Tesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
1. STRATEGI PENANGGULANGAN
GANGGUAN HUTAN DI KABUPATEN SINJAI
STRATEGY OF COPING WITH THE FOREST PROBLEMS
IN SINJAI DISTRICT
SUDIRMAN SULTAN
PROGRAM STUDI SISTEM-SISTEM PERTANIAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
3. STRATEGI PENANGGULANGAN
GANGGUAN HUTAN DI KABUPATEN SINJAI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Sistem-Sistem Pertanian
Disusun dan diajukan oleh
SUDIRMAN SULTAN
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
4. PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sudirman Sultan
Nomor Pokok : P0102208501
Program Studi : Sistem-Sistem Pertanian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbutki atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, September 2010
Yang menyatakan
Sudirman Sultan
5. PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah, kasih sayang dan perkenaan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan segala tugas dan kewajiban selama
perkuliahan serta dapat menyelesaikan tulisan ini. Judul tesis ini adalah
“Strategi Penanggulangan Gangguan di Kabupaten Sinjai”. Tesis ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan
penanggulangan gangguan hutan di Kabupaten Sinjai.
Rampungnya tulisan ini berkat adanya bimbingan, masukan,
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal
termaksud maka penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Isteriku tercinta Nasrawati Amir, Anakku tercinta Fadhila Amalia
Sudirman dan Faiqal Ahmad An-Naufal Sudirman atas segala
bantuannya berupa doa, semangat, dan dorongan moril bagi penulis.
2. Prof.Dr.Ir. H. A. Mappatoba Sila, M.Sc. dan Prof. Dr.Ir. Muh.
Restu,MP. selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian
tesis ini.
3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Sistem-Sistem Pertanian
dan Ketua Konsentrasi Studi Kehutanan Universitas Hasanuddin
beserta staf pengajar dan staf pegawai yang telah memberikan
sumbangsih yang sangat besar bagi penulis dalam menyelesaikan
studi di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
4. Pemerintah Kabupaten Sinjai beserta stafnya, Kepala Dinas
Perkebunan dan Kehutanan beserta stafnya, Koordinator Penyuluh
Kabupaten Sinjai dan segenap masyarakat di lokasi penelitian atas
iv
iv
6. bantuan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan masukan
dalam penelitian ini.
5. Ir. Bambang Mulyonohadi,M.Si selaku Kepala Balai Diklat Kehutanan
Makassar dan Ir. Anhar,M.Pd selaku Kepala Seksi Penyelenggaraan
Diklat yang terus memberikan semangat dan dorongan dalam
penyelesaian tesis ini.
6. Ayahanda Alm Sultan Dg Gappa dan ibunda Hj. Masnawintang Dg
Sinto , saudaraku tercinta : Sumarni Sultan, S.Pi dan Sudarni Sultan,
SE. atas doa, kasih sayang, cinta dan dukungannya sehingga penulis
dapat mengikuti pendidikan.
7. Segenap teman-teman mahasiswa Pascasarjana Universitas
Hasanuddin khususnya mahasiswa Program Studi Sistem-Sistem
Pertanian Konsentrasi Studi Kehutanan yang telah membantu penulis
selama mengikuti pendidikan.
8. Segenap teman-teman Widyaiswara Balai Diklat Kehutanan Makassar
Ir. Najamuddin Saleh, M.Sc., Ir. A. Muh. Rafii, MP. dan Pemilu Arman
Labahi, SP. M.Si., MAP. atas dukungan doa yang begitu berharga bagi
penulis.
9. Syamsuar, S.Hut., MM. Dan Nawir, SP. Yang banyak membantu
selama pengumpulan data di lokasi penelitian.
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi kepentingan umat
manusia khususnya dalam menjaga hutan tetap lestari. Akhirnya
penulis mohon maaf atas segala kekurangan tulisan ini, oleh karena itu
saran dan kritik yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan
guna penyempurnaannya.
Makassar, September 2010
v
v
8. ABSTRAK
SUDIRMAN SULTAN. Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten
Sinjai (dibimbing oleh A.Mappatoba Sila dan Muh. Restu ).
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui permasalahan penanggulangan
gangguan hutan di Kabupaten Sinjai. (2) merumuskan strategi penanggulangan
gangguan hutan di Kabupaten Sinjai.
Teknik pengumpulan data berupa kuisioner, wawancara mendalam, dan Fokus
Grup Discussion (FGD) untuk memperoleh data yang relevan dan studi dokumen
untuk melengkapi data primer. Data primer diperoleh melalui kuesioner dan
wawancara mendalam (in-depth interview) dengan Responden yang dipilih secara
purposive sampling, serta Fokus Grup Discussion (FGD). Data sekunder diperoleh
dari penelusuran laporan atau dokumen mengenai jenis gangguan hutan dan
pelaksanaan penanggulangan gangguan hutan di Kabupaten Sinjai. Hasil
pengumpulan data dianalisis dengan analisis deskriptif dan AHP (Analytical Hyrarchi
Process).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa permasalahan penanggulangan
gangguan hutan di Kabupaten Sinjai adalah telah dibiarkannya masyarakat bermukim
dan berkebun sejak lama di dalam kawasan hutan, tidak tersedianya anggaran
pengamanan hutan di unit wilayah, kurangnya koordinasi antara mitra instansi terkait
dan ketidakseragaman dalam melakukan penanganan gangguan hutan. Prioritas
strategi penanggulangan gangguan perambahan hutan di Kabupaten Sinjai meliputi
strategi optimalisasi penegakan hukum, peningkatan fungsi dan peran stakeholder,
penatabatasan kawasan hutan partisipatif, program pemberdayaan masyarakat di luar
dan di dalam kawasan hutan.
vi
9. ABSTRACT
Strategies to prevent forest disturbance in sinjai regency (supervised by A.
Mappatoba Sila and Muh. Restu).
This research had a purpose to (1) knew the problem of the control of the
disturbance of the forest in the Sinjai Regency. (2) formulated strategies to prevent
forest disturbance in the Sinjai Regency.
Data collection techniques such as questionnaires, interviews, and Focus
Group Discussion (FGD) to obtain relevant data and documentation to supplement
the primary data. The primary data obtained through questionnaires and interviews
(in-depth interviews) with selected respondents in a purposive sampling, as well as
Focus Group Discussion (FGD). Secondary data obtained from report investigation or
the document concerning the forest disturbance kind and the implementation to
prevent forest disturbance in Sinjai Regency. Results of data collection were analyzed
with descriptive analysis and AHP (Analytical Hyrarchi Process).
Results of this research indicate that the problem to prevent disturbance forest
in the Sinjai Regency was to be allowed by him the community had settled and
gardened since long before in the forest area, forest security budget unavailability in
the unit area, lack of coordination between relevant agencies and partners in making
the handling of certain cases of forest disturbances. The strategy priorities of forest
encroachment in Sinjai Regency include the optimization strategy of law
enforcement, the increase in the function and the role stakeholder, Structuring
boundary the participatory forest, the empowerment program of the community
outside and inside the forest area.
vii
10. DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA …………………………………………………………………. iv
ABSTRAK …………………………………………………………………. vi
ABSTRACT ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… viii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiii
I. PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ………………………………………………….
B. Rumusan Masalah …..…….……………………………………
C. Tujuan Penelitian..... …...……………………………………….
D. Kegunaan Penelitian ……..........................…………………
1
3
4
4
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. 5
A. Hutan .......................... …………………………………………
B. Jenis-Jenis Gangguan Hutan ....……….. …………………….
C. Penanggulangan Gangguan Hutan .....................…………..
1. Perlindungan Hutan ...................…………………………
2. Pengamanan Hutan ......................................................
D. Focus Group Discussion (FGD) …. ………………………….
E. Analisis Hirarki Proses …….……………………………………
5
7
9
9
19
23
25
viii
11. F. Kerangka Konseptual …..…….. …………………………….…
G. Defenisi Operasional …………………………………………...
29
30
III. METODE PENELITIAN …………………………………………… 33
A. Rancangan Penelitian ……… …………………………………
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………….
C. Populasi dan Teknik Sampel ………………………………..
D. Variabel Penelitian ……………………………………………..
E. Teknik Pengumpulan Data …………………………………….
F. Analisis Data ……………………………………………………
33
33
33
34
35
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. …………………………………… 43
A. Hasil …………………… ...........................……………………
1. Jenis Gangguan Hutan ……………………………………..
2. Program Penanggulangan Gangguan Hutan …………….
a. Preventif …………………………………………………
b. Refresif ………………………………………………….
B. Pembahasan …………………………...…………………….…
1. Identifikasi Gangguan Hutan yang Dominan ....................
2. Permasalahan Penanggulangan Gangguan Hutan ........
3. Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan ..................
a. Aspek Kawasan Hutan ..........................................
b. Aspek Teknis ............ ...........................................
c. Aspek Sosial Budaya ...........................................
4. Sintesis Strategi Prioritas ...............................................
43
44
45
45
48
50
50
53
58
60
62
64
67
ix
12. V. KESIMPULAN DAN SARAN …………………….……………… 79
A. Kesimpulan … …………………………….……………………
B. Saran……….………………………………………………….…
79
80
DAFTAR PUSTAKA ..……………………………………………………. 81
LAMPIRAN ………………………………………………………………. 84
x
13. DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Skala Banding Secara Berpasangan dalam AHP ..... 28
2. Persentase Luas Areal Kawasan Hutan Yang
Dirambah ........................................................... 44
3. Jumlah Tenaga Pengamanan Hutan di Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Sinjai ....…..................................................... 46
4. Penanganan Kejadian di Beberapa Desa di
Kabupaten Sinjai .......................................... 56
5. Hasil Penilaian Setiap Kriteria dalam Aspek
Kawasan Hutan Beserta Nilai Eigennya ....... 60
6. Hasil Penilaian Setiap Kriteria dalam Aspek Teknis
Beserta Nilai eigen ...................................... 63
7. Hasil Penilaian Setiap Kriteria dalam Aspek Sosial
Budaya Beserta Nilai Eigennya .................... 64
8. Persentase Angkatan Kerja Menurut Tingkat
Pendidikan di Kabupaten Sinjai Tahun 2002
dan 2004 ...................................................... 65
xi
14. DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Konseptual Penelitian Strategi
Penanggulangan Gangguan Hutan Hutan di
Kabupaten Sinjai ............………..……………. 30
2. Model Hirarki Analisis Strategi …………………………. 37
3. Jenis Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai Tahun
2010 ..................………………………………. 43
4. Jenis Gangguan yang Dilaporkan di Kantor Disbunhut
Sinjai ……………………………………………. 49
5. Hasil Penilaian Terhadap Aspek Teknis, Kawasan
Hutan dan Sosial Budaya ............................... 59
6. Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan
dari Aspek Kawasan Hutan............................. 62
7. Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan
dari Aspek Teknis .......................................... 63
8. Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan
dari Aspek Sosial Budaya .............................. 66
9 Sintesis Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan
Hutan ............................................................ 67
xii
15. DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Dokumentasi Jenis-Jenis Gangguan Hutan di
Kabupaten Sinjai.. ……….……………………. 84
2. Dokumentasi Kegiatan Pengambilan Data Primer. …. 88
3. Penyebaran Kawasan Hutan di Kabupaten Sinjai ...... 91
4. Kuesioner Penelitian (Petugas Kehutanan) ................ 92
5. Jenis Gangguan Hutan di Wilayah Kerja Responden
Petugas Kehutanan ...................................... 96
6. Frekuensi Jenis Gangguan Hutan di Wilayah Kerja
Responden ..................................................... 97
7. Pedoman Wawancara (Masyarakat) ......................... 98
8. Panduan FGD ............................................................ 99
9. Laporan Hasil FGD .................................................... 100
10. Kuesioner Perbandingan Berpasangan ..................... 111
11. Responden yang Mengisi Kuesioner untuk Petugas
Kehutanan ...................................................... 122
12. Responden yang Diwawancara .................................. 124
13. Daftar Peserta FGD ..................................................... 125
14. Responden untuk Kuesioner Perbandingan
Berpasangan .................................................. 126
15. Rata-Rata Geometrik Hasil Penilaian Perbandingan
Berpasangan................................................... 127
xiii
16. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma
nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air,
pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam
hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi,
pariwisata dan sebagainya. Karena itu, pemanfaatan dan perlindungan
hutan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan dan
beberapa keputusan Dirjen PHKA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Meskipun pemanfaatan dan perlindungan telah diatur dalam
berbagai aturan perundang-undangan, namun sampai saat ini gangguan
terhadap sumber daya hutan terus berlangsung. Sumber daya ini akan
terancam kelestariannya apabila setiap tahun hutan di Indonesia
mengalami kerusakan akibat berbagai agen perusak hutan baik yang
disebabkan oleh faktor fisik berupa bencana alam, faktor biologis yaitu
hama dan penyakit dan faktor sosial adalah aktivitas manusia.
Gangguan hutan yang paling banyak menyebabkan hutan
terdegradasi akhir-akhir ini adalah bencana alam dan aktivitas manusia.
17. Sampai akhir tahun 2004 terindikasi kawasan hutan yang terdegradasi
seluas 59,17 juta ha. Laju kerusakan hutan antara tahun 2000 sampai
dengan 2004 diperkirakan mencapai 2,8 juta ha/tahun (Departemen
Kehutanan, 2006b).
Banyak usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk
menanggulangi permasalahan gangguan hutan namun gangguan hutan
hingga saat ini belum dapat diatasi dengan baik. Ini dikarenakan
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pengamanan melalui
berbagai operasi pengamanan baik yang bersifat preventif maupun
represif. Operasi pengamanan preventif dilakukan utamanya melalui
kegiatan patroli pengamanan. Sedangkan kegiatan-kegiatan pengamanan
represif dilakukan melalui operasi reguler dan operasi gabungan dengan
melibatkan anggota Polhut, Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC),
Penyidik PNS (PPNS) dan anggota Kepolisian.
Dalam kurun waktu tahun 2005-2008, secara menyeluruh di
Indonesia telah dilakukan penyidikan dan pemberkasan lengkap sebanyak
3.423 kasus atas tindakan illegal logging, perambahan, perdagangan
illegal tumbuhan dan satwa liar (TSL), kebakaran, dan penambangan
illegal, diantaranya sebanyak 1.802 kasus telah dilimpahkan kepada
pengadilan dengan status berkas lengkap (P.21). Sedangkan vonis
pengadilan telah dijatuhkan untuk sebanyak 970 kasus. Khusus
penanganan kasus illegal logging, dari tahun 2005–2009 terdapat
sebanyak 3.083 kasus, diantaranya 1.491 kasus sudah berstatus berkas
2
18. lengkap (P. 21) dan telah dilimpahkan ke pengadilan. Sedangkan yang
telah mendapatkan penjatuhan vonis pengadilan adalah sebanyak 578
kasus (Kementerian Kehutanan, 2010).
Hutan di Kabupaten Sinjai juga telah mengalami kerusakan akibat
berbagai jenis gangguan hutan seperti tanah longsor, pencurian hasil
hutan, perambahan dan jenis gangguan hutan lainnya. Untuk mencegah
semakin meluasnya kerusakan hutan tersebut, sejak tahun 2005 – 2009
Pemerintah Kabupaten Sinjai telah merekrut tenaga pengamanan hutan
untuk melaksanakan tugas perlindungan dan pengamanan hutan. Tenaga
pengamanan hutan tersebut telah ditugaskan di berbagai wilayah, namun
gangguan hutan masih terus terjadi.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian
mengenai penanggulangan gangguan hutan di Kabupaten Sinjai, yang
akan memberikan strategi penanggulangan gangguan hutan yang
mencegah meningkat dan meluasnya gangguan tersebut yang berakibat
meningkatnya kerusakan hutan di Kabupaten Sinjai.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa permasalahan penanggulangan gangguan hutan di Kabupaten
Sinjai ?
2. Bagaimana rumusan strategi penanggulangan gangguan hutan di
Kabupaten Sinjai?
3
19. C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan adalah :
1. Untuk mengetahui permasalahan penanggulangan gangguan hutan di
Kabupaten Sinjai.
2. Untuk merumuskan strategi penanggulangan gangguan hutan di
Kabupaten Sinjai.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan rekomendasi untuk penanggulangan gangguan hutan
di Kabupaten Sinjai, sehingga laju kerusakan hutan di wilayah kerja
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai dapat
diminimalkan.
2. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk
penelitian berikutnya mengenai perlindungan dan pengamanan hutan.
4
20. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk di-pertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
Sampai dengan tahun 2005, pemerintah telah menetapkan
kawasan hutan seluas 126,8 juta ha dengan fungsi konservasi (23,2 juta
ha), lindung (32,4 juta ha), produksi terbatas (21,6 juta ha), produksi (35,6
juta ha) dan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha), (Departemen
Kehutanan, 2006a). Sumardi dan Widyastuti (2004) menuliskan bahwa
dari angka resmi luasan kawasan hutan, luas hutan yang sebenarnya ada
hanya sekitar 75% dari luas kawasan hutan. Hutan banyak mengalami
kerusakan sehingga luasnya pun mengalami penyusutan dengan laju
yang sangat tinggi (Departemen Kehutanan, 2006b).
Laju kerusakan hutan selama 12 tahun (periode 1985 - 1997)
untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mencapai rata-rata 1,6
juta ha per tahun, bahkan pada periode 1997 – 2000 deforestasi di lima
21. pulau besar mencapai rata-rata sebesar 2,83 juta ha per tahun, kerusakan
ini termasuk kerusakan hutan akibat kebakaran hutan pada tahun 1997 –
1998 seluas 9,7 juta ha. Hal ini telah menempatkan kegiatan rehabilitasi
dan konservasi kawasan hutan sebagai sasaran strategis pembangunan
kehutanan kedepan (Departemen Kehutanan, 2006b).
Laju kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia ini akan
mengancam terjadinya penurunan keanekaragam hayati, padahal
Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi, atau menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Brazil
dan Columbia. Hal ini tercermin dalam jumlah keanekaragaman hayati
yang dimiliki hutan Indonesia antara lain ; mamalia 515 jenis (12 % dari
jenis mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3 % dari jenis reptilia dunia),
burung 1.531 jenis (17 % jenis burung dunia), amphibi 270 jenis, binatang
tak bertulang 2.827 jenis, dan tumbuhan 38.000 jenis (IBSAP, 2003).
Dalam rangka mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman
hayatinya, sampai dengan tahun 2006 Pemerintah telah menetapkan
kawasan konservasi daratan dan perairan yaitu : 50 unit Taman Nasional
(TN), 124 unit Taman Wisata Alam (TWA), 21 unit Taman Hutan Raya
(TAHURA), 14 unit Taman Buru (TB), 249 unit Cagar Alam (CA), dan 77
unit Suaka Margasatwa (SM) (Departemen Kehutanan, 2006a).
6
22. B. Jenis-Jenis Gangguan Hutan
Mappatoba dan Nuraeni (2009) membagi faktor-faktor prenyebab
gangguan hutan dalam 3 bagian, yaitu faktor fisik, biologis dan sosial.
Perhatikan skema berikut ini :
1. Faktor-faktor Fisik, yaitu : api, angin, air, vulkanis, Petir dll.
2. Faktor-faktor Bilogis, yaitu : hama dan penyakit
3. Faktor-faktor Sosial, yaitu : Kebakaran hutan, perladangan berpindah,
penggembalaan, penebangan liar dan pencurian kayu.
Tiap tipe perusak tersebut diatas dapat dianggap penting karena masing-
masing mempunyai potensi untuk membinasakan hutan. Dengan
kenyataan tersebut maka setiap insan rimbawan harus menyadari bahwa
untuk perlindungan yang baik maka diperlukan keseimbangan alamnya.
Sumardi dan Widyastuti (2004) menggolongkan penyebab
kerusakan hutan kedalam enam kelompok, yaitu :
1. patogen (penyebab penyakit),
2. serangga dan hewan hama,
3. faktor lingkungan abiotik,
4. tumbuhan pengganggu,
5. kebakaran,
6. satwa liar dan penggembalaan ternak.
Enam kelompok ini disederhanakan menjadi kelompok biotik dan abiotik.
Kelompok biotik biasa juga disebut organisme pengganggu tanaman
(OPT) terdiri dari patogen, serangga dan hewan hama, tumbuhan
7
23. pengganggu dan satwa liar termasuk ternak, sedangkan kelompok abiotik
adalah faktor lingkungan abiotik dan kebakaran.
Selama tahun 2006, pada kawasan hutan di Indonesia telah
tercatat berbagai gangguan yang mengancam eksistensi dan kondisi
kawasan hutan. Gangguan berupa penyerobotan kawasan hutan oleh
masyarakat mencapai luasan 44.668,87 hektar, sedangkan gangguan
terhadap tegakan hutan berupa penebangan ilegal diperkirakan telah
mengakibatkan kehilangan kayu ±7.420,64 M 3 kayu bulat (PHKA, 2006).
Berdasarkan intensitas gangguan, Purwanto (1995) membedakan
tipe kerusakan hutan yaitu:
1. Kerusakan hutan intensitas ringan, yang diakibatkan oleh tumbangnya
pohon karena sambaran petir, tanah longsor, kematian secara alami.
2. Kerusakan hutan menengah, sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan
eksploitasi hutan dengan sistem tebang pilih, kebakaran hutan dan
perladangan berpindah.
3. Kerusakan hutan berat, yang diakibatkan oleh eksploitasi dengan
sistem tebang habis, perladangan berpindah non tradisional,
konservasi hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman,
perkebunan, hutan, tanaman industri, jenis tanaman cepat tumbuh dan
sebagainya.
8
24. C. Penanggulangan Gangguan Hutan
1. Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan
membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, bencana alam,
hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,
masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan
(Departemen Kehutanan, 2004).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang
perlindungan hutan dijelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan
hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi
tercapai secara optimal. Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi :
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama serta penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah
pencegahan awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif
daripada memusnahkan perusak setelah menyerang. Dalam tahun-tahun
9
25. terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem yang lebih
penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas. Tetapi
hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan ide ini melalui sistem
silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang dianggap
sudah cukup menguntungkan. Pencegahan melalui aplikasi manajemen
dan silvikultur memerlukan waktu panjang, tetapi hasilnya akan lebih
abadi dan lebih murah dibandingkan metode pemberantasan secara
langsung (Mappatoba dan Nuraeni, 2009).
Perlindungan hutan tidak hanya menghadapi bagaimana
mengatasi kerusakan pada saat terjadi melainkan lebih diarahkan untuk
mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang potensil,
agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga kerusakan hutan
dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab potensil
(Sumardi dan Widyastuti , 2004). Saat ini, masalah perlindungan dan
pengamanan hutan adalah masalah yang cukup kompleks serta dinamis.
Dengan adanya perkembangan diberbagai bidang dan perubahan
dinamika di lapangan, maka terjadi pula perkembangan permasalahan
perlindungan dan pengamanan hutan, mulai dari perladangan berpindah
dan perladangan liar/perambahan yang dilakukan oleh warga masyarakat
yang sederhana, sampai pencurian kayu dan penyelundupan satwa
(Mappatoba dan Nuraeni , 2009).
Fenomena perlindungan hutan ini sebenarnya potensial menjadi
sumber kerugian bagi kehutanan, hanya saja selama ini sangat langkah
10
26. atau tidak ada data yang mampu menunjukkan besarnya angka kerugian
tersebut. Pencurian hasil hutan yang selama ini mampu dikemukakan
data-data kerugiannya secara kuantitatif akhirnya menjadi kunci
pengambilan keputusan di dalam melaksanakan kebijaksanaan di bidang
perlindungan hutan, padahal pencurian ini sebenarnya adalah
permasalahan sosial ekonomi dan bukan permasalahan teknis
perlindungan hutan (Achmad Sulthoni, 2002).
Sumardi dan Widyastuti (2004) mengemukakan bahwa tindakan
pengelolaan dan pencegahan dalam konsep perlindungan hutan didekati
melalui :
a. Pengambilan keputusan terhadap langkah atau tindakan untuk
mencegah agar penyebab kerusakan tidak berkembang dan tidak
menimbulkan kerusakan yang serius.
b. Pengembangan suatu bentuk pengelolaan hutan yang ”hati-hati” dan
berwawasan masa depan.
Jadi, asas perlindungan hutan mengutamakan pencegahan awal
terjadinya atau perkembangan suatu kerusakan hutan melalui
perencanaan silvikultur dan pengelolaan yang baik Hal ini akan lebih
efektif daripada pengendalian langsung setelah kerusakan yang besar
terjadi. Dalam prinsip perlindungan hutan, tindakan proaktif
dikedepankankan dan tindakan reaktif sedapat mungkin dihindari
(Sumardi dan Widyastuti , 2004).
11
27. Dalam Sumardi dan Widyastuti (2004) merumuskan asas strategi
perlindungan hutan yang dapat digunakan untuk mewujudkan pengelolaan
hutan yang lestari, yaitu :
a. Memahami interaksi hutan dengan agens perusak sehingga :
1). Dapat mengenali faktor-faktor yang menyebabkan masalah dalam
perlindungan hutan.
2). Dapat mengenali penyebab kerusakan primer.
b. Dapat menganalisis dan mengambil keputusan secara meneyeluruh
dan tidak hanya terbatas pada penyebab kerusakan yang paling serius
saja.
c. Selalu melihat perlindungan hutan sebagai tindakan yang tidak
terpisah dari silvikultur.
d. Sadar bahwa perlindungan hutan semakin penting dan pendekatannya
tidak hanya terbatas pada bidang tanaman tapi termasuk hasil
hutannya.
Strategi perlindungan hutan selain menjamin kelestarian pengelolaan juga
dapat menjamin pengelolaan hutan beresiko rendah. Pengembangan
strategi perlindungan hutan seringkali dihadapkan pada banyak kendala
diantaranya :
a. Nilai hutan pada umumnya lebih rendah dibanding pertanaman jenis
perkebunan atau pertanian.
Secara ekonomi, perhitungan hasil hutan per hektar per tahun masih
di bawah sektor perkebunan dan pertanian. Saat terjadi kerusakan,
12
28. tindakan yang akan dilakukan harus mempertimbangkan nilai
ekonominya.
b. Luasan yang besar dan bervariasi.
Luasnya hamparan dan variasi kondisi hutan merupakan sumber
variasi faktor-faktor dominan yang berperanan dalam perkembangan
hutan. Perbedaan yang mencolok dapat menimbulkan konsekuensi
perbedaan pilihan perlakuan perlindungan hutan yang dilaksanakan.
c. Lokasi dan persebaran tidak mudah terjangkau.
Lokasi dan persebaran hutan seringkali menjadi kendala, terutama
bila kawasan hutan beada pada daerah dengan konfigurasi tofografi
yang berbukit curam. Bila perlakuan perlindungan hutan dilaksanakan
secara langsung, misalnya pemadaman kebakaran, maka lokasi yang
sulit dijangkau akan merupakan faktor kendala yang sangat berarti.
d. Umurnya panjang
Hutan terbentuk dan berkembang dalam kurung waktu yang lama
dalam proses yang disebut suksesi. Lama waktu pembentukan dan
perkembangan hutan sangat bervariasi tergantung dari tipe hutan.
Hutan alam dikenal terbentuk dan berkembang dalam kurung waktu
yang sangat lama, sementara hutan tanaman dapat berotasi dalam
waktu relatif pendek misalnya 5 – 15 tahun.
Perlindungan hutan merupakan prosedur yang sesuai dan cocok
dengan sistem perencanaan pengelolaan hutan. Ini berarti sumber-
sumber kerusakan potensial sedapat mungkin dikenali dan dievaluasi
13
29. sebelum kerusakan besar terjadi. Dengan asas seperti ini, penyebab
kerusakan yang mengancam hutan dapat ditekan pada waktunya dengan
hasil yang efektif. Karena terkadang penyebab kerusakan hutan memicu
penyebab-penyebab kerusakan yang lain, sehingga perlu mengetahui
penyebab primernya dan menyusun rencana tindakan perlindungan untuk
menghindari atau menekan kerugian akiban kerusakan tersebut (Sumardi
dan Widyastuti , 2004).
Perlindungan hutan dalam menekan populasi perusak
memerlukan keahlian khusus untuk mengetahui gambaran dari setiap
penyebab kerusakan sehingga dapat memilih metode pemberantasan
yang sesuai. Seorang rimbawan, walaupun bukan spesialis perlindungan
hutan tetapi harus mengetahui problema-problema perlindungan hutan
yang dianggap penting, harus memiliki kecakapan untuk mengatasi
penyebab kerusakan hutan, harus mengerti prinsip-prinsip pengaturan
pemberantasan musuh-musuh hutan apabila ditemukan di lapangan dan
pada akhirnya dapat mengorganisir dan melaksanakan tindakan
pemberantasan yang diperlukan (Mappatoba dan Nuraeni, 2009).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang
perlindungan hutan dijelaskan bahwa untuk mencegah, membatasi dan
mempertahankan serta menjaga hutan dari penyebab kerusakan hutan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia, maka Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan masyarakat :
14
30. a. melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan
di bidang kehutanan;
b. melakukan inventarisasi permasalahan;
c. mendorong peningkatan produktivitas masyarakat;
d. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat;
e. meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
hutan;
f. melakukan kerjasama dengan pemegang hak atau izin;
g. meningkatkan efektifitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan;
h. mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat;
i. meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan
hutan;
j. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan
keamanan hutan; atau
k. mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum.
Sebagaimana dilaporkan oleh pemerintah daerah/UPT, kebakaran
melanda kawasan hutan seluas ± 4.241,59 Ha. Namun demikian, karena
adanya kendala dalam memperkirakan luasan kawasan yang terbakar,
diyakini bahwa angka tersebut lebih kecil dari kenyataan lapangan yang
sebenarnya. Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, antara lain
dengan mendeteksi titik api, dimana pada tahun 2006 dideteksi sebanyak
146.264 titik api (PHKA, 2006).
15
31. Pencegahan merupakan sistem perlindungan yang murah dan
efektif dan dilaksanakan sebagai usaha untuk menghalang-halangi satu
diantara banyak penyebab kerusakan dari peledakan populasinya.
Pencegahan dilaksanakan melalui program jangka panjang secara terus
menerus dengan manajemen yang teliti (Mappatoba dan Nuraeni, 2009).
Penyelesaian masalah perambahan tidak dapat diselesaikan
secara sendiri-sendiri, sporadis, tidak berkelanjutan, namun harus
diselesaikan oleh seluruh pihak yang berkepentingan baik dari
pemerintahan, swasta, Lembaga Penyangga, Masyarakat dan Hutan itu
sendiri dengan cara kolaboratif. Ketiga aspek sinergitas dalam
pengelolaan kawasan konservasi yaitu stakeholders selaku subyek, apa
yang menjadi obyek serta metoda pendekatan dikemas dalam suatu
bingkai pengelolaan kawasan konservasi dimana masing-masing pihak
melakukan aktivitas dan memberikan konstribusinya sesuai perannya
masing-masing untuk mencapai sasaran/output yaitu kelestarian kawasan
serta kesejahteraan masyarakat. Dalam jangka pendek pendekatan
tersebut dapat membuka jalan kearah pengelolaan yang lebih baik. Pada
akhirnya bila kawasan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat
meningkat diharapkan bisa menekan degradasi hutan dan ketergantungan
masyarakat terhadap kawasan konservasi (Andono, 2003).
Upaya lain yang dilaksanakan untuk melindungi kawasan hutan,
Departemen Kehutanan telah melaksanakan berbagai kegiatan yang
bersifat pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta upaya
16
32. penegakan hukum (PHKA, 2006). Jika cara-cara mengurus kawasan
hutan negara yang selama ini diterapkan kurang berhasil atau malah
gagal, maka diperlukan pendekatan baru yaitu mengalihkan pengelolaan
areal-areal kawasan hutan yang digarap penduduk dan yang tidak lagi
berhutan menjadi sistem usahatani produktif dan lestari masyarakat
setempat. Diharapkan pengalihan areal kawasan hutan ini didasarkan
pada pertimbangan : lahan diserahkan kepada penduduk yang memang
memerlukan dan layak menerimanya, bukan tuan tanah atau pengusaha
bermodal kuat (Kusworo, 2000).
Mappatoba dan Nuraeni (2009) mengemukakan ada beberapa
rekomendasi yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan
penanggulangan kerusakan hutan, yaitu:
a. Membangun suatu komitmen bersama antara pemerintah dengan
masyarakat untuk memerangi sektor kehutanan. Untuk menumbuhkan
komitmen bersama perlu dilakukan koordinasi antara departemen
terkait dan pemerintah daerah yang mempunyai kepentingan yang
besar terhadap kelestarian hutan, sehingga segala permasalahan
sektor ini dapat dipecahkan bersama.
b. Penegakan hukum terhadap kejahatan di sektor kehutanan harus
dilaksanakan dengan tugas dan tuntas. Memperhatikan kerusakan
hutan Indonesia bukan lagi menjadi permasalahan atau beban Negara
Indonesia semata, namun sudah menjadi permasalahan internasional.
Untuk itu perlu kerjasama internasional terutama negara-negara yang
17
33. banyak terlibat langsung seperti dalam hal penyelundupan kayu ilegal.
Oknum penegak hukum harus meningkatkan profesionalismenya
dalam menyelesaikan segala bentuk kejahatan di sektor ini dan bukan
sebaliknya menjadi "backing" bagi cukong kayu.
c. Memutuskan mata rantai proses terjadinya illegal logging dan
pencurian hasil hutan.
d. Melaksanakan rehabilitasi hutan yang dapat dipertanggungjawabkan.
e. Melakukan audit lingkungan. Untuk mengetahui besarnya kerugian
yang diakibatkan oleh kegiatan manusia perusak hutan, maka audit
lingkungan sudah saatnya harus dilakukan. Hasil audit lingkungan
diharapkan dapat digunakan antara lain untuk :
1). Dapat menjadi bahan penilaian kinerja keberhasilan tugas
pelayanan dan pembangunan dari pemerintah dalam periode
kekuasaannya.
2). Mengetahui kerugian kerusakan hutan yang dihitung dalam bentuk
penerimaan negara, kerusakan flora dan fauna yang musnah di
dalamnya.
3). Bahan perencanaan pemulihan kerusakan sumber daya alam hutan,
tanah dan air bersama lingkungannya dan rekomendasi untuk
pengambilan langkah-langkah penanggulangan kerusakannya.
18
34. 2. Pengamanan Hutan
Pengamanan hutan adalah segala kegiatan, upaya dan usaha
yang dilaksanakan oleh aparat kehutanan dan dukungan instansi terkait
dalam rangka mengamankan hutan dan hasil hutan secara terencana,
terus menerus dengan prinsip berdaya guna dan berhasil guna. Secara
Fungsional Pengamanan Hutan dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas)
Pengamanan Hutan yang berkedudukan di Dinas-dinas Propinsi,
Kabupaten/Kota yang menangani bidang Kehutanan, dan UPT
Departemen Kehutanan (Dephutbun, 1998). Sedangkan Pengamanan
Hutan di areal hutan yang telah dibebani Hak dilaksanakan oleh Satuan
Pengamanan Hutan pemegang hak tersebut, yang dikenal dengan
sebutan Satpam Pengusahaan Hutan (Departemen Kehutanan, 1995).
Prosedur pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan secara
fungsional adalah:
1. Perencanaan
Perencanaan dalam bentuk program kerja operasional dibuat secara
berjenjang. Perencanaan kegiatan berisi perkiraan hal-hal yang
dibutuhkan seperti personil, logistik/transportasi, serta penentuan cara
bertindak (Penyuluhan, preemtif, preventif dan refresif).
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan meliputi :
a. Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan fungsional dalam
bentuk :
19
35. 1). Kegiatan deteksi yaitu membuat perkiraan keadaan atas
kemungkinan terjadinya gangguan terhadap hutan dan hasil
hutan dengan dilengkapi data pelaku pelanggar hukum, tokoh
masyarakat disekitar hutan, ploting peta kerawanan dan
penggalangan yang berencana dan terus menerus.
2). Kegiatan kesamaptaan, yaitu pelaksanaan tugas yang bersifat
rutin dan selektif, dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan
atas hutan dan hasil hutan. Kegiatan Kesamaptaan terdiri dari :
Patroli berlanjut, rutin dan selektif.
Penjagaan di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Pengawalan hal-hal tertentu.
Pemeriksaan surat-surat atau dokumen yang berkaitan
dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan
atau wilayah sekitar hutan (kring)
3). Kegiatan Bimbingan Masyarakat yang dilaksanakan dalam
bentuk :
Penyuluhan kepada masyarakat.
Program Bina Desa, seperti perbaikan pengairan, bantuan
ternak, bantuan bibit pohon, sarana ibadah, tumpang sari
dan sebagainya.
4). Kegiatan refresif atau penegakan hukum dengan mengamankan
tempat kejadian (tersangka dan barang bukti), membuat dan
menandatangani laporan kejadian, dan selanjutnya segera
20
36. melaporkan/menyerahkan masalah tersebut kepada Penyidik
PNS kehutanan atau Penyidik Polri.
b. Pelaksanaan kegiatan operasi pengamanan hutan dalam bentuk :
1). Operasi Rutin
Operasi rutin adalah kegiatan satuan tugas wilayah dan atau
satuan tugas resort Polisi Kehutanan yang terus menerus
dilaksanakan dengan tujuan :
Mencegah timbulnya gangguan terhadap hutan dan hasil
hutan
Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang
perlunya menjaga kelestarian hutan.
Pendataan atau pembuatan peta kerawanan hutan.
Mengupayakan penyelesaian kasus-kasus bidang
kehutanan.
Sifat kegiatan ini adalah : dilaksanakan secara terus
menerus sesuai jadwal dan secara selektif, dibuatkan jurnal
kegiatan, setiap kasus-kasus kecil diselesaikan sampai
tuntas, lebih menonjolkan fungsi penyuluhan dan tindakan
preventif, serta melaporkan hasil pelaksanaan tugas secara
periodik kepada pimpinan satu tingkat diatasnya.
2). Operasi Gabungan
Pelaksanaan operasi gabungan didahului dengan persiapan :
21
37. a. Pulahjianta pelaku, jaringan kejadian, modus operandi, otak
atau penggerak, tempat pengumpul dan penadah.
b. Penyusunan personil dan pembagian tugas.
c. Dukungan logistik / dana dan formulir isian hasil operasi.
d. Operasi gabungan dilaksanakan hanya pada tingkat Instansi
Kehutanan Dati II
c. Gelar Operasional
Gelar operasional rutin diadakan setiap bulan pada tingkat
Instansi Kehutanan Dati II dan triwulan pada tingkat Instansi
Kehutanan Dati I, dengan maksud :
1). Saling tukar menukar informasi.
2). Mengadakan gelar perkara untuk kasus pidana kehutanan.
3). Paparan jurnal kejadian pelanggaran
3. Pengawasan dan pengendalian
Pengawasan dan pengendalian dimaksudkan dalam rangka
pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan penerapan peraturan
perundang-undangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
4. Mekanisme Koordinasi
5. Penyelesaian Administrasi
22
38. D. Focus Group Discussion
Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data
yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan
menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok.
Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok
berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan
tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang
salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti
(Afriani, 2009).
Dalam FGD biasanya terdapat suatu topik yang dibahas dan
didiskusikan bersama. Prinsip-prinsip FGD di antaranya:
1. FGD adalah kelompok diskusi bukan wawancara atau obrolan. Ciri
khas metode FGD yang tidak dimiliki oleh metode riset kualitaif lainnya
(wawancara mendalam atau observasi) adalah interaksi! Hidup mati
sebuah FGD terletak pada ciri ini. Tanpa interaksi sebuah FGD
berubah wujud menjadi kelompok wawancara terfokus (FGI-Focus
Group Interview). Hal ini terjadi apabila moderator cenderung selalu
mengkonfirmasi setiap topik satu per satu kepada seluruh peserta
FGD. Semua peserta FGD secara bergilir diminta responnya untuk
setiap topik, sehingga tidak terjadi dinamika kelompok. Komunikasi
hanya berlangsung antara moderator dengan informan A, informan A
ke moderator, lalu moderator ke informan B, informan B ke moderator,
dan seterusnya. Seharusnya yang terjadi adalah moderator lebih
23
39. banyak “diam” dan peserta FGD lebih banyak omong alias “cerewet”.
Kondisi idealnya, Informan A merespon topik yang dilemparkan
moderator, disambar oleh informan B, disanggah oleh informan C,
diklarifikasi oleh informan A, didukung oleh informan D, disanggah oleh
informan E, dan akhirnya ditengahi oleh moderator kembali. Diskusi
seperti itu sangat interaktif, hidup, dinamis!
2. FGD adalah group bukan individu. Prinsip ini masih terkait dengan
prinsip sebelumnya. Agar terjadi dinamika kelompok, moderator harus
memandang para peserta FGD sebagai suatu group, bukan orang per
orang. Selalu melemparkan topik ke “tengah” bukan melulu tembak
langsung ke peserta FGD.
3. FGD adalah diskusi terfokus bukan diskusi bebas. Prinsip ini
melengkapi prinsip pertama di atas. Diingatkan bahwa jangan hanya
mengejar interaksi dan dinamika kelompok, kalau hanya mengejar hal
tersebut diskusi bisa berjalan ngawur. Selama diskusi berlangsung
moderator harus fokus pada tujuan diskusi, sehingga moderator akan
selalu berusaha mengembalikan diskusi ke “jalan yang benar”.
Moderator memang dituntut untuk mencairkan suasana (ice breaking)
agar diskusi tidak berlangsung kaku, namun kadang-kadang proses ice
breaking ini kelamaan, moderator ikut larut dalam “keceriaan”
kelompok, ber ha-ha-hi-hi, dan baru tersadar ketika masih banyak hal
yang belum tergali, sementara para peserta sudah mulai kehilangan
“energi” (Anonim, 2007).
24
40. E. Analisis Hirarki Proses
AHP dikembangkan di Wharton School of Business oleh Thomas
Saaty pada tahun 1970-an. Pada saat itu Saaty merupakan profesor di
Wharton School of Business. Pada tahun 1980, Saaty akhirnya
mempublikasikan karyanya tersebut dalam bukunya yang berjudul
Analytic Hierarchy Process. AHP kemudian menjadi alat yang sering
digunakan dalam pengambilan keputusan karena AHP berdasarkan pada
teori yang merefleksikan cara orang berpikir. Dalam perkembangannya,
AHP dapat digunakan sebagai model alternatif dalam menyelesaikan
berbagai macam masalah, seperti memilih portofolio dan peramalan
(Anonim, 2009).
Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan masalah komplek
yang tidak tenstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya,
serta menata variabel dalam suatu hirarki (tingkatan). Kemudian tingkat
kepentingan tingkat variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang
arti pentingnya secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari
berbagai pertimbangan tersebut kemudian diiakukan sintesa untuk
menetapkan variabel yang memiliki prioritas tentinggi dan berperan untuk
mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Perbedaan antara model AHP
dengan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada jenis
inputnya (Permadi, 1992).
Penggunaan AHP dimulai dengan membuat struktur hirarki atau
jaringan dari permasalahan yang ingin diteliti. Di dalam hirarkiterdapat
25
41. tujuan utama, kriteria-kriteria, sub kriteria-sub kriteria dan alternatif-
alternatif yang akan dibahas. Perbandingan berpasangan diperguna-kan
untuk membentuk hubungan di dalam struktur. Hasil dari perbandingan
berpasangan ini akan membentuk matrik dimana skala rasio diturunkan
dalam bentuk eigenvektor utama atau fungsi-eigen. Matrik tersebut berciri
positif dan berbalikan, yakni aij = 1/ aji (Teknomo K. Dkk., 1992).
Dalam penyelesaian permasalahan dengan AHP, ada beberapa
prinsip dasar yang harus dipahami menurut Saaty (1993), antara lain
1. Decomposisi, setelah didefinisikan maka dilakukan dekompsisi yaitu
memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika
menginginkan hasil yang akurat maka dilakukan pemecahan unsur-
unsur tersebut sampai tidak dapat dipecahkan lagi sehingga didapat
beberapa tingkat dari persoalan tadi.
2. Comparative Judgment, prinsip ini berarti membuat penilian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam
kaitanya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari
AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen.
Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk
perbandingan berpasangan (pairwise comparation).
3. Synthis of Priority, dari setiap matriks pairwise comparation kemudian
dicari eigen vektornya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena
matriks pairwise comparation terdapat suatu tingkat maka untuk
26
42. mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas
lokal. Prosedur melakuan sistesis berbeda menurut bentuk hirarki.
4. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, makna pertama
bahwa obyek-obyek yang serupa dikelompokkan sesuai dengan
keragaan dan relevasinya. Kedua, adalah tingkat hubungan antara
objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
5. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai
dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti
atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9
menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan
dengan yang lainnya. Jika hasil perhitungan menunjukkan nilai
Consisten Ratio (CR) < 0,10 artinya penilaian pada pengisian
kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat
digunakan. Untuk menganalisis data ini digunakan computer dengan
bantuan program expert choice 2000. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada Tabel 1.
27
43. Tabel 1. Skala Banding Secara Berpasangan dalam AHP.
Tingkat
Kepentingan
Keterangan Penjelasan
1 2 3
1 Kedua elemen sama
pentingnya
Dua elemen mem-
punyai pengaruh yang
sama terhadap tujuan
3 Elemen yang satu
sedikit lebih penting
daripada elemen yang
lain.
Pengalaman dan
penilaian sedikit men-
dukung satu elemen
dibandingkan elemen
lainnya.
5
Elemen yang satu
lebih penting daripada
elemen yang lain.
Pengalaman dan
penilaian sangat kuat
mendukung satu
elemen dibandingkan
elemen lainnya.
7 Elemen yang satu jelas
lebih penting daripada
elemen yang lain
Pengalaman dan
penilaian sangat kuat
mendukung satu
elemen dibandingkan
elemen lainnya.
9 Elemen yang satu
mutlak lebih penting
daripada elemen yang
lain
Satu elemen dengan
kuat didukung dan
dominan terlihat dalam
praktek
Bukti yang mendukung
elemen yang satu
terhadap elemen yang
lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi
yang mungkin
menguatkan.
2, 4, 6, 8
Kebalikan
Nilai-nilai antara dua
nilai yang berdekatan
Jika untuk aktivitas i
mendapat satu angka
bila dibandingkan
dengan aktivitas j,
maka j mempunyai
nilai kebalikannya bila
dibandingkan dengan i.
Nilai ini diberikan bila
ada dua kompromi
diantara dua pilihan.
Sumber : Saaty, 1993.
28
44. F. Kerangka Konseptual
Kondisi hutan saat telah mengalami degradasi akibat berbagai
jenis gangguan dari dari faktor fisik, biologis dan sosial. Kondisi ini
semakin diperparah oleh adanya perambahan kawasan hutan, menduduki
kawasan hutan tanpa izin, penebangan liar, kebakaran hutan dan lain-lain
yang sangat serius sebagai akibat kegiatan manusia. Berbagai upaya-
upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai jenis
gangguan tersebut, tetapi hingga saat ini belum dapat diatasi dengan baik.
Permasalahan tersebut mengakibatkan meningkatnya kerusakan hutan
dan peningkatannya akan semakin besar apabila penanganan gangguan
tidak memprioritaskan jenis gangguan yang paling banyak merusak hutan.
Untuk itu perlu dilihat langkah-langkah pemda dalam melakukan
penanganan jenis gangguan hutan yang paling banyak merusak hutan
dan selanjutnya mengidentifikasi permasalahan dalam penanggulangan
gangguan hutan tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan,
selanjutnya merumuskan strategi penanggulangan gangguan hutan
melalui forum FGD. Rumusan strategi tersebut dianalisis dengan
menggunakan AHP guna penentuan prioritas strategi.
29
45. Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian Strategi
Penanggulangan Gangguan Hutan Hutan di Kabupaten
Sinjai.
G. Defenisi Operasional
1. Hutan adalah wilayah hutan lindung dan hutan produksi yang menjadi
kewenangan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
2. Jenis-jenis gangguan hutan adalah faktor-faktor penyebab gangguan
hutan yang meliputi faktor fisik, faktor biologis dan faktor sosial.
HUTAN
GANGGUAN
HUTAN
POTENSI HUTAN
TERDEGRADASI
PERMASALAHAN
PENANGGULANGAN
GANGGUAN HUTAN
FGD
PELAKSANAAN
PENANGGULANGAN
GANGGUAN HUTAN
RUMUSAN STRATEGI
PENANGGULANGAN
GANGGUAN HUTAN
STRATEGI PENANGGULANGAN
GANGGUAN HUTAN
AHP
30
46. 3. Faktor fisik adalah gangguan hutan yang disebabkan oleh daya-daya
alam seperti tanah longsor, banjir, badai, kekeringan dan gempa.
4. Faktor biologi adalah gangguan hutan yang disebabkan oleh hama
dan penyakit.
5. Faktor sosial adalah gangguan hutan yang disebabkan oleh aktivitas
masyarakat.
6. Frekuensi jenis gangguan ditunjukkan dari berapa kali gangguan itu
terjadi selama satu tahun.
7. Intensitas gangguan hutan adalah luas areal hutan yang terganggu
akibat adanya jenis gangguan hutan
8. Kebijakan adalah tindakan/langkah-langkah pemda dalam melakukan
penanganan gangguan hutan.
9. Langkah-langkah pemda adalah jenis kegiatan perlindungan
pengamanan hutan (Pre-emtif, preventif dan refresif) yang
dilaksanakan sehubungan dengan jenis gangguan hutan yang terjadi.
10. Kegiatan Pre-emtif adalah kegiatan yang bersifat pembinaan dan
penyuluhan terhadap masyarakat sebagai upaya menciptakan kondisi
yang kondusif dengan tujuan menumbuhkan peran aktif masyarakat
dalam pengamanan kawasan hutan.
11. Kegiatan Preventif adalah segala kegiatan yang dilaksanakan untuk
mengawasi dan mencegah terjadinya gangguan keamanan kawasan
dan hasil hutan.
31
47. 12. Kegiatan Represif adalah Upaya/kegiatan untuk menindak dan
menghentikan segala perbuatan pelanggaran/kejahatan tindak pidana
kehutanan dalam rangka menegakkan hukum. Situasi dan kondisi
gangguan keamanan hutan telah terjadi dan cenderung terus
berlangsung atau akan meningkat bila tidak dilakukan penindakan
terhadap pelakunya.
32
48. BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian non-
eksperimental, yaitu jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan
survey. Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai proses
pemecahan masalah yang diselidiki dengan melukiskan keadaan
subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-
fakta yang tampak atau bagaimana adanya.
Pelaksanaan metode penelitian deskriptif tidak terbatas
sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi
analisis dan interpretasi tentang data tersebut, selain itu semua yang
dikumpulkan memungkinkan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada wilayah Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sinjai dan waktu penelitian selama 2 (dua) bulan
yaitu dari bulan April sampai dengan Mei 2010.
C. Populasi dan Teknik Sampel
Populasi dalam penelitian adalah semua kawasan hutan negara
yang ada di wilayah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
Sedangkan populasi yang menjadi responden penelitian adalah pegawai
49. Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Kepala Bidang kehutanan, Kepala
Seksi Perlindungan Hutan, Polisi Kehutanan dan Mandor Hutan),
Pemerintah Desa dan masyarakat yang mengetahui jenis-jenis gangguan
hutan yang terjadi dan permasalahan penanggulangan gangguan hutan di
Wilayah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
Teknik sampel yang digunakan adalah teknik non probabilty
sampling atau sampel tidak acak, yaitu unsur populasi yang dijadikan
sebagai sampel telah direncanakan oleh peneliti. Teknik non probability
sampling yang digunakan untuk populasi penelitian adalah purposive
sampling, yaitu kawasan hutan negara yang intensitas kerusakannya
tinggi akibat adanya gangguan hutan oleh aktivitas manusia yang paling
banyak merusak hutan. Sedangkan untuk populasi responden, teknik
sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu responden
dipilih sebagai sampel karena dianggap memiliki informasi yang
dibutuhkan sesuai tujuan penelitian.
D. Variabel Penelitian
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah jenis gangguan
hutan dan permasalahan penanggulangan gangguan hutan. Indikator
yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut adalah :
1. Jenis-jenis gangguan hutan yang ada di kabupaten sinjai.
2. Frekuensi masing-masing jenis gangguan.
3. Intensitas masing-masing jenis gangguan.
4. Kebijakan penanggulangan gangguan hutan.
34
50. E. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan oleh peneliti mencakup data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner dan wawancara
mendalam (in-depth interview) dengan Responden yang dipilih secara
purposive sampling, serta Fokus Grup Discussion (FGD). Data sekunder
diperoleh dari penelusuran laporan atau dokumen mengenai jenis
gangguan hutan dan pelaksanaan penanggulangan gangguan hutan di
Kabupaten Sinjai.
Teknik pengumpulan data berupa kuisioner, wawancara
mendalam, dan Fokus Grup Discussion (FGD) untuk memperoleh data
yang relevan dan studi dokumen untuk melengkapi data primer.
1. Wawancara dengan menggunakan kuesioner dilakukan kepada :
1). Petugas kehutanan.
Petugas kehutanan dipilih sebagai responden berdasarkan
informasi dari pejabat struktural pada Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sinjai.
2). Masyarakat sekitar hutan.
Masyarakat sekitar hutan dipilih sebagai responden berdasarkan
informasi dari petugas kehutanan di Kecamatan Tellulimpoe,
Kecamatan Sinjai Selatan dan Kecamatan Sinjai Borong.
35
51. 2. Studi dokumen.
Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen
laporan yang berkaitan dengan pelaksanaan penanggulangan
gangguan hutan di Kabupaten Sinjai.
3. Focus Group Discussion.
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mendiskusikan
strategi penanggulangan gangguan berdasarkan permasalahan
gangguan hutan. dengan berbagai stakeholder. Peserta FGD terdiri
dari :
Pejabat struktural Perkebunan dan Kehutanan
Polhut dan Mandor Hutan
Penyuluh Kehutanan dan Penyuluh Pertanian
Wakil Instansi Perkebunan
Wakil Polres Sinjai
Wakil Tokoh Masyarakat
4. Kuesioner Perbandingan Berpasangan
Kuesioner perbandingan berpasangan disusun berdasarkan struktur
hirarki berikut ini :
36
52. Gambar 2. Model Hirarki Analisis Strategi
F. Analisis Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan AHP (Analytical Hyrarchi
Process). Tujuan pertama diawali dengan mengidentifikasi jenis-jenis
gangguan hutan yang terjadi di Kabupaten Sinjai dan menentukan jenis
gangguan hutan yang paling banyak merusak hutan serta permasalahan
penanggulangannya, dianalisis dengan analisis statistika deskriptif.
MERUMUSKAN STRATEGI PENANGGULANGAN
GANGGUAN HUTAN
TEKNIS KAWASAN
HUTAN
SOSIAL BUDAYA
Pendekatan/
Program
Sarana dan
Prasarana
Biaya
Tenaga
Tenaga
Status Kawasan Hutan
Kondisi Kawasan Hutan
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Kelembagaan
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Strategi 4
37
TUJUAN
ASPEK
KRITERIA
ALTERNATIF
STRATEGI
Strategi 5
53. Tujuan kedua yakni merumuskan strategi penanggulangan
gangguan hutan di Kabupaten Sinjai berdasarkan hasil FGD. AHP
digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan prioritas strategi
penanggulangan gangguan hutan.
Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Melakukan tabulasi data
Tabulasi data dilakukan berdasarkan frekuensi dan luasan dari masing-
masing jenis gangguan hutan yang terjadi.
2. Mengidentifikasi permasalahan
Mengidentifikasi permasalahan penanggulangan gangguan hutan
berdasarkan potensi sumber daya yang ada dan kegiatan
penanggulangan gangguan hutan yang telah dilaksanakan.
3. Fokus Group Discussion
Mendiskusikan penanggulangan gangguan hutan dan
permasalahannya guna mendapatkan rumusan strategi dalam
penanggulangan gangguan hutan tersebut.
4. Merumuskan strategi penanggulangan gangguan hutan berdasarkan
hasil FGD.
5. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Penentuan prioritas strategi yang akan dilaksanakan dengan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty
(1996) dengan bantuan software Expert Choice 2000 yang
dioperasikan dalam Windows XP. Program Expert Choice 2000 dapat
38
54. mengoptimalkan proses pengambilan keputusan dalam penentuan
skala prioritas dengan cara menstrukturkan masalah dalam bentuk
hirarki.
Langkah-langkah dalam pengambilan keputusan melalui AHP adalah :
1). Penentuan struktur hirarki penanggulangan gangguan hutan. Pada
tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai yaitu merumuskan
priotitas strategi penanggulangan gangguan hutan di Kabupaten
Sinjai. Ada tiga elemen yang mempengaruhi pencapaian tujuan
tersebut yaitu aspek teknis, kawasan hutan dan sosial budaya.
Kriteria pendekatan/program, sarana prasarana, biaya dan
tenaga/sumber daya manusia menjadi sub elemen yang
mempengaruhi elemen aspek teknis. Kriteria status dan kondisi
kawasan hutan menjadi sub elemen yang mempengaruhi elemen
aspek kawasan hutan. Kriteria status dan kondisi kawasan hutan
menjadi sub elemen yang mempengaruhi elemen aspek kawasan
hutan. Kriteria tingkat pendidikan, pekerjaan dan kelembagaan
masyarakat menjadi sub elemen yang mempengaruhi elemen aspek
sosial budaya masyarakat. Berdasarkan struktur hirarki tersebut
dapat diketahui penyebab dan permasalahan penanggulangan
gangguan hutan di Kabupaten Sinjai dan selanjutnya didiskusikan
dalam FGD yang menghasilkan alternatif strategi. Penentuan jenis
elemen-elemen pada struktur setiap hirarki ini berdasarkan tinjauan
literatur.
39
55. 2). Pemilihan alternatif strategi penanggulangan gangguan hutan. Pada
tahap ini ditentukan bobot kepentingan setiap alternative strategi
pada masing-masing aspek yaitu aspek teknis, kawasan hutan dan
sosial budaya terhadap pencapaian tujuan strategi penanggulangan
gangguan hutan yang di representasikan dalam nilai eigenvalue.
Eigenvalue setiap alternatif strategi terhadap pencapaian tujuan
pada hirarki ini dipengaruhi oleh eigenvalue aspek teknis, kawasan
hutan dan sosial budaya yang ditempatkan pada hirarki diatasnya.
Alternatif strategi yang terpilih menjadi strategi prioritas adalah
alternatif strategi dengan nilai eigenvalue tertinggi.
Tahapan pembuatan eigenvalue alternatif strategi pada model hirarki
analisis strategi pada gambar 2 di atas tujuan adalah :
1). Membuat matrik pendapat individu tentang perbandingan tingkat
kepentingan antar elemen pada suatu hirarki terhadap setiap
elemen pada hirarki diatasnya. Jumlah elemen yang menjadi
alternatif strategi pada hirarki ini adalah 5 dan jumlah elemen pada
hirarki diatasnya adalah 3, maka akan ada matrik pendapat individu
berukuran 5 x 5 sebanyak 3 buah untuk setiap pakar. Nilai matrik
pendapat individu mencerminkan perbandingan kepentingan antara
alternative strategi yang satu dengan alternative strategi yang
lainnya pada masing-masing aspek.
2). Membuat matrik pendapat gabungan dengan cara menggabung
matrik pendapat individu para pakar memakai rata-rata geometrik.
40
56. gij = nilai matrik pendapat gabungan perbandingan tingkat
kepentingan alternatif strategi ke-i terhadap aspek ke-j
aij = nilai matrik pendapat individu tentang perbandingan
tingkat kepentingan alternatif strategi ke-i terhadap
aspek ke-j
i = alternatif strategi ke-i(k = 1, 2, …,5)
j = aspek ke-j (k = 1, 2, 3)
k = individu ke-k (k = 1, 2, …,10)
3). Membuat eigenvalue alternatif strategi pada setiap aspek dengan
formula:
Zi = nilai eigenvalue alternatif strategi ke-i terhadap satu
aspek pada hirarki diatasnya.
Gij = nilai matrik pendapat gabungan perbandingan tingkat
kepentingan alternatif strategi ke-i terhadap aspek ke-j
i = alternatif strategi ke-i(k = 1, 2, …,5)
j = aspek ke-j (k = 1, 2, 3)
4). Membuat eigenvalue setiap alternatif strategi pada setiap hirarki
terhadap pencapaian tujuan dengan formula:
41
57. Cvij = nilai eigenvalue alternatif strategi ke-j pada hirarki
ke-i terhadap pencapaian tujuan
Zij(t,i-1) = nilai eigenvalue alternatif strategi ke-j pada hirarki
ke-i terhadap elemen ke t pada hirarki diatasnya (i-
1).
VWt(i-1) = nilai eigenvalue elemen ke-t pada hirarki i-1 terhadap
pencapaian tujuan.
i = hirarki ke-i(k = 1, 2, 3)
j = alternatif strategi ke-j (k = 1, 2, …,5)
t = setiap elemen pada hirarki diatasnya.
42
58. BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Jenis Gangguan Hutan
Berdasarkan analisis data kuesioner terhadap responden yaitu
petugas Polisi Kehutanan yang di tugaskan di wilayah Dinas Perkebunan
dan Kehutanan Kabupaten Sinjai diperoleh berbagai jenis gangguan
hutan, yang disajikan pada Lampiran 5 dan Gambar 3 berikut ini :
Keterangan :
1 = Tanah Longsor 4 = Pencurian HH Kayu
2 = Banjir 5 = Perambahan Hutan
3 = Hama 6 = Penggembalaan Liar
Gambar 3. Jenis Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai Tahun 2010.
Data pada Gambar 3 menunjukkan bahwa 90% responden
menyatakan jenis gangguan perambahan terjadi di wilayah kerjanya dan
59. 50% responden menyatakan jenis gangguan pencurian hasil hutan kayu
terjadi di wilayah kerjanya. Hal ini berarti bahwa secara umum jenis
gangguan perambahan hutan hampir terjadi disemua wilayah kawasan
hutan di Kabupaten Sinjai dan jenis gangguan pencurian hasil hutan kayu
masih terjadi disebagian wilayah kawasan hutan di Kabupaten Sinjai yaitu
di wilayah Kecamatan Sinjai Selatan (Balang Lajange Desa Talle, hutan
Santi Desa Palangka dan Songing), Kecamatan Sinjai Barat (Desa
Terasa), Kecamatan Bulupoddo (Lamattiriattang dan Tompobulu).
Perbandingan luas areal kawasan hutan dengan luas areal
kawasan hutan yang telah mengalami gangguan perambahan hutan di
masing-masing kecamatan di wilayah Kabupaten Sinjai dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Persentase Luas Areal Kawasan Hutan Yang Telah Dirambah.
No. Kecamatan Luas
Kawasan
Hutan (ha)
Luas Areal Yg
Dirambah
(ha)
Persentase
(%)
1. Bulupoddo 2.196 270 12,30
2. Sinjai Selatan 1.883 900 47,80
3. Tellulimpoe 628,875 576,5 91,67
4. Sinjai Tengah 3.168,125 415 13,10
5. Sinjai Barat 8.791 1.325 15,07
6. Sinjai Borong 2.227 775 34,80
Sumber : Disbunhut Kab. Sinjai, 2010.
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa Kecamatan Tellulimpoe
memiliki persentase luas areal kawasan hutan yang telah mengalami
44
60. gangguan perambahan hutan yang paling tinggi, selanjutnya berturut-turut
adalah Kecamatan Sinjai Selatan, Sinjai Borong, Sinjai Barat, Sinjai
Tengah dan Bulupoddo.
2. Program Penanggulangan Gangguan Hutan
Untuk mencegah, membatasi dan mempertahankan serta
menjaga hutan dari berbagai jenis gangguan hutan yang menyebabkan
terjadinya kerusakan hutan di Kabupaten Sinjai, maka pemerintah daerah
telah melakukan berbagai program yang terkait dengan penanggulangan
gangguan hutan, yaitu :
a. Preventif
Program pemerintah daerah Kabupaten Sinjai dalam upaya
mencegah dan membatasi kerusakan hutan adalah :
1). Penambahan jumlah personil Polisi Kehutanan
Penambahan jumlah Polisi Kehutanan dilakukan dengan merekrut
beberapa warga masyarakat desa di Kabupaten Sinjai dan umumnya
adalah anak tokoh masyarakat di desa tersebut, sehingga dalam
penugasannya mereka ditugaskan ke desa-desa yang berbatasan
dengan kawasan hutan. Pola ini diharapkan dapat mencegah meluas
dan meningkatnya gangguan hutan di Kabupaten Sinjai.
Jumlah tenaga pengamanan hutan di wilayah Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sinjai di sajikan pada tabel berikut ini.
45
61. Tabel 3. Jumlah Tenaga Pengamanan Hutan di Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sinjai
No. Tenaga Pengamanan Hutan Jumlah (Orang)
1. Polisi Kehutanan 66
a. Sarjana (S1) 6
b. Diploma Tiga -
c. S M A / Sederajat 60
2. Tenaga Pamhut Lainnya (Mandor
Hutan)
20
3. Penyidik PNS (PPNS) -
Sumber : Disbunhut Kab. Sinjai, 2010.
2). Patroli rutin
Patroli pengamanan kawasan hutan secara rutin dilaksanakan oleh
petugas Polisi Kehutanan di wilayah kerjanya masing-masing.
Frekuensi pelaksanaan kegiatan ini umumnya dilaksanakan satu kali
seminggu.
3). Pembuatan papan informasi
Pembuatan papan informasi merupakan salah satu kegiatan preventif
yang bertujuan untuk memberikan suatu informasi tentang fungsi dan
manfaat hutan yang bersifat himbauan kepada warga masyarakat.
4). Pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan hutan
Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan diharapkan
mampu mengurangi gangguan hutan karena masyarakat memiliki
46
62. kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungannya. Program
pemberdayaan masyarakat tersebut antara lain adalah :
Gerakan Pembangunan Sejuta Sadap Pinus (Gerbang Sedap)
Luas tanaman pinus di Kabupaten Sinjai yang siap sadap
mencapai 3.155 hektar dengan jumlah tanaman 1.009.200 pohon
umur 14 -34 Tahun.
Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil hutan non kayu seperti
pengembangan lebah madu, sutera alam, jamur, gula aren,
ekotourism, dan lain-lain
Pengembangan Silvopasture di Desa Barania Sinjai Barat,
masyarakat menanam hijauan ternak/rumput gajah diantara
eucalyptus.
Pengembangan dan pembinaan aneka usaha kehutanan yang
bersifat lokal spesifik seperti penyerahan sapi perah pada
kelompok tani.
Pengembangan dan pembinaan sumber benih tanaman
kehutanan seperti sumber benih bakau, sengon, kayu manis,
gmelina dan lain-lain.
5). Inventarisasi perambah hutan
Untuk mendapatkan data yang akurat mengenai jumlah perambah
dan luas areal hutan yang dirambah, tahun ini Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sinjai telah menginstruksikan kepada kepala
satuan unit wilayah agar melakukan pendataan perambah di
47
63. wilayahnya masing-masing. Namun sampai saat penelitian ini
dilakukan, belum diperoleh data yang akurat dari masing-masing unit
wilayah.
6). Pemadaman kebakaran hutan
Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dilaksanakan sebanyak 3 kali
di tahun 2009 yaitu pada saat kebakaran hutan di kawasan hutan
Gunung Rappa Desa Lamattiriattang, Gunung Perak Bawakaraeng
Desa Gunung Perak dan Gunung Mamajang Desa Duampanue.
b. Refresif
Kegiatan ini merupakan kegiatan tindakan yang bersifat
penegakan hukum, dimana sudah terjadi pelanggaran atau kejahatan.
Bila ditemukan pelanggaran/kejahatan di bidang kehutanan, Polisi
kehutanan selaku PNS yang diberi wewenang kepolisian khusus bidang
kehutanan melakukan tindakan sesuai dengan wewenang yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundangan yang berlaku. Bentuk kegiatan
refresif yang dilaksanakan di Kabupaten Sinjai adalah :
1). Operasi Rutin
Operasi rutin ini dilakukan secara berkelompok dalam satu wilayah
kecamatan dan dibawah koordinasi satuan unit wilayah. Berdasarkan
data laporan dari petugas Polisi Kehutanan di berbagai wilayah ke
kantor Dinas Perkebunan dan Kehutanan, jenis gangguan hutan hasil
operasi rutin yang mendapatkan penanganan lebih lanjut di Kantor
48
64. Dinas Perkebunan dan Kehutanan dari tahun 2004 sampai tahun
2010 seperti disajikan pada gambar 4 berikut ini.
Data Kasus Gangguan Hutan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Jumlah
Kasus
Perambahan Hutan
Pencurian HH Kayu
Kebakaran Hutan
Gambar 4. Jenis Gangguan yang Dilaporkan di Kantor Disbunhut
Sinjai.
Gambar 4 menunjukkan bahwa dari tahun 2004 sampai 2010,
terdapat tiga jenis gangguan hutan yang mendapat penanganan dari
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai, yaitu :
perambahan hutan, pencurian hasil hutan kayu dan kebakaran hutan.
2). Operasi Refresif
Operasi refresif merupakan upaya untuk menindak pelaku pelanggaran
secara langsung di lapangan melalui kegiatan pengamanan pelaku
dan barang bukti, penyelesaian administrasi lapangan seperti laporan
kejadian, berita acara pemeriksaan TKP (Tempat Kejadian Perkara)
dan sketsa lokasi kejadian.
3). Operasi Yustisi
49
65. Operasi yustisi merupakan upaya penegakan hukum untuk membuat
jera para pelaku pelanggaran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS)/ Penyidik Polri dimulai dengan Penyidikan sampai dengan
Putusan Pengadilan. Penyidikan tindak pidana kehutanan di
Kabupaten Sinjai dilakukan oleh Penyidik Polri karena belum memiliki
Penyidik PNS.
Berdasarkan informasi kemajuan penyidikan dari 10 kasus
perambahan hutan hanya diperoleh 2 kasus yang sampai ke tahapan
peradilan yaitu kasus pembukaan jalan di kawasan hutan Balimengka
kelompok hutan Apparang II Desa Songing dan perambahan hutan
untuk perluasan lahan perkebunan seluas 40 ha di Desa Bontokatute
Sinjai Borong.
Kasus pencurian hasil hutan terjadi satu kali di tahun 2007 di Sinjai
Barat dan kasus kebakaran hutan terjadi 3 kali di tahun 2009 yaitu di
kawasan hutan Gunung Rappa Desa Lamattiriattang, Gunung Perak
Bawakaraeng
Desa Gunung Perak dan Gunung Mamajang Desa Duampanue.
Kedua kasus ini mendapat penanganan langsung dari seksi
perlindungan hutan.
B. Pembahasan
1. Identifikasi Gangguan Hutan yang Dominan
Identifikasi jenis gangguan hutan oleh aktivititas manusia yang
paling banyak menyebabkan kerusakan hutan di Kabupaten Sinjai adalah
50
66. gangguan perambahan hutan dan pencurian hasil hutan kayu. Jenis
gangguan perambahan hutan terjadi hampir diseluruh kawasan hutan di
Kabupaten Sinjai dan urutan perambahan terluas berturut-turut adalah
Kecamatan Tellulimpoe (Balampesoang dan Balangjatie), Kecamatan
Sinjai Selatan (Talle, Palangka, Songing dan Puncak) dan Sinjai Borong
(Bontokatute). Ketiga kecamatan ini perlu mendapatkan perhatian
khusus dalam penanganannya karena gangguan perambahan hutan
merupakan konversi hutan dengan tipe kerusakan intensitas berat.
Purwanto (1995) mengatakan bahwa konversi hutan menjadi lahan
pertanian, perkebunan dan pemukiman tergolong kedalam kerusakan
hutan dengan tipe kerusakan intensitas berat.
Jenis gangguan perambahan hutan yang terjadi di Kabupaten
Sinjai adalah pendudukan lahan kawasan hutan tanpa izin seperti
berkebun, pemukiman dan pengkaplingan lahan dalam kawasan hutan.
Perbuatan tersebut melanggar ketentuan pada pasal 50 ayat 3 huruf (a)
dan (b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Meskipun melanggar peraturan perundangan yang berlaku,
namun sampai saat ini masyarakat di tiga kecamatan tersebut masih
berkebun dan bermukim di dalam kawasan hutan. Petugas kehutanan
tidak dapat melakukan tindakan penangkapan terhadap masyarakat yang
berkebun dan bermukim dalam kawasan hutan karena masyarakat
mengaku telah bermukim dan berkebun sejak lama seperti di jelaskan
sebagai berikut :
51
67. a. Desa Polewali Kecamatan Sinjai Selatan, terdapat dua dusun yang
berada di dalam kawasan hutan, yaitu Dusun Jennae dan Dusun
Lengkese. Menurut Kepala Desa Polewali, Dusun Lengkese
merupakan dusun lama yang telah dihuni oleh masyarakat sejak tahun
1960. Pada tahun itu masyarakat yang bermukim baru 10 KK, namun
sekarang jumlah pemukiman semakin banyak dari anak cucu mereka.
Dan masyarakat sudah mengakui lahan itu sebagai miliknya dengan
adanya bukti surat pajak.
b. Desa Bontokatute Kecamatan Sinjai Borong, terdapat beberapa
masyarakat yang berkebun sejak lama di areal yang saat ini ditetapkan
sebagai kawasan hutan. Menurut Kepala Desa Bontokatute, luas areal
kawasan hutan yang masih digarap oleh masyarakat seluas 225 ha.
Beberapa areal kawasan hutan yang sebelumnya digarap oleh
masyarakat saat ini digunakan sebagai areal GN-RHL tahun 2004
s/d 2006.
c. Kecamatan Tellulimpoe, terdapat dua kawasan hutan yang sebagian
besar telah digarap oleh masyarakat yaitu kawasan hutan lindung
Balampesoang dan kawasan hutan lindung Balang Jatie. Berdasarkan
informasi dari responden yang bermukim di sekitar kawasan hutan
lindung Balampesoang, kawasan ini sudah dirambah sejak 20 tahun
yang lalu. Perambahan diawali oleh seorang tokoh yang berpengaruh,
sehingga menyulitkan petugas untuk melakukan penegakan hukum.
52
68. Meskipun masyarakat di sekitar hutan di Kecamatan Tellulimpoe
terlibat dalam perambahan kawasan hutan lindung Balampesoang
dan Balang Jatie, namun karekteristik perambah di kedua lokasi
tersebut berbeda. Berdasarkan informasi dari responden, pelaku
utama perambahan di kawasan hutan lindung Balampesoang adalah
oknum-oknum tertentu yang mempunyai kekuasaan, kekuatan dan
kemampuan finansial. Masyarakat lokal umumnya hanya sebagai
petani penggarap saja. Sedangkan pelaku perambahan di kawasan
hutan lindung Balang Jatie adalah masyarakat lokal yang menuntut
keadilan dalam penguasaan lahan sebagai akibat tidak adanya
penegakan hukum di kawasan hutan lindung Balampesoang.
2. Permasalahan Penanggulangan Gangguan Hutan
Permasalahan penanggulangan gangguan hutan di Kabupaten
Sinjai adalah sebagai berikut :
a. Masyarakat telah dibiarkan bermukim dan berkebun sejak lama di
dalam kawasan hutan,
Terjadinya pembiaran pada awal masyarakat melakukan
perambahan menyebabkan perambahan semakin meluas dan bahkan
perambahan di suatu wilayah mengakibatkan wilayah lainnya juga di
rambah seperti terjadinya pembiaran perambahan di kawasan hutan
lindung Balampesoang mengakibatkan masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan hutan lindung Balang Jatie juga menuntut kepada
53
69. pemerintah daerah agar diberikan kebijakan memanfaatkan lahan
kawasan hutan. Olehnya itu pihak pemerintah daerah memberikan
kebijakan pengelolaan lahan kawasan hutan lindung Balang Jatie.
Namun kebijakan tersebut tidak didukung dengan pengawasan yang
ketat dari petugas kehutanan sehingga masyarakat memanfaatkan
lahan hutan sesuai dengan keinginannya tanpa memperhatikan fungsi
kawasan hutan lindung Balang Jatie.
b. Anggaran pengamanan hutan yang tidak tersedia di unit wilayah,
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di unit
wilayah, salah satu permasalahan dalam penanggulangan gangguan
hutan adalah anggaran pengamanan hutan yang tidak tersedia di unit
wilayah. Padahal kegiatan pengamanan hutan telah dianggarkan di
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten sinjai dalam program
perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan. Program ini
dilakukan dengan 2 (dua) kegiatan, yaitu lomba rehabilitasi dan
konservasi sumberdaya alam serta pengamanan dan pengawasan
peredaran hasil hutan.
Untuk memaksimalkan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
hutan di unit wilayah, tiap-tiap wilayah didukung dengan pendanaan
minimal untuk tugas masing-masing wilayah. Unit wilayah
membutukan dana tersebut untuk melakukan kerja lapangan seperti
patroli, penjagaan, anjangsana ke desa-desa/kampung terdekat dan
sebagainya.
54
70. Hal lain yang juga membutuhkan biaya adaah pembenahan
dan pengadaan sarana dan prasarana. Pembenahan sarana dan
prasarana di kantor unit wilayah dilakukan dalam dua tahun terakhir ini.
Sarana prasarana minimal yang dimiliki oleh kantor unit wilayah Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai yang akan mendukung
staf bekerja di lapangan adalah buku kerja, peta kerja, GPS, blangko
register dan sepeda motor. Sarana prasarana yang belum dimiliki
adalah kamera, binokular, kompas, alat komunikasi dan senjata api.
c. kurangnya koordinasi antara mitra instansi terkait.
Kurangnya koordinasi antara mitra instansi terkait seperti perkebunan,
pertanian, kepolisian, kejaksaan dan sebagainya menyebabkan
penanggulangan gangguan hutan tidak terlaksana dengan baik.
Koordinasi internal saja antara kehutanan dan perkebunan masih
belum berjalan dengan baik, hal ini terlihat dengan adanya program
pengembangan tanaman kakao yang lokasinya berada dalam
kawasan hutan. Apalagi koordinasi eksternal seperti dengan
kepolisian, dimana pelibatan personil dari Polres Sinjai hanya
dilakukan ketika ada kejadian yang harus diserahkan untuk
penyidikan.
d. Penanganan kejadian/kasus yang berbeda-beda dalam
penanggulangan gangguan hutan.
Penanganan kejadian/kasus di masing-masing wilayah berbeda,
padahal jenis kejadiannya sama. Untuk lokasi yang telah dirambah
55
71. oleh masyarakat sejak lama, petugas kehutanan di masing-masing
desa melakukan penanganan yang berbeda-beda seperti dijelaskan
pada tabel berikut ini :
Tabel 4. Penanganan Kejadian di Beberapa Desa di Kabupaten Sinjai.
No. Desa/
Kecamatan
Penanganan Kasus
Perambahan Hutan
Hasil
Penanganan
1 2 3 4
1. Bontokatute/
Sinjai Borong
Masih mentolerir penebangan
pohon untuk keperluan
rumah tangga dengan
ketentuan mengganti 3 pohon
untuk 1 pohon yang ditebang.
Masyarakat
mendukung dan
mematuhi
aturannya.
2. Polewali/
Sinjai Selatan
langsung menangkap setiap
masyarakat yang melakukan
penebangan dalam kawasan
hutan.
Masyarakat
menebang jika
tidak ada
petugas
3. Palangka/
Sinjai Selatan
Pendekatan persuasif
terhadap perambah lama
untuk sadar dan keluar dari
kawasan hutan
70 % perambah
sudah keluar
dari kawasan
hutan.
4. Baru/
Sinjai Tengah
Langsung menangkap setiap
masyarakat yang melakukan
penebangan dalam kawasan
hutan dan mencabuti semua
tanaman perkebunan dalam
kawasan hutan yang
umurnya dibawah 1 tahun.
Masyarakat
mematikan
pohon dengan
melakukan
peneresan pada
batang.
5. Samaturue/ Tidak lagi melakukan
pengamanan terhadap
Masyarakat
seenaknya
56
72. Tellulimpoe kawasan hutan (90 %
kawasan hutan telah
dirambah oleh masyarakat.
memanfaatkan
areal kawasan
hutan.
Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi variasi penanganan
kejadian perambahan hutan di wilayah Kabupaten Sinjai. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya prosedur tetap penanggulangan
gangguan perambahan hutan yang dikeluarkan oleh Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.
Penanganan kejadian perambahan lama dengan melakukan
penangkapan langsung kepada setiap masyarakat yang melakukan
penebangan pohon dalam areal kawasan hutan tersebut bukannya
membuat jera masyarakat dan menyadarkan masyarakat. Masyarakat
menjadi tidak bersahabat dan tidak mau lagi mengikuti program
pemerintah untuk menanam pohon di lahan kawasan hutan yang
diolahnya, dan bahkan masyarakat akan melakukan aktivitas yang
makin merusak hutan seperti perilaku masyarakat di Sinjai Tengah
yang mematikan pohon dengan melakukan peneresan batang.
Penanganan kejadian perambahan kawasan dengan
memberikan kebijakan yang mentolerir penebangan pohon secara
bersyarat seperti yang terjadi di kawasan hutan lindung Bolalangiri
Desa Bontokatute Kecamatan Sinjai Borong memerlukan payung
hukum yang jelas, sehingga kebijakan ini tidak melanggar Undang-
57
73. Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan
perundangan lainnya.
Penanganan kejadian perambahan kawasan yang telah terjadi
sejak lama akan lebih efektif dengan pendekatan persuasif dan
kekeluargan dalam menyadarkan masyarakat tentang fungsi hutan
seperti yang telah dilakukan oleh petugas kehutanan di Desa
Palangka Kecamatan Sinjai Selatan dan Desa Bontokatute Sinjai
Borong.
3. Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan
Strategi penanggulangan gangguan hutan merupakan goal yang
ingin dicapai dalam penelitian ini. Strategi ini merupakan hasil diskusi
dalam pertemuan FGD dengan memperhatikan permasalahan
penanggulangan gangguan hutan dan penyebab terjadinya gangguan
perambahan hutan yang merupakan gangguan hutan yang umumnya
terjadi disemua wilayah kawasan hutan dan di Kabupaten Sinjai.
Proses FGD diuraikan pada lampiran 9 dan menghasilkan
rumusan strategi penanggulangan gangguan hutan sebagai berikut :
1. Menghadirkan program dalam kawasan hutan yang sudah dirambah
seperti program HTR, HKM, Hutan Desa dll yang sesuai dengan status
kawasan hutannya.
58
74. Model Name: LATIH
KAWASAN HUTAN ,667
ASPEK TEKNIS ,222
SOSIAL BUDAYA ,111
Inconsistency = 0,00
Page 1 of 1
07/08/2010 17:21:09
2. Membuat Program pemberdayaan masyarakat di luar kawasan hutan,
sehingga masyarakat berkurang tingkat ketergantungannya terhadap
kawasan hutan.
3. Peningkatan Peran dan Fungsi Masing-masing Stakeholder (Penyuluh,
Polisi Kehutanan dll.).
4. Penatabatasan kawasan hutan berbasis masyarakat
5. Mengoptimalkan penegakan hukum
Kelima rumusan strategi penanggulangan gangguan hutan
tersebut dipengaruhi oleh aspek berikut ini :
1. Aspek teknis yang didefenisikan sebagai pendekatan atau program
yang telah dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Sinjai dalam upaya penanggulangan gangguan
perambahan hutan serta faktor-faktor lainnya seperti sarana
prasarana, pembiayaan program dan tenaga (SDM).
2. Aspek kawasan hutan yang didefenisikan dengan status dan kondisi
kawasan hutan saat ini.
3. Aspek sosial budaya, yaitu aspek sosial budaya yang berperan dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengurangi gangguan
perambahan hutan, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan dan
kelembagaan masyarakat.
Hasil perbandingan berpasangan antara ketiga aspek tersebut
disajikan pada Gambar 5 berikut ini.
59
75. Inkonsistensi : 0,00
Gambar 5. Hasil Penilaian Terhadap Aspek Teknis, Kawasan Hutan
dan Sosial Budaya
Analisa pendapat gabungan para responden pada Gambar 5
menunjukkan hasil perbandingan antara aspek yang perlu diperhatikan
dalam merumuskan strategi penanggulangan gangguan hutan. Dengan
menggunakan skala penilaian Saaty, terlihat bahwa diantara ketiga aspek
tersebut, maka aspek kawasan hutan yang memiliki nilai eigen paling
tinggi (0,667) dibandingkan dengan aspek teknis (0,222) dan sosial
budaya (0,111).
a. Aspek Kawasan Hutan
Aspek kawasan hutan sebagai prioritas utama yang harus
diperhatikan dalam menentukan strategi penanggulangan gangguan hutan
di Kabupaten Sinjai. Ini mencerminkan bahwa kegiatan penanggulangan
gangguan hutan sangat erat kaitannya dengan masalah kawasan hutan.
Ada dua kriteria penting dalam kaitannya antara penanggulangan
gangguan hutan dengan kawasan hutan yaitu status dan kondisi kawasan
hutan saat ini. Dari kedua kriteria tersebut, kriteria yang dipandang utama
oleh para responden dalam menentukan strategi penanggulangan
gangguan hutan adalah status kawasan hutan.
Tabel 5 . Hasil Penilaian Setiap Kriteria dalam Aspek Kawasan Hutan Beserta
Nilai Eigennya
KWS HUTAN STATUS KONDISI TOTAL EIGEN
STATUS 1 4,474 5,474 0,817
KONDISI 0,224 1 1,224 0,183
Jumlah 1,224 5,474 6,698 1,000
60
76. λmaks = 2,000
CI = Indeks Konsistensi = 0,000
CR = Rasio Konsistensi = 0
Pada Tabel 5 di atas terlihat bahwa kriteria dalam aspek kawasan
hutan yang memiliki skala prioritas tertinggi adalah status kawasan hutan
(nilai eigen 0,817); kemudian kondisi kawasan hutan (nilai eigen 0,183).
Hal ini berarti bahwa areal yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutan
tetap harus menjadi prioritas dalam penanggulangan dengan melihat
kondisi kawasan hutan saat ini. Rumusan strategi yang akan diterapkan
tetap harus memperhatikan status kawasan hutannya, apakah strategi itu
sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku atau tidak.
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap. Saat ini kawasan hutan di Kabupaten Sinjai meliputi
areal seluas 18.894 ha. Menurut statusnya, luas areal kawasan hutan ini
terdiri atas Hutan Lindung seluas 11.074 ha atau 58,61 %, Hutan Produksi
Terbatas seluas 7.100 ha atau 37,58%, dan Hutan Konservasi seluas 720
ha atau 3.81%. Namun sebagian wilayah kawasan hutan tersebut yaitu
seluas 4.261,5 ha atau 22,55 % sudah dikonversi menjadi areal
pemukiman dan areal budidaya perkebunan terutama untuk tanaman
kakao, cengkeh dan kopi, sehingga kawasan hutan tersebut tidak
berfungsi lagi sesuai dengan statusnya.
61
77. Luas Kawasan tersebut hanya 23,04 % dari luas Kabupaten Sinjai
yang luasnya 81.996 ha. Hal ini berarti sangat jauh dari idealnya luas
suatu daerah dengan luas wilayah hutannya yang minimal mencapai
angka 30 %. Luas kawasan hutan ini berada di bawah standar baik
kuantitas maupun kualitasnya, apalagi diperparah dengan adanya areal
yang telah dikonversi seluas 5,20 %, sehingga luasnya hanya 17,85 %.
Hasil AHP strategi penanggulangan gangguan hutan dari aspek
kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
Model Name: LATIH
Synthesis: Summary
PENEGAKANHUKUM ,267
PROGRAMPEMBERDAYAAN ,225
PERANSTAKEHOLDER ,225
PENATABATASAN ,213
PROGRAMDALAMKAWASAN ,071
Page 1 of 1
07/08/2010 17:32:44
Inkonsistensi = 0,02
Gambar 6. Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan dari
Aspek Kawasan Hutan.
Gambar 6 menunjukkan bahwa prioritas strategi penanggulangan
gangguan hutan dari aspek kawasan hutan adalah strategi optimalisasi
penegakan hukum merupakan prioritas utama (nilai eigen 0,267). Strategi
program pemberdayaan masyarakat di luar kawasan hutan dan
peningkatan fungsi/peran stakeholder menempati prioritas yang sama
penting (nilai eigen 0,225), dan berturut-turut adalah penatabatasan
kawasan hutan partisipatif (nilai eigen 0,213) serta menghadirkan program
dalam kawasan hutan (nilai eigen 0,071).
b. Aspek Teknis
62
78. Aspek kedua yang perlu diperhatikan dalam merumuskan strategi
penanggulangan gangguan hutan adalah aspek teknis. Dari aspek teknis,
strategi program yang akan dilaksanakan harus didukung oleh
ketersediaan dana, tenaga dan sarana prasarana. Keterbatasan dana,
kurangnya tenaga dan terbatasnya sarana prasarana merupakan faktor
yang mengakibatkan program tidak terlaksana dengan baik. Nilai bobot
setiap kriteria dalam aspek teknis dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 . Hasil Penilaian Setiap Kriteria dalam Aspek Teknis Beserta Nilai eigen
TEKNIS PROGRAM SAPRAS BIAYA TENAGA TOTAL EIGEN
PROGRAM 1,000 1,885 1,215 1,365 5,465 0,324
SAPRAS 0,530 1,000 0,601 1,061 3,192 0,189
BIAYA 0,823 1,663 1,000 1,246 4,732 0,281
TENAGA 0,732 0,943 0,803 1,000 3,478 0,206
Jumlah 3,086 5,491 3,619 4,672 16,868 1,000
λmaks = 4,022
CI =Indeks Konsistensi = 0,007
CR = Rasio Konsistensi = 0,008
Pada Tabel 6 diatas terlihat bahwa kriteria yang memiliki skala
prioritas tertinggi adalah program (nilai eigen 0,324); kemudian secara
berturut-turut adalah kriteria pembiayaan program (nilai eigen 0,281),
tenaga/SDM (nilai eigen 0,206) dan sarana prasarana (nilai eigen 0,189).
Hal ini berarti bahwa program penanggulangan gangguan hutan priotitas
utama dari aspek teknis dan keberhasilannya memerlukan dukungan dari
kriteria ketersediaan dana, tenaga dan sarana prasarana.
Hasil AHP strategi penanggulangan gangguan hutan dari aspek
kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
63
79. Synthesis: Summary
PENATABATASAN ,253
PROGRAMPEMBERDAYAAN ,226
PERAN STAKEHOLDER ,226
PENEGAKAN HUKUM ,226
PROGRAMDALAMKAWASAN ,069
sudirman
Inkonsistensi = 0,01
Gambar 7. Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan dari
Aspek Teknis.
Hasil AHP strategi penanggulangan gangguan hutan dari aspek
teknis pada Gambar 7 menunjukkan bahwa strategi penatabatasan
kawasan hutan partisipatif (nilai eigen 0,253) merupakan prioritas utama.
Program pemberdayaan masyarakat di luar kawasan hutan, peningkatan
fungsi/peran stakeholder dan penegakan hukum menempati prioritas yang
sama penting (nilai eigen 0,226), dan selanjutnya adalah menghadirkan
program dalam kawasan hutan (nilai eigen 0,069).
c. Aspek Sosial Budaya
Aspek ketiga yang perlu diperhatikan dalam merumuskan strategi
penanggulangan gangguan hutan adalah aspek sosial budaya. Nilai bobot
setiap kriteria dalam aspek sosial budaya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 . Hasil Penilaian Setiap Kriteria dalam Aspek Sosial Budaya Beserta
Nilai Eigennya
KRITERIA PENDIDIKAN PENCAHARIAN KELEMBAGAAN TOTAL EIGEN
PENDIDIKAN 1 2,755 1,695 5,450 0,507
PEKERJAAN 0,363 1 0,486 1,849 0,170
KELEMBAGAAN 0,590 2,056 1 3,646 0,323
Jumlah 1,953 5,811 3,182 10,946 1,000
λmaks = 3,006
CI =Indeks Konsistensi = 0,003
CR = Rasio Konsistensi = 0,005
64
80. Berdasarkan pendapat para responden Pada Tabel 7 diatas
terlihat bahwa kriteria yang memiliki skala prioritas tertinggi adalah tingkat
pendidikan (nilai eigen 0,507); kemudian secara berturut-turut adalah
kriteria kelembagaan (nilai eigen 0,323), dan mata pencaharian (nilai
eigen 0,170). Uraian ketiga kriteria dari aspek sosial budaya tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar
kawasan hutan sangat mendukung terlaksananya strategi
penanggulangan gangguan hutan. Dengan tingkat pendidikan yang
memadai, masyarakat sekitar kawasan hutan akan menjadikan hutan
sebagai tumpuan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa
melakukan eksploitasi secara fisik yang mengancam kelestarian
hutan. Masyarakat merasa ikut memiliki kawasan tersebut dan dengan
rasa ikut memiliki tersebut akan mendorong masyarakat untuk
mengorganisasikan diri dalam menolak setiap pengaruh negatif yang
mengancam kelestarian kawasan hutan, seperti penebangan liar
(illegal logging), kebakaran hutan dan perambahan kawasan.
Tabel 8. Persentase Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan di
Kabupaten Sinjai Tahun 2002 dan 2004
Tingkat
pendidikan 2002 2004
Rendah 69,73 63,71
Menengah 27,27 29,25
Tinggi 3,00 7,04
65
81. Sumber : Susenas 2002 dan 2004
Catatan : Rendah = Tamat SD kebawah
Menengah = SLTP/SLTA Sederajat
Tinggi = Akademi/Universitas
Rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja pada tabel 8 di
atas akan mengakibatkan masyarakat menyulitkan pengelola dalam
penanggulangan gangguan hutan karena masyarakat sangat tinggi
tingkat ketergantungannya terhadap kawasan hutan.
2. Kelembagaan Masyarakat
Kelembagaan masyarakat yang ada di Kabupaten Sinjai yang
berkaitan langsung dengan upaya penanggulangan gangguan hutan
adalah kelompok tani hutan. Lembaga ini dibentuk tidak hanya
sekedar bertujuan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan
kepastian jaminan dari pemerintah. Akan tetapi dalam membangun
kelembagaan yang lebih penting adalah bagaimana mencapai
kemandirian masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan secara
lestari dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera.
3. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat merupakan salah satu kriteria dari
aspek sosial budaya yang diperhatikan dalam merumuskan sebuah
strategi penanggulangan gangguan perambahan hutan. Perambahan
hutan di Kabupaten Sinjai terjadi karena umumnya masyarakatnya
bekerja di sektor pertanian dan mata pencaharian tersebut
berlangsung turun temurun sehingga luas lahan garapan diluar
kawasan hutan semakin sempit.
66
82. Hasil AHP strategi penanggulangan gangguan hutan dari aspek
sosial budaya dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.
Model Name: LATIH
Synthesis: Summary
PERANSTAKEHOLDER ,227
PENATABATASAN ,227
PROGRAMPEMBERDAYAAN ,197
PENEGAKANHUKUM ,197
PROGRAMDALAMKAWASAN ,152
Inkonsistensi = 0,01
Gambar 8. Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan dari
Aspek Sosial Budaya.
Gambar 8 menunjukkan bahwa strategi prioritas utama
penanggulangan gangguan hutan dari aspek sosial budaya adalah
strategi peningkatan fungsi/peran stakeholder dan penatabatasan
kawasan hutan partisipatif (nilai eigen 0,227). Program pemberdayaan
masyarakat di luar kawasan hutan dan penegakan hukum menempati
prioritas yang sama penting (nilai eigen 0,197), dan selanjutnya adalah
menghadirkan program dalam kawasan hutan (nilai eigen 0,152).
4. Sintesis Strategi Prioritas
Analisis AHP mengenai sintesis prioritas strategi penanggulangan
gangguan hutan berdasarkan ketiga aspek tersebut memberikan hasil
seperti pada gambar 9 berikut :
Model Name: LATIH
Synthesis: Summary
PENEGAKAN HUKUM ,249
PERAN STAKEHOLDER ,225
PENATABATASAN ,224
PROGRAMPEMBERDAYAAN ,222
PROGRAMDALAMKAWASAN ,081
Page 1 of 1
07/08/2010 17:34:26
Inkonsistensi = 0,01
Gambar 9. Sintesis Prioritas Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan
67
83. Hasil sintesis prioritas AHP pendapat gabungan responden pada
Gambar 9 menunjukkan bahwa strategi penegakan hukum merupakan
prioritas utama (nilai eigen 0,249). Prioritas selanjutnya adalah
peningkatan fungsi/peran stakeholder (nilai eigen 0,225), penatabatasan
kawasan hutan partisipatif (nilai eigen 0,224), Program pemberdayaan
masyarakat di luar kawasan hutan (nilai eigen 0,222) dan menghadirkan
program dalam kawasan hutan (nilai eigen 0,081).
Strategi 1. Optimalisasi Penegakan Hukum
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan adalah
penegakan hukum yang lemah dimana para perambah hutan bebas
berkeliaran tanpa penindakan. Padahal upaya penegakan hukum
merupakan upaya untuk memberi efek jera terhadap pelaku tindak
kejahatan di bidang kehutanan. Memperkuat penegakan hukum akan
memperbaiki tata kelola pengurusan hutan, memberikan kepastian hukum
dan memperkuat kerangka kebijakan pengurusan bidang kehutanan dan
sumberdaya alam dan meningkatkan upaya pengelolaan hutan secara
lestari.
Pendapat gabungan responden melalui AHP menempatkan
penegakan hukum dalam prioritas pertama yang harus dilakukan (nilai
eigen 0,249). Hal ini berarti penegakan hukum terhadap para pelaku
perambahan harus terus dilakukan sesuai aturan yang ada. Jangan
68
84. sampai kesan "pembiaran" terjadi terus menerus seperti yang terjadi di
kawasan hutan lindung Balampesoang Kecamatan Tellulimpoe. Kawasan
ini telah dirambah kurang lebih 20 tahun dan terkesan terjadi pembiaran.
Dalam forum FGD disampaikan bahwa perambahan di kawasan hutan
lindung Balampesoang terjadi karena pengaruh orang-orang besar,
sementara masyarakat disana umumnya hanya dipekerjakan, sedangkan
penguasa lahannya adalah orang-orang besar. Sehingga untuk
melakukan penindakan sangatlah rumit, yang pada akhirnya sampai
sekarang HL Balangpesoang yang luasnya 496,375 ha telah diokupasi
seluas 444 ha (89,45%).
Akibat pembiaran terhadap perambahan di kawasan hutan lindung
Balampesoang, masyarakat yang bermukim disekitar hutan lindung
Balang Jatie juga menuntut untuk mengokupasi lahan. Pemerintah
Daerah memberikan kebijakan kepada masyarakat untuk melakukan
pemanfaatan lahan, sayangnya pemanfaatan lahan kawasan hutan tidak
diatur sedemikian rupa, sehingga sampai saat ini kawasan yang luasnya
132,5 ha semuanya sudah diokupasi masyarakat.
Strategi 2. Peningkatan Peran dan Fungsi Stakehoder
Pendekatan penegakan hukum saja dalam penanggulangan
gangguan hutan masih tidak cukup tetapi diperlukan sebuah sistem yang
memfungsikan semua stakeholder. Hasil AHP pendapat gabungan
responden menempatkan peningkatan peran dan fungsi stakeholder
dalam prioritas kedua (nilai eigen 0,225). Hal ini disebabkan karena
69
85. penanggulangan terhadap gangguan perambahan hutan tidak hanya
menjadi urusan instansi kehutanan, tetapi diperlukan peran serta dari
multistakeholder seperti pemerintah daerah tingkat II, pemerintah desa,
penyuluh, polisi kehutanan, babinsa, babinkamtibmas serta instansi terkait
(dinas pertanian, dinas perkebunan dan kehutanan, kepolisian,dll).
Masing-masing stakeholder berperan serta dalam penanggulangan
gangguan hutan sesuai dengan tugas dan fungsinya, seperti :
Pemerintah daerah tingkat II dapat meningkatkan peran dan fungsinya
dengan membuat aturan yang dapat memperjelas pembagian peran
dari masing-masing stakeholder dalam mengupayakan hutan lestari
masyarakat sejahtera.
Polisi kehutanan dan penyuluh kehutanan dapat meningkatkan peran
dan fungsinya dengan memperkuat kelembagaan fungsionalnya
sehingga kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif terencana dengan
baik. Apabila fungsi preventif dari kedua stakeholder tersebut berjalan
dengan baik, maka kerusakan hutan tidak semakin meluas.
Instansi terkait meningkatkan peran dan fungsinya melalui peningkatan
pelaksanaan koordinasi mulai dari penyusunan program sampai
pelaksanaan program, sehingga program dari masing-masing instansi
terkait tidak ikut menambah luasan kawasan hutan yang rusak.
Sistem pengamanan hutan terpadu dapat meningkatkan peran
dari masing-masing stakeholder. Peran ini harus dalam bentuk tanggung
jawab bersama yang dijabarkan dalam bentuk tugas yang jelas dari
70
86. masing-masing stakeholder. Pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara
sendiri-sendiri ataupun bersama, tergantung dari kepentingan dan
kemampuan stakeholder. Misalnya untuk penegakan hukum, dapat
dipakai aparat Polisi Kehutanan bersama dengan aparat kepolisian
ataupun tentara. Sedangkan dalam hal penyadaran menjadi tugas
penyuluh kehutanan dan kegiatan ekonomi alternatif dapat diberikan
kepada pihak-pihak yang bergerak dibidang ini.
Sistem pengamanan hutan terpadu akan berhasil dengan baik
apabila mampu mengkombinasikan antara pendekatan penegakan
hukum, penyadaran konservasi, dan pemberian alternatif kegiatan
ekonomi yang berkelanjutan.
Strategi 3. Penatabatasan Hutan Partisipatif
Hasil AHP pendapat gabungan responden menempatkan
penatabatasan hutan partisipatif dalam prioritas ketiga (nilai eigen
0,224). Penatabatasan kawasan hutan merupakan langkah yang penting
dalam pengelolaan kawasan untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya.
Penatabatasan hutan partisipatif menjadikan kawasan hutan
mendapatkan status kepastian hukum yang kuat karena keberadaan
kawasan hutan mendapat pengakuan masyarakat.
Apabila penatabatasan dilakukan sepihak oleh pemerintah
mengakibatkan konflik akan muncul khususnya jika sumberdayanya
memiliki nilai yang tinggi sepanjang waktu. Hal ini terjadi juga di wilayah
71