1. Case Report Session
Difteria
Oleh :
Angga Putra Perdana 1210313039
Perseptor :
dr. Rinang Mariko, Sp.A(K)
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2015
2. BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi Difteria
Difteria adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Difteria merupakan penyakit yang sangat menular dan ditandai dengan
pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.1
b. Etiologi Difteria
Penyebab terjadinya difteria adalah kuman basil Gram-positif yang bersifat
aerob, Corynebacterium diphtheriae. Kuman ini memiliki karakteristik tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60oC, dan tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman tampak
dalam susunan palisade, berbentuk L atau V, atau membentuk formasi huruf cina.1
Ciri khas C. diphtheriae adalah kemampuannya membentuk eksotoksin.
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas/ cahaya, dan mempunyai dua fragmen, yaitu fragmen A (amino-
terminal) dan B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk
eksotoksin dapat dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya dapat dibentuk
oleh C. diphtheria yang terinfeksi bakteriofag yang mengandung toxigene.1
Secara umum, dikenal 3 tipe utama C. diphtheria,yaitu tipe gravis,
intermedius, dan mitis. Namun, berdasarkan antigenitasnya, basil ini memiliki
spesies yang heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Pada membran
mukosa manusia C. diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakannya diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa.5
c. Epidemiologi Difteria
Difteria tersebar di seluruh dunia. Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan
penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun, sejak mulai diadakannya
program imunisasi DPT di Indonesia pada tahun 1974, kasus dan kematian akibat
difteria berkurang sangat banyak.2
3. Difteri terjadi di seluruh dunia, tetapi kasus-kasus klinis lebih banyak terjadi
di daerah beriklim sedang . Di Amerika Serikat pada era pretoxoid, insiden tertinggi
berada di Tenggara selama musim dingin.4
Setelah program pengembangan imunisasi yang menyeluruh /Expanded
Program Immunization (EPI) dilaksanakan dengan pemberian toksoid difteri, difteri
hampir hilang terutama di negara maju.1 Indonesia telah melaksanakan Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) sesuai dengan EPI sejak tahun 1976, dan telah
melaksanakan vaksinasi dengan tiga dosis DPT pada bayi dengan cakupan yang
tinggi.6
Dampak dari PPI, sejak tahun 1986 tidak diketemukan lagi kasus difteri yang
dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, yang merupakan rumah sakit rujukan
di provinsi Jawa Barat. Diharapkan dengan melaksanakan dan mempertahankan
program imunisasi secara terus menerus maka penyakit difteria dapat menghilang.
Wabah difteri di Jawa barat hampir selalu ada, dilaporkan pada tahun 2006, 2007,
2008 masing 54, 50, 28 kasus, dan tahun 2010 dilaporkan 28 kasus dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Subdit KLB Dirjen P2MPL Kementrian Kesehatan
melaporkan peningkatan kasus difteri di beberapa provinsi di Indonesia seperti Jawa
Timur, Jawa Tengah, DKI, Lampung, dan beberapa tempat lain di Indonesia.
Kenyataan tersebut menimbulkan kekuatiran berjangkitnya kembali penyakit difteri.6
d. Patogenesis dan Patofisiologi Difteria
Penularan kuman C. diphtheria terjadi melalui droplet saat penderita ataupun
carrier batuk, bersin, dan berbicara. Masa inkubasinya adalah 2-5 hari. Carrier
adalah orang yang terinfeksi bakteri pada hidung atau tenggorok tetapi tidak
mengalami penyakit. Masa penularan difteria dari penderita adalah 2-4 minggu,
sedangkan masa penularan dari carrier bisa mencapai 6 bulan.2
Kuman C. diphtheria masuk ke dalam tubuh melalui mukosa atau kulit.
Kuman tersebut akan melekat dan berkembang biak pada permukaan mukosa saluran
nafas bagian atas. Selanjutnya, kuman akan mulai memproduksi toksin yang
merembes dan menyebar ke daerah sekitar dan ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan pembuluh darah.5
Toksin yang dihasilkan oleh C. diphtheria akan menghambat pembentukan
protein dalam sel. Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan
4. bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk yang akan
menginaktivasi enzim translokase (elongation factor-2). Inaktivasi enzim translokase
akan menghambat tranlokasi sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida dari
rantai RNA yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis akan tampak sangat
jelas pada daerah tempat kolonisasi kuman C. diphtheria. Kemudian terjadi
inflamasi lokal dan bersama-sama dengan jaringan nekrotik akan terbentuk bercak
eksudat yang mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, sehingga daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran
yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah sel darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran yang terbentuk juga mengandung sel-sel radang,
eritrosit dan epitel, akibatnya apabila dipaksa untuk melepaskan membran tersebut
akan terjadi perdarahan. Membran ini akan terlepas dengan sendirinya pada fase
penyembuhan.1
Pada pseudomembran yang terbentuk dapat terjadi infeksi sekunder dari
bakteri, seperti Streptococcus pyogenes. Selain itu, membran dan jaringan yang
udem di saluran nafas atas dapat menyumbat jalan nafas. Apabila terjadi perluasan
inflamasi ke daerah laring atau cabang trakeo-bronkus akan terjadi gangguan
pernafasan/ sufokasi.5
Toksin yang diproduksi oleh C. diphtheria dapat menyebar ke seluruh tubuh
yang dapat menngakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama: jantung, saraf,
dan ginjal. Antitoksin difteria hanya dapat menetralisasi toksin yang bebas atau
terabsorpsi pada sel, namun tidak mampu menetralisir toksin yang telah berpenetrasi
ke dalam sel. Setelah toksin berpenetrasi dan terfiksasi di dalam sel, terdapat masa
laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.5
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi pada saraf
biasanya muncul setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah
nekrosis toksin dan degenerasi hialin pada berbagai organ dan jaringan. Pada jantung
akan tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan system
konduksi. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.1
e. Manifestasi Klinis Difteria
5. Manifestasi klinis yang muncul akibat infeksi difteria bervariasi, mulai dari
tanpa gejala sampai gejala yang sangat berat yang dapat berakibat fatal. Faktor
primer yang mempengaruhi ringan beratnya manifetasi klinis adalah imunitas
pejamu (host) terhadap toksin difteria, virulensi kuman, toksigenitas dari C.
diphtheria atau kemampuan kuman untuk membentuk toksin, dan lokasi penyakit
secara anatomis. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah umur, penyakit
sistemik penyerta, dan penyakit pada nasofaring yang telah ada sebelumnya.1
Difteria memiliki masa tunas 2-6 hari. demam jarang melebihi 38,9oCdan
keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.5
1. Difteria Hidung
Pada awalnya gejala pada difteria hidung menyerupai common cold, dengan
gejala pilek ringan, dengan atau tanpa gejala sistemik ringan. Sekret pada hidung
dapat berupa serosanguinus, yang kemudian dapat berubah menjadi mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan hidung
didapatkan gambaran membran putih pada daerah septum nasi. Pada difteria
hidung, absorpsi toksin terjadi sangat lambat dan gejala sistemik yang muncul
tidak khas, sehingga diagnosis sering terlambat ditegakkan.1
2. Difteria Tonsil Faring
Pada difteria tonsil faring, gejala yang muncul daoat berupa anoreksia,
malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Kemudian dalam 1-2 hari berikutnya
muncul membran yang melekat pada tonsil, berwarna putih-kelabu, dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke
bawah ke laring dan trakea. Pada difteria tonsil faring juga dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular. Dapat terjadi bullneck bila limfadenitis
disertai dengan edema jaringan lunak leher yang luas. 5
Beratnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin dan luasnya
membran. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat juga terjadi paralisis pallatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
dengan gejala sukar menelan dan regurgitasi. Selain itu, dapat terjadi stupor,
koma, dan kematian dalam 7-10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan, membran akan terlepas dengan sendirinya dalam 7-19 hari dan akan
sembuh sempurna.1
3. Difteria Laring
6. Difteria laring biasanya muncul sebagai perluasan dari difteria faring. Daya
serap mukosa laring terhadap toksik lebih rendah dibandingkan mukosa faring,
sehingga pada difteria lebih mencolok gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala
yang muncul pada difteria laring sukar dibedakan dengan gejala infectious croups
yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau, dan batuk
kering. Apabila terjadi obstruksi laring yang berat, dapat terjadi retraksi
suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Apabila membran pada difteria
laring terlepas, dapat terjadi kematian mendadak.1
4. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga merupakan tipe difteria
yang jarang terjadi atau tidak lazim. Difteria kulit memiliki gejala berupa tukak di
kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada dasarnya. Difteria pada mata berupa
lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema, membran pada konjungtiva
palpebra. Pada difteria telinga dapat berupa otitis eksterna, secret purulen dan
berbau.1
f. Diagnosis Difteria
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien sebagai efek dari
penyebaran eksotoksin yang dihasilkan C. diphtheria. Penentuan kuman difteria
secara langsung kurang dapat dipercaya. Diagnosis pasti difteria ditegakkan dengan
melakukan isolasi kuman C. diphtheria dengan pembiakan pada media Loeffler,
dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara in vitro (tes Elek) dan in vivo
(marmut). Cara yang lebih akurat adalah dengan melakukan identifikasi dengan cara
fluorescent antibodi technique, namun diperlukan seorang ahli untuk melakukan
identifikasi tersebut.1
g. Diagnosis Banding
1. Difteria Hidung, terdapat beberapa penyakit yang menyerupai difteria hidung,
yaitu: rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam
hidung, snuffles (lues kongenital).
2. Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh Streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis
7. infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
3. Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai
infectious croups yang lain, yaitu: spasmodic croup, angioneurotic edema pada
laring, dan benda asing dalam laring.
4. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh Streptokokus atau Stafilokokus.1
h. Imunisasi
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteri
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan sampai 2-3 minggu.
Sedangkan kekebalan aktif diperoleh setelah menderita sakit atau inapparent
infection dan imunisasi dengan toksoid difteri. Imunitas terhadap difteri dapat diukur
dengan uji schick dan uji moloney.1
Schick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan
dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak
terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti
bahwa :
pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Imunitas aktif dapat diperoleh dengan melakukan imunisasi difteri. Imunisasi
ini tergabung dalam vaksin DTp yang jadwal pemberiannya dapat dimulai paling
cepat usia 6 minggu dengan interval pemberian 4-8 minggu. Namun, berdasarkan
rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DTP-1 dapat diberikan pada usia
2 bulan, DTP-2 pada usia 4 bulan, dan DTP-3 pada bulan 6 bulan. Ketiga DTP
tersebut di atas tergabung dalam DTP Primer. Selanjutnya DTP-4 pada usia 18-24
bulan, DTP-5 pada usia 5 tahun, DTP-6 usia 10-12 tahun, dann DTP-7 pada usia 18
tahun. Keempat DTP di atas termasuk ke dalam tahap booster dari program
imunisasi difteria, Tetanus, dan Pertusis.3
8. Dosis pemberian vaksin DTP adalah 0,5 ml, dengan cara pemberian secara
intramuscular. Jenis vasin DTP ada 2, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah
singkatan dari Diphtheria Tetanus whole cell-Pertusis, sedangkan DTaP adalah
singkatan dari Diphtheria Tetanus acellular-Pertusis. DTwP berisi suspensi kuman B.
Pertussis dan DTaP mengandung komponen toksin B. Pertussis yang dapat
menginduksi pembentukan antibodi spesifik.3
i. Pengobatan Difteria
Pengobatan pada difteria harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya
gejala yang berat akibat penyebaran eksotoksin yang diproduksi oleh C. diphtheria.
Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan
kepada pasien lainnya.2
Pengobatan ditujukan untuk menginaktivasi toksin yang belum berpenetrasi
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeleminasi kuman C. diphtheria untuk mencegah penularan, serta mengobati
gejala penyerta dan penyulit difteria.1
Pengobatan pada difteria dapat diklasifikan menjadi 2, yaitu secara umum
dan khusus.
1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, lama isolasi pasien difteria lebih
kurang 2-3 minggu. Selama isolasi, pasien istirahat tirah baring dan diberikan
terapi cairan dan diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dengan risiko
obstruksi jalan nafas, harus dipantau agar nafas tetap bebas, dan dijaga
kelembapan udara dengan menggunakan humidifier. 1
2. Khusus
Terdapat beberapa pengobatan khusus pada difteria, yaitu :
a) Antitoksin Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Dengan penundaan pemberian antitoksin lebih dari
hari ke-6 dapat menyebabkan angka kematian meningkat 30%.1
9. Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian
Difteria hidung 20.000 i.m.
Difteria tonsil
Difteria faring
Difteria laring
Kombinasi
Difteria + bullneck
Terlambat berobat (>72 jam),
lokasi dimana saja
40.000
40.000
40.000
80.000
80.000-120.000
80.000-120.000
i.m. atau i.v.
i.m. atau i.v.
i.m. atau i.v.
i.v.
i.v.
i.v.
Sumber: Krugman, 2004 dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata, karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik. Untuk mengatasi hal
tersebut harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit
dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >
10 mm. 1
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva
bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka).1
Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan
berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien,
berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness).1
10. b) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan
untuk mengeradikasi kuman penyebab difteria yaitu C. diphtheriae. Dengan
demikian, produksi toksin dapat dihentikan dan penularan kuman dengan
cara droplet dapat dicegah. Antibiotik yangdiberikan adalah Penisilin
prokain dengan dosis 50.000-100.000 IU/ kgBB/ hari selama 10 hari.
Sebelum pemberian antibiotik penisilin prokain, juga harus dilakukan skin
test terlebih dahulu. Apabila terjadi reaksi hipersensitivitas, antibiotik yang
diberikan adalah eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari.1
c) Kortikosteroid
Pemberian kostrikosteroid dianjurkan pada pasien yang memiliki gejala
berikut ini, yaitu: obstruksi jalan nafas bagian atas (dengan ataupun tanpa
bullneck) dan apabila terdapat miokarditis. Kortikosteroid yang diberikan
adalah prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian
dosis diturunkan secara bertahap (tapering off).1
Selain pengobatan umum dan khusus, pengobatan terhadap penyulit juga
harus dilakukan, pengobatan terutama diutamakan untuk menjaga hemodinamika
tetap stabil. Umumnya penyebab yang ditimbulkan oleh toksin bersifat
reversibel. Tindakan trakeostomi dapat dilakukan apabila ditemukan gangguan
pernafasan yang progresif pada pasien disertai gelisah dan iritabilitas.
Pengobatan kontak juga harus dilakukan pada anak yang kontak dengan
penderita. Anak tersebut sebaiknya juga diisolasi sampai dilakukan tindakan
biakan hidung dan tenggorok. Munculan gejala klinis pada anak yang kontak
juga harus diamati setiap harisampai masa inkubasi terlewati (2-5 hari). dapat
juga dilakukan pemeriksaan serologi dan observasi harian pada anak tersebut.
Selain itu, anak yang telah mendapat imunisasi dasar dapat diberikan booster
toksoid difteria. 1
Pengobatan terhadap Kontak Difteria
Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria
11. (+) (-) Pengobatan carrier
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan
dengan status imunisasi.
Carrier adalah individu yang terdapat basil C. diphtheriae pada
nasofaringnya namun tidak disertai dengan munculan gejala klinis dan pada uji
Schick hasilnya negatif. Pengobatan carrier dapat dilakukan dengan
memberikan penisilin 100 mg/kgBB/hari baik secara oral maupun suntikan, atau
dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu.1
j. Komplikasi
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat respon inflamasi local maupun
akibat penyebaran eksotoksin ke jaringan tubuh lain. penyulit difteria dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Obstruksi jalan nafas
Obstruksi jalan nafas pada difteria disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas
oleh membran difteria, atau karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular, dan servikal
2. Dampak toksin
Dampak penyebaran toksin C. diphtheriae dapat bermanifestasi pada jantung,
saraf, dan ekstremitas. Pada jantung, eksotoksin dapat menimbulkan miokarditis
dan biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatka antitoksin difteri.
Miokarditis dapat muncul baik pada difteria ringan maupun sedang. Miokarditis
biasanya muncul pada minggu ke dua, tetapi bisa paling dini muncul pada
minggu pertama dan paling lambat pada minggu ke enam. Klinis yang dapat
ditemui pada miokarditis adalah takikardia, suara jantung redup, terdengar bising
jantung, aritmia, dan pada beberapa kondisi bias berupa gagal jantung. Kelainan
pemeriksaan EKG pada pasien miokarditis difteria berupa elevasi segment ST,
PR interval memanjang, dan heart block.1
Dampak penyebaran toksin pada system saraf biasanya muncul lebih lambat,
bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik, dan akan sembuh sempurna.
Pada minggu ke-3, bila terjadi kelumpuhan pada otot pallatum molle dapat
12. terjadi suara sengau, regurgutasi nasal, dan sukar menelan. Pada minggu ke-5
hingga minggu ke-7 dapat terjadi paralisis otot mata.1
Paralisis pada ekstremitas terjadi secara bilateral dan simetris, terjadi
kehilangan deeptendon reflexs, peningkatan kadar protein likuor serebrospinal.
Pada minggu ke-5 – minggu ke-7 dapat terjadi paralisis otot diafagma akibat
neuritis saraf frenikus. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak
dibantu dengan ventilator mekanik. Dan apabila terjadi kelumpuhan pada pusat
vasomotor dapat terjadi hiptensi dan gagal jantung.1
3. Infeksi sekunder bakteri
Penyulit berupa infeksi sekunder saat ini telah jarang terjadi dengan
berkembangnya penggunaan antibiotic secara luas.1
k. Prognosis
Prognosis difteria lebih baik dari sebelumnya setelah ditemukannya Anti
Difteria Serum (ADS) dan antibiotik. Di Indonesia, kasus difteria berat dengan
prognosis buruk dapat ditemui pada daerah yang belum terjamah dengan imunisasi
DPT. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteri disebabkan oleh:
obstruksi jalan nafas akibat terlepasnya membran difteria, miokarditis dan gagal
jantung, dan paralisis diafragma sebagai akibat neuritis frenikus. Anak yang pernah
miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria pada umumnya dapat sembuh
sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan gejala yang
menetap.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada
anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran
difteri.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring
(48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
13. l. Pencegahan Infeksi Difteria
Pencegahan terhadap difteria dapat dilakukan secara umum maupun khusus.
Pencegahan seara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
mengenai infeksi difteria dan bahayanya bagi anak. Pencegahan secara khusus dapat
dilakukan dengan memberikan vaksin DPT dan pengobatan carrier. Seorang anak
yang telah mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap akan memiliki antibodi
terhadap toksin difteria namun tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya,
inilah sebabnya mengapa bisa adanya individu yang menjadi carrier difteria.1
BAB II
Laporan Kasus
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : M
Jenis kelamin : Laki - laki
Tanggal Lahir : 14 April 2008
Umur : 7 tahun 1 bulan
Alamat : Sungai Limau Kuranji Hilir
Tanggal Masuk : 5 Mei 2015
B. ALLOANAMNESIS
1. Keluhan Utama : demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, hilang timbul, tidak
menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang.
Batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak, darah tidak ada,
disertai pilek. Sesak nafas tidak ada, suara serak tidak ada.
Nyeri menelan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Tampak bercak keputihan pada tenggorokan disadari orang tua sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit
14. Mual tidak ada, muntah tidak ada
Nafsu makan anak menurun sejak sakit. Anak biasanya makan 2-3 kali
sehari, menghabiskan 1 porsi makanan. Saat ini anak makan 1-2 kali sehari,
menghabiskan 1/3 porsi makanan dari biasanya.
Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap, Booster tidak diberikan, anak belum
mendapatkan vaksin dT-ORI
Buang air kecil warna dan jumlah biasa
Buang air besar warna dan konsistensi biasa
Anak sebelumnya telah dibawa berobat ke spesialis anak dan dirujuk ke
RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keterangan susp. difteri tonsil.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga, tetangga, dan teman sekolah yang menderita
penyakit seperti ini sebelumnya.
5. Riwayat Kelahiran :
Anak ketiga dari 3 bersaudara, lahir operasi caesar atas indikasi panggul sempit di
rumah sakit, ditolong dokter, cukup bulan, berat lahir 3100 gram, panjang 50 cm,
dan langsung menangis saat lahir.
6. Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar tidak lengkap. Booster belum diberikan. DPT ORI belum
diberikan.
7. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan gigi ibu pasien lupa, psikomotor normal, status pubertas A1P1M1,
perkembangan mental dan emosi normal.
8. Riwayat Nutrisi
Anak diberikan ASI sejak lahir sampai usia 2 tahun. Bubur susu diberikan pada
usia 6-9bulan, nasi tim saring usia 7-11 bulan, nasi tim biasa usia 11-2 tahun, dan
nasi biasa sejak usia 2 tahun sampai sekarang. Kualitas dan kuantitas cukup.
9. Riwayat Lingkungan
Rumah permanen, jamban di dalam rumah, sumber air minum dari PDAM, air
minum dari air galon, sampah dikumpul di TPS, dan pekarangan rumah ada.
Hygiene dan sanitasi lingkungan cukup.
15. C. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : komposmentis
Keadaan Umum : sakit sedang
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 110 kali/menit
Suhu : 38,0oC
Pernafasan : 30 kali/menit
Berat badan : 18 kg
Tinggi badan :126 cm
Keadaan gizi : kurang
Sianosis : tidak ada
Anemis : tidak ada
Ikterik : tidak ada
Edema : tidak ada
Kulit : teraba hangat, perfusi baik, CRT <2 detik
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Kepala : bulat, simetris
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, diameter 2 mm/2 mm, reflek cahaya (+/+) normal.
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : tonsil T2-T2 hiperemis, ada pseudomembran, sukar
diangkat, dan mudah berdarah. Faring hiperemis.
Gigi dan mulut : mukosa bibir dan lidah basah
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thoraks : normochest, simetris
Paru : Inspeksi : simetris, retraksi tidak ada
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronki tidak ada , wheezing tidak ada
Jantung : Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
16. Palpasi : ictus cordis teraba di LMCS 1 jari medial RIC V
Perkusi : batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: LMCS 1 jari
medial.
Aukultasi : irama teratur, bising tidak ada
Perut : Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ditemukan kelainan
Anus : colok dubur tidak dilakukan
Genitalia : tidak ditemukan kelainan, status pubertas A1M1P1
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik
Refleks fisiologis + normal, refleks patologis tidak ada
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium : 5 Mei 2015
Hb = 11,1 g/dL
Leukosit = 20.040/mm3
Hitung jenis leukosit = 0/0/6/53/37/4
Trombosit = 254.000/mm3
E. DIAGNOSIS
Susp. Difteria Tonsil
F. PENATALAKSANAAN
Terapi:
ML 1400 kkal
ADS 80.000 IU drip dalam NaCl 0,9% 200 cc, habis dalam 2 jam, 30 tetes/menit
(makro).
Penicillin prokain 1 x 900.000 IU i.m. (skin test terlebih dahulu)
Paracetamol 180 mg (bila T ≥38,5oC )
Rencana :
Swab tenggorok (pewarnaan gram, kultur)
17. Pemeriksaan EKG berkala
Hasil pemeriksaan EKG :
HR = 120x/menit, irama sinus
PR interval = 0,14 detik
Kesan : tidak ada pemanjangan PR interval
Hasil skin test penisilin prokain : tidak ditemukan reaksi hipersensitivitas.
FOLLOW UP : 9 April 2015
S/ Demam ada, tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat
Batuk ada, berdahak, tidak disertai pilek
Nyeri menelan tidak ada, ADS dan penisilin prokain telah diberikan
BAB dan BAK biasa
O/ KU Kes TD Nadi Nafas Suhu
Sedang Sadar - 113 x/’ 28 x/’ 37,8oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2
mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal
Tenggorokan :
Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT 1”
A/ Febris
Susp. Difteri tonsil
P/
ML 1700 kkal
Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.)
Lactulac syr 2 x 1 cth
Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
FOLLOW UP : 10 April 2015
S/ Demam ada, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat
Batuk masih ada, berdahak, tidak disertai pilek
18. Nyeri menelan tidak ada
Intake masuk, toleransi baik
BAB dan BAK biasa
O/ KU Kes TD Nadi Nafas Suhu
Sedang Sadar - 91x/’ 20 x/’ 37,0oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2
mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal
Tenggorokan : tonsil T2-T2 hiperemis, pseudomembran berkurang
Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik
Hasil pemeriksaan swab tenggorok : Positif (+) Corynebacterium diptheriae
Hasil pemeriksaan EKG : 10/4-2015
HR = 90x/menit
PR-interval = 0,20 detik
Kesan : pemanjangan PR interval
A/ Difteri tonsil
P/
ML 1700 kkal
Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.)
Prednison 3 x 18 mg (p.o)
Lactulac syr 2 x 1 cth
Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
Rencana : EKG/ hari
FOLLOW UP : 11 April 2015
S/ Demam ada, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat
Batuk masih ada, berdahak, tidak disertai pilek
Muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada
Intake masuk, toleransi baik
BAB dan BAK biasa
O/ KU Kes TD Nadi Nafas Suhu
19. Sedang sadar - 83 x/’ 21 x/’ 37,2oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2
mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal
Tenggorokan : tonsil T2-T2 hiperemis, pseudomembran berkurang
Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT 1”
Hasil pemeriksaan EKG
HR = 80x/menit
PR-interval = 0,16 detik
Kesan : dalam batas normal
A/ Difteri tonsil
P/
ML 1700 kkal
Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.)
Prednison 3 x 18 mg (p.o)
Lactulac syr 2 x 1 cth
Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
Rencana : EKG/hari
FOLLOW UP : 12 April 2015
S/ Demam ada, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat
Batuk masih ada, berdahak, tidak disertai pilek
Muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada
Intake masuk, toleransi baik
BAB dan BAK biasa
O/ KU Kes TD Nadi Nafas Suhu
Sedang sadar - 82 x/’ 19 x/’ 37,0oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2
mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal
Tenggorokan : tonsil T2-T2 hiperemis, pseudomembran berkurang
Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal
20. Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT 1”
Hasil pemeriksaan EKG
HR = 75x/menit
PR-interval = 0,16 detik
Kesan : dalam batas normal
A/ Difteri tonsil
P/
ML 1700 kkal
Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.)
Prednison 3 x 18 mg (p.o)
Lactulac syr 2 x 1 cth
Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
Rencana : EKG/hari
21. BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan umur 8 tahun dengan
keluhan utama demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, hilang
timbul, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak, darah
tidak ada, disertai pilek. Pada pasien tampak bercak keputihan pada tenggorokan
disadari orang tua sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan swab tenggorok dan
pemeriksaan EKG. Berdasarkan pemeriksaan swab tenggorok didapatkan hasil
Positif Corynebacterium diphtheriae dan berdasarkan hasil pemeriksaan EKG
pada hari rawatan ke-2 terjadi pemanjangan PR interval. Pasien diberikan drip
Anti Diphtheria Serum 80.000 IU dan penicillin prokain 900.000 IU yang telah
didahului dengan skin test. Karena terdapat pemanjangan PR interval maka
diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari . pada pasien juga diberikan lactulac syrup
dan paracetamol (bila suhu > 38,5oC).
Pada pasien direncanakan untuk diberikan injeksi penisilin prokain
selama 10 hari dan dilakukan pemeriksaan EKG setiap hari untuk memantau
komplikasi difteria tonsilnya terhadap jantung (miokarditis) dan juga diberikan
prednison oral dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.
22. DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, dan Satari HI. 2008. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi 2. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI.
2. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi 2. Semarang: Erlangga.
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, dan
Soedjatmiko. 2014. Buku Pedoman Imunisasi. Edisi 5. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
4. Center for Disease Control and Prevention. Diphtheria : Epidemiology and
Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Diakses tanggal 17 April 2015
dari: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html
5. Center for Disease Contro and Prevention. Diphtheriae. Diakses tanggal 17
April 2015 dari:
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/dip.pdf
6. Rusmil K, Chairulfatah A, Fadlyana E, Dhamayanti M. 2011. Wabah Difteri
di Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia.
Sari Pediatri : 12(6).