POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
Filsafat final
1. EPISTEMOLOGI ISLAM
(EPISTEMOLOGI BAYANI, IRFANI & BURHANI)
Makalah
Dipresentasikan pada
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Pembimbing : Drs. H. Moh. Afif
Disusun Oleh :
Ainur Rifqi (111 314)
Siti Mufarikhah (111 315)
Suko Wahyudi (111xxx)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYAH
TAHUN 2014
2. 1
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang
paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang
begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis.
Secara etimologis, Epistemologi merupakan bentukan dari dua kata dalam
bahasa Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan Logos yang juga
berarti pengetahuan atau informasi. Dari pengertian secara etimologis tersebut di
atas dapatlah dikatakan bahwa Epistemologi merupakan pengetahuan tentang
pengetahuan.
Oleh karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis,
karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan.
Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan sangat
berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Dan dalam
dunia islam epistemologi islam dibagi menjadi 3 yaitu : Epistemologi Bayani,
Burhani, Dan Irfani.1
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang timbul dari latar belakang diatas
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian Epistemologi Bayani, Burhani, Dan Irfani ?
2. Bagaimana Sumber Yang Digunakan Pada Epistemologi Bayani,
Burhani, Dan Irfani ?
3. Bagaimana Keunggulan Dan Kelemahan Dari Corak Berfikir Bayani,
Burhani, Dan Irfani ?
1 Harry Hamerma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta:
Karisusu, 1992), hlm. 15
3. 2
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Bayani, Burhani, Dan Irfani
a. Bayani
Dari kata-kata bahasa arab, bayan berarti penjelasan atau keterangan.2
Namun dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab
yang menekankan pada otoritas teks secara langsung atau tidak langsung, dan
dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi.
Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun
secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau
rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar
pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan
pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran
bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).3
b. Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan
atau menjernihkan. Menurut ulama’ ushul, al-burhan adalah sesuatu yang
memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang
salah melalui penjelasan. Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi
bawaan manusia secara naluriyah, indrawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi.
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa
sumber ilmu pengetahuan adalah akal-akal. Epistemologi burhani ini dalam
bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti
mu’tazilah dan ulama-ulama moderat.
2 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya
Agung, 1990)
3 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2007), hlm. 18.
4. 3
c. Irfani
Mengerti makna irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab
merupakan bentuk dasar dari kata arafa yang semakna dengan ma’rifat. Dimana
objek pengalaman atau pengetahuanyang diperoleh lengsung dari objek
pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani tetapi
pada tasawuf, tersikapnya rahasia-rahasia dari Tuhan. Dengan demikian
pengertian irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan atas
pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan.
Irfani dari kata dasar bahasa arab ‘arafa yang berarti pengetahuan. Tetapi
irfani berbeda dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh
secara langsung lewat pengalaman, sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan
yang diperoleh lewat transformasi atau rasionalitas. Karena itu secara
terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah
adanya ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.
2. Sumber Yang Digunakan Pada Epistemologi Bayani, Burhani, Dan
Irfani
1. Sumber Pengetahuan Bayani
Meskipun menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi,
epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul al-fiqh, yang
dimaksut nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan As-
Sunnah. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada
rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh perhatian
besar dan teliti pada proses tranmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting
bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan, di dalam bayani, benar tidaknya
transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika
tranmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa
dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisi teks diragukan, maka
kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan itu berarti ia tidak bisa
dijadikan untuk landasan hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa kodifikasi,
5. 4
khususnya kodifikasi hadits, para ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah
teks yang diterima.
2. Sumber Pengetahuan Burhani
Model sistem berfikir burhani ini bersandar pada empiris dan rasio, yang
dilakukan lewat dalil-dalil logika. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan
keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indra. Metode burhani diadaptasi
oleh kaum peripatetik (al-Farabi dan Ibn Sina) ke dalam tradisi islam yang juga
dikembangkan oleh Ibn Rusyd sebbagai pengetahuan mendampingi epistemologi
bayani yang diyakininya sejalan dengan perintah al-Qur’an dan al-Hadits.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan selain bersumber
pada yang empiris, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti
Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa
syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya
konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan, (3) kesimpulan yang diambil
harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulakan kebenaran
atau kepastian lain. Kemudian, ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut
al-‘Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan
hanya melalui premis-premis logika.4
3. Sumber Pengetahuan Irfani
Epistemologi irfani bersumber dari kedalaman wujud sang ‘arif itu
sendiri, dari segi media atau alat pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman-
kesejatian wujud sang ‘arif; dari segi objek pengetahuan, ia menjadikan wujud
sebagai objek kajiannya; dari segi cara memperoleh pengetahuan, ia diperoleh
dengan cara menyelami wujud kedirian melalui metode riyadhoh.
Pengetahuan irfani dilatarbelakangi oleh pandangan tentang keterbatasan
akal manusia untuk menangkap realitas. Dengan demikian pengetahuan irfani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan; untuk bisa menerima
4 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (yogyakarta: Teras, 2009), hlm.
86
6. 5
limpahan pengetahuan manusia harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan
spiritual. (2) penerimaan; jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme
seseorang akan mendapatkan limpahan langsung dari Tuhan secara iluminatif.
Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak, sehingga dengan kesadarn itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri
sebagai objaek yang diketahui. Pengungkapan, dengan lisan ataupun tulisan.
3. Keunggulan Dan Kelemahan Dari Corak Berfikir Bayani, Burhani,
Dan Irfani
pada prisipnya, islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif
sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga
kecenderungan epistemologi yang ada, dalam perkembangannya lebih didominasi
oleh corak berfikir bayani yang sangat tekstual dan corak berfikir irfani yang
sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada
penggunaan rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadits)
sebagai sumver utama hukum islam yang bersifat universal sehingga menjadi
pedoman dan patokan. Dikarenakan bayani menempatkan akal menjadi sumber
sekunder, sehingga kurang adanya keseimbangan , saling mengisi, dan saling
melengkapi antara teks dan akal.
Sistem berfikir yang kontruksi epistemologinya dibangun di atas semangat
akal dan logika dengan premis merupakan keunggulan epistemologi burhani,
nemun kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah
sering tidak sinkronnya teks dan realitas.
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang
bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah dan muka syafah lebih dekat dengan
kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentsi-argumentasi rasional
dan akal. Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia
7. 6
hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf
pensucian diri yang tinggi.5
D. KESIMPULAN
1. Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks dan
bersumber pada teks, yakni teks nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), teks non
nash berupa karya para ulama.
2. Epistemologi burhani adalah bahwa untuk mengukur benar tidaknya
sesuatau berdasarkan komponen kemampuan alamiyah manusia.
Perpaduan dari epistemologi bayani dan burhani muncul nalar abduktif
yakni mencoba memadukan model berpikir deduktif dan induktif.
3. Epistemologi irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi, dari
irfani muncul illuminasi.
5 Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat
Islam (Cet. II; Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 66
8. 7
Daftar Pustaka
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990)
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (yogyakarta: Teras, 2009)
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)