1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian utama para cendekiawan muslim dimasa
silam. Mereka sepenuhnya menyadari tentang pentingnya mendefinisikan ilmu untuk mencari
klarifikasi, mengidentifikai skop dan limitasinya, menjelaskan sumber-sumber,menerangkan
metode-metodenya, serta mengklarifikasikannya kedalam berbagai disiplin, menjelaskan
hierarki dan interelasinya. Berbagai upaya yang terus menerus dalam mengetengahkan
eksposisi ilmu terinspirasi oleh keyakinan yang kuat terhadap doktrin ajaran islam yang paling
fundamental, yaitu tauhid.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Al-Irfani?
2. Apa sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani?
3. Bagaimana perkembangan epistemologi Al-Irfani?
4. Metode (proses dan prosedur) apa yang di gunakan dalm epistimologi irfan?
5. Apa konsep dari metode irfani?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian epistemologi Al-Irfani.
2. Untuk mengetahui sumber yang di gunakan dalam epistimologi irfani.
3. Untuk mengetahui perkembangan epistemologi Al-Irfani.
4. Untuk mengetahui (proses dan prosedur) yang di gunakan dalam metode irfani.
5. Untuk mengetahui konsep dari metode irfani.
2. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Irfani
Mengerti makna irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar
(masdar) dari kata arafa yang semakna dengan ma‟rifat. Dimana objek pengalaman atau
pengetahuan yang di peroleh langsung oleh objek pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak di
dasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada tasauf, tersikapnya rahasia-raahasia dari tuhan,
singkatnya pengertian irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan atas pendekatan
dan pengalaman langsung(direct exprience) atas realitas spritual keagamaan.
Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman
langsung atas realitas spritual keagamaan, berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat
eksoteris, sasaran bidik irfani adalah bagian esoteris(batin) teks, karena itu rasio berperan
sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut.
Menurut sejarahnya, epistimologi ini telah ada baik di persia ataupun yunani jauh sebelumnya
datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi, kristen maupun islam. Sementara dalam tradisi
(sufisme) islam, ia baru berkembang sekuitar abad ke 3H/9M dan abad 4H/10M, seiring dengan
berkembangnya doktrin ma”rifah yang di yakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang
tuhan. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara pengetahuan yanag di peroleh
oleh indra (sense al-hisst) dan akal atau keduanya dengan pengetahuan yang di peroleh
melalui kasyf (ketersingkapan) Ilham, iyan atau isyaraq. Di kalangan mereka irfan di mengerti
sebagai ketersingkapan lewat pengalaman inditiuitif akibat persatuan antara yang mengetahui
dan yang di ketahui,(ittihd al-arif wa al-ma”ruf)yang telah di anggap sebagai pengetahuan tinggi,
sedangkan para ahli- al-irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai al-naql
dan al- tauzif, dan upaya menyikap wacana qur‟ani dan memperluas ibarahnya untuk
memperbanyak makna, jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang di pergunakan
dalm kajian pemikiran islam oleh para mutasawwifun dan arfun untuk mengeluarakan makna
batin lafz dan ibarah, dia juga merupakan istimbad al- ma‟rifah, al-qalbiyah dari al-qur‟an,diman
3. pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin,qalb,wijban,basirah
dan intuisi.
Irfan dari kata dasar bahasa Arab „raafa yang berarti pengetahuan. Tetapi irfani berbeda
dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experimence), sedang ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bias diartikan
sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan
kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya ruhani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta
(love). Sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric syareat.
B. Sumber Asal Irfani
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfani. Pertama menganggap bahwa irfan
islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk.
Alasannya, sejumlah besar orang-orang majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka
setelah penaklukan islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Dan
pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma‟ruf Al-Kharki (w. 815 M)
dan Bayazid Busthami (w.877 M).
Kedua,irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer,
Ignaz,Goldziher,Nicholson,Asin Palacios dan O‟lery. Alasanya,(1) Adanya interaksi antara
orang-orang arab dan kaum nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. (2) Adanya
segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih
jiwa(riyadlah) dan mengasing diri(khalwat),
Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat horten dan hortman. Alasanya, (1) kemunculan
dan penyebaran irfan (tasawuf)pertama kali adalah khurasan. (2) kebanyakan dari para sufi
angkatan pertama bukan dari kalangan arab, seperti ibrahim ibn adham (w.782 M), al-balkh
(w.810 M) dan yahya ibn muadz (w.871 M). (3) sebelum masa islam, Turkistan adalah pusat
agama dan kebudayaan timur serta barat. Mereka memberi warna mistissismelama ketika
memeluk islam. (4) konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih
adalah praktek-praktek dari India.
4. Keempat, irfan beraal dari sumber-sumber yunani,khususnya neo-platonisme dan hermes,
seperti disampaikan O‟leary dan Nicholson. Alasannya, “theology aristoteles” merupakan
paduan antara system porphyry dan proclus telah dikenal baik dalam filsafat islam. Namun
,menurut Dzun Al-Nun al-Misri (796-861 M),irfan diadopsi dari ajaran hermes, sedang
pengambilan dari teks-teks Al-Qu‟ran sebagai contoh, istilah maqamat yang secara Lafdz dan
maknawi diambil dari Al-Qur‟an (QS. Al-Fushilat 164).
Dengan demikian, irfan sesungguhnya berasal dari sumber islam sendiri, tetapi dalam
perkembangannya kemudian di pengaruhi oleh factor luar, yaitu yuinani, Kristen, hindu atau
yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson,Louis Mssignon,Spencer Trimingham
juga menyatakan hal yang sama tentang sumber-sumber asal irfan atau sufisme islam.
C. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
1. Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini disebut irfan baru
dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Karakter askestisme periode ini adalah (1)
berdasarkan ajaran al-quran dan sunnah, yakni m,enjauhi hal-hal duniawi demi meraih
pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk
menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motifasi zuhudnya adalah rasa
takut, yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
2. Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriyah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme
mulai berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali
ri‟ayat huquq Allah karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan
pertama tentang irfani. Laku askestisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar
takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah Adawiyah (w.801 M),
Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan
mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model prilaku irfan yang paling
dini atau irfan periode awal.
5. 3. Fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijriyah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufisme
mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku,
sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini
lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut sarana
dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan
manusia dengan-Nya. Dengan demikian dengan fase ini, irfan telah mengkaji soal moral,
tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif langsung pada tuhan, kefanaan
dalam realitas mutlak. Pencapaian kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih
pada psiko-moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap
secara jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis
fase ini telah merancang suatu system yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena
bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.
4. Fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa
gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain sai abu
khair (w.1048 M) yang menulis ruba‟iyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf
al-mahjub, dan Abdullah al-anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa‟irin, salah satu
terpenting dalam irfan. Puncaknya al ghazali (w. 1111 M) menulis ihya‟ ulum al-Din yang
menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer,
ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai
pengenalan serta kefanaandalam tauhid dan kebahagiaa.
5. Fase Spesikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar,
lrfani memjadi semakin dukenal dan berkembangan dalam masyarakat islam. Dengan
demikian, pada fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam
dua aliran. (1) Irfan Sunni, menurut istilah taftazani, yang cenderung pada perilaku
praktis(etika)dalam bentuk tarikat-tarikat,(2) Irfan Teoritis yang didomlnasi pemikiran
filsafat. Disampingitu, dalam pandangan jabirin, ditambah aliran kebatinan yang
didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut Matahari, irfan praktis tetap tidak sama
dengan etika dan irfan teoris berbeda dengan filsafat.
6. 6. Fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami
perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih
cenderung pada pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih
menekan bentuk ritus dan formalisme, yang mendoring mereka menyimpang dari
substansi ajarannya sendiri.
D. Metode Irfani
Pengetahuan irfani diperoleh dengan oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati, Tuhan akan
melimpah pengatahuan langsung kepadanya. Secara metodologis, pengetahuan ruhani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,(1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan
baik secara lisan atau tulisan.
1. Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),
seseorang yang biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah yang
harus dilalui. Namun, setidaknya ada tujuh tahapan yang dijalani, yang semua ini
berangkat dari tingkatan paliang dasar menuju pada tingkatan puncak.(1) Taubat
meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam
untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Perilaku
taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan pertama, taubat dari perbuatan dosa
dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan), dan
puncaknya taubat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan taubat. (2) Wara‟,
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya(subhat). Dalam tasawuf,
wara‟ ini terdiri atas dua tingkatan, yaitu lahir dan batin. Wara‟ lahir berarti tidak
melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah kepada Tuhan, sedang wara‟ batin adalah
tidak memasukkan sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan.(3) Zuhud, tidak tamak
dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Namun demikian, zuhud bukan berarti
meninggalkan harta sama sekali. Menurut Al-Syibli seseorang tidak dianggap zuhud jika
hal itu terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa hati
tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan (meski disana ada banyak
kekayaan). (4)Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa
kini dan masa akan datang, dan tidak menghentikan sesuatu apapun kecuali Tuhan
SWT, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak menginginkan sesuatu
7. apapun. Tingkat faqir merupakan realisasi dari upaya pensucian hati secara
keseluruhan dari segala yang selain Tuhan (tathhir al-qalbi bi al-kulliyah „anma siwa
Allah). (5) Sbar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.Ini
tahapan lebih lanjut setelah seseorang mencapai tingkat faqir. (6) Tawakkal, percaya
atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari tawakkal adalah menyerahkan
diri pada Tuhan laksana mayat dihadapan orang yang memandikan.. (7) Ridla,
hilangnya rasa ketidak senagan dalam hati sehingga yang tersisa hanya genbira dan
sukagita. Ini adalah puncak dari tawakkal.
2. Tahap kedua, tahap penerimaan. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai
objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut,
karena bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang
mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad). Dalam persepektif epistemologis,
pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui representasi atau data-data indera
apapun,bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan
gagasan umum pengetahuan ini.
3. Tahap ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian
pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan
kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
E. Konsep Metode Irfani
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep lafadz dan makna, dalam irfani terdapat
konsep dzahir dan bathin sebagai kerangka dasar atas pandangannya terhadap dunia (world
view) dan cara memperlakukannya. Pola pikir yang pakai kalangan irfaniyun adalah berangkat
dari yang bathin menuju yang dzahir, dari makna yang menuju lafadz. Bathin, bagi mereka
merupakan sumber pengetahuan, karena bathin adalah hakekat, sementara dzahir teks (al-
qur‟an dan al-Hadist) sebagai perlindungan dan penyinar. Irfaniyyun berusaha menjadikan
dzahir nash sebagai bathin.
8. Pola pikir seperti itu dikalangan irfaniyun telah banyak ditunjukkan al-jabiri. Al-Ghozali misalnya
menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh al-qur‟an adalah batinnya, bukan dzahirnya. Agar
hakekat dapat disingkap, makna harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikutinya. Demikian
halnya al-Muhasibi, sebagaimana dikutib al-Jabiri, menjelaskan bahwa yang dzahir adalah
bacaannya (tilawah) dan yang bathin adalah ta‟wilnya. Ta‟wil disini diartikan sebagai
transportasi ungkapan dzahir ke bathin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk bathin).
Apabila dalam ta‟wil bayani memerlukan susunan bayan seperti wajh syibh (illat) ataupun
adanya pertalian lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-ma‟nawiyyah) maka ta‟wil irfani
tidak memerlukan persyaratan dan perataraan. Takwil irfani tidak berpedoman padadzahir
lafadz, tetapi justru mengalihkannya pada wilayah pengetahuan yang, menurut mereka, disebut
dengan hakekat melalui isyarat. Dalam pola pikir seperti ini, pemahaman dihasilkan melalui al-
iyan atau al- irfani, dan karenanya bersifat langsung.
Demikian, konsep dualisme dzohir dan batin dalam memahami teks tidak memiliki dimensi
kemanusian. Bagi irfaniyyu, baik makna yang dzahir dan batin sama-sama berasal dari tuhan,
yang dzahir adalah turunnya (tanzil) kitab dari tuhan melalui para nabinya, sedang yang batin
adalah turunnya pemahaman (al-fahm) dari tuhan lewat kalbu sebagian kaum ini, dalam hal ini
kaum irfaniyyun. Allah menciptakan segala sesuatu terdiri dari dzahir dan batin, termasuk
menciptakan al-qur”an. Yang dzahir adalah bentuk yang dapat di indra (al-shurah al-hissiyah),
sementara yang batin sesuatu yang bersifat ruhiyah. Dengan demikian firman tuhan secara
batin sama dengan hukum yang terdapat pada dzahir yang terindra. Ruh(spirit) maknawi yang
bersifat ketuhanan, yang hadir dalam bentuk teks yang dapat di indra inilah oleh ibn-arabi di
sebut sebagai I‟tibar al-bathin.
9. BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Epistemologi Al-Irfani yaitu pengetahuan, disni pengetahuan diperoleh melalui penyinaran
hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya(kasyf).
Irfani berarti pengetahuan, dimana pengetahuan ini diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experiment) atas realitas spiritual keagamaan.
Sumber asal irfani berasal dari sumber islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya diperoleh
oleh faktor luar, yunani, kristen, hindu dan yang lainnya.
Perkembangan Irfani, dibagi menjadi 5 fase:
1. Fase pembibitan disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhud (askestisme).
2. Fase kelahiran: zuhid dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut
atau harapan mendapat pahala.
3. Fase pertumbuhan: tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi moral keagamaan
(akhlaq).
4. Fase puncak: mencapai masa gemilang dan pada fase puncak ini banyak besar yang
lahir dan menulis tentang irfan.
5. Fase spesikasi: irfani terpecah dalam dua aliran yaitu, irfan sunni menurut istilah
taftazani yang cendrung kepada prilaku praktis (etika), dalam bentuk tarikat-tarikat, dan
irfan teoritis yang di dominasi pemikiran filsafat.
6. Fase kemunduran: irfan tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan mengalami
kemunduran.
10. Metode irfan:
1. Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),
seseorang yang biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan
jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
2. Tahap kedua, tahap penerimaan. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang
diketahui
3. Tahap ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian
pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan
kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
Dalam irfani di gunakan konsep dzahir dan batin.batin adalah hakikat dari sumber pengetahuan,
sedangkan dzahir adalah teks(al-Qur‟an dan al-Hadits) sebagai pelindung dan penyinar.
DAFTAR PUSTAKA
Sumarna, Cecep.2004. filsafat ilmu dari hakikat menuju nilai. Bandung:pustaka bani quraisy.
Karta negara, Mulyadi,2003. Pemikiran islam kontemporer.yogjakarta.
http://www.geocities.com/tarjikh/manhaj-tarjih/manhaj-pengembangan-pemikiran-islam.htm
citarosa.
Khodorisoleh.MA.g.2004, wacana baru filsafat islam.yogjakarta:pustaka pelajar.
http://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/26/epistemologi-al-irfani-2/