tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
Peran serta masyarakat mitra polhut dalam pengamanan hutan
1. 1
PERAN MASYARAKAT MITRA POLHUT (MMP)
TERHADAP KAWASAN KONSERVASI *)
Oleh : Sudirman Sultan, SP.,MP.**)
A. Latar Belakang MMP
Kerjasama antara pihak pengelola kawasan konservasi dengan
masyarakat lokal diyakini merupakan bagian yang penting untuk kelangsungan
pengelolaan kawasan konservasi dalam jangka panjang. Kerjasama tersebut
bisa diwujudkan dalam bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan
kawasan konservasi. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi telah diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Khusus untuk peran serta masyarakat dalam pengamanan hutan telah
disebutkan pada Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Pasal ini menjelaskan bahwa masyarakat berkewajiban
untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan
perusakan. Oleh karena itu untuk mengimplementasikan aturan ini,
masyarakat perlu dilibatkan dalam pelaksanaan pengamanan hutan. Berbagai
bentuk pelibatan masyarakat dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan
hutan, diantaranya adalah :
a. Pengamanan Hutan Berbasis Masyarakat
b. Kegiatan Kader konservasi
c. Kegiatan Pemuda/Masyarakat Peduli Api
d. Kegiatan Pemuda Pecinta Alam
e. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Peduli Hutan
f. Kegiatan Pengembangan Desa Model Konservasi
g. Kegiatan Penyuluhan oleh Sentra Penyuluhan Kehutanan Partisipatif
(SPKP), dan
h. Kegiatan oleh Organisasi lain yang bersifat sukarela (volunteer)
Pengamanan hutan berbasis masyarakat sebagai salah satu bentuk
pelibatan masyarakat memerlukan kelembagaan yang baik. Hal ini sesuai
2. 2
dengan amanah Pasal 7 huruf d dan huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009, bahwa untuk mencegah,
membatasi dan mempertahankan hutan, Pemerintah perlu memfasilitasi
terbentuknya kelembagaan masyarakat dalam rangka mencegah perusakan
hutan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2014 tentang Masyarakat Mitra Polisi
Kehutanan (MMP). MMP adalah kelompok masyarakat sekitar hutan yang
membantu Polhut dalam pelaksanaan perlindungan hutan dibawah
koordinasi, pembinaan dan pengawasan intansi pembina.
B. Hak dan Kewajiban MMP
Hak MMP adalah :
1. Mendapatkan pendampingan dalam rangka koordinasi.
2. Mendapatkan bimbingan dan pembinaan administrasi, operasional, dan
personil.
3. Mendapatkan pinjaman perlengkapan keselamatan tugas.
4. Mendapatkan pelatihan teknis dalam bidang pengamanan.
5. Mendapatkan bantuan dan sumber dana dari instansi pembina atau sumber
lain yang tidak mengikat.
Kewajiban MMP adalah :
1. membantu Polhut dalam mengamankan sarana prasarana perlindungan
hutan
2. melakukan patroli bersama-sama Polhut di kawasan hutan;
3. membantu melakukan sosialisasi dan penyebaran informasi kehutanan;
4. melaporkan kepada polisi kehutanan setiap indikasi ancaman dan
gangguan keamanan terhadap hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta
tumbuhan dan satwa liar di wilayahnya; dan
3. 3
5. menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan dan mengamankan
barang bukti untuk segera diserahkan kepada polisi kehutanan atau kepada
Penyidik
C. Tingkatan Peran Serta/Partisipasi
Peran serta/partisipasi yang dalam bahasa inggris “participation” berarti
pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, partisipasi artinya adalah perihal turut berperan serta dalam suatu
kegiatan. Partisipasi tersebut terdiri atas beberapa tingkatan, yaitu :
a. Tingkat 1, Pemberitahuan (Informing).
Hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat, dll.) diberitahukan
kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat
setempat.
b. Tingkat 2, Pengumpulan Informasi (Information Gathering).
Masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar.
Komunikasi searah dari masyarakat ke luar.
c. Tingkat 3, Perundingan (Consultation).
Pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui
pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah,
tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil
keputusan.
d. Tingkat 4, Plakasi/Konsiliasi (Placation/Consiliation).
Masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya
sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-
hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll.
e. Tingkat 5, Kemitraan (Partnership).
Masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama
dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi,
evaluasi, dll. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk
mencapai sesuatu. Ini disebut “partisipasi interaktif.”
4. 4
f. Tingkat 6, Mobilisasi dengan Kemauan Sendiri (Self Mobilization)
Masyarakat mengambil inisiatip sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan
bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pe-
manfaatan sumber daya; pihak luar memfasilitasi mereka.
Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat
untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang
sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.Tingkatan partisipasi
MMP yang telah terbentuk dapat dinilai berada pada tingkat yang mana ?.
Namun harapannya tentu saja MMP yang dibentuk berada tingkat 5 dan 6,
yaitu berperan sebagai mitra Polhut yang mempunyai inisiatif sendiri dalam
mengamankan kawasan hutan dibawah bimbingan dan binaan Polhut.
Menurut Jules Pretty (1995) Tipologi partisipasi dapat dilihat dalam
tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tipologi Partisipasi Pretty
No. Tipologi Karakteristik
1. Partisipasi Manipulatif Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling
lemah. Karakteristiknya : masyarakat seolah-olah
dilibatkan dan diberi kedudukan dalam organisasi
resmi, namun mereka tidak dipilih dan tidak
memiliki kekuatan.
2. Partisipasi pasif Masyarakat menerima pemberitahuan apa yang
sedang terjadi dan yang telah terjadi.
Pemberitahuan ini sifatnya hanya sepihak, tanpa
memperhatikan tanggapan masyarakat dan
hanya terbatas dikalangan tertentu saja.
3. Partisipasi Konsultatif Masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi, melakukan dengan pendapat,
sedangkan orang luar hanya mendengarkan,
menganalisis masalah dan pemecahannya.
Namun belum ada peluang untuk keputusan
bersama. Para professional tidak berkewajiban
untuk memasukkan pandangan masyarakat untuk
ditindaklanjuti.
4. Partisipasi Insentif Material Masyarakat berpartisipasi dengan
menyumbangkan tenaga dan jasa untuk
mendapatkan imbalan, baik berupa uang maupun
materi lainnya. Mereka tidak dilibatkan dalam
proses pembelajaran sehingga masyarakat tidak
menguasai teknologinya dan tidak memiliki andil
untuk melanjutkan kegiatan tersebut.
5. 5
No. Tipologi Karakteristik
5. Partisipasi Fungsional Partisipasi yang diawali oleh kelompok luar
sebagai sarana untuk mencapai tujuan, terutama
untuk mengurangi pembiayaan. Masyarakat dapat
berpartisipasi dengan membentuk kelompok-
kelompok untuk mencapai tujuan proyek.
Keterlibatan masyarakat dalam partisipasi ini
dapat secara interaktif dan terlibat dalam
pengambilan keputusan, namun cenderung
setelah keputusan utama dibuat oleh kelompok
luar. Secara kasar dapat dikatakan, masyarakat
masih berpartisipasi hanya untuk melayani
kepentingan orang luar
6. Partisipasi Interaktif Masyarakat berperan dalam analisis untuk
perencanaan kegiatan, pembentukan dan
penguatan kelembagaan setempat. Partisipasi
dipandang sebagai hak, bukan sebagai cara
untuk mencapai tujuan semata. Proses partisipasi
ini melibatkan metode interdisipliner yang mencari
keberagaman perspektif dalam proses belajar
yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat
memiliki peran untuk mengontrol keputusan-
keputusan mereka dan menentukan seberapa
besar sumber daya yang tersedia dapat
digunakan, sehingga mereka memiliki andil
dalam keseluruhan proses kegiatan
7. Partisipasi Mandiri Masyarakat berpartisipasi dengan cara
mengambil inisiatif secara bebas untuk
mengubah sistem. mereka mengembangkan
kontak dengan lembaga lain untuk mendapatkan
bantuan dan dukungan teknis serta sumber daya
yang diperlukan.
D. Pola Penerapan Partisipasi MMP sebagai Wujud Polmas
POLRI sejak terpisah resmi dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) pada 1 April 1999, kembali menjadi bagian dari lembaga
pemerintahan sipil yang fungsinya melayani, melindungi dan mengayomi
masyarakat. TAP MPR No VI dan No VII tahun 2000 lebih menegaskan lagi
adanya reformasi struktural dalam tubuh POLRI. Bersamaan dengan itu,
POLRI terus berbenah dan berupaya menjadi polisi yang profesional dan
mandiri. Salah satu upaya reformasi yang tengah dilakukan adalah pada
pengembangan Pemolisian Masyarakat (community policing) atau lebih sering
disebut dengan POLMAS. Yang intinya adalah menekankan pada kemitraan
6. 6
dengan masyarakat untuk penyelesaian masalah, dalam upaya pencegahan
terhadap ancaman keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Kebijakan mengenai POLMAS, telah dikeluarkan oleh Kapolri melalui
Surat Keputusan Kapolri No 737 tahun 2005, selanjutnya diperbaharui dengan
Peraturan Kapolri (PERKAP) No 7 tahun 2008. Sebagai suatu strategi, Polmas
merupakan model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar,
antara polisi dengan masyarakat lokal, dalam menyelesaikan dan mengatasi
setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban, guna
meningkatkan kualitas hidup warga setempat.
Strategi Polmas sebagai wujud perkembangan kepolisian modern dalam
negara demokrasi yang plural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
diterapkan melalui model-model Polmas yang dikembangkan melalui :
a. modifikasi pranata sosial dan pola pemolisian masyarakat tradisional (Model
A);
1. Model system keamanan lingkungan (ronda kampong, ronda di kawasan
pemukiman).
2. Model pemberdayaan pranata sosial/adat (jaga baya, jaga tirta,
pecalang, pelagandong)
b. intensifikasi fungsi Polri di bidang Pembinaan Masyarakat (Model B);
1. intensifikasi kontak petugas polri dengan warga masyarakat (system
hubungan cepat melalui hotline telpon atau sms dan pemanfaatan kotak
pengaduan).
2. Intensifikasi penerangan, penyuluhan
3. Intensifikasi patroli
c. penyesuaian model community policing dari negara-negara lain (Model C).
1. Perpolisian masyarakat (petugas polmas, forum kemitraan Polri-
Masyarakat, Balai kemitraan Polri-Masyarakat).
2. Jepang (Sistem koban dan chuzaisho).
3. Kanada dan Amerika Serikat (Hots Spot Area dan Neighborhood Watch
Model).
7. 7
E. Peran MMP dalam Pengamanan Kawasan Konservasi.
MMP berperan membantu Polhut dalam melakukan kegiatan
Pengamanan Hutan. Berikut ini akan lebih jelas peran MMP pada setiap
tahapan kegiatan pengamanan hutan. Kegiatan pengamanan hutan dilakukan
melalui tahapan preemtif, preventif, represif dan yustisi.
1. Preemtif
Upaya preemtif adalah kegiatan dalam upaya penciptaan kondisi yang
kondusif dengan tujuan menumbuhkan peran aktif masyarakat dalam
pengamanan kawasan hutan. Tahapan ini dimaksudkan untuk meniadakan
niat yang merupakan salah satu faktor pencetus timbulnya suatu tindak
pidana. Bentuk pelaksanaan kegiatan preemtif yang dapat dilakukan oleh
MMP meliputi :
a. Melaksanakan kegiatan penyuluhan agar masyarakat secara bersama-
sama berpartisipasi dalam pengamanan kawasan hutan.
b. Melaksanakan kegiatan papanisasi.
c. Mengadakan dialog dengan lembaga-lembaga masyarakat, tokoh
agama, tokoh pemuda dan pemuka-pemuka masyarakat setempat.
d. Memberikan contoh perilaku yang baik kepada masyarakat.
e. Melaksanakan kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan hutan dan kawasan hutan.
f. Melaksanakan kegiatan sosialisasi batas-batas kawasan hutan.
2. Preventif
Kegiatan preventif adalah segala kegiatan yang dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya gangguan keamanan kawasan dan hasil hutan.
Tahapan ini dimaksudkan untuk menekan kesempatan atau peluang bagi
pelaku yang sudah memiliki niat melakukan tindak pidana kehutanan.
Bentuk kegiatan preventif terdiri dari :
a. Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket)
Pulbaket adalah kegiatan yang dilaksanakan di lapangan untuk
mengumpulkan bahan keterangan maupun informasi terbaru dalam
rangka pengecekan kebenaran atas informasi yang masuk tentang :
8. 8
1) Jenis dan bentuk gangguan dan ancaman terhadap kawasan hutan.
2) Situasi dan kondisi lapangan serta modus operandi pelanggaran atau
kejahatan bidang kehutanan yang terjadi.
3) Tokoh-tokoh penggerak, pemodal atau aktor intelektual yang terlibat.
4) Peluang dan tokoh masyarakat yang dapat membantu pengamanan
kawasan hutan dan hasil hutan.
5) Perkiraan upaya pengamanan yang diperlukan, perkiraan tenaga,
sarana dan prasarana, waktu dan dana yang dibutuhkan.
6) Mengumpulkan database mengenai metode, lokasi dan waktu-waktu
rawan terjadinya pelanggaran hukum di bidang kehutanan.
7) Membuat peta kerawanan pelanggaran bidang kehutanan dan
kerawanan gangguan satwa liar.
Sifat kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan adalah rahasia
dengan personil yang terbatas dan dipercaya.
b. Pemeliharaan dan pengamanan batas kawasan hutan
Dalam rangka menjaga dan mempertahankan kepastian hukum atas
kawasan hutan di lapangan, secara terus menerus batas hutan harus
dipelihara dan diamankan.
Tujuan pemeliharaan dan pengamanan batas kawasan hutan adalah
untuk menjaga agar kondisi batas hutan di lapangan tetap baik. Artinya
batas hutan yang berupa jalur rintis atau lorong batas, pal batas dan
tanda-tanda batas lainnya tetap terpelihara sehingga mudah dikenali,
letak posisi dan kondisi pal batas hutan tetap dalam keadaan semula
dan terhindar dari kerusakan atau tidak hilang serta tanda-tanda batas
lainnya dapat membantu keberadaan batas hutan.
c. Penjagaan Pengamanan Hutan
Kegiatan penjagaan dilakukan di pos-pos jaga yang telah ditentukan
yang penempatannya berdasarkan pada titik rawan terjadinya gangguan
hutan dan hasil hutan.
Tujuan utama penjagaan adalah untuk mengurangi ruang gerak
terjadinya pelanggaran di bidang kehutanan.
9. 9
d. Patroli Pengamanan Hutan
Patroli adalah kegiatan pengawasan pengamanan hutan yang dilakukan
dengan cara gerakan dari satu tempat ketempat lain oleh dua atau tiga
orang atau lebih di wilayah hutan yang menjadi tanggung jawabnya atau
daerah tertentu dimana sering terjadi pelanggaran atau kejahatan
bidang kehutanan.
Patroli dilaksanakan secara teratur dan selektif atau tergantung situasi
dan kondisi keamanan hutan dengan tujuan mencegah gangguan
terhadap hutan dan hasil hutan, mengetahui situasi lapangan serta
melakukan tindakan terhadap pelaku pelanggaran pelanggaran/
kejahatan yang ditemukan pada saat patroli. Patroli yang dilakukan oleh
MMP dapat berupa Patroli Mandiri dan Patroli Bersama Polhut.
3. Represif
Kegiatan refresif adalah kegiatan penindakan dalam rangka penegakan
hukum dimana situasi dan kondisi gangguan keamanan kawasan hutan
telah terjadi dan cenderung terus berlangsung atau meningkat sehingga
perlu segera dilakukan penindakan terhadap pelakunya. Mengingat
kegiatannya adalah penindakan, maka kegiatan refresif tidak boleh
dilakukan secara mandiri oleh MMP.
Berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan di lapangan, kegiatan refresif
dibedakan atas :
a. Operasi Taktis
Yaitu kegiatan atau upaya untuk mencegah dan menindak pelaku
pelanggaran secara langsung di lapangan melalui kegiatan operasi
bersama Polhut, pemeriksaan dokumen dan barang bukti, pemeriksaan
pelaku, penyitaan barang bukti, penitipan barang bukti, pengamanan
barang bukti, pengamanan tempat kejadian perkara, penyelesaian
administrasi lapangan dan pelaporan.
b. Operasi Yustisi
Yaitu kegiatan atau upaya penegakan hukum untuk membuat jera para
pelaku pelanggaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau
10. 10
Penyidik Polri yang diawali dari tindakan penyidikan sampai dengan
pemberian sanksi pada putusan pengadilan.
F. Standar Operasional Prosedur (SOP)
Agar kegiatan yang dilakukan oleh MMP efektif dan efesien, setiap
kegiatan yang dilakukan oleh MMP harus berdasarkan SOP yang telah
ditetapkan oleh unit kerjanya. Efektifitas terkait pencapaian tujuan secara tepat
atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan
cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektifitas bisa juga
diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan
yang telah ditentukan. Sedangkan efisiensi adalah penggunaan sumberdaya
secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap
bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untu mencari
cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Apabila
membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan
sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut.
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah serangkaian instruksi
tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan aktivitas
organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa
dilakukan. SOP dibuat dari bawah keatas atau dengan melibatkan minimal
tiga (3) pihak: pembuat, pengguna dan manajemen atau wakilnya. Sebuah
SOP selalu dibuat melalui sebuah kesepatan, kesepakatan antara pembuat,
pengguna dan manajemen atau wakilnya, apabila salah satu pihak tidak
dilibatkan, SOP dapat menjadi dokumen yang susah diterapkan. Di sejumlah
organisasi tertentu, SOP ini biasa disebut juga Prosedur Tetap (Protap), yang
biasanya memiliki turunan yang disebut Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan
Petunjuk Teknis (Juknis/Manual).
11. 11
PUSTAKA :
Nanang, Marthinus dan Simon Devung, 2004. Panduan Pengembangan Peran
dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten
Kutai Barat. Institute for Global Environmental Strategies Kanagawa,
Jepang.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.56/Menhut-II/2014
Tentang Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat
Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Pretty, Jules N. 1995. “Participatory Learning for Sustainable Agriculture”.
World Development,Vol 23, No 8, pp. 1247-1263.
Development,Vol 23, No 8, pp. 1247-1263.Susanto Eko, Agus Mardiyanto dan
Chepi Supiyana, 2011. Petunjuk Teknis (JUKNIS) Pengamanan
Kawasan Konservasi di Taman Nasional Karimun Jawa oleh Masyarakat
Mitra Polhut (MMP). Balai Taman Nasional Karimun Jawa, Semarang.
Sultan, Sudirman, 2014. Bahan Ajar Prosedur Penatausahaan Hasil Hutan
Kayu dan Non Kayu, Diklat Alih Tingkat Jabatan Fungsional Polhut
Terampil ke Polhut Ahli. Balai Diklat Kehutanan Makassar, Sulawesi
Selatan.
Sultan, Sudirman, 2014. Bahan Ajar Teknik Pengamanan Kawasan Hutan,
Diklat Pembentukan Polhut. Balai Diklat Kehutanan Makassar, Sulawesi
Selatan.
*) Materi disampaikan pada Pembinaan MMP Balai Besar KSDA Sul-Sel pada
Hari Kamis, 3 September 2015.
**) Widyaiswara Madya pada Balai Diklat Kehutanan Makassar.