Dokumen tersebut merupakan laporan hasil penelitian tentang model kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan dalam rangka percepatan pembangunan sosial ekonomi wilayah perbatasan. Penelitian ini membahas kondisi kinerja pelayanan publik dan pembangunan sosial ekonomi di beberapa kabupaten perbatasan beserta kebutuhan penataan kelembagaan pengelolaan wilayah perbatasan.
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
MODEL KELEMBAGAAN
1.
2.
3. PUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN APARATUR III
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA ( LAN )
S A M A R I N D A
SERI PENELITIAN ADMINISTRASI NEGARA
Model Kelembagaan
Pengelolaan Kawasan
Perbatasan dalam Rangka
Percepatan Pembangunan
Sosial Ekonomi Wilayah
Perbatasan
4. MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN DALAM
RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH
PERBATASAN
170 + xii, 2006
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 979-1176-05-1
1. Model Kelembagaan 2. Kawasan Perbatasan 3. Pembangunan Sosial Ekonomi
Tim Peneliti :
Tri Widodo W. Utomo, SH., MA (Peneliti Utama)
Dr. Meiliana, SE.,M.Si (Peneliti)
Said Fadhil, S.IP (Peneliti)
Hj. Syarifah Farida, SE (Pembantu Peneliti)
Siti Zakiyah, S.Si. (Pembantu Peneliti)
Windra Mariani, SH (Koordinator Penelitian)
Sekretariat :
Hj. Lasmiati, SE
Arita Saidi
Editor :
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Siti Zakiyah, S.Si.
Said Fadhil, SIP
Mayahayati K., SE
Windra Mariani, SH
Mustari Kurniawati, S.IP
Veronika Hanna N, SS
Diterbitkan Oleh :
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)
LAN Samarinda
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan /
ataudendapalingbanyakRp.5.000.000.000,-(limamiliarrupiah).
(2) Barangsiapadengansengajamenyiarkan,memamerkan,mengedarkan,ataumenjualkepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjarapalinglama5(lima)tahundan/ataudendapalingbanyakRp.500.000.000,-(limaratusjutarupiah).
5. KATA PENGANTAR
Semenjak kasus Sipadan dan Ligitan bergulir, dan disusul oleh
kasus Blok Ambalat, perhatian pemerintah untuk menata kawasan
perbatasan baik darat maupun laut, semakin menunjukkan keseriusan.
Hal ini dapat dikatakan sebagai blessing in disguise atau berkah
tersembunyi dibalik peristiwa yang terjadi.
Secara faktual, kawasan perbatasan merupakan sebuah kawasan
yang sangat tertinggal dibanding wilayah lain di bumi nusantara. Oleh
karena itu, perhatian yang lebih baik untuk membangun kawasan ini
patut dan harus didukung sepenuhnya oleh berbagai pihak, baik pada
level daerah maupun di tingkat pusat.
Sayangnya, saat ini kita sangat miskin dengan konsep dan
kebijakan pengembangan kawasan perbatasan yang terpadu,
komprehensif, berjangka panjang, dan dapat dioperasionalkan. Yang
justru berkembang dewasa ini adalah wacana dalam bentuk pemikiran
atau gagasan yang terpencar (scattered) dan disuarakan oleh berbagai
pihak. Dampaknya, program pengembangan kawasan perbatasan
belum konkrit dan dapat dirasakan oleh masyarakat di wilayah yang
bersangkutan. Indikator-indikator pembangunan tetap saja
menunjukkan angka negatif, baik pada sektor ekonomi, sosial, maupun
pelayanan publik.
Dari berbagai aspek pengembangan kawasan perbatasan,
kelembagaan merupakan salah satu dimensi yang paling penting (focal
point). Sayangnya, pada aspek kelembagaan perbatasan inipun hingga
kini belum ada langkah tegas dari pemerintah mengenai format,
kewenangan, hubungan tata kerja, dan mekanisme manajerialnya.
Yang justru berkembang dewasa ini adalah munculnya berbagai
konsep penataan kelembagaan dari berbagai kelompok yang memiliki
kepentingan berbeda-beda. Hasilnya, hingga saat ini perbatasan masih
saja berada pada titik semula (status quo). Disini terlihat adanya gap
antara keinginan untuk membangun wilayah perbatasan secepat dan
seoptimal mungkin, dengan fakta bahwa ternyata pemerintah (beserta
stakeholder yang lain) belum banyak melangkah. Hal ini tentu saja
sangat disayangkan. Oleh karenanya, diharapkan seluruh komponen
I
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
6. yang terkait dengan masalah perbatasan dapat menyatukan visi,
persepsi, dan program kerja secara sinergis agar benar-benar dapat
mencapai hasil maksimal.
Dalam rangka turut membangun sinergitas pembangunan wilayah
perbatasan, PKP2A III LAN Samarinda sesuai dengan
kewenangannya, mencoba melakukan kajian yang berkaitan dengan
model-model kelembagaan. Kajian ini diharapkan dapat memberikan
alternatif yang lebih konkrit tentang format kelembagaan yang perlu
dibentuk dalam rangka mengakselerasi pembangunan sosial ekonomi
dan pelayanan publik di wilayah perbatasan. Dengan hipotesis bahwa
kelembagaan yang efektif akan menjadi prasayarat utama
pembangunan yang efektif, maka kajian ini kami nilai sangat strategis.
Dengan kata lain, pembenahan dimensi kelembagaan dapat disebut
sebagai titik awal (entry point) untuk menggulirkan program-program
pembangunan kawasan perbatasan secara lebih komprehensif.
Tentu saja, tiada gading yang tak retak. Kami mengakui bahwa
hasil kerja tim peneliti tidaklah sesempurna yang diinginkan. Untuk itu,
berbagai masukan, kritik, dan komentar demi meluruskan dan/atau
memperkaya substansi penelitian ini, sungguh kami harapkan dengan
hati dan tangan terbuka.
Kepada seluruh anggota tim yang sudah mencurahkan perhatian
dan pemikirannya, saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya. Dan kepada seluruh pihak yang terkait
dengan materi penelitian ini, kami berharap kiranya dapat memberi
Samarinda, Desember 2006
Kepala PKP2A III LAN Samarinda
Dr. Meiliana, SE.,MM
II MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
7. DAFTAR ISI
Kata Pengantar
..................................................................................... i
Daftar Isi ...............................................................................................
iii
Daftar Tabel
.......................................................................................... vi
Daftar Gambar
...................................................................................... viii
Ringkasan Eksekutif
.............................................................................. ix
Executive Summary
.............................................................................. xi
Bab I Pendahuluan .............................................................. 1
A. Latar Belakang
.............................................................. 1
B. Perumusan Masalah
..................................................... 6
C. Kerangka Pikir
............................................................... 6
D. Ruang Lingkup
.............................................................. 10
E. Tujuan dan Kegunaan
................................................... 11
F. Target/Hasil yang Diharapkan
....................................... 12
Bab II Kerangka Teori, Implementasi dan Arah Kebijakan
Penataan Kelembagaan Kawasan Perbatasan .......... 13
A. Konsep Kelembagaan Publik
........................................ 13
B. Karakteristik Kawsan Perbatasan
III
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
8. ................................. 20
C. Implementasi Pengelolaan Kawasan Perbatasan
......... 22
D. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
............... 28
Bab III Kinerja Pelayanan Publik dan Pembangunan Sosial
Ekonomi di Kabupaten Nunukan, Serta Kebutuhan
Penataan Kelembagaan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan ................................................................. 33
A. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Nunukan
.......... 33
B. Profil Kecamatan Perbatasan di Nunukan
.................... 37
C. Kinerja Pelayanan dan Pembangunan Sosial Ekonomi
Wilayah Perbatasan
....................................................... 39
D. Proyeksi Penataan Kelembagaan Wilayah Perbatasan
.. 59
Bab IV Kinerja Pelayanan Publik dan Pembangunan Sosial
Penataan Kelembagaan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan ............................................................... 70
A. Gambaran Umum Kabupaten Malinau
......................... 70
B. Kondisi Umum Daerah Perbatasan
............................... 72
C. Permasalahan Umum Pembangunan di Kawasan
Perbatasan Kabupaten Malinau
.................................... 78
D. Kinerja Pelayanan dan Pembangunan Sosial Ekonomi
Wilayah Perbatasan
....................................................... 84
E. Proyeksi Penataan Kelembagaan Wilayah Perbatasan
.. 92
Ekonomi di Kabupaten Malinau, Serta Kebutuhan
IV MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
Ekonomi di Kabupaten Malinau, Serta Kebutuhan
9. Bab V Kinerja Pelayanan Publik dan Pembangunan Sosial
Ekonomi di Kabupaten Kutai Barat, Serta Kebutuhan
Penataan Kelembagaan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan ............................................................... 98
A. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kutai Barat
....... 98
B. Kondisi Umum Kecamatan Perbatasan .........................
101
C. Permasalahan Daerah Perbatasan Kutai Barat .............
103
D. Kinerja Pelayanan Publik dan Pembangunan Sosial
Ekonomi di Wilayah Perbatasan ..................................
104
E. Proyeksi Penataan Kelembagaan Wilayah Perbatasan ..
109
Bab VI Kinerja Pelayanan Publik dan Pembangunan Sosial
Ekonomi di Kabupaten Sambas, Serta Kebutuhan
Penataan Kelembagaan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan .............................................................. 116
A. Gambaran Umum Kabupaten Sambas ........................
116
B. Kondisi Umum Wilayah Perbatasan di Kabupaten
Sambas ........................................................................
117
C. Kinerja Pelayanan Publik dan Pembangunan Sosial
Ekonomi Wilayah Perbatasan
....................................... 122
V
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
10. DAFTAR TABEL
1.2 Daerah Sampel Penelitian
......................................................... 11
2. 1 Status Batas-Batas Laut Antara RI dengan Negara Tetangga
... 26
3. 1 Nama dan Luas Pulau-Pulau di Kab. Nunukan
......................... 34
3. 2 Data Administratif Kecamatan Perbatasan di Kabupaten
Nunukan
.................................................................................... 37
3. 3 Indikator-indikator Pelayanan Publik dan Pembangunan
Sosial Ekonomi Wilayah Perbatasan di Kabupaten Nunukan
.... 50
3. 4 Tingkat Kinerja Pelayanan Publik dan Indikator Pembangunan
Sosial Ekonomi di Wilayah Perbatasan Kabupaten
Nunukan ... 58
3. 5 Identifikasi Kebutuhan, Keberadaan, dan Efektivitas
Kelembagaan Perangkat daerah di Wilayah Perbatasan
Kabupaten Nunukan
................................................................. 64
4. 1 Data Jumlah Penduduk Wilayah Kecamatan di Kabupaten
Malinau
...................................................................................... 71
4. 2 Data Jumlah Desa dan Luas Wilayah Kecamatan di
Kabupaten Malinau
................................................................... 72
4. 3 Nama, Klasifikasi dan Sarana Transportasi Desa di
Kecamatan Kayan Hulu
............................................................ 75
4. 4 Nama dan Klasifikasi Desa di Kecamatan Kayan Hilir
............... 77
4. 5 Perbandingan Harga Kebutuhan Pokok di Kecamatan
Perbatasan Kabupaten Malinau dengan Malaysia
.................... 81
4. 6 Alokasi Anggaran Subsidi biaya Angkutan di Kabupaten
VI MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
11. Malinau (Rp)
.............................................................................. 82
4. 7 Perbandingan Biaya dan Tingkat Kesulitas Antara Pembelian
ke Malinau dengan Pembelian ke Malaysia
............................... 83
4. 8 Tingkat Kinerja Pelayanan Publik dan Indikator Pembangunan
Sosial Ekonomi di Wilayah Perbatasan Kabupaten
Malinau ..... 91
4. 9 Identifikasi Kebutuhan, Keberadaan, dan Efektivitas
Kelembagaan Perangkat Daerah di Wilayah Perbatasan
Kabupaten Malinau
................................................................... 92
5. 1 Tingkat Kinerja Pelayanan Publik dan Indikator Pembangunan
Sosial Ekonomi di Wilayah Perbatasan Kabupaten
Kutai Barat
................................................................................. 108
5. 2 Identifikasi Kebutuhan, Keberadaan, dan Efektivitas
Kelembagaan Perangkat Daerah di Wilayah Perbatasan
Kabupaten Kutai Barat
............................................................. 110
6. 1 Tingkat Pendidikan Kawasan PALSA Tahun 2003 ......................
132
VII
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
12. DAFTAR GAMBAR
4. 1 Wilayah Admnistrasi Kabupaten Kuatai Barat
........................... 99
6. 1 Peta PALSA ...............................................................................
119
6. 2 Rencana Tata Ruang PALSA .....................................................
122
7. 1 Peta Perbatasan Kab. Sanggau dengan Malaysia dengan
VIII MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
13. RINGKASAN EKSEKUTIF
Kinerja pemerintah Pusat dan Daerah di bidang pelayanan umum
serta pembangunan sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, peningkatan pendapatan dan penguatan daya beli, dan
sebagainya) di wilayah perbatasan sampai saat ini relatif masih sangat
rendah. Selain itu, secara empiris di wilayah perbatasan terjadi banyak
kasus-kasus "negatif" baik dalam hal kerusakan lingkungan, praktek
perdagangan yang tidak mengindahkan etika, lunturnya nasionalisme,
dan sebagainya. Kondisi ini jelas perlu diantisipasi dengan memperkuat
peran negara, dimana salah satunya adalah dengan melakukan
penataan organisasi / kelembagaan.
Format dan fungsi kelembagaan yang menangani dan/atau
mengurusi pengelolaan wilayah perbatasan saat ini tidak jelas dan tidak
memiliki otonomi yang memadai, sehingga mengakibatkan koordinasi
dalam pengembangan kawasan perbatasan menjadi kurang optimal.
Padahal, potensi kawasan perbatasan seperti perkebunan, kehutanan,
bahkan perdagangan luar negeri sangat besar dan sangat
memungkinkan untuk dikembangkan menjadi kawasan yang lebih
mandiri, misalnya dalam bentuk pengembangan Kawasan berikat, KSB
(Kawasan Siap Bangun) sebagai cikal bakal Kota mandiri, dan
sebagainya.
Mengingat hal tersebut, maka kajian ini mencoba menyusun
analisis tentang alternatif kelembagaan yang relatif lebih efektif dalam
rangka meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan perbatasan di
wilayah utara Kalimantan (Barat dan Timur) serta mengidentifikasi
kebutuhan kelembagaan di daerah perbatasan, baik yang berbentuk
perangkat daerah maupun instansi vertikal. Pada saat yang
bersamaan, dapat diproyeksikan kemungkinan pembentukan kawasan
khusus dengan kelembagaan khusus, beserta skenario-skenario yang
rasional.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa secara umum kondisi
wilayah perbatasan masih sangat memprihatinkan, masih ada service
gap (kesenjangan pelayanan) di wilayah perbatasan, dimana masih
cukup banyak fungsi pelayanan tertentu yang belum dapat berjalan
karena belum adanya lembaga yang menangani. Selain itu, terdapat
IX
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
14. beberapa lembaga yang belum cukup efektif dalam menjalankan
tugasnya melayani masyarakat di wilayah perbatasan.
Dalam rangka meminimalisir service gap , penataan kelembagaan
merupakan salah satu jawaban yang cukup strategis. Dalam kaitan ini,
beberapa pola penataan kelembagaan yang mungkin dapat diterapkan
meliputi tiga alternatif sebagai berikut:
a. Pembentukan lembaga (perangkat daerah) baru dalam rangka
menjalankan fungsi pelayanan tertentu guna mengurangi
kesenjangan pelayanan.
b. Peningkatan efektivitas dan optimasi fungsional kelembagaan
pelayanan yang telah ada.
c. Penetapan kawasan khusus perbatasan dengan pola kelembagaan
tertentu perlu dipertimbangkan secara cermat.
Pola-pola penataan kelembagaan diatas harus dijalankan secara
simultan dengan prinsip komplementer (saling melengkapi), bukan
substitutif (pengganti/alternatif). Artinya, pembenahan kelembagaan
perangkat daerah harus pula diimbangi untuk mengembangkan
kawasan perbatasan sebagai kawasan eksklusif (special zone) yang
dikelola secara profesional, berkesinambungan, serta terpadu
(integrated) baik secara kewilayahan maupun secara substansial
program sektoral.
Penelitian ini merekomendasikan agar Penataan Kelembagaan
sebagaimana disebutkan di atas harus dilakukan secara simultan oleh
Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten. Penataan Jenis
Kelembagaan harus dilakukan secara simultan terhadap kelembagaan
sebagai perangkat daerah maupun kelembagaan khusus; disamping
itu perlu dilakukan penataan Kelembagaan dalam rangka peningkatkan
pelayanan dan pembangunan sosial ekonomi wilayah perbatasan;
X MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
15. EXECUTIVE SUMMARY
Performance of the central and the local government in the public
service area as well as the economic social development (in education,
health, infrastructure, income escalation and strengthening purchase
capacity, etc) in the border area still remain relatively very low. Besides,
empirically there are a lot of "negative" cases, such as environment
destruction, unethical commerce practice, the fade of nationalism, etc
occur. This condition surely needs to be anticipated by strengthening
the role of the country through structuring organization/institution order.
The institutional formation and function that handle and/or take
care of the management of the border area is not clear nowadays and
does not have adequate autonomy that the coordination in developing
the border area becomes less optimal. In fact, the potency of the border
area such as plantation, forestry, even foreign trade are great and is very
conducive to make it as a more independent region, for instance in the
form of developing bonded region, ready to be constructed region
(Kawasan Siap Bangun/KSB), as the pioneer of independent/self -
supporting city, etc.
Considering the fact above, hence, this study tries to compile
analysis on institutional alternative which is relatively more effective in
order to improve the effectiveness of the management of the border
area in the Northern of (West and East) Kalimantan and also to identify
the institutional needs in the border area, whether in form of local
government agency (perangkat daerah) or vertical institution. In the
same time, the possibilities of forming a special region with particular
institution can be projected along with rational scenarios.
Result of the research describes that in general the condition of the
border area is still very concerning; service gap (service difference) still
exists, where there are a lot of particular service functions that cannot be
executed since there is no institution to handle the service. Besides,
there are some institutions which are less effective in running their duty
in serving society in the border area.
In order to minimize the service gap, the structure of institution
represents one strategic answer. In this relation, some institutional
XI
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
16. structure pattern which possibly can be applied covers these three
alternatives as follows:
a. Establishing new institutions (local government agencies) in order to
run particular service function to lessen service gap.
b. Improving the effectiveness and optimization of the existing
functional institution.
c. Stipulating special border area with certain institution pattern shall be
carefully taken into consideration.
Patterns of structuring institution above shall be executed
simultaneously with complementary principles (that completes each
other), and not replaceable (substitution/alternative) meaning that
mending the institution of local government agnecy shall be balanced by
developing the border area as special zone which is managed
professionally, simultaneously and integrated either regional or
substantially through sectoral program.
This research recommends the structuring of institution as
mentioned above shall be done simultaneously by Central, Province
and Regency Government. Institutional type of structuring shall be
executed simultaneously against institution as the local government
agencies as well as special institution; moreover, it requires structuring
the institution in order to improve the service and social and economic
development of the border area; and also the structuring of institution
shall be followed by developing the mental of government officer.
XII MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
17. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum, Indonesia merupakan negara kepulauan
(archipelagos) yang memiliki batas wilayah sangat panjang.
Batas wilayah tadi bukan hanya darat namun juga laut, bukan hanya
antar negara namun juga antar daerah (propinsi maupun
kabupaten/kota). Kondisi ini j e l a s m e n g a n d u n g p o t e n s i
permasalahan yang sangat besar, dan oleh k a r e n a n y a p e r l u
diantisipasi secara matang dengan menyusun konsep
manajemen perbatasan yang modern, komprehensif, akurat, serta
efektif dan efisien. Dalam hal ini, kebijakan pengembangan wilayah
perbatasan seyogyanya tidak hanya dimaksudkan untuk mengatasi
issu perbatasan semata (border policy for border areas), namun
lebih ditujukan untuk mencapai tujuan yang lebih luas dan
strategis, yakni memajukan wilayah Kalimantan melalui peningkatan
pemerataan pembangunan dan p e n i n g k a t a n
kesejahteraan masyarakatnya (border policy for the
improvement of regional development and people's prosperity).
Selama zaman Orde Baru, kawasan perbatasan harus diakui
kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Selain
minimnya alokasi anggaran untuk membangun fasilitas
instrastruktur dasar dan mendorong aktivitas ekonomi,
juga tidak ada institusi publik yang secara sistematis dan terencana
bertanggungjawab terhadap pengembangan w i l a y a h
perbatasan secara lintas sektoral. Lahirnya Keppres No. 44 tahun
1994 tentang Badan Pengendalian Pelaksanaan Pembangunan
Wilayah Perbatasan yang menunjuk Menhankam/Pangab
sebagai koordinator pembangunan wilayah perbatasan,
justru sering dipandang sebagai bentuk politisasi daerah
tertinggal (terutama perbatasan) dan menjadi s e l u b u n g
terhadap praktek-praktek illegal logging (pembalakan liar) yang
masih terjadi hingga saat ini.
1
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
18. Dengan program pembangunan yang tidak terstruktur tadi,
maka tidak aneh jika kondisi di wilayah perbatasan sangat
memprihatinkan. Kesenjangan ekonomi sangat menyolok
dengan wilayah negara tetangga, sementara kasus-kasus
pergeseran patok batas wilayah, praktek perdagangan manusia
(human trafficking), penyelundupan, rendahnya pelayanan dasar,
hingga melunturnya rasa nasionalisme menjadi ancaman yang
sangat nyata. Bahkan kasus hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan,
serta konflik di Blok Ambalat juga mencerminkan lemahnya
manajemen negara dalam pengelolaan wilayah perbatasan dan
pengelolaan pulau-pulau terluar.
Dalam kaitan dengan berbagai potensi masalah spesifik
wilayah perbatasan ini, Bappeda dan Biro Pemerintahan Pemprov
Kalimantan Timur dalam salah satu laporannya (2005)
mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi selama ini dalam
penanganan perbatasan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Secara yuridis belum ada pengaturan yang menyeluruh yang
mengatur mengenai penanganan perbatasan.
2. Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan belum memiliki
pengetahuan atau wawasan yang luas mengenai perbatasan
bahkan sebagian cenderung marginal, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan.
3. Kondisi geografis Kalimantan Timur, secara fisik terdiri dari
wilayah pulau pulau kecil di laut lepas, pegunungan,
bukit, sungai-sungai, jeram dan rawa-rawa, sehingga
aksesibilitas ke perbatasan sulit dijangkau.
4. Terbatasnya sarana dan prasarana dasar, transportasi dan
telekomunikasi berdampak pada rendahnya tingkat
aksesibilitas serta keterisolasian dari wilayah sekitarnya,
sehingga mempersulit p e n g a w a s a n d a n
pengelolaan wilayah perbatasan di wilayah darat
maupun wilayah laut termasuk pulau-pulau kecil.
5. Belum adanya lembaga khusus yang menangani perbatasan
antar negara di daerah; sementara itu banyak lembaga
fungsional yang menangani perbatasan antar negara,
sehingga hasil yang dicapai belum efektif.
2 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
19. Namun seiring dengan kesadaran untuk menjaga integritas
bangsa dalam kerangka NKRI, serta didorong pula oleh bergulirnya
reformasi kepemerintahan yang ditandai oleh pemberlakuan
desentralisasi luas, maka telah nampak adanya perubahan terhadap
orientasi pembangunan wilayah perbatasan. Saat ini, pemerintah
telah bertekad untuk mengubah image kawasan perbatasan dari
halaman belakang (backyard) menjadi halaman depan (front yard)
bangsa. Bappenas-pun telah menyiapkan dokumen makro tentang
rencana induk pengembangan wilayah perbatasan, yang berisi
program-program jangka pendek, menengah dan panjang dalam
rangka penataan wilayah perbatasan secara komprehensif. Dalam
konteks kelitbangan, FKK (Forum Komunikasi Kelitbangan) juga
sudah melaksanakan koordiansi lintas departemen untuk
mempercepat pembangunan wilayah perbatasan melalui
pendekatan riset dan kajian.
Meskipun demikian, perubahan orientasi dan arah kebijakan
baru tadi jelas bukan hal yang mudah dan dapat dituntaskan dalam
waktu relatif singkat. Sebab, disamping membutuhkan biaya yang
sangat besar, kawasan perbatasan sudah terlanjur sangat tertinggal
baik dibanding wilayah lain di Indonesia, terlebih lagi dibanding
wilayah negara lain yang berbatasan dengan wilayah RI. Dengan
demikian, upaya membangun dan mengembangkan kawasan
perbatasan harus benar-benar didesain secara cermat, berdasarkan
analisis yang mendalam dan komprehensif terhadap karakteristik,
potensi, permasalahan serta kebutuhan nyata wilayah tersebut.
Disamping itu, kebijakan memperbaharui wajah perbatasan ini
tidak dapat lagi diklasifikasikan sebagai kebijakan pembangunan
yang normal, namun harus diposisikan sebagai kebijakan khusus
(emergency policy) dalam rangka mengejar ketertinggalan
pembangunan di segala bidang (catch-up strategy). Termasuk
dalam emergency plan antara lain perlunya pembentukan
tim/kelembagaan khusus yang menangani masalah perbatasan,
penyediaan anggaran secara khusus, serta penyusunan rencana
aksi (khususnya jangka pendek) yang terintegrasi antar sektor dan
antar lembaga. Asumsi yang dipakai adalah bahwa jika
pengembangan wilayah perbatasan ditempatkan pada kerangka
kelembagaan, skema anggaran, serta perencanaan makro yang
3
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
20. telah ada, maka hasilnya tidak akan optimal.
Pada kenyataannya, hingga saat ini pemerintah belum memiliki
blueprint atau dokumen perencanaan yang matang guna
mengakselerasi pembangunan wilayah perbatasan. Sementara
disisi lain, tuntutan masyarakat lokal tentang perlunya percepatan
wilayah utara Kalimantan semakin menguat. Dalam rangka
menjembatani gap antara tuntutan di lapangan dengan kebutuhan
untuk menetapkan kebijakan itulah, dipandang perlu adanya
formulasi kelembagaan yang inklusif, yang dapat menjalankan
fungsi koordinatif lintas sektoral.
Selama ini, penanganan masalah perbatasan dilakukan secara
ad-hoc oleh berbagai instansi teknis yang berbeda-beda sesuai
dengan materi pokok permasalahannya. Pola penanganan tersebut
membawa implikasi penanganan yang kurang terpadu dan kurang
komprehensif sebagai ilustrasi, masalah demarkasi batas darat dan
kerjasama perbatasan, termasuk penanganan masalah yang timbul
di perbatasan, dikoordinasikan oleh berbagai instansi sebagai
berikut:
a. General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketuai oleh
PanglimaTNI;
b. Joint Border Committee (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri
Dalam Negeri;
c. Joint Border Committee (JBC) RI-RDTL diketuai oleh Direktur
Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam
Negeri;
d. Tim Penetapan Batas landas Kontinen diketuai oleh Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral;
e. Border Committee Indonesia - the Philippines diketahui oleh
Panglima Kodam VII/Wirabuana (Tingkat Ketua) dan
oleh Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah
Timur (Tingkat Wakil Ketua).
Dalam perspektif penataan kelembagaan pengelola
perbatasan yang akan datang harus diarahkan bukan saja pada
pembentukan lembaga khusus, namun lebih kepada strategi
penguatan kelembagaan yang dapat menjamin keberlangsungan
pembangunan sosial ekonomi wilayah perbatasan, sekaligus
4 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
21. menjaga integritas dan kedaulatan bangsa Indonesia dari intervensi
dan/atau tindakan ofensif komponen asing. Dalam hal ini,
beberapa butir strategis yang perlu diperhatikan dalam penataan
kelembagaan pengelola kawasan perbatasan antara lain meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan dan pengaturan ulang mengenai batas-batas
kewenangan baru antara pemerintah pusat, propinsi dan
kabupaten/kota dalam p e n g e l o l a a n w i l a y a h
perbatasan.
2. Pembentukan kelembagaan khusus (semacam Badan Otorita)
yang menangani aspek perencanaan, pengembangan dan
pengawasan wilayah perbatasan, baik dalam dimensi
ekonomi, sosial, pemerintahan, maupun
pertahanan dan keamanan. Fungsi utama dari
menjalankan koordinasi antar daerah, antar sektor, dan antar
tingkatan pemerintahan (Pusat - Daerah).
3. Peningkatan Anggaran, baik untuk pembangunan infrastruktur
fisik, peningkatan kemampuan pertahanan, maupun
sebagai stimulan kegiatan ekonomi rakyat.
4. Pengembangan kerjasama pembangunan dan pelayanan publik
dengan negara asing, khususnya dengan pemerintahan daerah
yang berbatasan secara langsung.
5. Peningkatan kapasitas kesisteman dalam bidang bidang
keamanan dan pertahanan, termasuk memperkuat
personil dan armada dalam rangka patroli wilayah laut dan
perbatasan darat.
Secara lebih konkrit, penelitian ini akan mengkaji aspek
penataan kelembagaan secara lebih mendalam dalam 2 (dua)
format, yakni: 1) identifikasi kebutuhan kelembagaan di daerah, baik
yang berbentuk perangkat daerah maupun instansi vertikal; dan 2)
proyeksi pembentukan kelembagaan khusus sebagai managerial
body dari kemungkinan ditetapkannya wilayah perbatasan sebagai
kawasan khusus (special zone). Pembentukan kawasan khusus ini
kelembagaan
m o d e l i n i p e r l u d i a r a h k a n p a d a k e m a m p u a n
5
kelembagaan model ini perlu diarahkan pada kemampuan
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
22. sendiri sangat dimungkinkan oleh UU No. 32 tahun 2004, khususnya
pada pasal 9.
Penataan kelembagaan wilayah perbatasan baik melalui format
pertama maupun format kedua memiliki tujuan akhir (ultimate goal)
yang sama, yakni meningkatkan kualitas pelayanan publik bagi
masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan, sekaligus mendorong
percepatan pembangunan sosial ekonomi secara lebih merata.
Atas dasar semangat, pemikiran dan komitmen untuk memperbaiki
kinerja pelayanan dan pembangunan sosial ekonomi melalui
penguatan kelembagaan (institutional strengthening) ini, maka PKP2A
III LAN Samarinda mencoba melakukan kajian untuk menyusun
konstruksi awal format kelembagaan pengelola perbatasan yang
sesuai dengan karakteristik wilayah dan mampu menjawab
permasalahan riil yang terjadi di wilayah perbatasan.
B. Perumusan Masalah
Dari berbagai fenomena yang dipaparkan pada latar belakang
diatas, maka dapat dirumuskan adanya permasalahan sebagai
berikut:
1. Hingga saat ini kinerja pemerintah Pusat dan Daerah di bidang
pelayanan umum serta pembangunan sosial ekonomi
(pendidikan, kesehatan, infrastruktur, peningkatan
pendapatan dan penguatan d a y a b e l i , d a n
sebagainya) di wilayah perbatasan relatif masih sangat
rendah. Selain itu, secara empiris di wilayah perbatasan terjadi banyak
kasus-kasus "negatif" baik dalam hal kerusakan lingkungan,
praktek perdagangan yang tidak mengindahkan etika,
lunturnya nasionalisme, dan sebagainya. Kondisi ini jelas
perlu diantisipasi dengan m e m p e r k u a t
peran negara, dimana salah satunya adalah dengan
melakukan penataan organisasi / kelembagaan.
2. Hingga saat ini format dan fungsi kelembagaan yang menangani
dan/atau mengurusi pengelolaan wilayah perbatasan
tidak jelas dan tidak memiliki otonomi yang memadai, sehingga
mengakibatkan koordinasi dalam pengembangan
kawasan perbatasan menjadi kurang optimal. Padahal,
potensi kawasan perbatasan seperti p e r k e b u n a n ,
kehutanan, bahkan perdagangan luar negeri sangat
besar dan sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi
6 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
23. kawasan yang lebih mandiri, misalnya dalam bentuk
pengembangan Kawasan berikat, KSB (Kawasan Siap
Bangun) sebagai cikal bakal Kota m a n d i r i , d a n
sebagainya.
C. Kerangka Pikir
Perbatasan adalah batas terluar wilayah darat, laut, dan
udara suatu negara yang memisahkan kedaulatan negara
dengan negara lain, baik yang dibatasi oleh garis batas
negara atau garis batas imajiner. Dapat pula dikatakan sebagai
wilayah terdepan yang menghadapi garis batas dengan negara
tetangga atau wilayah internasional (Lemhanas,2004). Meskipun
perbatasan dikatakan sebagai wilayah terdepan yang menghadapi
garis batas dengan negara tetangga, akan tetapi kondisi
perbatasan saat ini merupakan daerah dengan batas-batas
administrasi atau teritorial negara yang "tidak jelas".
Ketidakjelasan ini dapat dilihat dari berbagai kasus perebutan garis
batas maupun wilayah yang berada di perbatasan a n t a r a
Indonesia dengan Malaysia maupun dengan negara perbatasan
lainnya.
Secara obyektif wilayah perbatasan memang merupakan
wilayah yang sangat tertinggal dibanding wilayah non-perbatasan,
apalagi dibanding wilayah negara tetangga. Disamping itu, kondisi
ketertinggalan wilayah perbatasan juga berdampak pada munculnya
berbagai permasalahan akut, baik pada dimensi lokal / domestik,
nasional, maupun regional antar bangsa. Berbagai issu yang sering
mengemuka di wilayah perbatasan antara lain berupa kasus
kemiskinan (chronic poverty), keterasingan (isolation), rendahnya
indeks SDM, ketiadaan fasilitas layanan publik, serta kelangkaan
(shortage) bahan kebutuhan pokok. Pada level nasional, muncul
kasus-kasus besar seperti issu ketenagakerjaan (trafficking in
persons), pelanggaran HAM, pembalakan liar (illegal logging),
penyelundupan (smuggling), eksploitasi SDAsecara tidak beraturan
dan degradasi mutu lingkungan, lemahnya sistem pengawasan,
serta gejala degradasi nasionalisme. Sedangkan pada level
regional, masalah yang ada meliputi lebarnya kesenjangan sosial
7
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
24. ekonomi antara penduduk negeri sendiri dengan negeri tetangga,
potensi konflik mengenai garis batas, dan sebagainya.
Berbagai persoalan diatas semakin diperparah oleh fakta belum
tersusunnya tata ruang wilayah perbatasan dan tata ruang kawasan
pintu gerbang lintas batas, serta belum terbentuknya kelembagaan
yang khusus menangani pembangunan perbatasan. Dari sisi tata
ruang wilayah, saat ini belum nampak adanya blueprint atau
masterplan yang jelas dan kokoh tentang pengembangan wilayah
perbatasan yang komprehensif serta terintegrasi antar daerah yang
satu dengan daerah lainnya.
Perbatasan merupakan barometer pembangunan nasional dan
daerah, perbatasan merupakan halaman depan negara (front yard)
yang merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah
pusat maupun daerah bukan hanya sebagai daerah "merah" atau
sabuk keamanan (security belt) sehingga pendekatan
pembangunan perbatasan bukan didominasi pandangan untuk
mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external
threat) akan tetapi pembangunan wilayah perbatasan harus
menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach)
dengan tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security
approach).
Kasus sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia,
yaitu kasus Sipadan Ligitan pada tahun 2002 serta kasus ambalat
yang terjadi pada tahun 2005 telah membawa pelajaran dan hikmah
yang sangat penting bagi Indonesia, paling tidak dalam 2 (dua) hal.
Pertama, kasus tadi memberikan bukti empirik masih tingginya
kecintaan dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia terhadap
tanah airnya. Kedua, munculnya kesadaran dan komitmen baru
pemerintah, meskipun sudah sangat terlambat atas pentingnya
pembangunan sosial ekonomi, infrastruktur, serta sistem
pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan. Kedua kasus
tersebut secara tidak langsung telah merubah arah kebijakan
pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi "inward
looking", menjadi "outward looking".
Perubahan arah kebijakan dalam rangka memperbaharui wajah
perbatasan hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal,
8 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
25. atau bisa dikatakan wajah perbatasan dengan berbagai
permasalahannya yang telah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu
masih tetap eksis. Kinerja pemerintah Pusat dan Daerah di bidang
pelayanan umum serta pembangunan sosial ekonomi (pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, peningkatan pendapatan dan penguatan
daya beli, dan sebagainya) di wilayah perbatasan relatif masih
sangat rendah. Hal ini dibuktikkan dengan masih banyaknya kasus-
kasus perusakan lingkungan, praktek perdagangan ilegal, lunturnya
nasionalisme, dsb. Bahkan bisa dikatakan kasus-kasus tersebut
cenderung semakin meningkat.
Berbagai kondisi yang terjadi di wilayah perbatasan tersebut
perlu diantisipasi dengan memperkuat peran negara, antara lain
melalui penataan organisasi/ kelembagaan. Berbagai kebijakan
yang mengatur mengenai penataan kelembagaan pengelola
kawasan perbatasan sebenarnya telah ada, akan tetapi belum
dapat berjalan secara efektif. Berbagai kebijakan tersebut antara
lain:
— UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang menetapkan kawasan
perbatasan merupakan kawasan strategis dan
diprioritaskan pembangunannya secara nasional.
— Tindak lanjut UU di atas, diterbitkan Keppres No. 44/1994 tentang
Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan,
yang diketuai oleh Menhankam.
— Keppres No. 89/1996 menetapkan KAPET secara nasional, yang
bahwa pengelolaan perbatasan merupakan
kewenangan BPKAPET.
— Diluar kebijakan di atas masih terdapat beberapa kebijakan
nasional, yang menyangkut security belt / kawasan
sabuk pengaman (Dephankam, 1986) melalui
pemahaman lini 1 (kecamatan yg berbatasan langsung),
dan lini 2 (tidak berbatasan langsung - tetapi m e m p u n y a i
akses tinggi).
Disamping beberapa kebijakan dalam penataan kelembagaan
pengelolaan kawasan perbatasan, sebenarnya selama ini sudah
terbentuk kelembagaan khusus yang menangani berbagai
permasalahan di wilayah perbatasan seperti:
kemudian diperbaharui dengan Keppres No. 9/1998 yang
mengatakan
9
kemudian diperbaharui dengan Keppres No. 9/1998 yang mengatakan
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
26. — General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketuai oleh
PanglimaTNI;
— Joint Border Committee (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam
Negeri;
— Joint Border Committee (JBC) RI-RDTL diketuai oleh Direktur
Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam
Negeri;
— Tim Penetapan Batas landas Kontinen diketuai oleh Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral;
— Border Committee Indonesia - the Philippines diketahui oleh
Panglima Kodam VII/Wirabuana (Tingkat Ketua) dan oleh
Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Timur (Tingkat
Wakil Ketua).
Bentuk kelembagaan lain yang menangani kawasan perbatasan
pada tingkat lokal/propinsi yang telah dibentuk oleh daerah seperti di
Propinsi Kalimantan Barat berupa Badan Persiapan Pengembangan
Kawasan Khusus Perbatasan (BP2KKP) sedangkan di Propinsi Papua
berupa Badan Pengelola Perbatasan dan Kerjasama. Propinsi
Kalimantan Timur yang memiliki wilayah perbatasan langsung dengan
Malaysia belum memiliki kelembagaan khusus yang mengelola
kawasan perbatasan, akan tetapi propinsi ini memiliki wacana untuk
membentuk Biro Perbatasan dan Kerjasama yang nantinya mempunyai
fungsi untuk mengelola perbatasan. Bentuk kelembagaan yang
berskala nasional yang dirancang oleh Bappenas untuk mengelola
kawasan perbatasan berupa Badan Perbatasan Negara (BPN) di
Pusat, Badan Pengelola di Propinsi, Badan Pelaksana di tingkat
Kabupaten.
Berbagai bentuk kelembagaan yang menangani kawasan
perbatasan yang ada baik yang berskala nasional maupun lokal, saat ini
cenderung kurang efektif, tidak ada KISS (Koordinasi, Integrasi,
Sinergi dan Simplifikasi), sedangkan Kelembagaan
pengelola Kawasan perbatasan di Kalimantan Timur yang
berbentuk Biro serta Badan Perbatasan Negara (BPN) masih
belum operasional sehingga belum d a p a t d i n i l a i
efektivitasnya. Untuk itu diperlukan model alternatif
kelembagaan pengelola perbatasan. Adapun format alternatif
10 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
27. kelembagaan pengelola perbatasan yang diajukan yaitu:
³ Pembentukan lembaga (perangkat daerah) baru dalam rangka
menjalankan fungsi pelayanan tertentu guna
mengurangi kesenjangan pelayanan.
³ Peningkatan efektivitas & optimasi fungsional kelembagaan
pelayanan yang telah ada.
³ Penetapan kawasan khusus perbatasan dengan pola
kelembagaan tertentu perlu dipertimbangkan secara
cermat.
Strategi yang dilakukan agar model alternatif kelembagaan
pengelola perbatasan dapat berjalan dengan efektif yaitu ketiga
model penataan kelembagaan diatas harus dijalankan secara
simultan dengan prinsip komplementer (saling melengkapi),
bukan substitutif (pengganti/alternatif). Artinya,
pembenahan kelembagaan perangkat daerah harus
pula diimbangi dengan mengembangkan kawasan
perbatasan sebagai kawasan eksklusif (special zone) yang dikelola
secara profesional, otonom, berkesinambungan, serta
Provinsi Daerah Sampel
1. Kab. Nunukan
2. Kab. Malinau
Kalimantan Timur
3. Kab. Kutai Barat
4. Kab. Sanggau
Kalimantan Barat
5. Kab. Sambas
Adapun instansi/pejabat yang akan dikunjungi dan/atau
diwawancara meliputi Kepala Bappeda, Asisten Bidang
Pemerintahan/Tata Praja, Kepala Bagian Pemerintahan, serta
Kepala Bagian Organisasi danTata Laksana.
E. Tujuan dan Kegunaan
Kajian ini diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai
berikut:
1. Tersusunnya analisis tentang alternatif kelembagaan yang relatif
lebih efektif dalam rangka meningkatkan efektivitas pengelolaan
Table 1.2
Daerah Sampel Penelitian
dari kemungkinan ditetapkannya wilayah perbatasan sebagai kawasan
11
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
28. kawasan perbatasan di wilayah utara Kalimantan (Barat
danTimur).
2. Teridentifikasikannya kebutuhan kelembagaan di daerah
perbatasan,
s a a t y a n g b e r s a m a a n , d a p a t
diproyeksikan kemungkinan p e m b e n t u k a n
kawasan khusus dengan kelembagaan khusus, beserta
skenario-skenario yang rasional.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah
meningkatnya efektivitas penyelenggaraan fungsi-fungsi
pemerintahan di daerah perbatasan. Pada gilirannya, efektivitas
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan ini secara
hipotesis diyakini dapat meningkatkan kinerja pemerintah
pada bidang pelayanan publik k h u s u s n y a d a n
p e m b a n g u n a n s o s i a l e k o n o m i p a d a u m u m n y a .
Selanjutnya, kinerja pembangunan sosial ekonomi akan dapat
mengurangi kesenjangan antar bangsa, sehingga akan membangun
rasa percaya diri (self-confidence) dan kebanggaan (proud) sebagai
komponen penting pembentukan nasionalisme dalam proses
nation building dan character building.
F. Target / Hasil yang Diharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya
baik yang berbentuk perangkat daerah maupun
instansi vertikal. Pada
baik yang berbentuk perangkat daerah maupun instansi vertikal. Pada
12 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
29. BAB II
KERANGKA TEORI, IMPLEMENTASI DAN
ARAH KEBIJAKAN PENATAAN
KELEMBAGAAN
KAWASAN PERBATASAN
A. Konsep Kelembagaan Publik
Lembaga publik atau lembaga pemerintah adalah lembaga
yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan suatu kebutuhan
yang karena tugasnya berdasarkan pada suatu peraturan
perundang-undangan melakukan kegiatan untuk
meningkatkan pelayanan masyarakat dan m e n i n g k a t k a n
t a r a f k e h i d u p a n s e r t a k e s e j a h t e r a a n m a s y a r a k a t
(Wursanto: 2005).
Pada era reformasi dan keterbukaan ini, peran pemerintah
dalam melaksanakan fungsi dan tugas-tugas umum pemerintahan
menjadi sorotan dan perhatian dari semua kalangan
masyarakat.Tuntutan akan peningkatan kualitas dan efektifitas kerja
pemerintah telah menjadi sesuatu yang tidak bisa
diejawantahkan.
Salah satu aspek yang menentukan kelancaran dan
keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan tugas
pembangunan adalah keberadaan kelembagaan yang
efektif dan berkinerja optimal. Hal ini jugalah yang kemudian
m e n g h a r u s k a n p e m e r i n t a h u n t u k m e l a k u k a n
pengembangan dan/atau penyempurnaan terhadap kelembagaan
publik. Dengan kata lain, restrukturisasi Kelembagaan pemerintah
sesungguhnya merupakan conditio sine qua non bagi upaya
yang lebih besar, yakni mencapai keberhasilan program
pembangunan baik pada skala nasional maupun daerah. Dengan
demikian, keberhasilan pembangunan secara m e n y e l u r u h
antara lain dapat diindikasikan dari sejauh mana kemampuan
13
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
30. kelembagaan publik dalam melayani tuntutan-tuntutan kebutuhan
masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia
secara optimal.
Penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah dapat
diartikan sebagai upaya membangun organisasi,
sistem-sistem, kemitraan, orang-orang dan proses-proses secara
benar untuk menjalankan agenda atau rencana tertentu (Faozan:
2006). Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk melakukan
penguatan kapasitas kelembagaan publik adalah melalui pemberian
atau pendelegasian wewenang (delegation of authority). Hal ini
didasarkan kepada pemikiran bahwa pemberian atau
pendelegasian wewenang akan dapat mempengaruhi peningkatan
tanggungjawab (responsibility), sedangkan peningkatan
tanggungjawab akan mempengaruhi peningkatan produktivitas
(productivity) kelembagaan yang diberi wewenang besar.
Selanjutnya pada Kelembagaan yang memiliki tanggungjawab
besar akan memicu tumbuhnya inovasi, kreativitas, dan etos kerja
yang besar yang menjadi pemicu (trigger) terhadap peningkatan
produktivitas. Kelembagaan publik yang memiliki produktivitas yang
besar artinya mampu menghasilkan kualitas pelayanan masyarakat
yang baik.
Dari kerangka pemikiran di atas dapat dilakukan 4 (empat)
macam pendekatan sebagai berikut:
1. PendekatanAspek Manajemen.
Pendekatan dari aspek manajemen menunjukkan bahwa
pendelegasian wewenang, otonomi atau desentralisasi
merupakan determinan penting yang berfungsi sebagai
pemicu (trigger) bagi kegiatan suatu kelembagaan publik
yang menunjang upaya p e n i n g k a t a n
produktivitas Kelembagaan. Pemikiran ini dapat diterima
mengingat karakteristik Kelembagaan seperti ini akan menjanjikan
keunggulan berupa fleksibilitas kelembagaan yang lebih tinggi,
lebih efisien dan efektif, serta lebih kreatif dan inovatif,
sehingga mampu menciptakan etos kerja yang tinggi
yang pada akhirnya akan m e n g h a s i l k a n
produktivitas kelembagaan pemerintah secara lebih baik.
Pentingnya fleksibilitas Kelembagaan dalam hal ini perlu
14 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
31. digarisbawahi, sebab dalam iklim kompetisi yang sangat
ketat, akan berkembang keadaan lingkungan yang
bergerak sangat cepat (turbulence) yang
menyebabkan terjadinya kondisi-kondisi yang tidak d a p a t
dipastikan (uncertainty) dan sulit diprediksikan (unpredictable).
Dalam situasi seperti inilah, maka prinsip akordion atau
keluwesan suatu Kelembagaan sangat dibutuhkan agar
dapat melakukan adaptasi atau penyesuaian secara
cepat dan tepat. Sementara K e l e m b a g a a n y a n g
menerapkan gaya manajemen secara sentralistis,
dinamika lingkungan strategisnya.
2. PendekatanAspekAnggaran.
Pendekatan dari aspek anggaran menjelaskan bahwa
semakin unit- unit Kelembagaan pemerintah
mampu meningkatkan p r o d u k t i v i t a s n y a ,
maka unit Kelembagaan tersebut pasti semakin mampu
menghasilkan pelayanan jasanya kepada masyarakat dengan
kualitas yang makin baik. Kemampuan mengasilan pelayanan
jasa kepada masyarakat ini berarti kemampuan
mengakumulasi pendapatan juga semakin
m e n i n g k a t . D a n a p a b i l a i n i t e r u s
dikembangkan, maka sumber dana yang tadinya dibiayai oleh
anggaran pembangunan secara bertahap akan menurun dan
perannya akan digantikan dari sumber pendapatan fungsional
tersebut. Jadi dengan demikian akan dapat dilakukan
penghematan terhadap sumber pembiayaan yang
berasal dari anggaran pembangunan.
3. PendekatanAspek Partisipasi Masyarakat (Kemitraan).
Pendekatan dari aspek partisipasi masyarakat atau
kemitraan (strategic alliance) menggambarkan bahwa
semakin unit Kelembagaan p e m e r i n t a h m a m p u
memberikan pelayanan jasanya dengan baik kepada
masyarakat, maka akan semakin mampu meningkatkan
kepuasan masyarakat. Dan apabila tingkat kepuasan masyarakat
cukup tinggi, maka dengan sendirinya akan mendorong
partisipasi masyarakat juga makin meningkat. Hal ini
birokratis (rule driven) dan kaku, akan cepat ketinggalan dengan
birokratis (rule driven) dan kaku, akan cepat ketinggalan dengan
15
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
32. pada gilirannya akan memberikan kontribusi berupa
meningkatnya pendapatan unit K e l e m b a g a a n
pemerintah tadi yang berasal dari masyarakat secara
langsung.
Dalam gambar berikut nampak bahwa besarnya peran
kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat digambarkan
dalam luasnya wilayah interface. Artinya, makin
besar interface, makin besar tingkat p a r t i s i p a s i
masyarakat, dan makin tinggi pula manfaat yang dapat
diraih pemerintah dari sinergi kemitraan tersebut.
4. PendekatanAspek Ratio Input - Output.
Pendekatan ratio input - output menunjukkan bahwa adanya
relokasi pembebanan anggaran rutin APBN kepada
masyarakat ini berarti input untuk pelayanan jasa
bertendensi menurun, dengan kata lain lebih efisien atau terjadi
penghematan. Jumlah input yang menurun ini apabila
dihadapkan kepada output jasa pelayanan kepada m a s y a r a k a t
tetap atau mengikat, maka kondisi ini akan menghasilkan
ratio produktivitas yang makin meningkat.
Selain dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) pendekatan
diatas, penguatan kapasitas kelembagaan yang akan dilakukan
harus juga memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Aspek SDM. Keberadaan SDM dalam suatu kelembagaan dan
dalam proses manajemen merupakan suatu aspek
yang sangat penting dan sangat determinan. Dengan
SDM yang memiliki kualifikasi baik akan d a p a t
mendorong perwujudan tujuan kelembagaan secara lebih
efektivitas dan efisiensi. Dalam konteks penataan kelembagaan,
SDM secara individual maupun Manajemen SDM yang diterapkan
akan berpengaruh terhadap kelembagaan yang dibentuk.
Dengan SDM yang berkualitas akan mengurangi besaran
kelembagaan yang akan diterapkan begitu halnya
dengan pola manajemen SDM yang profesional,
dimulai dari proses rekrutmen, pengembangan pegawai
sampai dengan berhenti (pensiun) akan berpegaruh terhadap
kelembagaan yang ada.
2. Aspek Keuangan. Penataan kelembagaan perlu juga
16 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
33. memperhatikan a s p e k k e u a n g a n y a k n i
m e m p e r t i m b a n g k a n k e m a m p u a n d a r i
pemerintah (pusat/daerah) akan pembiayaan terhadap
kelembagaan yang dihasilkannya. Semakin besar kelembagaan
yang dibuat semakin besar dana yang harus dialokasikan untuk
membiayai kelembagaan/kelembagaan tersebut.
Kemudian penataan kelembagaan yang dilakukan
diharapkan dapat melakukan perubahan-perubahan
sebagai berikut:
a. Kelembagaan yang akan ditingkatkan kapasitasnya atau
dibentuk dapat mengurangi pemborosan dan
inefisiensi yang terjadi, dengan demikian
kelembagaan yang dibentuk mempertimbangkan d a r i
aspek keuangan baik pengeluaran maupun pendapatan atau
manfaat yang dihasilkan. Kelembagaan besar belum tentu
menjadikan pemborosan tetapi dapat pula
menghasilkan manfaat yang besar, tentu saja manfaat
disini adalah manfaat untuk m a s y a r a k a t .
K e l e m b a g a a n k e c i l b e l u m t e n t u m e n g h a s i l k a n
efisiensi tapi dapat pula menimbulkan tidak teroptimalkannya
potensi yang dimilikinya atau terdapat pekerjaan yang tidak
dapat
d i b u t u h k a n
masyarakat.
b. Penguatan kapasitas atau pembentukan kelembagaan baik
secara horizontal maupun secara vertikal
perlu juga mempertimbangkan pengalokasian
sumber dana secara efisien. Dana yang tersedia
apalagi terbatas perlu didistribusikan secara adil baik keadilan
secara distributif maupun keadilan secara alokatif sehingga
tidak menimbulkan kecemburuan dan ketidak
harmonisan antar unit K e l e m b a g a a n . U n i t
K e l e m b a g a a n y a n g m e m i l i k i b e b a n t u g a s y a n g
besar seyogyanya mendapat alokasi dana yang cukup untuk
menjalankan tugas tersebut.
c. Penataan kelembagaan diharapkan dapat mendorong dan
terlaksana padahal pekerjaan
tersebut manfaatnya sangat
terlaksana padahal pekerjaan tersebut manfaatnya sangat
17
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
34. meningkatkan kreativitas, kewiraswastaan dan inisiatif di
sektor publik. Semangat entrepreneur dalam
birokrasi ditanamkan s e h i n g g a t i d a k h a n y a
m e n g e t a h u i d a n m e m a h a m i b a g a i m a n a
membelanjakan tetapi juga mencari peluang untuk meningkatkan
pendapatan
d. Penataan kelembagaan juga diharapkan dapat meningkatkan
transparansi keuangan publik sehingga masyarakat
dapat memahami apakah yang telah
dibelanjakan pemerintah memberikan
manfaat atau nilai tambah bagi masyarakat atau tidak.
Dengan adanya transparansi, pemerintah juga akan lebih
meningkatkan kualitas program-program yang dilaksanakan
dan akan meningkatkan akuntabilitasnya karena
masyrakat akan menyoroti apa yang telah,
sedang dan akan dilakukannya.
3. Aspek Teknologi. Perkembangan teknologi sarana dan
prasarana kerja begitu cepat, sehingga proses penyelesaian
pekerjaan dan kualitas hasil pekerjaannya pun
mengalami peningkatan. Salah satu sarana p e n d u k u n g
yang saat ini diperbincangkan untuk disediakan
pemerintah adalah penerapan Electronic Government.
4. Aspek Kebutuhan Pelayanan. Suatu daerah atau kawasan
memiliki potensi yang berbeda satu sama lain,
menyadari akan perbedaan t e r s e b u t p e n y u s u n a n
kelembagaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dari
daerah/kawasan yang bersangkutan. Untuk itu faktor-
faktor kebutuhan atau potensi daerah/kawasan yang perlu
besarnya objek kewenangan yang ditangani; jumlah penduduk
yang mendapatkan layanan; potensi pemerintah daerah;
kebutuhan masyarakat; kompleksitas pekerjaan yang
dilakukan; serta potensi masyarakat dan swasta.
Dengan Potensi dan kebutuhan tersebut akan d a p a t
memprediksikan beban pekerjaan yang akan dipikul oleh suatu
daerah.
diperhatikan antara lain sebagai berikut: luas wilayah kerja atau
diperhatikan antara lain sebagai berikut: luas wilayah kerja atau
18 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
35. 5. Aspek Nilai Strategis. Nilai strategis juga harus menjadi
pertimbangan pula dalam menyusun suatu kelembagaan. Nilai
strategis mestinya dituangkan dalam visi dan misi. Dengan
menentukan sektor-sektor tertentu yang menjadi unggulan
(core competency) maka kelembagaan yang
menanganinya pun perlu diperhatikan.
Setelah dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan
pemerintah dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut
diharapkan akan menghasilkan kelembagaan yang rasional serta
memiliki ciri-ciri Kelembagaan modern. Dimana kelembagaan yang
lebih modern yakni "...are more like living organisms than machines
and that it is important to recognise both the informal relationship
which exist within them and the interactions which take place
between the organisation and the wider social and technological
environment in which it is exist". (Hayes: 1980: 3) sedangkan Kanter
(1996:48-49) menawarkan model Kelembagaan lain yang
dinamakan Post Entrepreneurial Organization. Model Kelembagaan
yang baru ini mencoba memandang Kelembagaan tidak sebagai
suatu bentuk yang kaku tetapi suatu yang fleksibel mengikuti
perkembangan di lapangan. Kanter mengemukakan ciri atau
kecenderungan kelembagaan post entrepreneurial organizations
sebagai berikut:
1. Kelembagaan Post entrepreneurial organizations tend to be more
people-centred, with authority deriving from expertise
or from relationships.
2. Post- entrepreneurial management is creation-oriented, seeking
innovation as well as efficiency.
3. Post- entrepreneurial management is results-oriented, rewarding
outcomes.
4. Post entrepreneurial organizations tend to pay for contribution, for
the value the person or team has added, regardless of
formal position.
5. Post entrepreneurial organizations find opportunities through the
expansion of information, through the ability to maximize all
possible communication links - with coalition
19
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
36. partners inside and outside the organization.
6. In Post-entrepreneurial organizations, charters and home territories
are only the starting point for creation of new modes of action;
furthermore, opportunities come from the ability to make
relationship across territories.
7. Post-entrepreneurial organizations seek leverage and
experimentation.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Askenas (2002: 5-7)
mengemukakan bahwa bahwa ukuran keberhasilan Kelembagaan
pada saat sekarang dilihat dari aspek-aspek sebagai berikut:
1. Kecepatan. Kelembagaan yang berhasil yakni ditandai dengan
meningkatnya kecepatan Kelembagaan dalam melaksanakan
pekerjaan, cepat tanggap terhadap konsumen, secepatnya
membawa produk baru kepasaran, cepat merubah strategi bila
dibutuhkan. Kelembagaan besar diibaratkan seperti sebuah
kapal tanker yang sulit melakukan pergerakan-pergerakan
dengan cepat;
2. Fleksibilitas. Kelembagaan yang berhasil adalah Kelembagaan
yang fleksibel yakni mudah menyesuaikan dengan kebutuhan
yang ada. Kejelasan tugas yang kaku dalam keberhasilan
Kelembagaan pada paradigma lama bertentangan dengan
kesuksesan paradigma baru tentang fleksibilitas. Fleksibilitas
dapat membangkitkan k e t i d a k j e l a s a n ,
m e m b u a n g j o b d e s c r i p t i o n ( u r a i a n t u g a s ) d a n
membentuk tim secara ad hoc dan mengadakan pembaharuan dala
tugas dengan merampingkan tugas atau pekerjaan.
3. Integrasi. Kelembagaan merupakan suatu kesatuan walaupun
terbagi kedalam bagian-bagian tertentu namun harus tetap
dipandang secara keseluruhan.
4. Inovasi. Kelembagaan yang berhasil adalah kelembagaan yang
mampu menghasilkan pembaharuan dengan menghasilkan
inovasi dan kreatifitas baik dalam proses pelaksanaan
pekerjaan maupun produk yang dihasilkannya.
B. Karakteristik Kawasan Perbatasan
Didalam Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara
(Bappenas: 2006), Perbatasan Negara didefinisikan sebagai
"wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berbatasan dengan negara lain, dan b a t a s - b a t a s w i l a y a h n y a
20 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
37. ditentukan berdasarkan peraturan perundang- u n d a n g a n
yang berlaku". Sedangkan Lemhanas dalam naskah seminar
Peserta Kursus Reguler Angkatan XXXVII, (Lemhanas : 2004),
memberikan definisi perbatasan adalah batas terluar wilayah
darat, laut, dan udara suatu negara yang memisahkan kedaulatan
negara dengan negara lain, baik yang dibatasi oleh garis batas
negara atau garis batas imajiner. Dapat pula dikatakan
sebagai wilayah terdepan yang menghadapi garis batas dengan
negara tetangga atau wilayah internasional.
Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sekitar
81.900 km dengan jumlah lebih dari 17.500 pulau, Indonesia
memiliki kawasan yang berbatasan dengan 10 (sepuluh)
Negara, baik wilayah darat maupun laut. W i l a y a h d a r a t
Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara- negara
Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Dimana kawasan
perbatasan darat tersebut berada di tiga pulau, yaitu Pulau
Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor, yang tersebar di empat
Provinsi dan 15 kabupaten/kota dan masing-masing
wilayah memiliki karakteristik kawasan yang berbeda-beda.
Perbatasan darat Pulau Kalimantan berbatasan dengan
negara bagian Sabah dan Sarawak Malaysia. Kondisi
sosial ekonomi masyarakat di negara bagian Sabah dan Sarawak
dibandingkan dengan masyarakat Indonesia di wilayah tersebut
jauh lebih baik. Kondisi tersebut kemudian memicu terjadinya
perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk dari
wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia dengan latar
belakang untuk memperbaiki perekonomian masyarakat. Terjadinya
perbedaan harga jual produk-produk yang dihasilkan,
ditambah lagi dengan nilai kurs rupiah yang lebih rendah
terhadap mata uang negara tetangga, memberikan implikasi
terhadap relatif murahnya harga barang dan jasa di wilayah
Indonesia, sehingga memberi peluang keluarnya barang
dan jasa dari wilayah Indonesia. Kondisi ini sekaligus menjadi
pemicu terjadinya kegiatan-kegiatan ekonomi secara ilegal dalam
bentuk pengiriman manusia (human trafficking),
penebangan hutan (illegal logging), perdagangan barang (illegal
trading), pencurian ikan (illegal fishing) serta tindakan kriminalitas
21
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
38. lainnya.
Di wilayah perbatasan Papua-PNG, kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat Indonesia relatif lebih baik dan masih ada keterikatan
keluarga dan suku sehingga adanya arus orang dan perdagangan
barang yang bersifat tradisional (barter) melalui pintu-pintu perbatasan
yang belum resmi merupakan hal yang terjadi sehari-hari. Kegiatan
perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi dan bersifat resmi antara
kedua negara melalui pintu perbatasan ini masih sangat terbatas.
Wilayah perbatasan di Papua terdiri dari areal hutan, baik hutan
konversi maupun hutan lindung dan taman nasional. Secara topografi
sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri dari pegunungan
dan bukit-bukit yang sulit dijangkau dengan sarana perhubungan roda
empat dan roda dua, satu-satunya sarana perhubungan yang dapat
menjangkau adalah dengan pesawat udara atau helikopter.
Kondisi wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur, secara umum
masih belum berkembang dengan sarana dan prasarananya yang
masih bersifat darurat dan sementara. Meskipun demikian relatif lebih
baik dibandingkan dengan di wilayah Timor Leste. Di wilayah
perbatasan ini sudah berlangsung kegiatan perdagangan barang dan
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat Timor Leste dengan nilai jual
yang relatif lebih tinggi. Besarnya perhatian dan bantuan dunia
internasional, termasuk PBB, terhadap Timor Leste sebagai negara
yang baru terbentuk dalam jangka panjang negara ini akan cepat
berkembang sehingga berpotensi terjadinya kesenjangan
pembangunan sosial ekonomi dengan masyarakat di NTT.
Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara,
yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik
Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Kawasan
perbatasan laut Indonesia meliputi : (1) Batas Laut Teritorial (BLT), (2)
Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), (3) Batas Landas Kontinen (BLK),
(4) Batas Zona Tambahan (BZT), dan (5) Batas Zona Perikanan Khusus
(Special Fisheries Zone/SFZ). Ketiga batas laut pertama diukur
jaraknya dari titik dasar/garis pangkal kepulauan, yang penetapannya
bergantung pada keberadan pulau-pulau terluar yang jumlahnya saat
ini paling tidak sebanyak 92 pulau
Kondisi perbatasan laut yang terdiri dari wilayah laut yang
berbatasan dengan negara lain beserta 92 pulau-pulau kecil terluar
22 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
39. sebagai lokasi titik pangkal masih memerlukan perhatian khusus.
Masih banyak segmen garis-garis batas laut yang belum disepakati
antara RI dengan negara tetangga, baik batas landas
kontinen, batas laut teritorial, maupun ZEE. Hal ini berpotensi
menjadi akar sengketa ekonomi dan kedaulatan dengan
negara tetangga jika tidak dikelola dengan baik.
Salah satu permasalahan serius yang masih dihadapi oleh
bangsa ini dalam pelaksanaan pembangunan nasional adalah
masih terjadinya ketimpangan (gap) pembangunan
yang dirasakan oleh satu kawasan dengan kawasan lain.
Begitu juga halnya dengan daerah-daerah yang berada
di kawasan perbatasan yang secara umum masih dalam kategori
daerah tertinggal, terpencil dan miskin.
C. Implementasi Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Pembahasan tentang kondisi pengelolaan wilayah
perbatasan dalam beberapa kurun waktu terakhir, maka
akan dihadapkan pada berbagai persoalan yang
dihadapi baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
dan khususnya yang dirasakan dan menjadi persoalan y a n g
menyelimuti masyarakat di kawasan perbatasan. Berbagai
persoalan tersebut diantaranya terkait dengan aspek kebijakan
pembangunan terhadap pengelolaan kawasan perbatasan,
kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat di
kawasan perbatasan, permasalahan pertahanan dan
keamanan, begitu juga dengan persoalan yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam, dan yang tidak kalah
peliknya adalah persoalan kelembagaan dan kewenangan
pengelolaan kawasan perbatasan yang belum tertata dengan
baik.
Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah
perbatasan memang masih belum mendapat perhatian
yang cukup serius dari pemerintah. Hal ini tercermin
dari kebijakan pembangunan yang kurang m e m p e r h a t i k a n
kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada
wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan
potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-
23
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
40. daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti
kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.
Arah kebijakan yang salah tersebut pada akhirnya secara
nasional m e n y e b a b k a n t e r j a d i n y a k e t i m p a n g a n
pembangunan yang jauh antar wilayah di Indonesia terutama
antara perdesaan dan perkotaan, antara Jawa dan luar Jawa, antara
kawasan hinterland dengan kawasan perbatasan, serta antara
Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Berbagai
bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan tingkat
kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Kesenjangan yang ada juga
diperburuk oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya
terutama sumber daya manusia dan sumber daya alam antara
daerah yang satu dengan yang lain.
Ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia dapat
dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan
ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,18 persen,
sedangkan di Papua sekitar 38,69 persen. Ketimpangan pelayanan
sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air
bersih juga terjadi antar wilayah, dimana penduduk di Jakarta rata-
rata bersekolah selama 9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-
rata hanya bersekolah selama 5,8 tahun. Hanya sekitar 30 persen
penduduk Jakarta yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih,
tetapi di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen penduduk tidak
mempunyai akses terhadap air bersih.
Salah satu kawasan di Indonesia yang paling tertinggal
dibandingkan dengan kawasan yang lain adalah kawasan di
perbatasan. Permasalahan utama dari ketertinggalan
pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan
pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi
'inward looking' sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya
menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya,
wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah
prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Munculnya paradigma ini, disebabkan oleh sistem politik dimasa
lampau yang sentralistik dan sangat menekankan stabilitas
keamanan. Disamping itu secara historis, hubungan Indonesia
24 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
41. dengan beberapa negara tetangga pernah dilanda konflik, serta
seringkali terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam
negeri.
Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan
lebih didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari
potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung
memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan
(security belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan
kawasan perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui
optimalisasi potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan
oleh investor swasta.
Faktor lain yang juga tidak kalah penting yang memberikan
kontribusi terhadap ketimpangan pembangunan terhadap kawasan
perbatasan dibandingkan dengan kawasan lain adalah belum
tersusunnya suatu kebijakan nasional yang memuat arah,
pendekatan, dan strategi pengembangan kawasan perbatasan yang
bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan fungsi dan peran seluruh
stakeholders kawasan perbatasan, baik di pusat maupun daerah,
secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini mengakibatkan penanganan
kawasan perbatasan terkesan terabaikan dan bersifat parsial.
Kesalahan persepsi dan pendekatan dalam pembangunan
kawasan tersebut telah memberi dampak jangka panjang sampai
dengan saat ini. Dampak sosial dan ekonomi yang dewasa ini
muncul dan paling riil dirasakan masyarakat di kawasan perbatasan
adalah masalah kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya
jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta
kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah
perbatasan negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi
berbagai faktor-faktor turunan lainnya, seperti rendahnya mutu
sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung,
rendahnya produktifitas masyarakat dan belum optimalnya
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan perbatasan. Implikasi
lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di kawasan
perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-
kegiatan ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini
selain melanggar hukum dan potensial menimbulkan kerawanan
dan ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain kegiatan
ekonomi ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik,
25
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
42. Sumber: Bakosurtanal, 2003
II. BATAS LAUT TERITORIAL
1 RI– Malaysia Telah disepakati Disepakati dalam perjanjian Indonesia
-
Malaysia Tahun 1970
2 RI – Singapura (di
sebagian Selat
Singapura)
Telah disepakati Disepakati dalam perjanjian Indonesia
-
Singapura Tahun 1973
3 RI– PNG Telah disepakati Disepakati dalam Perjanjian Indonesia
-
PNG Tahun 1980
4 RI– Timor Leste Belum disepakati Perlu ditentukan garis -garis pangkal
kepulauan di Pulau Leti, Kisar, Wetar. Liran.
Alor, Pantar, hingga Pulau Vatek, dan titik
dasar sekutu di Pulau Timor
5 RI-Malaysia
-Singapura Belum disepakati Perlu perundingan bersama (tri
-partid)
III. BATAS LANDAS KONTINEN
1 RI– India Telah disepakati 10 titik BLK di Laut Andaman berikut
koordinatnya disepakati berdasarkan
perjanjian pada tahun 1974 dan 1977
2 RI– Thailand Telah disepakati Titik-titik BLK di selat Malaka maupun
Laut Andaman disepakati berdasarkan
perjanjian pada tahun 1977
3 RI– Malaysia Telah disepakati 10 titik BLK di Selat Malaka dan 15 titik
di Laut Natuna disepakati berdasarkan
perjanjian pada tahun 1969
4 RI– Australia Telah disepakati ~ Titik-titik BLK di Laut Arafura dan laut
Timor ditetapkan melalui Keppres
pada Tahun 1971 dan 1972
~ Titik-titik BLK di Samudera Hindia dan
di sekitar Pulau Christmas telah
disepakati berdasarkan perjanjian
pada tahun 19
97.
5 RI– Vietnam Belum disepakati Dalam proses negosiasi
6 RI– Philipina Belum disepakati Dalam proses negosiasi
7 RI– Palau Belum disepakati Belum ada proses perundingan
8 RI– Timor Leste Belum disepakati Belum ada proses perundingan
No Batas Laut Status Keterangan
I. ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
1 RI–Malaysia Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
2 RI–Vietnam Telah disepakati Kesepakatan di tingkat teknis, menunggu
proses ratifikasi
3 RI–Philipina Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
4 RI–Palau Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
5 RI–PNG Belum disepakati Tidak ada batas laut
6 RI–Timor Leste Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
7 RI–India Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
8 RI–Singapura Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
9 RI-Thailand Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
10 RI–Australia Telah disepakati ZEE di Samudera Hindia, Lauta Arafura,
dan Laut Timor
Tabel. 2.1
Status Batas-batas Laut Antara RI dengan Negara Tetangga
26 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
43. Keterbatasan-keterbatasan terhadap pengelolaan kawasan
perbatasan tersebut juga telah menyebabkan potensi sumberdaya
alam yang berada di kawasan perbatasan juga belum dimanfaatkan
secara optimal. Potensi sumberdaya alam yang memungkinkan
dikelola di sepanjang kawasan perbatasan, antara lain sumber daya
kehutanan, pertambangan, perkebunan, pariwisata, dan perikanan.
Selain itu, devisa negara yang dapat digali dari kawasan perbatasan
dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan antarnegara.
Namun upaya optimalisasi potensi sumber daya alam juga
harus memperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga tidak
mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
sosial. Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya pemanfaatan
SDA dilakukan secara ilegal dan tak terkendali, sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan
hidup. Berbagai dampak lingkungan seperti polusi asap lintas batas
(hedge pollution), banjir, longsor, tenggelamnya pulau kecil, dan
sebagainya pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan
ilegal, seperti penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan
pasir di pulau-pulau kecil yang tidak terkendali. Untuk kasus illegal
logging, Departemen Kehutanan menyatakan taksiran bahwa setiap
3
bulannya sekitar 80.000-100.000 m kayu ilegal dari Kalimantan
3
Timur dan sekitar 150.000 m kayu ilegal dari Kalimantan Barat
masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei 2001). Hal ini cukup sulit
ditangani, karena keterbatasan pengawasan pemerintah di kawasan
perbatasan dan belum ditegakkannya supremasi hukum secara adil
dan tegas.
Dari berbagai persoalan tersebut diatas, secara manajemen
persoalan yang juga cukup krusial yang belum tertangani dengan
baik adalah belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan
perbatasan secara integral dan terpadu serta belum jelasnya
kewenangan dalam pengelolaannya. Dimana sampai saat ini,
permasalahan-permasalahan di beberapa kawasan perbatasan
masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial
serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui
27
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
44. beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil
yang optimal.
D. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), keberadaan wilayah perbatasan mempunyai
nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan secara
nasional. Keberadaanya yang berbatasan langsung dengan
wilayah negara lain menyebabkan t u m b u h d a n
berkembangnya interaksi antar masyarakat dari kedua
negara bertetangga, yang dapat berdampak positif maupun negatif
dalam perkembangan selanjutnya. Dampak positif dan negatif dari
interaksi yang terjalin antar masyarakat dari kedua negara
berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan sosial,
ekonomi serta terhadap ketahanan dan keamanan baik yang besifat
regional maupun nasional. Kondisi ini menjadikan pengelolaan
wilayah perbatasan, menjadi sesuatu yang penting, tidak
sebatas sebagai lalu lintas orang atau barang yang masuk k e a t a u
keluar dari wilayah negara, tetapi juga untuk menghindari
penggunaan wilayah perbatasan sebagai tempat lalu lintas kegiatan
yang merugikan kepentingan nasional, seperti infiltrasi, subversi,
penyelundupan, pencurian kekayaan alam, lalu lintas kejahatan
transnasional dan tindakan lain yang dapat mengganggu
keberlanjutan lingkungan dan stabilitas nasional.
Percepatan pembangunan wilayah perbatasan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat memerlukan kebijaksanaan
khusus yang memberikan arahan dan konsepsi dasar
pembangunan wilayah perbatasan, yang tidak dapat
digeneralisasi karena adanya perbedaan k a r a k t e r i s t i k d a n
s e j u m l a h w i l a y a h p e r b a t a s a n d i I n d o n e s i a .
Kebijaksanaan khusus tersebut agar menjadi pedoman dan tuntunan
yang jelas tentang arah percepatan pembangunan, setelah
mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis yang
berpengaruh terhadap pembangunan wilayah perbatasan.
(Lemhanas : 2004).
Sebagai bagian dari NKRI wilayah perbatasan beserta dengan
masyarakat dan lingkungan sosial dan budaya setempat
tentunya harus menjadi bagian integral dari semua kebijakan
28 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
45. nasional di negara ini. Sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi dalam pembangunan wilayah perbatasan Indonesia
adalah Bab IXApasal 25AUUD 1945 tentang W i l a y a h
Negara. Pasal ini mengamanatkan perlunya penetapan Undang
Undang tentang batas-batas wilayah dan hak-haknya. Upaya
mempercepat pembangunan wilayah perbatasan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka
memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan
dengan pasal 27 ayat (2), yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pada pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 dinyatakan
bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara. Pasal-pasal 28Asampai dengan 28J merupakan
landasan konstitusional hak-hak setiap warga negara Republik
Indonesia, tidak terkecuali masyarakat yang tinggal di wilayah
perbatasan, untuk mendapatkan keamanan dan kehidupan yang
sejahtera. Pasal-pasal tersebut merupakan dasar pemikiran
perlunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah
perbatasan dalam rangka memperkokoh NKRI.
Penanganan perbatasan negara selama ini belum dapat
berjalan secara optimal dan kurang terpadu. Persepsi bahwa
penanganan kawasan perbatasan ini hanya menjadi domain
pemerintah (pusat) saja sudah waktunya diperbaiki dalam era
otonomi daerah, meskipun wilayah perbatasan ini merupakan
kawasan nasional yang strategis. Dengan demikian penanganan
pembangunan di wilayah perbatasan dapat lebih holistik dan
dilandasi konsep penataan ruang wilayah perbatasan (strategi
pengembangan wilayah) dengan didukung data base, potensi lokal
dan wilayah sekitarnya termasuk fasilitas pasar di negara tetangga
yang akurat. Perumusan program pembangunan pada wilayah
perbatasan dapat mengangkat kualitas kesejahteraan
masyarakatnya dan kemajuan wilayah tanpa mengorbankan
kelestarian lingkungan.
Salah satu hal yang turut memberikan kontribusi terhadap
belum optimalnya pengelolaan dan penanganan permasalahan
perbatasan saat ini adalah belum adanya suatu lembaga yang
secara khusus mengelola keseluruhan aspek pengelolaan
29
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
46. perbatasan, terutama di tingkat nasional. Begitu juga halnya dengan
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun daerah,
juga belum terpetakan dengan jelas.
Jika mengacu kepada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 10 Ayat (1), (2) dan (3) tentang Pemerintahan Daerah, urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi: politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional;
dan agama. Sedangkan urusan "concurrent" yang dapat
dilaksanakan antara Pemerintah dan Daerah salah satunya adalah
urusan pengelolaan perbatasan.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional 2004-
2009) telah menetapkan arah dan pengembangan wilayah
Perbatasan Negara sebagai salah satu program prioritas
pembangunan nasional. Pembangunan wilayah perbatasan memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan misi pembangunan nasional,
terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah,
pertahanan keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan
rakyat di wilayah perbatasan. Paradigma baru, pengembangan
wilayah-wilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah
kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi
"inward looking", menjadi "outward looking" sehingga wilayah
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas
ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan
pembangunan wilayah Perbatasan Negara menggunakan
pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dengan tidak
meninggalkan pendekatan keamanan (security approach).
Sedangkan program pengembangan wilayah perbatasan (RPJM
Nasional 2004-2009), bertujuan untuk : (a) menjaga keutuhan
wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin
oleh Hukum Internasional; (b) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan
budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis
untuk berhubungan dengan negara tetangga.
Adapun beberapa kegiatan prioritas yang akan dilakukan dalam
rangka memfasilitasi pemerintah daerah sesuai RPJM adalah :
a. Penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam mempercepat
30 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
47. peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di
daerahnya melalui: (a) peningkatan pembangunan
sarana dan prasarana sosial dan ekonomi; (b)
peningkatan kualitas SDM; (c) p e m b e r d a y a a n
kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan; (d)
peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan;
b. Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan
pembangunan, terutama untuk pembangunan sarana dan
prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan
pulau-pulau kecil melalui, antara lain, penerapan berbagai
skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian
prioritas Dana Alokasi Khusus (DAK), Public Service
Obligation (PSO) dan keperintisan untuk transportasi perhubungan,
penerapan Universal Service Obligation (USO) untuk
telekomunikasi dan program listrik masuk desa;
c. Percepatan pendeklarasian dalam rangka penetapan garis batas
antarnegara dengan tanda-tanda batas yang jelas serta
dilindungi oleh hukum intemasional;
d. Peningkatan kerja sama masyarakat dalam memelihara
lingkungan (hutan) dan mencegah penyelundupan
barang, termasuk hasil hutan ( i l l e g a l l o g g i n g ) d a n
perdagangan manusia (human trafficking). Namun
demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan
orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas
kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan
pertahanan;
e. Peningkatan kemampuan kerjasama kegiatan ekonomi antar
kawasan perbatasan dengan kawasan negara
tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah
perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara. S e l a i n d a r i
pada itu, perlu pula dilakukan pengembangan wilayah
perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumber
daya alam lokal melalui pengembangan sektor-sektor unggulan;
f. Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat; dan penegakan
supremasi hukum serta aturan perundang-undangan
terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah
perbatasan.
31
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
48. Sebagai salah satu upaya konkrit dari penjabaran RPJM 2004-
2009, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005
tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 (RKP 2006) telah
pula menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai
prioritas pertama dalam mengurangi disparitas pembangunan
antarwilayah, dengan program-program antara lain :
a. Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah
perbatasan, pulau-pulau kecil terisolir melalui kegiatan : (i)
pengarusutamaan DAK untuk wilayah perbatasan,
terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan
perikanan, irigási, dan t r a n s p o r t a s i , ( i i )
p e n e r a p a n s k i m k e w a j i b a n l a y a n a n p u b l i k d a n
keperintisan untuk transportasi dan kewajiban layanan untuk
telekomunikasi serta listrik pedesaan;
b. Pengembangan ekonomi di wilayah Perbatasan Negara;
c. Peningkatan keamanan dan kelancaran lalu lintas orang dan
barang di wilayah perbatasan, melalui kegiatan : (i) penetapan
garis batas negara dan garis batas administratif, (ii)
peningkatan penyediaan f a s i l i t a s k e p a b e a n a n ,
keimigrasian, karantina, komunikasi, informasi, d a n
pertahanan di wilayah Perbatasan Negara (CIQS);
d. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang
secara adminstratif terletak di wilayah Perbatasan
Negara
Selain itu, pemerintah tengah merancang beberapa produk
hukum setingkat UU atau dibawah UU yang mengatur beberapa
dimensi pengelolaan perbatasan, yakni sebagai berikut (Dirjen
Pemerintahan Umum Depdagri):
1. RUU Batas Wilayah Kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diprakarsai oleh Departemen Dalam
Negeri.
2. Rancangan Keppres tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
Terluar yang diprakarsai oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan.
32 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
49. BAB III
KINERJA PELAYANAN PUBLIK DAN
PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DI
KABUPATEN NUNUKAN, SERTA
KEBUTUHAN PENATAAN KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Kab. Nunukan
Nunukan merupakan kabupaten hasil pemekaran Kabupaten
Bulungan berdasarkan UU No. 47 tahun 1999, sebagaimana
diubah dengan UU No. 7 tahun 2000. Kabupaten ini
memiliki karakteristik yang sangat khusus, misalnya menjadi tempat
transitTKI ke Luar Negeri dan TKI bermasalah, karena posisi
strategisnya sebagai daerah yang langsung berbatasan - baik darat
maupun laut - dengan Negara Bagian Sabah dan S e r a w a k
Malaysia. Selain itu, Nunukan juga merupakan salah satu Alur
Laut Kepulauan Indonesia (ALKI II) yang menghadap Selat Makasar
atau Laut Sulawesi. Karakter wilayah inilah yang menjadikan
Nunukan berpotensi besar sebagai pintu gerbang lalu
lintas perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri
sehingga bisa dikembangkan sebagai K A P E T ( K a w a s a n
Pengembangan EkonomiTerpadu) Perbatasan.
Secara geografis, Nunukan merupakan Kabupaten yang
terletak di bagian paling Utara Propinsi Kalimantan Timur, yang
terletak pada posisi antara 115°33' sampai dengan 118°3' Bujur
Timur dan 3°15'00" sampai dengan 4°24'55" Lintang Utara. Wilayah
Kabupaten Nunukan di sebelah Utara berbatasan langsung
dengan Negara MalaysiaTimur-Sabah, sebelah Timur
dengan Laut Sulawesi, sebelah Selatan dengan Kabupaten Bulungan
dan Kabupaten Malinau, sebelah Barat berbatasan langsung
dengan Negara Malaysia Timur-Serawak. Secara administratif
Kabupaten Nunukan terdiri dari tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan
33
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
50. Krayan, Krayan Selatan, Lumbis, Sembakung, Nunukan,
Sebuku, Sebatik dan Sebatik Barat.
2
Luas wilayah Kabupaten Nunukan adalah 14.263,68 km
atau 7,06 % dari total luas Propinsi Kalimantan Timur, yang terbagi
atas luas daratan 1.426.368 Ha, dan luas lautan 1.408.758 Km².
Berdasarkan pemanfaatannya, lahan digunakan sebagai area
pemukiman seluas 0,05 persen; lahan sawah 1,20 %; lahan
pertanian kering 0,58 %; lahan perkebunan 1,24 %; dan perikanan
tambak/kolam 1,14 %; serta sisanya berupa lahan hutan 86,61 %.
Secara topografi, wilayah daratan Kabupaten Nunukan terdiri
atas kawasan perbukitan terjal di sebelah utara bagian barat,
perbukitan sedang dibagian tengah dan dataran bergelombang dan
landai di bagian timur memanjang hingga ke pantai sebelah timur.
Perbukitan terjal disebelah utara, yang merupakan wilayah
perbatasan antar negara, merupakan jalur pegunungan dengan
ketinggian lebih dari 1.500 m dpl (diatas permukaan laut), sedangkan
perbukitan disebelah selatan bagian tengah ketinggiannya berkisar
antara 500 m - 1.500 m dpl.
Selain itu, Nunukan dapat dikatakan sebagai kabupaten
kepulauan, mengingat daerah ini memiliki 9 pulau yang tersebar
dalam 2 (dua) kecamatan. Secara kebetulan, ke-9 pulau yang masuk
dalam dua kecamatan tadi merupakan wilayah dengan kategori
perbatasan dengan negara Malaysia. Dengan karakter sebagai
daerah kepulauan ini (archipelago), maka Pemkab Nunukan perlu
memiliki kemampuan dalam merumuskan strategi pembinaan
kewilayahan yang spesifik dibanding pembinaan wilayah darat
Kecamatan Nama Pulau Luas
Nunukan 23.346
Tinabasan 1.790
Ahus 6.117
Bukat 2.143
Sebatik 24.661
Sinogolan 3.395
Sinelak 138
Iting-iting 887
Nunukan
Sebaung 16.387
Sumber: Nunukan Dalam Angka 2003 (Bappeda Kab. Nunukan)
34 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
51. Pada tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Nunukan
tercatat sebanyak 106.323 jiwa atau terjadi pertumbuhan sebesar
9,16 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2004,
penduduk Kabupaten Nunukan bertambah menjadi 109.527.jiwa,
dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 3,73 persen
per tahun, serta rata-rata kepadatan penduduk sebesar 2.89
jiwa/km². Penyebaran penduduk di kabupaten tersebut tidak merata,
karena sebagian besar memilih untuk tinggal di sekitar pantai,
daerah aliran sungai, unit permukiman transmigrasi, daerah
perkotaan serta lebih terkonsentrasi di kecamatan-kecamatan yang
potensi pengembangannya lebih baik. Kecamatan Sebatik memiliki
kepadatan lebih tinggi daripada kecamatan-kecamatan lainnya,
2
yaitu 123,68 jiwa per km . Di lain pihak, Kecamatan Krayan Selatan
dan Lumbis yang berada di wilayah perbatasan, termasuk ke dalam
kelompok kecamatan yang kepadatan penduduknya masih rendah.
Dari aspek ketenagakerjaan, 68.87% tenaga kerja bekerja di
sektor pertanian, manufaktur 13.75% dan jasa 17.37%. Diantara
jumlah tenaga kerja yang ada, 76.47% merupakan tenaga kerja laki-
laki. Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
sebesar 57.46%; yang berarti dari 100 orang yang termasuk usia
kerja, terdapat 57 orang yang bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pengangguran masih cukup tinggi di Nunukan. Dari TPAK
57.46% tadi dapat dirinci TPAK laki-laki sebesar 83.51 % atau lebih
besar 3 kali dibanding TPAK perempuan (27.48%). Berdasarkan
lapangan usaha yang ada, pada tahun 2003 sebagian besar
penduduk Kabupaten Nunukan masih terkonsentrasi pada sektor
primer dimana 68,87 persen penduduk bekerja di sektor pertanian.
Pada sisi yang lain terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja pada
sektor manufaktur dan jasa-jasa masih rendah, yaitu 13,75 persen
dan 17,37 persen.
Dalam rangka menjalankan program pembangunan di segala
bidang, Pemkab Nunukan telah menetapkan visi daerahnya, yakni:
"Mewujudkan Kabupaten Nunukan menjadi kawasan
perdagangan, agro industri dan jasa di kawasan Asia Tenggara
dalam rangka menyongsong perdagangan bebas yang
35
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
52. didukung oleh sumber daya manusia yang menguasai iptek dan
dilandasi imtaq".
Visi ini selanjutnya dijabarkan kedalam 10 (sepuluh) misi yang
akan dijalankan secara simultan, yang meliputi pokok-pokok
sebagai berikut:
1. Mempertahankan stabilitas keamanan guna melandasi proses
pembangunan.
2. Menciptakan masyarakat yang mampu bersaing dalam
menghadapi ekonomi global dan perdagangan bebas.
3. Peningkatan dan pengembangan pembangunan yang lebih
merata ke seluruh daerah pedalaman dan perbatasan
dengan meningkatkan peran serta masyarakat.
4. Pemanfaatan keanekaragaman sumber daya alam secara lestari
yang berorientasi industri pengolahan dan ekspor, dengan
memperhatikan aspek lingkungan hidup dan budaya
setempat.
5. Penguatan ekonomi rakyat yang didukung oleh peningkatan
kemampuan sumber daya manusia, yang menguasai iptek
dan dilandasi imtag.
6. Pengembangan daya saing daerah dalam rangka mendukung
Kabupaten Nunukan sebagai kawasan perdagangan Asia
Tenggara dengan mengembangkan potensi pedesaan
sebagai daerah unggulan dan daerah produktif.
7. Peningkatan investasi berskala internasional dengan penyediaan
fasilitas dan jasa pelayanan menuju perdagangan bebas.
8. Memperkukuh peran otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, didukung oleh aparatur Pemerintah
Daerah yang baik dan terpercaya (good government) dan
partisipasi masyarakat s e c a r a l u a s d a l a m
pembangunan.
9. Membuka peluang untuk perdagangan bebas dengan Sabah-
Malaysia dan Brunei.
10.Menciptakan daerah Kecamatan Sebatik, Krayan, Lumbis dan
Sembakung sebagai daerah pertanian dan perkebunan.
Selanjutnya, untuk merealisasikan visi dan misi diatas, Pemkab
Nunukan telah menetapkan strategi dan arah kebijakan yang akan
36 MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara
53. dijadikan sebagai pedoman dalam operasionalisasi program
pembangunan, yang meliputi 6 (enam) butir sebagai berikut:
1. Intensifikasi pemanfaatan sumber daya alam secara lestari yang
berorientasi pada industri pengolahan dan ekspor.
2. Peningkatan dan pengembangan kualitas dan kuantitas sumber
daya
3. Pengembangan dan peningkatan investasi, khususnya di sektor
swasta.
4. Pengembangan dan peningkatan pemanfaatan keunggulan
komparatif potensi pembangunan di sekitar Kabupaten Nunukan.
5. Pengembangan dan peningkatan kemampuan pelayanan
infrastruktur daerah.
6. Peningkatan penguasaan iptek, khususnya yang berkaitan
dengan industri dan jasa.
B. Profil Kecamatan Perbatasan di Nunukan
Dari 8 (delapan) kecamatan yang ada di Kabupaten Nunukan, 7
(tujuh) diantaranya berada di wilayah perbatasan, yakni
Sebatik, Nunukan, Sebuku, Lumbis, Kerayan, Kerayan
Selatan, dan Sebatik Barat. Meskipun memiliki karakteristik wilayah
yang serupa, namun secara administratif terdapat fenomena
perbedaan yang cukup kontras dan menarik untuk dikaji lebih
lanjut. Berdasarkan data tentang luas wilayah, j u m l a h
desa/kelurahan, jumlah penduduk, serta kepadatan penduduk,
manusia.
Kec. Perbatasan di
Kab. Nunukan
Jml
Desa/Kel
Luas Wil.
(km2
)
Jml
Penduduk
Kepadatan
Penduduk
1. Sebatik 8 246,61 km
2
30.947 jiwa 125,49
2. Nunukan 5 1.596,77 km
2
45.746 jiwa 29,48
3. Sebuku 21 3.124,9 km
2
10.662 jiwa 3,41
4. Lumbis 60 3.645,50 km
2
8.870jiwa 2,43
5. Kerayan 65 1.837,54 km
2
6.970jiwa 3,79
6. Kerayan Selatan 24 1.756,46 km
2
2.048jiwa 1,17
7. Sebatik Barat n.a. n.a. n.a. n.a.
Catatan : Data Sebatik Barat masih terintegrasi dengan data Kecamatan Sebatik.
Sumber : Profil Nunukan 2005 (Bappeda Nunukan, dimodifikasi).
manusia.
37
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI WILAYAH PERBATASAN
seri
penelitian
administrasi
negara