3. Modul Manajemen Inovasi | iii
KATA PENGANTAR
Dalam upaya mewujudkan 100 tahun Indonesia Emas 2045, pemerintah menghadapi
sejumlah tantangan baik dari lingkungan global dan regional. Lingkungan global dan regional
memberikan kontribusi terhadap pembentukan lingkungan strategis domestik suatu negara tak
terkecuali Indonesia. Tantangan terbesar yang akan dihadapi pemerintah adalah berkaitan
dengan fenomena global megatrends. Globalisasi dan regionalisasi telah menciptakan
perubahan lingkungan sosial-politik ekonomi-hukum suatu negara-bangsa yang bersifat
dinamis, kompleks dan penuh ketidakpastian. Dalam konteks kekinian, perkembangan global
(global megatrends) telah menciptakan tantangan tersendiri bagi suatu negara bangsa,
khususnya memberikan dampak yang signifikan bagi setiap negara dalam mengupayakan
tujuan pembangunan nasional.
Upaya mewujudkan Indonesia Emas dapat dicapai melalui empat pilar pembangunan,
yaitu: (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (2)
Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan, dan (4) Ketahanan
Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan. Dalam pilar Pembangunan Manusia, pemerintah
saat ini tengah mengupayakan pembangunan SDM dengan meningkatkan kemampuan Sumber
Daya Manusia yang berkualitas. Agar Indonesia dapat memiliki sumber daya manusia yang
unggul, berbudaya, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi global
megatrends di era VUCA dan tatanan hidup baru. Kegagalan suatu Negara melakukan respon
secara cepat dan tepat terhadap fenomena global megatrends akan mengakibatkan sulitnya
proses pencapaian tujuan pembangunan nasional yang telah dicanangkan. Sejalan dengan hal
tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN) dimana ASN sebagai SDM penyelenggara pemerintahan wajib
4. iv | Modul Manajemen Inovasi
memiliki kompetensi dalam menjawab bagian tantangan-tantangan dalam perubahan global
megatrends tersebut dalam rangka mewujudkan world class government, untuk itu maka
diperlukan upaya perbaikan dan adaptasi dengan cepat dan tepat. Salah satu upaya yang di
lakukan yaitu memberikan Pendidikan dan Pelatihan yang terintegrasi bagi ASN melalui
program fast track Sekolah Kader.
Peran talenta unggul dalam Sekolah Kader menjadi sangat strategis diwujudkan
melalui program fast track tersebut, karena talenta-talenta unggul adalah bibit pemimpin masa
depan bangsa yang dapat mengisi melalui kontribusinya yang diharapkan mampu berperan
yaitu: pertama adalah sebagai agen perubahan. Dalam konteks reformasi sektor publik,
pemimpin agen perubahan berperan dalam mendorong kemampuan organisasi birokrasi untuk
melakukan adaptasi kelembagaan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Pemimpin perubahan berperan menciptakan visi yang menjadi sumber inspirasi perubahan bagi
para anggota organisasi (Bennis and Nanus, 1986). Mereka diharapkan mampu mendorong
proses kreatif bagi aparatur untuk bergerak melakukan terobosan-terobosan guna mencapai
kondisi ideal yang diharapkan. Kedua, adalah sebagai role model. Mereka mampu memberikan
teladan kepada pegawai untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang baik.
Ketiga, berperan sebagai enabler yaitu memberikan motivasi pegawai dalam melakukan
perubahan dan membantu mereka mengatasi berbagi kendala yang dihadapi. Keempat, sebagai
pemimpin yang bertanggung jawab dalam menciptakan peluang perubahan (opportunities
creation) dengan membangun jejaring kerjasama dengan stakeholder secara luas. Beberapa ahli
kepemimpinan menyebut kemampuan ini sebagai kemampuan adaptif yaitu bagaimana
membangun hubungan yang baik dengan stakeholder internal maupun eksternal. Peran strategis
pemimpin dalam menjawab tantangan lingkungan strategis sektor publik juga diakui di dunia
5. Modul Manajemen Inovasi | v
global dan diharapkan mampu terwujud salah satunya melalui jalur fast track career Sekolah
Kader.
Sekolah Kader adalah merupakan system pengembangan kompetensi yang terintegrasi
sejalan dengan PP 17 Tahun 2020 yang merupakan perubahan atas PP 11 Tahun 2017 Tentang
Manajemen PNS. Sekolah Kader merupakan program pengembangan menyeluruh yang
berusaha mengintegrasikan antara akselerasi penguatan karakter, akselerasai penguatan
manajerial, akselerasai penguatan kompetensi teknis dan Integrated Project Assignment
melalui jalur fast track career agar para bibit talenta unggul dapat segera berkontribusi dalam
birokrasi dan mampu berperan sebagai pengungkit daya saing birokrasi ditingkat global.
Sekolah Kader membentuk kader kepemimpinan yang lebih responsif terhadap berbagai
perubahan lingkungan strategis, yang mencerminkan fleksibilitas dan agile sebagai dasar untuk
membangun konsensus dengan para pemangku kepentingan dalam proses kebijakan yang
adaptif dengan mengedepankan kepemimpinan deliberatif.
Untuk itu dalam rangka mendukung terwujudnya world class bureaucracy tersebut,
maka pada setiap Instansi Pemerintah diperlukan sosok talenta unggul yang memiliki tanggung
jawab memimpin pelaksanaan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan
pembangunan untuk keberlangsungan unit organisasi, dalam rangka peningkatan kinerja unit
organisasi. Pelayanan publik yang dilaksanakan, dikelola dan dikendalikan dengan baik,
menjadi bagian integral dari akuntabilitas bagi peningkatan kualitas kinerja unit organisasi yang
dilaksanakan secara efisien dan efektif, sesuai standar operasional prosedur (SOP) dan
terselenggaranya peningkatan kinerja secara berkesinambungan.
Untuk mengembangkan kompetensi talenta unggul dalam memenuhi standar
kompetensi manajerial, kompetensi teknis dan sosio kultural melalui Sekolah Kader maka dapat
6. vi | Modul Manajemen Inovasi
diwujudkan salah satunya melalui pelatihan fast track Sekolah Kader untuk membentuk sosok
pemimpin birokrasi yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjabarkan visi dan misi
instansi kedalam program instansi.
Untuk menjaga kualitas keluaran/hasil Diklat dan kesinambungan Diklat bagi para
talenta unggul di masa depan serta dalam rangka penetapan standar kualitas program Sekolah
Kader, maka Lembaga Administrasi Negara (LAN) berinisiatif menyusun Modul Diklat bagi
para talenta unggul pada program fast track Sekolah Kader ini.
Atas nama Lembaga Administrasi Negara, kami mengucapkan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada tim penyusun yang telah bekerja keras menyusun Modul ini. Begitu
pula halnya dengan instansi dan narasumber yang telah memberikan review dan masukan, kami
ucapkan terima kasih atas masukan dan informasi yang diberikan. Kami sangat menyadari
bahwa Modul ini jauh dari sempurna. Dengan segala kekurangan yang ada pada Modul ini,
kami mohon kesediaan pembaca untuk dapat memberikan masukan yang konstruktif bagi
penyempurnaan selanjutnya. Semoga Modul ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Jakarta, Desember 2020
Deputi Bidang Penyelenggaraan
Pengembangan Kompetensi LAN RI
Dr. Basseng, M.Ed
7. Modul Manajemen Inovasi | vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………….. viii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
B. Deskripsi Singkat …………………………………………………….. 2
C. Tujuan dan Indikator Hasil Belajar …………………………………… 2
D. Materi dan Sub Materi Pokok ………………………………………… 3
E. Petunjuk Belajar ……………………………………………………… 4
BAB II MANAJEMEN INOVASI DALAM BIROKRASI …………………… 6
A. Peran Middle Manager (Jabatan Administrator) Dalam Organisasi … 6
B. Tata Kelola Inovasi ………………………………………………….. 8
C. Ekosistem Inovasi ……………………………………………………. 11
D. GAAP Sebagai Model Inovasi Pemerintah ………………………….. 13
E. Evaluasi ………………………………………………………………. 15
BAB III MEMBANGKITKAN POTENSI DIRI SEBAGAI KEKUATAN
PERUBAHAN …………………………………………………………… 17
A. Kehendak Sebagai Faktor Kunci Inovasi …………………………….. 17
B. Kisah Dr. Bruce Wenner dan Prabu Kresna …………………………. 19
C. Menjadi Pemain yang Tidak Terbatas ……………………………….. 21
D. Kisah-Kisah Mind-Blowing Lainnya ………………………………… 24
E. Evaluasi ………………………………………………………………. 25
BAB IV MENEMUKAN DAN MENDESAIN INOVASI (INITIATIVE FOR
CHANGE) ……………………………………………………………….. 27
A. Heutagogy Sebagai Metode Berinovasi Berpusat pada Inovator ……. 27
B. Utilisasi Teori U untuk Merancang Prototype Perubahan …………… 29
C. Evaluasi ………………………………………………………………. 32
BAB V PENUTUP ………………………………………………………………. 34
A. Simpulan …………………………………………………………….. 34
B. Tindak Lanjut Pembelajaran ………………………………………… 34
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 36
PEDOMAN UNTUK FASILITATOR ………………………………………………… 38
8. viii | Modul Manajemen Inovasi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Skema Tahapan Pembelajaran
Gambar 2.1. Tiga Strategi yang Menentukan Keberhasilan atau Kegagalan Middle
Management dalam Organisasi (Sumber: Atte Isomaki, 2017)
Gambar 2.2. Lingkungan Inovasi Sektor Publik (Sumber: OECD, 2015)
Gambar 2.3. Ekosistem Inovasi Daerah (Sumber: Adi Suryanto, 2020)
Gambar 3.1. Transformasi Diri Seorang Bruce Banner dan Prabu Kresna
Gambar 3.2. Video tentang Permainan Terbatas vs Permainan Tidak Terbatas
Gambar 3.3. Beragam Kisah dan Metafora untuk Membangkitkan Kehendak Berinovasi
(Mindblowing Inovasi)
Gambar 4.1. Perbandingan Metode Heutagogy dengan Metode Belajar Konvensional
(Paedagogy dan Andragogy)
Gambar 4.2. Lima Tahapan Teori U
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Komponen Sistem Inovasi Administrasi Negara
Tabel 3.1. Perbedaan Karakter Finite Games dan Infinite Games
9. Modul Manajemen Inovasi | 1
BAB I
PENDAHULUAN
Indikator Hasil Belajar:
Setelah mengikuti pembelajaran pada Bab ini, peserta mampu memahami ruang
lingkup, tujuan, dan mekanisme pembelajaran dari mata pelatihan Manajemen
Inovasi Dalam Birokrasi ini. Selain itu, peserta juga diharapkan mampu
memahami dan menjelaskan tentang urgensi inovasi bagi organisasi
pemerintahan melalui pembentukan kader-kader pemimpin di level menengah
(Jabatan Administrator).
A. Latar Belakang
Sejak berlakunya PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (telah diubah
dengan PP Nomor 17 Tahun 2020), terdapat terobosan penting dalam sistem pengembangan
SDM aparatur, yakni diperkenalkannya konsep kebijakan tentang Sekolah Kader. Dalam
Ketentuan Umum dijelaskan bahwa Sekolah Kader adalah sistem pengembangan kompetensi
yang bertujuan untuk menyiapkan pejabat administrator melalui jalur percepatan peningkatan
jabatan.
Sekolah Kader ini adalah model percepatan karir pegawai yang sudah lama di terapkan
di berbagai negara maju. Namun bagi Indonesia, baru sekarang pemerintah mengusung gagasan
pola karir bagi PNS yang asimetris. Artinya, selain pola karir standar yang berlaku selama ini,
juga terdapat pilihan karir cepat (fast-track atau fast-stream) bagi pegawai yang memiliki
kapasitas (dedikasi, kualifikasi, kompetensi, dan kinerja) diatas rata-rata. PNS yang mengikuti
dan lulus Sekolah Kader dengan predikat sangat memuaskan, dapat menduduki jabatan
administrator (Eselon 3) tanpa harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi PNS lainnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sekolah Kader merupakan inovasi kebijakan untuk
mewujudkan sosok ASN unggul sebagai pelayan publik berkelas dunia.
Hadirnya Sekolah Kader diharapkan menjadi pelengkap dan memperkuat terhadap
program pengembangan kompetensi yang telah ada sebelumnya, baik yang klasikal maupun
yang non-klasikal, sehingga dapat lebih dijamin ketersediaan kader-kader pemimpin yang
10. 2 | Modul Manajemen Inovasi
memiliki daya saing untuk menjawab tantangan jaman yang semakin kompleks. Artinya,
Sekolah Kader tidak akan menegasikan program pengembangan kompetensi yang telah
berjalan dengan baik selama ini.
Untuk mendukung tersedianya kader-kader pemimpin masa depan itulah, maka
pembelajaran Sekolah Kader harus mampu memberikan bekal yang komprehensif bagi peserta
didik, yang salah satunya adalah materi tentang “Manajemen Inovasi Dalam Birokrasi” ini.
B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan Manajemen Inovasi Dalam Birokrasi ini diberikan kepada peserta Sekolah
Kader, yang menekankan urgensi inovasi dalam memperkuat kinerja organisasi serta peran
kader pemimpin sebagai penggerak inovasi dalam organisasi. Dengan kata lain, pelatihan ini
diharapkan dapat mencetak kader pemimpin yang mampu berinovasi (innovative leader),
sekaligus mampu memimpin proses inovasi dalam organisasi (innovation architect).
Meminjam kutipan dari Steve Jobs, innovation distinguishes between a leader and a follower,
maka peserta Sekolah Kader diharapkan mampu berpikir dan bertikdak layaknya seorang
pemimpin (think and act like a leader).
Penyampaian materi akan dilakukan secara interaktif, dalam arti peserta diposisikan
sebagai pusat belajar (learner-centered learning). Dalam konsep peserta sebagai pusat belajar
ini, maka peserta wajib secara aktif membaca dan menggali materi-materi terkait inovasi dan
kepemimpinan. Modul ini hanyalah setetes dari samudera pengetahuan yang tiada batas,
sehingga peserta dianjurkan untuk tidak hanya mengandalkan modul ini. Dengan kata lain,
fungsi modul ini lebih sebagai stimulan bagi peserta untuk bisa mengeksplorasi lebih lanjut
sumber-sumber pembelajaran lainnya.
C. Tujuan dan Indikator Hasil Belajar
Memperhatikan latar belakang seperti dipaparkan diatas serta kebutuhan yang mendesak
untuk menyediakan kader pemimpin yang inovatif, maka Mata Pelatihan Manajemen Inovasi
Dalam Birokrasi ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan pembelajaran sebagai berikut:
1. Meningkatnya pengetahuan peserta tentang manajemen inovasi di sektor pemerintahan,
serta meningkatnya kesadaran untuk menciptakan arsitektur harian inovasi dalam organisasi
publik.
11. Modul Manajemen Inovasi | 3
2. Meningkatnya kesadaran peserta untuk melakukan pembaharuan di lingkungan instansinya,
sebagai kader pemimpin yang memiliki mentalitas sebagai driver, bukan sebagai passenger.
3. Meningkatnya keterampilan untuk mendesain program/konsep inovasi yang siap untuk
dikomunikasikan dengan pihak-pihak terkait.
Adapun indikator keberhasilan dari pembelajaran Mata Diklat ini adalah bahwa peserta
diklat dapat: a) menjelaskan manajemen inovasi dalam birokrasi pemerintahan; 2)
mendemonstrasikan kegelisahan atas permasalahan yang dihadapi organisasi dan passion-nya
untuk membenahi masalah tersebut; serta 3) memunculkan gagasan inovasi dan merancang
konsep perubahan.
D. Materi dan Sub Materi Pokok
Mata Pelatihan Manajemen Inovasi Dalam Birokrasi merupakan Mata Pelatihan dengan
durasi 9 jam pelajaran (9 JP), yang terdiri atas aktivitas ceramah, tanya jawab dan diskusi
kelompok, internalisasi/pengendapan diri, serta praktik dan/atau simulasi dalam bentuk
pembuatan prototype. Adapun materi pokok dan sub materi pokok modul ini secara umum
terdiri atas bab-bab sebagai berikut:
1. Pendahuluan
Bab ini berisi materi pengantar untuk mengajak peserta diklat memahami konteks
diperlukannya inovasi untuk mengatasi problema disintegrasi atau miskoordinasi lintas
sektor/instansi. Bab ini juga memuat penjelasan tambahan terkait deskripsi mata pelatihan,
tujuan pembelajaran, serta petunjuk belajar.
2. Manajemen Inovasi Dalam Birokrasi
Bab ini akan menggambarkan konsep-konsep terkait manajemen inovasi, seperti tata
kelola inovasi (innovation governance) dan ekosistem inovasi (innovation ecosystem).
Konsep GAAP (government as a platform) juga akan dikemukakan sebagai trend inovasi
kontemporer yang layak diadopsi oleh para kader pemimpin birokrasi.
Selain itu juga akan dipaparkan pentingnya kader pemimpin di level menengah (cq.
Jabatan Administrator) sebagai titik simpul yang menghubungkan Jabatan Pimpinan Tinggi
dengan Jabatan Fungsional dan pelaksana. Inti pesannya adalah bahwa jabatan administrator
yang kompeten akan menjamin arus informasi dan komunikasi yang lancar dalam organisasi,
sehingga dapat diwujudkan kinerja terbaik. Sebaliknya, hambatan di level menengah ini
12. 4 | Modul Manajemen Inovasi
akan mengakibatkan munculnya bottleneck yang mengancam kesinambungan kinerja
organisasi.
3. Membangkitkan Potensi Diri Sebagai Kekuatan Perubahan
Bab ini akan banyak menyajikan kisah-kisah inspiratif untuk menumbuhkan insight
bagi peserta, sehingga dapat lebih menyadari potensinya sekaligus menumbuhkan tekad
untuk membangkitkan potensi tersebut. Referensi berupa buku-buku dan video motivasi
akan banyak diutilisasi dalam pembelajar tahap ini.
4. Menemukan dan Mendesain Inovasi (Initiative for Change)
Bab ini akan mencoba memberikan metode dan tahapan praktis bagi peserta untuk
secara mandiri mengenali problematika organisasi yang perlu diselesaikan melalui ide-ide
kreatif dan prototype inovasi. Ada dua metode yang diperkenalkan pada bab ini, yakni
Heutagogy dan U-Theory. Dengan memahami metode dan tahapan ini, masing-masing
peserta akan memiliki waktu yang relatif fleksibel untuk bekerja sendiri atau dengan timnya,
guna merumuskan konsep perubahan. Konsep perubahan inilah yang menjadi strategi
branding bagi peserta sebagai seorang kader pemimpin.
5. Penutup
Bab ini berisi simpulan dan tindak lanjut pembelajaran.
E. Petunjuk Belajar
Penyampaian materi Diklat ini menggunakan pendekatan andragogi, atau pembelajaran
untuk orang dewasa. Dalam pendekatan andragogi, proses pembelajaran lebih difokuskan pada
keaktifan peserta, dalam bentuk interaksi antar peserta, simulasi atau eksperimen untuk melatih
materi yang dipelajari, guna memperoleh konsep terobosan dan alternatif solusi yang kreatif
dan inovatif. Selain pendekatan andragogi, khusus untuk pembelajaran menghasilkan konsep
inovasi akan diterapkan pendekatan heutagogy sebagaimana dikemukakan diatas.
Untuk dapat memikirkan dan menghaslkan gagsan inovatif, maka peserta diklat harus
memiliki habit yang mendukung proses kreatif, seperti banyak membaca, rajin menulis, sering
diskusi, serta terus-menerus memperbaharui pengetahuan dengan informasi terbaru. Seorang
(calon) inovator dan pemimpin inovasi dituntut pula untuk berani berpikir secara merdeka (out
of the box thinking) dengan membuka segala kemungkinan.
13. Modul Manajemen Inovasi | 5
Pada tahap awal pembelajaran, akan disampaikan point-point dari modul oleh seorang
fasilitator, namun para peserta sudah wajib membaca terlebih dahulu modul dan bahan-bahan
yang relevan. Pada saat yang sama, peserta diminta melakukan sensing atau pengamatan dan
penginderaan terhadap situasi yang terjadi di lingkungan instansinya. Sensing ini selain
bertujuan untuk mengenali permasalahan, juga untuk menumbuhkan empati dan kepedulian
terhadap pihak-pihak yang terdampak oleh masalah organisasi tersebut.
Tahap berikutnya adalah sessi pembelajaran inspiring moment, dimana peserta akan
dibawa pada alam idealita, untuk menghidupkan kemampuan imajinatif peserta. Selanjutnya,
dari sensing dan inspiring moment tadi, peserta diberi kesempatan yang luas untuk
mengkomunikasikan pemahaman, pertanyaan, atau permasalahan lapangan yang dihadapi
kedalam mekanisme kelas, agar membentuk pemahaman dan kepedulian kolektif yang relatif
merata diantara para peserta. Tahap ini dapat disebut sebagai fase moment of truth, dimana
peserta harus berusaha sejujur mungkin tentang permasalahan yang dibicarakan, agar terjadi
proses dialog yang efektif antar peserta (atau antar pihak yang berkepentingan).
Langkah krusial selanjutnya adalah memberi kesempatan bagi peserta untuk mengalami
deep dive (perenungan secara mendalam) tentang permasalahan publik yang dihadapi oleh
birokrasi, serta memikirkan opi-opsi terobosan (inovasi) secara berkelompok. Opsi yang
dipikirkan ini kemudian diproses melalui pendekatan heutagogy untuk dapat dikonstruksi lebih
jelas dan lebih operasional menjadi semacam prototype perubahan. Jika waktu memungkinkan,
maka prototype inovasi antar kelompok dapat saling dikomunikasikan.
Gambar 1.1. Skema Tahapan Pembelajaran
+ Sensing
Klasikal
(Fasilitator)
Inspiring
Moment
Self
Learning
Moment of
Truth
Deep Dive Prototype
Presensing
14. 6 | Modul Manajemen Inovasi
BAB II
MANAJEMEN INOVASI DALAM BIROKRASI
Indikator Hasil Belajar:
Setelah mengikuti pembelajaran pada Bab ini, peserta mampu memahami dan
menjelaskan kedudukan dan peran strategis dari pemangku Jabatan
Administrator dalam organisasi dalam mengakselerasi kinerja melalui inovai.
Untuk itu, peserta juga dituntut memahami tentang manajemen inovasi, yang
meliputi tata kelola inovasi (elemen dan tahapan mengembangkan inovasi) serta
ekosistem inovasi (menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya
inovasi). Pada tataran empiric, peserta juga dituntut mampu menerapkan tata
kelola dan ekosistem yang baik tadi, salah satunya dengan mengembangkan
inovasi berbasis platform (digital maupun non-digital).
A. Peran Middle Manager (Jabatan Administrator) Dalam Organisasi
Sebagaimana kita ketahui, salah satu prioritas pembangunan pemerintahan Presiden Joko
Widodo 2019-2024 adalah reformasi birokrasi. Salah satu wujud konkrit dari upaya
pembenahan birokrasi itu adalah penyederhanaan birokrasi dari yang sebelumnya tersusun atas
4 (empat) tingkatan eselon, menjadi 2 (dua) tingkatan saja.
Kebijakan ini secara operasional dituangkan dalam Peraturan Menteri PAN dan RB No.
28/2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi kedalam Jabatan Fungsional. Dengan
kebijakan ini, keberadaan eselon 3 (Pejabat Administrator) dan eselon 4 (Pejabat Pengawas)
berkurang sangat signifikan. Meskipun demikian, masih ada Jabatan Administrasi (eselon 3 dan
4) yang dipertahankan, yakni jabatan-jabatan yang memenuhi kriteria tertentu, misalnya jabatan
yang memiliki kewenangan otorisasi atributif, jabatan yang memiliki kewenangan otorisasi
rutin dan berfrekuensi tinggi, jabatan yang memiliki kewenangan berbasis kewilayahan, jabatan
yang memiliki karakter sebagai satuan kerja pelaksana teknis mandiri, jabatan yang memiliki
tugas dan fungsi berbasis komando/arahan, serta jabatan yang memiliki tugas dan fungsi
sebagai Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ).
Pengurangan jumlah Jabatan Administrasi (eselon 3 dan 4) ini bukan berarti posisi
mereka tidak penting. Pengurangan struktur di level menengah ini lebih ditujukan untuk
mempercepat proses pengambilan keputusan dalam organisasi serta mempercepat pelayanan
15. Modul Manajemen Inovasi | 7
publik kepada masyarakat. Jumlah yang semakin sedikit justru akan menjadikan jabatan eselon
3 dan 4 lebih kompetitif bagi calon pemangkunya. Pemangku jabatan eselon 3 dan 4 juga
dituntut lebih kompeten untuk menerjemahkan kebijakan dari level diatasnya, sekaligus
mengkoordinasikan dengan kelompok jabatan fungsional dan staf pelaksana.
Dengan demikian, tuntutan kompetensi bagi seorang pemangku eselon 3 dan 4 selaku
middle manager dalam organisasi, menjadi lebih tinggi dalam struktur birokrasi yang semakin
ramping. Para middle manager ini haruslah kader-kader terbaik dalam organisasi, yang kreatif,
serta memiliki visi dan sense untuk melakukan terobosan penting guna mengakselerasi kinerja
unitnya. Jika tidak, maka keberadaan mereka justru akan menjadi beban bagi organisasi.
Hal ini selaras dengan yang ditulis oleh Atte Isomaki (2017) yang menyebutkan bahwa
manajemen menengah merupakan “katup informasi” (informational valve) bagi organisasi.
Dengan demikian, ini bisa menjadi penghambat organisasi (jika katupnya mampat atau
disfungsional), namun sebaliknya bisa menjadi sumber daya yang luar biasa untuk memperkuat
manajemen inovasi yang efektif.
Gambar 2.1. Tiga Strategi yang Menentukan Keberhasilan atau Kegagalan Middle
Management dalam Organisasi (Sumber: Atte Isomaki, 2017)
Selanjutnya, Atte Isomaki juga menyebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang bisa
menjadikan seorang middle manager sebagai penghambat atau bottleneck dalam organisasi,
atau sebaliknya menjadi kunci keberhasilan. Ketiga hal tersebut adalah manajemen waktu (time
management), strategi komunikasi, serta proses pengelolaan tugas rutin. Tugas-tugas rutin
harian haruslah menjadi fokus untuk dapat diselesaikan sebaik mungkin. Namun selain fokus
pada tugas harian tersebut, seorang pemimpin di level menengah juga harus mengalokasikan
16. 8 | Modul Manajemen Inovasi
waktu untuk menciptakan inovasi. Sebab, tanpa inovasi, pekerjaan rutin tadi akan menjadi
membosankan dan tidak memiliki nilai tambah bagi organisasi dan para pegawainya. Untuk
bisa menciptakan keseimbangan antara tugas rutin dan inovasi tadi, seorang middle manager
juga harus memiliki keterampilan berkomunikasi dengan stakeholder, baik internal maupun
eksternal organisasinya.
Sejalan dengan pemikiran Atte Isomaki diatas, Thea Silayro (2020) juga menegaskan
bahwa inovasi adalah pendorong utama pertumbuhan bagi perusahaan dimanapun. Itulah
mengapa sangat mengejutkan bahwa tingkat keberhasilan inovasi di berbagai perusahaan di
dunia hanya 17%. Salah satu penyebab rendahnya tingkat keberhasilan tersebut adalah
keengganan terhadap inovasi dalam manajemen menengah. Artinya, seorang pimpinan level
menengah yang memiliki passion untuk berinovasi, akan menjadi faktor determinan kemajuan
sebuah organisasi. Sebaliknya, kemandegan organisasi bisa dimulai dari kapasitas middle
management yang lemah dan tidak mampu berinovasi.
Riset dari Atte Isomaki dan Thea Silayro tersebut menjadi ilustrasi betapa pentingnya
kedudukan dan peran middle manager dalam sebuah organisasi. Oleh karena itu, siapapun yang
menduduki posisi Jabatan Administrasi (eselon 3 dan 4) ini harus dipastikan memiliki
kompetensi yang memadai. Mereka adalah para kader-kader inovatif yang akan melanjutkan
estafet kepemimpinan organisasi di masa mendatang, sehingga harus dipersiapkan sebaik
mungkin melalui sebuah program yang inovatif pula, salah satunya adalah Sekolah Kader.
B. Tata Kelola Inovasi
Inovasi pada hakekatnya adalah sebuah seni sekaligus sebuah ilmu. Sebagai seni, inovasi
tidak membutuhkan seperangkat metodologi maupun instrumentasi tertentu, pun tidak
membutuhkan prasyarat tertentu. Seseorang yang mungkin tidak memiliki pendidikan formal
hingga sarjana, tidak memiliki jabatan tinggi, atau masih muda sekalipun, sangat mungkin
memiliki kreativitas yang tinggi. Namun sebagai sebuah disiplin ilmu, inovasi merupakan
sekumpulan pengetahuan yang terstruktur, dapat dipelajari, dan memiliki tata kelola tertentu.
Tata kelola inovasi (innovation governance) disini dimaksudkan sebagai sebuah proses,
tahapan, atau komponen-komponen yang saling terhubung, sehingga tujuan dan visi organisasi
dapat dilakukan secara lebih sistematis, lebih mudah, dan lebih terukur melalui inovasi. Tata
kelola inovasi sangat penting karena berdasarkan studi McKinsey (dalam Frank van Ruyssevelt,
17. Modul Manajemen Inovasi | 9
2010), kurang dari sepertiga pimpinan puncak perusahaan yang mengintegrasikan inovasi
kedalam agenda strategis perusahaan (governance gap).
Salah satu lembaga yang mengembangkan konsep tata kelola inovasi adalah LAN (2016),
yang memperkenalkan konsep SINOVAN (Sistem Inovasi Administrasi Negara). Dalam
konsep SINOVAN ini, terdapat 3 (tiga) dimensi yang harus dipenuhi agar inovasi dapat
diciptakan dan diimplementasikan dengan baik, yakni dimensi perencanaan, pengelolaan, dan
evaluasi.
Tabel 2.1. Komponen Sistem Inovasi Administrasi Negara
KOMPONEN TUJUAN MANFAAT
Rencana
Kebutuhan Inovasi
(Roadmap)
Menyajikan referensi dasar bagi
penentuan program kerja inovatif yang
bersifat prioritas, urgen, dan selaras
dengan rencana pembangunan selama 5
tahun kedepan.
Memastikan program
pemerintah dapat
mewujudkan sasaran
pembangunan secara lebih
baik, cepat, efisien, dan
berkesinambungan.
Innovation
Readiness Level
Memetakan kesiapan berinovasi instansi
pemerintah pada 4 aspek organisasi
yakni; (a) kepemimpinan dan visi, (b)
organisasi dan kolaborasi, (c) sumber
daya dan budaya kerja, dan (d)
implementasi dan pengukuran.
Mengidentifikasi aspek2
organisasi yang memerlukan
penguatan kapasitas sebelum
mengimplementasikan
inovasi.
Pengembangan
Kapasitas
Mengidentifikasi kondisi kapasitas
inovasi individu ASN dan organisasi
saat ini, serta mengidentifikasi
kebutuhan pengembangan kapasitas
individu dan organisasi.
Peningkatan kapasitas
berinovasi pada level
individu, organisasi dan
sistem dalam
penyelenggaraan
pemerintahan.
Evaluasi Melakukan evaluasi pelaksanaan inovasi
yang telah dilakukan oleh instansi
pemerintah, serta mengukur dampak /
manfaat inovasi terhadap kinerja
organisasi dan terhadap kepuasan
masyarakat.
Terpetakannya kebutuhan
peningkatan kompetensi
pada masing-masing
dimensi dan indikator.
Dimensi perencanaan mengandung makna bahwa inovasi haruslah dapat direncanakan,
bukan hanya sebuah gagasan hebat yang datang tiba-tiba, atau yang hanya diterapkan untuk
kepentingan sesaat. Untuk itu, instansi pemerintah dan pemerintah daerah sangat dianjurkan
memiliki sebuah peta jalan yang berisi kebutuhan inovasi pada kurun waktu tertentu sesuai
kurun waktu perencanaan pembangunan (RPJM). Selanjutnya, dimensi pengelolaan inovasi
18. 10 | Modul Manajemen Inovasi
terdiri dari 2 (dua) Komponen yakni innovation readiness level (IRL) dan penguatan kapasitas
berinovasi. IRL dibutuhkan untuk mengetahui tingkat kesiapan dan kematangan institusi
tertentu untuk berinovasi. Jika kesiapan berinovasi relatif masih kurang, maka dibutuhkan
program penguatan kapasitas secara terstruktur. Adapun dimensi evaluasi penting untuk
menjamin bahwa inovasi memberikan benefit atau impact yang positif baik terhadap kinerja
tata kelola instansi pemerintah maupun terhadap peningkatan mutu pelayanan publik.
Selain SINOVAN, LAN sejak tahun 2015 juga mengembangkan sebuah model
berinovasi yang dikemas dalam program Laboratorium Inovasi, yang sering disingkat menjadi
Labinov. Laboratorium Inovasi adalah program advokasi yang terdiri atas 5 tahap, yakni Drum-
up, Diagnose, Design, Deliver, Display, atau ebih dikenal dengan Model 5D. Pada
perkembangannya, sejak tahun 2018 ditambahkan D yang keenam, yakni Documentation.
Dengan penambahan fungsi dokumentasi, maka model 5D berubah menjadi 5D+1.
Model advokasi Labinov ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan kemauan
berinovasi, meningkatkan kemampuan menggunakan metode berinovasi, menghasilkan produk
konkrit inovasi, serta mengimplementasikan pengalaman berinovasi, berdasarkan pentahapan
yang telah ditetapkan. Dengan menggunakan tata kelola 5D+1 ini, hingga akhir tahun 2020
telah berhasil dilakukan pendampingan terhadap 94 pemerintah provinsi, kabupatan, dan kota,
dengan total ide/gagasan inovasi yang dihasilkan sebanyak 10.013 (LAN, 2020). Dengan kata
lain, berinovasi dengan metode atau tata kelola tertentu terbukti mampu menghasilkan output
yang menjanjikan.
Dalam bahasa yang berbeda namun dengan spirit yang sama, Joost Korver (2020)
menyebutkan bahwa untuk bisa sukses dalam berinovasi, harus didahului oleh sebuah
pemikiran strategis, bukan hanya sebagai sebuah proyek. Inovasi haruslah juga merupakan
sebuah gerakan (movement) dan perjalanan (journey) bersama. Untuk itu, dibutuhkan 8 aspek
yang perlu dipenuhi, yakni sebagai berikut:
1) Processes (innovation strategy, governance, innovation methodology,
team structure); 2) People (finding the right people, training); 3) Projects
(methodology: lean start up, design sprints); 4) Problems (start with real
problems and not pet projects from a few); 5) Priorities (Innovation thesis,
aligned with strategy); 6) Progress (Measure progress!); 7) Partnerships
(collaborations & external inspiration/trend watching etc); and 8) Places
(create physical and mental space to be creative).
19. Modul Manajemen Inovasi | 11
Terlepas dari kedua konsep diatas, sesungguhnya tidak ada model baku tentang tata kelola
inovasi. Jean-Philippe Deschamps (2013), misalnya, mengatakan bahwa paling sedikit terdapat
9 (Sembilan) model tata kelola inovasi, yang dikonstruksi atas 2 (dua) variabel yang dianalisis
secara silang, yakni variabel jumlah orang yang bertanggungjawab terhadap inovasi dalam
organisasi, dan variabel level manajemen yang ditunjuk untuk memimpin inovasi. Model mana
yang terbaik, tentu sangat tergantung pada kondisi, permasalahan, dan kebutuhan yang dihadapi
oleh sebuah organisasi.
C. Ekosistem Inovasi
Selain tata kelola inovasi, ekosistem inovasi juga sangat penting untuk diperhatikan oleh
pimpinan organisasi. Jika inovasi diibaratkan pohon, maka ekosistem inovasi adalah
lingkungan terdekat pohon tersebut yang membuatnya bisa tumbuh subur, seperti tanah yang
subur, air yang cukup, pupuk yang baik, dan seterusnya. Dengan kata lain, ekosistem Inovasi
adalah faktor yang memampukan (enabling factors) inovasi atau kondisi yang harus diciptakan
(prerequisite condition) agar inovasi bisa tumbuh dan dimplementasikan secara berkelanjutan.
Dalam realita lapangan, kita sering melihat inovasi yang berkembang sangat pesat, namun
relatif masih sporadis (muncul atas dasar ide saat itu), parsial (tidak terkoneksi dengan inovasi
lain, dengan roadmap organisasi, dengan visi jangka panjang), piecemeal (manfaat sempit,
kurang membentuk efek besar secara kolektif), serta stagnan (kurang terjamin
keberlanjutannya). Fenomena seperti ini mengisyaratkan lemahnya ekosistem inovasi. Oleh
karena itu, berinovasi adalah hal penting, namun lebih penting lagi membangun ekosistem yang
kokoh, sehingga inovasi dapat bertransformasi menjadi kebiasaan (habit) dan budaya baru
dalam sebuah organisasi.
Referensi tentang ekosistem inovasi sendiri sangat banyak tersebar di berbagai sumber.
Sebagaimana pembahasan tentang tata kelola inovasi, konsep ekosistem inovasi juga tidak
bersifat baku dan kaku. Setiap organisasi atau daerah dapat saja mengembangkan ekosistem
inovasi yang berbeda, karena yang terpenting adalah tujuannya, bukan cara atau alatnya.
Salah satu institusi yang mengembangkan konsep tentang ekosistem inovasi adalah LAN
(dalam Adi Suryanto, 2020) yang menggambarkan adanya keterpaduan 6 (enam) unsur dalam
organisasi, yakni SDM atau agen perubahan, Regulasi, Infrastruktur Organisasi, Budaya
Inovasi, Kepemimpinan, serta Manajemen Pengetahuan. Jika keenam unsur tersebut dapat
20. 12 | Modul Manajemen Inovasi
dirawat dengan baik dalam suatu organisasi, maka akan memberi pengaruh yang sangat positif
bagi tumbuhkembangnya inovasi di organisasi tersebut.
Gambar 2.2. Ekosistem Inovasi Daerah (Sumber: Adi Suryanto, 2020)
Selain model LAN diatas, konsep ekosistem inovasi juga dikembangkan oleh Ove
Granstrand and Marcus Holgersso. Dalam artikelnya yang berjudul Innovation ecosystems: A
conceptual review and a new definition (2019), mereka melakukan review terhadap berbagai
pendapat tentang ekosistem inovasi. Salah satu pandangan berasal dari Adner (2006) yang
mendefinisikan ekosistem inovasi sebagai “the collaborative arrangements through which
firms combine their individual offerings into a coherent, customer-facing solution”. Dari
serangkaian review teoretik tersebut, mereka sampai kepada definisi baru tentang ekosistem
inovasi, yakni:
“An innovation ecosystem is the evolving set of actors, activities, and
artifacts, and the institutions and relations, including complementary and
substitute relations, that are important for the innovative performance of
an actor or a population of actors.”
(Ekosistem inovasi adalah sekumpulan aktor, aktivitas, dan artefak yang
berkembang, dan lembaga serta hubungan, termasuk hubungan pelengkap
dan pengganti, yang sangat penting untuk meningkatkan kinerja inovatif
dari seorang atau sekelompok aktor).
21. Modul Manajemen Inovasi | 13
Dari definisi ini, dirumuskanlah komponen ekosistem inovasi, yang terdiri dari 7 (tujuh)
komponen, yakni Co-evolusi, Kompetisi, Kolaborasi, Aktivitas, Aktor, Institusi, dan Artefak.
Sementara itu, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah ekosistem Inovasi,
OECD (2015) mengemukakan adanya 4 (empat) elemen dalam organisasi yang dapat
memperkuat inovasi baik pada skala individu, organisasi, pemerintahan, maupun masyarakat,
yakni: 1) Focus on People; 2) Put Knowledge to Use; 3) Work Together; dan 4) Rethink the
Rules. Dalam bentuk gambar, keempat komponen inovasi tersebut dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
Gambar 2.3. Lingkungan Inovasi Sektor Publik (Sumber: OECD, 2015)
D. GAAP Sebagai Model Inovasi Pemerintah di Era Digital
Dewasa ini, dunia sedang mengalami gelombang perubahan besar yang dipicu oleh
kemajuan teknologi digital. Era yang lebih dikenal dengan Revolusi Industri 4.0 ini dicirikan
oleh penggunaan AI (artificial intelligence), Big Data, IoT (internet of things), atau 3D printing,
dalam hampir semua sendi kehidupan terutama dalam dunia bisnis.
Bagi pemerintah sendiri, perkembangan teknologi tersebut harus dijadikan sebagai
momentum untuk melakukan terobosan dalam pelayanan publik maupun dalam tata kelola
22. 14 | Modul Manajemen Inovasi
organisasi. Tidak kurang, Presiden Jokowi telah memerintahkan kepada Menteri PAN-RB
untuk mengganti birokrasi dengan AI atau kecerdasan buatan. Dalam Ra Terbatas Perencanaan
Transformasi Digital, tanggal 3 Agustus 2020, Presiden juga telah mencanangkan program
transformasi digital, dengan merekrut talenta digital sebanyak 9 juta orang untuk 15 tahun
kedepan, atau 600.000 talenta per tahun. Hal ini dilakukan agar bisa segera diwujudkan
ekosistem digital yang baik.
Dalam kerangka mendukung kebijakan pemerintah untuk memperkuat birokrasi dan
pelayanan publik yang berbasis digital tersebut, maka gagasan untuk menggalakkan pemerintah
sebagai platform (government as a platform) menjadi sangat relevan. Intinya, bagaimana
memanfaatkan instrumen digital untuk meningkatkan kecepatan dan kualitas pelayanan publik.
Menurut Rhenal Kasali (2019), platform adalah teknologi yang menciptakan value dan
berfungsi untuk mempertemukan dan mengorkestrasi supply dan demand. Dalam hal ini,
platform dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam sebagai berikut:
§ Platform Transaksi, contohnya media sosial, marketplace, fintech, gaming.
§ Platform Inovasi, contohnya Microsoft, Oracle, Intel, dll.
§ Platform Integrasi, contohnya Google dan Alibaba.
§ Platform Investasi, contohnya Softbank Jepang atau Priceline Group (US). Mereka
sesungguhnya tidak sepenuhnya dikatakan sebagai platform karena fokusnya menjadi
pemegang saham minoritas dalam berbagai platform.
Dalam konteks bahasan modul ini, jenis platform yang lebih relevan adalah platform
pertama seperti pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi dengan stakeholder.
Artinya, instansi pemerintah tidak bisa lagi merasa alergi dengan penggunaan sosial media atau
model platform lainnya.
Sementara itu, Richard Pope (2019) memberikan definisi tentang GAAP sebagai:
“Reorganizing the work of government around a network of shared
components, open-standards and canonical datasets, so that civil servants,
businesses and others can deliver radically better services to the public,
more safely, efficiently and accountably.”
(Menata ulang tugas/pekerjaan pemerintah di sekitar jaringan dan
komponen bersama, standar terbuka dan kumpulan data kanonik, sehingga
pegawai negeri, bisnis, dan lainnya dapat memberikan layanan yang jauh
lebih baik kepada publik, lebih aman, efisien, dan akuntabel).
23. Modul Manajemen Inovasi | 15
Masih menurut Richard Pope, GAAP ini merupakan rute menuju pelayanan publik yang
jauh lebih baik dengan menghancurkan silo organisasi yang lazim ditemui di organisasi sektor
publik. Dengan GAAP, maka akan dapat diwujudkan konsep kolaborasi kebijakan lintas sektor
(co-production of policy), dan ini merupakan karakter dari insitusi publik yang sesuai dengan
era digital.
Kondisi saat ini mengisyaratkan bahwa platform di kalangan instansi pemerintah belum
cukup berkembang untuk mendorong pelayanan publik yang lebih merata, lebih cepat, dan
lebih berkualitas. Di sektor pendidikan misalnya, Penggunaan teknologi pembelajaran seperti
e-learning dan LMS masih lebih banyak yang synchronous, sehingga masih bersifat temporary
(sesuai waktu/jadual pelatihan), exclusive (hanya bisa diakses oleh peserta yang terdaftar), dan
limited (untuk pelatihan tertentu saja). Platform digital untuk mendukung proses belajar masih
banyak diciptakan oleh sektor swasta, seperti Ruang Guru, Homework Hero, Haruka Edu, dan
sebagainya. Tentu saja, platform yang dikembangkan oleh sektor bisnis, tidak sepenuhnya
berorientasi pelayanan, namun terdapat kepentingan untuk memperoleh keuntungan. Untuk itu,
instansi pemerintah semestinya dapat mengembangkan model pembelajaran berbasis teknologi
digital yang lebih bersifat continuos, inclusive, dan extended.
E. Evaluasi
Dari pembelajaran diatas, para peserta diminta untuk mencoba mengimplementasikan
atau mengkontekstualisasikan materi yang dipelajari kedalam tugas di instansinya. Beberapa
pertanyaan atau situasi problematik yang perlu direspon atau dijawab, antara lain sebagai
berikut:
1. Coba kenali inisiatif perubahan (inovasi) yang telah terjadi di lingkungan instansi/daerah
Anda, kemudian perhatikan apakah komponen dalam tata kelola inovasi sudah berjalan
dengan baik untuk merawat (menumbuhkan dan mengembangkan) inovasi-inovasi
tersebut? Menurut Anda, komponen apa yang dibutuhkan agar inovasi di instansi/daerah
Anda bisa lebih sustain atau berjalan secara berkelanjutan?
2. Dari beragam inovasi yang telah berkembang di instansi/daerah Anda, menurut Anda
apakah faktor lingkungan yang kondusif lebih menentukan dibanding faktor kepemimpinan
atau individu tertentu? Menurut Anda, jika salah satu atau lebih faktor ekosistem
ditingkatkan, apakah inovasi di instansi/daerah Anda akan lebih berkembang dibanding saat
24. 16 | Modul Manajemen Inovasi
ini? Jika ya, faktor ekosistem mana yang paling mendesak untuk diperkuat, dan apa
alasan/argumentasi Anda?
3. Government as a Platform (GAAP) dapat disebut sebagai paradigma paling kontemporer
dari Administrasi Publik atau Administrasi Pembangunan dewasa ini. Menurut Anda,
bisakah GAAP diadopsi kedalam ruang lingkup tugas instansi saudara, misalnya jenis
layanan publik apa yang bisa dikembangkan dengan prinsip prinsip GAAP tersebut? Jika
tidak bisa, apa yang menjadikan inovasi pelayanan publik tidak dapat dikembangkan
dengan model GAAP?
25. Modul Manajemen Inovasi | 17
BAB III
MEMBANGKITKAN POTENSI DIRI SEBAGAI
KEKUATAN PERUBAHAN
Indikator Hasil Belajar:
Setelah mengikuti pembelajaran pada Bab ini, peserta mampu memahami bahwa
kekuatan perubahan yang terbesar terletak pada kehendak diri sendiri, bukan
pada sumber daya apalagi pada diri orang lain. Untuk itu, peserta dituntut
mampu menginternalisasi tata nilai sebagai pelayan publik yang kreatif dan
inovatif. Dari pembelajaran ini para peserta juga dituntut mampu
membangkitkan kekuatan di dalam dirinya dan mampu memotivasi orang lain
untuk berinovasi, dengan memanfaatkan berbagai metafora.
A. Kehendak Sebagai Faktor Kunci Inovasi
Sebagaimana telah disinggung di bagian sebelumnya, ASN merupakan kekuatan untuk
membangun bangsa melalui perumusan kebijakan dan pemberian pelayanan publik. Tugas ini
akan dapat diwujudkan jika ASN mampu terus menciptakan terobosan dan inovasi secara
berkesinambungan. Inovasi sendiri akan tumbuh dan berkembang secara optimal jika didukung
oleh kemampuan (ability) dan kehendak (will) atau kemauan (willingness) yang kuat. Namun
jika tidak dimiliki keduanya, dahulukan untuk memperkuat sisi kemauan. Sebab, rendahnya
kemampuan berinovasi relatif mudah untuk ditingkatkan, sementara membangun motivasi dan
passion yang kuat untuk berinovasi bisa membutuhkan waktu yang panjang, bahkan lintas
generasi.
Dalam hal ini, kehendak yang kuat dapat dibentuk dari dalam diri seseorang (inside out)
atau dari faktor lingkungan (outside in). Faktor yang berasal dari luar diantaranya adalah
pemberian insentif, pujian atau reward, kesempatan mengikuti pelatihan, pimpinan yang baik,
iklim kerja yang kompetitif, kenaikan karir, dan seterusnya. Sedangkan faktor internal meliputi
visi atau mimpi besar yang ingin diwujudkan, orientasi untuk memberi dibanding menerima,
kemauan teguh untuk belajar, keinginan membuktikan kemampuan diri, sikap pantang
menyerah atas segala kesulitan, hasrat ingin menjadi contoh yang baik bagi keluarga, dan
seterusnya.
26. 18 | Modul Manajemen Inovasi
Diantara faktor intrinsik dengan faktor lingkungan tadi, penulis meyakini bahwa faktor
pertama lebih menentukan keberhasilan seseorang dibanding faktor eksternal. Kita bisa
menarik pembelajaran dari berbagai tokoh dunia seperti Helen Keller, Nick Vujicic, Lena Maria
Klingval, dan seterusnya. Mereka lahir dan tumbuh dalam kondisi yang tidak normal
sebagaimana anak-anak pada umumnya. Nick Vujicic lahir pada 4 Desember 1982 di
Melbourne, Australia, dalam keadaan tidak memiliki dua tangan dan dua kaki. Tidak jauh
berbeda dengan Nick, Lena Maria terlahir pada 28 September 1968 di Stockholm, Swedia,
tanpa memiliki kedua lengan dan dengan kaki kiri yang lebih kecil dari ukuran normal. Adapun
Helen Keller, ia lahir pada 27 Juni 1880 di Tuscumbia, Alabama, Amerika Serikat. Ia lahir
secara normal sama seperti anak-anak balita pada usianya yang menggemaskan. Namun, pada
usia 19 bulan akibat sakit demam yang dideritanya, ia mendadak menjadi buta dan tuli.
Meskipun ketiganya hidup dalam cacat fisik atau jasmani, namun mereka memiliki
kekuatan mental yang kokoh dan kehendak yang begitu kuat, sehingga menjadikan mereka
sebagai motivator tingkat dunia yang melahirkan banyak buku, video atau karya-karya lainnya.
Mereka membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah hambatan untuk menunjukkan
potensi dan mengukir prestasi. Selain menulis buku, mereka juga mampu memainkan aneka
ragam alat musik, mampu menyelesaikan program studi di universitas terkemuka, mampu
melakukan aneka ragam olah raga, dan berbagai keterampilan lain yang jarang dimiliki oleh
orang yang normal.
Salah satu ucapan Lena Maria yang sangat terkenal adalah: “Saya lebih memilih untuk
bersyukur atas apa yang dapat saya lakukan daripada kecewa atas apa yang tak dapat saya
lakukan” (I prefer to rejoice in what I can do, not mourn what I can't). Sementara Helen Keller
dalam salah satu quote-nya mengatakan “Keyakinan adalah kekuatan yang dengannya, dunia
yang hancur sekalipun akan berubah menjadi terang” (Faith is the strength by which a shattered
world shall emerge into the light). Adapun salah satu ungkapan Nick Vujicic yang terkenal
adalah “Ketakutan adalah kecacatan terbesar dari semua bentuk cacat. Ini akan melumpuhkan
Anda lebih dari ketika Anda berada di kursi roda” (Fear is the biggest disability of all. It will
paralyze you more than being in a wheelchair). Keyakinan-keyakinan dari dalam (inside out)
seperti inilah yang telah menjadikan mereka sebagai pribadi kuat dengan karakter yang hebat
pula.
27. Modul Manajemen Inovasi | 19
Dalam konteks berinovasi-pun, kesadaran akan tanggungjawab selaku pegawai atau
pejabat, keinginan untuk mengubah keadaan, dan kemauan untuk terus belajar dan maju, akan
menjadi prakondisi untuk tumbuhnya kreativitas dan inovasi. Kalaupun masih ditemui
kekurangan dalam hal kemampuan teknis, hal tersebut dapat ditingkatkan melalui pelatihan
atau sharing pengalaman. Namun jika seseorang tidak memiliki kemauan dan gairah untuk
maju, maka selamanya ia tidak akan bisa berkembang, meskipun sesungguhnya ia memiliki
kemampuan secara teknis. Dalam konteks seperti inilah, Tri Widodo W. Utomo (2015)
menyatakan bahwa willingness to innovate jauh lebih penting untuk diperkuat, dibanding
ability to innovate.
Secara metafora, pentingnya faktor kehendak ini bisa diilustrasikan dari sebutir telor.
Beberapa telor yang dierami oleh induk Ayam dengan cara yang sama, waktu yang sama, di
tempat yang sama, ternyata tidak semuanya menetas. Ternyata, upaya eksternal sang induk
Ayam bukan jaminan bahwa telor yang dierami akan menetas menjadi anak Ayam. Satu-
satunya kekuatan yang memecahkan cangkang telor adalah kekuatan dari dalam telor itu
sendiri. Induk Ayam tidak akan pernah mematok telor agar segera pecah, karena jika ini yang
dilakukan justru akan menyebabkan kerusakan bagi telor tersebut.
B. Kisah Dr. Bruce Wenner dan Prabu Kresna
Setiap orang pada hakikatnya memiliki potensi yang tidak terbatas. Terry Sejnowski
(2016), seorang professor dari Salk Institute, menyampaikan hasil risetnya bahwa otak manusia
ternyata memiliki kapasitas memori setidaknya 1 petabyte atau setara dengan 10 juta gigabyte.
Jumlah itu diperkirakan setara dengan internet saat ini. Lantas, mengapa kebanyakan manusia
merasa dirinya tidak memiliki kemampuan seperti orang lain?
Menurut penulis, hal itu disebabkan oleh problem cara berpikir atau mindset. Pilihan
untuk tidak menjadi pribadi yang memiliki ambisi, atau sikap “rendah hati” dengan tidak ingin
menonjolkan diri, perasaan mudah puas dengan kondisi atau capaian saat ini, adalah beberapa
contoh fixed mindset yang menghambat seseorang untuk berkambang melampaui apa yang
diketahuinya. Selain itu, tanpa disadari, tidak jarang banyak keyakinan keliru yang justru
membelenggu seseorang sehingga tidak menyadari bahwa dirinya memiliki potensi yang luar
biasa jika dapat dikenali dan dikembangkan. Beberapa belenggu itu diantaranya adalah tingkat
pendidikan, kondisi kesehatan, usia, jabatan dalam organisasi, dan sebagainya.
28. 20 | Modul Manajemen Inovasi
Untuk itu, fixed mindset harus diubah menjadi growth mindset, yaitu cara berpikir yang
terbuka, terus tumbuh, berani menyadari kekurangan diri namun terus meningkatkan kapasitas
diri. Setiap orang pada dasarnya kompetensi riil saat ini (current competency), sekaligus
memiliki area yang sangat potensial untuk menjadi kompetensi baru. Dalam kisah perfilman,
kita bisa mengambil lesson learned dari tokoh Dr. Bruce Banner adalah seorang fisikawan yang
digambarkan memiliki kemampuan pikiran yang sangat cemerlang sehingga tidak dapat diukur
pada tes kecerdasan yang ada dimuka bumi. Sebagai manusia normal, Dr. Bruce Banner tidak
memiliki kekuatan super. Namun ketika ia bertransformasi menjadi Hulk, maka ia menjadi
monster yang tidak terkalahkan dan sanggup menghancurkan segala hal.
Gambar 3.1 Transformasi Diri Seorang Bruce Banner dan Prabu Kresna
Sementara dalam kisah pewayangan, Prabu Kresna adalah Raja Dwarawati keturunan
Dewa Wisnu yang terkenal sebagai ahli strategi perang yang sangat cerdik pandai, arif
bijaksana, penyabar, juga visioner. Namun pada suatu ketika, ia bertransformasi menjadi
makhluk raksasa dengan 1000 kepala (ber-Triwikrama), sebagai respon terhadap keluarga
Kurawa yang berlaku licik saat diadakan perundingan untuk mengembalikan Istana
Indraprastha (Amarta) kepada Pandawa (baca episode “Kresna Duta” pada epik Bharatayudha).
Istana Indraprastha sendiri dikuasai oleh Kurawa karena Pandawa kalah dalam permainan
Dr. Bruce Banner
bertransfrormasi
menjadi Hulk
Brahala, adalah Raksana sebesar gunung dengan
1.000 kepala, penjelmaan Prabu Kresna yang ber-
Triwikrama saat menggunakan Aji Kesawa.
29. Modul Manajemen Inovasi | 21
Dadu, yang sebenarnya adalah siasat licik dari Sengkuni untuk mengusir Pandawa dari
istananya sendiri (baca episode “Pandawa Dadu” pada epik Bharatayudha).
Kedua kisah diatas mengisyaratkan bahwa setiap orang sesungguhnya memiliki potensi
terpendam atau sisi lain yang seringkali tidak dikenali. Siapapun dapat bertransformasi dari
kapasitas yang dimiliki saat ini kepada kapasitas apapun yang diinginkan. Untuk itu, setiap
ASN pada umumnya, dan para kader pemimpin pada khususnya, harus mampu membangkitkan
segenap potensinya, agar dapat mendorong transformasi dirinya menjadi pribadi yang jauh
lebih baik.
Dalam istilah kekinian, transformasi diri ini sering disebut sebagai disrupsi terhadap
dirinya sendiri (self-disruption). Sebelum kekuatan dari luar mengubah seseorang, maka ia
harus mendidik dirinya untuk berubah. Sebab, perubahan yang paling hakiki adalah perubahan
yang datang dari kesadaran diri sendiri, bukan perubahan yang dibawa, apalagi yang
dipaksanakan, oleh pihak luar.
C. Menjadi Pemain yang Tidak Terbatas
Untuk mampu melakukan transformasi diri sebagaimana dikemukakan diatas, menarik
untuk mencermati isi buku “Finite and Infinite Games” karya James P. Carse (1986). Menurut
Carse, seluruh aspek kehidupan adalah permainan (game), dan setiap orang bisa menjadikannya
sebagai permainan yang terbatas (finite) atau sebagai permainan yang tidak terbatas (infinite).
Berdasarkan interpretasi penulis, kedua jenis permainan ini dapat dibedakan berdasarkan 4
(empat) dimensi, yakni tujuan, sifat, fokus, dan dampaknya.
Contoh dari permainan terbatas adalah pertandingan olahraga. Cabang olahraga seperti
sepakbola, basket, bulu tangkis, atletik, renang, dan seterusnya, memiliki batas yang sangat
jelas dan terukur, seperti batas waktu atau temporal (45 menit per babak untuk sepakbola), batas
skor atau numerikal (21 untuk bulu tangkis), batas spasial (offside dalam sepakbola, atau bola
yang melewati garis), dan batasan tentang cara atau metode (cara service yang benar dalam
bulu tangkis). Dengan demikian, permainan terbatas memiliki tujuan untuk segera
memenangkan dan menghentikan pertandingan. Sementara itu, fokus dalam permainan terbatas
ini hanya terbatas pada komunitas saja. Sebagai contoh, dalam sebuah pertandingan sepakbola,
ada komunitas penonton di stadion, ada sekelompok pemain beserta pelatihnya, ada para wasit
dan penjaga garis, juga ada komunitas pendukung seperti sponsor dan sebagainya. Mereka tidak
30. 22 | Modul Manajemen Inovasi
berpikir dan tidak memiliki hubungan dengan komunitas diluar stadion. Model permainan
seperti ini sangat sulit menumbuhkan kreativitas, karena segala sesuatu sudah ada aturan yang
baku. Seorang pemain badminton tidak boleh melakukan service dengan cara apapun yang
disukai. Demikian juga seorang pemain sepakbola tidak boleh menendang bola dengan alat
tertentu, misalnya dengan stick golf.
Sedangkan permainan tidak terbatas memiliki karakter yang sangat kontras dengan
permainan terbatas. Permainan tidak terbatas tidak ingin segera mengakhiri permainan, namun
justru ingin menikmati proses yang terjadi. Ia juga tidak memiliki batasan yang kaku sehingga
lebih fleksibel. Ia tidak hanya fokus terhadap komunitas di lingkaran terdekatnya, namun juga
memikirkan kelompok yang lebih luas, karena yang diperjuangkan adalah kehormatan dan
peradaban kolektif. Dan karena sifatnya yang luwes ini, maka kreativitas akan lebih mudah
muncul dalam permainan yang tidak terbatas.
Secara lebih jelas, perbandingan karakter permainan terbatas dengan permainan tidak
terbatas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.1. Perbedaan Karakter Finite Games dan Infinite Games
Dimensi Finite Games Infinite Games
Tujuan
Memenangkan dan mengakhiri
permainan
Melanjutkan dan mengabadikan
permainan
Sifat
Memiliki batasan tertentu
(temporal, spasial, numerikal,
metodikal)
Memiliki batasan yang lebih lunak
namun kompleks, sehingga
mengesankan “tanpa batas”
Fokus Komunitas (society) Peradaban (culture)
Dampak Menghambat kreativitas Mendorong kreativitas
Carse memberikan ilustrasi yang menarik tentang permainan terbatas dan tidak terbatas,
yakni tentang peperangan antara Amerika Serikat dengan tentara Vietcong di Vietnam, atau
antara Uni Soviet dengan pejuang Mujahidin. Tentara Amerika Serikat dan Uni Soviet
menerapkan prinsip permainan terbatas, sementara tentara Vietcong dan pejuang Mujahidin
menggunakan prinsip permainan yang tidak terbatas. Carse memiliki hipotesis bahwa kalahnya
Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah karena mereka adalah finite player, sementara “pemain
yang terbatas” akan selalu kalah oleh “pemain yang tidak terbatas”.
Hal yang sama berlaku juga di dunia bisnis. Perusahaan yang bekerja dengan prinsip
permainan tidak terbatas, akan mengalahkan perusahaan yang berprinsip permainan terbatas.
31. Modul Manajemen Inovasi | 23
Simon Sinek, seorang penulis buku, pembicara dan motivator dunia, menjelaskan dalam satu
video blognya bahwa Apple adalah contoh perusahaan yang punya visi sebagai pemain tidak
terbatas, sementara Microsoft adalah sebaliknya. Perusahaan yang ber-mindset sebagai pemain
terbatas, lebih terobsesi ingin mengalahkan kompetitornya, sementara perusahaan yang ber-
mindset sebagai pemain tidak terbatas, lebih fokus pada visi mereka dan bersaing dengan
dirinya sendiri (lihat video pada link dibawah ini).
Gambar 3.2 Video tentang Permainan Terbatas vs Permainan Tidak Terbatas
https://www.youtube.com/watch?v=KcrG363sGjo
Dari buku James Carse dan video Simon Sinek, dapat ditarik sebuah leasson learned
untuk mendorong kemajuan organisasi, yakni jadilah sebagai karyawan atau pribadi yang tidak
terbatas. Profesi sebagai ASN, atau jabatan apapun yang diemban, juga harus dilekati dengan
prinsip “pemain tidak terbatas”. Selama ini sering terdengar keluhan dari sebagian pegawai dan
pejabat yang mengeluhkan adanya keterbatasan anggaran, rendahnya partisipasi masysrakat,
kurangnya komitmen dari pimpinan, sulitnya kerjasama atau sinergi lintas lembaga, dan
seabreg permasalahan lainnya.
Seorang “pemain terbatas” cenderung akan menunggu tambahan anggaran untuk bisa
melanjutkan pekerjaannya, atau menunggu inisiatif orang lain untuk bisa memulai pekerjaan.
Namun seorang “pemain tidak terbatas”, akan selalu mencari jalan keluar yang kreatif untuk
bisa menjawab setiap tantangan yang dihadapi organisasi. Apapun masalah yang dihadapi
bukanlah pembatas untuk mencapai prestasi maksimal. Justru dibalik permasalahan itu, seorang
yang punya jiwa “tidak terbatas” akan mencoba berpikir yang tidak dipikirkan orang lain (think
the unthinkable), melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain (see what others don’t), serta
mencari segala bentuk kemungkinan (everything seem impossible until it’s done).
32. 24 | Modul Manajemen Inovasi
D. Kisah-Kisah Mindblowing Lainnya
Kisah-kisah yang dikemukakan diatas hanyalah sedikit dari khazanah pengetahuan
tentang pengembangan diri (self development). Banyak sekali biografi tokoh, cerita-cerita
legenda, peristiwa nyata di berbagai bidang, hingga beragam metafora yang dapat diutilisasi
untuk membangkitkan kehendak untuk berubah dan berinovasi.
Salah satu kisah klasik yang sangat inspiratif adalah pertempuran antara David,
penggembala yang berbadan kecil dan lemah, melawan Goliath, panglima perang yang tinggi
besar serta sangat kuat dan terlatih. Ternyata, bukan soal fisik yang mampu mengalahkan
Goliath, namun strategi yang tidak biasa (not business as usual) lah yang menjadikan David
sebagai pemenang (Malcolm Gladwell, 2015). Dalam dunia nyata, kisah David melawan
Goliath ini sangat mirip dengan pertarungan antara Mike Tyson dengan James “Buster”
Douglas. Tyson adalah petinju berjuluk ”Iron” atau “Si Leher Beton” yang sangat menakutkan
dan belum pernah ada yang mengalahkannya saat itu. Sedangkan Douglas adalah petinju yang
sama sekali tidak memiliki reputasi sebagai petinju hebat. Namun faktanya, Douglas mampu
melakukan hal “mustahil” dengan mengkanvaskan Mike Tyson pada rone ke-10, pada
pertandingan di Tokyo Dome, tanggal 11-02-1990. Peristiwa ini memberi pelajaran bahwa
tidak ada hal yang tidak mungkin. Bukan sebuah kebetulan bahwa seseorang bisa membalikkan
keadaan, sepanjang ia memiliki kemauan yang kuat untuk membuktikannya. Sayangnya,
Douglas langsung kalah KO di ronde ke-3 dari Evander Holyfield saat mempertahankan gelar
pada tanggal 25-10-1990.
Event Piala Eropa atau Euro tahun 2004 juga bisa diambil pembelajaran yang sangat
penting. Pada ajang bergengsi tersebut, Yunani yang sama sekali tidak diunggulkan, ternyata
berhasil meraih trofi dengan mengalahkan Portugal yang notabene adalah unggulan utama
sekaligus tuan rumah, dengan skor 1-0. Tidak hanya sekali Yunani menumbangkan Portugal.
Pada pertandingan pembuka di babak penyisihan Yunani juga menang dengan skor 2-1. Yunani
juga berhasil menahan Spanyol di babak penyisihan dengan skor 1-1, mengalahkan Perancis di
babak perempat-final dan Ceko di babak semi-final, masing-masing dengan skor 1-0.
Kehebatan Yunani ini ternyata terletak dari strategi yang tidak terbaca oleh lawannya.
Kisah lain yang juga sangat membuka mata hati adalah peristiwa meledaknya pesawat
ulang-alik Challenger pada tanggal 28 Januari 1986, hanya 73 detik setelah diluncurkan.
33. Modul Manajemen Inovasi | 25
Kecelakaan ini sesungguhnya bisa dihindarkan jika saja para ilmuwan yang terlibat dalam
penyiapan dan peluncuran pesawat tadi lebih open-mind dan berani mengemukakan pendapat
meski berbeda dengan pandangan orang lain (Michael J. Marquardt, 2014; lihat juga Tri
Widodo W. Utomo, 2019).
Masih ada lagi aneka ragam metafora yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan
semangat, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.3. dibawah ini.
Gambar 3.3 Beragam Kisah dan Metafora untuk Membangkitkan Kehendak Berinovasi
(Mindblowing Inovasi)
E. Evaluasi
Coba lakukan pengamatan di lingkungan tempat kerja Anda dan coba perhatikan, apakah
diantara rekan-rekan kerja (termasuk staf Anda) memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk
berinovasi, cara berpikir bebas merdeka (out of the box thinking), dan dan keinginan yang kuat
untuk berubah? Ataukah justru sebaliknya, mereka lebih senang menunggu inisiatif orang lain,
cenderung resisten terhadap perubahan, sudah terjebak dalam zona nyaman, dan masih
terbelenggu oleh rigidnya aturan?
Dengan asumsi bahwa kondisi kedua yang lebih mendekati kondisi nyata di lapangan,
Anda diminta mengambil langkah sebagai berikut:
1. Identifikasikan instrumen (alat) dan cara untuk membangkitkan motivasi dan hasrat
(passion) staf Anda untuk berinovasi serta meninggalkan comfort zone dan cara kerja lama
34. 26 | Modul Manajemen Inovasi
(business as usual). Anda dapat gunakan beberapa bahan yang ada dalam modul ini, atau
Anda kembangkan sendiri sesuai kebutuhan.
2. Coba praktekkan instrumen (alat) dan cara kepada rekan dalam pelatihan ini, sebelum Anda
memiliki kesempatan untuk mempraktekkan langsung kepada rekan kerja dan/atau staf
Anda.
3. Setelah Anda lakukan upaya drum-up atau “menabuh genderang” (langkah ke-2), coba
lakukan kembali pengamatan singkat, adakah perubahan yang terjadi pada rekan dan staf
Anda? Jika tidak terjadi, apa kira-kira faktor yang menyebabkan mereka tetap tidak mampu
menumbuhkan kehendak untuk berubah?
35. Modul Manajemen Inovasi | 27
BAB IV
MENEMUKAN DAN MENDESAIN INOVASI
(INITIATIVE FOR CHANGE)
Indikator Hasil Belajar:
Setelah mengikuti pembelajaran pada Bab ini, peserta mampu menerapkan
teknik/metode yang dipelajari atau teknik/metode lainnya untuk merancang
inisiatif perubahan (inovasi). Tentu, dalam merancang prototype perubahan ini,
peserta perlu memahami prosesnya secara inklusif (melibatkan pemangku
kepentingan atau pihak-pihak terkait lainnya).
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan tentang kehendak dan potensi diri sebagai
kekuatan perubahan seorang pegawai, serta trigger yang dapat dipilih untuk membangkitkan
potensi tersebut. Bab ini akan menjadi pelengkap terhadap bab sebelumnya, dengan
memberikan panduan umum dan singkat tentang bagaimana menemukan ide perubahan dan
mendesain rencana (prototype) perubahan. Ada 2 (dua) instrumen atau metodologi yang
diperkenalkan disini, yakni Heutagogy, dan Theory-U. Dengan memanfaatkan dua metode ini,
diharapkan para peserta pelatihan Sekolah Kader mampu memunculkan inisiatif perubahan
yang dapat diterapkan pada unit kerjanya maupun unit kerja lain yang relevan.
A. Heutagogy Sebagai Metode Berinovasi Berpusat pada Inovator
Heutagogy sering disebut sebagai sebuah metode belajar level ketiga, yang merupakan
perkembangan metode belajar level kedua (andragogy) dan level pertama (paedagogy). Oleh
karena itu, heutagogy bida dikatakan merupakan inovasi besar dalam sistem belajar, karena
posisi belajar dan mengajar yang selama ini dikotomis menjadi terintegrasi dalam diri
seseorang. Heutagogy membuat seseorang bisa belajar dari orang lain, menjadi sumber belajar
bagi orang lain, dan sekaligus mengajari diri sendiri.
Lebih hebat lagi, heutagogy menuntut seseorang tidak larut dalam proses belajarnya,
namun juga harus mampu menjadi manajer untuk dirinya sendiri (menentukan visi, mengenali
kebutuhan, merancang kurikulum, mengupdate metode, mengukur hasil, dst). Ini berarti bahwa
heutagogy telah membalikkan logika outside-in menjadi inside-out dalam proses pembelajaran
36. 28 | Modul Manajemen Inovasi
bagi orang dewasa. Maknanya, seorang pembelajar tidak bermodalkan otak kosong dan siap
mengisinya dari para instruktur atau fasilitator. Diantara pembelajar (learner) dengan para
fasilitator terbangun sebuah relasi belajar yang lebih egaliter dan mutual (timbal balik), dimana
fasilitator juga sangat terbuka kemungkinan untuk banyak belajar dari peserta pelatihan atau
siswa bimbingannya.
Dalam bentuk bagan, perbandingan antara metode heutagogy dengan metode
konvensional lainnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini (diadopsi dan diinterpretasikan
oleh penulis dari karya Stewart Hase and Chris Kenyon berjudul Self-determined Learning,
2013).
Gambar 4.1.Perbandingan Metode Heutagogy dengan Metode Belajar Konvensional
(Paedagogy dan Andragogy)
Menurut Hase dan Kenyon, metode heutagogy akan membuat seorang peserta didik
memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman di bidang
tertentu, serta mencari jawaban atas pertanyaan yang mereka belum memiliki jawabannya.
Motivasi belajar, bagi Hase dan Kenyon, adalah kuat adalah jantung dari pembelajaran.
Selanjutnya, agar penggunaan metode ini dapat memberikan hasil maksimal, perlu
dipenuhi 7 (tujuh) elemen sebagai berikut:
• Persetujuan (approval). Artinya, metode ini sudah harus disepakati sebagai bagian dari
kurikulum sebelum diimplementasikan, meskipun tidak secara penuh. Dengan kata lain,
metode andragogy (diskusi kelompok, penugasan terstruktur, dan lain-lain) atau metode
paedagogy (ceramah), masih tetap diberikan untuk saling melengkapi dengan metode
heutagogy.
CONVENTIONAL* HEUTAGOGY
Focus:'what'is'to'be'taught'(TIK4TIU) What'and'how'the'learner'wants'to'learn
Might'be'outside'the'capabilities'of'learner Within'the'capabilities'&'maturity'level'of'learner
Teacher4centered Learning Learner4centered Learning
37. Modul Manajemen Inovasi | 29
• Fasilitator. Keberadaan dan tugas mereka adalah untuk memastikan bahwa pembelajar
mendapatkan bimbingan untuk mencapai outcome secara optimal. Fasilitator tidak
bersifat pasif hanya menunggu usulan dari pembelajar, namun harus proaktif menggali
pengetahuan yang relevan dengan substansi yang diajukan pembelajar, sehingga akan
terbangun komunikasi yang produktif.
• Pilihan (choice). Maknanya, mengingat kebutuhan orang (pembelajar) berbeda, maka
fasilitator berperan memberi opsi dan/atau pertimbangan dalam 3 (tiga) hal: relevansi
issu atau substansinya (relevance), kemungkinan keberhasilannya (achievability), serta
tingkatan kesesuaian (level) antara proposal pembelajar dengan kebutuhan instansi,
antara kemampuan pembelajar dengan kompleksitas masalah, dan seterusnya.
• Kesepakatan (agreement) antara pembelajar dengan fasilitator. Dalam hal ini, sejak
awal antara pembelajar dan fasilitator harus sudah memiliki kesepakatan dalam
beberapa hal seperti time-frame, metodologi, frekuensi konsultasi, model pelaporan dan
evaluasi, dan seterusnya. Hal ini penting agar tidak menimbulkan permasalahan di
tahapan berikutnya.
• Ulasan (review). Fasilitator harus rutin mengecek atau memonitor progres pembelajar
dalam konteks double-loop dan action plan, apakah sesuai dengan kesepakatan yang
sudah dirumuskan, ataukah ada kendala yang membuat target pembelajaran tidak
tercapai.
• Penilaian (assessment). Metode evaluasi sudah harus disiapkan sejak awal misalnya
penulisan paper, presentasi, kewajiban memberi briefing kepada pihak tertentu,
advokasi ide/gagasan inovasi kepada stakeholder tertentu, dan seterusnya sesuai
kesepakatan.
• Umpan balik (feedback). Secara berkala dan informal perlu dilakukan diskusi antara
pembelajar dengan fasilitator untuk improvement dua arah.
Ketujuh elemen itulah yang perlu diperhatikan baik oleh pembelajar maupun oleh fasilitator
dalam proses merumuskan prototype perubahan.
B. Utilisasi Teori U untuk Merancang Prototype Perubahan
Menurut Laksana Tri Handaka (2018), latar belakang munculnya Teori U dipicu
pemikiran perlunya melakukan transformasi pada level individu sampai
38. 30 | Modul Manajemen Inovasi
organisasi. Kecenderungan para pemimpin ketika menghadapi suatu masalah adalah ingin cepat
menyelesaikannya. Dorongan ini adalah kebiasaan umum yang ada pada hampir setiap
individu. Namun ketika seorang leader menggunakan landasan mindset yang sama, solusi yang
dihasilkan cenderung bersifat temporer. Penyelesaian masalah tidak akan tuntas dan akan
terulang lagi. Dengan kata lain seringkali solusi yang dipikirkan hanya meredakan simptom
atau gejala permasalahannya, namun akarnya sendiri luput dari penyelesaian. Teori U mengajak
untuk melakukan transformasi dalam diri kita sebagai individu atau sebagai leader yang ada di
organisasi.
Teori U sendiri diperkenalkan oleh Otto Scharmer dalam beberapa bukunya yang
fenomenal (2009, 2018). Teori ini bisa dikatakan sebagai metodologi baru untuk menemukan
dan merancang perubahan yang berbasis pada kesadaran (consciousness-based system change).
Intinya, bagaimana mengubah kondisi yang mencerminkan egoisme (sektor, instansi, atau
daerah) menjadi sebuah ekosistem yang holistik (from me to we, from ego-system to eco-system
awareness).
Terdapat 5 (lima) tahap utama dalam Teori U ini, masing-masing dapat diuraikan lebih
detil sebagai berikut:
1. Co Initiating.
Hal penting yang harus dilakukan disini adalah membangun tujuan bersama (common
intention) dengan mengembangkan kemampuan mendengar, baik mendengar diri sendiri
(listening to oneself), mendengar mitra atau stakeholder utama (listening to others), dan
mendengar pada “panggilan” untuk melakukan sesuatu saat ini (listening to what emerge).
Hasil yang harus dicapai dari tahap pertama ini meliputi: a) kejelasan tujuan dari
gagasan/rencana perubahan yang ingin diwujudkan; b) pertanyaan-pertanyaan kritis untuk
diekslporasi; c) tim inti yang siap mengawal ide perubahan; d) dukungan sumber daya; dan
e) rencana tindak untuk implementasi inisiatif perubahan tersebut.
2. Co-sensing.
Esensi tahapan ini adalah mengeluarkan gelembung (bubbles) seseorang, baik
gelembung vitual (hiruk pikuk media sosial), gelembung institusi, maupun gelembung
ikatan/kecenderungan personal. Dengan menghilangkan gelembung itu, kita dituntut untuk
membenamkan diri (deep dive) kedalam konteks yang baru yang tidak familiar.
39. Modul Manajemen Inovasi | 31
Hasil dari tahap kedua ini meliputi: a) identifikasi tentang kekuatan perubahan (driving
force) yang membentuk sistem; b) revisi terhadap pertanyaan-pertanyaan kunci yang telah
dihasilkan pada tahap pertama; c) inspirasi tentang peluang-peluang dan keterkaitan personal
terhadap peluang tersebut; d) tim yang sudah siap (switch on) untuk merasakan peluang; dan
e) rencana membangun hubungan dengan stakeholder yang lebih baik.
3. Presencing.
Kata presencing adalah gabungan dari sensing dan presence, yang bermakna
menghadirkan kemungkinan masa depan yang tertinggi dari seseorang untuk saat ini. Jadi,
presencing mirip dengan co-sensing, dimana keduanya sama-sama menggeser cara kerja di
dalam tubuh dari kepala ke hati. Bedanya adalah bahwa co-sensing menggeser persepsi ke
keseluruhan saat ini (current whole), sedangkan presencing menggeser persepsi ke
keseluruhan masa depan yang masih tumbuh (emerging future whole).
Hasil dari tahap ini meliputi beberapa hal diantaranya: a) seperangkat inisiatif
perubahan (prototyping); b) gambaran tiga dimensi (3D) dari prototype tersebut (kondisi
sekarang, kondisi yang diinginkan, dan poin-poin untuk me-leverage perubahan; c)
identifikasi stakeholder; d) dukungan sumber daya terutama tim; e) milestone untuk me-
review kemajuan dan pembelajaran; serta f) narasi kepemimpinan atau leadership lesson
learned (cerita tentang “aku”, tentang “kami”, dan tentang “sekarang”).
4. Co-creating.
Tahap ini masih berfokus untuk mematangkan prototype perubahan yang sudah
dimunculkan pada tahap sebelumnya. Bedanya, pada tahap ini sudah masuk pada aksi nyata
dan pengulangan (iteration) sepanjang diperlukan. Dengan demikian, hasil dari tahap ini
adalah prototype yang disempurnakan, adanya piloting terhadap prototype, serta penguatan
kapasitas tim dan kepemimpinan untuk implementasi rencana perubahan.
5. Co-shaping atau co-evolving.
Tahap ini berfokus pada upaya mengakselerasi kebaharuan sekaligus memperkuat
ekosistem inovasi. Adapun hasil yang diharapkan dari tahap ini review atas inisiatif
perubahan, sharing tentang pokok-pokok pembelajaran dari prototype yang telah
diujicobakan, perluasan atau replikasi dari prototype terpilih, identifikasi bottleneck dan cara
mengatasinya, skema kemitraan dengan stakeholder baru, serta narasi kepemimpinan yang
dikaitkan dengan pembaharuan peradaban atau ekosistem.
40. 32 | Modul Manajemen Inovasi
Secara visual, 5 (lima) tahapan utama dalam Teori U ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 4.2. Lima Tahapan Teori U
C. Evaluasi
Berdasarkan pembelajaran yang telah dijalani, peserta diminta untuk bisa melakukan
refleksi ulang tentang teknik/metode yang akan digunakan untuk membuat prototype perubahan
(inovasi). Refleksi ini bisa dilakukan dengan menjawab atau merespon beberapa pertanyaan
dibawah ini:
1. Apa yang Anda pahami dengan metode heutagogy dan Theori U? Menurut Anda, apakah
kedua metode ini cukup membantu untuk merencanakan perubahan? Jika tidak, apa yang
perlu untuk diperbaiki, dan metode apakah yang Anda sarankan untuk menyusun prototype
perubahan (inovasi) tersebut?
2. Dalam prototype perubahan (inovasi) yang akan Anda susun, informasi apa sajakah yang
dibutuhkan, agar memudahkan pada tahap implementasinya? Beberapa informasi dasar
yang perlu dimunculkan antara lain adalah: kegiatan yang harus dilakukan, PIC atau
pelaksana dari kegiatan, kerangka waktu (saat memulai/menyelesaikan dan lamanya waktu
yang dibutuhkan), kebutuhan sumber daya (jika ada), dan target output yang diharapkan.
41. Modul Manajemen Inovasi | 33
Diluar informasi tersebut, Anda memiliki kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi dari
prototype perubahan (inovasi).
Perlu dipahami bahwa prototype perubahan (inovasi) ini sifatnya dinamis, dalam artian
dapat dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan pada saat perumusan atau implementasinya.
Dengan kata lain, prototype perubahan (inovasi) ini adalah sebuah living document bagi
inisiatornya. Dalam proses berinovasi, bukan instrumen yang terpenting, melainkan manusia
atau inovatornya.
42. 34 | Modul Manajemen Inovasi
BAB V
PENUTUP
Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran pada Bab ini, peserta mampu menjelaskan
secara utuh substansi dan kompetensi yang ingin dibangun melalui pembelajaran
mata pelatihan Manajemen Inovasi ini. Peserta juga diharapkan mampu
menjelaskan rencana kerja atau renana aksi perubahan (prototype) serta tindak
lanjutnya pasca pelatihan.
A. Simpulan
Sekolah Kader merupakan sebuah program inovatif yang bertujuan untuk mengakselerasi
karir ASN muda untuk menduduki posisi Jabatan Administrator (fast track career system).
Percepatan pola karir ini perlu diimbangi dengan percepatan peningkatan kompetensi sebagai
kader perubahan (agent of change).
Kapasitas untuk mengakselerasi inovasi bagi para kader pemimpin masa depan ini tidak
hanya difokuskan pada pembenahan internal semata, namun juga harus memiliki dampak lebih
besar, yakni penguatan ekosistem organisasi, sehingga inovasi akan menjadi sebuah budaya
organisasi yang hidup dan berkembang secara berkelanjutan.
Selain itu perlu digarisbawahi disini bahwa penguatan kapasitas berinovasi bagi para
kader pemimpin ini bukan berarti fokus pada inovasinya. Esensi dari pembelajaran inovasi lebih
pada membangun manusia yang berkarakter dibanding sekedar menghasilkan inovasi sebanyak
mungkin. Gagasan atau prototype inovasi yang dihasilkan hanyalah salah satu indikator kecil
dari menguatkan kompetensi dan kontribusi para kader pemimpin terhadap institusi,
masyarakat, juga terhadap bangsa dan negara.
B. Tindak Lanjut Pembelajaran
Agar pembelajaran inovasi ini bisa memberikan dampak yang tidak sesaat, maka sebuah
rencana tindak perlu dirumuskan dengan baik.
Secara individual, peserta pelatihan dan/atau alumni perlu menjaga dan memelihara sense
of belonging terhadap inisiatif perubahan atau prototype yang telah dihasilkan, sekaligus
43. Modul Manajemen Inovasi | 35
berusaha untuk melanjutkan pada periode pasca program. Inisiatif perubahan ini juga perlu
“dijual” kepada stakeholder terkait baik internal maupun eksternal, sehingga mendapatkan
dukungan konkrit yang semakin luas. Peserta dan/atau alumni juga dituntut untuk membagi
pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh kepada koleganya agar terjalin sebuah model
pembelajaran secara kolektif.
Sedangkan secara instansional, inisiatif perubahan atau prototype tadi sedapat mungkin
diintegrasikan sebagai kegiatan lembaga dan dijadikan sebagai salah satu tolok ukur kinerja
pegawai maupun kinerja unit. Hasil pelaksanaan kegiatan tersebut selanjutnya perlu dilakukan
upaya promotif, misalnya dengan mempublikasikan dalam media popular maupun media
ilmiah, baik secara cetak maupun elektronik. Upaya promosi lain juga bisa dikembangkan
melalui success story sharing dengan inisiatif sejenis atau dengan instansi yang berkepentingan.
Tentu saja, pemberian reward atau insentif oleh pimpinan terhadap perubahan yang memberi
manfaat nyata bagi kinerja organisasi, juga sangat dianjurkan.
Sementara bagi lembaga penyelenggara program Sekolah Kader, para fasilitator perlu
merawat komunikasi dengan para alumni agar dapat diketahui progress masing-masing alumni.
Alumni yang terbukti mampu mengimplementasikan inisiatif perubahannya serta mampu
memberi dampak positif, perlu dilibatkan dalam proses pembelajaran angkatan (batch)
berikutnya. Artinya, hasil pembelajaran perlu didokumentasikan secara sistematis untuk bekal
pembelajaran selanjutnya. Antar alumni juga perlu dihimpun dalam sebuah forum
pembelajaran secara maya (misalnya melalui Whatsapp Group) atau forum diskusi berkala.
Intinya, kolaborasi yang efektif antara alumni sebagai kader perubahan dan kader
pemimpin masa depan, lembaga penyelenggara Sekolah Kader, dan instansi asal peserta/alumni
menjadi kata kunci untuk kesinambungan program ini.
44. 36 | Modul Manajemen Inovasi
DAFTAR PUSTAKA
Adi Suryanto, 2020, Mengayuh Transformasi Mewujudkan Birokrasi Kelas Dunia: Lima Tahun
Kinerja LAN 2015-2020, LAN.
Atte Isomaki, 2017, The Role of Middle Management in Innovation, The Viima Blog: Thoughts
on Innovation, available online https://www.viima.com/blog/the-role-of-middle-
management-in-innovation
Frank van Ruyssevelt, 2010, Innovation Governance: Aligning Strategy, Ideation and
Execution for Better Business Results, Sopheon, https://www.sopheon.com/wp-
content/uploads/WhitePaper_InnovationGovernance.pdf
James P. Carse, 1986, Finite and Infinite Games: A Vision of Life as Play and Possibility, The
Free Pres, New York.
Jean-Philippe Deschamps, 2013, 9 Different Models in Use for Innovation Governance,
Innovation Management Blog, available online
https://innovationmanagement.se/2013/05/08/9-different-models-in-use-for-
innovation-governance/
Joost Korver, 2020, A Successful Approach to Corporate Innovation: The 8 Ps of Innovation,
Innovation Management Blog, available online
https://innovationmanagement.se/2020/05/26/a-successful-approach-to-
corporate-innovation-the-8-ps-of-innovation/
LAN, 2016, SINOVAN: Urgensinya Dalam Akselerasi Nawacita, paparan pada “Seminar
Nasional Urgensi Sistem Inovasi Administrasi Negara Dalam Akselerasi
Nawacita”, Deputi Inovasi Administrasi Negara.
LAN, 2020b, Peningkatan Kualitas Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara: Deskripsi
Singkat Pelaksanaan Fungsi dan Kinerja Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi
Administrasi Negara, DKKIAN.
Laksana Tri Handaka, 2018, Mengelola Transformasi Organisasi Menggunakan Teori U,
diakses dari blog https://leksanath.wordpress.com/2018/01/30/proses-
transformasi-menggunakan-pendekatan-u-theory/
Malcolm Gladwell, 2015, David and Goliath: Underdogs, Misfits, and the Art of Battling
Giants, Little, Brown and Co.
Michael J. Marquardt, 2014, Leading with Question: How Leaders Find the Right Solutions by
Knowing What to Ask, John Wiley and Sons.
45. Modul Manajemen Inovasi | 37
OECD, 2015, The Innovation Imperative in The Public Sector: Setting an Agenda for Action,
OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/9789264236561-en
Otto Scharmer, 2009, Theory U: Leading from the Future as It Emerges, Berrett-Koehler
Publishers; 1st edition.
Otto Scharmer, 2018, The Essentials of Theory U: Core Principles and Applications, Berrett-
Koehler Publishers; 1st edition.
Ove Granstrandand Marcus Holgersso, 2019, Innovation ecosystems: A conceptual review and
a new definition, Technovation Vol. 90-91, available online
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0166497218303870?via%3D
ihub atau https://doi.org/10.1016/j.technovation.2019.102098
Rhenal Kasali, 2019, #MO: Sebuah Dunia yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham, Mizan.
Richard Pope, 2019, A working definition of Government as a Platform, available online
https://medium.com/digitalhks/a-working-definition-of-government-as-a-platform-
1fa6ff2f8e8d
Stewart Hase and Chris Kenyon, 2013, Self-determined Learning: Heutagogy in Action,
Bloomsbury.
Terry Sejnowski, 2016, Memory capacity of brain is 10 times more than previously thought,
available online https://www.salk.edu/news-release/memory-capacity-of-brain-
is-10-times-more-than-previously-thought/
Thea Silayro, 2020, 5 Reasons Why Middle Management Slows Down Innovation, Innovation
Management Blog, available online
https://innovationmanagement.se/2020/02/26/5-reasons-why-middle-
management-slows-down-
innovation/?utm_source=InnovationManagement+Subscribers&utm_campaign=
8adac9a59d-im-weekly-2020-06-
14&utm_medium=email&utm_term=0_b22a198eba-8adac9a59d-42010081
Tri Widodo W. Utomo, 2015, Membangun Budaya & Praktek Inovasi, paparan pada
Knowledge Sharing Forum “Menumbuhkan dan Mengembangkan Inovasi di
Kalangan Pejabat Fungsional Tertentu dan Pejabat Fungsional Umum LAN”,
Jakarta: Deputi Inovasi Administrasi Negara.
Tri Widodo W. Utomo, 2019, Inovasi Harga Mati: Sebuah Pengantar Inovasi Administrasi
Negara, Cet Ke-4, Rajagrafindo Persada.
46. 38 | Modul Manajemen Inovasi
PEDOMAN UNTUK FASILITATOR
1. Fasilitator bukanlah penceramah seperti dosen untuk para mahasiswanya. Tugas utama
seorang fasilitator adalah sebagai mitra belajar bagi peserta pelatihan, sekaligus
memberikan motivasi dan fasilitasi bagi peserta agar lebih mudah dalam mempelajari
materi sehingga dapat mencapai target kompetensinya.
2. Fasilitator sangat dianjurkan untuk tidak hanya mengandalkan modul ini sebagai pegangan
atau modal dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta pelatihan. Fasilitator sangat
dituntut untuk melakukan pengayaan bahan ajar, dengan cara terus menggali dan menguasi
substansi-substansi baru yang relevan dengan materi pada modul ini. Termasuk yang harus
dikembangkan adalah teknik atau metodologi untuk mengembangkan dan merancang
inovasi dalam organisasi.
3. Selaras dengan metode heutagogy yang diperkenalkan dalam modul ini, maka seorang
fasilitator perlu untuk menempatkan peserta pelatihan sebagai subyek pembelajar, bukan
sebagai obyek yang hanya diisi ilmunya oleh fasilitator. Antara fasilitator dengan peserta
berkedudukan lebih sejajar, sehingga dapat terbangun pembelajaran secara timbal balik
diantara mereka.
4. Pada saat memulai kelas, seorang fasilitator wajib untuk menjelaskan tentang tujuan
instruksional atau kompetensi yang ingin dibangun dari pembelajaran mata pelatihan ini.
Fasilitator juga perlu menjelaskan secara umum tentang isi dan ruang lingkup materi.
Sedangkan di akhir sessi, seorang fasilitator wajib melakukan evaluasi terhadap proses
pembelajaran apakah dapat dipahami oleh peserta ataukah tidak, serta bagaimana
kemungkinan aplikasinya dalam konteks di tempat kerja.
5. Output akhir dari mata pelatihan ini adalah setiap peserta memiliki gagasan perubahan yang
telah dituangkan dalam bentuk rencana aksi atau prototype. Dalam menyusun rencana aksi
perubahan ini, seorang fasilitator mengemban tugas selaku coach, yang bertugas
mengajukan pertanyaan kepada peserta selaku coachee, untuk memancing agar potensi
dalam dirinya dapat berkembang optimal. Bentuk dan sistematika prototype tidak
dibakukan, dan dapat disepakati antara peserta dengan coach atau fasilitator.