1. POTENSI PENGGUNAAN LINTAH SEBAGAI HIRUDOTERAPI YANG
MURAH, PRAKTIS, MUDAH DAN AKURAT PADA PASIEN LEPRA
TUBERKULOID DAN LEPROMATOSA
Muhammad Sobri Maulana
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
LEPRA / MORBUS HANSEN / KUSTA
Lepra merupakan penyakit granulomatosa primer yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae dan dapat menyerang saraf perifer, mukosa
saluran pernapasan atas dan kulit serta organ-organ lain seperti mata, tulang,
testis dan jaringan mukosa tubuh. Jika pasien lepra tidak segera diobati dan
dibiarkan saja maka mungkin akan teradi kerusakan progresif / luka permanen /
cacat pada kulit, saraf, kaki dan mata. Hal ini dikarenakan pasien lepra tidak sadar
akan rasa nyeri karena pasien sudah mengalami baal atau tidak terasa nyeri.1
Mycobacterium leprae tidak bisa dikultur, tetapi dapat di tumbuhkan atau
dibiakkan di telapak kaki tikus ataupun armadilo (hewan pemakan serangga). Hal
ini dikarenakan Mycobacterium leprae adalah parasit intraseluler obligat yang
tidak memiliki cukup banyak gen-gen yang diperlukan untuk bertahan hidup
secara mandiri diluar sel yang dibiakkan.Oleh karena itu Mycobacterium leprae
tidak dapat dikultur di medium artifisial.2
Kejadian kusta merupakan kejadian yang tersebar diseluruh dunia dimana
prevalensi lepra yang tinggi yaitu pada daerah-daerah tropis dan substropis seperti
halnya Indonesia.3
Di Indonesia, lepra di indikasikan sebagai penyakit yang
berbahaya, prevalensinya sendiri di indonesia mengalami peningkatan pada tahun
2011 dimana menyerang sebanyak 19.371 orang. Provinsi yang tercatat banyak
melaporkan kasus penderita lepra adalah sulawesi, maluku dan papua yang
kebanyakan masyarakatnya berada di daerah pedalaman yang notabenenya minim
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.4
2. MYCOBACTERIUM LEPRA
Mycobacterium lepra merupakan parasit intaseluler obligat yang tidak
memiliki gen-gen untuk bertahan hidup di luar sel.6
Oleh karena itu,
Mycobacterium lepra tidak dapat dikulutr di medium artifial.
PATOGENESIS LEPRA
Selama ini penelitian yang dilakukan ilmuwan menganggap patogenesis
dari lepra sendiri melalui kontak langsung atau inhalasi aerosol, mukosa hidung
dan biasa ditemukan didaerah padat dan kebersihannya rendah. Beberapa
organisme berpindah lewat kulit yang mengelupas, tetapi pada lepra lepromatosa
banyak ditemukan mycobacterium pada mukosa hidung. Masa inkubasi lepra
sendiri bermacam-macam. Menurut Bhat et al, masa inkubasi lepra paling
minimum adalah beberapa minggu (pada bayi atau anak-anak) dan masa inkubasi
maksimumnya adalah 30 tahun (rata-rata 3-5 tahun).6
Oleh karena itu, pada
teorinya penyakit lepra tidak dapat menular dengan mudah karena membutuhkan
pajanan yang lama dengan sumber infeksi yang lebih agar bisa tertular.
Lepra diklasifikasi menjadi yang paling ringan sampai yang paling berat
yaitu tuberkuloid, borderline tuberkuloid, borderline, borderline lepromatosa,
lepromatosa.7
Gambar 1. Klasifikasi lepra7
3. Gejala klinis dari lepra sendiri bermacam-macam berupa makula, infiltrat,
bercak putih, bintik merah atau plak, serta tidak ada skuama.1
Penyakit lepra
sendiri mendapat gelar The greatest imitator dikarenakan dalam diagnosis
banding dan gejala klinisnya hampir atau sama dengan penyakit kulit lainnya
seperti pitiriasis versikolor, dermatofitosis, pitiriasis alba, pitiriasis rosea,
skleroderma, tuberkulosis kutis, xanthomatosis dan sebagainya.2
Oleh karena itu,
untuk membedakan penyakit lepra dengan uji anastesinya dengan rangsang
nyerim raba, dan suhu jika negatif maka kemunkinan besar pasien menderita lepra
dikarenakan penderita lepra tidak dapat merasakan nyeri sakit.
DIAGNOSIS LABORATORIUM
Penanganan yang selama ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit lepra
selain pemeriksaan tanda-tanda klinis yang disertai baal, tes lepromin, dan
pewarnaan BTA / Bakteri Tahan Asam (Ziehl-Neelsen).8
Dalam tes uji lepromin berfungsi untuk menguji respon imun terhadap
Mycobacterium leprae. Bahan yang digunakan berupa suspensi Mycobacterium
leprae yang diabil dari nodus lepramotosa dan telah dimatikan dengan suhu yang
tinggi. Suspensi tersebut dimasukkan ke pasien dengan via injeksi intrakutan.8
Terdapat 2 reaksi yang terjadi yaitu:
1. Reaksi cepat (early), reaksi ini muncul dalam 24-48 jam setelah injeksi
intrakutan dimana menunjukkan adanya delayed hypersensitivity
terhadap antigen Mycobacterium leprae;9
2. Reaksi lambat (late), reaksi ini muncul dalam 3- minggu setelah injeksi
intrakutan dimana menunjukkan bahwa kemampuan individu
memproduksi granuloma untuk melawan Mycobacterium leprae.9
Untuk uji tes lepromin sendiri, pada tahap tuberkuloid terlihat kedua reaksi
tersebut sedangakan pada tahap lepramotosa tidak terlihat kedua reaksi.9
Pewarnaan BTA / Bakteri Tahan Asam merupakan pewarnaan Basil Tahan
Asam dimana bahan diambil dari kerokan mukosa hidung atau biopsi lesi kulit.
Basil akan sangat banyak ditemukan pada lesi lepromatosa dan sangat sedikit pada
lesi tuberkuloid.9
4. LEPRA SECARA MOLEKULAR
Menurut Marwa Abdallah et al, dalam penelitian mereka ditemukan bahwa
pada penderita lepra terjadi penambahan dalam IL-4 pada penderita lepromatosa
dan tuberkuloid. Interleukin 4 (IL-4) adalah sitokin yang menginduksi diferensiasi
dari prekursor sel T helper (Th0) menjadi sel Th2.10
IL-4 berfungsi penting dalam
meregulasi produksi antibodi, hematopoiesis dan inflamasi serta merespon untuk
pengaktifan efektor sel T. IL-4 sendiri selain bertugas dalam imunitas juga
berperan penting dalam pertumbuhan neuron terutama sistem saraf perifer.11
Gambar 2. Terjadinya penambahan IL-4 pada penderita lepra10
Menurut penelitian Bellakonda et al, ditemukan bahwa IL-4 akan
mengonversi makrofag yang akan mengoneksikan neuron untuk melaksanakan
regenerasi. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elke
et al, mereka menemukan reseptor sel trigger M2 (termasuk IL-4) yang akan
menginduksi makrofag untuk memperbaiki sistem saraf perifer yang rusak
diserang. IL-4 sendiri mengurangi produksi dari sel Th1.12
5. Mycobacterium leprae menyerang sistem saraf perifer yang mana ada IL-4
yang bertugas untuk meregulasi dan meregenasi sistem saraf perifer yang telah
diserang oleh Mycobacterium leprae tersebut. Penyerangan dari Mycobacterium
leprae tidak secara langsung main serang karena IL-4 berfungsi sebagai produksi
prekursor antibodi sehingga Mycobacterium leprae bersembunyi dibalik IL-4 dan
menyerang sistem saraf perifer secara perlahan.13
Oleh karena itu, periode dari
Mycobacterium leprae terjangkau lama.
PERAN LINTAH SEBAGAI HIRUDOTERAPI
Ide dari penulis adalah menggunakan lintah dalam penanganan penyakit
lepra. Lintah dapat hidup di berbagai macam daerah yang ekstrim maupun tidak,
seperti halnya mereka dapat hidup di tempat yang sedikit oksigen dan temperatur
yang selalu berubah. Lintah merupakan hewan yang menghisap darah, selain
menghisap darah ternyata mereka memiliki kelenjar ludah dan hirudin yang
sangat bermanfaat.14
Kelenjar ludah yang dihasilkan tersebut dapat meningkatkan
produksi interleukin 16. 15
IL-16 berfungsi dalam inhibisi dari produksi IL-4 yang
dihasilkan oleh allergen-specific T cells. Kehadiran IL-16 ini adalah
menetralisasikan konsentrasi dari antibody yang relevan.16
Selain adanya kelenjar
ludah, lintah juga terdapat hirudin yang memiliki fungsi penting dalam
memperbaiki kembali atau mengoding peptida asam amino, produksi antibody dan
sebagai antikoagulan.17
Peran hirudin sendiri masih dalam tahap penelitian.
Gambar 3. Kerja Hirudin dalam mengoding peptida asam amino18
6. Penulis berpendapat bahwa saat Mycobacterium leprae sudah menyerang
sistem saraf tepi dan bersembunyi mengakibatkan antibodi tidak menyerang
sesuai dengan tes lepromin di atas bahwa pemeriksaan laboratorium untuk lepra
sangat sulit. Oleh karena itu lepra dapat menyerang. Saat diberikan hirudoterapi
berupa lintah yang memiliki saliva dan hirudin dimana saliva terkandung IL-16
yang akan menghambat kerja dari IL-4 dan melakukan netralisasi konsentrasi dari
antibody yang telah ditipu oleh Mycobacterium lepra dan di kembalikan fungsi
sistem saraf tepi dengan menambahkan hirudin yang diproduksi oleh lintah yang
akan mengoding kembali produksi antibody yang telah rusak di serang
Mycobacterium leprae.
Referensi :
1. Brown RG, Burns T. Lecture notes dermatology. 8th ed. Jakarta:
Erlangga; 2005. pp 23-5
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010
3. World Health Organization. Global leprosy situation 2006. Weekly
Epidemiological Record. 2006; 81(32): 309-12
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Menuju
Indonesia bebas kusta. Buletin PERDOSKI. 2013; 001(X): 2
5. Ryan KJ, Ray CG. Sherris Medical Microbiology. 4th ed. New york:
McGraw- Hill; 2004. pp. 451–3
6. Bhat RM, Prakash C. Leprosy: an overview of
pathophysiology.Interdisciplinary Perspectives on Infectious Diseases.
2012; 181089: 1-4
7. Sehgal A. Deadly Diseases and Epidemics : Leprosy. Chelsea House :
Philadelphia;2005
8. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, et al. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. 7th ed. Ney York: McGraw-Hill Companies; 2008. pp 1786- 96
9. Renault CA, Ernst JD. Mycobacterium leprae. Dalam: Mandell GL,
7. Bennett JE, Dolin R. Principles and practice of infectious
diseases. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone; 2009:
1689-95.
10. Marwa Abdallah, Hanaa E, Enas A, Jihan H, Noha M. Estimation of serum
level of Interleukin-17 and interleukin-4 in leprosy, towards more
understanding of leprosy immunopathogenesis. Indian J Dermatol
Venereol Leprol.2013 Nov-Dec;79(6):772-6. doi: 10.4103/0378-
6323.120723.
11. Brown MA, Hural J. Function of IL-4 and control of its expression. Crit
Rev Immunol. 1997;17(1):1-32.
12. Elke Ydens, Anje C, Bob A, Solfie F, Lieve P, Guillaume L, Leonardo A-
S, Jo A V G, Vincent T, Sophie J. Acute injury in the peripheral nervous
system triggers and alternative macrophage response. Journal of
neuroinflammation. 2012, 9:176 doi:10.1186/1742-2094-9-176.
13. Martina S. Radoslav M, Petra M, Jelena S, Martina V. Role of interleukin
and its receptor in clinical presentation of chronic extrinsic allergic
alveolitis: a pilot study. Multidisciplinary Respiratory Medicine. 2013,
8:35 doi:10.1186/2049-6958-8-35.
14. Abdualkader A, Ghawi A, Alaama A, Awang M, Merzouk A. Leech
Therapeutic Applications. Indian J Pharm Sci. 2013 Mar-Apr;75(2): 127-
137.
15. Crog F, Vizioli J, Tuzova M, Tahtouh M. Sautiere PE, Van Camp C,
Salzet M, Cruikshank WW, Pestel J, Lefebvre C. A homologous form of
human interleukin 16 is implicated in microglia recruitment following
nervous system injury in leech Hirudo medicinalis. Glia. 2010 Nov
1;58(14):1649-62. doi: 10.1002/glia.21036.
16. El-Bassam S, Pinsonneault S, Kornfeld H, Ren F, Menezes J, Laberge S.
Interleukin-16 inhibits interleukin-13 production by allergen-stimulated
blood mononuclear cells.Immunology.2006 Jan;117(1):89-96.
17. Markwardt F. Hirudin as alternative anticoagulant—a historical review.
Semin Thromb Hemost. 2002 Oct;28(5):405-14.
18. Wolf. Chimeric hirudin proteins. Greenfield & Sacks;2013