Pandangan Masyarakat Sipil Sumatera Selatan Terhadap Pola
Pemanfaatan Ruang di Sumatera Selatan.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Tata Kelola Hutan & Lahan yang Baik di Sumsel.
WBH SUMSEL- WALHI SUMSEL- PINUS SUMSEL- FITRA SUMSEL – SPORA INSTITUTE
LBH PALEMBANG - IMPALM – AMAN SUMSEL- JMG SUMSEL – FKMPH SUSMEL – MHI SUMSEL – KOBAR9 - RIMBA INSTITUTE - DEPATI INSTITUTE - KHATULISTIWA HIJAU – KKDB BANYUASIN – FMS KIP BANYUASIN -PMP2D BANYUASIN - KPPM MUBA - LSM PBB MUBA – FORUM SILAMPARI MURA – LPLH MURA – YAYASAN BAKAU OKI – P3LH OKI – FORUM KONTAMINASI MUARA ENIM.
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Policy Paper Menuju Pemanfaatan Ruang Sumatera Selatan Yang Adil
1. A. Pendahuluan
Penataan ruang adalah sesuatu hal yang strategis
dan penting sehingga harus menjadi perhatian dan prioritas
utama untuk dilaksanakan secara baik. Ruang yang tersedia
sangat terbatas dan dibutuhkan oleh banyak pihak sehingga
pengaturannya menjadi keniscayaan untuk mencegah ter-
jadinya konflik diantara pihak pemanfaat ruang.
Optimalisasi pemanfaatan ruang akan meng-
hasilkan maanfaat pada meningkatnya pertumbuhan ekono-
mi dan meratanya kesejahteraan masyarakat, menjamin
penghidupan, mendorong keterlibatan masyarakat dalam
mendukung perkembangan demokrasi dan partisipasi, ter-
penuhinya hak konstitusional dan, yang tak kalah penting
adalah sebagai upaya mencegah pemanfaatan yang berlebi-
han sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan dan
Bencana ekologis di Sumatera Selatan
Data tentang pengunaan dan pema nfaatan ru-
ang di Sumatera Selatan memiliki ba nyak versi/perbedaan.
Kondisi ini membuat pe rencanaan dan pengambilan kepu-
tusan dilan dasi oleh data maupun informasi yang kurang
valid dan akurat.
Oleh karena itu diperlukan adanya komitmen
bersama untuk mewujudkan “one map one policy” yang tel-
ah diinisiasi oleh Satgas REDD+/UKP4 ini menjadi relevan
untuk dituntaskan dalam kerangka memperbaiki tata kelola
hutan di Sumatera Selatan.
Sebagai bentuk partisipasi masyarakat sipil,
Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera Selatan bersama den-
gan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Tata Kelola
Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Selatan, telah melaku-
kan penelitian tentang kondisi eksisting pengunaan dan pe-
manfaatan ruang di Provinsi Sumsel.
Temuan-temuan hasil penelitian tersebut telah
dirangkum dalam bentuk Lembar Fakta (Fact Sheet) sebagai
kontribusi untuk tata kelola hutan dan lahan dalam mewu-
judkan perbaikan tataruang.
B. Permasalahan
1. Alokasi ruang relative hanya mengakomodasi kepentingan
ekonomisyangberpotensimenimbulkanpraktekrentseeking.
2. Terbatasnya pemanfaatan ruang bagi semua elemen
pelaku ekonomi distimulasi oleh kebijakan pengalokasian
ruang yang lebih mempercayai agen ekonomi besar dan atau
elit rezim konsesi.
E. Fakta dan Kondisi Pemanfaatan Ruang di
Sumatera Selatan
Kondisi kawasan hutan di Sumatera Selatan
* Kawasan hutan dengan fungsi lindung saat ini seluas
582.660 hektar atau 7% dari luas wilayah Sumatera Selatan.
* Berdasarkan hasil analisis perubahan Kawasan hutan dari
SK Menhut No 76 tahun 2001 menjadi SK Menhut No.866
tahun 2014, sekitar 715,585 hektar kawasan hutan telah
dikeluarkanmenjadi APL pada tahun 2014. (185 ribu
hek tar diantaranya merupakan konsesi perkebunan yang
telah ada sebelumnya).
* Kawasan hutan dengan fungsi budidaya seluas 2.115.755
ha telah dibebani izin pemanfaatan seluas± 1.553.787 Ha,
Hanya 3% saja untuk pengelolaan HKM , HD dan HTR .
* Tutupan hutan alam di Provinsi Sumatera Selatan pada
tahun 2014 seluas 942.961 Ha dimana seluas 156 ribu
hektar berada di konsesi HTI, tambang dan perkebunan.
Dalam kurun waktu 2009 – 2014, hutan alam yang telah
terdefores tasi sebesar 166 ribu hektar dengan laju
deforestasi 33 ribu Ha/tahun. 121 ribu hektar deforestasi
terjadi didalam konsesi HPH, HTI, kebun dan tambang.
Dan 45 ribu hektar deforestasi terjadi di luar konsesi.
F. Normatif
G. Implikasi terhadap lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat
Dari berbagai permasalahan sebagaimana tersebut
diatas maka akan menimbulkan dampak sebagai berikut :
E.1 Negative Externality
a. Ecology Damage
Tingginya laju deforestasi, banyaknya perubahan
fungsi kawasan, dan perambahan hutan maka akan menim-
bulkan kerusakan ekologi (Ecology Damage), seperti : kek-
eringan, kebakaran hutan dan lahan, banjir dan perubahan
iklim.
sumber data : konfilasi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin
pengelolaan Hutan berbasis kemasyarakatan di SUMSEL 2014, WBH
Luas wilayah Sumatera Selatan sekitar 8,8 juta Hektar terdiri
dari kawasan hutan 3.509.936 ha dan Areal pengunaan lain
5.315.917 Ha
* Terjadi tumpang tindih Izin Penggunaan Lahan antara
izin usaha perkebunan dengan konsesi kehutanan, Usaha
perkebunan dalam kawasan hutan, IUPHHK dan PHBM
dalam APL denganluasan ±249.958 Ha.
* Masih besarnya jumlah titik panas (hotspot) yang terpan-
tau sejak 5 tahun terakhir, tercatat 53% titik api di dalam
areal yang telah mendapat izin konsesi kehutanan dan izin
usaha perkebunan pada tahun 2014.
* Ketergantungan masyarakat Sumatera Selatan terhadap-
Kawasan hutan cukup tinggi dimana terdapat 459 Desa dari
3.061 desa di Sumatera Selatan (17 % dari total Desa di Su-
matera Selatan) yang berada di dalam dan sekitar kawasan
hutan.
* Dari lahan gambut di Sumatera Selatan seluas ±1.256.502
Ha, telah terkonversi menjadi izin perkebunan, pertam-
bangandan HTI seluas 851.159,23 ha ( 67,74%) dimana
40,29% berada di gambut dalam ( > 3 Meter).
One map peta dasar sebagai acuan dalam me-
mutruskan pengalokasian ruang. Perencanaan ruang yang
sejalan dan mendukung target perkembangan ekonomi
menjadi kontradiktif dengan motif mengeksploitasi ruang
(dimana sumberdaya alam berada) untukmemacupertum-
buha nekonomi.
Kondisi ini menimbulkan efek distorsi hukum
berupa berbagai regualsi yang kontroversial, misalnya : izin
tambang di hutan lindung, pinjam pakai kawasan hutan,
eksploitasi DAS dan resapan air terutama konversi lahan
gambut menjadi perkebunan dan hutan tanaman. Sepanjang
asusmsi bahwa perekonomian kita hanya dan hanya jika ber-
basis SDA agar bisa tumbuh berkembang, Maka persolan ru-
ang tetap akan menjadi pro -blematika kebangsaan.
Mengapa demikian? Ada perbedaan perspektif
dan juga mindset diantara komponen bangsa mengenai ru-
ang. Para penggiat social yang menyuarakan aspirasi public
yang mungkin tidak atau belum disuarakan oleh perwakilan
mereka di parlemen
b. Social Impact
*Kemiskinan
- Dengan terjadinya ketidakadilan antara perusahaan den-
gan masyarakat, ketidak setaraan akses kelola, tumpang tin-
dih (overlap) perizinan serta banyaknya desa yang berada
dalam kawasan hutan, maka kompleksitas dampak negatif
yang akan timbul adalah, kemiskinan dan tidak meratanya
kesejahteraan masyarakat (Berkurangnya pemenuhan kebu-
tuhan masyarakat sekitar hutan) dan ketidakpastian hukum
tentang ruang kelola masyarakat, ketidakadilan serta konflik
sosial yang bersumber dari perebutan sumberdaya alam.
*Berubahnya pola produksi secara tidak di inginkan
- Terbatasnya lahan dan bonus demografi berakibat pada luas
lahan per kapita yang diusahakan menjadi menurun. Ini me-
munculkan masalah produktifitas yang rendah di pedesaan
dan pertanian. Produktifitas rendah mengakibatkan tingkat
kesejahteraan (diukur dengan pendapatan) menjadi rendah.
Keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk baik
dari lokasi domisili maupun jenis pekerjaan.Akses Program
pembangunan yang tidak pro poor menambah dorongan un-
tuk semakin meningkatnya perebutan ruang oleh masyarakat
yang menjadi zero sum game; tambang rakyat, penyulingan
minya krakyat, perambahan kawasan hutan dan spekulasi
lahan.
E.2 Abatement Cost
Pemanfaatan ruang termasuk juga pemanfaatan
SDA pasti menjadi sesuatu yang perpasive (keniscayaaan)
dalam kegiatan ekonomi. Tentu saja kita mencari solusi yang
optimal dengan menekan kerusakan (damage) atau ekster-
nalitas negative tanpa mengurangi benefit yang dapat digu-
nakan dalam pemenuhan livelihood.
Oleh karena itu, kerusakan yang timbul dari
pemanfaatan ruang harus dipulihkan (abatement). Upaya
pemulihan memerlukan cost, yaitu dengan menekan factor
yang dapat memicu kerusakan. Dengan demikian diperlu-
kan program-program lintas sektoral antara masyarakat sipil,
pemerintah dan dunia usaha untuk melakukan pemulihan.
2. Aliansi Masyarakat Sipil untuk Tata Kelola Hutan & Lahan yang Baik di Sumsel
WBH SUMSEL- WALHI SUMSEL- PINUS SUMSEL- FITRA SUMSEL – SPORA INSTITUTE
LBH PALEMBANG - IMPALM – AMAN SUMSEL- JMG SUMSEL – FKMPH SUSMEL – MHI SUMSEL – KOBAR9 - RIMBA INSTITUTE
DEPATI INSTITUTE - KHATULISTIWA HIJAU – KKDB BANYUASIN – FMS KIP BANYUASIN -PMP2D BANYUASIN - KPPM MUBA
LSM PBB MUBA – FORUM SILAMPARI MURA – LPLH MURA – YAYASAN BAKAU OKI – P3LH OKI – FORUM KONTAMINASI MUARA ENIM.
Di Dukung
Oleh
ALBUM PERKEMBANGAN PEMANFAATAN RUANG_SUMSEL_2014
POLICY PAPER
MENUJU PEMANFAATAN RUANG
SUMATERA SELATAN YANG ADIL
H. Rekomendasi
Wahana Bumi Hijau
Alamat Kantor: - Jln. Prof. Dr. Supomo Town House A-03
- Palembang - Sumatera Selatan - 30128 Phone/Fax : +62
711 314638
Pandangan Masyarakat Sipil
Sumatera Selatan Terhadap Pola
Pemanfaatan Ruang di Sumatera Selatan
Berdasarkan uraian permasalahan, fakta dan
norma diatas maka Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perbai-
kan Tata Kelola Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Selatan
merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera
Selatan sebagai berikut:
1. Hendaknya Pemerintah daerah di provinsi Sumsel
dalam perencanaan ruang merujuk pada optimalisasi
jaringan data geospasial untuk mendukung One Map
One Province yang telah diinisiasi oleh Jaringan Data
Geospasial Nasional.
2. Perlu dipercepat pembentukan kelembagaanJaringan
Data Geospasial Daerah Sumatera Selatan yang meli-
batkan partisipasi masyarakat.
3. Update data dasar yang menjadi acuan bersama dalam
mengimplementasi rencana izin penggunaan ruang di
sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan.
4. Mendukung penerbitan regulasi daerah dan kebijakan
daerah terkait dengan pengakuan dan perlindungan
hutan adat serta percepatan implementasi ruang kelola
masyarakat di kawasan hutan.
5. Resolusi konflik sumberdaya alam
I. FORMULASI RTL (Berdasarkan Rekomendasi)
1.Jaringan Data Geospasial Daerah (R1dan R3)
• Perlupetadan data dasar yang menjadi acuanbersama
dalam menerapkan rencana izin pengunaan ruang di
sector kehutanan, perkebunan dan pertambangan
2.Resolusi konflik (R5)
• Mengidentifikasi individu atau kelompok, kemudian
mengorganisir individu/kelompok tersebut untuk mau
berpartisipasi dalam memfasilitasi penyelesaian kon-
flik.
• Memetakan konflik ruang khususnya dalam peman-
faatan SDA yang ada untuk kemudian membuat scor-
ing/pengurutan dan sekala prioritas konflik yang perlu
segera diselesaikan.
• Melakukan sosialisasi dan koordinasi denganberbagai
pihak yang rentan terlibat konflik, seperti pengusaha,
pemerintah dan masyarakat, terkait opsi mekanisme
penyelesaian konflik.
• Membentuk forum multi pihak akselerasi penyelesaian
konflik ruang yang terdiri darimasyarakat sipil, akad-
emisi, DPRD, pemerintah dan mediator. Forum ini
didorong untuk menjadi pusat pelayanan penyelesaian
konflik ruang yang didanai oleh pemerintah atau pihak
lain yang tidak mengikat.
3. Perubahan kebijakan ditingkat Daerah (R4)
• Kebijakan mengenai percepatan implimentasiruang
kelola masyarakat dan pengakuan danperlindungan
terhadap hutan adat
4. Komunikasi dan Pembagian peran dalammendorong
terbentuknya JDGD Prov Sumsel. (Tim Teknis interdisi-
plin, penyusunan naskah akademik, legal drafting) (R2)