Dokumen tersebut membahas tentang disinkronisasi kebijakan sumber daya alam di Indonesia yang menyebabkan berbagai masalah pengelolaan sumber daya, seperti ketimpangan penguasaan tanah dan konflik dengan masyarakat lokal. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara landasan hukum dan isi peraturan, tumpang tindih antar undang-undang, serta faktor politik seperti paradigma industrialisasi yang menempatkan peran negara memberikan
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyusun penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas usulan masyarakat sipil.
Usulan masyarakat sipil ini diharapkan memberikan pandangan alternatif dalam penyusunan UU Migas yang sesuai dengan konstitusi dan berpihak pada kepentingan publik. Proses penyusunan RUU ini juga termasuk rangkaian diskusi mendalam dan wawancara dengan pakar, akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah selama kurang lebih 11 bulan.
Sebanyak 11 isu kunci yang dimasukkan dalam RUU ini, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas, badan pengawas, BUMN pengelola, petroleum fund,
domestic market obligation, dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta sistem informasi dan partisipasi.
ditulis oleh Oswar Mungkasa dalam Majalah HUDMagz Edisi 4 Tahun 2013. diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Pengkajian Pengembangan Permukiman dan Perkotaan (LP P3I)/HUD Institute
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
pembangunan terkesan memanfaatkan tanah pertanian yang ditengarai dapat mengurangi produksi pangan. dengan demikian, dibutuhkan upaya yang masif agar pengalihan lahan pertanian tidak terjadi tanpa pengendalian.
Perubahan iklim, tantangan era global, dan terjadinya krisis lingkungan di berbagai belahan dunia, mendorong perlunya dilakukan pembentukan masyarakat sadar lingkungan. Isu-isu global tentang lingkungan sejalan dengan upaya dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengelola lingkungan. Ada tiga tindakan pokok yang dapat dilakukan oleh negara yaitu: 1) tindakan represif, 2) tindakan preventif, dan 3) tindakan persuasif. Penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law) diperlukan terkait dengan upaya represif pemerintah dalam merespon isu-isu akan polusi, kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan, kebakaran hutan, dan bahaya kepunahan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution) merupakan salah satu upaya preventif pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan. Konstitusi yang tegas dan jelas mengatur akan pemberdayaan lingkungan akan menjadi titik tolak dari terciptanya produk-produk hukum yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan lingkungan. Adapun sebagai upaya persuasif pemerintah, maka pembentukan masyarakat ekologi melalui PPKn di sekolah harapannya dapat menjadi solusi untuk mendorong nilai-nilai kesadaran akan lingkungan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution), penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law), dan pembentukan masyarakat ekologi (ecological citizenship) menjadi hal yang urgen jika pemerintah serius dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantarCV Maju Bersama Bangsa
Salah satu program reforma agraria adalah distribusi ulang tanah-tanah yang sudah dikuasai. Tanah-tanah yang dikusai tersebut di antaranya adalah tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Mega yasma adha 2015510005 tugas makalah tata guna tanahMega Yasma Adha
Mega yasma adha 2015510005 tugas makalah tata guna tanah
dibuat untuk melaksanakan tugas kuliah dalam mata kuliah tata guna tanah, teknik geodesi institut teknologi padang
Penulisan skripsi ini berjudul “PEMANFAATAN TANAH KAS DESA UNTUK RELOKASI KORBAN ERUPSI MERAPI DI DESA KEPUHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN”. Dalam penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan tanah kas desa dalam pelaksanaan relokasi warga korban erupsi Merapi, status rumah dan tanah milik warga yang terkena Erupsi Merapi, serta status kepemilikan rumah dan tanah yang ditempati warga di relokasi.
Penelitian ini dispesifikan sebagai penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, yaitu penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang mempelajari literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penelitian ini dan melakukan wawancara dengan Dwi Handaka Purnama, selaku Kepala Seksi Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, Heru Saptono, selaku Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD, dan Tulus Budiwiratno, selaku Sekertaris Desa Kepuharjo.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejalah lain dalam masyarakat.
Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa di Kecamatan Cangkringan, yang mengalami kerusakan terbanyak serta digolongkan sebagai daerah yang tidak boleh ditempati. Untuk menjamin terselenggaranya relokasi bagi warga korban erupsi merapi, diperlukan tanah untuk lokasi baru pada zona aman bencana erupsi. Pengadaan tanah untuk pelaksanaan relokasi di Desa Kepuharjo, menggunakan tanah kas desa (TKD), berdasarkan Izin Pelepasan Tanah Kas Desa Kepuharjo Nomor 31/IZ/2012 tanggal 11 April 2012. Status tanah warga yang terkena erupsi merapi, tetap menjadi milik warga dengan syarat dari pemerintah daerah bahwa tanah tersebut hanya diperuntukan untuk pertanian dan tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan di atasnya. Status kepemilikan rumah dan tanah bagi warga di tempat relokasi, adalah milik warga yang menempati. Pemerintah memberikan sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikannya.
Kata Kunci : Pemanfaatan Tanah, Tanah Kas Desa, Erupsi Merapi
Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan IklimPenataan Ruang
Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyusun penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas usulan masyarakat sipil.
Usulan masyarakat sipil ini diharapkan memberikan pandangan alternatif dalam penyusunan UU Migas yang sesuai dengan konstitusi dan berpihak pada kepentingan publik. Proses penyusunan RUU ini juga termasuk rangkaian diskusi mendalam dan wawancara dengan pakar, akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah selama kurang lebih 11 bulan.
Sebanyak 11 isu kunci yang dimasukkan dalam RUU ini, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas, badan pengawas, BUMN pengelola, petroleum fund,
domestic market obligation, dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta sistem informasi dan partisipasi.
ditulis oleh Oswar Mungkasa dalam Majalah HUDMagz Edisi 4 Tahun 2013. diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Pengkajian Pengembangan Permukiman dan Perkotaan (LP P3I)/HUD Institute
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
pembangunan terkesan memanfaatkan tanah pertanian yang ditengarai dapat mengurangi produksi pangan. dengan demikian, dibutuhkan upaya yang masif agar pengalihan lahan pertanian tidak terjadi tanpa pengendalian.
Perubahan iklim, tantangan era global, dan terjadinya krisis lingkungan di berbagai belahan dunia, mendorong perlunya dilakukan pembentukan masyarakat sadar lingkungan. Isu-isu global tentang lingkungan sejalan dengan upaya dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengelola lingkungan. Ada tiga tindakan pokok yang dapat dilakukan oleh negara yaitu: 1) tindakan represif, 2) tindakan preventif, dan 3) tindakan persuasif. Penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law) diperlukan terkait dengan upaya represif pemerintah dalam merespon isu-isu akan polusi, kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan, kebakaran hutan, dan bahaya kepunahan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution) merupakan salah satu upaya preventif pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan. Konstitusi yang tegas dan jelas mengatur akan pemberdayaan lingkungan akan menjadi titik tolak dari terciptanya produk-produk hukum yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan lingkungan. Adapun sebagai upaya persuasif pemerintah, maka pembentukan masyarakat ekologi melalui PPKn di sekolah harapannya dapat menjadi solusi untuk mendorong nilai-nilai kesadaran akan lingkungan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution), penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law), dan pembentukan masyarakat ekologi (ecological citizenship) menjadi hal yang urgen jika pemerintah serius dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.
Penertiban tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantarCV Maju Bersama Bangsa
Salah satu program reforma agraria adalah distribusi ulang tanah-tanah yang sudah dikuasai. Tanah-tanah yang dikusai tersebut di antaranya adalah tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah terlantar
Mega yasma adha 2015510005 tugas makalah tata guna tanahMega Yasma Adha
Mega yasma adha 2015510005 tugas makalah tata guna tanah
dibuat untuk melaksanakan tugas kuliah dalam mata kuliah tata guna tanah, teknik geodesi institut teknologi padang
Penulisan skripsi ini berjudul “PEMANFAATAN TANAH KAS DESA UNTUK RELOKASI KORBAN ERUPSI MERAPI DI DESA KEPUHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN”. Dalam penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan tanah kas desa dalam pelaksanaan relokasi warga korban erupsi Merapi, status rumah dan tanah milik warga yang terkena Erupsi Merapi, serta status kepemilikan rumah dan tanah yang ditempati warga di relokasi.
Penelitian ini dispesifikan sebagai penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, yaitu penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang mempelajari literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penelitian ini dan melakukan wawancara dengan Dwi Handaka Purnama, selaku Kepala Seksi Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, Heru Saptono, selaku Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD, dan Tulus Budiwiratno, selaku Sekertaris Desa Kepuharjo.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejalah lain dalam masyarakat.
Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa di Kecamatan Cangkringan, yang mengalami kerusakan terbanyak serta digolongkan sebagai daerah yang tidak boleh ditempati. Untuk menjamin terselenggaranya relokasi bagi warga korban erupsi merapi, diperlukan tanah untuk lokasi baru pada zona aman bencana erupsi. Pengadaan tanah untuk pelaksanaan relokasi di Desa Kepuharjo, menggunakan tanah kas desa (TKD), berdasarkan Izin Pelepasan Tanah Kas Desa Kepuharjo Nomor 31/IZ/2012 tanggal 11 April 2012. Status tanah warga yang terkena erupsi merapi, tetap menjadi milik warga dengan syarat dari pemerintah daerah bahwa tanah tersebut hanya diperuntukan untuk pertanian dan tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan di atasnya. Status kepemilikan rumah dan tanah bagi warga di tempat relokasi, adalah milik warga yang menempati. Pemerintah memberikan sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikannya.
Kata Kunci : Pemanfaatan Tanah, Tanah Kas Desa, Erupsi Merapi
Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan IklimPenataan Ruang
Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
Hbl, dimas triadi, hapzi ali,hukum lingkungan dari perspektif hukum dan hubun...Dimas Triadi
Hbl, dimas triadi, hapzi ali,hukum lingkungan dari perspektif hukum dan hubungannya dengan kegiatan bisnis serta dampak yang timbul dari undang undang lingkungan hidup , universitas mercu buana, 2018, pdf
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.1 Minyak dan gas bumi (migas), serta pertambangan mineral dan batubara (minerba) merupakan beberapa kekayaan alam Indonesia, yang harus dikelola untuk mencapai tujuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Mengingat industri migas dan minerba tergolong sebagai industri ekstraktif yang high risk, high technology, dan high cost, maka pengelolaannya perlu dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki modal kapital maupun teknologi yang kompetitif. Kerja sama pengelolaan migas dan minerba ini sebagian besar dilakukan berdasarkan sistem kontrak. Dalam konteks Indonesia, sistem kontrak banyak digunakan untuk kegiatan sektor hulu yang mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi/produksi migas dan minerba, sedangkan untuk kegiatan
hilir dilaksanakan melalui pemberian izin usaha.2 Sejak tahun 2009, sebagian sektor hulu minerba dilaksanakan melalui sistem perizinan
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...muhammadnoorhasby04
Gas rumah kaca memainkan peran penting dalam mempengaruhi iklim Bumi melalui mekanisme efek rumah kaca. Fenomena ini alami dan esensial untuk menjaga suhu Bumi tetap hangat dan layak huni. Namun, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian intensif, telah memperkuat efek ini, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang signifikan.Pemanasan global membawa dampak luas pada berbagai aspek lingkungan, termasuk suhu rata-rata global, pola cuaca, kenaikan permukaan laut, serta frekuensi dan intensitas fenomena cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan. Dampak ini juga meluas ke ekosistem alami, menyebabkan gangguan pada habitat, distribusi spesies, dan interaksi ekologi, yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
Untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh peningkatan gas rumah kaca dan perubahan iklim, upaya mitigasi dan adaptasi menjadi sangat penting. Langkah-langkah mitigasi meliputi transisi ke sumber energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Di sisi lain, langkah-langkah adaptasi mencakup pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap cuaca ekstrem, pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, dan perlindungan terhadap wilayah pesisir.Selain itu, mengurangi konsumsi daging, memanfaatkan metode kompos, dan pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim adalah beberapa tindakan konkret yang dapat diambil untuk mengurangi dampak gas rumah kaca.Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme dan dampak dari efek rumah kaca, serta melalui kolaborasi global yang kuat dan langkah-langkah konkret yang efektif, kita dapat melindungi planet kita dan memastikan kesejahteraan bagi generasi mendatang.
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...d1051231039
Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan penting secara global. Terbentuk dari endapan bahan organik yang terdekomposisi selama ribuan tahun, lahan gambut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, serta mengatur siklus air. Kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya habitat, degradasi lingkungan, dan penurunan kesuburan tanah. Kerusakan lahan gambut di Indonesia telah meningkat seiring waktu, dengan laju deforestasi dan degradasi lahan gambut yang signifikan. Menurut data, sekitar 70% dari lahan gambut di Indonesia telah rusak, dan angka tersebut terus meningkat. Kerusakan lahan gambut memiliki dampak yang luas dan serius, tidak hanya secara lokal tetapi juga global. Selain menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan yang khas bagi ekosistem gambut, kerusakan lahan gambut juga melepaskan jumlah karbon yang signifikan ke atmosfer, berkontribusi pada perubahan iklim global.Kerusakan lahan gambut memiliki dampak negatif yang luas pada masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. Dalam jangka panjang, kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya sumber daya alam, penurunan kesuburan tanah, dan peningkatan risiko bencana alam.
Hasil dari #INC4 #TraktatPlastik, #plastictreaty masih saja banyak reaksi ketidak puasan, tetapi seluruh negara anggota PBB bertekad melanjutkan putaran negosiasi
berikutnya: #INC5 di bulan November 2024 di Busan Korea Selatan
Cerita sukses desa-desa di Pasuruan kelola sampah dan hasilkan PAD ratusan juta adalah info inspiratif bagi khalayak yang berdiam di perdesaan
.
#PartisipasiASN dalam #bebersihsampah nyata biarpun tidak banyak informasinya
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfBrigittaBelva
Berada dalam kerangka Mata Kuliah Riset Periklanan, tim peneliti menganalisis penggunaan pendekatan "fear appeal" atau memicu rasa takut dalam kampanye #TogetherPossible yang dilakukan oleh World Wide Fund (WWF) untuk mengedukasi masyarakat tentang isu lingkungan.
Analisis dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis konten media sosial WWF, observasi, dan analisis naratif. Tidak hanya itu, penelitian ini juga memberikan strategi nyata untuk meningkatkan keterlibatan dan dampak kampanye serupa di masa depan.
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistemd1051231041
Pirit merupakan zat di dalam tanah yang terbawa karena adanya arus pasang surut. Zat ini dapat membahayakan ekosistem sekitar apabila mengalami reaksi oksidasi dan penyebab utama mengapa tanah menjadi masam, karena mengandung senyawa besi dan belerang. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan, dampak, peran, pengaruh, hingga upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan guna mengatasi masalah ekosistem yang terjadi.
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
1. Jalan Panjang Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan Ruang1
Siapa menguasai tanah maka ia menguasai makanan (Ahmad Tauchid, 1952)
Situasi Politik Ruang di Indonesia -- Kekuasaan Corporasi atas Negara;
Era Globalisasi dan Industrialisasi di Indonesia dalam sedikitnya 3 dekade menjadi hal yang patut
untuk kita telaah sebagai bagian dari unsur penentu dan mempengaruhi kebijakan hukum
nasional juga di daerah-daerah sebagai implikasi keputusan pemerintahan Indonesia sejak era
Orde Baru dibawah Presiden Soeharto hingga sekarang. Industrialisasi ditempatkan sebagai
prioritas pembangunan nasional, sebagaimana dalam GBHN, TAP MPR No. II/MPR/1998, angka IV.
A. 4.a merumuskan :
“kondisi pembangunan industry dianggap telah dapat memperkukuh struktur perekonomian
nasional dengan berkembangnya keterkaitan antar sector, meningkatnya daya tahan
perekonomian nasional, serta mendorong kegiatan berbagai sector industry nasional lainnya….”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025 menyebutkan:
“Sebagai negara yang berada di tengah-tengah persaingan global yang semakin ketat, kedudukan
Indonesia yang semakin diperhitungkan belum mendudukkan Indonesia sebagaimana seharusnya.
Di sisi lain, tantangan kita ke depan juga semakin berat. Keberadaan Indonesia di pusat baru
gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia
mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan
hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh
masyarakat… Indonesia mampu mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan
yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi,
pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan Iptek. Percepatan
pembangunan ini diharapkan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya”.
Chalid Muhammad mengungkapkan;2
• 40 Orang Indonesia terkaya menurut versi majalah Forbes memiliki asset sebesar 71 miliyar US$
atau setara dengan Rp. 639.000.000.000.000. Sebagian besar dari merea adalah pengusaha yang
berhubungan dengan sumber daya alam seperti pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit,
Pertambangan, HPH dan HTI serta pelaku Industri yang berhubungan dengan pengelolaan sumber
daya alam
• Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional) menyatakan, 56% asset yang ada di tanah air
baik berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 % penduduk Indonesia.
• Pengusaan segelintir orang atas sumber-sumber agraria makin nyata jika dilihat berdasarkan sektor
pembangunan. Pemerintah telah memberikan 42 juta hektar hutan pada 301 perusahaan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan 262 unit perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) (Kemnhut
06/09)
• Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan 35% daratan Indonesia diizinkan untuk
dibongkar oleh industri pertambangan.
• Sawit Wacth menyatakan hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah
dan akan mencapai 26,7 juta hektar tahun 2020 kepada 30 group yang mengontrol 600
perusahaan. Luasan itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 26,7 Juta petani miskin, jika setiap
petani memiliki tanah seluas 1 hektar. Padahal masih banyak petani kita yang tidak memiliki tanah
atau menguasai tanah dibawah 0,5 hektar
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat baru separuh atau sekitar 4302 kasus agrarian
yang di selesaikan dari total 8307 kasus konflik agrarian terjadi sepanjang tahun 2011.3
1
Oleh Rustandi Adriansyah, disampaikan pada Seminar “Ketahanan Nasional Dalam Perspektif
Pertanahan”, Lembar 2012
2
Chalid Muhammad “Korporasi dan Penguasaan Ruang di Indonesia”, 2011
2. Tabel 1. Negara Tujuan Investasi Teratas, Investor dan Nilai Investasi (Kajian Bank Dunia tahun
2010)4
Tabel 2. Lansekap Politik Institusi Pemerintah dalam Penataan Ruang di Indonesia5
Institusi UU/PP
Kepentingan
Objektif/Umum Subjektif
K Kehu-
Tanan
UU 41/1999
PP 10/2010
Pelestarian Hutan Kewenangan eksklusif pengelolaan Kaw Hutan
Kemen PU UU 26/2007
PP 26/2008
PP 15/2010
Koordinasi Penataan
Ruang
Kemudahan pengembangan infrastrukutur
jalan (tol)
BPN UU 5/1960
PP 11/2010
Reforma Agraria Mempertahankan Kewenangan terpusat hak
guna tanah
Bappenas UU 25/2004 Koordinasi Sist Perenc
Nasional
Superioritas kebijakan sistem perencanaan
nasional, termasuk yg berdimensi spasial
PEMDA UU 32/2004 Pembangunan Daerah - Otonomi lebih luas tata kelola SDA daerah –
- Meningkatkan PAD
KLH UU 32/2009 Pembangunan
Berwawasan Lingkungan
Kewenangan perencanaan & pengendalian
yang lebih luas dalam pengel SDA, Lingkungan
& wilayah
K Perta- UU 41/2009 Ketahanan Pangan - Mencegah alih fungsi lahan sawah
3
Walhi Public Hearing “Memperkuat Aspirasi Masyarakat Melalui Dengar Pendapat dengan DPR
(22/06/2012)”, http://news.detik.com/read/2012/06/22/140345/1948256/10/,
4
Dikutip dari artikel makalah “Gelombang Akuisisi Tanah Untuk Pangan: Wajah Imperialisme Baru“ Laksmi
Andriani Savitri, Sayogyo Institute, 2011
5
Lansekap Politik Ruang di Indonesia, Center for regional Systems Analysis, Planning and Development
(CRESTPENT), Bogor Agricultural University (IPB), 2011
3. Nian - perlindungan usaha agribisnis (perkebunan)
K ESDM UU 22/2001
UU 4/2009
Pembangunan Energi &
SD devisa Nasional
- Akses penambangan di kaw lindung
- Hak eksklusif kaw tambang
Disinkronisasi Kebijakan SDA, disebabkan a.l :
1. Ketidak sesuaian antara landasan hukum dan konsideran; yaitu landasan yang menjadi
pokok pikiran ditetapkannya sebuah produk kebijakan/peraturan perundang – undangan
yang memuat unsur filosofis, yuridis dan sosiologis dengan isi pasal – pasal dalam produk
kebijakan tersebut.
Mengenai disinkronisasi konsideran “menimbang” dalam peraturan perundang-undangan
dengan pasal – pasal yang dimuat dalam undang undang tersebut dapat ditemukan
misalnya pada UU No 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU No 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.
Kesemua Undang Undang Sektoral tersebut secara tekstual dengan jelas atau dengan kata
lain secara eksplisit menyatakan pada point Mengingat berlandaskan pada Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945, secara khusus yaitu Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang
Dasar 1945. Guru besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono
mengemukakan :
”Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda.
Kesimpulan di atas diambil setelah dilakukan kajian dengan melihat tujuh aspek tolok
ukur (indikator) yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan,
hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang
dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good
governance).6
2. Tumpang tindih antar Undang Undang. Ketidak sinkronan antar undang – undang
disebabkan antara lain oleh :
a) egoisme sektoral. Masing masing sector (di lembaga pemerintahan -- pen) merasa
paling yang berkompeten mengatur tentang sumber daya alam.7
Akibat lebih jauh
dari egoism sektoral tersebut maka terjadilah tumpang tindih antara penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam dan koordinasi yang timpang antar pusat dan daerah
serta antar sektor8
b) Kontradiksi undang undang sektoral akibat tidak diakuinya dan diselewengkannya
Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebagai payung atau
dasar bagi hukum yang mengatur tentang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan
sumber sumber agrarian atau sumber daya alam.
6
Kompas, 24 Maret 2009, di kutip dari laman
http://rencanatataruangriau.blogspot.com/2009/03/pengelolaan-sumber-daya-alam.html, pada tanggal 12
November jam 03.00 WIB
7
Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, SH.MCL.MPA “Tanah dalam Persfektif Ekonomi Sosial dan Budaya”,
Kompas Media Nusantara, 2009, hal. 90
8
ibid
4. “Tergesernya status UU PA yang bukan lagi sebagai peraturan dasar juga berpengaruh
positif terhadap melemahnya fungsi UU PA. Sebab, sejak kelahirannya, UU PA merupakan an
umbrella act, bertugas mengoordinasikan UU sektoral lainnya. Tergusurnya MHA dan hak-hak
ulayat petani yang semestinya memperoleh perlindungan, justru telah terabaikan.
Melemahnya fungsi UU PA juga berkaitan dengan reformasi hukum di bidang legislasi. UU
Nomor 12 Tahun 2011 (perubahan dari UU No 10 Tahun 2004) tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, tidak lagi mengakui status UU PA sebagai peraturan dasar.
Semua peraturan perundang-undangan pada hakikatnya sama.”9
3. Disinkronisasi akibat adanya factor politik; paradigma industrialisasi dan modernisasi
sebagai model penerapan pembangunan menempatkan peran otoritas Negara sebagai
“jalan” bagi legitimasi penguasaan pihak swasta (private) atas kekayaan sumber daya
alam.
“Tantangan Globalisasi; arus besar globalisasi ekonomi menyebabkan kekuasaan pemerintah
nasional hingga seolah menjadi “takluk” pada kekuatan mengatur dari lembaga lembaga
internasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia. Tekanan tersebut secara serentak berupa
tuntutan desentralisasi, gerakan privatisasi, yang sumbernya sama; kekuatan internasional
yang menghendaki pasar bebas”10
Disinkronisasi dari ketiga hal pokok diatas telah menyebabkan munculnya rangkaian problem
dalam pengelolaan sumber sumber agrarian atau sumber daya alam di Indonesia. Gunawan
Wiradi11
mengidentifikasi fakta empat bentuk ketidakserasian atau ketimpangan agrarian , yaitu :
1. Ketimpangan dalam hal penguasaan sumber – sumber agraria.
2. Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah
3. Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria;
4. Ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatism dan kebijakan
sektoral.
Tabel 3 : Kilas Fakta Konflik SDA Sumsel12
No Bentuk Kelola (Investasi) Konflik
geofisik Social politik
(T) (PK) (TK) (KH) (Kr)
1. tambang emas PT. Barisan Tropikal Mining 1997 – 2002
Kec. Muara Rupit, Kab. Musi Rawas
2. pulp & paper PT. Tanjung Enim Lestari di Kec. Muara
Niru, Kab. Muara Enim, 1997 – sekarang.
3. HTI (Hutan Tanaman Industri) PT. Musi Hutan Persada
dengan hak konsesi + 264.000 Ha yang dimiliki
menyebar di 5 kabupaten di Sumatera Selatan, yaitu :
MUBA, MURA, OKU, Lahat, Muara Enim
4. perkebunan kelapa sawit di seluruh kabupaten dalam
wilayah Provinsi Sumatera Selatan, dengan luas konsesi
total sedikitnya 800.000 Ha, 1997 – sekarang
5. Pengelolaan industry Pupuk oleh BUMN
PT. PUSRI (Pupuk Sriwijaya) sejak tahun 1980-an
6. Minyak Bumi dan Gas oleh Negara (Pertamina) sector
privat (a.l ; Expan Oil, Conoco Philips) hampir di
sebagian besar kabupaten di Sumatera Selatan.
Khususnya di Kab. MUBA, Muara Enim, Kota
Administratif Prabumulih, sejak tahun 1980-an hingga
sekarang
9
Prof. Jawahir Thontowi “Urgensi Perubahan UU Pokok Pokok Agraria”, Koran Tempo, 12 Februari 2012
10
Gunawan Wiradi, “Seluk Beluk Masalah Agraria – Reforma Agraria & Penelitian Agraria”, STPN
Press&Sains, 2009, hal. 89
11
Ibid, Hal. 3
12
Data Lembar 2011, diolah dari berbagai sumber
5. 7. tambang batubara yang menghampar di Kabupaten
Muara Enim, Lahat sejak tahun 1970-an hingga sekarang
dengan areal yang mencapai ratusan ribu Hektar
8. tambak udang di semenanjung pantai timur Kab. OKI
berbatasan dengan provinsi Lampung, a.l : oleh PT.
Wahyuni Madira, PT. Dipasena
Ket
T : Tanah
PK : pencemaran, polusi, kebakaran hutan,
Tk : Tenaga Kerja
KH : Konflik Horizontal
Kr : Kriminalisasi
Menurut Hilma Savitri dkk, pengelolaan sector sector agrarian di Indonesia sebagai efek dari
kebijakan Negara dan penerapannya menyebabkan konflik/sengketa antara lain13
:
1. Sengketa agrarian karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam
tanaman industry dan hasil diatasnya sebagai sumber – sumber yang dieksploitasi secara massif
2. Sengketa akibat program swasembada beras yang pada prakteknya mnegakibatkan penguasaan
tanah terkonsentrasi pada satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah
3. Sengketa agrarian di areal perkebunan akibat pengalihan dan penerbitan HGU
4. Sengketa akibat penggusuran diatas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk industry pariwisata,
real estate, kawasan indutri, pabrik, dan sebagainya
5. Sengketa agrarian akibat penggusuran dan pengambil alihan tanah tanah rakyat yang dinyatakan
untuk sarana kepentingan umum ataupun kepentingan keamanan
6. Sengketa akibat pen cabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional, hutan
lindung dan sebagainya atas nama kelestarian lingkungan.
MP3EI -- Perpres 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI)
- Kerja bareng, mengundang investasi seluasnya, mempersembahkan wajah/potret resource
alam dan geospasial Indonesia sebagai arus utama model pembangunan
- Zonasi produksi dan distribusi
- Menyediakan Indonesia sebagai “komparador” globalisasi
- Memerlukan regulasi kebijakan “penyokong”
“Masalah agraria sepanjang jaman, pada hakikatnya adalah masalah politik” (Gunawan Wiradi)
13
Hilma, dkk, “Menuju Demokratisasi Pemetaan – Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia”,
JKPP, 2009, hal. 3 - 4
6. 7. tambang batubara yang menghampar di Kabupaten
Muara Enim, Lahat sejak tahun 1970-an hingga sekarang
dengan areal yang mencapai ratusan ribu Hektar
8. tambak udang di semenanjung pantai timur Kab. OKI
berbatasan dengan provinsi Lampung, a.l : oleh PT.
Wahyuni Madira, PT. Dipasena
Ket
T : Tanah
PK : pencemaran, polusi, kebakaran hutan,
Tk : Tenaga Kerja
KH : Konflik Horizontal
Kr : Kriminalisasi
Menurut Hilma Savitri dkk, pengelolaan sector sector agrarian di Indonesia sebagai efek dari
kebijakan Negara dan penerapannya menyebabkan konflik/sengketa antara lain13
:
1. Sengketa agrarian karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam
tanaman industry dan hasil diatasnya sebagai sumber – sumber yang dieksploitasi secara massif
2. Sengketa akibat program swasembada beras yang pada prakteknya mnegakibatkan penguasaan
tanah terkonsentrasi pada satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah
3. Sengketa agrarian di areal perkebunan akibat pengalihan dan penerbitan HGU
4. Sengketa akibat penggusuran diatas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk industry pariwisata,
real estate, kawasan indutri, pabrik, dan sebagainya
5. Sengketa agrarian akibat penggusuran dan pengambil alihan tanah tanah rakyat yang dinyatakan
untuk sarana kepentingan umum ataupun kepentingan keamanan
6. Sengketa akibat pen cabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional, hutan
lindung dan sebagainya atas nama kelestarian lingkungan.
MP3EI -- Perpres 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI)
- Kerja bareng, mengundang investasi seluasnya, mempersembahkan wajah/potret resource
alam dan geospasial Indonesia sebagai arus utama model pembangunan
- Zonasi produksi dan distribusi
- Menyediakan Indonesia sebagai “komparador” globalisasi
- Memerlukan regulasi kebijakan “penyokong”
“Masalah agraria sepanjang jaman, pada hakikatnya adalah masalah politik” (Gunawan Wiradi)
13
Hilma, dkk, “Menuju Demokratisasi Pemetaan – Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia”,
JKPP, 2009, hal. 3 - 4