Dokumen ini membahas tentang mutu soal Ujian Nasional (UN) matematika yang dinilai masih rendah. Beberapa contoh soal UN matematika dinilai tidak bermutu karena gagal membedakan siswa yang paham dan tidak paham konsep. Membuat soal ujian bermutu tinggi memerlukan proses perancangan yang panjang dan mahal. Tantangan utama adalah apakah Badan Standar Nasional Pendidikan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mampu membuat
1. Mutu Soal UN Matematika
Iwan Pranoto
Jika yang memasalahkan dan membanggakan kesulitan soal ujian itu siswa atau orang awam,
itu wajar. Namun, sangat absurd jika seorang pendidik atau penentu kebijakan pendidikan
nasional yang membanggakan kesulitan soal ujian. Sulit atau mudahnya suatu soal tak ada
urusannya dengan mutu soal. Seharusnya seorang pendidik dan penentu kebijakan pendidikan
nasional berbicara tentang mutu soal ujian, bukan kesulitannya, apalagi digembar-gemborkan
kesulitannya. Terlebih, yang mengejutkan jika ada pendidik berkata bahwa tingkat kesulitan
soal bertambah atau soal ujian dipersulit.
Terlebih absurdnya jika soal UN yang dipersulit ditujukan agar siswa tak manja. Ini sangat
tak pantas disampaikan seorang pendidik. Ujian bukanlah sebuah kegiatan main-main dalam
sebuah proses pendidikan. Ujian adalah sebuah kegiatan akademik yang bertanggungjawab
guna mengevaluasi hasil belajar siswa. Ujian tahap akhir jenjang SD, SMP, maupun SMA tak
ada urusannya dengan sikap manja atau tidak. Jika memang dikehendaki seperti itu,
Kemdikbud harus memberikan riset yang memang menunjukkan bahwa soal sulit UN
memang akan menghilangkan sikap manja siswa. Sebelum ada risetnya, itu ucapan tak
berdasar dan tak pantas disampaikan ke masyarakat.
Soal Bermutu
Soal yang baik atau bermutu dapat ditentukan dan diukur dengan dua pertanyaan. Menurut
buku Understanding by Design: Professional Development Workbook (McTighe & Wiggins,
2004, hal. 180) sebenarnya ada 7, namun guna penyederhanaan diskusi, cukup ditinjau dua
saja di sini. Pertama, seberapa mungkin seorang siswa yang tak paham, dapat menjawab soal
itu dengan benar? Kedua, seberapa mungkin seorang siswa yang paham, tak dapat menjawab
soal itu dengan benar? Suatu soal dikategorikan bermutu tinggi jika jawab untuk kedua soal
itu adalah, “Sangat tidak mungkin.” Namun, jika jawabnya masih “Mungkin” atau “Sangat
mungkin” maka jelas itu soal yang bermutu rendah. Soal bermutu rendah ini tak mampu
mengenali siswa yang paham dan yang tidak paham.
Misalnya dicermati soal SMP tentang penjumlahan pecahan di daerah Bandung. Perlu
disebutkan di sini dari daerah Bandung, karena tampaknya kesetaraan atau keekuivalenan
soal UN ternyata perlu dipertanyakan, setelah mengamati soal dari Jatim dan Jabar. Dalam
soal matematika SMP tadi, siswa diminta untuk menjumlahkan empat bilangan pecahan. Jika
seorang siswa salah menjawab dalam soal ini, apakah pasti dia tak paham penjumlahan
pecahan? Tentu tidak! Karena perhitungannya melibatkan tiga kali operasi penjumlahan
pecahan yang rentan kekeliruan komputasi, walau tidak sulit. Akibatnya, UN tak dapat
membedakan siswa yang tak paham konsep penjumlahan pecahan dan siswa yang paham tapi
tak cermat berhitung. Kedua tipe siswa ini oleh UN akan dilabel sebagai tak paham konsep
penjumlahan pecahan.
2. Hal yang sama terjadi juga di soal SMA di daerah Bandung. Soal-soal mengenai integral
melibatkan fungsi-fungsi yang rumit. Akhirnya, sama saja, soal UN ini tak akan mampu
membedakan siswa yang tak paham konsep integral dan yang tak cermat melakukan
perhitungan integral. Dapat ditafsirkan memang bahwa pembuat soal UN tampaknya berpikir
bahwa soal yang sulit itu baik.
Padahal soal sulit mungkin saja tak bermutu, seperti dua soal UN di atas. Sebaliknya, soal
mudah mungkin saja bermutu. Soal-soal yang digunakan oleh TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study) dan apalagi PISA (Programme for
International Student Assessment) kebalikan dari karakteristik soal-soal UN. Dari tahun
2000-an soal UN matematika kita mengarah pada soal yang rumit tetapi bernalar sangat
rendah. Kebalikannya, PISA justru menajuk soal yang perhitungannya sangat sederhana,
tetapi membutuhkan proses bernalar tinggi.
Soal-soal UN kita juga mudah disiasati dengan trik yang dilatihkan di banyak bimbingan tes,
karena soal-soal kita kebanyakan punya “back doors” atau “pintu belakang.” Artinya, ada
cara untuk menemukan jawabnya tanpa perlu benar-benar mengerjakan soal itu. Misalnya
soal UN yang menanyakan perpotongan dua garis lurus. Jika pilihan jawabnya diberikan
koordinat titik potongnya secara lengkap, maka siswa cukup memasukkan ke persamaan dua
garis tersebut. Akibatnya, siswa dapat memilih jawaban yang benar, tanpa perlu paham
bagaimana menentukan perpotongan dua garis. Implikasinya, soal UN ini tak mampu
membedakan antara siswa yang paham dan yang terampil menggunakan trik. Ini alasan
mengapa soal UN matematika tak bermutu baik.
Belum lagi, dalam soal UN matematika SMA
tahun ini untuk daerah Jatim ada soal yang
salah konsep. Dalam soal itu diberikan fungsi
jarak sebuah mobil dinyatakan dalam fungsi
. Kemudian ditanyakan
“Kecepatan maksimum mobil tersebut terjadi
pada saat .” Pilihan jawabnya: A. 6 detik,
B. 4 detik, C. 3 detik, D. 2 detik, dan E. 1 detik.
Pertama, jarak adalah sebuah gagasan besaran
yang tak pernah negatif. Tetapi pada fungsi di
atas, pada saat 1, 2, 3, 4,maupun 6 satuan
(detik), nilai fungsi itu justru negatif. Apa
artinya jarak negatif (lihat gambar di samping.)
Untuk membetulkan soal ini, kata ‘jarak’
sebaiknya diganti dengan ‘posisi’ yang mana
boleh negatif.
Kedua, fungsi kecepatan mobil ini dapat
ditentukan dari fungsi di atas, yakni
turunannya. Oleh karenanya, fungsi
3. kecepatannya adalah , yang berupa garis lurus. Karena kecepatan ini fungsi
linear, grafiknya berbentuk garis lurus, tentunya tak terbatas. Artinya tak ada maksimum
maupun minimumnya. Jadi, soal ini tak mungkin ada jawabnya.
Ada kemungkinan (perlu dibuktikan) bahwa pembuat soal melakukan keteledoran saat
membuat soal ini, karena ada jawab B. 4 detik. Angka 4 ini memang dapat diperoleh dengan
menolkan , yang akan memberikan jawab Namun, pada ini,
kecepatan mobil bukan maksimum, justru kecepatannya nol.
Penjelasan yang mungkin, pembuat soal khilaf bahwa grafik parabola atau fungsi kuadrat itu
dianggapnya kecepatan. Padahal bukan. Tampaknya, siswa juga akan menjawab B ini. Dan,
mungkin akan dibenarkan. Akibatnya, siswa yang tak paham konsep turunan dianggap
paham. Sedang siswa yang tak menjawab justru akan dianggap tak paham. Menurut ukuran
mutu soal di atas, soal ini jelas tak bermutu. Ini seperti layaknya termometer rusak: Air
mendidih dikatakan 10 derajat Celcius, sedang air dari lemari es dikatakan 90 derajat Celcius.
Yang juga patut dipertanyakan, soal setara yang mengevaluasi pengetahuan dan keterampilan
siswa dalam penggunaan turunan guna menentukan titik optimum ini tak ditemui di Bandung.
Kenyataan ini tentu memunculkan keraguan kesetaraan soal UN matematika, karena
kompetensi tertentu ini diukur di suatu daerah, tetapi tak diukur di daerah lain.
Kemudian, ada satu soal yang mengundang kehebohan tersendiri, yakni soal UN SMP
matematika tentang kapal yang ditarik parasut. Soal ini sekaligus ilustrasi gambarnya ternyata
dijiplak dari PISA. Dari media sosial, kesan yang disampaikan adalah siswa panik
menghadapi soal ini. Soal ini benar-benar bercirikan PISA yang ditujukan untuk menguji
kemampuan bernalar, ketimbang keterampilan berhitung akurat. Soal ini intinya meminta
siswa untuk membuat perkiraan panjang tali parasut, yang merupakan sisi miring segitiga
siku-siku samakaki. Sedangkan diketahui tingginya 150 meter. Ditanyakan berapa kira-kira
panjang tali parasut. Pilihan jawabnya di UN adalah: A. 175 m, B. 212 m, C. 285 m, dan D.
300 m.
Tentunya, di sini siswa diharapkan dapat menggunakan pengetahuan tentang sifat segitiga
samakaki siku-siku, yakni hubungan sisi tegak dan sisi miringnya. Karena perbandingannya
, maka panjang tali adalah . Kemudian, siswa perlu ingat pengetahuan tentang
perkiraan nilai yang sekitar 1,4. Dari sini, maka panjang tali sekitar
. Jadi panjang tali sekitar 210 m. Jawab yang paling dekat adalah B.
Meskipun memang tak membanggakan menjiplak soal itu mentah-mentah untuk sebuah
dokumen negara yang menghabiskan dana setengah triliun rupiah, tetapi ada yang jauh lebih
mengganggu. Ada hal yang dapat disimpulkan tentang penulis soal UN lebih mendalam
melalui soal ini. Jawaban dan pilihan jawaban pengecoh dijiplak mentah-mentah. Padahal,
soal ini bertanya tentang perkiraan, yang mana tak perlu eksak. Artinya, sebenarnya jika
pilihan jawabnya ditambah atau dikurang satu pun tak mengapa. Ini soal estimasi, bukan
perhitungan yang menuntut ketepatan. Tetapi soal ini menjiplak mentah-mentah semua
pilihan jawabnya.
4. Urutan pilihan jawaban juga tak diubah sama sekali. Kuat diduga penjiplak soal PISA untuk
UN ini tak begitu memahami apa yang dijiplaknya. Karena jika paham, yang bersangkutan
akan memodifikasi jawaban tak perlu sama persis.
Di PISA dan di situs tentang soal-soal yang telah dipublikasikan yang memuat soal ini,
diketahui bahwa jawab yang benar adalah B. Karena dijiplak mentah-mentah, akibatnya
jawab yang benar untuk soal UN juga B. Ini akan menimbulkan masalah pelik, yang
membuat soal ini jadi bermutu sangat rendah saat di UN, padahal saat di PISA bermutu baik.
Karena sudah diketahui jawab yang benar B, siswa yang mungkin sudah melihat dan
penghafal jawab walau tak paham, akan memilih jawab B saat UN. Akibatnya, soal di UN
matematika ini akan gagal membedakan antara siswa yang paham dan siswa yang menghafal
jawab. Ini jadi masuk kriteria soal bermutu rendah.
Kesimpulan dan Tantangan
Dari kajian sedikit soal di atas, sangat sulit mengatakan bahwa soal UN sudah bermutu baik.
Pertanyaan lanjutan yang merisaukan adalah, apakah BSNP dan Kemdikbud memang
sanggup untuk membuat soal UN yang bermutu. Harus dipahami bahwa sangat sulit dan
memakan waktu panjang untuk merancang soal ujian terstandardisasi yang benar-benar
bermutu.
Menurut Heru Widiatmo yang merupakan pakar pengukuran pendidikan dan bekerja di
lembaga pengujian ACT, satu soal yang digunakan oleh ACT itu menghabiskan dana besar
dan waktu perancangan yang tak sebentar. Dikatakannya, satu soal sampai jadi menghabiskan
dana sekitar 25 juta rupiah dan membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk ujicoba dan
perbaikannya.
Ujian terstandardisasi bukan kegiatan yang dapat dilakukan secara sambil lalu, tetapi harus
sangat sungguh-sungguh. Siap kah BSNP dan Balitbang Kemdikbud membuat soal
matematika bermutu? Soal untuk ujian terstandardisasi yang bermutu buruk, apalagi
digunakan untuk penentu kelulusan dan seleksi masuk PTN, akan berdampak sangat parah.
Ada kemungkinan besar, siswa yang belum menguasai pelajarannya akan diluluskan,
sebaliknya siswa yang menguasai, malah tak diluluskan. Lebih lanjut, ada siswa yang cakap
tetapi tak diterima di PTN, dan sebaliknya ada siswa yang tak cakap tetapi diterima di PTN.
Ini akan merugikan bukan saja PTN tetapi negara, karena perkembangan keilmuan bangsa ini
akan terganjal. Siswa SMA yang berbakat dan memang seharusnya tepat mengembangkan
ilmu pengetahuan bangsa sangat mungkin tak diterima, karena UN gagal mengenali siswa ini.