1. 96
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108
KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT
DIWUJUDKAN
Syahyuti
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jalan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161
PENDAHULUAN
Satu kebijakan terakhir yang paling penting di bidang pembangunan
pertanian yang berkaitan dengan permasalahan agraria dalam setahun ini adalah
kebijakan tentang “lahan abadi” pertanian, yang disampaikan pemerintah sebagai
salah satu bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK)
yang dicanangkan pada bulan Juni 2005. Lahan abadi pertanian adalah suatu
kebijakan tentang tata penggunaan tanah, dimana pemerintah mengalokasikan 15
juta ha lahan sawah ditambah 15 juta ha lahan tegalan, yang hanya boleh
digunakan untuk kegiatan pertanian, dan tidak diizinkan dikonversi ke bentuk-
bentuk penggunaan lain.
Namun, jika dicermati secara mendalam, ada persoalan mendasar dibalik
itu yang dapat menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yang mendasar
tersebut adalah tidak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan, belum
terpadunya penataan ruang secara nasional maupun wilayah, dan lemahnya peran
Deptan secara kelembagaan.
Mewujudkan kebijakan tentang lahan abadi sedikit banyak akan sama
dengan sulitnya mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian.
Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi lahan
tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek penggunaan dan
pemanfaatan tanah kurang memiliki landasan yang kuat dalam hukum agraria
nasional, dibandingkan dengan aspek penguasaan dan pemilikan tanah.
Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”,
dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu
“penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di
sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan
secara seiring. Namun sayangnya, sebagian besar pihak terutama kalangan LSM,
lebih banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan
pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform.
Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, program dan
kebijakannya lebih berkaitan dengan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu
bagaimana sebidang tanah diperlakukan (=penggunaan) dan bagaimana
menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah
2. 97
KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti
(=pemanfaatan) dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari
teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain. Ketidaklengkapan
perhatian terhadap konsep pembaruan agraria telah memberikan hasil yang parsial
pula. Itulah mengapa Revolusi Hijau (aspek pengusahaan) yang tidak didahului
oleh program landreform (aspek penguasaan), hanya mampu mencapai
peningkatan produksi dan swasembada, namun tidak serta merta membawa
kesejahteraan bagi petaninya.
Permasalahan ini akan dibahas dalam tulisan ini, yang merupakan kajian
terhadap sistem hukum dan tata hukum agraria yang cenderung kurang
mendukung kepada pembangunan pertanian. Diharapkan tulisan ini dapat
memberi informasi yang bermanfaat sehingga kebijakan lahan abadi dapat
diwujudkan, tentunya setelah kendala dan permasalahan dapat ditangani.
Aspek Penggunaan Tanah dalam UUPA No. 5 tahun 1960
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda,
yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan
pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang
reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang
menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek “penguasaan dan
pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, karena
yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah,
sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria
lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi.
UUPA No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yang sudah sejak tahun
2003 dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek
penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan
ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu
dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA hanya berisi
58 pasal.
Selain jumlah pasal yang lebih dominan, juga timbul kesan bahwa “aspek
penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah,
ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A
(amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen).
Artinya adalah, bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua
hanyalah bagian dari aspek pertama.
Keluarnya produk hukum seperti ini dapat dimengerti, karena UUPA No.
5 tahun 1960, lahir di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat
penting, jauh lebih penting dari aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama
penyusunan UUPA yang disusun selama tujuh tahun, mulai tahun 1953 sampai
3. 98
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108
1960 (Wiradi, 1984), adalah bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi
pengusaha asing dan pemerintahan kolonial menjadi tanah negara dan rakyat
Indonesia.
Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat
dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan pertanian. Karena,
terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan
memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya dengan tanah tersebut jelas.
Dengan kondisi ini, maka berbagai UU dan peraturan lain yang dibuat pemerintah,
yang secara hierarki berada di bawah kedudukan UUPA, tidak akan mampu
merubah paradigma tersebut.
Beberapa akibat dan implikasi yang terlihat selama ini dari paradigma
UUPA tersebut di antaranya adalah: (1) Pemerintah tidak dapat mengontrol
konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Berbagai Inpres dan Perda yang
dikeluarkan berkenaan dengan konversi lahan dapat dikatakan “tidak bergigi”.
Bahkan mungkin pula dapat dikatakan bahwa Inpres dan Perda tersebut
sesungguhnya tidak konsisten dengan UUPA; (2) Kebijakan pencadangan lahan
abadi pertanian yang dicetuskan dalam RPPK, yaitu 15 juta ha lahan basah
ditambah 15 juta ha lahan kering, sesungguhnya juga akan sulit direalisasikan.
Penyebabnya adalah karena peraturan yang ada, terutama UUPA sebagai hukum
pokok agraria, tidak cukup menjamin kebijakan tersebut; (3) Lemahnya
pengaturan dalam “aspek penggunaan“ tersebut, secara tidak langsung juga
berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem
secara keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat
saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, karena hak pihak yang menguasainya
dijamin secara hukum.
KEWENANGAN DEPTAN LEMAH TERHADAP ASPEK PENGGUNAAN
DAN PEMANFAATAN LAHAN
Khusus untuk Departemen Pertanian, tugas yang diembannya berkaitan
erat dengan “hanya” pada aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya
diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan
produk pertanian. Hal ini selaras dengan sub-sub organisasi dalam Deptan yang
terdiri dari bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal,
menyediakan prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-lain. Jadi, dengan
fokus Deptan yang hanya terbatas pada aspek kedua (penggunaan dan
pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat secara hukum,
terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang
kegiatan pertanian kurang terjamin di negara ini. Menyerahkan kegiatan pertanian,
produksi pertanian, dan ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme pasar
terbukti telah menyebabkan pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi
4. 99
KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti
lahan (dan juga air) yang digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika
lahan (dan air) tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah,
industri, pariwisata, dan lain-lain (Husodo, 2005).
Artinya, Deptan hanya memiliki otoritas (meskipun terbatas) pada aspek
non-landreform. Ketika aspek landreform masih tinggal menjadi wacana, Deptan
(dan jajarannya) sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh.
Artinya, Deptan menjalankan “Pembaruan Agraria Tanpa Landreform”.
Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek
non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang
sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan.
Di Sukabumi misalnya, banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun
swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya
kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena
infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani
yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).
“Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan
dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara
dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya
ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini
adalah konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkonsistensi
hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan penguasaan dan
pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta
ketidaklengkapan dan inkonsistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan
pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform,
penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran,
pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya
perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee).
Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai
penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya
adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan
infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan
teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian.
Permasalahan yang dihadapi sekarang dari aspek ini di antaranya adalah
kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau
karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara
vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agraria yang relevan adalah berbagai
bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan
infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi,
perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan
pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani.
5. 100
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108
STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENDAYAGUNAAN SUMBERDAYA
LAHAN DALAM RPPK
Dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa secara umum, sektor pertanian
dihadapkan kepada sempitnya penguasaan lahan per petani dimana banyak petani
gurem (<0,5 ha/keluarga), cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-
pertanian dan tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain,
terdapat sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai dan berpotensi dijadikan lahan
pertanian. Oleh karena itu, dalam revitalisasi pertanian ditempuh beberapa strategi
berkenaan dengan ini, yaitu berupa kewajiban kompensasi untuk pihak yang
melakukan konversi lahan sawah dan pembukaan lahan pertanian baru, bersamaan
dengan penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan agar
tekanan tenaga kerja terhadap lahan berkurang.
Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha
lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis
daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar
64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk perluasan pertanian,
namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat
lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik
pribadi.
Program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan
melalui: (a) pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) di
13 provinsi, (b) pengendalian konversi lahan sawah, (c) perluasan areal sawah di
luar Pulau Jawa, (d) perluasan areal pertanian lahan kering, (e) peningkatan luas
penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, dan (f) penguatan
kelembagaan yang kondusif untuk menunjang agroindustri pedesaan.
Pemanfaatan lahan terlantar, berupa lahan alang-alang dan semak belukar,
dilakukan pada 13 provinsi yang diprioritaskan pada wilayah dengan kendala
minimum. Lahan ini sangat berpeluang dikembangkan baik untuk tanaman
semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi dimana infrastruktur
cukup baik dan tenaga kerja tersedia.
Konversi lahan sawah ke non pertanian yang sekarang total 110.000 ha
per tahun (antara 1999-2002), diharapkan dapat diturunkan menjadi 10.000
ha/tahun mulai tahun 2009, dan secara bertahap mendekati nol. Lahan sawah
irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan keberadaannya karena sawah
tersebut telah menghabiskan investasi yang besar dalam pencetakan dan
pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi lahan sawah
diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-
undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi
pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta
swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap
6. 101
KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti
pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu
mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap
dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan
tersebut didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau
Jawa, Bali dan Lombok.
Selain pemanfaatan lahan terlantar dan pengendalian konversi lahan,
perluasan areal sawah dan lahan kering akan diarahkan terutama ke luar Jawa.
Dari sisi hukum, tanah negara yang berpotensi untuk perluasan pertanian, terutama
yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan selama lebih dari 20 tahun oleh
penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak guna usaha jangka menengah (10
tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk merangsang pengembangan
agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini dapat diperpanjang dan
diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola secara baik dan ramah
lingkungan. Saat ini, sudah ada 4,5 juta ha lahan yang diberikan HGU oleh
pemerintah, yang setengahnya berada di Pulau Sumatera.
KEBIJAKAN LAHAN ABADI PERTANIAN DALAM RPPK DAN
KENDALANYA
Khusus untuk kebijakan “lahan abadi”, pemerintah telah menargetkan 30
juta hektar lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun
dapat berubah kepemilikan. Lahan ini akan dibagi menjadi dua, yakni 15 juta
hektar merupakan sawah beririgasi, dan 15 juta hektar merupakan lahan kering.
Lahan tersebut tersebar di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk menjaga
ketersediaan pangan nasional.
Dari sisi perencanaan tata ruang nasional, “lahan abadi” merupakan hal
yang baru, dan belum pernah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang manapun,
baik di tingkat nasional maupun daerah. Karena itu, mekanisme penetapan lahan
abadi ini berpedoman kepada penentuan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR)
suatu wilayah. Setelah disepakati dalam RUTR, maka lahan yang diperuntukkan
sebagai “lahan abadi” tersebut tidak boleh berubah pemanfaatannya.
Sebagian pihak berpendapat bahwa semestinya implementasi lahan abadi
ini harus dituangkan dalam peraturan tersendiri. Satu hal yang pasti, agar lahan
abadi menjadi bagian dari RUTR nasional, maka RUTR yang sudah ada sekarang
ini perlu direvisi. Hal ini tentu saja membutuhkan upaya hukum dan kelembagaan
yang serius dan tidak akan dapat diwujudkan dalam jangka pendek.
Kebijakan lahan abadi berpotensi untuk berbenturan dengan berbagai
peraturan dan kebijakan agraria yang telah ada sebelumnya. Salah satunya adalah
dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pembebasan Lahan untuk
Kepentingan Umum (Kompas, 2005). Semangat yang ada pada kedua kebijakan
ini cenderung tidak sejalan. Pada kebijakan lahan abadi, sebidang lahan tidak
7. 102
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108
boleh digunakan selain untuk pertanian, sedangkan Perpres 36 tahun 2005 dapat
merubahnya sepanjang untuk kepentingan umum.
Penetapan lahan pertanian abadi mempersulit berubahnya fungsi lahan
pertanian untuk peruntukan lain. Padahal presiden sudah membuat peraturan
tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, yang intinya mempermudah pelepasan tanah untuk kepentingan umum,
yakni bisa pasar, jalan, dan sebagainya. Lokasi yang ditetapkan sebagai lahan
pertanian abadi juga harus diputuskan secara cermat sehingga tujuan untuk
menyejahterakan petani dan menjaga ketahanan pangan nasional tercapai tanpa
berbenturan dengan kepentingan lain.
Selain itu, dengan berlakunya otonomi daerah, maka pengelolaan
sumberdaya lahan menjadi kendali langsung pemerintah daerah (Republika,
2005). Disinilah perlu diantisipasi karena persepsi pentingnya sumberdaya lahan
untuk penyediaan pangan nasional sangat berbeda antara pemerintah kabupaten.
Apalagi dengan tuntutan peningkatan Pendapatan Asli Daerah, maka mungkin saja
lahan-lahan produktif di daerah dapat menjadi korban (dikonversi ke
nonpertanian) demi pembangunan.
Oleh karena itu, yang lebih penting dalam pengelolaan lahan ini adalah
komitmen bersama dari para pengambil kebijakan terutama di daerah, dan lebih
penting lagi karena pengelolaan lahan pertanian tidak bisa dibatasi oleh wilayah
administratif tetapi merupakan suatu pengelolaan suatu kawasan ekosistem.
Pengelolaan sumberdaya lahan harus diamankan melalui perangkat hukum apakah
itu dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah yang senantiasa
memihak kepada kepentingan petani.
Pada intinya, akan cukup banyak UU dan peraturan lain yang telah ada
selama ini berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam (tanah dan air) yang
perlu dikaji ulang agar tidak kontra produktif dengan konsep RPPK itu sendiri.
Contoh kasus undang-undang tentang pemanfaatan dan pengelolaan air yang
banyak mendapat kritik.
KEBUTUHAN DAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA LAHAN
DI INDONESIA
Bagaimanapun, Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin
mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri. Hal ini mengingat besarnya
jumlah penduduk, dihadapkan dengan tersedianya lahan pertanian yang cukup
luas. Di sisi lain, tenaga kerja pertanian kita juga cukup banyak. Pada prinsipnya,
kita harus mandiri di bidang pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari
sekedar swasembada, karena memuat pula nuansa politik dan harga diri sebagai
sebuah bangsa (Husodo, 2005).
8. 103
KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti
Dalam konteks kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5
komoditas sebagai komoditas pokok, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging
sapi. Seluruh komoditas kecuali peternakan sapi tergolong tinggi
ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau disebut sebagai land based
agriculture . Jika Indonesia ingin berswasembada untuk keempat jenis pangan
tersebut, maka untuk saat ini saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan
tersebut dapat berupa lahan sawah maupun lahan kering, namun memenuhi syarat
untuk penanaman tanaman semusim seperti halnya jagung dan kedelai.
Menurut data di Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001),
berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800
juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan
perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut
Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu
hanya 188,2 juta ha.
Dalam konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus
dijadikan landasan adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal
konservasi, untuk menjaga daya dukung lahan dan prinsip sustainabilitas
ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan
tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%)
harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%)
dapat digunakan untuk areal budidaya. Sesuai dengan fungsinya dan kepatutan
penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah berupa hutan, sedangkan
kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan nonhutan, yaitu untuk
pertanian dan nonpertanian (perumahan, industri, dan lain-lain).
Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan
lindung yang seharusnya berupa hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta
ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan
terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha
(58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian
Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian.
Berbeda dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan
kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai
untuk pertanian bukan 123,4 juta ha namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini
relatif sama dengan dokumen RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan
pertanian adalah seluas 100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di
antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering
tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan.
Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal
seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan
lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini, ditemui data yang
beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai
9. 104
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108
untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah.
Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah
baku pada tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha.
Total areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, meliputi
sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika
disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta
ha), maka masih ada 87,1 juta ha areal yang saat ini belum dijadikan wilayah
pertanian.
Lebih jauh dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa lahan yang potensial
untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi
negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi
berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan
hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar. Dalam dokumen tersebut juga didapati
bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian sebesar 100,8 juta ha.
Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta ha, sehingga lahan yang belum
dimanfaatkan sekitar 32 juta ha. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha
pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta ha serta pekarangan 5,4 juta ha.
Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya
(over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan
akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada
periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan
nonpertanian seluas 1.627.514 ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di
Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar
Jawa dan kondisi infrastruktur yang juga lebih mapan, maka dalam jangka panjang
lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan sawah tetap perlu dipertahankan
sebagai lahan pertanian.
Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena penguasaan lahan
oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis,
sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yang
masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat
lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha atau 84,2 persen dari
luas wilayahnya (Kompas, 2003).
Salah satu potensi yang sampat saat ini kurang diperhatikan adalah
keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia lebih dari 33,4
juta ha, yang tersebar dibanyak provinsi, namun yang terbesar ada di wilayah
Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha), Papua (4,2 juta ha), dan
Sulawesi (1,2 juta ha). Dengan teknologi yang ada, petani telah mampu
menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Namun dengan peningkatan teknologi, yaitu
pada skala penelitian, telah mampu dihasilkan 7-8 ton gabah per ha. Selain untuk
padi sawah, lahan rawa juga sesuai untuk palawija yaitu jagung dan kedelai.
10. 105
KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti
KETAKSIAPAN SISTEM HUKUM DAN KELEMBAGAAN
PENATAAN RUANG
Lahan abadi pertanian merupakan konsep agraria yang berkenaan dengan
aspek penggunaan dan pemanfaatan lahan. Untuk mewujudkan kebijakan ini,
maka sangat erat kaitannya dengan kebijakan tentang tata ruang wilayah. Penataan
ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang (Pasal 1 ayat 3, UUTR No. 24 tahun 1992). Tujuannya adalah
agar (a) terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, (b) terselenggaranya
pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan (c)
tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Pada masa orde baru, pembinaan
tata ruang dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu (Sangaji,1999): (1) tata guna
tanah, berupa pemetaan penggunaan tanah dan kemampuan tanah, (2) tata kota
dan daerah, yakni penyusunan rencana pengembangan kota dan daerah, dan (3)
tata agraria, yakni pendaftaran, penertiban, serta pengawasan hak-hak atas tanah.
Kehidupan yang berkualitas yang dituju dalam kebijakan penataan ruang,
sebagaimana terdapat dalam Pasal 5, adalah berupa: (1) terwujudnya kehidupan
bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera, (2) terwujudnya keterpaduan dan
penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan
sumberdaya manusia, (3) meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (4) terwujudnya perlindungan fungsi
ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan,
serta (5) terwujudnya keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan
bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9), serta secara
hierarkhis atau berjenjang. Pendekatan yang top down seperti ini dipandang
sebagai pendekatan yang akan lebih menjamin keutuhan dan konsistensi sistem
tata ruang secara nasional.
Secara bertahap akhirnya dapat disusun Tata Ruang Wilayah baik secara
nasional, provinsi, kabupaten, kota dan tata ruang wilayah. Dengan dasar UU No
24 tahun 1992 telah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau Strategi
Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR). Hal ini lalu menjadi dasar
untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi daerah tingkat I, dan
RTRW kebupaten atau daerah tingkat II. Dengan adanya kebijakan Otonomi
Daerah, maka alur yang topdown tersebut menjadi terbalik prosesnya. Daerah
tingkat II justru menjadi titik tolak struktur tata ruang, yang kemudian menjadi
bahan untuk penetapan tata ruang provinsi dan nasional.
Lebih jauh, melalui Keppres no 57 tahun 1989 telah dibentuk tim
Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Keberadaan tim ini mulai tahun
11. 106
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108
1993 berubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN)
berdasarkan Keppres no 75 tahun 1993. Terlihat bahwa telah cukup banyak
produk hukum yang dihasilkan pemerintah untuk menyusun tata ruang agar
kebutuhan pembangunan dan sektor-sektor dapat dipenuhi.
Namun demikian, permasalahan tata ruang di Indonesia masih merupakan
masalah besar yang belum selesai, dan dapat dikatakan masih “carut marut”
(Sangaji, 1999). Selaras dengan itu, Budiharjo (1995), menyatakan bahwa terdapat
beberapa issue permasalahan tentang tata ruang di Indonesia, terutama masalah
ketepatan perencanaan. Terdapat kecenderungan bahwa tata ruang disusun sendiri-
sendiri, baik secara vertikal maupun horizontal; sehingga saat ini tidak bisa
disebutkan dengan pasti siapa sesungguhnya yang memiliki kewenangan penuh
dalam menyusun tata ruang. Setiap instansi seolah berjalan sendiri dengan konsep
dan rencananya, sehingga terjadi tumpang tindih. Selain itu, tata ruang yang
disusun selalu berubah-ubah sehingga bersifat temporal, dan juga tidak terbuka
(transparan) kepada seluruh masyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN
Dari uraian di atas terlihat bahwa, rencana untuk mewujudkan “lahan
abadi pertanian” menghadapi berbagai kendala baik dari sisi hukum, kelembagaan,
maupun ketersediaan data dan informasi. Setidaknya ada lima permasalahan yang
menghadang untuk mewujudkan “lahan abadi” pertanian, yaitu:
Pertama, secara paradigmatis sistem hukum agraria kita (UUPA No. 5
tahun 1960) menempatkan “aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah” atau
bagaimana sebidang tanah akan digunakan lebih lemah daripada pengaturan
“aspek penguasaan dan pemilikan”. Ini merupakan akar permasalahan kenapa
pengaturan tata ruang yang terpadu dan tegas sangat sulit diwujudkan, karena
ketika sebidang tanah telah dikuasai satu pihak, maka ia memiliki kewenangan
untuk mempergunakannya sesuai keinginannya.
Kedua, kebijakan lahan abadi memiliki ketidakselarasan dengan beberapa
kebijakan dan produk hukum lain, misalnya dengan Perpres No. 36 tahun 2005
tentang Penggunaan Tanah untuk Kepentingan Umum; dan dengan semangat
otonomi daerah.
Ketiga, “lahan abadi” pertanian hanya dapat diwujudkan apabila
perencanaan tata ruang baik secara nasional maupun wilayah telah disepakati.
Namun sampai saat ini, konsep tata ruang dan kebijakan tentang tata ruang di
Indonesia belum memiliki kebijakan yang konsisten, dan cenderung tumpang
tindih (secara vertikal maupun horizontal).
Keempat, secara keorganisasian dalam struktur pemerintahan, tugas dan
program yang harus dijalankan Deptan sangat erat kaitannya dengan “aspek
12. 107
KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti
penggunaan dan pemanfaatan tanah”, padahal Deptan tidak memiliki otoritas yang
cukup untuk itu. Karena itu, untuk mewujudkan kebijakan lahan abadi, Deptan
membutuhkan dukungan lembaga pemerintah lain di luar Deptan.
Kelima, dari sisi pemetaan penggunaan dan kemampuan lahan,
ketersediaan data dan informasi saat ini belum memadai untuk merumuskan dan
memetakan “lahan abadi” dimaksud dalam waktu dekat.
Bertolak dari kondisi ini, maka dasar hukum tampaknya harus menjadi
basis pokok untuk dapat mewujudkan kebijakan lahan abadi, karena permasalahan
yang dihadapi banyak berkenaan dengan hukum dan kebijakan. Kebijakan lahan
abadi mestilah berdiri di atas satu dukungan hukum yang kuat setingkat undang-
undang. Secara prinsip, sektor pertanian memang membutuhkan “Undang-Undang
Pertanian” sehingga seluruh kebijakan dapat direalisasikan. Karena belum
memiliki UU Pertanian, maka kita sulit misalnya untuk mengendalikan konversi
lahan, tidak dapat melindungi petani dan komoditas pertanian, sulit menuntut
anggaran yang memadai (selama ini anggaran Deptan lebih kurang hanya 1 persen
dari APBN), serta tidak dapat mempertahankan kelembagaan penyuluhan. Selain
itu, kita pun tidak akan dapat mewujudkan kebijakan lahan abadi.
Selain persoalan kebijakan lahan abadi, sesungguhnya banyak hal tentang
keagrariaan yang akan dapat diselesaikan apabila kita memiliki UU Pertanian. Di
antaranya adalah batasan maksimal dan minimal kepemilikan lahan perorangan
dan badan usaha. Selain itu, kitapun dapat mengendalikan konversi lahan
pertanian misalnya dengan menerapkan kebijakan tentang pajak tanah yang tinggi
untuk penggunaan di luar pertanian, yaitu pada wilayah-wilayah yang telah
diperuntukkan bagi lahan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. 1995. Pendekatan Sistem dan Tata Ruang Pembangunan Daerah untuk
Meingkatkan Ketahanan Nasional. Gajahmada University Press, Yogyakarta.
Husodo, Siswono Y. 2005. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan
Pertanian. Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds) 2002. Menuju Keadilan Agraria:
70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Kepala BPN. 2001. “Pertanahan Indonesia: Suatu Retrospeksi”. Paper: disampaikan oleh
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala Badan Pertanahan
Nasional dihadapan Ibu Wakil Presiden Republik Indonesia di Istana Wakil
Presiden RI, tanggal 12 Februari 2001.
Kompas. 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. 9 Februari 2003. Hal 25.
Kompas. 2005. Kebijakan atas Lahan Pertanian Tidak Konsisten. Harian Kompas. Sabtu,
14 Mei 2005.
13. 108
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108
Puslitbangtanak. 2002. Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan untuk Peningkatan
Produksi Pertanian. Makalah Seminar Nasional Inovasi Agribisnis. Bogor, 21-22
Mei 2002.
Republika. 2005. Sumber Daya Lahan untuk Revitalisasi Pertanian. Harian Republika, 16
Juni 2005.
Sangaji, Anto. 1999. Negara, Masyarakat Adat, dan Konflik Ruang. Kertas Posisi No. 1
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. April 1999.
Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun. 2002. Kajian
Pembaruan Agraria dalam Mendukung Pengembangan Usaha dan Sistem
Agribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1).
Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). Dua Abad Penguasaan Tanah:
Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor
Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.