SKRIPSI - BEBAN KERJA OSMOTIK, PERUBAHAN OSMOEFEKTOR DAN EFISIENSI PEMANFAATAN PAKAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) YANG DIKULTIVASI PADA MEDIA ISOOSMOTIK, HIPOOSMOTIK DAN HIPEROSMOTIK INTERMOLT
Dokumen tersebut membahas tentang pengaruh salinitas terhadap osmoregulasi, regulasi ion, dan efisiensi pemanfaatan pakan pada udang vannamei. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi salinitas yang optimal bagi pertumbuhan udang vannamei dengan mempelajari beban kerja osmotik, perubahan kandungan elektrolit, dan daya dukung lingkungan terhadap pemanfaatan pakan.
Similar to SKRIPSI - BEBAN KERJA OSMOTIK, PERUBAHAN OSMOEFEKTOR DAN EFISIENSI PEMANFAATAN PAKAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) YANG DIKULTIVASI PADA MEDIA ISOOSMOTIK, HIPOOSMOTIK DAN HIPEROSMOTIK INTERMOLT
Similar to SKRIPSI - BEBAN KERJA OSMOTIK, PERUBAHAN OSMOEFEKTOR DAN EFISIENSI PEMANFAATAN PAKAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) YANG DIKULTIVASI PADA MEDIA ISOOSMOTIK, HIPOOSMOTIK DAN HIPEROSMOTIK INTERMOLT (20)
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
SKRIPSI - BEBAN KERJA OSMOTIK, PERUBAHAN OSMOEFEKTOR DAN EFISIENSI PEMANFAATAN PAKAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) YANG DIKULTIVASI PADA MEDIA ISOOSMOTIK, HIPOOSMOTIK DAN HIPEROSMOTIK INTERMOLT
1. 1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Litopenaeus vannamei adalah salah satu spesies komersial untuk budidaya.
Spesies ini tersebar di daerah mulai dari Pasifik barat sekitar Mexico hingga Utara
Peru (Perez-Farfante and Kensley, 1997). Di Indonesia, udang ini baru diintroduksi
dan dibudidayakan mulai awal tahun 2000-an dengan menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Masuknya udang putih ini telah menggairahkan kembali usaha
pertambakan Indonesia yang mengalami kegagalan budidaya akibat serangan
penyakit, terutama bintik putih (white spot). Udang ini memiliki konversi pakan atau
feed conversion ratio (FCR) yang berkisar antara 1,3-1,4 (Boyd dan Clay, 2002).
Kandungan protein pada pakan untuk udang vannamei relatif lebih rendah
dibandingkan udang windu. Menurut Briggs et al (2004), udang tersebut
membutuhkan pakan dengan kadar protein 20-35%.
Udang vannamei hidup di laut dengan permukaan lumpur hingga kedalaman 72
m (Dore and Frimodt, 1987). Spesies ini tumbuh dewasa dan bertelur di pantai
perairan tropis, sedangkan plankton postlarva udang ini bermigrasi ke estuary. Pada
ukuran juvenile mereka mampu mentoleransi perbedaan salinitas dan temperatur di
estuari (Wickins, 1976). Pada saat ukuran juvenile, untuk menyesuaikan salinitas,
udang harus mampu meregulasi konsentrasi didalam haemolymph dengan variasi
salinitas external saat berada di kondisi hypersaline menuju tawar seperti yang
2. 2
dilaporkan pada Litopenaeus setiferus, Farfantepenaeus aztecus and F. duorarum
(Gunter and Shell, 1958, Tabb et al., 1962, Gunter dan Hall, 1963).
Mantel dan Farmer (1983) dan Pequeux (1995), menyatakan bahwa
Osmoregulasi adalah salah satu fungsi regulasi terpenting organisme aquatik untuk
mempertahankan hidupnya. Osmoregulasi dapat menjadi pertimbangan di dalam
usaha budidaya untuk mendeteksi awal kerugian besar (Lignot et al, 2000). Hal
tersebut mendasari penggunaan energi penting untuk memelihara konsentrasi tubuh
yang konstan pada sebuah lingkungan yang mengalami perubahan, sebagaimana yang
terjadi pada tambak-tambak kultivasi. Untuk mengetahui efek dari salinitas pada
fisiologi udang, sangat penting untuk mengevaluasi kapasitas osmoregulasi, dimana
telah dirumuskan oleh Charmantier et al. (1989) bahwa perbedaaan antara tekanan
osmotik pada hemolymph dan media, ditentukan oleh salinitas.
Penelitian ini mengevaluasi respon osmoregulasi pada udang vannamei untuk
mengetahui perbedaan salinitas dalam kajian isosmotik (rentang optimum media bagi
kebutuhan molting dan fase osmoregulasi udang) yang menggambarkan kondisi
pertumbuhan optimum pada kondisi terkontrol. Selain itu mengkaji kandungan
elektrolit serta informasi tentang kebiasaaan makan (food and feeding habit), sebagai
landasan untuk pengaturan jenis dan jumlah pakan udang.
3. 3
1.2. Pendekatan Masalah
Udang vannamei merupakan udang introduksi yang diperkenalkan untuk
menggairahkan usaha budidaya di Indonesia yang sempat mengalami kelesuan.
Sebagai spesies baru di Indonesia, maka udang ini masih memerlukan banyak kajian.
Osmoregulasi, regulasi ion (osmoefektor), dan daya pemanfaatan pakan adalah
beberapa hal yang berkaitan untuk proses optimalisasi hasil budidaya.
Tekanan osmotik sangat dipengaruhi oleh tingkat salinitas. Tingkat salinitas
tertentu memiliki tekanan osmotik yang tertentu pula. Makin tinggi salinitas,
konsentrasi elektrolitnya semakin besar, yang berarti makin besar tekanan
osmotiknya, begitu juga sebaliknya.
Untuk menghasilkan pertumbuhan yang baik diperlukan tingkat salinitas yang
mampu meminimalkan tingkat kerja osmotik. Regulasi ion berkaitan dengan
keseimbangan kandungan ion dalam media/cairan, yaitu antara cairan tubuh dan
cairan media hidup. Jika kandungan ion dalam tubuh dan media hidup tidak
seimbang, maka udang memerlukan energi untuk menyeimbangkannya.
Daya pemanfaatan pakan merupakan kemampuan memanfaatkan makanan
untuk pertambahan berat badannya. Udang memperoleh energi dari pakan dan
kehilangan energi akibat metabolismenya, terutama untuk keperluan osmoregulasi.
Efisiensi pemanfaatan energi untuk pertumbuhan sangat bergantung pada daya
dukung lingkungannya. Dalam hal ini, pemanfaatan energi pakan bagi pertumbuhan
akan efisien bila udang hidup pada media yang tak jauh dari kondisi isoosmotiknya,
sehingga pertumbuhan menjadi optimal.
4. 4
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media isoosmotik,
hipoosmotik dan hiperosmotik intermolt terhadap beban kerja osmotik, nisbah ion
(perubahan osmoefektor) dan efisiensi pemanfaatan pakan pada udang vannamei
(Litopenaeus vannamei).
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh
salinitas terhadap perubahan osmoefektor, daya pemanfaatan pakan dan pertumbuhan
dalam kaitannya dengan optimalisasi salinitas media, serta dapat dijadikan acuan bagi
penelitian selanjutnya yang mengambil permasalahan yang sama.
1.5. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 hingga Januari 2010 di
Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai, Universitas Diponegoro, Jepara.
5. 5
Gambar 1. Skema Pendekatan Masalah Penelitian
PROSES
Kualitas Air (Terkontrol)
Suhu, pH, DO, NH3, NO2
- Osmoregulasi/Beban Kerja Osmotik
- Regulasi Ion (Perubahan Osmoefektor)
- Pemanfaatan Pakan
- Data
- Pengolahan data
- Analisis
- Uji Statistik
Kesimpulan
OUTPUT
U
M
P
A
N
B
A
L
I
K
Variabel independen
INPUT
Udang Vannamei (Dewasa)
Tingkat Salinitas
Pakan Salinitas 26+1‰
(Isosmotik intermolt)
Salinitas 20+1‰
(Isosmotik postmolt)
(Hiposmotik Intermolt)
Salinitas 32+1‰
(Isoosmotik premolt)
(Hiperosmotik intermolt)
Salinitas 35+1‰
(Isosmotik kontrol)
(Hiperosmotik Kontrol)
Variabel Dependen / Variabel Respon
- Tingkat kerja osmotik
- Kandungan elektrolit media (osmoefektor)
- Efisiensi pemanfaatan pakan
6. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
2.1.1. Taksonomi Udang Vannamei
Dalam The Integrated Taxonomic Information System (ITIS, 2009), disebutkan
bahwa Litopenaeus vannamei disebut juga whiteleg shrimp (English) crevette pattes
blanches (Prancis), camarón patiblanco (Spanyol). Di Indonesia udang ini disebut
sesuai nama latinnya yaitu udang vannamei. Hirarki taksonomi udang ini adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Klas : Crustacea
Sub Klas : Malacostraca
Seri : Eumalacostraca
Super Ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Dendrobranchiata
Super Famili : Penaeoidea
Famili : Penaidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei (Boone, 1931)
7. 7
2.1.2. Morfologi Udang Vannamei
Tubuh udang vannamei di bentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu
exopodite dan endopodite. Udang vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan
melakukan aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara periodik yang biasa
disebut molting. Ciri-ciri udang vannamei adalah warnanya yang putih bening
sehingga lazim dikenal dengan “udang putih”. Pertumbuhan maksimal udang
vannamei dapat mencapai ukuan sekitar 230 mm (9 inci). Udang vannamei memiliki
rostrum yang bergigi, dengan 2 gigi yang terletak di bagian ventral dan 8-9 di bagian
dorsal (Haliman dan Adijaya, 2005).
Bagian kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antenna, mandibula dan
2 pasang maxillae. Kepala udang vannamei dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped
dan 5 pasang kaki berjalan (peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxilliped
berfungsi sebagai organ untuk makan. Bentuk peripoda beruas-ruas yang berujung
dibagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan
tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada
bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor)
yang membentuk kipas bersama-sama dengan telson (Elovaara, 2001).
Jumlah rostum (hingga dorsal) berkisar antara 2-4 (adakalanya 5-8) gerigi
yang cukup panjang dan saat muda dengan jelas melebihi panjang antennular
peduncle. Bagian ini akan memendek saat dewasa, terkadang hanya mencapai
pertengahan antennular pada segmen kedua. Pada karapas terdapat adanya antenal
8. 8
dan hepatic spines yang berputar pada pterygostomian dan tidak memiliki postocular
sulcus. Memiliki postrostal carina yang panjang, dan terkadang hampir mencapai
ukuran posterior pada karapas. Memiliki adostral carina dan sulcus yang memanjang
atau sedikit keluar dari epigastric tooth. Udang ini juga tidak memiliki gastrofrontal,
mengingat gastro-orbital carina udang ini yang relatif pendek. Pada orbito-antennal
sulcus terdapat perbedaan antara sharp cervical dan hepatic carinae. Pada telson
tidak terdapat keistimewaan. Pada antennulesi-nya kekurangan sebuah parapenaeid
spine dan antennular flagella-nya sedikit lebih kecil dari karapasnya. Bagian palp
dari maxilla pertama agak memanjang, terdiri dari 3 atau 4 distal bersama flagelliform
(Gulf States Marine Fisheries Commission, 2005).
2.1.3. Habitat dan Daur Hidup Udang Vannamei
Udang ini umumnya menyukai perairan dengan dasar berlumpur hingga
kedalaman 72 meter (235 kaki) (Dore dan Frimodt, 1987). Udang vannamei adalah
spesies asli pantai Pasifik Timur yang tersebar mulai dari Sonora, bagian utara
Meksiko, Amerika Tengah hingga Amerika Selatan seperti di Peru. Udang ini hidup
pada daerah-daerah dimana suhu air biasanya berkisar >20 °C sepanjang tahun.
Udang ini hidup di habitat laut tropis.
Udang dewasa hidup dan bertelur di laut terbuka, sementara postlarvanya
bermigrasi ke pantai, kemudian tumbuh di pesisir muara, laguna atau daerah
mangrove. Pejantan dewasa umumnya berukuran sekitar 20 g dan betina mencapai 28
g dan seterusnya pada usia 6-7 bulan. Udang vannamei seberat 30-45 g akan
menelurkan 100.000-250.000 telur dengan diameter sekitar 0,22 mm. Penetasan
9. 9
terjadi sekitar 16 jam setelah pemijahan dan pembuahan. Larva tahap pertama,
disebut Nauplius, sifatnya berenang sebentar-sebentar dan fototaksis positif. Pada
tahap Nauplius, udang ini tidak makan dari alam, tapi dari cadangan kuning telurnya.
Gambar 2. Daur Hidup Udang Penaeid (Stewart, 2005)
Tahap berikutnya, larva (zoea, mysis dan awal postlarva) bersifat planktonik
untuk beberapa waktu, makannya adalah fitoplankton dan zooplankton di alam.
Kemudian udang ini dibawa oleh arus pasang surut menuju pantai. Saat postlarva
(PL) udang ini mengubah kebiasaan plantonik mereka sekitar 5 hari setelah molting,
udang ini bergerak menuju pantai dan memulai makan bentik detritus, cacing, bivalve
dan crustacean lainnya (FAO, 2010).
2.1.4. Makan dan Kebiasaan Makan
Udang putih termasuk hewan yang mampu memanfaatkan pakan alami yang
ada dalam tambak seperti plankton dan detritus, sehingga dapat mengurangi input
10. 10
pakan pelet. Konversi pakan udang putih adalah 1,3-1,4 (Boyd dan Clay, 2002).
Kandungan protein pada pakan untuk udang putih relatif lebih rendah dibandingkan
udang windu. Menurut Briggs et al (2004), udang putih membutuhkan pakan dengan
kadar protein 20-35%. Dengan menggunakan pakan yang berkadar protein rendah
maka biaya untuk pembelian pakan bisa ditekan (Supono, 2008).
Ukuran pakan buatan bagi udang merupakan ukuran besar kecilnya butiran-
butiran pakan yang sesuai dengan kebutuhan udang pada saat dan kondisi tertentu.
Berdasarkan ukurannya, pakan buatan secara garis besar biasanya dapat digolongkan
ke dalam jenis:
1. Crumble, yaitu butiran pakan yang berupa serbuk/butiran halus dan biasa
digunakan pada udang usia tebar (benur).
2. Pellet, yaitu pakan buatan yang berupa butiran-butiran kecil sampai butiran kasar
dan biasa digunakan pada udang dewasa sampai udang usia panen.
Selain ukuran, berdasarkan kandungan nutrisinya pakan buatan mempunyai
formulasi yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan udang. Nutrisi
yang biasanya terdapat dalam pakan buatan antara lain: karbohidrat, protein, lemak,
serat dan beberapa zat esensial lain yang dibutuhkan udang. Komposisi nutrisi
tersebut dapat berbeda, tergantung dari ukuran pakan dan industri pembuatannya.
Dalam kondisi tertentu pakan buatan tersebut dikombinasikan dengan zat-zat
suplemen (seperti vitamin) untuk mengatasi kekurangan zat tersebut (Marindo, 2008).
Khusus untuk juvenil udang, pakan diberikan dalam bentuk crumble yang umumnya
bersal dari pellet yang di remah. (BBAT Sukabumi, 1991).
11. 11
2.1.5. Molting, Osmoregulasi dan Regulasi Ion
Siklus molting crustaceae (Anggoro, 1990) dapat dibagi menjadi empat fase:
1. Premolt, merupakan saat dimana komponen-komponen anorganik (terutama
kalsium) dari eksoskeleton tua diserap masuk pembuluh darah dan disimpan di
dalam gastrolit atau hepatopankreas, konsumsi oksigen meningkat, glikogen
dideposisikan di dalam hipodemis.
2. Molting (Molt) merupakan tahap pengelupasan kutikula yang disertai
pertambahan ukuran tubuh. Bertambah besarnya ukuran tubuh secara tepat
diakibatkan antara lain oleh absorbsi air sebelum dan sesudah eksoskeleton
dilepas adalah untuk melebarkan kutikula lambat yang baru terbentuk.
3. Pasca Molting (Postmolt), merupakan tahap pembentukan eksoskeleton baru
melalui chitin dan garam-garam anorganik. Selama periode ini secara berangsur-
angsur tekanan osmotik cairan intraselluler mulai mendekati cairan ekstrasulluler
dan akan mencapai tekanan isoosmotik pada saat intermolt.
4. Antar Molting (Intermolt), merupakan fase pertumbuhan aktif pada jaringan otot
dan pengerasan eksoskeleton baru yang menciri pada ketenangan relatif dan
penyimpanan cadangan materi dan energi sebagai persiapan molting berikutnya.
Proses ganti kulit (molting) berkaitan sekali dengan perubahan osmolaritas
dan mekanisme osmoregulasi. Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) berpola
osmoregulator. Sesuai dengan respon osmotiknya, udang tipe katadromus dan
anadromus bersifat osmoregulator. Kemampuan osmoregulasi ditentukan oleh jenis
udang, stadia atau ukuran, serta suhu dan salinitas media (Ferraris et al, 1987).
12. 12
Bagi hewan air yang pertumbuhannya ditentukan oleh kelancaran ganti kulit,
mekanisme osmoregulasinya ditentukan oleh perimbangan osmoefektor antara Cairan
Intra Sel (CIS) dengan Cairan Ekstra Sel (CES). Osmoefektor adalah kandungan ion-
ion organik dan anorganik yang mempengaruhi regulasi osmotik. Perimbangan ini
sangat menentukan pH optimal dan kemantapan osmolaritas cairan tubuh, sehingga
perlu dipertahankan agar sel-sel penyusun jaringan tubuh dapat tumbuh dengan
normal (Gilles, 1979 dalam Anggoro, 1992). Agar dapat hidup dan tumbuh dengan
layak pada kedua fase lingkungan hidup tersebut, cairan tubuh udang perlu dijaga dan
dipertahankan baik konsentrasi elektrolit (regulasi ion) maupun tekanan (potensial)
osmotiknya. Udang yang dipelihara di media buatan mempunyai masalah, karena
tekanan osmotik air media hidupnya belum tentu seimbang dengan tekanan osmotik
cairan tubuhnya. Untuk mengatasi permasalahan osmotik tersebut, udang dituntut
untuk menjaga keseimbangan osmotiknya dengan cara mempertahankan tekanan
osmotik cairan tubuh melalui mekanisme regulasi osmotik.
Pada proses pembentukan eksoskleton yang baru, proses ini dikontrol oleh
syaraf dan hormon. Pada dasarnya sebuah kelenjar (organ Y, yang terletak dikepala
crustacea) memproduksi hormon edysteroid yang menstimulasi terjadinya molting
(Pechenik, 2005). Sistem syaraf pusat udang menerima rangsangan spesifik baik dari
faktor dalam tubuh maupun salinitas media yang merupakan faktor eksternal. Sistem
syaraf pusat memerintahkan pericardiac cavity untuk mensekresi hormon
osmoregulasi dan memobilisasi elektrolit atau ion untuk ditranspor ke cairan ekstrasel
pada saat media luar berubah salinitasnya. Hormon osmoregulasi disini akan
13. 13
memperlancar osmoregulasi. Selain itu sistem syaraf pusat pada waktu fase intermolt
memerintahkan Organ-X untuk bekerja, dimana didalam Organ-X terdapat sel
neurosekresi yang berfungsi untuk sekresi hormon osmoregulasi dan sekresi Molt
Inhibitory Hormone (MIH) yang menghambat ganti kulit. Sedangkan pada waktu
akan ganti kulit kerja Organ–X diganti Organ-Y yang mensekresikan Molt
Accelerating Hormone (MAH) untuk persiapan ganti kulit yaitu komponen-
komponen anorganik dari eksoskeleton tua diserap masuk pembuluh darah dan
disimpan dalam hepatopankreas. Pada saat ganti kulit terjadi penambahan
ukuran/pertumbuhan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema gambar 3
(Anggoro dan Nakamura, 1996).
Menurut Anggoro (1992), osmolaritas haemolymphe udang tidak berubah
sesuai fase ganti kulitnya. Nilai terendah pada fase pasca ganti kulit dan tertinggi
pada persiapan ganti kulit, sedangkan rentang terlama (isoosmotik) terjadi pada fase
antar ganti kulit. Mekanisme yang dilakukan udang pada saat premolt yaitu dengan
meningkatnya konsumsi oksigen dan glikogen yang dideposisikan di dalam
hipodermis. Pada saat molting dengan cara absorbsi air sebelum dan sesudah
eksoskeleton dilepas (untuk melebarkan kutikula lembut yang baru terbentuk), serta
pasca molting melalui redeposisi kitin dan garam-garam anorganik.
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa pada fase persiapan ganti kulit,
osmolaritas haemolymphe udang sangat tinggi. Pada fase tersebut terjadi mobilisasi
dan akumulasi cadangan nutrien, terutama kalsium, fosfor serta nutrien organik ke
dalam haemolymphe dan hepatopankreas. Pada fase tersebut juga terjadi penyiapan
14. 14
ganti kulit baru diiringi dengan penyerapan nutrien organik dan kalsium dari kulit
lama (Yamaoka dan Scheer, 1970; Mantel dan Farmer, 1983; Ferraris, et al., 1986).
Gambar 3. Skema Hubungan Antara Osmoregulasi, Molting Dan Pertumbuhan
(Sumber: Anggoro dan Nakamura, 1996)
Pada fase pasca ganti kulit, osmolaritas haemolymphe udang berada pada
tingkatan paling rendah. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pengenceran
haemolymphe sebagai akibat meningkatnya absorbsi air selama proses ganti kulit,
serta meningkatnya pemakaian nutrien organik dan anorganik di dalam haemolymphe
untuk pertumbuhan jaringan somatik (kulit dan otot) (Gilles, 1979; Dalla Via, 1986).
MIH
ORGAN -Y
MAH
CNS - SISTEM SYARAF PUSAT
SEL NEUROSEKRESI PADA
ORGAN -X
KELENJAR SINUS
RANGSANGAN SPESIFIK INTERNALEKSTERNALS
ORGAN
PERICARDIA
CC
HORMON
OSMOREGULA
SI
EPIDERMISHEPATOPANKREASOSMOREGULASI
MOLTING DAN TUMBUH
15. 15
Fase antar ganti kulit merupakan periode paling lama (sekitar 70%).
Osmolaritas haemolymphe udang pada fase ini cukup mantap. Nilai osmolaritas pada
fase ini dianggap sebagai tekanan osmotik ideal (isoosmotik) (Cheng dan Liao,
Ferraris, et al., 1986 a dan b). Panjangnya periode tersebut berkaitan dengan beberapa
faktor penyebab, antara lain: (1) terjadinya proses pertumbuhan sel dan jaringan
somatik serta pengerasan kulit baru, pada fase ini akan mendorong organ-X untuk
tetap mensekresikan hormon penghambat ganti kulit (MH). (2) pengeluaran hormon
tersebut akan menghambat kerja organ-Y, sehingga sekresi hormon ganti kulit
(MAH) tidak terjadi selama fase antar ganti kulit, dan (3) kesiapan akumulasi materi
dan energi untuk aktivitas ganti kulit berikutnya membutuhkan waktu yang relatif
lama (Passano, 1960; Yamaoka dan Scheer, 1970; Ferraris, et al., 1986).
2.2. Osmoregulasi dan Tingkat Kerja Osmotik
Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan
air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan
tekanan osmosis (Fujaya, 2004). Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan
sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmose antara substansi dalam
tubuhnya dengan lingkungan. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan
osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang
dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi hingga batas
toleransi yang dimilikinya (Anggoro, 2007).
16. 16
Menurut Anggoro (2007), sehubungan dengan mekanisme fisiologinya dalam
menghadapi tekanan osmotik air media, organisme air dibagi menjadi:
1. Osmokonformer, organisme air yang secara osmotik labil dan mengubah-ubah
tekanan osmotik cairan tubuh menyesuaikan tekanan osmotik media hidupnya.
2. Osmoregulator, organisme air yang secara osmotik stabil (mantap) selalu
berusaha mempertahankan cairan tubuhnya pada tekanan osmotik yang relatif
konstan, tidak perlu harus sama dengan tekanan osmotik media hidupnya.
Agar dapat hidup dan tumbuh dengan layak, cairan tubuh udang perlu dijaga
dan dipertahankan baik konsentrasi elektrolit maupun tekanan (potensial)
osmotiknya. Udang menjaga keseimbangan osmotik, dengan cara mempertahan
tekanan osmotik cairan tubuh melalui mekanisme regulasi osmotik (Anggoro, 2007).
Secara umum ada tiga keadaan yang berhubungan dengan tekanan osmotik:
a. Hipertonik (Hiperosmotik), keadaan pada saat konsentrasi zat terlarut di
lingkungan lebih tinggi daripada konsentrasi zat terlarut di dalam sel. Keadaan ini
mengakibatkan pelarut di dalam sel keluar dan menyeababkan sel mengkerut.
b. Hipotonik (Hipoosmotik), keadaan saat konsentrasi zat terlarut di lingkungan lebih
rendah daripada konsentrasi zat terlaut di dalam sel. Keadaan ini akan
mengakibatkan pelarut di lingkungan masuk dan menyebabkan sel mengembang.
c. Isotonik (isosmotik), keadaan saat konsentrasi zat terlarut di lingkungan seimbang
dengan konsentrasi zat terlarut di dalam sel. Keadaan ini adalah yang paling baik
untuk pertumbuhan dari suatu jenis organisme. Kondisi ini juga dikenal sebagai
kondisi keseimbangan osmotik (Fujaya, 2004).
17. 17
2.3. Salinitas dan Ion-ion Osmoefektor
Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu
kilogram air laut, dalam hal ini seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, brom
dan yodium yang disetarakan dengan klor dan bahan organik yang telah dioksidasi.
Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada kehidupan
organisme akuatik termasuk udang. Perubahan salinitas media akan berpengaruh pada
osmolaritas media dan cairan tubuh (plasma) udang. Perbedaan osmolaritas media
dan plasma udang yang disebabkan oleh perbedaan salinitas akan menentukan tingkat
kerja osmotik udang. Makin tinggi salinitas, makin kecil kapasitas maksimum
(kejenuhan) oksigen di dalam air (Parsons et al., 1984). Sedangkan daya racun
amonia (NH3) biasa meningkat pada suhu yang lebih tinggi dari salinitas yang rendah
(Bower dan Bidwell, 1978). Dengan demikian upaya menelaah pengaruh salinitas
terhadap kualitas air media pembenihan udang, selain ditinjau dari aspek osmotik
perlu pula dikaji keterkaitannya dengan parameter kualitas air lainnya.
Salinitas merupakan faktor penting dalam kelangsungan hidup metabolisme
dan distribusi pada kebanyakan hewan (Holliday, 1965). Menurut Florkin (1960),
salinitas berhubungan hubungan erat dengan osmoregulasi hewan air dimana apabila
salinitas turun secara mendadak dan di dalam kisaran yang besar, maka akan
menyulitkan hewan dalam mengatur osmoregulasi tubuhnya mengikuti perubahan
salinitas sehingga dapat menyebabkan kematian. Salinitas air merupakan salah satu
parameter yang berpengaruh langsung tehadap tekanan osmotik air (Sutaman, 1993).
18. 18
Salinitas dapat dinyatakan sebagai total konsentrasi garam-garam (elektrolit)
yang terionisasi di dalam air (Nybakken, 1988). Sifat osmotik dari air berasal dari
seluruh elektrolit yang terlarut tersebut. Semakin tinggi salinitas, konsentrasi
elektrolit makin besar, sehingga tekanan osmotiknya makin tinggi. Menurut
Nybakken (1988), elektrolit yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik itu
adalah Na-
dan Cl-
. Komposisi elektrolit dalam air laut pada dasarnya tetap, walaupun
tingkat salinitas berubah-ubah, seperti terlihat pada Tabel 1 (Mc Connaughey dan
Zottoll, 1983).
Tabel 1. Komposisi Elektrolit-Elektrolit Utama Penentu Salinitas Air
Komposisi / Elektrolit Presentase (%)
(a) Kation
Na+
30,40
Mg2+
3,70
Ca2+
1,16
K+
1,10
SO4
2-
7,70
Sr2+
0,04
(b) Anion
Cl-
55,50
CO3
2-
dan HCO3-
0,19
H3BO3 0,07
(c) Lain-lain 0,44
Beberapa hewan laut memilki konsentrasi ion yang sama dengan air laut.
Sebagai contoh, beberapa invertebrata laut memiliki konsentrasi magnesium yang
sama dengan air laut, tetapi invertebrata lain memiliki kadar yang lebih rendah.
19. 19
Perbedaan konsentrasi dapat diatasi jika tubuh dapat bertahan, termasuk masuknya
ion ke membran sel (impermiable). Bagaimanapun juga, organisme laut harus
memiliki mekanisme dalam mengurangi konsentrasi ion untuk mempertahankan
keseimbangan. Salah satunya adalah melalui sistem ekskretori (Evans, 2008). Udang
termasuk hewan yang mempunyai toleransi cukup besar terhadap salinitas
(euryhaline). Pada salinitas yang sangat rendah L. vannamei masih dapat hidup,
hingga 0,5 ‰ (Samocha et al, 2001).
Perpindahan organisme, seperti udang pada salinitas yang berbeda akan
menyebabkan keseimbangan baru tekanan osmotik antara cairan tubuh dengan
medium cair yang baru. Enzim Na-K-ATPase berperan penting dala transpor aktif ion
Na dan Cl. Enzim Na-K-ATPase tersebut berperan dalam hidrolisis ATP serta
menjaga keseimbangan antara Na+
cairan ekstrasel dengan K+
dalam cairan intrasel
Anggoro (1992).
Untuk pengangkutan aktif ion diperlukan energi (ATP) karena pergerakan
ion-ion (osmoefektor) cenderung melawan gradien elektrokimia. Pengambilan ion Na
selalu diikuti dengan menghilangkan ion NH4
-
dan H+
. Pengangkutan aktif Na
memiliki pola yang sama dengan aktivitas enzim Na-K-ATPase. Hal ini
menunjukkan bahwa enzim Na-K-ATPase terlibat langsung dalam pengangkutan
aktif Na. Enzim secara langsung berperan langsung dalam transport aktif ion-ion
sehingga besarnya energi yang dikeluarkan untuk osmoregulasi sering ditentukan
oleh besarnya aktivitas enzim tersebut (Anggoro, 2007).
20. 20
Mekanisme osmoregulasi ditentukan oleh perimbangan osmoefektor antara
Cairan Intra Sel (CIS) dengan Cairan Ekstra Sel (CES). Osmoefektor anorganik (Na,
Mg, Ca dan Cl) berkosentrasi tinggi dalam CES, sebaliknya osmoefektor organik
(asam amino bebas) dan ion K berkosentrasi tinggi pada CIS. Perimbangan ini sangat
menentukan pH optimal dan kemantapan osmolaritas cairan tubuh, sehingga perlu
dipertahankan agar sel-sel penyusun jaringan tubuh dapat tumbuh dengan normal
(Gilles, 1979 dalam Anggoro, 1992). Menurut Gilles (1979), dalam tubuh hewan laut,
konsentrasi asam amino terkandung dalam 70% dari total osmolaritas jaringan,
sisanya sejumlah 30% merupakan anorganik ion.
Sebelum membudidayakan, beberapa hal yang harus dievaluasi adalah
kelayakan dari air dengan uji kimia dan biologi. Komposisi ion dalam air terkadang
lebih penting daripada salinitas. Itu berarti, harus dikaji dengan single salt solution
dari sodium klorid yang tidak selalu cocok untuk budidaya udang di semua salinitas,
walaupun pada air laut ion-ion sangat penting dalam menentukan osmoregulasi,
terlebih klorid dan sodium. Beberapa penelitian menyatakan, kalsium (Ca), potasium
(K) dan magnesium (Mg) adalah ion terpenting bagi kelangsungan hidup udang.
Beberapa ion ini dapat dikurangi, tetapi ion K menjadi faktor terpenting yang
mempengaruhi pertumbuhan udang. Sehingga perlu menjadi catatan bahwa
konsentrasi Ca yang tinggi juga menjadi penting. Rasio Ca:K, dimana di air laut
adalah 1:1, yang berarti juga sama pentingnya. Di air laut dimana perbandingan Ca:K
tinggi, penambahan ion K untuk mengurangi rasio tersebut akan sangat membantu.
Sayangnya, terlalu banyak interaksi antara mineral di salinitas rendah sehingga akan
21. 21
menjadi sulit. Secara umum, air yang cocok untuk budidaya memiliki kriteria:
Salinitas di atas 0,5 ppt, konsentrasi Na, Cl and K setidaknya sama dengan
konsentrasi air laut walaupun pada salinitas rendah, sebaiknya memiliki konsentrasi
Ca yang cukup tinggi, dan alkalinitasnya melebihi 75 mg/L (Davis, et al, 2004).
2.4. Daya Pemanfaatan Pakan
Fungsi pemanfaatan pakan secara umum adalah sebagai sumber energi dan
materi pembangun tubuh. Materi pembangun tubuh utama adalah potein, sedangkan
sumber energi berasal dari karbohidrat dan lemak (Capuzzo, 1999). Daya
pemanfaatan udang vannamei ditentukan berdasarkan penelitian terhadap nilai
konversi pakan (FCR) dan nisbah efisiensi protein (PER). FCR merupakan jumlah
pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan daging ikan atau udang. Sedangkan PER
adalah jumlah protein yang digunakan untuk pertumbuhan udang atau ikan. Semakin
sedikit jumlah protein yang digunakan untuk pertumbuhan maka makin efisien
pemanfaatan protein dalam pakan tersebut (Capuzzo, 1999).
Kebutuhan energi dipengaruhi oleh stadia dalam siklus hidupnya, musim dan
faktor lingkungan lainnya. Jika udang muda yang sedang tumbuh lebih banyak
menggunakan energi persatuan berat badannya dibandingkan udang dewasa, karena
energi yang dibutuhkan tidak saja untuk aktifitas dan pemeliharaan, tetapi juga untuk
pertumbuhan, selain pemanfaatan saat melakukan molting juga meningkatkan
kebutuhan energi. Pada keadaan cukup makanan, udang akan mengkonsumsi
makanan hingga memenuhi kebutuhan energinya (Fujaya, 2004).
22. 22
2.5. Kualitas Air (Milieu Exterieur)
Menjaga kualitas air agar tetap baik sangat penting untuk pemeliharaan
organisme air. Kualitas air (kualitas lingkungan) yang baik akan menjadikan udang
tumbuh dengan baik pula karena beban energi (metabolisme) yang diperlukan dapat
diminimalisir. Ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan udang
suhu, pH, oksigen terlarut serta kandungan nitrit dan amonia.
2.5.1. Suhu (Controlling Factor)
Suhu merupakan faktor penting dalam distribusi suatu organisme. Suhu
perairan yang sesuai untuk udang umumnya berkisar antara 25-32 o
C. Suhu yang
tinggi akan menyebabkan laju metabolisme tinggi sehingga konsumsi pakan juga
semakin tinggi. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan udang stres yang ditandai
dengan banyaknya lendir pada tubuh udang, sedangkan pada suhu rendah akan
menyebabkan udang tidak aktif. Laju pertumbuhan udang meningkat sejalan dengan
kenaikan temperatur sampai batas tertentu. Secara umum udang mampu hidup pada
11-40 ºC dan pertumbuhan optimum pada temperatur 29-39 ºC (Mintarjo et al.,
1984). Jika udang berada pada suhu 32,5 ºC dalam waktu relatif lama, akan
menyebabkan daya tahan menurun, karena kenaikan suhu dapat menyebabkan
aktivitas tubuh organisme meningkat, dan ini mengakibatkan berkurangnya gas-gas
terlarut dalam air yang berguna bagi kehidupan udang (Soetomo, 1990).
23. 23
2.5.2. Derajat Keasaman (Directive Factor)
Nilai pH merupakan gambaran kemampuan suatu perairan memproduksi
garam mineral, sehingga apabila pH tidak sesuai dengan kebutuhan organisme maka
akan menghambat pertumbuhan organisme. Air laut biasanya bersifat alkalis dengan
pH lebih besar dari 7 karena banyak mengandung garam yang bersifat alkalis. Air
yang alkalis (basa) lebih cepat mendorong proses pembongkaran bahan organik
menjadi garam mineral (amonia, fosfat dan nitrat). Garam mineral tersebut akan
digunakan oleh tanaman air dan fitoplankton untuk proses fotosintesis dan
pertumbuhan (Pescod, 1973). Menurut Rejeki (2001), pH sangat penting dalam
budidaya perairan. Nilai pH menggambarkan keasaman atau alkalinitas perairan.
Kisaran pH yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan ataupun udang adalah
antara 6,5-8,5 (Boyd,1988).
2.5.3. Oksigen Terlarut (Limiting, Directive Factor)
Konsentrasi oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat penting dalam
kegiatan budidaya. Konsentrasi oksigen ditentukan oleh keseimbangan antara
produksi oksigen yang diproduksi oleh komunitas autotrof melalui fotosintesis dan
dan konsumsi oksigen oleh organisme heterotrof melalui pernafasan. Oksigen juga
diperlukan untuk perombakan bahan organik dalam ekosistem. Oksigen berfungsi
untuk membakar zat-zat makanan yang dikonsumsi udang dan diserap tubuh atau
diuraikan menjadi energi. DO optimum adalah 4-6. Apabila suatu perairan mencapai
DO yang baik maka aktivitas udang beristirahat dan sesekali mencari makan, dan jika
24. 24
DO rendah udang menjadi sangat aktif karena stres. Sedangkan DO yang jenuh akan
menyebabkan terjadinya gelembung gas (Sumeru dan Anna, 1992).
Akumulasi sisa pakan akan meningkatkan jumlah bahan organik dalam
ekosistem perairan seperti karbohidrat, protein dan lemak. Semua bahan organik akan
mengalami perombakan oleh mikroorganisme yang memerlukan oksigen, sehingga
konsentrasi oksigen dalam perairan akan menurun. Penurunan jumlah oksigen dan
peningkatan konsentrasi amonia merupakan ancaman bebahaya. Konsentrasi oksigen
rendah akan meningkatkan kecepatan respirasi, menurunkan efisiensi respirasi dan
pertumbuhan yang berakibat pada kematian missal (Izzati, 2008).
2.5.4. Amoniak (Toxic Factor)
Amoniak (NH3) adalah sisa buangan hasil metabolisme protein dari
organisme. Amonia merupakan unsur yang dapat meracuni organisme perairan bila
keberadaanya malampaui ambang batas, namun bila tidak melampaui ambang batas,
amonia justru dibutuhkan. Zat hara nitrogen (N2) pembentuk ammonia penting
artinya sebagai penyusun organ hidup, dalam bentuk protein. Amonia yang terdapat
di dalam air terbentuk dari hasil peruraian ekskresi atau kotoran sisa-sisa pakan dari
semua organisme yang ada di dalamnya. Menurut Bower dan Bidwell (1978), daya
racun amonia biasanya meningkat pada salinitas yang rendah dan pada suhu yang
tinggi. Total amonia yang baik bagi kehidupan udang adalah kurang dari 0,1 ppm.
Sedangkan daya racun ammonia (NH3) biasanya meningkat pada suhu yang lebih
tinggi dan salinitas yang rendah.
25. 25
2.5.5. Nitrit (NO2)
Nitrit dan nitrat hasil oksidasi amonia oleh proses nitrifikasi amonia dalam air.
Nitrit ini sangat baik terhadap ikan, tetapi kurang baik terhadap udang, karena nitrit
mengoksidasi haemoglobin menjadi bentuk metahaemoglobin ini tidak dapat
mengangkut oksigen. Sedangkan pada udang pigmen darahnya berbentuk
haemocyanin, yang masih dapat mengangkut oksigen, sehingga udang dapat
mengikat oksigen walaupun ada nitrit sebagai agen pengoksidasi. Walaupun begitu
kadar 170 mg/l nitrit dalam air dapat membunuh 50% udang dalam tempo 24 jam
(Darmono, 1991).
26. 26
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Udang Vannamei
dewasa (Litopenaeus vannamei), hewan uji diperoleh dari Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Hewan uji yang digunakan memiliki berat
kurang lebih 1,69+0,2 gram dan seluruh tubuhnya lengkap.
3.1.2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian disajikan pada tabel 2, sebagai berikut:
Tabel 2. Peralatan Yang Digunakan Selama Penelitian
No. Alat Ketelitian Kegunaan
1. Automatic
Microosmometer
(USA)
0,01 mOsm/l
H2O
Mengukur tekanan osmotik
(osmolarity) media dan cairan
tubuh udang (haemolymph) +
kandungan elektrolit atau
osmoefektor
2. Syringe (jarum suntik) 0,1 ml, 23G Mengambil haemolymph hewan
uji
3. Timbangan elektrik 0,01 gram Mengukur berat hewan uji
4. Hand refraktometer 1 ppt Mengukur salinitas media
5. pH meter 0,1 Mengukur pH
6. Termometer 1 ºC Mengukur suhu media
9 Pompa celup pentax - Untuk menyedot air laut
10 Submersible pump 2800 liter/jam Alat sirkulasi air tiap bak
11 Seser - Untuk mengambil hewan uji
27. 27
No. Alat Ketelitian Kegunaan
12 DO meter 0,01 mg/l Untuk mengukur kadar oksigen
terlarut
13 Bak beton ± 4000 liter Wadah penelitian
3.1.3. Percobaan Pendahuluan
Materi uji (udang) dikultivasi pada media air laut selama 2 minggu dan diukur
osmolaritas haemolymphe-nya pada setiap fase molting (intermolt, molt dan
postmolt). Hasil pemeriksaan osmolaritas haemolymphe udang vannamei pada setiap
fase molting adalah: Fase intermolt: 581,56 mOsml/l H2O, setara dengan salinitas 20
ppt, Fase molt: 757,66 mOsml/l H2O, setara dengan salinitas 26 ppt, dan Fase
postmolt: 933,75 mOsml/l H2O, setara dengan salinitas 32 ppt
3.1.4. Media Uji
Media percobaan yang digunakan adalah air laut dari perairan Jepara.
Penetapan media percobaan menggunakan teknik pengenceran. Sebelum digunakan,
air terlebih dahulu difiltrasi dengan sand filter, ditreatment dengan klorin dan
dinetralkan dengan tiosulfat, selanjutnya diendapkan dalam bak penampungan.
Sedangkan air yang digunakan untuk pengenceran air laut adalah air sumur yang ada
di LPWP UNDIP Jepara. Sebagai media percobaan pada penelitian ini digunakan
media dengan rentang hipoosmotik intermolt, isoosmotik intermolt dan hiperosmotik
intermoolt yaitu 20+1ppt (hipoosmotik intermolt atau setara dengan isosmotik
postmolt), 26+1ppt (isoosmotik intermolt), 32+1ppt (hiperosmotik intermolt atau
setara dengan isosmotik premolt) dan 351ppt (air laut murni atau media hidup awal
28. 28
untuk udang). Penetapan media perlakuan untuk penelitian ini berdasarkan hasil dari
percobaan pendahuluan.
Untuk mendapatkan media percobaan dengan tingkat salinitas yang sesuai
dengan perlakuan yang diterapkan, dilakukan pengenceran berdasarkan rumus bujur
sangkar (SUPUG, 2007) sebagai berikut :
∑ L :
SCSTSCSL
xVCSCST
∑T :
SCSTSCSL
xVCSCSL
Keterangan :
∑ L : Jumlah air laut yang dibutuhkan
∑T : Jumlah air tawar yang dibutuhkan
SL : Salinitas air laut
ST : Salinitas air tawar
VC : Volume air campuran yang diinginkan
Teknik pengenceran air laut dilakukan dengan cara air laut yang telah
diketahui salinitasnya dari bak penampungan dimasukan ke dalam bak penelitian (bak
beton). Bak beton yang telah terisi air laut tadi ditambahkan dengan air tawar sampai
mendapatkan salinitas sesuai dengan perlakuan yang dibutuhkan. Untuk mengetahui
besarnya salinitas dapat dilakukan pengecekan dengan menggunakan refraktometer.
3.1.5. Pakan Uji
Untuk memenuhi kebutuhan pakan hewan uji, diberikan pakan buatan dalam
bentuk pellet. Pemberian pakan dilakukan 4 kali dalam sehari sebesar 5% dari bobot
29. 29
biomassa udang secara teratur pada pukul 08.00, 12.00, 17.00, 22.00 WIB. Adapun
kandungan nutrisi pakan uji dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Pakan Udang Jenis Crumble
No. Komposisi Persentase (%)
1. Protein 42
2. Lemak 6
3. Serat kasar 5,5
4. Abu 15
5. Kadar Air 12
Sumber: Tri Supratno KP - BBPBAP 2009
3.1.6. Wadah penelitian
Wadah yang digunakan untuk percobaan terdiri dari 4 buah bak beton dengan
ukuran 2,55 m x 1,5 m x 1,1 m. Tiap wadah disekat menjadi tiga bagian sama besar
berupa kantong yang terbuat dari waring, bagian pada tiap sekat berfungsi sebagai
ulangan percobaan. Dalam setiap bagian diisi 20 ekor udang per wadah. Kandungan
oksigen terlarut dijaga agar tetap layak dengan memasang blower yang dilengkapi
dengan submersible pump berkapasitas 2800 liter/jam.
3.2. Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental laboratories
dengan sistem pengamatan dan perencanaan secara teratur terhadap fenomena yang
diteliti. Data yang diperoleh melalui observasi dan pengamatan secara langsung di
lapangan, untuk data tingkat kerja osmotik diperoleh dari tiga kali pengukuran
osmolaritas media dan osmolaritas haemolymph yaitu pada awal, tengah dan akhir
30. 30
penelitian, begitu pula untuk pengukuran kandungan elektrolit cairan tubuh dan
media. Data pertumbuhan diperoleh dari pengukuran setiap dua minggu sekali, dan
data kualitas air diperoleh dari pencatatan setiap hari pada pagi dan sore. Salinitas
yang dipergunakan sebagai perlakuan merupakan modifikasi rentang salinitas dari
hasil uji pendahuluan, yaitu penetapan media hipoosmotik intermolt (isoosmotik
postmolt), isoosmotik intermolt dan hiperosmotik intermolt (isosmotik molt).
3.2.1. Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 - Januari 2010, di
Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai (LPWP) ”Prof. Dr. Gatot Rahardjo
Joenoes” UNDIP, kompleks Pantai Kartini P.O.Box 14, Jepara (Jawa Tengah).
3.2.1.1. Persiapan penelitian
Persiapan penelitian dibagi menjadi dua, yaitu persiapan wadah percobaan
dan persiapan materi percobaan. Persiapan wadah percobaan dimulai dengan
mempersiapkan wadah percobaan, semua peralatan dan bahan yang diperlukan.
Semua wadah termasuk selang dan batu aerasi dibersihkan dan disucihamakan,
kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama satu sampai dua hari. Mengisi
wadah pemeliharaan dengan air laut dan diaerasi dengan kuat selama minimal 24 jam.
Persiapan materi percobaan dimulai dengan mempersiapkan wadah untuk
meteri percobaan (kotak sterofom). Mengambil sampel air dari tambak udang
vannamei di BBPBAP untuk diukur salinitasnya menggunakan refraktometer.
Mengambil materi percobaan dari tambak tersebut dan kemudian dimasukan ke
dalam kantong plastik yang telah di isi air dari tambak dan selanjutnya diberi
31. 31
tambahan oksigen lalu diikat. Udang kemudian diangkut menuju LPWP dan
dipindahkan dalam bak stock udang.
Salinitas dalam bak stock dibuat sama dengan air asalnya, untuk media
aklimatisasi udang pertama kali setelah pengangkutan. Melakukan aklimatisasi
salinitas pada hewan uji dengan laju penurunan salinitas 2 ppt/jam sampai diperoleh
salinitas yang diinginkan sesuai dengan hasil pengukuran osmolaritas haemolymph
pada uji pendahuluan yang telah dikonversikan. Untuk mengkonversikan nilai
osmolaritas haemolymph udang vannamei (mOsm/l H2O) dengan salinitas (ppt)
digunakan rumus:
Salinitas (‰) =
3489.29
4081.5sOsmolarita
(Anggoro dan Muryati, 2006).
Setelah mencapai salinitas yang diinginkan, aklimatisasi masih dilanjutkan
selama tiga hari. Saat aklimatisasi digunakan aerasi untuk memperbanyak kandungan
oksigen terlarut (kisaran 4-8 ppt).
3.2.1.2. Kegiatan penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan meletakkan udang vannamei dewasa ke
dalam tiap wadah percobaan sesuai dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan.
Kepadatan setiap wadah berjumlah 20 ekor/wadah setelah sebelumnya dilakukan
penimbangan udang tiap wadah percobaan (W0). Untuk mempertahankan kepadatan
udang pada setiap media perlakuan disediakan stok materi percobaan (udang) dengan
ukuran yang sama yang dipelihara pada media sesuai dengan perlakuan yang
dicobakan, setiap kali terjadi kematian diganti udang baru dengan ukuran yang sama.
Udang pengganti diberi tanda pada bagian ekornya dengan larutan hydroblemet.
32. 32
Pada awal percobaan dilakukan pengukuran tekanan osmotik
plasma/osmolaritas haemolymph udang vannamei dan media percobaan dengan
menggunakan Automatic Micro-Osmometer USA. Pengambilan sampel haemolymph
udang menggunakan jarum suntik ukuran 23G. Sampel haemolymph yang diambil
sebanyak 0,01 ml, diambil dari bagian pericardiac cavity. Sampel yang diperoleh
dimasukan ke dalam microtube dan selanjutnya diperiksa osmolaritasnya
menggunakan alat Automatic Micro-Osmette Osmometer USA.
3.2.2. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Sistematik
(RAS) (Barizi dan Andi, 1986). Percobaan menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan.
Media yang digunakan adalah media dengan salinitas/osmolaritas isoosmotik
postmolt atau hipoosmotik intermolt (sekitar 20+1ppt), isosmotik intermolt (sekitar
26+1ppt) dan isosmotik premolt atau hiperoosmotik intermolt (32+1ppt) serta
salinitas udang awal (35+1ppt). Penetapan kelompok udang berdasarkan hasil uji
osmoralitas udang, perlakuan salinitas dan penempatan pada tiap perlakuan adalah:
S1 : 20+1ppt (581.5699 mOsml/lt H20 atau setara dengan isoosmotik
postmolt/hipoosmotik intermolt)
S2 : 26+1ppt (757.6633 mOsml/lt H20 atau setara dengan isoosmotik intermolt)
S3 : 32+1ppt (933.7567 mOsml/lt H20 atau setara dengan isoosmotik premolt/
hiperosmotik intermolt)
S4 : 35+1ppt (1021.803 mOsml/lt H2O, sesuai media hidup awal udang saat
diambil)
33. 33
Masing-masing perlakuan dilakukan 3 kali pengulangan. Penetapan salinitas
perlakuan tersebut didasarkan pada hasil percobaan Anggoro dkk (2009). Adapun tata
letak (layout) penempatan media dan wadah percobaan disajikan pada gambar 4.
Gambar 4. Tata Letak Penempatan Penelitian
Keterangan:
A : Tandon air 1
B : Tandon air 2 (treatment)
C : Bak Stock Udang
D4 : Perlakuan S4, 35+1ppt dengan tiga kali ulangan
D3 : Perlakuan S3, 32+1ppt dengan tiga kali ulangan
D2 : Perlakuan S2, 26+1ppt dengan tiga kali ulangan
D1 : Perlakuan S1, 20+1ppt dengan tiga kali ulangan
- Penempatan perlakuan secara sistematik untuk memudahkan penanganan.
- Pengacakan dilakukan terhadap penempatan materi uji (udang) pada setiap
perlakuan dan ulangan.
34. 34
3.2.3. Pengumpulan Data
3.2.3.1. Beban kerja osmotik dan perubahan osmoefektor
Beban kerja osmotik atau tingkat kerja osmotik (TKO) dihitung berdasarkan
selisih nilai osmolaritas haemolymph udang uji dengan osmolaritas media (Anggoro
dan Nakamura, 1996).
TKO = [P osm haemolymph – P osm media]
Keterangan :
TKO = Tingkat kerja osmotik, mOsm/l H20
Posm haemolymph = Tekanan osmotik/osmolaritas haemolymph, mOsm/l H20
P osm media = Tekanan osmotik/osmolaritas media, mOsm/l H20
[ ] = Nilai mutlak
Perubahan osmoefektor ditentukan dengan cara mengukur kandungan
elektrolit Na+
, Cl-
, Ca2+
, Mg2+
dan K+
baik pada media maupun haemolymph udang
(Anggoro dan Nakamura, 1996).
Nisbah Ion X = [Xhaemolymph – Xmedia]
Keterangan :
X = Ion Osmoefektor
IonHaemolymph = Konsentrasi ion X pada Haemolymp udang (g/l)
Ionmedia = Konsentrasi ion X pada Media hidup udang (g/l)
[ ] = Nilai mutlak
35. 35
3.2.3.2. Efisiensi pemanfaatan pakan
Pemberian pakan dilakukan secara terkontrol dengan memperhatikan
perubahan ukuran dan fase molting udang. Pakan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pakan pellet dengan kandungan protein 42%. Sebelum diberikan pakan
tersebut disaring terlebih dahulu agar pakan yang berbentuk debu hilang, kemudian
ditimbang sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Porsi pakan yang diberikan per
hari adalah 5% dari bobot biomassa udang tiap perlakuan.
Penyesuaian porsi pemberian pakan dilakukan 14 hari sekali dengan
berpedoman pada formulasi sebagai berikut (Anggoro dan Nakamura, 1996):
Porsi pakan = ( BBH x % pakan x N-Kultivan x SR)
Keterangan :
BBH = Bobot udang rata-rata
N-Kultivan = Jumlah padat penebaran udang pada tiap perlakuan
SR = Persentase udang hidup selama 14 hari (periode sampling)
% pakan = Dosis pakan
Pemberian pakan dilakukan 4 kali sehari (pukul 08.00, 12.00, 17.00, 22.00)
dengan porsi pemberian pada malam lebih besar daripada porsi pada siang hari (pagi
dan siang:40%, sore dan malam: 60%). Hal ini sesuai dengan sifat udang yang
nokturnal yaitu aktif mencari makan pada malam hari. Pakan diberikan dengan cara
ditebarkan pada sebuah wadah sejenis anco pada tiap sekat. Hal tersebut dilakukan
untuk memudahkan dalam pengambilan sisa pakan.
36. 36
Efisiensi pemanfaatan pakan didasarkan pada penilaian Protein Efficiency
Ratio dan Food Convertion Ratio ditentukan dengan rumus Tacon (1987):
PER =
Pi
WWt 0
dan FCR =
)( 0WW
F
t
Keterangan :
PER = Protein Efficiency Ratio
FCR = Food Conversion Ratio
Pi = Jumlah protein pakan yang dikonsumsi selama percobaan (gr) (0,42 x F)
F = Pakan yang dikonsumsi (gr) (Jumlah pakan yang diberikan – sisa pakan)
Wt = Bobot udang pada akhir percobaan (gr)
Wo = Bobot udang pada awal percobaan (gr)
Konsumsi pakan ditentukan dengan cara menghitung selisih pakan yang
diberikan dengan pakan yang tersisa setiap ulangan. Pengukuran pakan yang
diberikan dan sisa pakan dilakukan dengan cara penimbangan bobot kering mengikuti
prosedur Anggoro dan Nakamura (1996). Sebelum ditimbang sisa pakan dioven
terlebih dahulu untuk mendapatkan kadar air yang hampir sama dengan sebelum
perendaman yaitu 11%. Untuk menghitung rentang salinitas optimum bagi efisiensi
pemanfaatan pakan udang vannamei, dilakukan Uji Polynomial Orthogonal.
3.2.3.3. Kualitas air dan kandungan elektrolit
Kualitas air media penelitian yang terdiri dari salinitas, osmolaritas, suhu,
pH, DO, Amonia dan Nitrit. DO, Amonia dan Nitrit diukur 14 hari sekali secara
periodik. Salinitas, suhu, dan pH diukur setiap hari. Kandungan elektrolit yang terdiri
Na+
, Cl-
, Ca2+
, Mg2+
dan K+
diukur setiap 2 minggu sekali (bersamaan dengan TKO).
37. 37
3.2.4. Hipotesis
Hipotesis merupakan anggapan sementara yang masih harus dibuktikan
kebenarannya. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a. Ho : Media hipoosmotik, isosmotik, hiperosmotik intermolt dan terkontrol tidak
mempengaruhi beban kerja osmotik udang Vannamei
H1 : Media hipoosmotik, isosmotik, hiperosmotik intermolt dan terkontrol
mempengaruhi beban kerja osmotik udang Vannamei
b. Ho : Media hipoosmotik, isosmoti, hiperosmotik intermolt dan terkontrol tidak
mempengaruhi perubahan osmoefektor udang Vannamei
H1 : Media hipoosmotik, isosmotik, hiperosmotik intermolt dan terkontrol
mempengaruhi perubahan osmoefektor udang Vannamei
c. Ho : Media hipoosmotik, isoosmotik, hiperosmotik intermolt dan terkontrol tidak
mempengaruhi pemanfaatan pakan udang Vannamei
H1 : Media hipoosmotik, isoosmotik, hiperosmotik intermolt dan terkontrol
mempengaruhi pemanfaatan pakan udang Vannamei
Adapun kaidah pengambilan keputusan dalam penelitian ini adalah:
Fhitung < Ftabel (5%) terima H0, tolak H1
Fhitung ≥ Ftabel (5%) terima H1, tolak H0
38. 38
3.2.5. Analisa data
Untuk mengetahui sebaran data, pada data beban kerja osmotik, perubahan
osmoefektor, dan efisiensi pemanfaatan protein diuji kenormalan dan homogenitas
ragam datanya. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap beban
kerja osmotik, gradien osmoefektor, efisiensi pemanfaatan pakan dan pemanfaatan
protein diggunakan analisis varian (annova), dan untuk menentukan perlakuan yang
terbaik diantara perlakuan yang dicobakan pada beban kerja osmotik, perubahan
osmoefektor dan efisiensi pemanfaatan pakan serta pemanfaatan protein dilakukan
dengan menggunakan uji pembandingan ganda Dunncan Test (Steel dan Torrie,
1991). Semua data analisis diolah dengan bantuan program SPSS 15 dan Microsoft
Exel 2007.
Uji Dunncan digunakan karena dianggap lebih sederhana, konsep kepercayaan
digantikan dengan tingkat perlindungan (protection level) terhadap beda nyata yang
palsu pada berbagai tingkat pengujian. Uji ini menggunakan tingkat nyata yang
besarnya bergantung pada banyaknya nilai tengah yang terlibat pada setiap tahap
pengujian. Dasar pemikirannya adalah banwa dengan meningkatnya banyaknya nilai
tengah, maka akan diikuti dengan mengecilnya peluang bahwa semuanya perlakuan
akan sama (Steel dan Torrie, 1991).
39. 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data beban kerja osmotik,
kandungan elektrolit media, kandungan elektrolit haemolymph, efisiensi pemanfaatan
pakan (FCR dan PER) dan data kualitas air sebagai parameter pendukung. Data
tingkat kerja osmotik dan kandungan elektrolit serta efisiensi pemanfaatan pakan
diperoleh melalui pengukuran setiap dua minggu sekali yang digunakan untuk
membandingkan antar perlakuan. Dosis pakan yang diberikan adalah sebesar 5% dari
biomassa udang dengan frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari (08.00, 12.00, 17.00
dan 22.00). Pemberian pakan pada sore dan malam lebih besar dari pada pagi dan
siang dengan pertimbangan bahwa udang bersifat nokturnal (aktif mencari makan
pada malam hari).
4.1.1. Beban Kerja Osmotik
Data beban kerja osmotik didapat dari pengukuran osmolaritas haemolymph
dan osmolaritas media uji udang L. vannamei. Pada penelitian ini dilakukan sebanyak
empat kali selama penelitian berlangsung (60 hari). Tanggal 15 November 2009
(pengambilan awal untuk uji pendahuluan), 16 Desember 2009, 1 Januari 2010 dan
16 Januari 2010. Perhitungan beban kerja osmotik menurut Anggoro (1992),
dilakukan dengan melihat perbedaaan antara osmolaritas cairan haemolymph udang
dan osmolaritas media selama penelitian. Hasil pengukuran osmolaritas haemolymph
dan osmolaritas media dapat dilihat pada lampiran halaman 81 (tabel 5 dan 6).
40. 40
Histogram osmolaritas haemolymph dan osmolaritas media udang vannamei
dapat dilihat pada gambar 5 dan 6.
Gambar 5. Histogram Osmolaritas Haemolymph Udang L. vannamei Selama
Penelitian
Gambar 6. Histogram Osmolaritas Media Udang L. vannamei Selama Penelitian
41. 41
Dari paparan histogram , diketahui bahwa baik osmolaritas haemolymph dan
osmolaritas media sama-sama meningkat seiiring dengan meningkatnya salinitas.
Kandungan terbesar berada pada salinitas 35 ppt dan terendah adalah 20 ppt.
Gambar 7. Histogram Beban Kerja Osmotik Udang L. Vannamei Selama Penelitian
Berdasarkan perhitungan beban kerja osmotik, diketahui nilai beban kerja
osmotik berbeda pada tiap perlakuan. Dari data diatas diketahui perlakuan pada
media hiperosmotik intermolt kontrol (salinitas 35 ppt) memberikan nilai beban kerja
osmotik yang paling tinggi, yaitu sekitar 105.26+0.06 mOsm/l H2O dibandingkan
perlakuan yang lain. Osmolaritas pada media hipoosmotik intermolt (salinitas 20 ppt)
sebesar 44.65+0.07 mOsm/l H2O, media isoosmotik intermolt (salinitas 26 ppt)
sebesar 59.78+0.08 mOsm/l H2O, dan media hiperosmotik intermolt (salinitas 32 ppt)
sebesar 94.88+0.10 mOsm/l H2O. Agar lebih terlihat jelas akan perbedaannya maka
digambarkan dalam bentuk histogram pada gambar 8.
42. 42
Gambar 8. Histogram Beban Kerja Osmotik Udang L. vannamei Pada Berbagai
Salinitas
Gambar 9. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Beban Kerja Osmotik Udang L.
vannamei
Hasil uji normalitas dan homogenitas menunjukkan bahwa data yang didapat
menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat homogen (P>0.05). Berdasarkan
analisis varian diketahui bahwa perlakuan berbagai media isoosmotik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap beban kerja osmotik udang L. vannamei (P<0.05).
43. 43
Pada pengujian Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan menunjukkan
terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Model respon tingkat kerja osmotik udang uji karena pengaruh media osmotik
adalah sebagai berikut: y = 0.121x2
-2.439x+43.84 dengan nilai R2
= 0.985. Model
tersebut dapat digunakan untuk memprediksi respon beban kerja osmotik udang uji
(y) apabila tingkat salinitas (x) diketahui. Dalam hal ini tingkat salinitas media
mempengaruhi beban kerja osmotik udang uji, dimana semakin jauh tingkat salinitas
media (x) dari tingkat atau rentang isoosmotik maka beban kerja osmotik semakin
besar. Dari model persamaan diatas didapatkan nilai TKO terendah selama perlakuan
berada pada media hipoosmotik (salinitas 20 ppt) dengan beban sebesar 44.65
mOsm/l H2O.
4.1.2. Perubahan Osmoefektor
Pengukuran kandungan osmoefektor atau kandungan elektrolit udang
vannamei (L. vannamei) dilakukan sebanyak 4 kali selama penelitian berlangsung (60
hari). Tanggal 15 November 2009, 16 Desember 2009, 1 Januari 2010 dan 16 Januari
2010. Pengambilan ini disamakan dengan pengambilan osmolaritas udang vannamei.
Osmolaritas media semakin meningkat seiring meningkatnya salinitas. Ion
utama yang berpengaruh menentukan osmolaritas adalah Cl-
, Na+
, Mg++
, Ca++
dan
K+
. Hasil penelitian kandungan osmoefektor dapat dilihat pada lampiran halaman 106
(tabel 28). Histogram untuk kandungan osmoefektor dapat dilihat pada gambar 10-14.
44. 44
Gambar 10. Histogram Kandungan Ion Klor Pada Media Dan Haemolymphe Pada
Udang Litopenaeus vannamei
Gambar 11. Histogram Kandungan Sodium Pada Media Dan Haemolymphe Pada
Udang Litopenaeus vannamei
Gambar 12. Histogram Kandungan Ion Magnesium Pada Media dan Haemolymphe
Pada Udang Litopenaeus vannamei
45. 45
Gambar 13. Histogram Kandungan Ion Kalsium Pada Media dan Haemolymphe
PadaUdang Litopenaeus vannamei
Gambar 14. Histogram Kandungan Ion Kalium Pada Media Haemolymphe Pada
Udang Litopenaeus vannamei
Kandungan terbesar ion elektrolit baik pada media maupun haemolymphe
adalah ion Cl-
. Sedangkan kandungan terendah adalah ion Ca++
dan K+
. Untuk
mengetahui perubahan osmoefektor, maka dilakukan dengan melihat nisbah
osmoefektor. Nisbah osmoefektor menujukkan besarnya perbedaan ion yang
terkandung dalam haemolymph dan pada media. Adapun besarnya nisbah ion tersebut
dapat dilihat pada lampiran halaman 107 (tabel 29). Ion yang terdapat dalam
haemolymph dan yang terdapat pada media, masing-masing nisbah ion terdapat
perbedaan. Tetapi dapat diketahui bahwa nisbah terbesar terdapat pada media
hiperosmotik (35+1 ppt) dan menurun seiring dengan menurunnya salinitas (media
46. 46
hiperosmotik: sal 32+1 ppt, isoosmotik: sal 26+1 ppt, dan hipoosmotik: sal 20+1 ppt).
Besaran nisbah masing-masing osmoefektor dapat dilihat pada gambar 15-17.
Gambar 15. Histogram Nisbah Ion Klor Dan Sodium Pada Udang Litopenaeus
vannamei
Gambar 16. Histogram Nisbah Ion Magnesium Dan Kalium Pada Udang
Litopenaeus vannamei
Gambar 17. Histogram Nisbah Ion Kalium Dan Perbandingan Nisbah Antar Ion
Pada Udang Litopenaeus vannamei
47. 47
Gambar 18. Histogram Rerata Nisbah Ion Klor Pada Berbagai Salinitas
Gambar 19. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Nisbah Ion Klor
Hasil uji normalitas dan homogenitas pada ion Klor menunjukkan bahwa data
yang didapat menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat homogen (P>0.05).
Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa berbagai media isoosmotik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap nisbah Klor pada udang L. vannamei (P<0.05). Untuk
48. 48
mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji pembanding dengan uji Duncan.
Dari hasil tersebut diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Model nisbah Klor udang uji karena pengaruh media osmotik adalah sebagai
berikut: y = 0.071432e0.085119x
dengan nilai R2
= 0.981. Model tersebut dapat
digunakan untuk memprediksi besarnya nisbah Klor udang uji (y) apabila tingkat
salinitas (x) diketahui. Dalam hal ini tingkat salinitas media mempengaruhi
perubahan ion Klor pada udang uji, dimana semakin tinggi salinitas media (x) maka
nisbah ion Klor semakin tinggi pula. Dari model persamaan diatas nilai nisbah Klor
terendah selama uji perlakuan adalah 0.40 pada salinitas 20+1 ppt.
Gambar 20. Histogram Rerata Nisbah Ion Sodium Pada Berbagai Salinitas
Hasil uji normalitas dan homogenitas pada ion Sodium menunjukkan bahwa
data yang didapat menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat homogen
(P>0.05). Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa berbagai media isoosmotik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nisbah Sodium pada udang (P<0.05).
49. 49
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji pembanding dengan uji
Duncan. Dari hasil tersebut diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Gambar 21. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Nisbah Ion Sodium
Model nisbah Sodium udang uji karena pengaruh media osmotik adalah
sebagai berikut: y = -0.000614x2
+0.141252x+2.525228 dengan nilai R2
= 0.991.
Model tersebut dapat digunakan untuk memprediksi besarnya nisbah Sodium udang
uji (y) apabila tingkat salinitas (x) diketahui. Dalam hal ini tingkat salinitas media
mempengaruhi perubahan ion Sodium pada udang uji, dimana semakin tinggi
salinitas media (x) maka nisbah ion Sodium semakin tinggi pula. Dari model
persamaan diatas nilai nisbah Sodium terendah selama uji perlakuan adalah 0.04 pada
salinitas 20+1 ppt.
50. 50
Gambar 22. Histogram Rerata Nisbah Ion Magnesium Pada Berbagai Salinitas
Gambar 23. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Nisbah Ion Magnesium
Hasil uji normalitas dan homogenitas pada ion Magnesium menunjukkan
bahwa data yang didapat menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat
homogen (P>0.05). Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa berbagai media
isoosmotik memberikan pengaruh yang nyata terhadap nisbah Magnesium pada
51. 51
udang (P<0.05). Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji
pembanding Duncan. Dari hasil uji terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Model nisbah Magnesium udang uji karena pengaruh media osmotik adalah
sebagai berikut: y = 0.000833e0.157992x
dengan nilai R2
= 0.909. Model tersebut dapat
digunakan untuk memprediksi besarnya nisbah Magnesium udang uji (y) apabila
tingkat salinitas (x) diketahui. Dalam hal ini tingkat salinitas media mempengaruhi
perubahan ion Magnesium pada udang uji, dimana semakin tinggi salinitas media (x)
maka nisbah ion Maksimum semakin tinggi pula. Dari model persamaan diatas nilai
nisbah Magnesium terendah selama uji perlakuan adalah 0.02 pada salinitas 20+1 ppt.
Gambar 24. Histogram Rerata Nisbah Ion Kalsium Pada Berbagai Salinitas
Hasil uji normalitas dan homogenitas pada ion Kalsium menunjukkan bahwa
data yang didapat menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat homogen
(P>0.05). Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa berbagai media isoosmotik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nisbah Kalsium pada udang (P<0.05).
52. 52
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji pembanding dengan uji
Duncan. Dari hasil tersebut diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Gambar 25. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Nisbah Ion Kalsium
Model nisbah Kalsium udang uji karena pengaruh media osmotik adalah
sebagai berikut: y = 0.000463x2
-0.021006x+0.248904 dengan nilai R2
= 0.967.
Model tersebut dapat digunakan untuk memprediksi besarnya nisbah Kalsium udang
uji (y) apabila tingkat salinitas (x) diketahui. Dalam hal ini tingkat salinitas media
mempengaruhi perubahan ion Kalsium pada udang uji, dimana semakin tinggi
salinitas media (x) maka nisbah ion Kalsium semakin tinggi pula. Dari model
persamaan diatas nilai nisbah Kalsium terendah selama uji perlakuan adalah 0.01
pada salinitas 20+1 ppt.
53. 53
Gambar 26. Histogram Rerata Nisbah Ion Kalium Pada Berbagai Salinitas
Gambar 27. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Nisbah Ion Kalium
Hasil uji normalitas dan homogenitas pada ion Kalium menunjukkan bahwa
data yang didapat menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat homogen
(P>0.05). Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa berbagai media isoosmotik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nisbah Kalium pada udang (P<0.05).
54. 54
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji pembanding dengan uji
Duncan. Dari hasil tersebut diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Model nisbah Kalium udang uji karena pengaruh media osmotik adalah
sebagai berikut: y = 0.000374x2
-0.017257x+0.211599 dengan nilai R2
= 0.980.
Model tersebut dapat digunakan untuk memprediksi besarnya nisbah Kalium udang
uji (y) apabila tingkat salinitas (x) diketahui. Dalam hal ini tingkat salinitas media
mempengaruhi perubahan ion Kalium pada udang uji, dimana semakin tinggi
salinitas media (x) maka nisbah ion Kalium semakin tinggi pula. Dari model
persamaan diatas nilai nisbah Kalium terendah selama uji perlakuan adalah 0.02 pada
salinitas 20+1 ppt.
4.1.3. Efisiensi Pemanfaatan Pakan
Hasil pengamatan dan perhitungan efisiensi pemanfaatan pakan meliputi rasio
konversi pakan (FCR) dan efisiensi pemanfaatan protein (PER). Nilai FCR rata-rata
tertinggi pada perlakuan media hiperosmotik intermolt pada salinitas 35+1 ppt yaitu
1.96, dan pada perlakuan yang lainnya berturut-turut nilai FCR pada media
hiposmotik intermolt (salinitas 20+1 ppt), isoosmotik intermolt (salinitas 26+1 ppt)
dan hiperosmotik intermolt (salinitas 32+1 ppt) adalah 1.58, 1.34 dan 1.53. Data
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran halaman 143 (tabel 32).
Hasil uji normalitas dan homogenitas pada FCR menunjukkan bahwa data
yang didapat menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat homogen (P>0.05).
Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa berbagai media isoosmotik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap FCR udang L. vannamei (P<0.05). Untuk mengetahui
55. 55
perbedaan antar perlakuan dilakukan uji pembanding dengan uji Duncan. Dari hasil
tersebut diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Gambar 28. Histogram Rasio Konversi Pakan (FCR) Pada Berbagai Salinitas
Gambar 29. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Rasio Konversi Pakan (FCR)
56. 56
Model FCR udang uji karena pengaruh media osmotik adalah sebagai berikut:
y = 0.010x2
-0.575x+9.121 dengan nilai R2
= 0.994. Model tersebut dapat digunakan
untuk memprediksi besarnya FCR udang uji (y) apabila tingkat salinitas (x) diketahui.
Dalam hal ini tingkat salinitas media mempengaruhi perubahan rasio pemanfaatan
pakan pada udang uji, dimana semakin tinggi salinitas media (x) maka FCR semakin
tinggi. Dari model persamaan diatas nilai FCR optimum selama uji perlakuan adalah
1.34 pada salinitas 26+1 ppt.
Gambar 30. Histogram Efisiensi Pemanfaatan Protein (PER) Pada Berbagai Salinitas
Hasil uji normalitas dan homogenitas pada PER menunjukkan bahwa data
yang didapat menyebar normal (P>0.05) dan ragam data bersifat homogen (P>0.05).
Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa berbagai media isoosmotik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap PER udang L. vannamei (P<0.05). Untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan dilakukan uji pembanding dengan uji Duncan. Dari hasil
tersebut diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan.
57. 57
Gambar 31. Kurva Pengaruh Salinitas Terhadap Terhadap Protein Efficiency Ratio
(PER)
Model PER udang uji karena pengaruh media osmotik adalah sebagai berikut:
y = -0.01x2
-0.545x+5.658 dengan nilai R2
= 0.998. Model tersebut dapat digunakan
untuk memprediksi besarnya PER udang uji (y) apabila tingkat salinitas (x) diketahui.
Dalam hal ini tingkat salinitas media mempengaruhi perubahan rasio pemanfaatan
protein pada udang uji, dimana semakin tinggi salinitas media (x) maka PER semakin
rendah. Dari model persamaan diatas nilai PER optimum selama uji perlakuan adalah
1.79 pada salinitas 26+1 ppt.
4.1.4. Kualitas Air
Pada penelitian juga dilakukan pemeriksaan kualitas air secara teratur untuk
menjaga kondisi agar tetap terkontrol. Kualitas air diukur setiap hari untuk menjaga
kondisi dalam keadaan terkontrol. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada tabel 4.
58. 58
Tabel 4. Data Kualitas Air Selama Penelitian
Parameter
Waktu
Pengamatan
Nilai Pengamatan Nilai
Optimum
Pustaka
201 261 321 351
Suhu (ºC) Pagi, 07.00
28 - 30 28 – 30 28 – 30 28 - 30 26 – 31
Mintarjo et
al., 1984Sore, 17.00
DO (mg/l) Pagi, 07.00
6,4 – 7,2 6,4 – 7,2 6,4 – 7,2 6,4 – 7,2 > 4
Haliman dan
Adijaya,
2005Sore, 17.00
pH Pagi, 07.00
7,3 – 8,1 7,3 – 8,1 7,3 – 8,1 7,3 – 8,1 6,5 – 8,5
Haliman dan
Adijaya
2005Sore, 17.00
Amonia
(mg/l)
Pagi, 07.00
0,01 0,01 0,01 0,01 <0,1 Amri, 2003
Sore, 17.00
Nitrit
(mg/l)
Pagi, 07.00
0,01 0,01 0,01 0,01 <0,1 Cheng, 2002
Sore, 17.00
4.2. Pembahasan
4.2.1. Beban kerja Osmotik
Seperti yang diketahui bahwa beban kerja osmotik erat kaitannya dengan pola
osmoregulasi yang terjadi pada tubuh. Begitu pula yang terjadi pada udang
Litopenaeus vannamei dimana terjadi perbedaan tekanan osmotik antara media hidup
(media perlakuan) dengan tekanan osmotik didalam tubuh udang (haemolymphe).
Besarnya beban kerja osmotik sebanding dengan perbedaan osmolaritas antara media
eksternal dengan cairan tubuh udang (haemolymph).
Dari hasil pengamatan selama penelitian, diketahui bahwa osmolaritas udang
meningkat seiiring dengan meningkatnya salinitas. Media hipoosmotik (salinitas
20+1 ppt) memiliki beban osmotik sebesar 44.65+0.07 mOsm/l H2O, beranjak naik
59. 59
pada media isoomotik dan hiperosmotik intermolt (salinitas 26+1 ppt, 32+1 ppt dan
35+1 ppt) masing-masing adalah 59.78+0.08 mOsm/l H2O, 94.88+0.10 mOsm/l H2O,
dan 125.26+0.06 mOsm/l H2O. Sedangkan model respon beban kerja osmotik yang
didapat adalah y = 0.121x2
-2.439x+43.84 dengan nilai R2
= 0.985. Nilai tersebut
memiliki korelasi yang kuat dimana sebesar 98.5% beban kerja osmotik udang ini
dipengaruhi oleh media osmotik (salinitas). Sedangkan sisanya dipengaruhi faktor
lain. Suresh dan Lin (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
toleransi organisme terhadap salinitas air media hidupnya adalah spesies, temperatur,
mekanisme aklimatisasi, umur, serta ukuran tubuh.
Bisa dikatakan bahwa udang ini merupakan organisme osmoregulator kuat.
Dari hasil analisis varian dan histrogam, didapat bahwa terdapat pengaruh yang nyata
antara media osmotik terhadap beban kerja osmotik (dengan P<0.05). Bila dilihat
pada nilai osmolaritas media dan haemolymphe maka akan terlihat bahwa keduanya
menunjukkan peningkatan dengan seiiring meningkatnya salinitas. Sehingga nilai
beban kerja osmotik berbanding lurus dengan salinitas. Hal ini sesuai dengan pola
osmoregulasi udang dan krustacea lain pada umumnya, dimana akan terjadi
peningkatan beban osmotik seiring dengan meningkatnya salinitas. Dalam kaitannya
dengan pola osmoregulasi, energi untuk osmoregulasi dapat ditekan apabila udang
dipelihara mendekati kondisi isoosmotik (Jobling, 1994). Pada penelitian ini didapat
gambaran bahwa penggunaan energi akan semakin kecil pada salinitas yang optimal,
sehingga tingkat konsumsi pakan dapat mencapai nilai optimum.
60. 60
Hasil uji pembanding menggunakan Duncan Test menunjukkan bahwa antar
perlakuan memiliki perbedaan yang nyata. Hal ini berarti media osmotik memberikan
pengaruh yang nyata dan berbeda antar satu dengan yang lainnya terhadap besarnya
beban kerja osmotik. Rentang isosmotik yang optimal bagi pertumbuhan udang
adalah yang mendekati salinitas 20+1 ppt atau pada rentang hipoosmotik intermolt.
Beban kerja osmotik yang optimum berdasarkan analisis polynomial orthogonal
berada pada media dengan salinitas 20+1 ppt atau setara dengan isoosmotik postmolt,
dengan beban kerja osmotik sebesar 44.65 mOsm/l H2O. Rendahnya beban kerja
osmotik pada media mendekati isoosmotik disebabkan oleh dua faktor, yaitu aktivitas
enzim Na-K-ATPase berada dalam tingkat minimum dan transport aktif ion serta
pertukaran osmoefektor berada dalam tingkat rendah (Che Mat, 1987). Pada tahun
2000 dilaporkan bahwa pada Armases miersii juga memiliki kecenderungan tumbuh
baik pada salinitas yang mendekati media isoosmotik (Anger et al, 2000). Sedangkan
aklimatisasi yang baik juga berada pada media tidak jauh dari rentang isoomotik
seperti pada penelitian Carcinus maenas (Lovett et al, 2001).
Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada
organisme karena merupakan masking factor yang dapat memodifikasi peubah fisika
dan kimia air yang akan berdampak pada osmoregulasi dan bioenergetik organisme
akuatik. Dalam hal ini, salinitas akan berpengaruh pada pengaturan ion-ion internal,
yang memerlukan energi untuk transpor aktif ion-ion guna mempertahankan
lingkungan internal. Hal ini sangat berpengaruh pada proses fisiologis yang dapat
berakibat pada kematian (Karim, 2007).
61. 61
4.2.2. Perubahan Osmoefektor
Besarnya beban kerja osmotik sebanding dengan perbedaan osmolaritas antara
media eksternal dengan cairan tubuh udang (Ferraris et al, 1986; Anggoro, 1992).
Osmolaritas media berbanding lurus dengan salinitas, karena itu semakin besar
salinitas akan semakin besar pula osmolaritas medianya. Ion-ion dalam media juga
turut berperan dalam menentukan besarnya nilai osmolaritas. Ion-ion tersebut adalah
Cl-
, Na+
, Mg++
, Ca++
dan K+
. Urutan tersebut sesuai dengan komposi ion utama
penentu salinitas laut (Nybakken, 1988). Ion Na+
dan Cl-
merupakan kontributor
utama pada osmolaritas haemolymphe udang.
Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa baik ion Cl-
, Na+
, Mg++
, Ca++
dan K+
pada media hidup udang uji menunjukkan nilai terrendah berada pada salinitas 20+1
dan yang tertinggi berada pada salinitas 35+1 ppt. Hal ini sesuai dengan kandungan
elektrolit pada air laut, dimana semakin tinggi salinitas maka akan semakin tinggi
pula kandungan elektrolitnya. Besarnya masing-masing ion Cl-
, Na+
, Mg++
, Ca++
dan
K+
pada salinitas 20+1 ppt adalah 10.455, 5.430, 0.720, 0.220, 0.210. Pada salinitas
35+1 ppt masing-masing adalah 15.905, 8.550, 1.160, 0.360, 0.330. Hal yang sama
juga ditunjukkan pada ion Cl-
, Na+
, Mg++
, Ca++
dan K+
yang terkandung pada
haemolymphe udang. Ion tersebut meningkat seiring meningkatnya kadar salinitas.
Besarnya masing-masing ion tersebut pada salinitas 20 ppt adalah 10.858, 4.572,
0.735, 0.230, 0.225. Sedangkan pada salinitas 35+1 ppt, masing-masing adalah
14.580, 5.672, 0.893, 0.278, 0265.
62. 62
Dari hasil perbandingan antara ion osmolaritas pada media dan haemolymphe
didapat nilai nisbah osmoefektor yang menunjukkan perbandingan lurus dengan
media isoosmotik (salinitas). Makin tinggi salinitas maka nisbah ion Cl-
, Na+
, Mg++
,
Ca++
dan K+
akan semakin tinggi pula. Dari gambar 11 terlihat bahwa besaran nisbah
bervariasi antar satu ion dengan ion yang lain. Ion Cl-
tetap mendominasi sebagai ion
osmoefektor tertinggi. Tetapi pada salinitas 35+1 ppt, ion tersebut lebih rendah
daripada ion K+
.
Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa salinitas memberikan pengaruh
yang nyata terhadap besarnya nilai nisbah osmoefektor, ion Cl-
, Na+
, Mg++
, Ca++
dan
K+
(dengan P<0.05). Besarnya masing-masing pengaruh salinitas terhadap nisbah ion
Cl-
, Na+
, Mg++
, Ca++
dan K+
adalah 98.1%, 99.1%, 90.9%, 96.7%, dan 98.0%. Dari
nilai tersebut diketahui bahwa salinitas sangat mempengaruhi besarnya nisbah ion
(perubahan osmoefektor) yang terajadi antara media hidup udang dengan
haemolymph. Pengaruh terendah ditunjukkan dari hasil penelitian nisbah Magnesium,
sedangkan yang tertinggi pada Nisbah Sodium. Secara umum besarnya perubahan
osmoefektor ini sangat kuat dipengaruhi oleh besarnya media isoosmotik (salinitas).
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata pada pelakuan maka dilihat
dari uji pembanding dengan menggunakan Duncan Test. Dari uji tersebut diketahui
bahwa antar perlakuan (salinitas 20+1, 26+1, 32+1 dan 35+1 ppt) memiliki perbedaan
yang nyata. Hal ini berarti media isoosmotik (salinitas) memberikan pengaruh yang
nyata dan berbeda antar masing-masing perlakuan terhadap besarnya nilai nisbah ion-
ion. Nisbah ion (osmoefektor) menunjukkan besarnya tingkat transport aktif ion
63. 63
media terhadap ion tubuh udang. Cawthorne et al. (1983) menyatakan bahwa single
salt solutions (NaCl) tidaklah selalu cocok untuk budidaya udang pada berbagai
salinitas, walaupun pada air laut, ion-ion yang paling penting untuk osmoregulasi
adalah klor dan sodium. Penelitian 2002 juga menyebutkan bahwa komposisi ion
lebih penting daripada salinitas itu sendiri terhadap pertumbuhan dan tingkat
kelulushidupan udang (Davis, 2002).
4.2.3. Efisiensi Pemanfaatan Pakan
Sumber energi udang dan materi pembangun tubuh didapat dari pakan. Materi
pembangun tubuh yang utama adalah protein, sedang sumber energi berasal dari
karbohidrat dan lemak (Djojosoebagio, 1990). Peubah pemanfaatan pakan ditentukan
berdasarkan konversi pakan (FCR) dan rasio efisiensi protein (PER). Dari penelitian
diketahui bahwa nilai FCR seamakin meningkat dengan meningkatnya salinitas.
Sedangkan sebaliknya nilai PER bergerak semakin menurun. Hubungan antara
salinitas dengan FCR terlihat berbanding lurus, sedangkan PER akan mengikuti
kebalikan dari FCR, sehingga perbandingan antara salinitas dengan PER menjadi
berbanding terbalik. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa media isoosmotik
(salinitas) memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasio konversi pakan (FCR)
dan rasio efisiensi protein (PER) (pada P<0.05). Ini artinya bahwa besarnya FCR dan
PER ditentukan oleh besarannya media isoosmotik (salinitas). Pada FCR midia
isoosmotik mempengaruhi besarnya FCR sebesar 99.4%. sedangkan pada PER
memberikan pengaruh sebesar 99.8%. FCR merupakan jumlah pakan yang
dikonsumsi untuk mengahasilkan daging pada organisme budidaya (ikan atau udang).
64. 64
Begitu pula dengan PER, PER merupakan jumlah protein yang digunakan untuk
pertumbuhan organisme budidaya. Semakin sedikit jumlah protein yang digunakan
untuk pertumbuhan maka semakin efisien pemanfaatan protein dalam pakan tersebut
(Susilowati, 2002).
Berdasarkan uji polinomial ortogonal, nilai FCR paling optimal berada pada
media dengan salinitas 26+1 ppt dengan nilai sebesar 1.34. Sedangkan nilai FCR
tertinggi memiliki nilai 1.96 pada salinitas 35+1 ppt. Daya serap usus serta
pemanfaatan pakan untuk pertumbuhan akan lebih efisien bila udang berada pada
media hipotonik yang mendekati isoosmotik (Venkataramiah, et al, 1972) dan
Ferraris, et al (1986 dan 1987). Daya pemanfaatan pakan pada salinitas 26+1 ppt
lebih baik daripada perlakuan lainnya, karena pada media tersebut memiliki
osmolaritas media berkisar 59.78+0.08 mOsm/l H2O, dimana salinitas 26 ppt adalah
media yang berada pada kisaran isoosmotik intermolt. Sama halnya dengan pendapat
Jobling (1994), yang menyatakan bahwa pemakaian energi untuk osmoregulasi dapat
ditekan apabila ikan dipelihara pada media isoosmotik. Sehingga pemanfaatan pakan
menjadi efisien serta pertumbuhan dapat meningkat. Dengan kata lain pemanfaatan
pakan bagi pertumbuhan udang akan efisien apabila dipelihara pada media yang tidak
berbeda jauh dari tingkat isoosmotiknya. Dari gambar 26 diketahui bahwa Beban
Kerja Osmotik berbanding lurus dengan Rasio Pemanfaatan Pakan, dan berbanding
terbalik dengan Rasio Efisiensi Protein.
Berdasarkan uji pembanding dengan menggunakan Duncan Test, diketahui
bahwa antar perlakuan (salinitas 20+1, 26+1, 32+1 dan 35+1 ppt) memiliki perbedaan
65. 65
yang nyata. Hal ini berarti media isoosmotik memberikan pengaruh yang nyata dan
berbeda antar masing-masing perlakuan terhadap besarnya nilai FCR dan PER. Kerja
pencernaan yang baik menyebabkan pakan yang diberikan lebih banyak terkonsumsi.
Banyaknya pakan yang terkonsumsi serta rendahnya energi untuk metabolisme dan
kerja osmotik akan menyebabkan pertumbuhan bekerja dengan baik.
Pada kondisi lingkungan hiperosmotik (cairan tubuh bersifat hipoosmotik), air
dari tubuh cenderung keluar menyebabkan tubuh kemasukan ion-ion. Kondisi ini
mengakibatkan penggunaan energy (ATP) untuk kerja osmotik lebih besar sehingga
porsi energi untuk pertumbuhan berkurang. Adaptasi fisiologis pada perubahan
salinitas memerlukan energi untuk pengambilan ion yang menunjukkan bahwa terjadi
mobilisasi dan penggunaan energi untuk Na+-K+- ATPase pada kondisi stres
(Rainbow & Black 2001).
4.2.4. Kualitas Air
Data kualiatas air selama penelitian dapat dikategorikan masih layak untuk
kehidupan dan pertumbuhan udang. Hal ini karena rutin dilakuan cek kontrol kualitas
air secara teratur.
4.2.4.1. Suhu
Organisme memiliki batas toleransi suhu optimum dan maksium untuk
mempertahankan kelangsungan kehidupannya hingga batas tertentu (Wardono, 1975).
Dari hasil pengamatan, besarnya suhu berada dalam kisaran normal, yaitu sebesar 28-
30 o
C. Nilai tersebut masih layak untuk kehidupan dan pertumbuhan udang. Sesuai
dengan pernyataan Mintarjo et al (1984), bahwa kisaran yang baik untuk kehidupan
66. 66
dan pertumbuhan udang adalah 26-31 o
C. Ditambahkan juga oleh Haliman dan
Adijaya (2005) bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan udang vannamei
adalah 26-32 o
C.
4.2.4.2. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman merupakan salah satu factor yang penting bagi
kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan
organisme adalah 6.1-8.5 (Anggoro, 1992). Dari hasil penelitian, nilai pH berkisar
antara 7.3-8.1. Ini berarti udang uji berada pada kondisi yang cukup untuk
pertumbuhan.
4.2.4.3. Oksigen terlarut (DO)
Kelarutan oksigen selama perlakuan adalah 6.4-7.2 mg/l. hal ini menunjukkan
bahwa kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan mencukupi. Dimana besarnya oksigen
yang perlu dipertahankan untuk menjamin kelangsungan hidup udang adalah tidak
kurang dari 4 mg/l (Sumeru dan Anna, 1992). Senada dengan Sumeru dan Anna,
dilaporkan juga bahwa pertumbuhan yang cukup baik terjadi pada Penaeus setiferus
dimana kelarutan oksigennya berkisar antara 4-5.6 mg/l (Rosas, 1999).
Penjagaan kelarutan oksigen selama perlakuan dilakukan dengan aerator.
Aerator berfungsi untuk memperluas kontak permukaan air dengan udara. Semakin
luas permukaan kontak dengan udara, maka semakin banyak udara yang berdifusi
kedalam perairan.
67. 67
4.2.4.4. Amoniak
Amoniak dapat berasal dari sisa pakan ataupun feces. Konsentrasi amoniak
yang berlebih akan mengganggu pertumbuhan udang. Selama penelitian nilai
amoniak berada pada kisaran 0.01 mg/l. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perlakuan
berada dalam kondisi yang bagus, karena menurut pernyataan Pescod (1973), kulitas
air yang baik memiliki kandungan amoniak kurang dari 1 mg/l. Hal yang sama juga
dikemukakan tahun 2000 pada budidaya mysids dimana kualiat air untuk amonia
yang baik adalah tidak lebih dari 0.1 mg/l (Hemdal, 2000).
Kecilnya ammonia ini disebabkan karena selama perlakuan rutin dilakukan
kontrol kualias air. Setiap hari dilakukan penyiponan sisa feces dan pengambilan
pakan sisa. Penggantian air secara teratur sehingga pembusukan sisa-sisa metabolism
tidak terjadi pada media, serta penggunaan aerasi yang cukup membantu mengurangi
kandungan ammonia dalam air.
4.2.4.5. Nitrit
Nitrit dan nitrat berasal dari hasil oksidasi ammonia melalui proses nitrifikasi.
Pada konsentrasi yang tinggi, nitrit akan bersifat racun pada udang. Selama penelitian
nilai nitrit adalah 0.01 mg/l. Sama halnya dengan ammonia, nilai yang rendah ini
menunjukkan kondisi perlakuan uji udang masih layak untuk pertumbuhan dan
kehidupan udang. Nilai kandungan nitrit dalam air yang baik adalah tidak kurang dari
1 mg/l (Pescod, 1973). Senada dengan Pescod, Adiwijaya et al. (2003) menyatakan
bahwa kandungan nitrit yang baik untuk pertumbuhan udang vannamei adalah
berkisar antara 0.01-0.05 mg/l.
68. 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:
1. Berbagai tingkat salinitas media isoosmotik postmolt/hipoosmotik intermolt,
isoosmotik intermolt, dan isoosmotik premolt/hiperosmotik intermolt
memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap beban kerja osmotik udang
Litopenaeus vannamei. Beban kerja terendah selama uji perlakuan berada pada
media hipoosmotik intermolt atau isoosmotik postmolt (salinitas 20+1 ppt)
sebesar 44.65 mOsm/l H2O.
2. Berbagai tingkat salinitas media isoosmotik postmolt/hipoosmotik intermolt,
isoosmotik intermolt, dan isoosmotik premolt/hiperosmotik intermolt
memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap nisbah ion osmoefektor (Cl-
,
Na+
, Mg++
, Ca++
dan K+
) pada udang Litopenaeus vannamei. Nisbah terendah
berada pada media hipoosmotik intermolt (salinitas 20+1 ppt).
3. Berbagai tingkat salinitas media isoosmotik postmolt/hipoosmotik intermolt,
isoosmotik intermolt, dan isoosmotik premolt/hiperosmotik intermolt
memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap efisiensi pemanfaatan pakan
(FCR) dan efisiensi pemanfaatan protein (PER) udang Litopenaeus vannamei.
FCR dan PER optimum terdapat pada media isoosmotik intermolt (salinitas 26+1
ppt), masing-masing sebesar 1,34 dan 1,79.
69. 69
5.2. Saran
Adapun saran yang diberikan adalah:
1. Untuk meningkatkan hasil budidaya udang vanamei secara ekonomi, pada kondisi
optimum udang akan lebih baik bila dikultivasi pada salinitas +26 ppt, karena
pada salinitas tersebut mendekati kondisi isoosmotik udang dengan pemanfaatan
pakan yang optimal. Pada salinitas tersebut beban kerja osmotik udang dan
perubahan osmoefektor tidak terlalu besar.
2. Untuk menghasilkan pemanfaatan pakan dan beban kerja osmotik (TKO) yang
optimum dalam pemeliharaan udang Litopenaeus vannamei perlu memperhatikan
kebutuhan media isoosmotik dan kandungan ion juga dapat menjadi salah satu
pertimbangan. Sehingga pemanfaatan pakan menjadi optimum.
3. Perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang kandungan ion dalam kaitannya
dengan kondisi isoionik udang baik terhadap konsumsi pakan maupun beban
kerja osmotik.
4. Untuk penelitian lain yang mencoba menggunakan pokok bahasan yang hampir
sama, maka pada perubahan osmoefektor ada baiknya jika diteliti juga tentang
ion-ion organik.
70. 70
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D.R., P.R. Sapto, E. Sutikno, Sugeng, dan Subiyanto. 2003. Budidaya
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah
lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan
Air Payau Jepara. 29 pp.
Anger, K., Kim Riesebeck and Cornelia Püschel. 2000. Effects of salinity on larval
and early juvenile growth of an extremely euryhaline crab species, Armases
miersii (Decapoda: Grapsidae). Hydrobiologia 426: 161–168
Anggoro, S. 1990. Keterkaitan Antara Molting dan Osmoregulasi pada Udang Windu
(Penaeus monodon Fab). Kolokium Disertasi PPS IPB Bogor.
. 1992. Efek Osmotik Berbagai Tingkat Salinitas Media terhadap
Daya Tetas Telur Larva Udang windu (Penaeus monodon Fab). Disertasi PPS
IPB Bogor.
. 2000. Pola Regulasi Osmotik dan Kerja Enzim Na-K-ATPase
Udang Windu (Penaeus monodon Fab) pada Berbagai Fase Molting.
Aquaculture Indonesia, 1 (2) : 15-21.
. 2007. Domestikasi Udang Jahe : Efek Osmotik Salinitas Media
Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan, Protein, Efisiensi Rasio, dan
Produksi Biomassa Udang Jahe asal Segara Anakan. Bull. Panel. BPPI, 3 (2) :
17-23.
Anggoro, S. dan K. Nakamura. 1996. Osmoregulation of Kuruma Prawn (Penaeus
japonicus). Bull . Kagoshima, 2 (3) : 14-19.
Anggoro, S. dan Muryati. 2006. Pola osmoregulasi udang pada berbagai fase molting.
Bull. Kimia Pembangunan, 5(2): 11-16.
Barizi dan Andi H. N. 1986. Metoda Statitiska untuk Penarikan Kesimpulan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
BBAT Sukabumi. 1991. Teknologi Budidaya Udang Galah (Macrobracium
rosenbergii). Balai Budidaya air tawar, Direktorat Jendral Perikanan,
Departemen Pertanian. Sukabumi.
71. 71
Boyd, C.E. and J.W. Clay. 2002. Evaluation of Belize Aquaculture LTD, A
Superintensive Shrimp Aquaculture System. Report prepared under The
World Bank,NACA, and FAO Consorsiu. Work in progress for Public
Discussion. Published by The Consorsium.17 pages.
Briggs, M., S.F. Smith, R. Subasinghe, M. Phillips. 2004. Introduction and
Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The
Pacific. RAP Publication 2004/10.
Buckle, L. Fernando, Benjamin Baron dan Monica Hernandes. 2006. Osmoregulatory
capacity of the shrimp Litopenaeus vannamei at different temperatures and
salinities, and optimal culture environment. Departamento de Acuicultura,
Centro de Investigación Científica y Educación Superior de Ensenada
(CICESE). Ensenada, México.
Bower, C. E. dan Bidwell, J. P. (1978). Ionization of ammonia in seawater: effect of
temperature, pH, and salinity. J. Fish. Res. Bd can. 35: 1012-1016.
Capuzzo, J. M. 1999. Crustacean Bioenergetics: The Role of Environmental
Variables and Dietary Levels of Macronutrients on Energetic Efficiencies. In
G. D. Pruder et. al, eds. Proc. Aquaculture. Nutrition, Biochemical and
Physiological Approach. Louisana State Univ. Baton Rouge.
Cawthorne, D. F., Beard, T., Davenport, J., Wickins, J. F., 1983. Responses of
juvenile Penaeus monodon Fabricius to natural and artificial sea waters of low
salinity. Aquaculture 32:165-174.
Charmantier G., N. Bouaricha, M. Charmantier-Daures, P. Thuet dan J.P. Trilles.
1989. Salinity tolerance and osmoregulatory capacity as indicators of the
physiological state of peneid shrimps. Eur. Aquat. Soc. Spec. Publ. 10: 65-66.
Che Mat, C. R. 1987. Kajian Ekofisiologi dan Biokimia Macrobrachium rosenbergii
dan Hubungannya dengan Akuakultur. Kumpulan Laporan Penyelidikan Sains
Fisis Gunaan. Fakultas Sains dan Gunaan, Univ Kebangsaan Malaysia. Bangi.
Dalla Via, G. J. 1986. Salinity and osmotic responses of the juvenile Penaeid Shrimp
Penaeus japonicus. II. Free amino acids. Aquaculture, 55: 307-316.
Darmono. 1991. Budidaya Udang Penaeus. Kanisius, Yogyakarta. Hlm 11-15.
Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi kelenjar endokrin, vol. 1. PAU Ilmu Hayat, IPB,
Bogor. Hal 91-137.
72. 72
Davis, D. Allen, Imad P. Saoud, J. MGraw William, dan B. Rouse David. 2002. VI
International Symposium on Aquaculture Nutrition: Consideration for
Litopenaeus vannamei Reared in Inland Low Salinity Water. Cancun,
Quintana-Roo. p 73-90.
Davis, D. Allen, M. Samocha Tzachi dan C. E. Boyd. 2004. Acclimating Pacific
White Shrimp, Litopenaeus vannamei, to Inland, Low-Salinity Waters.
Southern Regional Aquaculture Centre.
http://www.aces.edu/users/davisda/publications/publication_files/p41_srac_ac
climation.pdf (12 Juni 2010)
Dore, I. dan C. Frimodt 1987. An illustrated guide to shrimp of the world. Osprey
Books, Huntington, New York. 229 p.
Evans, David H. 2008. Osmotic and Ionic Regulation: Cells and Animals University
of Florida. Gainesville.
Elovaara, A.K. 2001. Shirmp Farming Manual: Practical Technology for Intensive
Shrimp Production. British West Indies. Caribbean Press Ltd. Miami. 200 pp.
Ferraris, R. P, E. D. P. Estepa, J. M. Ladja and E. G. D. Jesus. 1986. Osmoregulation
in Penaeus monodon : Effect of Molting and External Salinity. p : 637-640. In
J. L. Maclean et.al., eds. Asian Fish. Soc., Manila.
. 1987. Osmotic and
Chloride Regulation in the Haemolymph of Tiger Shrimp. Penaeus monodon,
During Molting in Various Salinity. Marine Biology. 95: 377-385.
FAO (Food And Agriculture Organization Of The United Nation). 2010. Cultured
Aquatic Species Information Programme: Penaeus vannamei (Boone,
1931). http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Litopenaeus_vannamei/en
(22 Februari 2010).
Florkin, M. 1960. Ecology and Metabolism in F. H. Waterman (Ed) The Physiology
of Crustacea Vol.1. “Metabolism and Growth”. Academic Press, New York.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Gilles, R. 1979. Intracellular organic osmoefectors, p: 111-154. In Gilles, ed.
Mechanisms of osmoregulation in animals maintenance of cell volume. John
Wiley and Sons. New York.
73. 73
Gulf States Marine Fisheries Commission. 2005. Litopenaeus vannamei (Boone,
1931). http://nis.gsmfc.org/nis_factsheet.php.toc_id=141 (22 Februari 2010).
Gunter, G. dan W.E. Jr. Shell. 1958. A study of an estuarine area with water-level
control in the Louisiana marsh. Proc. LA Acad. Sci. 21: 5-34.
Gunter, G. dan G.E. Hall. 1963. Biological investigations of the St. Lucie estuary
(Florida) in connection with Lake Okeechobee discharges through the St.
Lucie canal. Gulf Res. Rep. 1: 189-307.
Haliman, R.W. dan Dian Adijaya S. 2005. Udang Vanname. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hemdal, Jay. 2000. Raising Mysid Shrimp as a Home Aquarium Food. Seascope.
Holliday, F. G. T. 1965. The Effect of Salinity on The Eggs and Larvae of Teleost.
In: W.S. Hoen and D. J. Randall. Fish Physiology, Excretion, Lanic
Regulation and Metabolism. Academic Press. New York.
ITIS Report. 2009. Litopenaeus vannamei (Boone, 1931).
http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_
value=551682 (22 Februari 2010).
Izzati, Munifatul. 2008. Perubahan Konsentrasi Oksigen Terlarut dan pH Perairan
Tambak Setelah Penambahan Rumput Laut Sargassum Plagyophyllum dan
Ekstraksnya. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan
Biologi FMIPA UNDIP. Semarang.
Jobling, M. 1994. Fish Bioenergetics. Fish and Fisheries. Chapman and Hall, London.
Karim, Muhamad Yusri. 2007. Pengaruh Osmotik pada Berbagai Tingkat Salinitas
Media terhadap Vitalitas Kepiting Bakau (Scylla olivacea)Betina. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hassanudin. Makasar.
Lignot, J.H., C. Spanings-Pierrot and G. Charmantier. 2000. Osmoregulatory capacity
as a tool in monitoring the physiological condition and the effect of stress in
crustaceans. Aquaculture 191: 209-245.
Lovett, L. D, M. P. Verzi, P. D. Clifford, and D. W. Borst. 2001. Hemolymph levels
of methyl farnesoate increase in response to osmotic stress in the green crab,
Carcinus maenas.
http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6VNH-
42D2CR1-
D&_user=10&_coverDate=02/28/2001&_rdoc=1&_fmt=high&_orig=browse
74. 74
&_origin=browse&_sort=d&view=c&_acct=C000050221&_version=1&_url
Version=0&_userid=10&md5=192d76d42198d56b0d74ee46797bd4a1 (18
September 2010).
Mantel, L.H. and L.L. Farmer. 1983. Osmotic and ionic regulation. The Biology of
Crustacea, p. 53-161. In D.E. Bliss dan L.H. Mantel (eds.). Internal Anatomy
and Physiological Regulations vol. 5. Academic Press, New York.
Marindo, M. K. 2008. Informasi Budidaya Udang. http://marindro-
ina.blogspot.com/2008/02/program-pengelolaan-pakan-udang-03.html (19
Juni 2010).
Mc Connaughey, B.H. and R. Zottoli. 1983. Introduction to Marine Biology. Mosby
co, London.
Mintarjo, Sunaryanto, Utaminingsih dan Herminingsih. 1984. Persyaratan Tanah dan
Air dalam Pedoman Budidaya Tambak BBAP. Dirjen Perikanan Departemen
Pertanian Jepara.
Nugrahaningsih, Klory Adi. 2008. Pengaruh tekanan osmotik media terhadap tingkat
kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan patin (Pangasius sp.) Pada
salinitas 5 ppt. Institut Pertanian Bogor.
http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/5236/4/C08kan.pdf (19 Juni
2010)
Nybakken. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Parsons, T.R., M. Yoshiaki dan C. M. Lalli. 1984 A manual of chemical and
biological methods for seawater analysis. Pergamon Press, Oxford, 173
pages.
Passano, L. M. 1960. Molting and its Control, p:473-536. In Waterman, ed. The
Physiology of Crustacea, vol 1: Metabolism and Growth. Academic Press.
New York.
Pescod, ME. 1973. Investigations of Rational Effluent and Stream Standart for
Tropical Countries Intern Research Report . AIT. Bangkok.
Pechenik, Jan A. 2005. Biology of The Invertebrates 5th Edition. Mc Graw Hill. New
York
75. 75
Péqueux, A. 1995. Osmotic regulation in crustaceans. J. Crustacean Biol. 15: 1-60.
Perez Farfante, I. & B. Kensley. 1997. Penaeoid and Sergestoid shrimps and prawns
of the World. Keys and Diagnoses for the Families and Genera. Mem. Mus.
Natl. D`Hist. Nat. Paris, France. 233 p.
Rainbow, P.S. & W.H. Black. 2001. Effect of changes in salinity on the apparent
water permeability of three crab species: Carcinus meanas, Eriocheir sinensis
and Necora puber. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 264 : 1-13.
Rosas, C., E. Martinez, G. Gaxiolaa, R. Brito, A. Sa´nchez , L. A. Soto. 1999. The
effect of dissolved oxygen and salinity on oxygen consumption, ammonia
excretion and osmotic pressure of Penaeus setiferus (Linnaeus) juveniles.
Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 234 (1999) 41–57.
Samocha, T. M., L. Hamper, C. R. Emberson, A. D. Davis, D. McIntosh, A. L.
Lawrence, and P. M. Van Wyk. 2002.“Review of Some Recent Developments
in Sustainable Shrimp Farming Practices in Texas, Arizona and
Florida.Journal of Applied Aquaculture 12(1; 2002):1-42.
Soetomo, M. 1990. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru. Bandung.
Supono, Wardiyanto. 2008. Seminar Penelitian dan Pegabdian kepada Masyarakat:
Evaluasi Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Dengan
Meningkatkan Kepadatan Tebar Di Tambak Intensif. Progam Studi Budidaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung
Sri Rejeki. 2001. Pengantar Budidaya Perairan. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang. Hlm 17-20.
Steel, R. G. and J. H. Torrie. 1981. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan
Biometrik). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (diterjemahkan oleh
Bambang Sumantri). 748 Hlm.
Stewart, R. R. 2005. Invertebrates: The Other Food Source. Department of
Oceanography, Texas A&M University.
http://oceanworld.tamu.edu/resources/oceanography-book/invertebrates.htm
(18 September 2010)
Sumeru, S. U. dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon Fab).
Kanisius, Yogyakarta.
76. 76
Sutaman. 1993. Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga.
Kanisius. Yogyakarta.
Suresh AV, Lin CR. 1992. Tilapia Culture in Saline Waters. Aquaculture (106).
Susilowati, Y. 2002. Pengaruh Perbedaan Salinitas Terhadap Pertumbuhan dan
Kelulushidupan Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada Stadia Kepiting Muda.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. (Tidak
dipublikasikan).
Tabb, D.C., D.L. Dubrow & R.B. Manning. 1962. The ecology of northern Florida
Bay and adjacent estuaries. Fla. St. Bd. Conserv. Tech. Ser. 39: 1-79.
Venkataramiah, A., G.J. Lakshmi and G. Gunther. 1972. The Effect of Salinity,
Temperature and Feeding Levels on the Food Conversion, Growth and
Survival Rates of the Shrimp Penaeus aztecus. Marine Technol. Soc., 1-11.
Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi, IPB. Bandung.
Wickins, J.F. 1976. Prawn biology and culture. Oceanography Marine Biology
Avertebrates Rev 14: 435-507.
Yamaoka, L. H. and B. T. Scheer. 1970. Chemistry of Growth and Development in
Crustaceans, p: 321-340. In Florkin and Scheer, eds: Chemical Zool., vol. V.
Academic Press, New York.