SlideShare a Scribd company logo
1 of 53
1
A. Latar Belakang Masalah
Pembenahan hukum dalam menata kinerja Pemerintahan di Indonesia
dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, merupakan upaya
perbaikan dari adanya dampak keberlangsungan kinerja Pemerintahan
sekaligus menjadi harapan dari tuntutan perkembangan kemajuan zaman
secara global dan holistik, sejalan dengan dinamika kesadaran masyarakat
untuk mentaati peraturan-peraturan hukum, sebab Negara Indonesia adalah
Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam Amandemennya yang ketiga tanggal
10 November 2001.
Pengertian mengenai Negara hukum menurut ahli hukum Mochtar
Kusumaadmaja adalah Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan
tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum1, diselaraskan
dengan Cita-cita luhur bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
alenia keempat disebutkan: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, 2. Untuk memajukan kesejahteraan umum,
3. mencerdaskan kehidupan bangsa, 4. ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
1 Mochtar Kusumaatmadja, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional Dimasa
Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, 1995. hlm.1.
2
Cita-cita luhur bangsa Indonesia tersebut implementasinya diwujudkan
sesuai rumusan visi Indonesia masa depan yang dituangkan dalam Pasal 2
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VII/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 menyangkut susunan sistematika
pada Bab II mengenai Cita-cita Luhur Bangsa Indonesia tentang Visi
Indonesia Masa Depan disebut dengan Visi Indonesia 2020 yang berbunyi:
“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu,
demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam
penyelenggaraan Negara.” Visi ini menjadi pedoman dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik (good governance and clean government)
Tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean
government) merupakan seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan
pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan
fungsinya melalui institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip
good governance and clean government, maka Pemerintah harus
melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya
secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik
dan tidak berpihak (independen). Sepaham dengan peran United Development
Program (UNDP) salah satu badan PBB, governance (kepemerintahan)
mempunyai tiga model, yaitu: 2
2 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang
dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009, hlm.1.
3
1) Economic Governance, meliputi proses pembuatan keputusan yang
memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negri dan transaksi di antara
penyelenggara ekonomi, serta mempunyai implikasi terhadap kesetaraan,
kemiskinan dan kualitas hidup.
2) Political Governance, mencakup proses perubahan keputusan untuk
perumusan kebijakan politik Negara.
3) Administrative Governance, berupa system implementasi kebijakan.
Tata pemerintahan yang baik dan bersih tersebut, baik di tingkat
pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah seharusnya secara
normatif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang secara luas
tidak hanya secara tertulis (writen law) dan tidak tertulis (Unwriten law)
seperti Convensi Praktek-praktek penyelenggaraan Negara yang sudah
menjadi hukum dasar tidak tertulis antara lain3:
- Pidato Kenegaraan Presiden RI setiap 16 Agustus di dalam sidang DPR
- Pidato presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang
rencana anggaran pendapatan belanja (RAPB) Negara pada minggu 1,
pada bulan januari tiap tahunnya.
Maka segala tindakan Pemerintah harus sesuai dengan hukum dan
hukum membatasi kekuasaan Pemerintah agar tidak menyimpang dari
konstitusi dan perundang-undangan termasuk hukum tidak tertulis. Maka
praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dengan prinsip good
3 http://asmisiangka.blogspot.co.id/2013/02/hukum-dasar-tertulis-dan-hukum-dasar.html,
dengan Topik: Hukum Dasar Tertulis dan Tidak Tertulis. Diakses pada tanggal 17 Nopember 2015.
4
governance and clean government memiliki asas-asas yang perlu diperhatikan
yaitu:
1. Asas Partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam
pengambilankeputusan, baik secara langsung maupun lewat lembaga
perwakilan sah yang mewakiliaspirasi mereka. Bentuk partisipasi
menyeluruh ini dibangun berdasarkan prinsip demokrasiyakni kebebasan
berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.
2. Asas Penegakan Hukum, Asas ini merupakan keharusan pengelolaan
pemerintahan secara professional yangdidukung oleh penegakan hukum
yang berwibawa.Realisasi wujud pemerintahan yang baik dan bersih harus
juga diimbangi dengan komitmen Pemerintah untuk menegakkan hukum
yang mengandung unsur-unsur berikut : Supremasi Hukum: setiap
tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada
hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dijamin pelaksanaannya secara
benar serta independen.
3. Asas Kepastian Hukum: setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur
oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif, dan tidak bertentangan
satusama lainnya.
4. Asas Hukum yang responsif: aturan hukum diatur berdasarkan aspirasi
masyarakatluas dan mampu menyediakan berbagai kebutuhan publik
secara adil.
5
Keseluruhan asas-asas tersebut dipayungi oleh sebuah asas yang
dikenal sebagai asas legalitas memberikan dasar kewenangan bertindak bagi
pemerintah atau Pejabat Administrasi Negara, sebab Asas legalitas merupakan
salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara
demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat
yang secara formal tertuang dalam undang-undang. Akan tetapi setiap
perbuatan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah atau jabatan
administrasi negara yang keluar dari batas-batas dan tujuan pemberian
wewenang atau melanggar asas legalitas tersebut tentu tidak dibenarkan oleh
hukum.4
Khususnya berkaitan dengan hukum administrasi, sebab asas legalitas
berkaitan dengan Asas “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” dalam
kepustakaan Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik”. Asas legalitas akan menjadi dasar legitimasi yang bersifat formal
sebagai upaya penyelenggara negara ikut melindungi hak-hak rakyatnya.
Menurut pandangan Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan
duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham
kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang
sifat hakikatnya konstitutif.5
4 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 84
5 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung:
Alumni, 1992, hlm. 2
6
Asas legalitas mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan
substansi. Wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata
negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini
sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan “het begrip
bevoegdheid is dan ook een kembergrip in het staats en administratief recht”.
Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa “wewenang
merupakan konsep inti dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi”.6
Pada setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan secara
ekplisit diikuti pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan (geen
bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authority without
responbility) dalam terjemahan bebasnya adalah tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban.7
Lebih lanjut menurut L.J.A Damen, menyatakan tidak semua pejabat
yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab
karena harus ditelaah apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul
jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan
wewenangnya atau ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji
dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan
bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan
6 E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen
aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985, hlm 26.
7 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, 2009, hlm 75-76.
7
tertentu. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap
sebagai penyalahgunaan wewenang8.
Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang
(Detournement de Pouvoir) merupakan Penyelenggaraan Pemerintahan tidak
selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada.
Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan
kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang, Perbuatan
pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur;
pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk
berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang
terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan
umum kurang diperhatikan; dan ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan
kerugian konkret bagi pihak tertentu9.
Parameter untuk mengukur penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan pejabat pemerintahan, meliputi:10
a. Unsur Menyalahgunakan Kewenangan dinilai dari ada tidaknya
pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang
hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat
alternatif;
8
Ibid
9 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni,
Bandung, 1985, hlm. 223.
10 Indriyanto Seno Adji, Op.cit, hlm 35.
8
b. Asas Kepatutan Dalam Rangka Melaksanakan Suatu Kebijakan atau
zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun
Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan
peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi
dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.
Konotasi atas penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis
wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi).
Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang
terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan). Oleh karena norma wewenang sebagai norma
pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindakan Pemerintah dapat
menggunakan 2 (dua) alat ukur, yaitu: pertama Peraturan perundang-
undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas.
Sedangkan kerdua pada kewenangan bebas digunakan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB), parameter penyalahgunaan wewenang
karena asas wetmatigheid dinilai tidak memadai11. Namun Di dalam praktek
peradilan sering dipertukarkan atau dicampuradukan antara penyalahgunaan
wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren
dengan penyalahgunaan wewenang.12
11 Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum Pemerintahan yang Baik,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Desember 2007. hlm 2.
12 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4
September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No.
171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh
Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004, dalam Nur
Basuki Minarno, hlm. 82-85.
9
Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang adalah melakukan
tindak pidana korupsi. Apabila mendengar istilah korupsi, biasanya yang
tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang dengan rakus
menggelapkan uang pajak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan uang
negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Korupsi sebagian besar dikaitkan
dengan penggelapan sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material.
Sesungguhnya pengertian korupsi yang seperti ini sudah jauh lebih sempit
dari pada pengertian awalnya. Korupsi berasal dari kata corruptio, atau
corruptus. Arti harfiah dari kata ini adalah penyimpangan dari kesucian,
tindakan tidak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran,
atau kecurangan.13
Unsur penting tindak pidana korupsi antara lain tercantum dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang konteksnya mengenai penyalahgunaan
wewenang merupakan mixing antara konsep maupun norma hukum
administrasi dengan norma hukum pidana, dalam arti sebuah aturan
administrasi yang juga memuat sanksi pidana, yang selanjutnya disebut
administrative penal law atau verwaltungs strafrecht.
Namun menurut Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan Pengadilan berwenang
menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur
13 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2008,
hlm. 206.
10
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang
dalam Keputusan dan/atau tindakan pejabat Pemerintah yang selanjutnya
disebut dengan istilah “Diskresi” dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (9)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
dinyatakan Diskresi adalah keputusan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap
atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Memperhatikan kembali rumusan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentan Pemerintahan Daerah
mempunyai makna bahwa jika terdapat dugaan pejabat pemerintah
menyalahgunakan wewenangnya, maka diselesaikan terlebih dahulu secara
administratif berdasarkan hukum administrasi melalui mekanisme pengadilan
tata usaha negara. Ketentuan ini berimplikasi pada salah satu unsur dalam
Pasal 3 UU Tipikor yakni penyalahgunaan wewenang, harus diujikan terlebih
dahulu kebenarannya di pengadilan tata usaha negara, sehingga menambah
jalur birokrasi karena itu, dianggap sebagai sebuah “langkah mundur” dalam
penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pemaknaan akibat munculnya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
30 Tahun 2014, jika hasil Keputusan Tata Usaha Negara menyebutkan
11
terbukti terdapat penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintah, maka
dapat dilanjutkan dengan tindak pidana korupsi.Namun dapat dimaknai pula,
jika menurut Keputusan Tata Usaha Negara tidak terbukti menyalahgunakan
wewenang maka peradilan pidana dapat terus berlangsung. Dengan demikian
tidak bergantung pada Keputusan Tata Usaha Negara, karena UU Tipikor
merupakan undang-undang yang bersifat kekhususan berdasarkan pada Pasal
63 ayat (2) KUHP dan Pasal 14 UU Tipikor.
Selanjutnya berkaitan dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan
bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itu yang
diterapkan. Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, sebagai rumusan yang
mengandung asas lex specialis derogat legi generali, yaitu menegaskan
keberlakuan (validitas) aturan pidana yang bersifat khusus. Suatu perbuatan
termasuk kategori perbuatan yang diatur dalam peraturan pidana yang bersifat
umum maupun bersifat khusus. Selain itu, rumusan Pasal 103 KUHP
menentukan bahwa ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII KUHP
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
yang lain diancam pidana, kecuali oleh undang-undang itu ditentukan lain.14
Sementara itu, menurut Pasal 14 UU Tipikor menyatakan bahwa yang
menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang
yang secara tegas menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
14 Indriyanto Seno Adji, Kendala Sanksi Hukum Pidana Administratif , Jurnal Keadilan, Vol.
5 No. 1 Tahun 2011, hlm. 23.
12
Undang-undang sebagai tindak pidana korupsi yang berlaku diatur dalam UU
Tipikor15. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana khusus
tepat karena korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Karena bersifat luar biasa, maka diperlukan pula upaya yang luar biasa
untuk mengatasinya.16
Penelitian terhadap pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang
pejabat Pemerintah dalam administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan
tindak pidana korupsi, merupakan penelitian baru. Sebab penelitian
sebelumnya mengenai penyalahgunaan wewenang, dalam perspektif
kajiannya tidak secara khusus menitik beratkan adanya hubungan dengan
tindak pidana korupsi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Enny
Rohyani pada tahun 2009 berjudul Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan
Wewenang oleh Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.
Komparasi dengan hasil penelitian terdahulu tersebut, menunjukkan
peraturan perundang-undangan cenderung tidak memberikan jaminan
perlindungan hukum terhadap tindakan Pejabat Pemerintah Daerah, bahkan
seringkali terjadi disharmonisasi, inkonsistensi dan disorientasi. Di sisi lain,
terjadi pula fenomena berkembangnya sikap legistik dan positifistik dari
15 Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009, hlm 43. Lihat
juga, Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi? (Dari Perspektif Hukum
Pidana/Korupsi (makalah) disampaikan dalam Seminar, dengan tema Pertanggungjawaban Kebijakan
Ditinjau Dari Hukum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA). di
Hotel Bumi Karsa Bidakara–Jakarta, Selasa 11 Mei 2010.
16 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi diIndonesia,
Penerbit BPHN Depkumham, Jakarta, 2002, hlm 25.
13
hakim, jaksa dan polisi, sehingga dalam penerapan hukum selalu berdasarkan
ketentuan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan.17
Hal ini berpotensi menyebabkan character assassination terhadap
eksistensi freies Ermessen, yang merupakan kriminalisasi perbuatan
administrasi negara. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya pergeseran prinsip
dan konsepsi dari negarahukum menjadi negara undang-undang, yang
meletakkan hukum positif sebagaiukuran kebenaran, sehingga hukum positif
ditempatkan sebagai instrumen untuk melegitimasi tindakan pemerintah.
Apabila kondisi ini berlangsung terus-menerus, maka kinerja aparatur dan
pelayanan publik akan terganggu, yang mempengaruhi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan menggoyahkan legitimasi Pemerintahan Daerah.
Oleh karena itu, freies Ermessen harus diakui oleh pembentuk undang-undang
yang direfleksikan dalam undang-undang, serta diakui oleh hakim yang
direfleksikan dalam keputusan hakim.18 Merujuk pada penelitian yang
dilakukan Enny Rohyani dikemukakan catatan persamaan dan perbedaan
dengan penelitian ini antara lain: Persamaanya dengan penelitian Enny
Rohyani sama-sama mengambil tema penyalahgunaan wewenang dengan
menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap masalah yang
dijadikan objek penelitian. Kemudian Perbedaaanya dengan kajian Enny
Rohyanilebih menekankan pada freies Ermessen dan sebagai objek
17 Enny Rohyani,Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pemerintah Daerah
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum)Program Pascasarjana
Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2009, hlm iv.
18 Ibid
14
penelitiannya mengenai implementasi penyalahgunaan wewenang oleh
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu,
penelitian ini lebih menekankan pada pertanggungjawaban penyalahgunaan
wewenang pejabat pemerintah dalam administrasi pemerintahandihubungkan
dengan tindak pidana korupsi. Walapun demikian penelitian Enny
Rohyanirelevan untuk dijadikan salah satu acuan karena sama-sama
membahas fenomena penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah.
Penelitian lain yang bertema penyalahgunaan wewenang dilakukan
oleh Budi Parmono, dalam disertasinya di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya pada tahun 2011 dengan judul Penyalahgunaan Wewenang dalam
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
Hasil penelitian Budi Parmono tersebut, menunjukan bahwa
penyalahgunaan wewenang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi
dalam perumusan Pasal 3 UU Tipikor secara expressive verbis. Pertama kali
di Indonesia, penyalahgunaan wewenang dibentuk dan dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk UU Tipikor. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf b untuk UU Tipikor tersebut dipandang sebagai salah satu inovasi dari
Undng-Undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 hanya mengatur "memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan" sebagai tindak pidana di luar
KUHP. Dengan demikian, Pasal 3 UU Tipikor bukan merupakan peniruan dan
pemodifikasian dari Konvensi Korupsi PBB.19
19 Budi Parmono, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
(Disertasi) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Surabaya, 2011. hlm 216
15
Menurut Budi Parmono ketentuan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak
memberikan kriteria yang terperinci bagian inti delik penyalahgunaan
wewenang. Tidak terperincinya ini diakui oleh Mahkamah Agung karena
pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi Pertama berlangsung dalam waktu singkat, delapan
bulan. Sehingga pembahasan bagian inti delik penyalahgunaan wewenang
tidak tuntas. Berdasarkan hal itu, salah satu rekomendasi yang diajukan oleh
Budi Parmono adalah perlunya tercantum penjelasan mengenani kriteria
bagian inti delik penyalahgunaan wewenang dalam perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut, harus ditindaklanjuti
dengan sikap sigap pemerintah yang harus lebih teliti ketika melaksanakan
tugas dan wewenangnya dalam penyelenggaraan pemerintahan.20
Merujuk pada analisis disertasi Budi Parmono, dapat dikemukakan
catatan perbedaan dan persamaan penelitian dengan penelitian ini adalah
Persamaanya dengan penelitian Budi Parmono sama-sama mengambil tema
penyalahgunaan wewenang dihubungkan dengan tindak pidana dengan
menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap masalah yang
dijadikan objek penelitian. Adapun Perbedaaanya dengan kajian Budi
Parmono adalah kajian Budi Parmono lebih menekankan pada belum jelasnya
kriteria penyalahgunaan wewenang. Sedangkan, penelitian ini lebih
menekankan bagaimana pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang
pejabat pemerintah dalam Administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan
20 Ibid
16
Tindak Pidana Korupsi dalam konteks regulasi yang baru antara lain
mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Selain itu, perbedaan dengan disertasi Budi Parmono,
penelitian ini seidak-tidaknya mempergunakan dua disiplin ilmu yaitu hukum
pidana dan hukum administrasi negara, sedangkan disertasi Budi Parmono
hanya mempergunakan satu disiplin ilmu hukum yaitu hukum pidana terkait
dengan delik “Penyalahgunaan wewenang”yang tercantum dalam Pasal 3 UU
Tipikor. Walaupun demikian penelitian Budi Parmono masih relevan untuk
dijadikan salah satu acuan karena sama-sama membahas fenomena
penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah yang dihubungkan dengan tindak
pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas perlu untuk diteliti secara lebih mendalam
yang selanjutnya dituangkan dalam Disertasi dengan judul:
”Pertanggungjawaban Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah
Dihubungkan Dengan Tindak Pidana Korupsi”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi masalahnya yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana regulasi pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang
menjalankan administrasi pemerintahan?
17
2. Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang
menyalahgunakan wewenangannya dalam menjalankan administrasi
pemerintahan dihubungkan denganpidana tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Pemaparan uraian di atas, selanjutnya digunakan untuk dapat
memberikan tujuan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang
berkaitan dengan penelitian ini di antaranya:
1. Memberikan solusi dan pemecahan yang efektif bila terjadi permasalahan
menyangkut multi penafsiran terhadap regulasi untuk menentukan Pejabat
Pemerintahan yang melakukan tindak pidana yang menimbulkan kerugian
berkaitan dengan perekonomian negara yang menentukan secara subjektif
pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan yang menjalankan administrasi
pemerintahan tersebut; dan
2. Memberikan kontribusi secara umum untuk dapat mengetahui adanya
jaminan perlindungan bagi masyarakat bila terjadi tindakan kesewenang-
wenangan dari pejabat Pemerintahan atas kebijakan dan tindakan pejabat
Pemerintahan yang melanggar hukum, disamping itu kontribusi secara
khusus sebagai pengendali tindakan pejabat Pemerintah mengenai
pertanggungjawaban atas tindakannya apabila menyalahgunakan
wewenang dalam menjalankan administrasi pemerintahan dihubungkan
dengan pidana tindak pidana korupsi sehingga dapat memberi efek penjera
demi memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia.
18
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis kegunaan temuan dalam penelitian ini dapat memberi
manfaat secara teoritis yaitu:
1. Memberikan konstribusi akademis atau teoritis terhadap ikhtiar pengkajian,
penelaahan dan pengembangan terhadap ilmu hukum yang berhubungan
dengan pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang menjalankan
administrasi pemerintahan; dan
2. menambah wawasan baru mengenai penerapan pertanggungjawaban
pejabat pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangannya dalam
menjalankan administrasi pemerintahan dihubungkan dengan pidana
tindak pidana korupsi.
E. Kerangka Pemikiran
Teori Hukum
Secara tekstual Teori berasal dari kata “theoria” berarti kata dalam
bahasa latin adalah “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata
“thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang
disebut realitas. Sedangkan Hukum, apabila dilihat selalu menjelaskan
kesamaan, yaitu dimulai dengan penjelasan struktur dari ilmu hukum itu,
misalnya ilmu hukum selalu terdiri dari dua penjelasan umum, yaitu ilmu
hukum yang dogmatik dan ilmu kenyataan hukum, kemudian kedua bagian
itu selanjutnya akan dipilah-pilih lagi secara lebih spesifik. Kedua disiplin itu
satu sama lain memiliki wilayah yang berbeda (paling tidak dipandang secara
19
berbeda), sehingga untuk masuk ke wilayah satu dengan wilayah yang lain
diperlukan perpindahan atau penggabungan sarana/alat untuk mencapai
wilayah tersebut. Hukum akan selalu dilihat melalui sudut pandang yang
berbeda-beda tersebut.
Hal yang sama dilakukan oleh Lawrence Friedmann (dalam sistem
hukum) sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan kultur. Lawrence
Friedmann kemudian memecah unsur-unsur sistem hukum itu menjadi bagian
perbagian yang jika dirangkai kembali akan membentuk suatu bangunan baru
yang dapat diubah sehingga orang awam akan melihat hukum dalam
bentuknya yang berbeda-beda. Ibarat seorang arsitek maka arsitektur hukum
bergantung, kembali kepada tujuan negara.
Namun hukum dapat dilihat dalam lapangan hukum utama, seperti
publik dan privat, kemudian bagian atau tahap selanjutnya ditempatkan pula
wilayah-wilayah lebih khusus, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum
dagang, dan lain-lain sesuai dengan lapangan utama yang ada di atasnya.
Bagian satu dengan bagian lain ada pada wilayah yang sudah jelas dan pasti,
sehingga dengan sangat mudah seseorang dapat menjelaskan bahwa Hukum
Administrasi Pemerintahan asal katanya dari Bestuursrecht dan
Administratief Recht 21. Dengan demikian dikarenakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ada memiliki
substansi yang menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara Hukum yang
dikemukakan sebagai landasan pemikirian, maka selanjutnya akan digunakan
beberapa teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini di antaranya yaitu:
21 Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konsruktif-
Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, 2007. hlm. 60.
20
1) Teori Negara Hukum
Indonesia secara ekplisit dan tegas merupakan negara hukum,
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Selanjutnya diperjelas dan diperkuat dalam Penjelasan UUD 1945 yang
menytakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Menurut Prins
dan Scholten, Negara hukum bukan dilihat dari bentuk, tapi isinya. Hal
ini berartibagaimana kekuasaan dijalankan dan siapa yang
mengawasinya.22
Perwujudan dari negara Indonesia merupakan negara hukum tidak
berdasarkan atas kekuasaan salah satunya menganut prinsip negara hukum
yaitu asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan
hukum pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan
pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Dengan berdasar pada asas legalitas itu, pemerintah melakukan berbagai
tindakan hukum, Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung
makna penggunaan kewenangan.
Hukum administrasi mengenal asas legalitas atau keabsahan
(legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek,
yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur
maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas
22 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia: 2004, hlm
36.
21
legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah
ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi,
bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut
tentang substansinya23.
2) Teori Kewenangan
Sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap negara
yang memberi suatu legitimasi kepada badan-badan publik untuk dapat
melakukan fungsinya24. Dalam kajian hukum administrasi negara,
mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan
merupakan hal penting karena berkenaan dengan pertanggung jawaban
hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu
prinsip dalam negara hukum: “geen bevoegdheid zonder
verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility”
(tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).
Berdasar uraian tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang
diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari peraturan
perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada,
dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).
23 Nur Basuki Minarno, Op.Cit hlm 72-79.
24 Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm 60.
22
Penggunaan wewenang hanya mungkin dilakukan oleh yang memperoleh
wewenang atas dasar atribusi dan delegasi atau mandat.25
- Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan.26 Sedangkan delegasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).27
- Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat
besluit) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan
wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain.28 Sementara
itu, mandat terjadi ketika organ pemerinatahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
- Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.
Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk
membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang
memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat TUN
yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan
tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu
ada ketentuan perundang-undangan29.
3) Teori Diskresi
Merujuk pada uraian mengenai wewenang sebagaimana yang
disebutkan di atas, Pemerintah melalui pejabatnya dapat melakukan
25Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, (Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum
Normatif) Universitas Airlangga, Surabaya, 1997, hlm. 2
26Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 104-105
27Ibid, hlm 104-105
28Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, op.cit, hlm2
29Ibid, hlm 2
23
diskresi segaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi atau keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan
yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Menurut Pasal 22 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014 tersebut,
Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang
berwenang, dengan tujuanDiskresi menurut Pasal 22 ayat (2) dan
penjelasan UU No. 30 Tahun 2014 untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum; dan
c. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum.
Diskresi menurut Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diartikan sebagai
Keputusan dan/atau Tindakanyang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkretyang dihadapi
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-
undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
24
Sementara itu, ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimaksud
untukpengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan
dan/atau tindakan yang meliputi;
a. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-
undangan tidak mengatur;
b. pengambil keputusan dan/atau tndakan karena peraturan perundang-
undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
c. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi
pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Menurut Pasal 24 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan dinyatakan Pejabat Pemerintahan yang
menggunakan diskresi harus memenuhi syarat sesuai dengan tujuan
diskresi, yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AUPB), berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan
konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik.
Diskresi diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan untuk
mengatasi keterbatasan kapasitas regulasiatau perundang-undangan tidak
mampu menjawab perubahan yang begitu cepat di masyarakat. Kadang
regulasi yang ada pun sudah tidak relevan dengan perubahan zaman.
Meskipun demikian kewenangan pejabat pemerintah untuk melakukan
25
diskresi, dalam konsep hukum administrasi selalu disertai dengan “tujuan
dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang
itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu
sendiri. Dalam hal penggunaan wewenang itu tidak sesuai dengan tujuan
dan maksud pemberian wewenang tersebut, maka telah melakukan
penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir).
Menurut pandangan Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian
penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero
dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis
Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat
diartikan dalam 3 (tiga) komponen yaitu:30
1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan
2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,
30 Indriyanto Seno Adji, Paper, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid), Asas Perbuatan
Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Seminar
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Falultas Hukum
Iniversitas Diponegoro, Semarang, 6-7 Mei 2004, hlm. 14, yang mengutip dari Mardjono
Reksodiputro, dalam Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan, Buku Kesatu, Cet. Kesatu,
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas
Indonesia, 1994, hlm. 42-43.
26
3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas (wewenang, prosedur
dan substansi) tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindak
pemerintahan. Cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur dan
substansi. Setiap tindak pemerintahan diisyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah.
4) Teori Pertanggungjawaban
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam
kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan
istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau
tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi
semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti
kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas
untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan Accountability
(Akuntabilitas) merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia
yang meliputi sikap internal dan eksternal seseorang makna yang berbeda
dengan Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan
kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-
undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu
27
tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,
sedangkan istilah responsibility merupakan suatu refleksi tingkah laku
manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol
jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau
mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah
merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada
alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan
tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya31. Sebagai
contoh menunjuk pada pertanggungjawaban politik32.
Apabila pejabat pemerintah melakukan penyalahgunaan wewenang
dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Konsep
pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan pertanggungjawaban
secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
yang bertentangan dengan undang-undang. Pertanggungjawaban memuat
nisbah bersegi tiga, meliputi:33
a. seseorang adalah penyebab atau berwenang;
b. atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya;dan
c. berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban.
Menurut Hans Kelsen bahwa sebuah konsep yang berhubungan
dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab
31 Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.
32 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.
335-337.
33 F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang:
Walisonngo Research Institute (WRI): 2001, hlm 87.
28
(pertanggungjawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab
secara hukum atasperbuatan tertentu atau bahwa seseorang bertanggung
jawab atas suatu sanksi apabila perbuatannya bertentangan dengan hukum
dan peraturan perundang-undangn. Biasanya, yakni apabila sanksi hukum
ditunjukan kepada pelaku langsung, maka seseorang bertanggung jawab
atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek daritanggungjawab
hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.34
Dalam teori hukum yang bersifat umum, disebutkan bahwa setiap
orang, termasuk pemerintah, harus mempertangungjawabkan setiap
tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dariteori hukum
umum, muncultanggungjawab hukum berupa tanggung jawab pidana,
tanggung jawab perdata, dan tanggungjawab administrasi, diantaranya
adalah:35
a. Tanggung Jawab Pidana
Prinsip pertanggungjawaban pidanadapat ditemui dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan tiada peristiwa
dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-
undangan pidana yang mendahulukan (geen feit is strafbaar dan uit
kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).36
34 Hans Kelsen, General Theory of Law and State , New York : Russel and Russel, 1971, hlm
95
35 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) , Refika Aditama, Bandung,
2009, hlm 147.
36 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan & Yurisprudensi.
Alumni, Bandung, 1979, hlm. 16
29
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, dapat
dijelaskan bahwa pertama, suatu perbuatan dapat dipidana jika
termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Hal ini berarti
pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.
Kedua, ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan
itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku
ketika perbuatan itu dilakukan.37 Dalam kaitan dengan hal tersebut,
menurut Barda Nawawi Arief bahwa perumusan asas legalitas dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas lex temporis
delicti atau asas nonretroaktif.
Larangan berlakunya hukum atau undang-undang pidana
secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan
HAM.38Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang
menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada perubahan dalam
perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan perundang-
undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Ketentuan
tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana
maupun sanksinya. Ketiga, Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat
37 Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,
BPHN, Jakarta, 2002, hlm 3.
38 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm 1.
30
pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan
terdakwa.39
Mengacu pada uraian di atas, maka keberlakuan asas legalitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi oleh Pasal 1
ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan,
ada perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan
peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi
terdakwa.
Ketentuan dalam Pasal 1 KUHP yang meberlakukan asas
legalitas menurut Moelyatno mengandung tiga pengertian: (a) tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang;
(b) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas); dan (c) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku
surut.40
Selanjutnya dalam Pasal 2 Kitab KUHP, bahwa “ketentuan
pidana dalamperundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yangmelakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”. Pada
dasarnya hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan hukumyang
berkenaan dengan perbuatan mana yang dapat dipidana danpidana apa
yang dapat dikenakan.
39Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,
Op.Cit, hlm..3
40 Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000, hlm. 25
31
Eksistensi asas legalitas masih diakui mempunyai implikasi
kepada kedudukan kepastian hukum yang mempunyai sifat
perlindungankepada hukum pidana yaitu hukum pidana melindungi
masyarakat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari
pemerintah. Hal ini merupakan fungsi “melindungi” dari hukum
pidana. Fungsi melindungi, hukum pidana juga mempunyai fungsi
instrumental, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-
undang, pelaksanaan kekuasaan yang dilakukan pemerintah, secara
tegas diperbolehkan.41
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, meliputi:
a. pidana pokokyang terdiri dari: (i) pidana mati; (ii) pidana penjara;
(iii) kurungan; dan (iv) denda; dan
b. pidana tambahanyang terdiri dari: (i) pencabutan hak-hak tertentu;
(ii) perampasan barang-barang tertentu; dan (iii) pengumuman
putusan hakim.
Hukum pidana juga merupakan ultimum remidium atau sarana
terakhir. Ultimum remidium hanya diadakan apabila sanksi-sanksi
dalam bidang-bidanghukum lain tidak memadai.
b. Tanggung Jawab Perdata
Sementara itu, dalam perspektif hukum perdata, disebutkan
bahwa pertanggungjawaban hukum behubungan dengan
41 Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm 4.
32
perbuatanmelawan hukum. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan
hukum dapat ditemukkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata).
Berkaitan dengan konsep perbuatan melawan hukum, Pasal
1365 KUHPerdatayang menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, terdapat
unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu adanya
perbuatan,adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita,
serta adanyahubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Dengan adanyaunsur perbuatan melawan hukum dalam bidang hukum
perdata.
Ketentuan dalam Pasal 1366 KUH Perdata menegaskan
bahwasetiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim
dapat berupa:
1) putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum
pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya);
33
2) putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya
menciptakansuatu keadaan yang sah menurut hukum; dan
3) putusan constitutif, yakni putusan yangmenghilangkan
suatukeadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.
Pada dasarnya, dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya
dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban)
sertahilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya
suatukeadaan hukum baru. Pertanggungjawaban hukum di bidang
perdatamerupakan pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh
adanyahubungan keperdataan antar subyek hukum.
c. Tanggung Jawab Administrasi
Sementara itu, dalam hukum administrasi, tanggungjawab yang
dibebankan kepada subjek yang melakukan kesalahan administratif.42
Sedangkan pengertian administratifadalah sanksi yang dikenakan
terhadap pelanggaranadministrasi atau ketentuan undang-undang yang
bersifat administratif.
Sanksi administratif diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, berupa: (a)
sanksi administratif ringan; (b) sanksi administratif sedang; dan (c)
sanksi administratifberat. Selanjutnya yang dimaksud dengan sanksi
administrasi ringan, sedang dan berat diatur dalam Pasal 81 Undang-
42 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 210
34
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
yaitu sebagai berikut:
1. sanksi administratif ringan berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. penundaan kenaikan pangkat, golongan,dan/atau hak-hak
jabatan;
2. sanksi administratif sedang berupa:
a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
b. pemberhentian sementara dengan memperolehhak-hak jabatan;
atau
c. pemberhentian sementara tanpa memperolehhak-hak jabatan;
dan
3. sanksi administratif berat berupa:
a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan
dan fasilitas lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya;
c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan
dan fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa; atau
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa.
35
Adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong
timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary
complience), memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan
good governance.43
F. Metode Peneitian
Metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan
dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian adalah suatu upaya dalam
bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan
prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan
kebenaran.44
Merujuk pada pernyataan di atas, bahwa metode penelitian merupakan
suatu unsur mutlak yang harus ada dalam penelitian. hal-hal sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-
normatif. yaitu suatu metode dalam penelitian hukum normatif dengan
menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka.45 polemik
akan hambatan yang timbul disebabkan Pertanggungjawaban
penyalahgunaan wewenang pejabat Pemerintahan yang dapat dikenakan
sanksi yang tidak berupa sanksi Administratif belaka sehingga menimbulka
43 Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik, Setara
Press,Malang, 2011, hlm 7
44 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998. hlm. 24
45 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1995, hlm. 13.
36
efek penjera dengan menerapkan bahan-bahan hukum, menerapkan teori-
teori yang akan dijadikan acuan di dalam penelitian dengan beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum.46
Penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat digolongkan sebagai
jenis penelitian normatif yang menggambarkan adanya ketidak singkronan
dalam substansi undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi seperti contoh dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur
bagaimana ‘setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’. Setiap orang yang
memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan hanya
pegawai negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun.
Mengenai kerugian keuangan negara, terdapat ketentuan
mencolok di antara kedua undang-undang. Artinya, pelaku tetap dihukum,
baik pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, pada Pasal 4 dinyatakan dalam tempo 10 hari, pelaku dapat
mengembalikan kerugian keuangan negara itu dan sudah dianggap bukan
tindak pidana. Oleh karena itu, pelaku tidak perlu takut dipidana berapa
46 Ibid hal.. 137
37
besarpun kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya
karena yang menanti hanyalah hukuman yang bersifat administratif, tidak
ada penjelasan lebih lanjut walaupun kerugian Negara itu tidak
dikembalikan kendati waktu 10 hari telah berlalu. Dengan demikian
penelitian ini akan berfungsi sebagai upaya mengatasi tiadanya ketentuan
lebih lanjut yang dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi
dan berupaya meneliti kaitan Undang-Undang Nomor 20 Tahu 2001
Tindak Pidana Korupsi, Kemudian dihubungkan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu
penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-
undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat.47
2. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif, yaitu metode penelitian
yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-
undangan.48
Penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia
yang dianggap pantas. Dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah
47 Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia
Publishing, 2006, hlm. 57.
48 Soejono Soekamto ed, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 1998.
38
merujuk pada sumber hukum yaitu penelitian yang mengacu pada norma
hukum yang terdapat dalam perangkat hukum. Dapat disimpulkan bahwa
metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika
keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin
ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang
objeknya hukum itu sendiri.49
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif,
yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat,
sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.50
Deskriptif Analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan
dan menganalisis suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori dan
norma-norma hukum tentang fakta dan kondisi yang ada seperti contoh
yang menggambarkan tindakan Pejabat Pemerintahan baik ditingkat Pusat
maupun Daerah yang melakukan penyimpangan baik secara langsung
maupun secara pendelegasian yang kebijakan dalam menerbitkan
Keputusan-Keputusannya menyebabkan kerugian perekonomian negara,
atau Keputusan Gubernur Bank Indonesia menyimpang hingga
49 Jhonny Ibrahim,, Op.Cit. hlm. 57.
50 Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia. 1997,
hlm. 42.
39
penyimpangan yang dilakukan Kepala Daerah yang menyebabkan kerugian
atau gejala lainnya yang menjadi objek penelitian. Seperti adanya
Keputusan yang merugikan negara dan bentuk kebijakan yang
menyebabkan penderitaan terhadap masyarakat. Setelah itu diadakan suatu
hipotesa secara kritis dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan atas
fakta atau gejala tersebut, baik dalam kerangka sistematisasi maupun
sinkronisasi dengan berdasarkan pada aspek yuridis, dengan demikian akan
menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.
3. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan yaitu data sekunder yang
dimaksudkan meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder
serta bahan-bahan tersier. Selain itu, digunakan pula data primer untuk
mendukung penelitian dan menunjang sumber data sekunder yang telah
ada.51
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat
yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada
berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan. Bahan
hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti rancangan undang-undang, bahan hukum yang
diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat pakar hukum, dan hasil-
hasil penelitian. Adapun, bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
51 Peter Mahmud Marjuki, Op. cit, hlm 144.
40
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum
primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 52
Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data
sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema)
dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak
diperlukan. Di dalam menyusun kerangka konsepsional, dapat
dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian, dan penelitian hukum
normatif tidak memerlukan hipotesis.
Konsekuensi yang hanya menggunakan data sekunder, maka pada
penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data
sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas
tersendiri yang tidak bisa diganti dengan data jenis lainnya dan pada
umumnya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya.
Sumber data dalam penelitian ini di kelompokkan menjadi 3 (tiga)
yaitu:
1) Bahan hukum primer, yaitu merupakan data yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas yang tinggi dan mengikat, karena data
primer misalnya dikeluarkan/ditetapkan oleh pemerintah. Bahan hukum
primer antara lain peraturan perundang-undangan. Data primer yang
digunakan dalam penelitian antara lain:
52 Jhonny Ibrahim, Loc.cit, hlm.192. Lihat Amiruddin dan Zainal Asikin, PengantarMetode
Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 118‐119.
41
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Neptisme;
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik;
g. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi;
h. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara;
i. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor No. 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara;
j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah;
k. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan; dan
42
l. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
dan
2) Bahan hukum sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer antara lain, hasil penelitian hukum,
hasil karya ilmiah di bidang hukum. Dalam hal ini hasil penelitian
hukum, hasil karya ilmiah di bidang hukum administrasi negara dan
hukum lingkungan; dan
3) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk atau
penjelasan bermakna maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder. Seperti kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan
Indonesia, kamus bahasa Inggeris dan Indonesia, ensiklopedia, dan
lain-lain.53
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
studi kepustakaan (library research), adalah studi kepustakaan dilakukan
untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum dan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat normatif.
Teknik pengumpulan data tersebut meliputi studi kepustakaan
yaitu meneliti dokumen, peraturan perundang-undangan yang berhubungan
53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati Suatu Tingjauan Singkat,
Jakarta, Raja Grafindo Persada. 2007, hlm. 13.
43
dengan bidang hukum pidana, tindak pidana korupsi, hukum pidana
administrasi pemerintahan dan yang relevan dengan teori pendukung
dalam menyusun konsep penelitian dan juga mendukung penyajian dan
pembahasan masalah yang dijadikan obyek penelitian.
Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh wawasan teoritik
dan kerangka konseptual penelitian. Studi kepustakaan yang terarah untuk
mendapatkan informasi-informasi tersebut, dilakukan di perpustakaan:
a. Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung di Kota Bandung;
b. Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Parahyangan
Bandung di Kota Bandung;
c. Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran di Kota Bandung;
d. Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran di
Kota Bandung;
e. Dinas Pemerintahan Pusat maupun Daerah yang terkait;
f. Badan Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta; dan
g. Perpustakaan Umum Nasional di Jawa Barat dan Jakarta.
5. Analisa Data
Penelitian hukum kepustakaan (secara normatif) kegiatan analisis
data sebenarnya telah dimulai semenjak sebelum penyusunan kerangka
acuan penelitian sampai pada saat terakhir penulisan laporan penelitian.
44
Supaya laporan penelitian itu benar-benar memuat hasil pemikiran dan
pendapat yang didasari imformasi yang selengkap-lengkapnya.54
Menganalisis bahan-bahan yang telah dikumpulkan tentu saja harus
dilakukan cara-cara analisis atau penafsiran (interpretasi) hukum yang dikenal,
seperti penafsiran autentik, penapsiran menurut tata bahasa (gramatikal),
penafsiran berdasarkan sejarah perundang-undangan (wethistoris) atau
berdasarkan sejarah hukum (rechthistoris), penafsiran sistematis, penafsiran
sosiologis, teleologis, penafsiran fungsional, ataupun penafsiran futuristic (suatu
pemikiran).55
Dengan demikian menggunakan metode analisis ini diharapkan
akan memperoleh gambaran tentang pertanggungjawaban penyalahgunaan
wewenang Pejabat Pemerintah menurut hukum administrasi dihubungkan dengan
tindak pidana korupsi.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Disertasi ini merupakan kajian yang terbagi kedalam lima
Bab, meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
Bagian ini menguraikan latarbelakang masalah, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, kegunaan teoretis dan kegunaan
praktis, kerangka pemikiran dan metode penelitian.
54 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Idonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung,
Alumni, 1994, hlm. 151
55 Ibid. hlm. 152.
45
BAB II NEGARAHUKUM, KEWENANGAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
Bab ini membahas konsep dan teori: (a) negara hukum; (b)
kewenangan; dan (c) pertanggungjawaban hukum
BAB III PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT
PEMERINTAHAN DALAM MENJALANKAN
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Bab ini akan menguraikan konsep dan teori (a)
penyalahgunaan wewenang menurut UU Tipikor dan UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; (b)
Pejabat Pemerintah; (c)Administrasi Pemerintahan; dan (d)
kasus-kasuspenyalahgunaan kewenangan oleh pejabat
pemerintahan; (e) Tindak Pidana Korupsi.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN DIHUBUNGKAN DENGAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
Bab ini menganalisis dan membahas adanya perumusan
masalah yang telah diidentifikasikan, kemudian dilakukan
penelitian dari regulasi pertanggungjawaban hukum oleh
46
Pejabat Pemerintahan yang menyaahkan wewenangnya dalam
menjalankan Admknistrasi Pemerintahan dihubungkan dengan
tindak pidana korupsi.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan kesimpulan dan saran. Kesimpulan
diperoleh dari jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Saran
diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan yang ditujukan kepada
pihak-pihak yang relevan dengan topik penelitian ini.
47
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum
Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, 2007. hlm. 60.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003
Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2004.
E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief
Recht, Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985.
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel,
1971
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Bayumedia Publishing, 2006
48
Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT.
Gramedia. 1997.
Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan
Publik, Setara Press,Malang, 2011
Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum
Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998
Mochtar Kusumaatmadja, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional Dimasa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah,
Jakarta, 1995.
Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama,
Bandung, 2009
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, (Makalah, Pelatihan Metode
Penelitian Hukum Normatif) Universitas Airlangga, Surabaya, 1997.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan &
Yurisprudensi. Alumni, Bandung, 1979.
49
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002.
Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum
Pemerintahan yang Baik, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Jakarta, Desember 2007
Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995
Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di
Indonesia. Alumni, Bandung, 1985.
______________, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi
Negara, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 2
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati Suatu
Tingjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 2007.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Idonesia Pada Akhir Abad Ke-20,
Bandung, Alumni, 1994.
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta, 2008.
50
Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo, 2009.
B. Sumber Majalah, Karya Ilmiah, Koran Dan Lain-lain
Budi Parmono, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia (Disertasi) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Surabaya, 2011.
Enny Rohyani,Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang Oleh
Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, (Disertasi
Doktor Ilmu Hukum)Program Pascasarjana Program Studi Doktor
Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2009.
F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia,
Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI): 2001
Indriyanto Seno Adji, Kendala Sanksi Hukum Pidana Administratif , Jurnal
Keadilan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2011.
__________________, Paper, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid),
Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Seminar Pertanggungjawaban
Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Falultas
Hukum Iniversitas Diponegoro, Semarang, 6-7 Mei 2004.
51
Irving M. Copi, Intreduction to Logic dalam PM. Hadjon, Pengkajian Ilmu
Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika , No.6 Tahun XI November-
Desember 1994.
Mardjono Reksodiputro, dalam Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan
Kejahatan, Buku Kesatu, Cet. Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia, 1994.
Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi? (Dari
Perspektif Hukum Pidana/Korupsi (makalah) disampaikan dalam
Seminar, dengan tema Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari
Hukum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud
Auditing (LPFA). di Hotel Bumi Karsa Bidakara–Jakarta, Selasa 11
Mei 2010.
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya :
Laksbang Mediatama, 2009.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst
tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal
17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan
52
oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003
tanggal 12 Pebruari 2004.
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi
diIndonesia, Penerbit BPHN Depkumham, Jakarta, 2002.
Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di
Indonesia, BPHN, Jakarta, 2002.
Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,
2004.
C. Sumber Websites
http://asmisiangka.blogspot.co.id/2013/02/hukum-dasar-tertulis-dan hukum-
dasar.html, dengan Topik: Hukum Dasar Tertulis dan Tidak Tertulis.
Diakses pada tanggal 17 Nopember 2015.
D. Sumber Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Neptisme.
53
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan.

More Related Content

What's hot

Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...
Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...
Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...Idik Saeful Bahri
 
Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314
Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314
Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314Farid Ma'ruf
 
Lembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara IndonesiaLembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara Indonesiabulan purnama
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanayudikrismen1
 
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Ian Setiawan
 
Mahasiswa & tanggung jawab sosial
Mahasiswa & tanggung jawab sosialMahasiswa & tanggung jawab sosial
Mahasiswa & tanggung jawab sosialSabolah
 
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikHubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikShelly Selviana
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintahAbid Zamzami
 
MEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAAN
MEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAANMEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAAN
MEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAANDwi Bawa
 
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemenSistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemenMochammad Ridwan
 
Makalah budaya politik
Makalah budaya politikMakalah budaya politik
Makalah budaya politikMuhammad Agung
 
Materi peraturan perundang undangan
Materi peraturan perundang undanganMateri peraturan perundang undangan
Materi peraturan perundang undangananik1985
 
Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahan
Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahanTeori bentuk negara dan bentuk pemerintahan
Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahanAdhi Panjie Gumilang
 
Kedudukan warga negara dan penduduk Indonesia
Kedudukan warga negara dan penduduk IndonesiaKedudukan warga negara dan penduduk Indonesia
Kedudukan warga negara dan penduduk IndonesiaFaza Fuadina
 
hukum tata ruang
hukum tata ruanghukum tata ruang
hukum tata ruanggege52
 

What's hot (20)

Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...
Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...
Hukum Kepegawaian - Definisi, Jenis, Asas, Prinsip, dan Nilai Dasar Aparatur ...
 
Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314
Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314
Materi apd-sistem pemerintahan daerah-1314
 
Partai politik
Partai politikPartai politik
Partai politik
 
Materi Sistem Politik Indonesia
Materi Sistem Politik IndonesiaMateri Sistem Politik Indonesia
Materi Sistem Politik Indonesia
 
Lembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara IndonesiaLembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara Indonesia
 
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2015-2025
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2015-2025Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2015-2025
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2015-2025
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
Mahasiswa & tanggung jawab sosial
Mahasiswa & tanggung jawab sosialMahasiswa & tanggung jawab sosial
Mahasiswa & tanggung jawab sosial
 
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikHubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
 
MEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAAN
MEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAANMEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAAN
MEMPERKUAT KOMITMEN KEBANGSAAN
 
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemenSistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
 
Makalah budaya politik
Makalah budaya politikMakalah budaya politik
Makalah budaya politik
 
Materi peraturan perundang undangan
Materi peraturan perundang undanganMateri peraturan perundang undangan
Materi peraturan perundang undangan
 
Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahan
Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahanTeori bentuk negara dan bentuk pemerintahan
Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahan
 
Presentasi Bela Negara
Presentasi Bela NegaraPresentasi Bela Negara
Presentasi Bela Negara
 
Kedudukan warga negara dan penduduk Indonesia
Kedudukan warga negara dan penduduk IndonesiaKedudukan warga negara dan penduduk Indonesia
Kedudukan warga negara dan penduduk Indonesia
 
hukum tata ruang
hukum tata ruanghukum tata ruang
hukum tata ruang
 

Viewers also liked

Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Silvia Kumalasari
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraNina Ruspina
 
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahanUu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahanYudhi Aldriand
 
Implikasi mk 35 di kaltim
Implikasi mk 35 di kaltimImplikasi mk 35 di kaltim
Implikasi mk 35 di kaltimabasalman
 
Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014
Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014
Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014Lanka Asmar, SHI, MH
 
Kaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi Pemerintah
Kaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi PemerintahKaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi Pemerintah
Kaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi PemerintahTri Widodo W. UTOMO
 
Tugas & wewenang pejabat pembuat komitmen
Tugas & wewenang pejabat pembuat komitmenTugas & wewenang pejabat pembuat komitmen
Tugas & wewenang pejabat pembuat komitmenhanifpurwanto
 
Sharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVN
Sharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVNSharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVN
Sharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVNBunga Steviane,S.H
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukumiwan Alit
 
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukumPengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukumFN223
 
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Mus kamal
 
Hakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukumHakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukumPutri Aisyah
 
Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum
Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan HukumHakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum
Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan HukumLisa Tri Setiawati
 
Kode etik pegawai negeri sipil / PNS
Kode etik pegawai negeri sipil / PNSKode etik pegawai negeri sipil / PNS
Kode etik pegawai negeri sipil / PNSDIANTO IRAWAN
 
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)Suprijanto Rijadi
 
Undang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plk
Undang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plkUndang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plk
Undang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plkbtkipkalteng
 

Viewers also liked (20)

Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negara
 
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahanUu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
 
Implikasi mk 35 di kaltim
Implikasi mk 35 di kaltimImplikasi mk 35 di kaltim
Implikasi mk 35 di kaltim
 
Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014
Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014
Kedudukan hukum dan peran jabatan pppk dalam uu no 5 tahun 2014
 
Kaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi Pemerintah
Kaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi PemerintahKaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi Pemerintah
Kaidah dan Praktek Pelimpahan Wewenang di Instansi Pemerintah
 
Delegasi wewenang
Delegasi wewenangDelegasi wewenang
Delegasi wewenang
 
Tugas & wewenang pejabat pembuat komitmen
Tugas & wewenang pejabat pembuat komitmenTugas & wewenang pejabat pembuat komitmen
Tugas & wewenang pejabat pembuat komitmen
 
Sharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVN
Sharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVNSharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVN
Sharing Knowledge - Hukum Kontrak Konstruksi - KJF-TSJ.REV.IVN
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukum
 
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukumPengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
 
Contoh zakat
Contoh zakatContoh zakat
Contoh zakat
 
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
 
Hakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukumHakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukum
 
Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum
Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan HukumHakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum
Hakikat Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum
 
PKN BAB III Kelas XI
PKN BAB III Kelas XIPKN BAB III Kelas XI
PKN BAB III Kelas XI
 
Kode etik pegawai negeri sipil / PNS
Kode etik pegawai negeri sipil / PNSKode etik pegawai negeri sipil / PNS
Kode etik pegawai negeri sipil / PNS
 
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)UU no 17 tahunn 2014 tentang  MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
UU no 17 tahunn 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (MD3)
 
Etika profesi PNS
Etika profesi PNSEtika profesi PNS
Etika profesi PNS
 
Undang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plk
Undang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plkUndang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plk
Undang undang 23 tahun 2014 terhadap kebijakan anggaran pendidikan 2016 plk
 

Similar to Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

Fungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptx
Fungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptxFungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptx
Fungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptxPutriRahayuWidjayant
 
B g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti ChandraB g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti ChandraIsantiMM90
 
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)EllisaVikalista1
 
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdfMAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdfAgusDermawan12
 
2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negara2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negaraDian Oktavia
 
Konsep good governance
Konsep good governanceKonsep good governance
Konsep good governanceNaniisrina A
 
Pancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesiaPancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesiatowetoe
 
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLatuulll
 
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLKetika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLatuulll
 
Good governance han
Good governance hanGood governance han
Good governance hanDian Oktavia
 
Sejarah singkat ptun bandung
Sejarah singkat ptun bandungSejarah singkat ptun bandung
Sejarah singkat ptun bandungWulan Yussilya
 
Hukum tata pemerintahan New.pptx
Hukum tata pemerintahan New.pptxHukum tata pemerintahan New.pptx
Hukum tata pemerintahan New.pptxRenggaSantoso
 

Similar to Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara (20)

Fungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptx
Fungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptxFungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptx
Fungsi dan aktivitas administrasi negara fix.pptx
 
B g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti ChandraB g 4 dvd Isanti Chandra
B g 4 dvd Isanti Chandra
 
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YG BAIK (AUPB)
 
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdfMAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
 
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesiaPenggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
 
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenangTinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
 
2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negara2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negara
 
Kelompok 10 good gavernance
Kelompok 10   good gavernanceKelompok 10   good gavernance
Kelompok 10 good gavernance
 
K elompok 7 pkn
K elompok 7 pknK elompok 7 pkn
K elompok 7 pkn
 
K elompok 7 pkn
K elompok 7 pknK elompok 7 pkn
K elompok 7 pkn
 
PB10.pptx
PB10.pptxPB10.pptx
PB10.pptx
 
Konsep good governance
Konsep good governanceKonsep good governance
Konsep good governance
 
Pancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesiaPancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesia
 
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasionalFungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
 
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
 
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOLKetika Hukum di Negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di Negeriku dikali NOL
 
Modul 4 kb 3
Modul 4 kb 3Modul 4 kb 3
Modul 4 kb 3
 
Good governance han
Good governance hanGood governance han
Good governance han
 
Sejarah singkat ptun bandung
Sejarah singkat ptun bandungSejarah singkat ptun bandung
Sejarah singkat ptun bandung
 
Hukum tata pemerintahan New.pptx
Hukum tata pemerintahan New.pptxHukum tata pemerintahan New.pptx
Hukum tata pemerintahan New.pptx
 

Recently uploaded

pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxFeniannisa
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptxahmadrievzqy
 
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxkhairunnizamRahman1
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxFucekBoy5
 

Recently uploaded (6)

pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptxKel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
Kel.5 PPT Hukum Administrasi Negara.pptx
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
 
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptxSlaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
Slaid Transkrip Temuramah 2 (Falsafah Dalam Kehidupan) (1).pptx
 
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptxSistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
Sistem norma hukum Bab IV dan Bab V.pptx
 

Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara

  • 1. 1 A. Latar Belakang Masalah Pembenahan hukum dalam menata kinerja Pemerintahan di Indonesia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, merupakan upaya perbaikan dari adanya dampak keberlangsungan kinerja Pemerintahan sekaligus menjadi harapan dari tuntutan perkembangan kemajuan zaman secara global dan holistik, sejalan dengan dinamika kesadaran masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan hukum, sebab Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam Amandemennya yang ketiga tanggal 10 November 2001. Pengertian mengenai Negara hukum menurut ahli hukum Mochtar Kusumaadmaja adalah Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum1, diselaraskan dengan Cita-cita luhur bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) alenia keempat disebutkan: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2. Untuk memajukan kesejahteraan umum, 3. mencerdaskan kehidupan bangsa, 4. ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1 Mochtar Kusumaatmadja, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional Dimasa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, 1995. hlm.1.
  • 2. 2 Cita-cita luhur bangsa Indonesia tersebut implementasinya diwujudkan sesuai rumusan visi Indonesia masa depan yang dituangkan dalam Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 menyangkut susunan sistematika pada Bab II mengenai Cita-cita Luhur Bangsa Indonesia tentang Visi Indonesia Masa Depan disebut dengan Visi Indonesia 2020 yang berbunyi: “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara.” Visi ini menjadi pedoman dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance and clean government) Tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government) merupakan seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip good governance and clean government, maka Pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (independen). Sepaham dengan peran United Development Program (UNDP) salah satu badan PBB, governance (kepemerintahan) mempunyai tiga model, yaitu: 2 2 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009, hlm.1.
  • 3. 3 1) Economic Governance, meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negri dan transaksi di antara penyelenggara ekonomi, serta mempunyai implikasi terhadap kesetaraan, kemiskinan dan kualitas hidup. 2) Political Governance, mencakup proses perubahan keputusan untuk perumusan kebijakan politik Negara. 3) Administrative Governance, berupa system implementasi kebijakan. Tata pemerintahan yang baik dan bersih tersebut, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah seharusnya secara normatif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang secara luas tidak hanya secara tertulis (writen law) dan tidak tertulis (Unwriten law) seperti Convensi Praktek-praktek penyelenggaraan Negara yang sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis antara lain3: - Pidato Kenegaraan Presiden RI setiap 16 Agustus di dalam sidang DPR - Pidato presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang rencana anggaran pendapatan belanja (RAPB) Negara pada minggu 1, pada bulan januari tiap tahunnya. Maka segala tindakan Pemerintah harus sesuai dengan hukum dan hukum membatasi kekuasaan Pemerintah agar tidak menyimpang dari konstitusi dan perundang-undangan termasuk hukum tidak tertulis. Maka praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dengan prinsip good 3 http://asmisiangka.blogspot.co.id/2013/02/hukum-dasar-tertulis-dan-hukum-dasar.html, dengan Topik: Hukum Dasar Tertulis dan Tidak Tertulis. Diakses pada tanggal 17 Nopember 2015.
  • 4. 4 governance and clean government memiliki asas-asas yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Asas Partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilankeputusan, baik secara langsung maupun lewat lembaga perwakilan sah yang mewakiliaspirasi mereka. Bentuk partisipasi menyeluruh ini dibangun berdasarkan prinsip demokrasiyakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. 2. Asas Penegakan Hukum, Asas ini merupakan keharusan pengelolaan pemerintahan secara professional yangdidukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.Realisasi wujud pemerintahan yang baik dan bersih harus juga diimbangi dengan komitmen Pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur berikut : Supremasi Hukum: setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. 3. Asas Kepastian Hukum: setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif, dan tidak bertentangan satusama lainnya. 4. Asas Hukum yang responsif: aturan hukum diatur berdasarkan aspirasi masyarakatluas dan mampu menyediakan berbagai kebutuhan publik secara adil.
  • 5. 5 Keseluruhan asas-asas tersebut dipayungi oleh sebuah asas yang dikenal sebagai asas legalitas memberikan dasar kewenangan bertindak bagi pemerintah atau Pejabat Administrasi Negara, sebab Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam undang-undang. Akan tetapi setiap perbuatan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah atau jabatan administrasi negara yang keluar dari batas-batas dan tujuan pemberian wewenang atau melanggar asas legalitas tersebut tentu tidak dibenarkan oleh hukum.4 Khususnya berkaitan dengan hukum administrasi, sebab asas legalitas berkaitan dengan Asas “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” dalam kepustakaan Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”. Asas legalitas akan menjadi dasar legitimasi yang bersifat formal sebagai upaya penyelenggara negara ikut melindungi hak-hak rakyatnya. Menurut pandangan Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya konstitutif.5 4 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 84 5 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 2
  • 6. 6 Asas legalitas mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan “het begrip bevoegdheid is dan ook een kembergrip in het staats en administratief recht”. Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa “wewenang merupakan konsep inti dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi”.6 Pada setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan secara ekplisit diikuti pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authority without responbility) dalam terjemahan bebasnya adalah tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.7 Lebih lanjut menurut L.J.A Damen, menyatakan tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus ditelaah apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenangnya atau ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan 6 E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985, hlm 26. 7 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, 2009, hlm 75-76.
  • 7. 7 tertentu. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang8. Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang (Detournement de Pouvoir) merupakan Penyelenggaraan Pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang, Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; dan ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu9. Parameter untuk mengukur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan, meliputi:10 a. Unsur Menyalahgunakan Kewenangan dinilai dari ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif; 8 Ibid 9 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni, Bandung, 1985, hlm. 223. 10 Indriyanto Seno Adji, Op.cit, hlm 35.
  • 8. 8 b. Asas Kepatutan Dalam Rangka Melaksanakan Suatu Kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya. Konotasi atas penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi). Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan). Oleh karena norma wewenang sebagai norma pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindakan Pemerintah dapat menggunakan 2 (dua) alat ukur, yaitu: pertama Peraturan perundang- undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas. Sedangkan kerdua pada kewenangan bebas digunakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), parameter penyalahgunaan wewenang karena asas wetmatigheid dinilai tidak memadai11. Namun Di dalam praktek peradilan sering dipertukarkan atau dicampuradukan antara penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren dengan penyalahgunaan wewenang.12 11 Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum Pemerintahan yang Baik, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Desember 2007. hlm 2. 12 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004, dalam Nur Basuki Minarno, hlm. 82-85.
  • 9. 9 Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang adalah melakukan tindak pidana korupsi. Apabila mendengar istilah korupsi, biasanya yang tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang dengan rakus menggelapkan uang pajak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan uang negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Korupsi sebagian besar dikaitkan dengan penggelapan sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material. Sesungguhnya pengertian korupsi yang seperti ini sudah jauh lebih sempit dari pada pengertian awalnya. Korupsi berasal dari kata corruptio, atau corruptus. Arti harfiah dari kata ini adalah penyimpangan dari kesucian, tindakan tidak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran, atau kecurangan.13 Unsur penting tindak pidana korupsi antara lain tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang konteksnya mengenai penyalahgunaan wewenang merupakan mixing antara konsep maupun norma hukum administrasi dengan norma hukum pidana, dalam arti sebuah aturan administrasi yang juga memuat sanksi pidana, yang selanjutnya disebut administrative penal law atau verwaltungs strafrecht. Namun menurut Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur 13 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2008, hlm. 206.
  • 10. 10 penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau tindakan pejabat Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan istilah “Diskresi” dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dinyatakan Diskresi adalah keputusan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Memperhatikan kembali rumusan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentan Pemerintahan Daerah mempunyai makna bahwa jika terdapat dugaan pejabat pemerintah menyalahgunakan wewenangnya, maka diselesaikan terlebih dahulu secara administratif berdasarkan hukum administrasi melalui mekanisme pengadilan tata usaha negara. Ketentuan ini berimplikasi pada salah satu unsur dalam Pasal 3 UU Tipikor yakni penyalahgunaan wewenang, harus diujikan terlebih dahulu kebenarannya di pengadilan tata usaha negara, sehingga menambah jalur birokrasi karena itu, dianggap sebagai sebuah “langkah mundur” dalam penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemaknaan akibat munculnya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014, jika hasil Keputusan Tata Usaha Negara menyebutkan
  • 11. 11 terbukti terdapat penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintah, maka dapat dilanjutkan dengan tindak pidana korupsi.Namun dapat dimaknai pula, jika menurut Keputusan Tata Usaha Negara tidak terbukti menyalahgunakan wewenang maka peradilan pidana dapat terus berlangsung. Dengan demikian tidak bergantung pada Keputusan Tata Usaha Negara, karena UU Tipikor merupakan undang-undang yang bersifat kekhususan berdasarkan pada Pasal 63 ayat (2) KUHP dan Pasal 14 UU Tipikor. Selanjutnya berkaitan dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itu yang diterapkan. Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, sebagai rumusan yang mengandung asas lex specialis derogat legi generali, yaitu menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang bersifat khusus. Suatu perbuatan termasuk kategori perbuatan yang diatur dalam peraturan pidana yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Selain itu, rumusan Pasal 103 KUHP menentukan bahwa ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII KUHP berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali oleh undang-undang itu ditentukan lain.14 Sementara itu, menurut Pasal 14 UU Tipikor menyatakan bahwa yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan 14 Indriyanto Seno Adji, Kendala Sanksi Hukum Pidana Administratif , Jurnal Keadilan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2011, hlm. 23.
  • 12. 12 Undang-undang sebagai tindak pidana korupsi yang berlaku diatur dalam UU Tipikor15. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana khusus tepat karena korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena bersifat luar biasa, maka diperlukan pula upaya yang luar biasa untuk mengatasinya.16 Penelitian terhadap pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang pejabat Pemerintah dalam administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan tindak pidana korupsi, merupakan penelitian baru. Sebab penelitian sebelumnya mengenai penyalahgunaan wewenang, dalam perspektif kajiannya tidak secara khusus menitik beratkan adanya hubungan dengan tindak pidana korupsi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Enny Rohyani pada tahun 2009 berjudul Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang oleh Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Komparasi dengan hasil penelitian terdahulu tersebut, menunjukkan peraturan perundang-undangan cenderung tidak memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap tindakan Pejabat Pemerintah Daerah, bahkan seringkali terjadi disharmonisasi, inkonsistensi dan disorientasi. Di sisi lain, terjadi pula fenomena berkembangnya sikap legistik dan positifistik dari 15 Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009, hlm 43. Lihat juga, Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi? (Dari Perspektif Hukum Pidana/Korupsi (makalah) disampaikan dalam Seminar, dengan tema Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA). di Hotel Bumi Karsa Bidakara–Jakarta, Selasa 11 Mei 2010. 16 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi diIndonesia, Penerbit BPHN Depkumham, Jakarta, 2002, hlm 25.
  • 13. 13 hakim, jaksa dan polisi, sehingga dalam penerapan hukum selalu berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan.17 Hal ini berpotensi menyebabkan character assassination terhadap eksistensi freies Ermessen, yang merupakan kriminalisasi perbuatan administrasi negara. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya pergeseran prinsip dan konsepsi dari negarahukum menjadi negara undang-undang, yang meletakkan hukum positif sebagaiukuran kebenaran, sehingga hukum positif ditempatkan sebagai instrumen untuk melegitimasi tindakan pemerintah. Apabila kondisi ini berlangsung terus-menerus, maka kinerja aparatur dan pelayanan publik akan terganggu, yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan menggoyahkan legitimasi Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, freies Ermessen harus diakui oleh pembentuk undang-undang yang direfleksikan dalam undang-undang, serta diakui oleh hakim yang direfleksikan dalam keputusan hakim.18 Merujuk pada penelitian yang dilakukan Enny Rohyani dikemukakan catatan persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini antara lain: Persamaanya dengan penelitian Enny Rohyani sama-sama mengambil tema penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap masalah yang dijadikan objek penelitian. Kemudian Perbedaaanya dengan kajian Enny Rohyanilebih menekankan pada freies Ermessen dan sebagai objek 17 Enny Rohyani,Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum)Program Pascasarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2009, hlm iv. 18 Ibid
  • 14. 14 penelitiannya mengenai implementasi penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu, penelitian ini lebih menekankan pada pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintah dalam administrasi pemerintahandihubungkan dengan tindak pidana korupsi. Walapun demikian penelitian Enny Rohyanirelevan untuk dijadikan salah satu acuan karena sama-sama membahas fenomena penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Penelitian lain yang bertema penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh Budi Parmono, dalam disertasinya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 2011 dengan judul Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Hasil penelitian Budi Parmono tersebut, menunjukan bahwa penyalahgunaan wewenang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam perumusan Pasal 3 UU Tipikor secara expressive verbis. Pertama kali di Indonesia, penyalahgunaan wewenang dibentuk dan dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk UU Tipikor. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk UU Tipikor tersebut dipandang sebagai salah satu inovasi dari Undng-Undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 hanya mengatur "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan" sebagai tindak pidana di luar KUHP. Dengan demikian, Pasal 3 UU Tipikor bukan merupakan peniruan dan pemodifikasian dari Konvensi Korupsi PBB.19 19 Budi Parmono, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Disertasi) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Surabaya, 2011. hlm 216
  • 15. 15 Menurut Budi Parmono ketentuan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak memberikan kriteria yang terperinci bagian inti delik penyalahgunaan wewenang. Tidak terperincinya ini diakui oleh Mahkamah Agung karena pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pertama berlangsung dalam waktu singkat, delapan bulan. Sehingga pembahasan bagian inti delik penyalahgunaan wewenang tidak tuntas. Berdasarkan hal itu, salah satu rekomendasi yang diajukan oleh Budi Parmono adalah perlunya tercantum penjelasan mengenani kriteria bagian inti delik penyalahgunaan wewenang dalam perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut, harus ditindaklanjuti dengan sikap sigap pemerintah yang harus lebih teliti ketika melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penyelenggaraan pemerintahan.20 Merujuk pada analisis disertasi Budi Parmono, dapat dikemukakan catatan perbedaan dan persamaan penelitian dengan penelitian ini adalah Persamaanya dengan penelitian Budi Parmono sama-sama mengambil tema penyalahgunaan wewenang dihubungkan dengan tindak pidana dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap masalah yang dijadikan objek penelitian. Adapun Perbedaaanya dengan kajian Budi Parmono adalah kajian Budi Parmono lebih menekankan pada belum jelasnya kriteria penyalahgunaan wewenang. Sedangkan, penelitian ini lebih menekankan bagaimana pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintah dalam Administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan 20 Ibid
  • 16. 16 Tindak Pidana Korupsi dalam konteks regulasi yang baru antara lain mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu, perbedaan dengan disertasi Budi Parmono, penelitian ini seidak-tidaknya mempergunakan dua disiplin ilmu yaitu hukum pidana dan hukum administrasi negara, sedangkan disertasi Budi Parmono hanya mempergunakan satu disiplin ilmu hukum yaitu hukum pidana terkait dengan delik “Penyalahgunaan wewenang”yang tercantum dalam Pasal 3 UU Tipikor. Walaupun demikian penelitian Budi Parmono masih relevan untuk dijadikan salah satu acuan karena sama-sama membahas fenomena penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah yang dihubungkan dengan tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian di atas perlu untuk diteliti secara lebih mendalam yang selanjutnya dituangkan dalam Disertasi dengan judul: ”Pertanggungjawaban Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah Dihubungkan Dengan Tindak Pidana Korupsi” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi masalahnya yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana regulasi pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang menjalankan administrasi pemerintahan?
  • 17. 17 2. Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangannya dalam menjalankan administrasi pemerintahan dihubungkan denganpidana tindak pidana korupsi? C. Tujuan Penelitian Pemaparan uraian di atas, selanjutnya digunakan untuk dapat memberikan tujuan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini di antaranya: 1. Memberikan solusi dan pemecahan yang efektif bila terjadi permasalahan menyangkut multi penafsiran terhadap regulasi untuk menentukan Pejabat Pemerintahan yang melakukan tindak pidana yang menimbulkan kerugian berkaitan dengan perekonomian negara yang menentukan secara subjektif pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan yang menjalankan administrasi pemerintahan tersebut; dan 2. Memberikan kontribusi secara umum untuk dapat mengetahui adanya jaminan perlindungan bagi masyarakat bila terjadi tindakan kesewenang- wenangan dari pejabat Pemerintahan atas kebijakan dan tindakan pejabat Pemerintahan yang melanggar hukum, disamping itu kontribusi secara khusus sebagai pengendali tindakan pejabat Pemerintah mengenai pertanggungjawaban atas tindakannya apabila menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan administrasi pemerintahan dihubungkan dengan pidana tindak pidana korupsi sehingga dapat memberi efek penjera demi memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia.
  • 18. 18 D. Kegunaan Penelitian Secara teoritis kegunaan temuan dalam penelitian ini dapat memberi manfaat secara teoritis yaitu: 1. Memberikan konstribusi akademis atau teoritis terhadap ikhtiar pengkajian, penelaahan dan pengembangan terhadap ilmu hukum yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang menjalankan administrasi pemerintahan; dan 2. menambah wawasan baru mengenai penerapan pertanggungjawaban pejabat pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangannya dalam menjalankan administrasi pemerintahan dihubungkan dengan pidana tindak pidana korupsi. E. Kerangka Pemikiran Teori Hukum Secara tekstual Teori berasal dari kata “theoria” berarti kata dalam bahasa latin adalah “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Sedangkan Hukum, apabila dilihat selalu menjelaskan kesamaan, yaitu dimulai dengan penjelasan struktur dari ilmu hukum itu, misalnya ilmu hukum selalu terdiri dari dua penjelasan umum, yaitu ilmu hukum yang dogmatik dan ilmu kenyataan hukum, kemudian kedua bagian itu selanjutnya akan dipilah-pilih lagi secara lebih spesifik. Kedua disiplin itu satu sama lain memiliki wilayah yang berbeda (paling tidak dipandang secara
  • 19. 19 berbeda), sehingga untuk masuk ke wilayah satu dengan wilayah yang lain diperlukan perpindahan atau penggabungan sarana/alat untuk mencapai wilayah tersebut. Hukum akan selalu dilihat melalui sudut pandang yang berbeda-beda tersebut. Hal yang sama dilakukan oleh Lawrence Friedmann (dalam sistem hukum) sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan kultur. Lawrence Friedmann kemudian memecah unsur-unsur sistem hukum itu menjadi bagian perbagian yang jika dirangkai kembali akan membentuk suatu bangunan baru yang dapat diubah sehingga orang awam akan melihat hukum dalam bentuknya yang berbeda-beda. Ibarat seorang arsitek maka arsitektur hukum bergantung, kembali kepada tujuan negara. Namun hukum dapat dilihat dalam lapangan hukum utama, seperti publik dan privat, kemudian bagian atau tahap selanjutnya ditempatkan pula wilayah-wilayah lebih khusus, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, dan lain-lain sesuai dengan lapangan utama yang ada di atasnya. Bagian satu dengan bagian lain ada pada wilayah yang sudah jelas dan pasti, sehingga dengan sangat mudah seseorang dapat menjelaskan bahwa Hukum Administrasi Pemerintahan asal katanya dari Bestuursrecht dan Administratief Recht 21. Dengan demikian dikarenakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ada memiliki substansi yang menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara Hukum yang dikemukakan sebagai landasan pemikirian, maka selanjutnya akan digunakan beberapa teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini di antaranya yaitu: 21 Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konsruktif- Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, 2007. hlm. 60.
  • 20. 20 1) Teori Negara Hukum Indonesia secara ekplisit dan tegas merupakan negara hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selanjutnya diperjelas dan diperkuat dalam Penjelasan UUD 1945 yang menytakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Menurut Prins dan Scholten, Negara hukum bukan dilihat dari bentuk, tapi isinya. Hal ini berartibagaimana kekuasaan dijalankan dan siapa yang mengawasinya.22 Perwujudan dari negara Indonesia merupakan negara hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan salah satunya menganut prinsip negara hukum yaitu asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan berdasar pada asas legalitas itu, pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum, Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan kewenangan. Hukum administrasi mengenal asas legalitas atau keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas 22 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia: 2004, hlm 36.
  • 21. 21 legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya23. 2) Teori Kewenangan Sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang memberi suatu legitimasi kepada badan-badan publik untuk dapat melakukan fungsinya24. Dalam kajian hukum administrasi negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan merupakan hal penting karena berkenaan dengan pertanggung jawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum: “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Berdasar uraian tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). 23 Nur Basuki Minarno, Op.Cit hlm 72-79. 24 Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm 60.
  • 22. 22 Penggunaan wewenang hanya mungkin dilakukan oleh yang memperoleh wewenang atas dasar atribusi dan delegasi atau mandat.25 - Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.26 Sedangkan delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).27 - Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat besluit) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain.28 Sementara itu, mandat terjadi ketika organ pemerinatahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. - Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat TUN yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan perundang-undangan29. 3) Teori Diskresi Merujuk pada uraian mengenai wewenang sebagaimana yang disebutkan di atas, Pemerintah melalui pejabatnya dapat melakukan 25Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, (Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif) Universitas Airlangga, Surabaya, 1997, hlm. 2 26Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 104-105 27Ibid, hlm 104-105 28Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, op.cit, hlm2 29Ibid, hlm 2
  • 23. 23 diskresi segaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi atau keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Menurut Pasal 22 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang, dengan tujuanDiskresi menurut Pasal 22 ayat (2) dan penjelasan UU No. 30 Tahun 2014 untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; dan c. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Diskresi menurut Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diartikan sebagai Keputusan dan/atau Tindakanyang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkretyang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
  • 24. 24 Sementara itu, ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimaksud untukpengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan yang meliputi; a. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang- undangan tidak mengatur; b. pengambil keputusan dan/atau tndakan karena peraturan perundang- undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan c. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Menurut Pasal 24 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan Pejabat Pemerintahan yang menggunakan diskresi harus memenuhi syarat sesuai dengan tujuan diskresi, yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik. Diskresi diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan untuk mengatasi keterbatasan kapasitas regulasiatau perundang-undangan tidak mampu menjawab perubahan yang begitu cepat di masyarakat. Kadang regulasi yang ada pun sudah tidak relevan dengan perubahan zaman. Meskipun demikian kewenangan pejabat pemerintah untuk melakukan
  • 25. 25 diskresi, dalam konsep hukum administrasi selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu sendiri. Dalam hal penggunaan wewenang itu tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut, maka telah melakukan penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir). Menurut pandangan Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) komponen yaitu:30 1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan 2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, 30 Indriyanto Seno Adji, Paper, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid), Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Seminar Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Falultas Hukum Iniversitas Diponegoro, Semarang, 6-7 Mei 2004, hlm. 14, yang mengutip dari Mardjono Reksodiputro, dalam Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan, Buku Kesatu, Cet. Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994, hlm. 42-43.
  • 26. 26 3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas (wewenang, prosedur dan substansi) tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindak pemerintahan. Cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindak pemerintahan diisyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. 4) Teori Pertanggungjawaban Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan Accountability (Akuntabilitas) merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi sikap internal dan eksternal seseorang makna yang berbeda dengan Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang- undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu
  • 27. 27 tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya31. Sebagai contoh menunjuk pada pertanggungjawaban politik32. Apabila pejabat pemerintah melakukan penyalahgunaan wewenang dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Konsep pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang bertentangan dengan undang-undang. Pertanggungjawaban memuat nisbah bersegi tiga, meliputi:33 a. seseorang adalah penyebab atau berwenang; b. atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya;dan c. berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban. Menurut Hans Kelsen bahwa sebuah konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab 31 Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121. 32 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-337. 33 F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI): 2001, hlm 87.
  • 28. 28 (pertanggungjawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atasperbuatan tertentu atau bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu sanksi apabila perbuatannya bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangn. Biasanya, yakni apabila sanksi hukum ditunjukan kepada pelaku langsung, maka seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek daritanggungjawab hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.34 Dalam teori hukum yang bersifat umum, disebutkan bahwa setiap orang, termasuk pemerintah, harus mempertangungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dariteori hukum umum, muncultanggungjawab hukum berupa tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata, dan tanggungjawab administrasi, diantaranya adalah:35 a. Tanggung Jawab Pidana Prinsip pertanggungjawaban pidanadapat ditemui dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang- undangan pidana yang mendahulukan (geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).36 34 Hans Kelsen, General Theory of Law and State , New York : Russel and Russel, 1971, hlm 95 35 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) , Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm 147. 36 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan & Yurisprudensi. Alumni, Bandung, 1979, hlm. 16
  • 29. 29 Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, dapat dijelaskan bahwa pertama, suatu perbuatan dapat dipidana jika termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Hal ini berarti pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan. Kedua, ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan.37 Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Barda Nawawi Arief bahwa perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas lex temporis delicti atau asas nonretroaktif. Larangan berlakunya hukum atau undang-undang pidana secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan HAM.38Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan perundang- undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya. Ketiga, Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat 37 Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, BPHN, Jakarta, 2002, hlm 3. 38 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 1.
  • 30. 30 pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa.39 Mengacu pada uraian di atas, maka keberlakuan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Ketentuan dalam Pasal 1 KUHP yang meberlakukan asas legalitas menurut Moelyatno mengandung tiga pengertian: (a) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; (b) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas); dan (c) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.40 Selanjutnya dalam Pasal 2 Kitab KUHP, bahwa “ketentuan pidana dalamperundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yangmelakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”. Pada dasarnya hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan hukumyang berkenaan dengan perbuatan mana yang dapat dipidana danpidana apa yang dapat dikenakan. 39Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, Op.Cit, hlm..3 40 Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000, hlm. 25
  • 31. 31 Eksistensi asas legalitas masih diakui mempunyai implikasi kepada kedudukan kepastian hukum yang mempunyai sifat perlindungankepada hukum pidana yaitu hukum pidana melindungi masyarakat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Hal ini merupakan fungsi “melindungi” dari hukum pidana. Fungsi melindungi, hukum pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang- undang, pelaksanaan kekuasaan yang dilakukan pemerintah, secara tegas diperbolehkan.41 Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, meliputi: a. pidana pokokyang terdiri dari: (i) pidana mati; (ii) pidana penjara; (iii) kurungan; dan (iv) denda; dan b. pidana tambahanyang terdiri dari: (i) pencabutan hak-hak tertentu; (ii) perampasan barang-barang tertentu; dan (iii) pengumuman putusan hakim. Hukum pidana juga merupakan ultimum remidium atau sarana terakhir. Ultimum remidium hanya diadakan apabila sanksi-sanksi dalam bidang-bidanghukum lain tidak memadai. b. Tanggung Jawab Perdata Sementara itu, dalam perspektif hukum perdata, disebutkan bahwa pertanggungjawaban hukum behubungan dengan 41 Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm 4.
  • 32. 32 perbuatanmelawan hukum. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum dapat ditemukkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Berkaitan dengan konsep perbuatan melawan hukum, Pasal 1365 KUHPerdatayang menyebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, terdapat unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu adanya perbuatan,adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, serta adanyahubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Dengan adanyaunsur perbuatan melawan hukum dalam bidang hukum perdata. Ketentuan dalam Pasal 1366 KUH Perdata menegaskan bahwasetiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa: 1) putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya);
  • 33. 33 2) putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya menciptakansuatu keadaan yang sah menurut hukum; dan 3) putusan constitutif, yakni putusan yangmenghilangkan suatukeadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Pada dasarnya, dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) sertahilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatukeadaan hukum baru. Pertanggungjawaban hukum di bidang perdatamerupakan pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh adanyahubungan keperdataan antar subyek hukum. c. Tanggung Jawab Administrasi Sementara itu, dalam hukum administrasi, tanggungjawab yang dibebankan kepada subjek yang melakukan kesalahan administratif.42 Sedangkan pengertian administratifadalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaranadministrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Sanksi administratif diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, berupa: (a) sanksi administratif ringan; (b) sanksi administratif sedang; dan (c) sanksi administratifberat. Selanjutnya yang dimaksud dengan sanksi administrasi ringan, sedang dan berat diatur dalam Pasal 81 Undang- 42 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 210
  • 34. 34 Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu sebagai berikut: 1. sanksi administratif ringan berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; atau c. penundaan kenaikan pangkat, golongan,dan/atau hak-hak jabatan; 2. sanksi administratif sedang berupa: a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi; b. pemberhentian sementara dengan memperolehhak-hak jabatan; atau c. pemberhentian sementara tanpa memperolehhak-hak jabatan; dan 3. sanksi administratif berat berupa: a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan fasilitas lainnya; b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan fasilitas lainnya; c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa; atau d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa.
  • 35. 35 Adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary complience), memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan good governance.43 F. Metode Peneitian Metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian adalah suatu upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.44 Merujuk pada pernyataan di atas, bahwa metode penelitian merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada dalam penelitian. hal-hal sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis- normatif. yaitu suatu metode dalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka.45 polemik akan hambatan yang timbul disebabkan Pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang pejabat Pemerintahan yang dapat dikenakan sanksi yang tidak berupa sanksi Administratif belaka sehingga menimbulka 43 Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik, Setara Press,Malang, 2011, hlm 7 44 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998. hlm. 24 45 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 13.
  • 36. 36 efek penjera dengan menerapkan bahan-bahan hukum, menerapkan teori- teori yang akan dijadikan acuan di dalam penelitian dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.46 Penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat digolongkan sebagai jenis penelitian normatif yang menggambarkan adanya ketidak singkronan dalam substansi undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi seperti contoh dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur bagaimana ‘setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’. Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan hanya pegawai negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun. Mengenai kerugian keuangan negara, terdapat ketentuan mencolok di antara kedua undang-undang. Artinya, pelaku tetap dihukum, baik pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pada Pasal 4 dinyatakan dalam tempo 10 hari, pelaku dapat mengembalikan kerugian keuangan negara itu dan sudah dianggap bukan tindak pidana. Oleh karena itu, pelaku tidak perlu takut dipidana berapa 46 Ibid hal.. 137
  • 37. 37 besarpun kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya karena yang menanti hanyalah hukuman yang bersifat administratif, tidak ada penjelasan lebih lanjut walaupun kerugian Negara itu tidak dikembalikan kendati waktu 10 hari telah berlalu. Dengan demikian penelitian ini akan berfungsi sebagai upaya mengatasi tiadanya ketentuan lebih lanjut yang dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi dan berupaya meneliti kaitan Undang-Undang Nomor 20 Tahu 2001 Tindak Pidana Korupsi, Kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang- undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat.47 2. Jenis dan Sifat Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif, yaitu metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang- undangan.48 Penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah 47 Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2006, hlm. 57. 48 Soejono Soekamto ed, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 1998.
  • 38. 38 merujuk pada sumber hukum yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum. Dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.49 Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.50 Deskriptif Analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan dan menganalisis suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori dan norma-norma hukum tentang fakta dan kondisi yang ada seperti contoh yang menggambarkan tindakan Pejabat Pemerintahan baik ditingkat Pusat maupun Daerah yang melakukan penyimpangan baik secara langsung maupun secara pendelegasian yang kebijakan dalam menerbitkan Keputusan-Keputusannya menyebabkan kerugian perekonomian negara, atau Keputusan Gubernur Bank Indonesia menyimpang hingga 49 Jhonny Ibrahim,, Op.Cit. hlm. 57. 50 Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia. 1997, hlm. 42.
  • 39. 39 penyimpangan yang dilakukan Kepala Daerah yang menyebabkan kerugian atau gejala lainnya yang menjadi objek penelitian. Seperti adanya Keputusan yang merugikan negara dan bentuk kebijakan yang menyebabkan penderitaan terhadap masyarakat. Setelah itu diadakan suatu hipotesa secara kritis dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan atas fakta atau gejala tersebut, baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi dengan berdasarkan pada aspek yuridis, dengan demikian akan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian. 3. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan yaitu data sekunder yang dimaksudkan meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder serta bahan-bahan tersier. Selain itu, digunakan pula data primer untuk mendukung penelitian dan menunjang sumber data sekunder yang telah ada.51 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat pakar hukum, dan hasil- hasil penelitian. Adapun, bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang 51 Peter Mahmud Marjuki, Op. cit, hlm 144.
  • 40. 40 memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 52 Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak diperlukan. Di dalam menyusun kerangka konsepsional, dapat dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian, dan penelitian hukum normatif tidak memerlukan hipotesis. Konsekuensi yang hanya menggunakan data sekunder, maka pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti dengan data jenis lainnya dan pada umumnya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya. Sumber data dalam penelitian ini di kelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) Bahan hukum primer, yaitu merupakan data yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas yang tinggi dan mengikat, karena data primer misalnya dikeluarkan/ditetapkan oleh pemerintah. Bahan hukum primer antara lain peraturan perundang-undangan. Data primer yang digunakan dalam penelitian antara lain: 52 Jhonny Ibrahim, Loc.cit, hlm.192. Lihat Amiruddin dan Zainal Asikin, PengantarMetode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 118‐119.
  • 41. 41 a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Neptisme; d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; g. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; h. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; i. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah; k. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan; dan
  • 42. 42 l. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; dan 2) Bahan hukum sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer antara lain, hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah di bidang hukum. Dalam hal ini hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah di bidang hukum administrasi negara dan hukum lingkungan; dan 3) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan bermakna maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan Indonesia, kamus bahasa Inggeris dan Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain.53 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan (library research), adalah studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat normatif. Teknik pengumpulan data tersebut meliputi studi kepustakaan yaitu meneliti dokumen, peraturan perundang-undangan yang berhubungan 53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati Suatu Tingjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 2007, hlm. 13.
  • 43. 43 dengan bidang hukum pidana, tindak pidana korupsi, hukum pidana administrasi pemerintahan dan yang relevan dengan teori pendukung dalam menyusun konsep penelitian dan juga mendukung penyajian dan pembahasan masalah yang dijadikan obyek penelitian. Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh wawasan teoritik dan kerangka konseptual penelitian. Studi kepustakaan yang terarah untuk mendapatkan informasi-informasi tersebut, dilakukan di perpustakaan: a. Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung di Kota Bandung; b. Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Parahyangan Bandung di Kota Bandung; c. Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran di Kota Bandung; d. Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran di Kota Bandung; e. Dinas Pemerintahan Pusat maupun Daerah yang terkait; f. Badan Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta; dan g. Perpustakaan Umum Nasional di Jawa Barat dan Jakarta. 5. Analisa Data Penelitian hukum kepustakaan (secara normatif) kegiatan analisis data sebenarnya telah dimulai semenjak sebelum penyusunan kerangka acuan penelitian sampai pada saat terakhir penulisan laporan penelitian.
  • 44. 44 Supaya laporan penelitian itu benar-benar memuat hasil pemikiran dan pendapat yang didasari imformasi yang selengkap-lengkapnya.54 Menganalisis bahan-bahan yang telah dikumpulkan tentu saja harus dilakukan cara-cara analisis atau penafsiran (interpretasi) hukum yang dikenal, seperti penafsiran autentik, penapsiran menurut tata bahasa (gramatikal), penafsiran berdasarkan sejarah perundang-undangan (wethistoris) atau berdasarkan sejarah hukum (rechthistoris), penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis, teleologis, penafsiran fungsional, ataupun penafsiran futuristic (suatu pemikiran).55 Dengan demikian menggunakan metode analisis ini diharapkan akan memperoleh gambaran tentang pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang Pejabat Pemerintah menurut hukum administrasi dihubungkan dengan tindak pidana korupsi. G. Sistematika Penulisan Penulisan Disertasi ini merupakan kajian yang terbagi kedalam lima Bab, meliputi: BAB I PENDAHULUAN Bagian ini menguraikan latarbelakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan teoretis dan kegunaan praktis, kerangka pemikiran dan metode penelitian. 54 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Idonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, Alumni, 1994, hlm. 151 55 Ibid. hlm. 152.
  • 45. 45 BAB II NEGARAHUKUM, KEWENANGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM Bab ini membahas konsep dan teori: (a) negara hukum; (b) kewenangan; dan (c) pertanggungjawaban hukum BAB III PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT PEMERINTAHAN DALAM MENJALANKAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Bab ini akan menguraikan konsep dan teori (a) penyalahgunaan wewenang menurut UU Tipikor dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; (b) Pejabat Pemerintah; (c)Administrasi Pemerintahan; dan (d) kasus-kasuspenyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintahan; (e) Tindak Pidana Korupsi. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DIHUBUNGKAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Bab ini menganalisis dan membahas adanya perumusan masalah yang telah diidentifikasikan, kemudian dilakukan penelitian dari regulasi pertanggungjawaban hukum oleh
  • 46. 46 Pejabat Pemerintahan yang menyaahkan wewenangnya dalam menjalankan Admknistrasi Pemerintahan dihubungkan dengan tindak pidana korupsi. BAB V PENUTUP Bab ini merupakan kesimpulan dan saran. Kesimpulan diperoleh dari jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Saran diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang relevan dengan topik penelitian ini.
  • 47. 47 DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konsruktif-Transgresif, Refika Aditama, Jakarta, 2007. hlm. 60. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985. H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993. Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2006
  • 48. 48 Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia. 1997. Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik, Setara Press,Malang, 2011 Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998 Mochtar Kusumaatmadja, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional Dimasa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, 1995. Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000. Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005. Philipus M Hadjon , Pengkajian Ilmu Hukum, (Makalah, Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif) Universitas Airlangga, Surabaya, 1997. Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan & Yurisprudensi. Alumni, Bandung, 1979.
  • 49. 49 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum Pemerintahan yang Baik, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Desember 2007 Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995 Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009. Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni, Bandung, 1985. ______________, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 2 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati Suatu Tingjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 2007. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Idonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung, Alumni, 1994. Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2008.
  • 50. 50 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009. B. Sumber Majalah, Karya Ilmiah, Koran Dan Lain-lain Budi Parmono, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Disertasi) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Surabaya, 2011. Enny Rohyani,Implikasi Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum)Program Pascasarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2009. F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI): 2001 Indriyanto Seno Adji, Kendala Sanksi Hukum Pidana Administratif , Jurnal Keadilan, Vol. 5 No. 1 Tahun 2011. __________________, Paper, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid), Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Seminar Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Falultas Hukum Iniversitas Diponegoro, Semarang, 6-7 Mei 2004.
  • 51. 51 Irving M. Copi, Intreduction to Logic dalam PM. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika , No.6 Tahun XI November- Desember 1994. Mardjono Reksodiputro, dalam Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan, Buku Kesatu, Cet. Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994. Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi? (Dari Perspektif Hukum Pidana/Korupsi (makalah) disampaikan dalam Seminar, dengan tema Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA). di Hotel Bumi Karsa Bidakara–Jakarta, Selasa 11 Mei 2010. Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, 2009. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan
  • 52. 52 oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004. Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi diIndonesia, Penerbit BPHN Depkumham, Jakarta, 2002. Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, BPHN, Jakarta, 2002. Tatiek Sri Djatmiati, (2004) Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004. C. Sumber Websites http://asmisiangka.blogspot.co.id/2013/02/hukum-dasar-tertulis-dan hukum- dasar.html, dengan Topik: Hukum Dasar Tertulis dan Tidak Tertulis. Diakses pada tanggal 17 Nopember 2015. D. Sumber Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Neptisme.
  • 53. 53 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.