1. EPISTEMOLOGI ISLAM:
BAYANI, BURHANI, DAN IRFANI
(Pemikiran Al Jabiri)
Oleh:
1. Alfa Rizal Matofani ( 2010911007 )
2. Muhamad Setio Adi ( 2010911029 )
Pendidikan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah
Jember
3. Epistimologi adalah suatu
cabang filsafat yang bersangkut
paut dengan teori
pengetahuan. Jadi epistimologi
adalah kata, pikiran, percakapan
tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasar-
dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang
dimiliki.
Poinya adalah, epistemologi
adalah bagaimana atau cara
seseorang untuk mendapatkan
dan menemukan sebuah
pengetahuan, maka dalam hal
ini adalah bagaimana
menemukan sebuah
pengetahuan islam melalui
epistemologi Bayani, Burhani
dan Irfani sehingga keilmuan
islam bersifat
kontekstual, kemanusian dan
bersifat komprehensif.
PEMBAHASAN
4. BIOGRAFI AL JABIRI
• Beliau memiliki nama lengkap Muhammad ‘Abid Al-Jabiri. Tercatat
lahir di Provinsi Fegig (Figuig) pada tanggal 27 Desember 1935 dalam
keluarga yang aktif dalam kegiatan berpartai untuk mendukung
kemerdekaan. Nama Al-Jabiri tidaklah asing apabila kita mengkaji
mengenai pemikiran-pemikiran Islam kontemporer. Beliau
melahirkan suatu proyek pemikiran fenomenal, yaitu kritik terhadap
nalar Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi).
• Alasan dari kritik yang diajukan Al-Jabiri adalah demi mengangkat
umat Islam dari stagnansi karena pemahaman pada tradisi (turats)
secara sirkular, tidak mengarah pada pembaharuan.
• Al-Jabiri menawarkan rekonstruksi untuk menyikapi Turats Arab
dengan perangkat serta metodologi yang khas bagi pemikiran
Islam. Dengan begitulah rekonstruksi epistemologi versi Al-Jabiri
yakni; bayani, irfani, dan burhani selanjutnya masyhur dalam dunia
pemikiran Islam.
5. EPISTIMOLOGI BAYANI
Bayânî (Arab) berarti penjelasan (explanation),menyingkap, dan
menjelaskan sesuatu, dan menjelaskan sesuatu, yakni menjelaskan
maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafazh yang paling
baik (komunikatif). Epistemologi bayani merupakan metode pemikiran
gaya Arab yang mengutamakan pemahaman atas teks, tanpa
mengkaitkannya dengan konteks melalui penggunaan akal.
Menurut al-Jabiri, persoalan lafaz-makna muncul tiga persolan, yaitu:
1. Makna suatu kata, didasarkan atas konteksnya atau pada makna
aslinya (tauqifi).
2. Analogi bahasa, hal ini diperbolehkan, tetapi hanya pada sisi logika
bahasanya, bukan pada lafaz atau redaksinya.
3. Pemaknaan atas asma` asy-syar`iyyah. Dalam pemaknaanya harus
dimaknai sesuai dengan kebudayaan Arab, tidak bisa didekati
dengan budaya dan bahasa lain.
6. Cara
memperoleh
pengetahuan
Pertama, berpegang
pada lafaz (redaksi) teks,
dengan menggunakan
kaidah bahasa Arab,
seperti nahwu dan sharf
sebagai alat analisis.
Kedua, berpegang
pada makna teks
dengan menggunakan
logika, penalaran atau
rasio sebagai alat
analisis.
7. Penggunaan logika
Pertama, berpegang pada tujuan pokok (al-maqasid
ad-duryriyyah) diturunkannya teks yang mencakup
darurat al-khamsah. yaitu bertujuan untuk menjaga
keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Disinilah tempat penalaran rasional.
Kedua, berpegang pada illat teks. Untuk menentukan
atau mengetahui adanya illat teks dapat digunakan
atau memerlukan penalaran. yang disebut dengan
masalik al-illah. Biasanya yang populer terdapat tiga
jalan illat yaitu: (1) nash; (2) ijma`; (3) as-sibru wa at-
taqsim dengan cara merangkum sifat-sifat baik untuk
dijadikan illat pada asal (nash), kemudian illat tersebut
dikembalikan kepada sifatsifat tersebut
8. EPISTEMOLOGI BURHANI
Epsitemologi burhani ilmu pengetahuan bersumber pada realitas, baik
realitas alam, maupun realitas sosial, dan kemanusiaan (humanities).
Epistemologi burhani disebut juga dengan pendekatan ilmiah dalam
memahami agama atau fenomena keagamaan. Epistemologi burhani
dapat menggunakan pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi,
psikologi, filsafat dan bahasa (hermeneutika).
1. Burhani menyandarkan diri
pada rasio, akal, yang dilakukan
lewat dalil-dalil logika.
2. Burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-
prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah
diyakini kebenarannya.
9. Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan
silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-Qiyas
al- Jami yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah suatu
bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama
sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai.
• Tahap pengertian (ma`qulat),
• Tahap pernyataan (ibarat),
• Tahapan penalaran (tahlilat).
Sebelum dilakukan
silogisme, terdapat
tahapan-tahapan yang
harus dilalui sebagai
berikut:
• Mengetahuai latar belakang dari penyusunan premis,
• Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan,
• Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan
benar.
Menurut Al-Jabiri, dalam
penarikan kesimpulan
dengan silogisme harus
memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
10. Fungsi dan peran akal pada epistimologi ini tidak
untuk mengukuhkan kebenaran teks seperti
dalam nalar bayani, tetapi lebih ditekankan untuk
melakukan analisis dan menguji terus menerus
(heuristik) kesimpulan-kesimpulan sementara dan
teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika
keilmuan.
11. EPISTIMOLOGI IRFANI
Irfani berasal dari kata ‘irfân (Arab) merupakan bentuk dasar (mashdar)
dari kata ‘arafa, yang semakna dengan ma‘rifah. Dalam bahasa Arab,
istilah al-‘irfân berbeda dengan kata al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukkan
pemerolehan obyek pengetahuan (al-ma‘lûmât) melalui transformasi
(naql) ataupun rasionalitas (‘aql), sementara’irfân atau ma‘rifah
berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan
objek pengetahuan. Jika sumber pokok (origin) dari ilmu pengetahuan
dalam pendekatan bayânî adalah teks (wahyu), maka dalam pendekatan
‘irfânî, sumber pokoknya adalah experience (pengalaman), yakni
pengalaman hidup yang otentik, dan sesungguhnya, yang merupakan
pelajaran tak ternilai harganya. Secara kebahasaan, irfani berarti agnostik
(sufi), karena ia lebih dekat maknanya dengan intuisi. Bila dikaitkan
dengan epistemologi, maka irfani merupakan metode berfkir intuitif, yang
bersifat spiritual untuk memperoleh pengetahuan.
• Bersifat Subyektif, semua orang dapat melakukannya dengan tingkatan
dan kadarnya masing-masing.
• Irfani sebagai metode perolehan pengetahuan langsung kepada subjek
dalam tasawuf yang dinamakan ma’rifah.
12. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga
tahapan yaitu:
• Tahapan pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),
seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan Spiritual. Setidaknya ada
tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, yaitu: Taubat,
Wara’, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha.
• Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme,
seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara
illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang
demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu mampu melihat realitas
dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui.
• Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapan
kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani
bukan masuk tataan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan diri
dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini
bisa diungkapkan, dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi.
13. KONTRIBUSIEPISTEMOLOGIBAYANI,BURHANI
DANIRFANIDALAM ILMUPENGETAHUAN
Untuk mengetahui kontribusi epistemologi Al Jabiri dalam ilmu
pengetahuan, khusunya ilmu-ilmu keislaman, maka harus dijelaskan
lebih dahulu hubungan ketiga nalar bayani, irfani dan burhani.
Menurut M. Amin Abdullah, hubungan ketiga nalar dalam
epistemologi Al Jabiri dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu
hubungan paralel, linear dan sirkular. Bentuk hubungan paralel
mengasumsikan bahwa dalam diri ilmuwan terdapat tiga nalar bayani,
irfani dan burhani, akan tetapi dijalankan terpisah tidak ada dialog
antara ketiganya.
Sementara itu apabila pola hubungan ketiga nalar bayani, irfani dan
burhani berlangsung secara linear juga akan mengantarkan ilmuwan
pada jalan buntu pengetahuan. Ilmuwan akan mengutamakan salah
satu nalar dan mengesampingkan dua nalar lainnya. Melalui nalar
bayani, irfani, dan burhani dalam balutan takwil al ilmi, maka Islam,
melalui teks keagamaannya dapat berdialog dengan disiplin keilmuan
modern.
14. KESIMPULAN
Epistemologi bayani, irfani dan burhani merupakan hasil kegelisahan
Muhammad Al Jabiri terhadap tradisi Arab yang karenanya
menyebabkan kemun-duran dalam keilmuan. Karena Islam sangat
lekat dengan tradisi Arab, maka keunduran Arab identik dengan
kemunduran Islam. Dengan metode dan kerangka kerjanya masing-
masing episitemologi harus berhubungan secara sirkular, sehingga
tidak ada dominasi satau atas lainnya untuk menggerakkan takwil al
ilmy. Sehingga pembacaan teks keagamaan dapat menjawab
tantangan manusian kontemporer dunia modern. Melalui metode
takwil al limy yang di dalamnya tercakup penafsiran hermeneutik,
maka Islam mampu berdialog dengan disiplin ilmu lain sekaligus
memberi solusi terhadap problem manusia secara lebih humanis dan
komprehensif.