Istilah freies ermessen atau (pouvoir discretionnaire, Perancis) berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Sedangkan kata ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara etimologis, freies ermessen dapat diartikan sebagai ”orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan”. Selain itu istilah freies ermessen sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti : menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang-undang.
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
1. 1
PENGGUNAAN ASAS DISKRESI DALAM PEMBENTUKAN
PRODUK HUKUM DI INDONESIA
( dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum )
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH
MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM KENEGARAAN
2011
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan yang terus – menerus dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti
yang dimaksudkan dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 menyebabkan peranan
hukum semakin mengedepankan. Namun demikian, intesitas serta kesibukan dalam upaya untuk
menyusun suatu tatanan kehidupan yang baru di Indonesia, melalui pembangunan dan
modernisasi, ternyata telah memberikan pengaruh terhadap dunia hukum.
Dalam rangka mensejahterahkan masyarakat, terjadi hubungan hukum (rechtsbetrekking)
yang erat antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan perkataan lain, pemerintah mempunyai
kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Dengan adanya
fungsi “public service” ini, berarti pemerintah tidak saja melaksanakan peraturan perundangan –
undangan itu sendiri. Oleh karenanya pemerintah berhak menciptakan kaidah hukum konkrit
yang dimaksudkan guna mewujudkan tujuan peraturan perundang – undangan.1
Selanjutnya, keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan – persoalan yang
menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan
penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan
yang baru tersebut. Hal ini tampak pada segi pengaturan oleh hukum, baik dari aspek
legitimasinya, maupun aspek keefektifan penerapannnya.2
1
Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal.3
2
Sunggono Bambang, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.1
3. 3
Diberikannya tugas pelayanan publik itu membawa suatu konsekuensi yang khusus bagi
administrasi negara. Agar dapat menjalankan tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum, maka
administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif dan
kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul tiba-tiba
dan yang peraturannnya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang
diserahi fungsi legislatif. Dalam hukum administrasi Negara disebut dengan “pouvoir
discrectionnaire” atau “freies ermessen” atau asas diskresi. Istilah ini mengandung kewajiban
dan kekuasaan yang luas, yaitu terhadap tindakan yang akan dilakukan dan kebebasan untuk
memilih melakukan atau tidak tindakan tersebut.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut : “Bagaimanakah Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pembentukan Produk
Hukum Di Indonesia?”
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FREIES ERMESSEN / ASAS DISKRESI
Istilah freies ermessen atau (pouvoir discretionnaire, Perancis) berasal dari bahasa Jerman.
Kata freies diturunkan dari kata frei dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas
dan orang bebas. Sedangkan kata ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai,
menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara etimologis, freies ermessen dapat
diartikan sebagai ”orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan
bebas mengambil keputusan”. Selain itu istilah freies ermessen sepadan dengan kata
discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti : menurut
wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang-undang.
Dalam kepustakaan Ilmu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar yang
memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo, mengatakan :
“….asas diskresi (discretie; freies Ermessen) artinya, pejabat penguasa tidak
boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya”,
dan oleh karena itu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan menurut
pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas…”
Senada dengan pendapat tersebut, Sjachran Basrah, mengatakan bahwa diperlukannya
freies Ermessen oleh admnistrasi Negara itu :
“….dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri….,
terutama dalam penyelesaian persoalan – persoalan yang penting yang timbul
5. 5
secara tiba – tiba. Dalam hal demikian, administrasi Negara terpaksa bertindak
cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan – keputusan yang di ambil untuk
menyelesaiakan masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan.”
Pada bagian lain dari buku tersebut, freies Ermessen itu di artikan sebagai “kebebasan
bertindak dalam batas – batas tertentu” atau “keleluasan dalam menentukan kebijakan –
kebijakan melalui sikap tindak administrasi Negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan.”
Amrah Muslimin, mengartikan freies Ermessen sebagai “lapangan bergerak selaku
kebijaksanaannya” atau “kebebasan kebijaksanaan.”3
Menurut Saut P. Panjaitan, freies Ermessen adalah kebebasan atau keleluasan bertindak
administrasi Negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri
guna menyelesaikan persoalan – persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada,
dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.4
Dari beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak terdapat
perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang dikandung adalah sama, yaitu adanya kebebasan
bertindak bagi administrasi Negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna
menyelesaikan persoalan – persoalan penting yang mendesak, sedangkan aturan untuk itu belum
ada. namun harus diingat bahwa kebebasan bertindak administrasi Negara tersebut bukan
kebebasan dalam arti yang seluas – luasnya dan tanpa batas, melainkan terikat pada batas – batas
tertentu yang diperkenankan oleh hukum administrasi Negara.
3
Marbun SF, dkk, Dimensi – Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi, UII Press, Yogyakarta, 2011,hal.108-109
4
Ibid.hal.133-114
6. 6
B. TINDAKAN ADMINISTRASI NEGARA DALAM FREIES ERMESSEN
Pejabat administrasi (bestuur) selaku pelaksana kebijakan politik negara mempunyai
wewenang sebagaimana diperintahkan undang – undang. Berfungsi memimpin masyarakat,
mengendalikan pemerintahan, memberi petunjuk, menghimpun aspirasi, menggerakkan potensi,
memberi arah, mengkoordinasikan kegiatan, membuka kesempatan, memberi kesempatan,
memberi kemudahan, mengawasi, menilai, mendukung, membina, melayani, mendorong dan
melindungi masyarakat. Fungsi – fungsi tersebut harus diwujudkan dengan kepastian hukum dan
perwujudan keadilan yang sesungguhnya. Untuk kesemuanya itu maka kearifan lokal harus
menjadi fokus pembentukan hukum.
Apakah dalam bidang – bidang publik atau menyangkut kepentingan umum yang ada di
tengah masyarakat itu semuanya dikelola, diurus, dan diatur pemerintah? Pada kenyataannya,
dalam berbagai bidang itu tidak selalu demikian. Intensitas intervensi pemerintah itu juga
berbeda – beda bidang satu dengan lainnya. Dalam hal perkawinan, misalnya, intervensi
pemerintah itu (melalui organ Depag; KUA) hanya pada pencatatan belaka. Dalam hal lainnya,
dapat terjadi intervensi pemerintah itu hanya terbatas dalam pemberian izin, misalnya dalam hal
kuasa pertambangan, izin usaha, dan lain – lain. Dengan demikian, lalu apa kriteria untuk
menentukan bahwa bidang atau urusan itu merupakan urusan pemerintahan dan termasuk atau
menjadi bagian hukum administrasi? Ada tiga kriteria untuk menentukan apa itu urusan
pemerintahan, yaitu :
1) Urusan itu merupakan bidang publik atau menyangkut kepentingan umum
(algemen belang);
2) Ada intervensi atau keterlibatan pemerintah secara langsung atau tidak langsung
dalam urusan tersebut;
7. 7
3) Peraturan perundang – undangan memberi wewenang kepada pemerintah untuk
mengurus (besturen) dan mengatur (regelen) urusan tersebut.5
Hakikat fungsi pemerintah (pejabat administrasi) adalah sebagai pelayan masyarakat.
Muaranya adalah kesejahteraan masyarakat yang dilandasi dengan kepastian hukum dan
kesesuian substansi hukum dengan budaya hukum masyarakat. Hal ini disertai dengan struktur
sebagai pelaksana hukum yang professional dan proporsional. oleh karena itu, untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pertama – tama harus di dukung dengan
kemauan politik (political will). hal ini diwujudkan dalam bentuk norma hukum (political law)
disamping penggunaan asas – asas umum pemerintahan yang layak sebagai pemungkas.
Kaitannya dengan hal tersebut, Deʹ Monchy berpendapat, untuk menjamin perlindungan hukum
dari para warga dan demi “terlaksananya pemerintahan yang bersih, maka penyelenggara Negara
tidak cukup dengan hanya berpegang pada norma undang – undang saja, tetapi juga berpedoman
pada asas – asas umum pemerintahan yang layak”.6
Dengan adanya freies Ermessen menyebabkan administrasi Negara memiliki kekuasaan
bertindak dalam menghadapi persoalan – persoalan mendesak dikarenakan aturannya belum ada,
yang terwujud melalui kebijakannya. Pada dasarnya hal ini berarti bahwa administrasi Negara
menentukan “apakah hukumnya” bagi persoalan tersebut, dan masalah ini erat kaitannya dengan
masalah pertanggungjawabannya. Untuk melihat siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan
maka terlebih dahulu harus diketahui Badan administrasi Negara mana yang memiliki freies
Ermessen : apakah legislatif, ekesekutif, atau yudikatif ? jadi, dengan adanya kepastian
pemegang freies Ermessen ini, kita dapat memastikan pertanggunggjawabannya. Oleh karena itu
maka perlu dijawab apakah atau siapakah yang dimaksud dengan administrasi Negara itu ?
5
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hal.40
6
Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang
Bersih, Kreasi Total, 2008, hal.101-103
8. 8
Dari berbagai batasan mengenai administrasi Negara yang terdapat dalam pelbagai
kepustakaan, Saut P. Panjaitan mengutip Pendapat Sjachran Basah yang mengatakan bahwa :
“….administrasi Negara, yakni alat kelengkapan Negara (tingkat pusat dan daerah), yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan bernegara dalam menjalankan pemerintahan….”
Sekilas timbul kesan bahwa batasan diatas merupakan pengertian dalam arti yang luas.
Akan tetapi bila kita pelajari secara seksama, ternyata kita dapati pengertian administrasi Negara
dalam arti sempit. Sebab, deimikian menurut Sjachran Basah, meskipun dalam rangka
“menjalankan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan” itu,
administrasi Negara melakukan sikap tindakan yang berwujud trifungsi, namun hal tersebut
janganlah digaduhkan atau dihubungkan dengan teori trias politica dari Montesquieu. Dengan
perkataan lain sikap – tindak administrasi Negara yang berwujud trifungsi tadi ( yang berupa :
membuat peraturan perundang – undangan dalam arti materiil yang bukan berbentuk Undang –
Undang dan berderajat dibawah Undang – Undang, melakukan tindakan administrasi yang nyata
dan aktif, serta menjalankan fungsi peradilan ) buakanlah dalam arti trias politica Montesquieu.7
Selanjutnya, bahwa adanya freies Ermessen ini mempunyai konsekuensinya sendiri
dibidang perudang – undangan, yakni adanya penyerahan kekuasaan legislatif kepada
pemerintah sehingga dalam keadaan tertentu dan/atau dalam porsi dan tingkat tertentu
pemerintah dalam mengeluarkan peraturan perundangan (produk legislasi) tanpa persetujuan
lebih dulu dari parlemen.
Menurut E.Utrecht, ada beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundang – undangan
yang bisa dimiliki oleh pemerintah berdasarkan freies Ermessen, yaitu : Pertama, kewenangan
atas inisiatif sendiri yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundangan yang setingkat
dengan undang – undang tanpa meminta persetujuan dari parlemen lebih dulu (contoh : lihat
7
Marbun SF, dkk,Op.cit.hal 111-112
9. 9
Pasal 22 UUD 1945). Kedua, kewenangan karena delegasi perundang – udangan dari UUD yaitu
kewenangan untuk membuat peraturan perundang – undangan yang derajatnya lebih dari undang
– undang dan berisi masalah – masalah untuk mengatur ketentuan – ketentuan yang ada didalam
satu undang – undang (lihat Pasal 5 (2) UUD 1945).
Selain kewenangan atas inisiatif dan karena delegasi dalam bidang perundang – undangan
ini, pemerintah juga mempunyai droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik
memperluas maupun mempersempit) sendiri mengenai ketentuan – ketentuan yang bersifat
enunsiatif. Meskipun sebagai konsekuensi logis dari freies Ermessen pemerintah diberi
kewenangan atas inisiatif, delegasi dan droit function dalam perundang – undangan, namun
bukan berarti pemerintah boleh berbuat sewenang – wenang. Pemerintah dilarang melakukan
tindakan – tindakan yang bersifat detournement de pouvoir (melakukan sesuatu diluar tujuan
kewenangan yang diberikan) atau onrechtmatig overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh
penguasa), sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena detournement
de pouvoir atau onrechtmatig overheidsdaad dapat dituntut dimuka hakim baik melalui peradilan
administrasi Negara maupun melalui peradilan umum.8
Kewenangan untuk membuat ketentuan organik dari berbagai ketentuan peraturan
perundang – undangan akan mewujudkan fungsi admnistrasi untuk menciptakan masyarakat
madani, yakni masyarakat sejahtera. Landasan pemikiran yang demikian, akan melahirkan
asumsi – asumsi, yaitu :
(1) Bahwa pemberian kewenangan bebas atas dasar asas – asas umum pemerintahan yang
layak adalah upaya untuk menghindari kebuntuan, perwujudan fungsi pemerintah,
sebagai upaya mensejahterahkan rakyat. Tentunya harus di dukung oleh pelaksana
hukum (law enforcement) yang professional ;
8
MD Mahfud,Moh & Marbun SF, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,Yoyakarta, 2000, hal.46-47
10. 10
(2) Memberi peluang para pejabat administrasi menggunakan wewenangnya sedemikian luas
dan berpeluang keluar dari bingkai normatif, peluang untuk berwawasan kenegaraan dan
kebangsaan, terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa ;
(3) Perubahan struktur kekuasaan pemerintah dengan meletakkan otonomi kepada daerah
sebagai upaya memberdayakan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan asumsi, bahwa
pemerintah daerah mampu dan kreatif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kemauan politik dimaksud menguatkan alasan pentingnya penerapan asas – asas umum
pemerintahan yang layak dan pengkajian kearifan lokal yang menjunjung tinggi harkat,
martabat sebagai harga diri manusia untuk selanjutnya, dijadikan asas – asas hukum
(rechtsbeginsel) dan dijadikan dasar kaidah hukum di Indonesia.9
Guna Mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa pemerintah perlu mematuhi dan
melaksanakan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dalam penyelenggaraan
pemerintah. Berkaitan dengan AAUPB, Muchsan (1992: 29-30) mengklasifikasikannya sebagai
berikut :
(1) Asas – asas prosedural yang murni, yakni asas – asas yang berkaitan dengan cara
pembentukan suatu perbuatan administratif. Asas – asas ini terdiri dari (a) Asas that
no man may judge in his own causa atau juga disebut asas likehood bias; (b) Asas
audi et alteram partem; (c) Asas pertimbangan dari suatu perbuatan hukum
administratif harus sesuai dengan konklusinya dan pertimbangan, serta konklusi
tersebutharus berdasarkan fakta – fakta yang benar.
(2) Asas yang berkaitan dengan isi/materi dari perbuatan hukum admisnistratif,
meliputi (a). Asas kepastian hukum (the principle of legal security); (b). Asas
9
Fahmal Muin H.A,Op.cit.hal.105-106
11. 11
keseimbangan (the principle of proportionality); (c). Asas kecermatan/hati – hati
(the principle of carefulness); (d). Asas ketajaman dalam menentukan sasaran (the
principle of good object); (e). Asas permainan yang layak (the principle of
fairplay); (f). Asas kebijakan (the principle of cleverness); (g). Asas gotong royong
(the principle of solidarity).10
Dengan adanya freies Ermessen ini, maka administrasi Negara dapat menjalankan
fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga dalam
mengahadapi hal – hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturannya belum tersedia itu,
administrasi Negara atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi
lagi. Jadi, administrasi Negara dapat langsung berpijak kepada asas kebijaksanaan. denagn
demikian sifatnya adalah spontan.
Uraian diatas menunjukan bahwa freies Ermessen merupakan kekecualian terhadap asas
legalitas dalam arti yang sempit dengan prinsip wetmatigeheid van bestuur – nya. Hal ini bukan
berarti dikesampingkan sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak administrasi Negara harus
dapat di uji berdasarkan peraturan perundang – undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun
berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini tetap dipergunakan asas
legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan
pada peraturan perundang – undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan
hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Hal ini tercermin
dalam rumusan freies Ermessen menurut Saut P. Panjaitan, yang tercakup dalam kata – kata
“dapat dipertanggungjawabkan.”
10
Tjandra Riawan W, Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang bersih Dan
Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hal.127-128
12. 12
Sehubungan dengan hal itu, Prajudi Atmosudirdjo, menyatakan : “Diskresi diperlukan
sebagai pelengkap dari pada asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap
tindak atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang – undang.”11
C. PENGGUNAAN ASAS DISKRESI (Freies Ermessen) DALAM PEMBENTUKAN
PRODUK HUKUM DI INDONESIA
Menurut Prof. Muchsan, S.H., didalam membuat suatu produk hukum aparat yang
berwenang dapat menggunakan dua (2) dasar, yaitu :
1. Wetmatig ( dasar hukum positif )
ini merupakan dasar yang ideal, karena produk hukum yang akan dibuat oleh aparat
yang berwenang merupakan produk hukum yang berpatokan atau berlandaskan
peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan
perundangan.
2. Doelmatig ( kebijakan / kearifan lokal )
ialah produk hukum yang dibuat tanpa adanya landasan hukum peraturan
perundang – undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan.
dasarnya diambil dari teori hukum yang dikenal adanya “Asas Diskresi
(discrestionaire principle) atau disebut juga asas kebebasan bertindak, dan sebagai
landasan hukumnya (diskresi) adalah : Algemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur
/ The Principle Of Good Public Administration atau disebut : Asas –Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik.12
11
Marbun SF, dkk,Op.cit.hal 114
12
Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum Program Magister Hukum UGM, 2011
13. 13
Pemberlakuan asas – asas umum pemerintahan yang layak / baik (Algemene Beginselen
Van Behoolijk Bestuur) sebagai norma akan lebih mewujudkan fungsi dan tujuan hukum yang
sesungguhnya dan berbagai instrumen bagi hakim dalam mempertimbangkan fungsi
administrasi. oleh karena itu, penerapan Algemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur, berfungsi
sebagai :13
(1) Sebagai tali pengikat antara berbagai kaidah hukum yang akan menjamin
keterpaduan kaidah hukum dalam suatu ikatan sistem;
(2) Menjamin kaidah hukum dibentuk dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan hukum,
misalanya asas kecermatan untuk kepastian hukum;
(3) Menjamin keluwesan (fleksibilitas) penerapan kaidah hukum pada situasi konkrit;
dan
(4) Sebagai instrumen untuk mengerahkan kaidah hukum. Hakim tidak boleh
menerapkan suatu kaidah hukum yang bertentangan dengan asas hukum umum
yang berlaku.
Namun, menurut Prof. Muchsan, S.H., terhadap penggunaan asas diskresi oleh aparat
yang berwenang/administrasi Negara ternyata mengundang “dilema”, yaitu di satu sisi pejabat
administrasi/aparat yang berwenang “harus mengeluarkan suatu keputusan” yang
sifatnya/terlihat adanya perbuatan sewenang – wenang (karena tidak berdasarkan peraturan
perundang – undangan), dan di sisi lain apabila pejabat administrasi/aparat yang berwenang
“tidak mengeluarkan suatu keputusan”, maka tujuan pembangunan nasional (demi
kesejahteraan) sulit dilakukan. Jadi, penggunaan asas diskresi tetap digunakan, akan tetapi
13
Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang
Bersih, Kreasi Total, 2008, hal.85-86
14. 14
penggunaannya harus dibatasi. Terhadap Pembatasan diskresi, beliau membaginya menjadi
empat (4) syarat yang harus diperhatikan aparat berwenang/admnistrasi negara dalam
menggunakan diskresi, yaitu :
(1) Diskresi bisa digunakan apabila terjadi kekosongan hukum.
Contoh : Indonesia adalah Negara berkembang (developing country), tentunya
hukum dan masyarakat ikut tumbuh berkembang, serta bergerak cepat. Dalam
perkembangan yang begitu cepat tentunya terjadi kekosongan hukum, karena belum
ada pengaturannya terhadap permasalahan baru, karena belum ada peraturan
perundangan yang mengaturnya.
(2) Adanya kebebasan penafsiran / intrepretasi.
Contoh : Pembuat undang – undang membuat suatu undang – undang yang dalam
penjelasannya dikatakan “cukup jelas”, disitulah terjadi kebebasan untuk
menafsirkannya.
(3) Diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi perundang – undangan (delegatie van
wetgeving).
Contoh : Hinder Ordonantie (undang-undang gangguan), terdapat dalam satu Pasal
yang menyatakan bahwa yang memberi ijin adanya perusahaan adalah kepala
daerah, asal tidak menimbulkan bahaya (qwalijk). Unsur “bahaya” tersebut tidak
dijabarkan dalam H.O. Jadi H.O. mendelegasikannya kepada kepala daerah untuk
memberikan penjabarannya.
15. 15
(4) Diskresi bisa digunakan demi pemenuhan kepentingan umum.
Contoh : Kepres 55/1993 Tentang Pembebasan Hak Atas Tanah. dalam Kepres
tersebut, kepentingan umum dijabarkan menjadi 12.14
Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu Negara modern
saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi Negara untuk mengantispasi perkembangan
yang terjadi itu. Dalam hal ini, sudah barang tentu asas legalitas ( dalam arti: wetmatigeheid van
bestuur ) tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku. Sebab administrasi Negara bukan hanya
terompet dari suatu peraturan perundang – undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya
itu, mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas – tugas pelayanan publik, yang
semuanya itu tidak dapat ditampung dalam hukum yang tertulis saja. Oleh karenanya maka
diperlukan freies Ermessen.
Apabila dihubungkan dengan pendapat Sjachran Basah terdahulu, maka implementasi
freies Ermessen melalui sikap – tindak administrasi Negara ini dapat berwujud :
a) Membentuk peraturan perundang – undangan dibawah undang – undangan yang secara
materiil mengikat umum;
b) Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual;
c) Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif;
d) Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal “keberatan” dan “banding
administratif.”
14
Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum Program Magister Hukum UGM, 2011
16. 16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara
lain :
Terhadap penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di Indonesia, yaitu
pada dasarnya diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai,
tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan
rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara
kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat
dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak
dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban
memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal
tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-
ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh
menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan
perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak,
diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali
disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya
menyimpangi asas legalitas dalam arti sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk
menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu
17. 17
ditetapkan adanya batas toleransi. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari
pemahaman yang diberikan oleh Prof. Muchsan, S.H.,yaitu : Diskresi bisa digunakan apabila
terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan penafsiran / intrepretasi, diskresi bisa digunakan
apabila ada delegasi perundang – undangan (delegatie van wetgeving), dan diskresi bisa
digunakan demi pemenuhan kepentingan umum.
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang dapat
penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa dalam hal ada suatu aturan yang mengatur tentang hal tertentu, akan tetapi aturan
tersebut tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka Badan/Pejabat administrasi pemerintahan
yang berwenang disarankan untuk menggunakn diskresi dengan mencari alternatif/upaya lain yang
tidak melanggar hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). Dalam hal ada
suatu aturan yang mengatur tentang hal tertentu, dan aturan tersebut dapat dilaksanakan, maka tidak
boleh dilakukan diskresi, akan tetapi menerapkan aturan yang berlaku.
Bahwa Penulis sependapat dengan pendapat Prof. Muchsan, S.H., yang mengatakan bahwa
diskresi sebaiknya bisa digunakan apabila terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan
penafsiran / intrepretasi, diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi perundang – undangan
(delegatie van wetgeving), dan diskresi bisa digunakan demi pemenuhan kepentingan umum.
18. 18
DAFTAR PUSATAKA
Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih, Kreasi Total, 2008
Marbun SF, dkk, Dimensi – Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi, UII Press, Yogyakarta,
2011
MD Mahfud,Moh & Marbun SF, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty,Yoyakarta, 2000
Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi
Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981
_______, Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum Program Magister Hukum UGM, 2011
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Dan Peradilan Administrasi, FH UII Press,
Yogyakarta, 2009
Sunggono Bambang, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994
Tjandra Riawan W, Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan
Yang bersih Dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009