untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Saat itu negara-negara besar dan lembaga donor mendukungnya (Bahari, 2004). Namun, setelah era tersebut, land- reform tampaknya tidak lagi menjadi prioritas.
  • 11. 99 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti Lembaga donor lebih tertarik untuk meng- implementasikan program industrialisasi di negara-negara berkembang dibandingkan landreform. Kebijakan ini dipilih karena risikonya lebih kecil, dan tidak menimbulkan gejolak politik yang mahal. Bersamaan dengan itu, lahirnya revolusi hijau, semakin menga- burkan perhatian kepada landreform. Dengan teknologi baru, terutama introduksi varietas- varietas unggul (high yield variety), maka kemajuan ekonomi pedesaan telah tercapai. Pada kurun selanjutnya, penemuan baru tentang rekayasa genetika (genetic modified organism) dan rekayasa sosial melalui sistem agribisnis dipercaya sebagai jawaban untuk meningkatkan produksi pertanian dan sekali- gus kesejahteraan petani. Sebagai negara berkembang, sebagi- an modal pembangunan Indonesia berasal dari pinjaman dari lembaga asing. Lembaga donor tersebut berkuasa untuk mengontrol penggunaan pinjaman tersebut. Keterbatasan anggaran merupakan satu alasan pokok mengapa pemerintahan Orde Baru tidak memilih program landreform yang biayanya besar dan hasilnya belum tampak dalam jangka pendek. Sebaliknya, karena tekanan ekonomi kapitalis, maka tanah dijadikan komo- ditas untuk menarik investor asing menanam- kan modalnya, misalnya dengan regulasi da- lam pengembangan perkebunan besar swasta. Bahkan sampai sekarang, yaitu pada Kabinet Gorong Royong semenjak era Refor- masi, landreform belum pernah dijadikan agenda pemerintahan yang tegas, apalagi untuk menyisihkan dana anggaran secara khusus. Dari sisi hukum dan perundang- undangan telah ada beberapa kemajuan dila- kukan, namun belum dalam bentuk program aksi. Kalangan MPR telah mendukung dengan mengeluarkan Tap No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, meskipun belum diikuti oleh perbaikan dan sinkronisasi undang-undang sektoral. Selain itu, Presiden memerintahkan kepada BPN melalui Keppres No. 34 tahun 2003 untuk: (1) Menyusun RUU untuk menyempurnakan UUPA dan RUU tentang Hak Atas Tanah, (2) Membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan untuk menunjang landrefrom dan pemberian hak atas tanah, dan (3) Penyerahan sembilan jenis kewenangan pertanahan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Namun, RUU Sumber Daya Agraria yang diajukan ke pemerintah tersebut belum final, dan bahkan menghasil- kan ketidakpuasan dan kontroversi dengan kalangan pakar dan LSM. Misalnya, pada bulan Juli 2004, HKTI menolak RUU tersebut karena dikawatirkan tidak akan mampu men- jamin kemudahan petani untuk mendapatkan tanah. Dalam beberapa kasus dijumpai ban- tuan langsung pemerintah dalam pembiayaan pensertifikatan tanah, misalnya melalui prog- ram nasional (PRONA). Namun, yang dibutuhkan sesungguhnya lebih jauh dari itu, misalnya dapatkah disediakan kredit lunak bagi petani untuk mendapatkan lahan, misalnya dengan membeli tanah yang dikuasai oleh petani luas atau dari swasta. Dari laporan Kepala BPN (2001) terbaca bahwa, dari total lebih kurang 85 juta bidang tanah diseluruh daratan Indonesia, sampai tahun 2001 telah diterbitkan 24.224.041 sertifikat, yaitu melalui pola sporadis (16.290.086 lembar), ajudikasi (1.898.532 lembar), PRONA (3.091.975 lembar), PP10 dan PP 24 (410.437 lembar), dan melalui program transmigrasi (2.533.011 lembar). KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Dari paparan di atas, kondisi yang dihadapi untuk mengimplementasikan program landreform di Indonesia sangat berat, dalam kondisi ekonomi dan politik yang belum mapan, setelah beberapa tahun dilanda krisis multidimensi. Beratnya permasalahan yang ditanggung bahkan sudah terasa semenjak dalam tataran wacana, yang masih merupakan langkah awal ke tahap perencanaan. Namun demikian, beberapa tahun trakhir ini, khusus- nya semenjak kejatuhan pemerintahan Orde Baru, telah nampak kegairahan yang besar pada sebagian pihak dalam membicarakan tentang reforma agraria dan landrefrom secara terbuka. Memasuki abad ke 21 ini, dukungan internasional dan lembaga-lembaga donor dapat dikatakan negatif terhadap ide reforma agraria. Ditambah dengan kondisi politik dan keuangan dalam negeri yang masih sulit, maka wajar kalau kalangan elite politik menjadi
  • 12. 100 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 2, Desember 2004 : 89 - 101 tidak berani dalam memperjuangkan kebijakan ini. Peluang landreform semakin kecil jika diingat, bahwa sesungguhnya belum tumbuh kesadaran yang kuat pada golongan elit, bahkan masyarakat, bahwa segala permasa- lahan pembangunan pertanian dan pedesaan yang kita hadapi sekarang ini dapat diselesai- kan secara mendasar, yaitu melalui perbaikan struktur penguasaan dan pemilikan tanah pertanian (=landreform). Meskipun demikian, salah satu pe- luang yang lebih realistis adalah melaksana- kan program landreform secara terbatas, yaitu untuk wilayah-wilayah yang tekanan penduduk dan konflik pertanahannya masih ringan, terutama di luar Jawa. Ide ini dapat menjadi satu point yang menarik, karena dengan segala permasalahan yang dihadapi ini, berpikir untuk melakukan reforma agraria secara serentak dan menyeluruh dapat dikata- kan hampir mustahil. Landreform terbatas di sebagian wilayah banyak diterapkan negara- negara lain, misalnya di India dan Jepang. Agar diperoleh hasil yang optimal, maka program landreform harus dilaksanakan dengan kesiapan unsur-unsur pembaruan agraria yang lain. Redistribusi lahan di satu wilayah hanya akan meningkatkan kesejah- teraan, jika disiapkan unsur-unsur lain seperti infrastruktur, bentuk-bentuk usaha yang akan dikembangkan oleh masyarakat, dukungan permodalan untuk usahatani, serta teknologi dan pasar. Pelaksanaan landreform yang terlepas dari konteks pembaruan agraria hanya akan menghasilkan anarkhi, konflik, penelantaran tanah dan maraknya jual beli lahan yang bisa saja akan memperparah ketimpangan. Karena itu, jika satu wilayah akan menjalankan landreform maka seluruh pihak harus mendukung dan siap dengan kebijakan dan peranannya masing-masing. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, H. 2004. Tantangan Pelaksanaan Landreform dalam Konteks Otonomi Daerah. Seminar Nasional Pambaruan Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat. BPN, HKTI Dan Chatolic Relief Services, Jakarta 24-25 Agustus 2004. Bahari, Syaiful. 2004. Landrefrom di Indonesia: Tantangan dan Prospeknya ke Depan. Seminar Nasional Pambaruan Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat. BPN, HKTI Dan Chatolic Relief Services, Jakarta 24- 25 Agustus 2004. Cohen, Suleiman I. 1978. Agrarian Structures and Agrarian Reform: Exercise in Development Theory and Policy. Martinus Nijhoff Social Sciences Division, Leiden and Boston, USA Harsono, Boedi. 2002. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungan- nya dengan Tap MPR RI Nomor IX Tahun 2001, Makalah pada Seminar Nasional Pertanahan 2002 “Pembaruan Agraria”. STPN Yogyakarta, Tanggal 16 Juli 2002. Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I, Penerbit Djambatan, Edisi Revisi 2003. Hussein, Benyamin. 2002. Kelembagaan Perta- nahan dalam Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat. Direk- torat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi Otonomi daerah dan Pengembangan Re- gional, Bappenas. Jakarta, 12 September 2002. Hutagalung, Arie S. 2004. Tantangan Pelaksanaan Land Reform dalam Konteks Otonomi Daerah. Seminar Nasional Pambaruan Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat. BPN, HKTI Dan Chatolic Relief Services, Jakarta 24-25 Agustus 2004. Kepala BPN. 2001. Pertanahan Indonesia: Suatu Restropeksi. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala BPN, Jakarta. Konsorsium Pembaruan Agraria. 2004. Seminar dan Lokakarya Reforma Agraria: Tanta- ngan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009. Pusat Kajian Agraria IPB dan PBHI. 14-15 September 2004, Bogor. Posterman, Roy. 2002. Gagasan untuk Penerapan Landreform di Indonesia. Makalah dalam Seminar “ Mengkaji Kembali Landreform di Indonesia”. Di Kempinski Hotel, Jakarta, 8 Mei 2002. Puslitbangtanak, 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian di Indonesia skala 1:1.000.000. Pusat Penelitan dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor.
  • 13. 101 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria Syahyuti Puslitbangtanak. 2002. Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan untuk Peningkatan Produksi Pertanian. Makalah Seminar Nasional Inovasi Agribisnis, Bogor 21-22 Mei 2002. Rajagukguk, Erman. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Chandra Pratama, Jakarta. 220 hal. Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia. Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sitorus, MT Felix. 2002b. Lingkup Agraria. Hal 25- 40. dalam E. Suhendar dkk. Eds. 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. AKATIGA, Bandung. Sitorus, Oloan. 2002a. Pembagian Kewenangan Pusat, Propinsi, dan Daerah di Bidang Pertanahan. Diskusi Pengembangan Kebi- jakan Pertanahan dalam Era Desentrali- sasi dan Peningkatan Pelayanan Per- tanahan Kepada Masyarakat. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapan- nya dalam Penelitian Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Hal. 286-328. dalam SMP Tjondronegoro dan G. Wiradi. Eds. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. PT Gramedia, Jakarta.