Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Epistimologi Kajian Islam Melalui Rekonstruksi Abed Al Jabiri
1. Filsafat Ilmu dalam Pengkajian Islam ;
Membangun Format Epistimologi
Kajian Islam Melalui Rekonstruksi
Abed al-Jabiri
Oleh
VIVID ROHMANIYAH - 20202550018
2. Pendahuluan
Hampir 2 abad lamanya, filsafat modern yang
dimulai sejak abad ke-16 diisi oleh pergumulan
hebat antara rasionalisme dan empirisme,
sehingga seorang pakar bernama Immanuel
Kant (1724 – 1804 M) dengan karyanya yang
masyhur, Kritik der reinen Vernunt berhasil
memugar objektivitas ilmu pengetahuan
modern sehingga kemajuan berfikir manusia
dari zaman yunani kuno – abad ke-20 bahkan
sampai sekarang mengalami perkembangan.
3. • Pengetahuan ilmiyah merupakan a higher level of
knowledge dalam perangkat-perangkat kita
sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat
dipisahkan dari filsafat pengetahuan.
• Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri
mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara
untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat
pengetahuan atau epistimologi, yang secara
umum menyelidiki tentang syarat dan bentuk
pengalaman manusia, logika, dan metodologi.
5. Kegelisahan Mencaari Bentuk Epistimologi Yang
Sesuai Dengan Kajian Islam
Lahirnya beberapa aliran :
• Rasionalisme
• Empirisme
• Intuisionisme
6. Perbedaan Perspektif Ilmuan Muslim Terhadap
Sains Modern Dalam Mencari Paradigma
Keilmuan Islamic Studies :
• Pertama : Kelompok yang menganggap bahwa
sains modern bersifat universal dan netral dan
semua sains ditemukan dalam Al-Quran.
• Kedua : Kelompok yang berusaha
memunculkan sains di negara-negara Islam.
• Ketiga : Kelompok yang ingin membangun
paradigma baru (epistimologi) Islam, yaitu
paradigma pengetahuan dan paradigma
perilaku.
7. • Epistimologi dalam tradisi pemikiran Barat
bermuara dari dua pangkal pandangannya
yaitu rasionalisme dan empirisme.
• Lalu bagaimana dengan Islam ?
8. Pandangan Qardhawi :
• Pertama : Aspek metafiska yang dibawa oleh
wahyu yang mengungkapkan apa yang disebut
dengan realitas agung (al-haqaiq al-kubra).
• Kedua : Aspek humaniora dan studi-studi yang
berkaitan dengan kehidupan manusia.
• Ketiga : Aspek materi yang dibangun
berdasarkan eksperimen
10. Hasil Penelitian Terdahulu
• Abed al-Jabiri dalam mengkonstruksi
epistimologinya bermula dengan dasar
pemikiran para pendahulunya seperti Ibnu
Manzhur, Imam al-Syafi’I, Al-Jahidz (255H), Al-
Syatibi, Al-Ghazali, dan Al-Muhasibi.
11. Metode Penelitian
• Metode yang digunakan Abed al-Jabiri adalah
dekonstruktif, yaitu mengubah tradisi yang
kurang relevan dengan realitas dan bersikap
eksis terhadap tradisi yang relevan.
12. Epistimologi Abed al-Jabiri
• Bayani : dari kata al-bayan, mengacu pada karya Ibnu
Manzhur, dimana didalamnya terdapat materi
bahasa arab sejak permulaan masa tadwin, yang
masih mempunyai makna asli yang belum tercampuri
oleh pengertian lain.
• Burhani : mengukur benar tidaknya sesuatu adalah
dengan berdasarkan kemampuan manusia berupa
pengalaman manusia dan akal, terlepas dari teks
wahyu yang bersifat sakral dan dapat memunculkan
peripatik.
13. • Irfani : Dalam bahasa Arab semakna dengan
ma’rifah. Di kalangan para sufi, ma’rifah di sini
diartikan sebagai pengetahuan langsung
tentang tuhan berdasarkan atas wahyu atau
petunjuk tuhan.
14. Ruang Lingkup dan Istilah Kunci
Penelitian
• Ruang lingkup dan istilah kunci penelitian
dalam kajian Muhammad Abed al-Jabiri
adalah merujuk pada konsep epistimologinya
yang dibangun dengan konstruksi bayani
(penjelasan), Irfani (pengalaman atau
pengetahuan langsung), dan burhani
(kekuatan natural manusia berupa indra).
15. Kontribusi dalam Ilmu-Ilmu Keislaman
• Diperlukannya perangkat kerangka analitis
epistimologis yang khas, yang disebut oleh
Muhammad Abed al-Jabiri dengan epistimologi,
bayani, irfani, dan burhani. Karena menurut al-
Jabiri, corak epistimologi bayani didukung oleh
pola pikir Fiqh dan Kalam. Sedangkan corak
pemikiran irfani kurang begitu disukai oleh
tradisional keilmuan bayani.
16. Kesimpulan
Kesimpulan sementara bahwa kebudayaan ilmu
dibangun atas fondasi tata karena nalar burhani,
sedangkan kebudayaan fiqh dibangun di atas
otoritas teks dan otoritas salaf dengan qiyas
sebagai metode kerja yang utama, sedangkan
kebudayaan filsafat dibangun di atas koherensi
argumen-argumen logika.